Halo, Arisa disini. Sekarang sudah memasuki libur panjang, sehingga aku bisa menyelesaikan chapter ini lebih cepat, hehe. Semoga kalian senang. Saya merencanakan untuk mem-publish chapter ini di tanggal 19 Juli, bertepatan dengan ulang tahun cerita ini yang kedua. Tapi karena saya masih mempunyai deadline yang lain di pertengahan Juli, saya merencanakan publish cerita ini bertepatan dengann ulang tahun Alfred (4 Juli) selamat ulang tahun, Alfred!

Terima kasih juga untuk para pembaca yang meng-follow dan favourite cerita ini. Anda membuat saya tambah semangat!

Yumi Murakami : halo! Tak disangka kita bertemu di grup LINE! Iya ya... saya baru ingat Ukraina biasanya memakai nama Katyusha, dan yap! Foma itu Korea Utara! Apakah Ivan mengejar Gilbert atau tidak bisa kau ketahui di chapter ini. thanks for the review...

Acriel Braginschmidt : hm.. mungkin karena saya terbiasa membuat cerita angst ? /ditendang. Alfred tahu Matthew di bully karena Gilbert yang menceritakannya. thanks for the review...

.3 : jangan menangis! Ivan tidak sejahat itu kok, silahkan baca chapter ini ya... hm... Foma, bukan Soma. Harapan Anda akan saya kabulkan di chapter ini. thanks for the review...

Warning : 1) typo, saya hanyalah penulis biasa, 2) boy x boy. Saya sudah memperingatkan hal ini sedari awal, jadi jika Anda menemukan adegan Gilbert dan Ivan... yah, pokoknya baca saja^^

Disclaimer : I own nothing. Pada akhirnya Gilbert milik Ivan, Arthur milik Francis, dan Matthew milik Arjan #spoiler

Chapter 17 : Exchange

Gilbert membuka matanya. Berbeda dari malam-malam sebelumnya, Gilbert melihat padang rumput yang luas dengan beberapa bunga. Tak jauh dari tempat Gilbert berdiri, berdiri kokoh pohon berdaun mapel. Gilbert dapat melihat seorang anak kecil berambut coklat, berpakaian baju dan celana pendek sedang berdiri membelakanginya.

"Matthew." Gilbert mengenali anak itu. Saat anak kecil itu membalikkan badannya, ia dapat melihat Matthew kecil sedang tersenyum kepadanya.

"Halo, Gilbert. Kita bertemu lagi."

"Kau sudah tidak menangis lagi sekarang?"

"Hu um..." Matthew menggelengkan kepalanya. "Berkat dirimu yang sudah mau membuat Matthew diterima di lingkungan selkitarnya dan karena kau sudah mau jujur kepada Alfred dan Arthur tentang keadaan Matthew di sekolah. Kau sudah merubah hidup Matthew menjadi lebih baik..."

"Benarkah? bagaimana dengan Matthew? apa yang sudah Matthew lakukan agar hidupku lebih baik?"

"Matthew telah membuat Ludwig sadar betapa besar kau menyanyanginya. Ludwig ingin kau segera kembali padanya. Kau akan tahu saat kau sadar nanti."

Tiba-tiba Gilbert menangis. "Maksudmu... West sudah tidak lagi membenciku?" tubuhnya lemas. Gilbert berlutut sambil menutupi wajahnya yang basah karena air mata. Akhirnya, hari yang ia rindukan telah tiba. Ludwig tidak membencinya lagi.

"Gilbert." Gilbert berhenti menangis ketika mendengar suara yang ia kenal di hadapannya. Gilbert sudah tidak melihat Matthew, melainkan dirinya saat kecil. Aneh rasanya melihat dirinya saat masih kecil sedang tersenyum padanya. "Ayo pulang." ajak Gilbert kecil sambil mengulurkan tangannya.

Gilbert ingin meraih tangan itu, namun entah kenapa Gilbert merasa ragu. Gilbert ingin pulang, dan Arthur bilang cara agar ia bisa pulang adalah dengan menerima dirinya yang lain. Gilbert yakin dirinya yang lain yang dimaksud Arthur ada di hadapannya, namun kenapa Gilbert merasa ragu? seolah-olah Gilbert harus menunggu sebentar untuk bisa menentukan jawabannya.

"Kenapa?" sadar Gilbert merasa ragu, Gilbert kecil duduk agar ia bisa melihat wajah Gilbert yang tertunduk. "Kau tak mau pulang?"

"Aku mau, tapi..."

Gilbert kecil menghela nafas setelah menunggu kelanjutan kalimat Gilbert yang tak kunjung datang. "Sebenarnya bukan hanya aku yang ingin mengajakmu pulang."

Gilbert mendongakan kepalanya karena bingung dengan kalimat Gilbert kecil. Matanya membesar setelah melihat seorang wanita berambut pirang dengan pakaian terusan berwarna putih bergaris hitam di pinggirannya. "Mu... Mutti..." panggil Gilbert yang menangis lagi.

Wanita itu tersenyum lalu memeluk Gilbert. "Gilbert, anakku..." ucapnya sambil mengelus rambut Gilbert. Gilbert membalas pelukan ibunya lalu menyandarkan kepalanya di atas dada ibunya. "Kau sudah besar, Gil. Ibu rindu padamu..."

"Aku juga rindu padamu... "balas Gilbert. Sudah lama Gilbert tidak merasakan pelukan hangat ibunya. Ah, Gilbert jadi ingin disini saja bersama ibunya.

"Maukah kau pulang bersama ibu?" Gilbert sedikit terkejut dengan pertanyaan ibunya. Ia merenggangkan pelukannya dan menatap ibunya.

"Pulang bersamamu?" tanya Gilbert heran. Ibunya menganguk.

"Pilihan ada di tanganmu, Gilbert." kata Gilbert kecil yang sedari tadi duduk di sebelah ibunya. "Kau ingin pulang bersamaku atau bersama ibu?"

"Aku..."

X

Kaki Matthew terasa basah saat ia hendak membuka matanya. Pemandangan yang ia lihat kali ini berbeda dengan pemandangan di hari-hari sebelumnya. Tidak ada kedua orang tuanya di belakangnya, yang ada hanya deretan batu karang yang besar. Tidak ada bayangan hitam berusaha menyerangnya, yang ada hanya langit yang cerah. Tidak ada pula Arthur dan Alfred, yang ada hanya seorang anak kecil berambut putih sedang berdiri di sampingya. Matthew dan anak kecil tersebut sama-sama melihat laut.

"Gilbert." Setelah diam beberapa lama, Matthew memberanikan diri menyapanya.

"Kerja yang bagus, Matt." masih melihat laut, Gilbert memujinya.

"Ah, aku tidak berbuat apa-apa..."

"Kau sudah menyatukan kembali Gilbert dengan keluarganya, tentu saja kau berbuat banyak. Kau juga sudah mulai memberanikan diri terhadap orang asing."

"Itu semua karena Gilbert... karena aku bertukar tempat dengan Gilbert, aku mempunyai keberanian ini." Matthew dan Gilbert kecil diam untuk sesaat. "Jadi, kapan aku bisa kembali?"

"Setelah orang yang menjemputmu datang."

"Datang? akan ada orang yang menjemputku?" tanya Matthew bingung. Tak lama, Matthew merasa ada orang lain sedang menghampiri mereka. Saat Matthew menoleh untuk melihatnya, Matthew dapat melihat kedua orang tuanya, dan Peter. Kedua orang tuanya berdiri tak jauh di sebelah kanan Matthew, sedangkan Peter di sebelah kiri.

"Nah, kau ingin pulang ke tempat siapa, Matt?"

"Aku..."

X

Suara barang berjatuhan dari luar ruangan membuat Gilbert terbangun dengan terkejut. Tanpa sadar, ia keluar dari ruangan secara terburu-buru dan segera berjalan cepat menuju sumber suara. Gilbert dapat melihat Ludwig sedang membereskan barang-barang yang berjatuhan. "Oh, selamat pagi Ma…"

"Astaga West!" belum selesai Ludwig menyapa, Gilbert langsung menghampiri Ludwig. "Apa yang ingin kau kerjakan hingga berantakan seperti ini?" tanpa melihat wajah adiknya yang terkejut, Gilbert membantu Ludwig membereskan barang-barang yang berantakan.

"Aku..."

"Coba ku lihat, apa ada yang luka?" kali ini Gilbert memeriksa badan Ludwig. "Tumben sekali kau ceroboh di pagi hari..."

"Bruder..." Gilbert berhenti bergerak setelah sadar apa yang ia lakukan. Ia bangun dan sekarang di hadapannya ada... Ludwig? Gilbert langsung menatap wajah Ludwig. "Bruder... kaukah kakakku, Gilbert?" tanya Ludwig tidak percaya.

"West..." air mata langsung mengalir dari mata Gilbert. "astaga... aku kembali."

Ludwig langsung memeluk Gilbert lalu menangis. "Bruder... aku rindu padamu..."

Gilbert membalas pelukan Ludwig dengan pelukan juga. "Ah, aku juga... sudah lama aku tidak dipeluk olehmu..."

Ludwig merenggangkan pelukan, namun ia tetap memegang kedua lengan Gilbert. "Bruder, aku minta maaf.. aku tahu aku jahat tapi itu karena aku pikir kau lah yang sudah berbuat jahat padaku... aku... aku minta maaf."

"Seharusnya aku yang minta maaf padamu, West. Aku memang jahat karena aku telah berbohong padamu. Aku bertingkah seakan-akan aku melindungimu padahal tidak... aku kakak yang bodoh..."

"Seorang kakak yang melindungi adiknya bukanlah kakak yang bodoh... kau bukanlah kakak yang bodoh. Percayalah itu."

"Baiklah... jika itu maumu." Gilbert dan Ludwig terdiam untuk beberapa saat kemudian mereka tertawa bersama.

"Ludwig, kau tidak apa-apa?" suara asing yang baru datang membuat Gilbert dan Ludwig menoleh ke sumber suara. Mata Gilbert langsung membelak saat melihat pemilik suara.

