Disclaimer : Hajime Isayama, mpi & CaSG [lagu]

Warning : cerita ini bersetting di zaman post modern, tapi tidak terlalu maju seperti tahun 2013. Mungkin sekitar tahun 1990an.

-Dedicated to all shattered dreams-


PROLOG


Rambut coklat, wajah oval, mata hijau yang tegas, dialah Eren Jeager. Fotonya terpajang di dinding kediaman keluarga Jeager, tempat tinggal Mikasa Ackerman. Aku tahu dia menghormati saudaranya dengan cara yang khusus. Mikasa diselamatkan Eren ketika masih kecil dari tangan para penculik. Tidak hanya membebaskan dari teror, Eren juga turut memberinya inspirasi tentang keberanian dan perjuangan. Sejak menjadi yatim piatu, Mikasa dipungut oleh keluarga Jeager. Dan mungkin hanya aku yang tahu dia sesungguhnya memendam perasaan khusus terhadap kakak angkatnya itu.

Kenapa aku tahu?

Karena aku memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
Sejauh pertama kali aku melihatnya melintas di koridor universitas tempat kami berkuliah.

Itu sekitar lima tahun lalu.

Sulit sekali untuk mendekati Mikasa yang terlalu fokus pada kakak angkatnya itu. Mikasa rela melakukan apapun demi terus berada di sisi sang kakak. Aku harus sabar menelan rasa kecemburuan dan frustrasiku sendirian. Aku merasakan tahun-tahun penuh keputus-asaan dan air mata. Sempat aku mencoba untuk mencari tambatan hati lain, namun pada akhirnya aku kembali padanya.

Mikasa baru memperhatikanku ketika tahun ke lima kami telah saling mengenal dan terlibat dalam organisasi mahasiswa yang sama. Pada perjamuan perpisahan, aku duduk di dekatnya dan mulai berani memberinya perhatian. Responnya terhadapku tidak buruk. Ia membiarkanku mengantarnya pulang ketika sudah terlalu malam. Berada beberapa blok di depan tempat tinggalnya, hujan turun dengan deras.

Hei, katanya pasangan terancam putus bila berjalan berdua di bawah hujan?

Justru karena hujan, ia memintaku masuk ke dalam rumahnya.
Memberiku handuk dan menyeduhkan kopi hangat untukku. Sementara aku mengeringkan diri, ia menyalakan televisi menonton acara random.

"Di mana keluargamu yang lain?" Sungguh aku tidak melihat satu pun bayangan orang lain di rumah kecil keluarga Jeager.

"Ayah keluar kota, ibu sudah meninggal, Eren sedang bertugas."

Oh, apakah aku lupa menyebutkan bahwa Eren seorang polisi sejak dia lulus SMU?

"Hujan turun deras sekali." Aku memperhatikan situasi di luar jendela.

"Iya. Lebih baik kau menginap saja. Kau bisa tidur di sofa."

Aku sempat membayangkan yang lebih baik daripada itu. Malam itu, Mikasa mengajariku bermain kartu. Awalnya ekspresi wajahnya datar tanpa semangat seperti biasa. Namun lama kelamaan ia mulai tersenyum, ia mulai tertawa kecil melihatku yang tidak pernah menang sekalipun. Sesekali aku mencoba untuk menggodanya, tentunya dengan cara halus, ia merespon dengan sedikit semu di wajahnya yang nyaris tak terlihat.

Hujan turun semakin deras, petir menyambar rumah ini mengakibatkan mati listrik. Ketika aku hendak memeriksa sakelar, tanpa sengaja kakiku terantuk meja dan kehilangan keseimbangan. Aku menahan tubuhku terjatuh menimpa Mikasa, namun wajah kami jadi saling berhadapan. Kurasakan tatapan kami saling terpaku.

"Jean ..." dia membisikkan namaku, sebelum perlahan maju untuk mengecup bibirnya untuk beberapa saat. Ia membalas, tidak hanya itu, dia menyentuhku dengan kedua tangannya. Leher, wajah, dan rambutku dibelainya dengan lembut. Kupeluk Mikasa dan berguling dengan posisi di bawahnya. Ciuman kami semakin membara.

Sejak itu ia menjadi kekasihku. Aku sering main ke tempatnya setiap akhir pekan. Eren mengetahui hubungan kami dan mengancam akan membunuhku bila aku berani membuat adik angkatnya menangis.

Aku tidak akan mengecewakanmu, calon kakak ipar.

Pada umumnya, orang memulai hubungan percintaan mereka dengan mulus dan dunia menjadi milik mereka. Namun kenyataan bahwa sesungguhnya Mikasa dan Eren saling mencintai, membuat hubungan kami menjadi keras dan berliku. Hanya karena mereka bersaudara, Eren tidak mau memelihara perasaannya. Mikasa yang patah hati memanfaatkanku untuk melupakan Eren. Biarlah, bila aku terus bertahan, Mikasa akan memberikan seluruh hatinya untukku, karena ia memang berniat melakukannya.

Tiga bulan pertama, kami saling menyakiti karena cinta. Ia dengan perasaannya yang dalam terhadap Eren, dan aku dengan segenap kefrustrasianku atas cinta tak berbalas yang berkepanjangan. Namun kami selalu menemukan jalan untuk kembali. Sebanyak kami memikirkan perpisahan, sebanyak itulah kami ingin kembali. Sempat setelah putus, kami pergi keluar bersama sebagai "teman". Namun kami merasa lebih baik ketika itu. Perpisahan membuat kami semakin yakin akan perasaan kami. Perlahan, ia melupakan Eren.

Setiap akhir pekan, aku menghampiri tempatnya dan bersantai sambil memeriksa jejaring sosial atau mengetik artikel sehubungan pekerjaanku sebagai jurnalis. Mikasa akan membuatkanku kopi hangat dengan kreamer. Ketika kulihat wajahnya, timbul keinginanku untuk bersamanya hingga hari terakhirku hidup di dunia.

Biasanya, aku berselonjor santai di atas karpet di ruang keluarga, bersandar pada sofa sambil menahan laptop di pangkuanku. Mikasa kemudian menggelosor pada sofa kemudian merangkul leherku dari belakang. Ia menempelkan pipinya pada pelipisku, turut mengawasi apa yang kulihat di laptop.

"Aku ingin hidup denganmu." bisiknya sebelum aku menoleh untuk mencium pipinya. Ia kemudian menciumku di bibir, memprovokasiku untuk meletakkan laptop dan membelainya. Tak lama asmara menguasai kami, ia pun berkata akan memberiku segenap cintanya.

Suatu ketika kubawa dia menemui orangtuaku. Ibuku tidak menyukainya karena dia berdarah oriental dan menentang hubungan kami. Mikasa sempat sakit hati dengan penolakan itu, aku terus mencoba meyakinkannya bahwa masa depanku adalah bersamanya. Sejak itu aku sering mengajaknya melihat-lihat desain interior, mengandaikan foto-foto arsitektur itu sebagai rumah yang akan kami miliki di kemudian hari.

Aku berhasil mengajaknya bermimpi tentang kehidupan kami di masa depan. Sebuah tempat yang damai, untuk hidup wajar bersama.


bersambung ...