"Ah, Vatti. Selamat pagi. Aku tidak apa-apa... bagaimana tidurmu?" tanya Ludwig

"Tidurku nyenyak..." seperti Ludwig, Sigmund tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena secara tiba-tiba Gilbert memeluknya.

"Vatti..." panggil Gilbert

Sigmund terdiam awalnya. Ia bingung kenapa Matthew bersikap aneh di pagi hari ini. Namun setelah Sigmund sadar ada yang beda dari Matthew pagi ini, ia menyadari yang dihadapannya bukanlah Matthew. "Gilbert... kaukah itu?"

Kini Gilbert mengangkat kepalanya agar ia bisa melihat wajah ayahnya. "Ini aku, Vatti."

Sigmund langsung memeluk Gilbert dengan erat. "Kau kembali, nak.. akhirnya aku bisa bertemu denganmu..."

Setelah acara reuni keluarga yang singkat selesai, kini keluarga Beilschmidt sedang menikmati sarapan yang telah dibuat Ludwig. Hari ini hari Sabtu, sehingga Ludwig bisa dengan santai menyiapkan sarapan. Sarapan pagi keluarga kecil ini diisi dengan cerita-cerita Gilbert selama menjadi Matthew.

"Arthur, ayah angkat Matthew sangat tidak bisa memasak. Ia bisa saja dengan bangga menyiapkan makanan tapi masakannya selalu gosong dan hambar. Beruntung Alfred, kakak Matthew bisa memasak. Lalu, karena Matthew masih sekolah, aku jadi bisa merasakan kembali kehidupan sekolah..."

"Kau ingin kembali sekolah, kak?" Ludwig bertanya pada Gilbert sambil memotong roti panggang dengan pisau.

"Dari dulu aku ingin bersekolah, kok. Tapi mengingat kau lebih membutuhkan sekolah daripada aku, aku memutuskan untuk bekerja saja daripada bersekolah. Melihatmu bisa bersekoah jauh membahagiakanku daripada aku yang bersekolah."

"Jika kau ingin bersekolah, bersekolah lah, Gilbert. Tak usah kau pikirkan lagi biaya sekolah. Biar aku saja yang mengurusnya." perkataan Sigmund telah membuat Gilbert menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.

"Danke, Vatti..." Keadaan hening karena masing-masing melanjutkan sarapannya masing-masing. "Ne, Vatti..." Gilbert tidak melanjutkan kaliimatnya karena ia merasa ragu.

"Hm? ada apa?" Sigmund menyahut karena Gilbert tak kunjung melanjutkan kalimatnya.

"Sebelum aku bangun... aku bertemu dengan Mutti." Sigmund terpaku sejenak mendengarnya. Sedangkan Ludwig yang sedang mencuci piringnya, mematikan keran air agar ia bisa mendengar cerita Gilbert. "Ia merasa senang aku tumbuh sehat dan menjadi kakak yang baik untuk Ludwig... lalu ia juga senang Ludwig tumbuh sehat..."

"Lalu?"

"Ia bilang jika aku bertemu denganmu, sampaikan pesannya untukmu..."

"Apa pesannya?" Sigmund menelan ludah, gugup menunggunya.

"Rawatlah anak kita seperti aku merawat mereka selama ini. Izinkan aku menghajarmu saat kau ke tempatku..."

Sigmund terdiam mendengarnya, lalu tertawa. "Ke... kau kenapa?" Ludwig sampai bingung melihat reaksi ayahnya.

"Tidak... hanya saja isi pesannya sangat menggambarkan ibumu, Gil..." Gilbert tersenyum sedih melihat reaksi ayahnya. Sebenarnya ada satu kalimat lagi yang harus disampaikan Gilbert. Namun Gilbert tak ingin menyampaikannya, apalagi di hadapan Ludwig. Biarlah kalimat terakhir ini hanya ia dan ibunya yang tahu.

"Maafkan aku, Mutti..."

X

Matthew membuka matanya setelah ia merasakan sinar matahari mengenai wajahnya. Matthew mengenali langit-langit kamar yang ia lihat saat pertama kali melihatnya. ini langit-langit kamar miliknya. Matthew mencoba menoleh ke samping, ke arah tempat tidur Alfred. Air matanya tanpa sadar mengalir saat mengenali punggung Alfred. Matthew turun dari tempat tidur lalu berjalan menuju tempat tidur Alfred. Matthew memeluk Alfred dari belakang dengan erat.

"Hm... " sadar ada yang memeluknya, Alfred hampir terbangun dari tidurnya. Alfred membalikkan badannya sehingga Matthew dapat melihat wajahnya dengan jelas.

"Kak, aku kembali..." ucap Matthew pelan.

"A... selamat datang kembali, Matt..." ucap Alfred dengan mata terpejam lalu melanjutkan tidurnya. Matthew hanya bisa tertawa kecil melihatnya. Mungkin bagi Alfred, ucapan Matthew hanya bagian dari mimpi. Tak lama, pintu kamar terbuka dengan keras. Matthew dapat melihat Arthur dengan piyamanya yang berantakan masuk dengan terburu-buru.

"A..." Matthew ingin memanggil Arthur, namun Arthur segera memeluk Matthew dengan erat.

"Peter membangunkanku pagi ini... katanya, ia telah membawamu kembali..."

Matthew membalas pelukan Arthur. "Ah, aku kembali, ayah... Peter menjemputku, jadi aku pulang."

Arthur mengeratkan pelukannya kemudian menangis. "Maafkan aku... maafkan aku, Matthew..." Arthur tak henti-hentinya menangis.

"Kenapa kau meminta maaf, ayah?" Matthew merasa bingung sendiri melihat Arthur tidak mau melepaskan pelukannya.

"Hm...?" Alfred terbangun karena mendengar suara tangisan Arthur. "Artie? kenapa kau menangis..." meski pandangan Alfred masih kabur, Alfred tahu Arthur sedang menangis sambil memeluk Matthew. Arthur merenggangkan pelukannya, membuat Matthew dapat membalikkan badannya dan melihat Alfred.

"Selamat pagi, Kak." Sapa Matthew sambil tersenyum.

Alfred terdiam. Dilihat darimana pun juga, Alfred sadar yang di hadapannya kini adalah jiwa Matthew yang asli. Matthew telah kembali. "Mattie!" sama seperti Arthur, Alfred langsung memeluk Matthew dengan erat dan enggan untuk melepaskannya.

"Hehe... aku pulang." Arthur tersenyum lega saat melihat kedua anaknya akhirnya bisa bersama lagi, namun matanya terbelak saat sadar ada yang dilupakan.

"Astaga, hari ini kalian masih sekolah! ayo segera bersiap!" dengan terburu-buru, Arthur keluar dari kamar. "Kalian bersiap-siaplah biar aku yang menyiapkan sarapan."

"Tidak!" dengan refleks, Alfred dan Matthew berteriak dengan kompak, membuat Arthur berhenti berjalan.

"Kenapa kalian sangat kompak mengatakan 'tidak'?" tanya Arthur bingung.

"Hm... Ayah, karena aku baru pulang bagaimana jika aku saja yang membuat sarapan? Ayah rindu kan dengan sarapan buatanku?"

"Tapi kalau kalian terlambat..."

"Tenang, aku dan Kak Alfred bisa sangat cepat bersiap-siap, lagipula kita berdua sangat cepat jika berlari jadi kita takkan terlambat..."

Arthur terdiam mendengar penjelasan Matthew. ia ingin menyiapkan sarapan agar anaknya tidak terlambat, namun ia tidak bisa menolak permintaan Matthew dengan mata yang memelas. "Baiklah, jika itu mau kalian. Ayo segera bersiap!"

"Baik!" sahut Alfred dan Matthew secara bersamaan. Mereka berdua sama-sama menghela nafas saat Arthur sudah berjalan menjauhi mereka. Setidaknya hari ini mereka selamat dari sakit perut sebelum masuk sekolah.

X

Gilbert memainkan telfon genggamnya sambil sesekali meminum minuman yang sudah dipesannya. Sudah sepuluh menit sejak ia mengirim pesan kepada kedua sahabatnya, dan sudah lima menit ia menunggu di cafe ini. Francis dan Antonio tidak membalas pesannya, sehingga Gilbert ragu apakah menunggu mereka merupakan keputusan yang tepat atau tidak. Beruntung waktu kesabaran Gilbert terhadap teman-temannya adalah tiga puluh menit, jadi jika dalam dua puluh lima menit ke depan mereka berdua tidak datang, Gilbert akan pulang.

Tak lama, Gilbert mendengar suara para gadis di luar cafe. "Mereka datang." ucap Gilbert pelan. Begitu suara bel berbunyi saat pintu masuk cafe terbuka, Gilbert dapat melihat dua orang pria berbadan tinggi dan memakai kacamata hitam memasuki cafe dan berjalan menuju meja Gilbert. "Antonio! Francis!" Gilbet langsung memeluk kedua pria tersebut sambil berusaha mencium pipi mereka.

Pria dengan rambut pirang berkemeja biru, berusaha menghindari ciuman Gilbert. "Apa yang kau lakukan, Gilbert?" tanya Francis dengan nada kesal.

Pria dengan rambut coklat berkaos kuning menerima ciuman di pipinya dengan senang. "Aw, Gilbert.. aku senang kau kembali."

"Kenapa kau menghindari ciumanku, Francis? Kau tidak senang aku kembali?" tanya Gilbert yang terlihat protes. Francis tidak menjawab, ia hanya memalingkan wajahnya.

"Hahaha, jangan dihiraukan, Gilbert. Sedari kemarin mood nya sedang jelek."

"Hm..." Gilbert melirik Francis yang masih memalingkan wajahnya. "karena Arthur ya..." tebak Gilbert, membuat wajah Francis dan semakin memalingkan wajahnya.

"Huh, siapa pula itu Arthur?" dengan nada kesal, Francis pura-pura tidak mengenali nama yang disebut Gilbert.

"Ia yang menolak cinta Francis, ya Gilbo?" tanya Antonio penasaran.

"Ah, tidak... Arthur tidak menolak Francis..." Francis langsung membalikkan badannya dan mencengkram kedua lengan Gilbert.

"Arthur yang mengatakannya? Tak mungkin, Gilbo. Sudah jelas ia marah padaku karena aku mempunyai perasaan padanya."

"Perasaan kalian sama, Francis. Hanya saja sekarang bukanlah waktu yang tepat menurut Arthur untuk kalian bersama. Arthur masih memikirkan masa depanmu. Ia ingin cita-citamu terwujud, karena itu jika kau ingin bersama Arthur, katakan sekali lagi perasaanmu saat cita-citamu sudah terwujud. Itu pesan Arthur." Francis terdiam mendengarnya. Ia melepaskan cengkramannya lalu ia berjalan menjauhi Antonio dan Gilbert. "Mau kemana?" Gilbert menahan kepergian Francis dengan menarik kerah baju Francis dari belakang.

"Tentu saja pulang. Aku akan latihan di rumah. Jika cita-citaku sebagai koki internasional terwujud, aku akan melamar Arthur."

"Kau sangat semangat, Bonnefoy. Namun aku memanggil kalian kemari bukan untuk itu."

"Ano... bagaimana jika kita bicara sambil duduk dan minum?" tanya Antonio yang sudah duduk di kursi Gilbert sambil memegang sebuah cangkir berisikan kopi di tangan kirinya. Francis dan Gilbert setuju. Mereka berdua duduk, lalu Francis memesan minuman.

"Jadi, apa yang ingin kau ceritakan?" tanya Antonio. Gilbert menceritakan kesehariannya menjadi Matthew pada Antonio. sesekali Francis menyangkal kebenaran cerita Gilbert yang menurutnya terlalu dibuat-buat. Selama tiga puluh menit ke depan, cafe tersebut diramaikan dengan suara canda tawa Antonio, Francis, dan Gilbert.

"Sebelum aku siuman, aku bertemu dengan ibuku." Fancis dan Antonio langsung terdiam. "Ia terlihat sehat jika kalian bertanya bagaimana bentuknya." Francis dan Antonio tersenyum mendengarnya. "Ia menyampaikan sesuatu..." Gilbert kemudian menyampaikan pesan ibunya kepada kedua sahabatnya yang membuat mata Antonio dan Francis terbelak kaget.

"Tidak, Gilbert... tidak." Antonio terlihat sedih mendengarnya dan Francis terlihat kaget sampai ia tidak bisa berkata apa-apa.

"Kabulkan permohonanku dan ibuku ya, Antonio, Francis. Aku percaya kalian bisa melakukannya karena aku sudah menganggap kalian sebagai keluargaku sendiri."

X

Arthur menginjak gas dengan kencang saat lampu hijau menyala. Alfred dan Matthew mencengkram jok mobil dengan erat. Begitu sampai di tujuan, dengan cepat Arthur menginjak rem. "Sudah sampai!" seru Arthur.

"Artie! aku tahu kita akan telat jika kau tidak terburu-buru, tapi jangan sampai membuat seragam kami berantakan!"

"Berantakan atau tidaknya seragammu ya tanggung jawabmu, Alfred."

"Sudah, sudah... ayo Kak kita masuk sekolah. Bel berbunyi lima menit lagi." Matthew berusaha melerai, ia segera keluar dari mobil. Meski Matthew merasa badannya berat karena ia merasa ia belum siap untuk kembali ke sekolah. Arthur yang menyadari wajah Matthew memucat, merangkul Matthew.

"Kau tenang saja, Matt. Kemarin Alfred sudah memberi pelajaran pada murid-murid yang mengerjaimu, dan kau tahu? Gilbert sudah membantumu menyelesaikan masalahmu di sekolah. Kau tenang saja."

Mata Matthew terbelak kaget karena Arthur mengetahui permasalahan Matthew. "Ka... darimana kau tahu?"

"Mattie." kali ini Alfred berdiri di hadapan Matthew. "Sebelum Gilbert pergi, ia sudah menceritakan semuanya pada kami. Tentang perilaku teman-temanmu kepadamu maupun tentang dirimu yang tidak mau cerita agar aku tidak melukai teman-temanmu. Gilbert bilang ia juga pernah mengalaminya, dan ia tahu bagaimana caranya agar teman-temanmu tidak mengganggumu lagi. Aku percaya pada Gilbert bahwa ia telah membantumu, jika tidak kalian tidak akan kembali ke tubuh asli kalian, bukan?"

Matthew menundukkan kepalanya, "Maafkan aku karena tidak bercerita..."

"Tidak apa-apa..." Arthur memukul pelan pundak Matthew, "maafkan aku juga karena tidak menyadarinya. Aku merasa gagal sebagai seorang ayah."

"Apa yang kau katakan?!" dengan serempak, Alfred dan Matthew protes. "Kau tidak gagal sebagai seorang ayah, kau adalah ayah terhebat di dunia!"

Arthur terkejut melihat reaksi si kembar. Ia hanya tertawa kecil lalu memeluk Alfred dan Matthew. "Ah, kalian juga anak-anak yang hebat... sekarang, masuklah. Akan kujemput saat pulang."

Alfred dan Mattgew berjalan menjauhi Arthur sambil melambaikan tangannya. Matthew masih merasa takut saat ia memasuki sekolah, namun rasa takut itu hilang setelah melihat yang banyak menyapa Alfred dan dirinya.

"Selamat Pagi Kak Alfred! Selamat pagi Kak Matthew!"

"Oh, Pagi!" Alfred membalas sapaan adik kelasnya dengan semangat.

"Uhm, pagi..." sedangkan Matthew membalasnya dengan malu-malu.

Tak hanya adik kelas, banyak siswi yang menyapa mereka berdua.

"Selamat pagi Alfred! Matthew!"

"Pagi..." kali ini Alfred dan Matthew membalas secara bersamaan.

"Ne, Alfred, hari ini ada pelajaran olahraga?" tanya salah satu teman Alfred.

"Hm.. hari ini kelasku dan kelasnya Matthew digabung untuk pelajaran olahraga. Benar bukan, Matt?"

"Ya..."

"Kyaaa... olahraga apa nantinya?"

"Renang." jawab Alfred.

"Kyaaa... kami pasti akan menonton kalian!" sahut salah satu siswi yang bertanya dengan semangat.

"Kami tidak akan melewatkan dua lelaki kembar yang tampan olahraga bersama di sekolah ini!"

"Ok... jangan lupa liat kita ya." Alfred kemudian merangkul Matthew. "Kita akan menunggu kalian." Matthew hanya bisa tersenyum dengan kaku. Ia tidak menyangka hari ini semua orang banyak baik padanya. Tidak ada yang menjelekkan dirinya dari belakang, tidak ada yang menyindirnya. Bahkan Matthew terkejut saat ada yang mengatakan akan melihatnya berenang. Baru pertama kalinya ia merasa disenangi orang selain keluarganya.

"Kak..." Matthew memanggil Alfred sesaat sebelum mereka berpisah.

"Hm?"

"Gilbert hebat ya. ia bisa menyelesaikan masalahku dan membuatku disenangi banyak orang..."

"Ya... kita harus mengunjungi Gilbert dan berterima kasih padanya."

"Ok."

X

Beberapa bulan kemudian, Kediaman Yao

"Dingiiiin..." Yao menggertakan giginya karena tidak kuat menahan dinginnya udara. "Aku sudah memakai jaket tebal, sarung tangan, dan topi tebal... kenapa masih terasa dingin ya?"

"Kau lupa memakai penghangat badan, kak." sahut Kaoru kesal. "Hari ini sudah memasuki musim dingin, dan kau lupa pada penghangat tubuh. Kalau kau jatuh sakit, bagaimana?"

"Kalau aku sakit, kalian akan merawatku, bukan begitu Kiku?"

"Hm, tentu saja. Beruntung hari ini kita belanja bahan makanan sup hangat."

"Tapi apa bahan makanan ini tidak terlalu banyak?" tanya Kaoru sambil memeriksa tas belanja.

"Biasanya kita memasak bagian keluarga Beilschmidt juga. Tapi kita lupa kalau keluarga Beilschmidt sedang pergi liburan. Tidak apa-apalah, lumayan untuk sarapan besok."

Sudah lebih dari tiga bulan Gilbert kembali ke tubuh aslinya. Kiku merasa senang karena Ludwig sudah tidak membenci Gilbert lagi. Terlebih kini Gilbert dan Ludwig bisa tinggal bersama ayah kandung mereka. Meski tanpa ibu, Kiku dapat melihat keluarga Gilbert berubah menjadi keluarga yang bahagia.

Gilbert kembali bersekolah. Ia kuliah di universitas yang sama dengan Antonio. Gilbert melepas semua pekerjaannya, kata Ludwig agar Gilbert bisa fokus belajar. Musim liburan yang sudah dimulai sejak tiga hari yang lalu membuat Keluarga Beilschmidt memutuskan untuk liburan di sebuah desa tempat Sigmund dan Ludwig pernah tinggal. Gilbert sangat bersemangat karena ia bisa mengenal Ludwig lebih jauh di desa kelahiran Ludwig. Terasa sepi saat Keluarga Beilschmidt sudah pergi untuk berlibur, karenanya tanpa sadar Kiku membeli bahan makanan yang lumayan banyak. Mungkin karena Kiku ingin Gilbert segera pulang dan memakan masakan mereka.

Selama perjalanan, Kiku, Kaoru, dan Yao terus membicarakan tentang Keluarga Beilschmidt, tentang betapa mereka tidak sabar menunggu Gilbert pulang dan mendengar kisah tentang liburannya. Tinggal beberapa meter lagi sebelum mereka sampai di rumah, namun Kiku sudah berhenti berjalan. "Ada apa, kiku?" Yao dan Kaoru ikut berhenti berjalan dan terlihat bingung karena tiba-tiba Kiku berhenti berjalan.

Kaoru dan Yao mengikuti arah pandang Kiku, karena Kiku terlihat sangat terkejut hingga menjatuhkan tas belanja mereka. Kaoru dan Yao melihat ada seorang wanita berambut pendek dan pirang sedang berdiri di depan pintu pagar rumah mereka bersama seorang anak kecil berambut hitam panjang yang terikat dengan rapi. Tak jauh dari kedua orang asing itu berdiri terdapat sebuah mobil hitam yang terlihat mewah. Sama seperti Kiku, Kaoru dan Yao terkejut melihat kedua orang asing yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Hyung Soo..." dengan segera Yao berjalan cepat menghampiri kedua orang asing tersebut. Sang wanita terkejut saat tiba-tiba Yao menghampirinya. "Maaf, anda siapa?" tanya Yao berusaha tenang. Ia memperhatikan anak kecil yang berdiri di sebelah wanita tersebut berusaha menyembunyikan wajahnya di balik rok wanita tersebut yang panjang. Astaga, Yao harus benar-benar melihat wajah anak itu agar ia bisa memastikan bahwa anak itu benar-benar adiknya yang hilang lima tahun yang lalu, Hyung Soo!

"Perkenalkan, nama saya Sofia." Sofia mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan dirinya. "Saya datang dari luar negeri, dan saya ingin memastikan apakah benar ini rumah yang tertera dalam alamat ini?" tanya Sofia sambil memberikan secarik kertas kecil kepada Yao.

Yao membaca tulisan pada kertas itu. "Iya, benar."

"Benarkah? syukurlah Foma!" Sofia terlihat senang sambil berseru pada anak kecil yang berdiri di sampingnya.

Foma? artinya aku salah sangka... kata Yao sedikit kecewa dalam hati.

"Akhirnya kau bisa menemukan keluargamu!"

...tunggu, keluarga?

Foma menganguk kecil sambil tetap berusaha bersembunyi. "Hei, kau jangan bersembunyi saja. Ayo perkenalkan dirimu. Kita sudah menemukan keluargamu, loh!"

Foma menampakkan dirinya, dan saat itu juga Yao, Kaoru, dan Kiku terpaku melihatnya. Rambut hitam dengan kulit putih dan mata yang mirip dengan mereka sekeluarga. Di hadapan mereka terlihat Yong Soo dengan versi rapi sedang memperkenalkan diri. "Perkenalkan, nama saya Foma. Saya sudah bekerja dengan Nona Sofia selama empat tahun. Sekarang..."

"Brak!" Foma belum selesai memperkenalkan diri karena pintu rumah Yao terbuka lebar. Foma berhenti bicara dan terpaku melihat orang yang membuka pintu dengan kasar itu. Seorang anak yang mempunyai wajah yang sangat mirip dengannya dengan rambut yang berantakan. Foma terpaku melihat Yong Soo. Dan saat mata mereka bertatapan, mereka sama-sama mengeluarkan air mata.

"Hyung!" Yong Soo berteriak memanggil nama asli Foma sambil berlari dan memeluknya.

Foma ingin membalas pelukan dari orang asing tersebut namun ia terlihat ragu. Tangannya bergemetar dan air matanya terus mengalir. Tanpa Foma sadari, perlahan-lahan ingatannya mulai kembali. "Yong.. Yong Soo..." Hyung Soo kemudian membalas pelukan Yong Soo dengan pelukan yang erat. Mereka berdua sama-sama menangis sambil memanggil nama kembaran mereka masing-masing. Hyung Soo yang melihat ketiga kakaknya berdiri dengan bingung juga memanggil nama mereka. "Yao-hyung, Kaoru-hyung, Kiku-hyung... aku... Hyung Soo pulang..."

Yao, Kiku, dan Kaoru langsung memeluk adik kembar mereka secara bersamaan. Mereka bertiga pun ikut menangis melihat adik mereka yang sudah menghilang secara lima tahun sudah kembali.

"Hattcchii!" pelukan lima saudara ini langsung lepas saat mereka mendengar suara bersin.

Sofia tersenyum dengan wajahnya yang memerah karena malu. "Boleh dilanjutkan di dalam? Di sni... dingin."

X

"Maafkan atas ketidaksopanan kami, Nona Sofia." Xiao Mei menaruh cangkir kecil berisikan teh di hadapan Sofia lalu duduk di sebelah Sofia.

"Tidak apa, saya juga minta maaf karena saya datang dengan mendadak."

"Tidak, justru kami berterima kasih karena sudah membawa Hyung Soo pulang." Di ruang tamu, Sofia ditemani oleh Yao, Kaoru, Lien Chung, Xiao Mei, dan Kasem Chao. Mereka semua berkumpul untuk mendengarkan cerita Sofia kemana saja Hyung Soo lima tahun terakhir ini. Sedangkan Hyung Soo dan Kiku sedang menemani Yong Soo mandi di lantai atas.

"Jadi..." Sofia memulai ceritanya. "Saya menemukan Foma, atau Hyung Soo empat tahun yang lalu di sebuah lahan yang luas tempat keluarga saya merencanakan pembangunan perusahaan keluarga. Lahan tersebut digunakan untuk tempat prostitusi, pekerjanya adalah anak-anak yang diculik dan diperdagangkan. Mereka diberi narkoba agar mereka mau bekerja dan melayani pelanggan."

"Astaga..." Xiao Mei menutup mulutnya karena tidak percaya, sedangkan Kaoru menggertakan gigi dan mengepalkan tangannya dengan keras. Yao berusaha tegar mendengarnya, begitu pula Lien Chung dan Kasem Chao.

"Keluarga saya berusaha menyelamatkan anak-anak yang masih bisa diselamatkan. Kami merawat mereka di Rumah Sakit lalu kami memulangkan mereka ke keluarga mereka masing-masing. Hanya saja... Foma mengalami amnesia. Ia tidak ingat siapa dirinya ataupun siapa keluarganya, karena itu saya berencana untuk membawanya ke Panti Asuhan agar ia bisa diasuh oleh keluarga yang lebih baik. Namun Foma tidak mau, daripada di Panti Asuhan ia lebih memilih bekerja pada keluarga saya. Akhirnya adik saya, Ivan mengangkat Foma sebagai pelayan di rumahnya. Ah, Ivan juga yang memberinya nama Foma."

"Sebulan yang lalu, Foma mengatakan ia telah menemukan alamat tempat tinggal keluarga aslinya. Foma bilang ia telah diberitahu tentang keadaan keluarga kalian dan alamat ini dari seseorang bernama Gilbert."

"Ah.. Gilbert adalah tetangga kami." sahut Yao.

Sofia terdiam sebentar, lalu ia membungkukkan badannya. "Saya minta maaf atas keterlambatan saya membawa pulang Hyung Soo. Saya sudah mendengar cerita Foma tentang keluarga kalian setelah Foma menghilang, Gilbert yang menceritakannya. Saya merasa bersalah atas keterlambatan ini, jika saya segera mencari tentang kalian, pasti keluarga kalian..."

"Jangan meminta maaf, Nona Sofia." Xiao Mei menepuk pelan bahu Sofia. "Bukankah kami sudah mengatakan kami berterima kasih pada Anda? Masa lalu dalam keluarga kami adalah masa lalu kami, sedangkan untuk bisa hidup kami harus memikirkan masa depan. Karena itu kami tidak pernah menyesali ataupun ingin mengingat masa lalu kami."

"Kematian orang tua kami bukan karena keterlambatan Anda membawa Hyung Soo pulang," kali ini Kaoru yang berbicara. "kematian orang tua kami karena kesalahan kami sebagai anak yang tidak bisa mencegah kematian mereka. Kami sudah sepakati itu."

"Kami justru berterima kasih karena sudah merawat Hyung Soo selama ini." seru Lien Chung.

"Kami senang Hyung Soo sehat sehat saja." Kasem Chao mengatakannya sambil tersenyum.

"Jangan pernah beranggapan lagi bahwa Anda bersalah, Nona Sofia." kini Yao yang berbicara. "Anda tidak salah apa-apa."

"Ah... terima kasih semua..." Sofia tersenyum lega mendengarnya. Lega karena keluarga asli Foma tidak menuntut nya dan lega keluarga asli Foma terdiri dari saudara yang baik-baik. Sofia bisa tenang mengembalikan Foma ke keluarga aslinya.

"Nona Sofia." Sofia menoleh saat mendengar suara Foma memanggilnya. Sofia melihat Foma berjalan menuruni tangga lalu menghampirinya. "Nona tidak apa-apa? Nona terlihat sedih." tanya Foma sambil memeluk Sofia.

"Aku tidak apa-apa, aku merasa senang keluargamu baik, Foma." kata Sofia sambil mengelus rambut Foma.

"Nona akan ikut kami makan malam, bukan?"

"Tidak, Foma. Nona masih harus menyelesaikan masalah Ivan dan Gilbert. Nona sudah bilang bukan, jika tidak diselesaikan dengan segera, bisa jadi perusahaan Ivan akan bangkrut." Foma terlihat sedih mendengar jawaban Sofia. "Besok Nona akan kembali kesini dengan barang-barangmu, ok? Kita masih bisa bertemu."

"Sering-seringlah datang kemari, Nona Sofia." Sofia dan Hyung Soo menoleh saat mendengar suara Yao. "Anda sudah dianggap sebagai keluarga oleh adik kami karena itu Anda juga merupakan keluarga kami."

"Terima kasih atas tawaran Anda, Tuan Yao. Sekarang, boleh saya tahu dimana tempat tinggal Gilbert?" tanya Sofia. "Saya ingin berterima kasih kepada Gilbert karena telah memberi tahu alamat ini."

"Oh, Gilbert tinggal tak jauh dari rumah kami." Yao berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan keluar rumah. Sofia dan Hyung Soo mengikuti Yao dari belakang. "Anda lihat rumah bercat putih itu? itu rumah keluarga Beilschmidt, keluarga Gilbert."

"Oh, terima kasih Anda sudah menunjukannya. Sekarang saya ingin pergi menemui Gilbert karena itu saya ingin pamit."

"Keluarga Beilschmidt sedang pergi liburan, jika Anda ingin pergi menemuinya biar saya tuliskan dulu alamatnya." Seru Kaoru lalu pergi meninggalkan mereka.

"Nona." Sofia menoleh saat Hyung Soo memanggilnya. "Apa nona benar-benar ingin pulang?"

"Iya, Foma. Nona masih harus pergi menyelamatkan perusahaan keluarga. Kita sudah sepakat bukan, kita datang kemari agar kau bisa bertemu dengan keluargamu dan Ivan bisa menemui Gilbert." Hyung Soo menganguk pelan. "Kau jadi anak yang baik ya. ingat, mereka adalah keluargamu, bukan majikanmu. Kau tak perlu bersikap kaku seperti kau bersikap pada Ivan. Kau masih tetap harus menghormati kakakkmu, dan sayangi adikmu. Jangan takut untuk menelfonku, aku pasti akan sering mengunjungimu. Mengerti?" Foma menganguk pelan lagi. "Sini, Kupeluk kau." Sofia memeluk Hyung Soo dan Hyung Soo menerima pelukan Sofia.

"Terima kasih, Nona." Ucap Hyung Soo lalu menangis. Sofia hanya tersenyum mendengarnya. Sofia lalu melepaskan pelukannya setelah mendengar suara Kaoru memanggilnya.

"Ini alamat desa tempat mereka liburan." Sofia menerima secarik kertas kecil yang diberikan Kaoru.

"Terima kasih, Tuan Kaoru. Saya pamit dulu." Sofia lalu berjalan melewati pagar rumah dan melambaikan tangan sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, Sofia melihat adik laki-lakinya sedang memandang pemandangan luar sambil menopang dagu. "Ivan." Ivan tidak bereaksi mendengan panggilan Sofia. "Gilbert sedang tidak ada di rumah, mereka memberiku alamat tempat mereka liburan."

"Hm." sahut Ivan pendek.

"Kau ingat janjimu?"

"Ya... aku akan meminta maaf lalu pulang..." jawab Ivan dengan nada malas.

"Kau ini jangan bersikap malas seoerti ini! kau sudah tidak mau turun untuk menemui keluarga Foma meski kau ini adalah majikan asli Foma lalu kau malas menemui Gilbert? Padahal Foma mempunyai saudara kembar yang sangat mirip dengannya."

"Aku tahu."

"Huh?"

"Aku tahu Foma mempunyai saudara kembar, karena itu aku memberinya nama 'Foma'"

"Kau tahu darimana?" Ivan tidak menjawab, membuat Sofia menghela nafas. Terkadang, Sofia tidak mengerti dengan jalan pikir dan sikap Ivan. "Ya sudahlah, yang penting kau harus sering menjenguk Foma dan kali ini, kau harus serius meminta maaf pada Gilbert."

"Kak, kenapa harus sekarang aku pergi menemui Gilbert? aku belum siap menghadapinya, lagipula jangan campuri urusanku."

"Jika tidak sekarang, perusahaan keluarga kita akan bangkrut. Setelah Gilbert pergi, kau menjadi lebih emosional dan kau tidak bisa mengerjakan pekerjaanmu dengan benar. Perusahaan keluarga kita hampir bangkrut karena kau belum menyelesaikan masalahmu dengan Gilbert."

Ivan tidak melawan perkataan kakaknya karena kakaknya benar. Sepertinya ia harus menemui Gilbert dan menyelesaikan masalah mereka agar ia bisa fokus bekerja.

"Pak, tolong ke alamat ini." ujar Sofia pada sopir mobil mereka.

X

Langit berwarna oranye saat Ludwig terbangun dari tidur siang nya. Ia terbangun karena ia merasa kedinginan, selimut tebal yang menyelimutinya pun tidak mampu menghangatkannya. Ludwig keluar kamar dan berjalan menuju perapian. Rumah terasa sepi, seperti tidak ada orang. Ludwig jadi panik saat memikirkan mungkin hanya ia sendiri di rumah ini. Namun ia tersenyum saat melihat Gilbert sedang duduk di dekat perapian.

"Sedang menghangatkan diri, kak?" Ludwig ikut duduk di sebelah Gilbert yang sedang duduk sambil memeluk kedua kakinya.

"Ah, selamat sore, West. Udara sangat dingin di sini!" ujar Gilbert sambil memeluk lebih erat lagi kedua kakinya.

"Mau kuambilkan selimut?"

"Tidak usah." Gilbert lalu mendekatkan badannya ke Ludwig. "Aku sudah mempunyai selimut yang lebih besar." Gilbert menarik tangan Ludwig lalu menaruh di atas pundaknya. Ia menyandarkan badannya ke dada Ludwig.

"Ugh, kau berat, Kak." Keluh Ludwig meski ia merasa senang dengan sikap manja kakaknya. Apalagi saat melihat Gilbert tersenyum mendengar Ludwig mengeluh, Ludwig jadi ikut tersenyum.

Sudah tiga hari keluarga Beilschmidt menginap di rumah ini. Ludwig ingat dengan rumah ini, dimana ia, ibu, dan ayahnya tinggal. Ludwig juga ingat dulu ia hanya bermain berdua saja dengan ibunya sampai ibunya meninggal, ayahnya membawa Ludwig pergi dari rumah ini. Ludwig bingung kenapa ia harus pergi dari rumah ini hanya karena ibunya meninggal, namun ayahnya menjawab karena ia akan tinggal dengan kakaknya. Ludwig tak pernah membayangkan ia akan mempunyai saudara, apalagi kakak. Ia pikir setelah ibunya meninggal, ia sudah tidak mempunyai teman bermain. Sekarang Ludwig merasa beruntung ayahnya telah membawa pergi Ludwig dari rumah ini dan mempertemukannya dengan Gilbert.

Setelah Gilbert kembali ke tubuh aslinya, Ludwig berusaha membayar kesalahannya dengan bersikap baik pada Gilbert dan berusaha menjadi adik yang diharapkan Gilbert. Mereka masih sering bertengkar, namun jika tidak bertengkar bukan saudara, bukan? Ludwig merasa senang sikap Gilbert tidak berubah. Tetap seorang kakak yang baik, yang ramai, dan periang. Terlebih saat ayah mereka bilang mereka akan berlibur di rumah Ludwig yang lama, Gilbert sangat bersemangat. Katanya ia jadi bisa mengenal Ludwig kecil lebih jauh, Ludwig yang saat itu belum bertemu dengan Gilbert.

"Ne, West." Panggil Gilbert.

"Hm?"

"Saat kecil, jika kedinginan apa yang kau lakukan disini?"

"Hm... Mutti akan duduk di kursi dekat perapian lalu membacakanku buku cerita hingga aku tertidur. Kenapa kak, kau juga ingin kubacakan dongeng?"

"Aku bukan anak kecil." Gilbert lalu memukul pelan pipi Ludwig sambil menggembungkan pipinya. Ludwig hanya tertawa melihat reaksi Gilbert. "Bagaimana denganmu, Kak?"

"Saat kedinginan, Mutti akan membuatkanku dan Francis cokelat panas dengan biskuit. Kau tahu? cokelat panas dan biskuit itu makanan mahal bagi ibu, jadi aku dan Francis baru bisa menikmati itu saat kami kedinginan. Kami tidak mempunyai perapian ataupun air panas untuk mandi, karena itu saat musim dingin aku sangat jarang mandi, hehe..." Gilbert tertawa kecil setelah bercerita. Mempunyai saudara dari beda ibu memberikan cerita tersendiri bagi Gilbert. Ia senang bisa berbagi cerita dengan Ludwig karena kebiasaan ibu mereka yang berbeda.

"Kau jarang mandi tapi kulitmu lebih putih dari aku, tidak adil, Kak!" protes Ludwig.

"Hei, kulit putihku ini karena aku albino. Lagipula kau adikku tapi badanmu lebih besar dariku, aku juga iri, tahu!" seru Gilbert. Mereka berdua terdiam sebentar lalu tertawa bersama. Tak lama, Gilbert dan Ludwig mendengar suara bel pintu berbunyi.

"Biar aku saja yang membukanya." kata Gilbert.

"Aku juga ikut." Ludwig ikut berjalan mengikuti Gilbert.

Gilbert membuka dengan perlahan pintu rumahnya. "Ya, dengan..." kalimat Gilbert terputus karena bukan orang yang berdiri di hadapannya, melainkan bunga matahari yang tinggi. Gilbert terkejut saat melihat bunga tersebut. Tanpa perlu diberi tahu, Gilbert sudah tahu siapa orang yang memegang bunga tersebut. Jika melihat bunga matahari, hanya ada satu orang yang terlintas di pikirannya. "Ivan..."

Ivan menyingkirkan bunga matahari dengan perlahan, jantungnya berdetak dengan cepat karena ia penasaran melihat Gilbert dengan tubuh aslinya. Setelah melihat seorang pria yang lebih pendek darinya, berambut putih dan bermata merah, Ivan bersembunyi lagi di balik bunga mataharinya yang ia pegang untuk menyembunyikan wajah merahnya. "Hai Mat... maksudku Gilbert. Sudah lama tidak bertemu."

Perasaan Gilbert campur aduk melihat Ivan berdiri di hadapannya sekarang. Ia ingin memeluk Ivan karena ia sudah lama tidak bertemu dengannya, namun ia juga ingin lari dan bersembunyi saat mengingat kalimat Ivan yang telah menyakiti hatinya. Ivan dan Gilbert sama-sama terdiam, membuat Ludwig penasaran dengan tamu yang tidak dikenalinya. "Kak, ia siapa?"

"Ia... Ivan, Ivan Braginski." Gilbert lalu memperkenalkan Ivan pada Ludwig, "Ivan, ini Ludwig, adikku." Ivan menyingkirkan bunga mataharinya lalu melihat pria yang lebih pendek darinya namun kali ini dengan rambut pirang dan bermata biru. Beda dengan Gilbert yang kurus, badan pria ini lebih berisi.

"Ludwig, Ludwig Beilschmidt." Ludwig mengulurkan tangannya.

"Ivan, Ivan Braginski... boleh aku bicara berdua saja dengan Gilbert? jika Gilbert mengizinkan..." Ivan kembuali menyembunyikan wajahnya di balik bunga matahari.

Ludwig melirik Gilbert, dan Gilbert menghela nafas. "West, kau tunggu saja di ruang tengah. Hangatkan dirimu, aku akan bicara dengan Ivan di ruang tamu." Ludwig menganguk dan melaksanakan perintah Gilbert. Kini Gilbert berdiri sambil bertolak pinggang. "Jadi, ada apa kau kemari?"

"Aku... ingin minta maaf. Perkataanku kurang ajar waktu itu." Ivan mengintip reaksi Gilbert dari balik bunga matahari. "Kau pasti marah padaku."

"Aku tidak marah padamu... aku sakit hati mendengarnya, karenanya aku sedih..."

"Kakakku marah padaku saat Foma menceritakan kejadian itu padanya. Kakakku bilang aku laki-laki jahat dan tidak berperasaan. Ya... aku sering mendengar julukanku sebagai pria yang jahat dan tidak berperasaan, jadi aku pikir aku itu tidak masalah. Namun saat tahu kau lah yang kujahati... aku menjadi lebih emosional setelah itu. Tidak bisa fokus pada pekerjaan bahkan perusahaan keluargaku hampir bangkrut karena sikapku. Jadi... aku mau minta maaf padamu. Sesungguhnya aku juga punya perasaan padamu dan aku ingin kau berada di sisiku. Jangan tinggalkan aku. Aku sadar aku butuh dukunganmu."

Gilbert terdiam mendengarnya. Ia ingin menangis saat mendengar Ivan juga mempunyai perasaan padanya, namun sepertinya ia harus menahan air matanya.

"Jika kau memaafkanku, ambil bunga matahari ini, Gil... jika kau tidak memaafkanku, kau boleh menyuruhku pergi."

"Apa yang kau katakan?" Gilbert tidak bisa menahan sikap lagi. Ia menyingkirkan bunga matahari dan mulai mendekatkan wajahnya pada wajah Ivan meski Gilbert harus jinjit terlebih dahulu. Ivan terkejut saat bibir Gilbert mengenai bibirnya. "Tentu saja aku ambil bunga ini saat tahu perasaan kita sama." Gilbert mengambil bunga matahari yang dipegang Ivan lalu membawanya masuk ke dalam rumah.

"Hm, aksi yang cukup berani setelah sudah lama kita tidak bertemu, Gilbert." Ivan mengikuti Gilbert memasuki rumah lalu duduk di kursi ruang tamu.

"Karena siapa aku bersikap seperti itu?" wajah Gilbert sedikit memerah namun ia berusaha mengacuhkannya. "Terima kasih atas bunganya..."

Ivan tersenyum saat melihat Gilbert menyandarkan bunga mataharinya ke dinding. Ia tak menyangka tubuh asli Girlbert sangat berbeda dengan tubuh Matthew. Jika Ivan melihat Matthew sebagai beruang kecil, maka Ivan melihat Gilbert sebagai kelinci putih kecil dengan bola mata merah yang besar. Ivan tersenyum saat ia sadar keputusannya menemui Gilbert tidak salah.

"Jadi, aku sudah memaafkanmu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Apa aku bisa menginap di sini? Kakakku meninggalkanku dan menyuruhku untuk bisa berbaikan denganmu sampai kau tidak marah lagi kepadaku."

"Hm... ini rumah Ludwig, coba aku tanyakan dia dulu."

"Boleh saja, aku mengizinkan." tanpa di duga Ludwig datang ke ruang tamu sambi membawa tiga gelas berisi beer. "Beer?" tawar Ivan.

"Maaf, aku hanya minum vodka." tolak Ivan.

"Hah, kenapa kau menolak beer yang ditawarkan Ludwig? Ini sangat enak, Ivan!" Gilbert mengambil satu gelas dari tangan Ludwig dan menyerahkannya pada Ivan. "Minum!"

Ivan mengambil gelas tersebut setelah melihat wajah marah Gilbert yang terlihat lucu di matanya. "Ternyata bukan hanya berani, tapi kau juga pemaksa, Gilbert."

"Ada masalah?" tanya Gilbert dengan nada tidak senang dan dijawab Ivan dengan gelengan kepala lalu meminum beer nya.

"Aku anggap aku minum ini agar tubuhku tetap hangat, Gilbert. Terima kasih, Ludwig."

"Ya... jadi, Ivan, apa hubunganmu dengan Gilbert?" kali ini Ludwig bertanya dengan serius. Ivan tahu mata Ludwig sedang mengamatinya, karena benar Ludwig sedang mengamatinya. Ludwig tidak ingin kehilangan kakakknya lagi. Sebagai seorang adik, ia juga harus memastikan Gilbert tidak bersama orang yang mencurigakan.

"Hm... coba ku pikir. Tiga bulan yang lalu Gilbert menyatakan perasaannya padaku lalu kujawab hari ini. Jadi... aku dan Gilbert adalah pasangan kekasih, mungkin?"

"Uhuk!" Gilbert yang saat itu sedang minum langsung tersedak. "Ap... apa?! tapi kau hanya memintaku untuk minta maaf kepadamu! Bukan untuk menjadi kekasihmu!"

"Kalau begitu," Ivan lalu mengambil tangan kiri Gilbert dan menatap Gilbert. "Gilbert, maukah kau menjadi pasanganku?" kemudian Ivan mencium punggung tangan Gilbert, membuat wajah Gilbert dan Ludwig memerah.

"Ji.. jika mau mu begitu, boleh..." jawab Gilbert sambil berusaha menghindari kontak mata dengan Ivan.

"Hah... silahkan kalian menikmati waktu kalian di sini ya. Aku akan menyiapkan makan malam. Ayah tadi menelfon ia tidak bisa pulang jadi kita makan malam bertiga." Ludwig meninggalkan ruang tamu sambil tersenyum kecil. Sepertinya kakaknya terlihat bahagia. "Jika ia bisa membuat kakak tersenyum... ya sudahlah." Ludwig lalu mengambil telfon genggamnya untuk mengabari Kiku berita bahagia ini.

X

"West, Ivan! Lihat! Salju pertama tahun ini!" seru Gilbert saat melihat salju turun dari jendela dapur. "Huwaaa besok ayo kita bikin boneka salju!" seru Gilbert bersemangat.

"Kak, habiskan dulu makananmu." ucap Ludwig dengan nada tidak peduli.

"Ludwig, masakanmu enak juga..." seru Ivan sambil melahap makanannya.

"Hei, kalian jangan mengacuhkanku!" Gilbert tidak senang ajakannya tidak ditanggapi oleh Ludwig dan Ivan.

"Kami tidak mengacuhkanmu, Gilbert. Bagaimana kalau kita habiskan dulu makan malam lalu kita mandi bersama?" wajah Ludwig dan Gilbert langsung memerah mendengar ajakan Ivan.

"I... Ivan! Kau jangan mengajakku di depan Ludwig!"

"Uhuk!" Ludwig pura-pura batuk untuk menutupi malunya. "Kalian terserah mau melakukan apa di rumah ini, aku tidak akan mengganggu. Aku juga akan tidur di kamar Ayah jika kalian... ingin menghabiskan malam berdua."

"Wah, kau sangat perhatian, Ludwig!" ujar Ivan senang

"Te... Terima kasih, West..." Gilbert mengucapkannya dengan nada malu-malu. Ivan, Gilbert, dan Ludwig segera menghabiskan makan malam mereka. Seperti yang dikatakan Ludwig, ia tidak mengganggu Ivan dan Gilbert. Ludwig langsung masuk ke dalam kamar ayahnya lalu menyibukkan diri dengan membersihkan senjata untuk memburu milik ayahnya atau sekedar bertukar pesan dengan Kiku, Antonio, dan Francis lewat telfon genggamnya.

Gilbert yang senang dengan sikap Ludwig mengucapkan selamat tidur pada Ludwig sebelum Ludwig memasuki kamar. "Aku mandi dulu..."

"Tidak ingin berdua?" tanya Ivan.

"Tidak! aku... aku malu... jangan di kamar mandi, aku mohon." Gilbert menundukkan kepalanya untuk menutupi wajah maunya.

"Baiklah, kalau begitu dimana aku harus menunggumu selesai mandi? di ruang tamu? atau... di kamarmu?"

"Kau boleh menunggu di kamarku." Gilbert menarik tangan kanan Ivan dan menuntutnya ke sebuah ruangan yang letaknya berada di dekat dapur. Begitu mereka memasuki ruangan, Gilbert menyalakan lampu agar Ivan bisa melihat isi ruangan. Ruangan ini adalah kamar Gilbert. tak jauh dari pintu masuk, terdapat pintu geser kaca yang besar. Ivan dapat melihat sebuah taman kecil dari pintu kaca tersebut. "Maaf, berantakan."

"Tidak... kamarmu keren, Gilbert. Ada taman kecilnya." Ivan dapat melihat terdapat bunga camelia yang bermekaran.

"Ini kamar Ludwig dulunya, dan taman kecil itu adalah taman bermain untuk Ludwig. Ayah yang membuatkannya." Gilbert lalu mempersilahkan Ivan untuk melihat-lihat isi kamar Gilbert yang disambut dengan baik oleh Ivan.

Selagi Gilbert mandi, Ivan mengelilingi kamar Gilbert. Terdapat beberapa foto Gilbert dan keluarganya. Ivan jadi tahu seperti apa wajah ayah dari Gilbert dan Ludwig. Ivan juga menemukan beberapa barang berpasangan, seperti dua barbel, dua tali skipping, dua teropong kecil, ataupun dua senjata mainan kecil. Ivan tersenyum kecil saat memikirkan barang-barang tersebut milik Gilbert dan Ludwig.

Ivan lalu duduk di atas tempat tidur. Ia tidak menyangka diri asli Gilbert akan semenyenangkan ini, tidak, sebenarnya Ivan sadar Gilbert mempunyai kepribadian yang menarik dan menyenangkan. Karenanya Ivan tertarik pada Gilbert saat Gilbert masih berada di dalam tubuh Matthew meski mereka hanya bertemu beberapa hari, dan Ivan mau datang jauh jauh kemari untuk meminta maaf pada Gilbert. Ivan berharap dengan begini, ia bisa bersama dengan Gilbert untuk waktu yang lebih lama.

"Kau tidak ingin mandi? masih ada air panas." tak lama Gilbert datang dengan piyama lengan panjang dan juga lengan panjang. Rambutnya masih terlihat basah, dan di atas kepala Gilbert terdapat handuk kecil berwarna putih.

"Bagaimana kalau kita langsung tidur saja?" Ivan merebahkan badannya di atas tempat tidur dan membuka tangan kanannya. Ia memukul pelan kasur dengan tangan kirinya, tanda untuk Gilbert untuk segera tidur di sebelah kanan Ivan.

"Kau ini..." Gilbert mematikan lampu kamar dan mentup pintu kamarnya. Ivan langsung tersenyum saat mendengar suara pintu terkunci. "Aku belum pernah melakukannya, jadi tolong jangan kasar." meski ruangan gelap, Gilbert bisa berjalan menuju Ivan dan tidur di sampingya.

"Aku tidak akan pernah kasar padamu, kelinci kecilku."

X

Gilbert membuka matanya saat ia merasakan dingin dan hangat secara bersamaan. Ia dapat merasakan Ivan sedang tidur sambil memeluknya dari belakang, karena itu Gilbert merasakan hangat. Saat cukup sadar, Gilbert sadar ia tidak mengenakan apa pun, karena itu ia merasakan kedinginan. Wajahnya langsung memerah saat ia mengingat apa yang ia lakukan dengan Ivan tadi malam. Pengalaman yang mungkin hanya bisa dialami Gilbert sekali dalam hidupnya.

Pandangan Gilbert teralihkan dengan pemandangan taman kecil di luar. Mulut Gilbert terbuka lebar saat melihat semuanya berwarna putih di taman itu. Gilbert segera turun dari tempat tidurnya, membuka pintu kaca dan berjalan menuju taman. Kakinya terasa dingin saat menyentuh salju. Pemandangan ini menajubkan! Gilbert ingin segera membuat boneka salju untuk menghiasi taman ini.

"Hm.. hm..." Gilbert menggumamkan lagu kesukaannya sambil membuat bola bola kecil dari salju. Tak lama, ia merasakan ada orang yang menyelimutinya dari belakang. Saat menoleh ke belakang, Gilbert dapat melihat Ivan dengan pakaian piyama dan rambutnya yang masih berantakan. "Pagi." Sapa Gilbert.

"Kalau kau ingin bermain di luar, setidaknya pakai pakaianmu, Gilbert." Gilbert melihat ke bawah dan tertawa kecil saat sadar dirinya tidak mengenakan apa pun saat berjalan ke taman ini.

"Pemandangan taman ini menajubkan, Ivan! Semuanya berwarna putih!"

"Iya, jika kau tidur di sini, aku akan sulit menemukanmu..."

"Ayo kita main perang bola salju! lalu kita bikin boneka salju!" ajak Gilbert dengan semangat.

"Iya... ayo kita mandi dan sarapan dulu. Kita akan melakukan itu bersama Ludwig." Ivan menarik tangan Gilbert dan membawa Gilbert kembali masuk ke dalam ruangan. Gilbert tersenyum saat melihat sisi Ivan yang tidak hanya menyanyangi Gilbert, namun juga Ludwig.

"Ivan." Gilbert memanggil Ivan tanpa sadar.

"Hm?"

"Aku menyayangimu..."

"Aku juga."

X

"Rasakan ini, West!" Gilbert berteriak sambil melemparkan bola salju kepada Ludwig. Ludwig bisa menghindar, lalu membalas serangan. Serangan Ludwig tidak mengenai Gilbert, melainkan Ivan.

"Oh, kau sudah mulai ingin menyerangku, Ludwig?" Ivan pun membalas serangan Ludwig dan Ludwig pun kena. Tak terima dirinya diserang Ivan, ia membalas serangan dengan lebih banyak bola salju.

"AAAAAAAA" Serangan Ludwig tidak mengenai Gilbert maupun Ivan, tapi Gilbert tetap berteriak. "Tuan Salju!" ternyata serangan Ludwig mengenai boneka salju yang sudah dibuat mereka hingga kepala boneka salju tersebut hancur. "Ludwig kau jahat! Kau melukai Tuan Salju kita!"

"Siapa yang kita? dan kenapa kau memberinya nama Tuan Salju? tidak keren!" protes Ludwig.

"Tentu saja nama itu keren! karena aku yang memberinya nama!" Ludwig dan Gilbert terus berdebat mengenai boneka salju hingga Ivan harus melempari Gilbert bola salju buatannya agar mereka berhenti bertengkar. "Apa yang kau lakukan, Ivan?!"

"Kau melupakanku, Gilbert." Ivan terus menyerang.

"Aku tidak melupakanmu, aku hanya sedang menyelesaikan masalahku degan Ludwig!" sadar persediaan bola saljunya habis, Gilbert tidak membalas serangan. Ia berhenti sejenak untuk membuat bola salju. kesempatan ini digunakan Ivan untuk kabur. Ivan berlari menjauhi Gilbert agar Gilbert tidak dapat menyerangnya. "Hei, Ivan, Tunggu!" Gilbert berteriak saat Ivan berusaha kabur dari Gilbert.

Kali ini Ludwig yang menghela nafas, "Mereka lupa ada aku. Kak! aku pergi beli beer dulu ya!" teriak Ludwig yang tidak dijawab Gilbert. Gilbert sudah sibuk mengejar Ivan. Sekali lagi Ludwig menghela nafas kemudian pergi.

"Ivan!" Gilbert berlari lalu memeluk Ivan dari belakang. Ivan yang kehilangan keseimbangan terjatuh ke depan, membuat Gilbert ikut jatuh juga. "Atatata... kau tak apa-apa?" tanya Gilbert pada Ivan.

Ivan membalikkan badannya , "Tidak apa-apa... aku tidak menyangka kau akan se agresif ini mengejarku." Ivan duduk di atas tanah bersalju dan menempatkan kepala Gilbert di atas pahanya.

"Itu karena kau pergi meninggalkanku..." kata Gilbert dengan nada dan wajah kesal.

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Gilbert. kau tahu itu."

"Ya, kau sudah mengatakannya tadi malam." kata Gilbert sambil tersenyum, membuat Ivan tersenyum juga. Kemudian Ivan membungkukkan badannya. Ia mencium dahi, kemudian hidung, lalu bibir Gilbert. Gilbert hanya tersenyum kecil melihat aksi Ivan. Mereka berdua terdiam untuk waktu yang lama.

"Ne, Ivan... aku merasa aku sudah melalui banyak hal dalam hidupku..."

"Oh ya? contohnya?"

"Aku mempunyai adik tiri, ayah yang tak kunjung pulang diusir oleh ibuku. Kemudian aku mendapatkan ayah baru, namun pada akhirnya ia membunuh ibuku. Aku harus menghidupi Ludwig, namun ia membenciku. Tapi ternyata aku diberi kesempatan untuk bertukar jiwa dengan Matthew, dan Matthew menyelesaikan masalahku. Lalu... aku bertemu denganmu. Ayah yang sudah lama tak ku liat bisa tinggal bersamaku lagi... rasanya melelahkan juga." Ivan merasakan pipinya terasa dingin luar biasa saat Gilbert mengelus pipinya.

Ivan memegang tangan Gilbert lalu menurunkannya, ia menaruh tangan Gilbert di atas dada Gilbert. "Kau sudah ingin istirahat, Gilbert?" tanya Ivan.

Gilbert yang merasakan matanya mulai terasa berat mulai menutup kedua matanya. "Ah... aku merasa lelah. Biarkan aku istirahat, Ivan."

Ivan mencengkram tangan Gilbert untuk menahan badannya yang bergetar. "Istirahatlah, Gilbert. Tidurlah yang nyenyak. Akan kupastikan tidak ada yang dapat mengganggu tidurmu..." air mata Ivan langsung menetes saat ia sudah tidak melihat uap dingin dari hidung maupun mulut Gilbert.

"Tidurlah yang nyenyak, kelinci kecilku."

X

Suasana rumah terasa sepi saat Ludwig memasuki rumah. "Mereka masih bermain?" tanya Ludwig sambil berjalan menuju taman kecil di sebelah kamar tidurnya. "Ivan? Bruder?" Ludwig memanggil nama mereka namun tidak ada jawaban. Ludwig menghela nafas lega saat melihat kedua orang yang dicarinya masih berada di taman. Gilbert sedang tidur di pangkuan Ivan dan Ivan sedang menudukkan kepalanya. "Hey Ivan... kalian masih... kau kenpa?" tanya Ludwig bingung saat melihat Ivan menangis. Ludwig segera menghampiri Ivan. "Ivan, kau kenapa?"

Ivan tidak menjawab. Ivan menggigit bibirnya untuk menahan air mata keluar lebih banyak. "Gilbert sedang istirahat, Ludwig. Jangan kau ganggu."

"Tapi kalau istirahat di sini ia bisa... astaga bruder! badanmu!" Ludwig terlihat panik saat ia merasakan tangan Gilbert sangat dingin. Ludwig memeriksa wajah Gilbert, sama dinginnya dengan tangan Gilbert. ludwig bahkan dapat melihat kakaknya sudah tidak bernafas. "Bruder!" Ludwig memanggil kakaknya sambil memeriksa denyut nadi dan detak jantung, tidak ada.

Sama seperti Ivan, Ludwig mulai menangis. Ia mulai berteriak sambil memanggil nama Gilbert. "Tiga bulan yang lalu..." Ivan mulai berbicara saat suara tangis Ludwig mereda. "sebelum ia membuka matanya dan kembali ke tubuh aslinya, Gilbert bertemu ibunya dan... ia memilih kembali bersama ibunya dengan syarat... ia akan pergi bersama ibunya setelah ia bisa menghabiskan waktu lebih lama bersamamu, denganku, dan nantinya... ia akan beristirahat di pelukanku... itu cerita Gilbert tadi malam..."

Ludwig masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tidak mungkin kakaknya lebih memilih pergi bersama ibunya, tidak mungkin! Ludwig kembali menangis histeris, meski ia tahu menangis tidak akan membawa Gilbert kembali.

"Aku akan menjaga keluargamu, Ludwig. Gilbert yang memintanya. Karena itu jangan menangis, Ludwig. Ayo kita bawa Gilbert ke dalam, agar ia bisa lebih nyaman beristirahat..."

X

Enam tahun kemudian, Langit

Suasana gelap, sangat gelap. Begitu terbangun Arthur tidak dapat melihat apapun, namun dapat mendengar suara angin yang sangat kencang. Arthur sadar ia sedang memakai pentup mata. Begitu ia melepaskan pentup mata, ia dapat melihat awan di hadapannya. Arthur panik, ia ingat ia sedang tidur lalu kenapa tiba-tiba ia berada di helikopter?! ia melihat di sebelah kiri juga terdapat awan sedangkan di sebelah kanan ada seseorang yang tengah mengemudikan helikopter. "Fran... cis?" Arthur dapat melihat orang itu adalah seseorang yang Arthur kenal. Dengan rambut pirangnya yang sedikit panjang, lalu dengan janggut kecil di ujung dagunya, Arthur dapat melihat di sebelah kananya ada Francis yang terlihat lebih dewasa.

"Selamat pagi, Artie." sapa Francis sambil tersenyum kecil. "Bagaimana tidurmu?"

"Menajubkan, karena saat aku bangun aku langsung berada di awan..." ucap Arthur kesal. "Kenapa kau menculikku?"

"Hm... balas dendam?" Francis bertanya balik yang dijawab Arthur dengan wajah tidak senang. "Aku hanya ingin menemuimu, Arthur. Sudah enam tahun kita tidak bertemu... siap-siap saja aku akan menyatakan perasaanku dan melamarmu nantinya."

Wajah Arthur langsung memerah, "Kau... masih ingat pesanku?"

"Tentu saja! aku tidak akan melepaskan kesempatan emas ini! bertahanlah, Arthur, sebentar lagi kita sampai." Francis mulai menurunkan helikopter dan ia mendekati sebuah gedung tinggi.

"Kita akan kemana?" tanya Arthur saat melihat ada sebuah meja makan di dekat tempat landasan helikopter.

Francis tidak menjawab. Ia memakirkan helikopter kemudian turun. Ia membuka pintu helikopter untuk Arthur dan membantu Arthur turun dari helikopter. "Selamat datang di negara tempat tinggalku, Arthur. Selamat datang di restauranku."

"Res... restauran? Gedung tinggi ini adalah restauranmu?!" ucap Arthur tidak percaya.

Francis terdiam sebentar lalu ia tertawa kencang. "Tentu saja tidak! Restauranku hanya satu lantai, dan itu berada di lantai paling atas gedung ini. Meja ini khusus untukmu, Arthur. Aku sudah bilang aku akan melamarmu, bukan?"

Wajah Arthur kembali memerah, "Jadi, kau ingin melamarku sekarang?"

Francis menggeleng, "Tidak. Ayo kita sarapan dulu." Francis menarik tangan Arthur dan berjalan menuju meja yang dijaga oleh empat orang pelayan. Dua orang pelayan menarik kursi supaya Arthur dan Francis bisa duduk. Tak lama, dua orang pelayan membawakan dua buah piring di atas meja. Arthur dapat melihat sarapan kesukaannya, English Breakfast di atas piring tersebut.

"Ini enak, Francis!" seru Arthur senang saat melahap makanan tersebut.

Francis tersenyum kecil, "Syukurlah kau menyukainya. Ini masakanku."

"Masakanmu? Kau yang membuatnya? Keren!" Arthur semakin semangat melahap sarapannya. Setelah selesai makan, ia mengelap bibirnya lalu meminum teh yang sudah disiapkan.

"Bagaimana kabarmu, Artie?" Arthur meletakan cangkirnya untuk menjawab pertanyaan Francis.

"Baik, perusahaanku makin berkembang, lalu anak-anakku akan wisuda dari perguruan tinggi bulan depan. Sejauh ini kehidupanku tetap bahagia..." Arthur terdiam sejenak untuk mengetahui reaksi Francis. "Bagaimana denganmu, Francis?" akhirnya Arthur bertanya setelah tidak ada tanggapan dari Francis.

"Kabarku baik... tiga tahun yang lalu, aku mendapatkan gelar koki. Lalu aku bekerja di beberapa hotel, dan dua tahun yang lalu aku mulai membuka restauran... Restauranku hanya satu, dengan aku koki seorang. Aku melakukannya untuk menjaga keaslian masakanku. Meski aku tidak mempunyai cabang, aku bisa mengirimkan masakanku ke berbagai tempat. Seperti yang kau lihat, dengan kerja kerasku untuk mencapai masa depanku kini aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan juga mempunyai masa depan. Semua itu kulakukan untuk bisa bersamamu."

Ini dia, Arthur menelan ludah.

"Kau bilang aku bisa menyatakan perasaanku setelah aku bisa menggapai cita-citaku. Kau menolakku karena kau takut aku tak punya masa depan. Sekarang aku punya semuanya. Cita-cita, masa depan, dan aku membutuhkanmu di masa depanku. Sekali lagi kutanyakan padamu, Arthur." Francis mengambil kedua tangan Arthur, menggenggamnya, lalu menyelipkan sesuatu ke tangan Arthur. "Aku menyanyangimu, Arthur. Maukah kau menikah denganku?"

Begitu Arthur membuka tangannya, ia dapat melihat cincin berwarna perak. Arthur cukup terkejut saat melihat cincin tersebut, tak menyangka Francis akan seserius ini. "Tapi... kalau kau bersamaku, kau tidak bisa mempunyai anak..."

"Apa yang kau katakan, jika aku bersamamu aku bisa langsung mempunyai dua anak!" Arthur tertawa kecil mendengarnya.

"Kalau kau bersamaku, kau akan hidup dengan pria tua dan bukan wanita muda..."

"Semakin kau menua, kau semakin tampan, Arthur. Kau terlihat lebih tampan daripada enam tahun yang lalu. Aku yakin semakin kau menua, aku akan semakin mencintaimu..." kali ini Arthur tidak tertawa melainkan terdiam dengan wajah memerah.

"Kalau kau bersamaku, kau harus menghadapi ibuku yang galak.."

"Kau tahu aku bisa merayu wanita dengan mudah, Arthur. Itu keahlianku.." Arthur tertawa kecil lagi. "Tapi aku tidak pandai merayu pria, karena itu aku susah payah mendapatkanmu..."

Arthur terdiam. Ia menatap Francis, kemudian melihat cincin yang ada di tangannya. Francis mengambil cincin itu kemudian memasukan cincin tersebut ke jari manis di tangan kirinya. "Baiklah, aku terima."

"YEEEAAHHH!" tanpa diduga Francis berteriak sangat kencang. "Astaga Artie, terima kasih!" Francis lalu menghampiri Arthur dan memeluknya dari belakang.

"Ya, sama-sama..." Arthur kemudian menarik kepala Francis dan mencium pipi kiri Francis.

Wajah Francis langsung memerah, "Astaga... aku tidak sabar memberitahu kabar ini kepada Gilbert dan Antonio..."

"Kau ingin menemui Gilbert? boleh aku ikut? Aku belum pernah berterima kasih pada Gilbert atas bantuannya enam tahun yang lalu."

Francis segera menutup bibirnya, "Kau... ingin bertemu dengan Gilbert?" tanya Francis dengan nada bingung.

"Iya, ada apa? ada masalah?" tanya Arthur yang bingung dengan nada bicara Francis.

"Tidak, tidak apa-apa. ayo kita turun. Kita temui Gilbert dan Antonio dengan mobilku."

"Ok, aku akan menelfon Matthew agar ia bisa bertemu dengan Gilbert juga."

X

Matthew terbangun begitu mendengar suara telfon genggammnya berbunyi. "Halo..." masih belum membuka matanya, Matthew menggeser layar telfon genggamnya.

"Matt? kau masih tidur?" Matthew dapat mendengar suara Arthur.

"Hm..." dengan memaksakan dirinya, Matthew mengambil kacamata nya dan turun dari tempat tidur. "Kenapa kau menelfon, Pa? Padahal kau..." Matthew berjalan menuju kamar tidur Arthur. Matanya langsung terbelak kaget saat tidak menemukan Arthur di dalam ruangan. "Kau ada dimana?!" tanya Matthew kaget.

"Aku diculik Francis.. kau lihat ini?" kini Matthew melihat layar telfon genggamnya. Ia dapat melihat ayahnya menunjukkan punggung tangan kirinya. "Baru saja Francis melamarku."

"Wow, selamat..." Matthew kembali masuk ke dalam kamar tidurnya lalu duduk di atas tempat tidurnya. "Kapan kau akan kembali?"

"Kemungkinan nanti siang. Sekarang aku dan Francis akan menemui Gilbert, karena itu aku menelfonmu. Bangunkan kakakmu, agar ia bisa bertemu dengan Gilbert juga."

"Aku sudah bangun..." Matthew dapat mendengar suara Alfred dari belakangnya. "Pagi, Artie. Aku mendengarnya. Selamat."

"Ya, terima kasih Alfred. Aku harap kau bisa bersikap baik kepada papa barumu."

"Tentu saja, kau tahu aku selalu bersikap baik padamu, bukan?" Arthur hanya tertawa kecil mendengarnya.

"Kau sedang dimana? sepertinya kau berada di dalam mobil."

"Iya, aku berada di dalam mobilnya Francis. Sekarang ia sedang membelikan sesuatu untuk Gilbert. Ah, itu dia," Arthur menggeser telfon genggam dan mengarahkannya ke arah bangku sopir. Kini Alfred dan Matthew dapat melihat seorang pria sedang masuk ke dalam mobil sambil membawa satu kantong belanja berwarna coklat dan seikat bunga lili putih. Meski terlihat berbeda, Alfred dan Matthew dapat mengenali pria itu adalah Francis. "Francis, aku sedang menelfon Alfred dan Matthew." meski tidak terlihat wajah Arthur, namun Alfred dan Matthew tetap dapat mendengar suara Arthur.

"Selamat pagi, Alfred, Matthew. bagaimana tidur kalian?" tanya Francis sambil memasangkan sabuk.

"Baik, kami sudah mendengarnya, Francis. Selamat." ucap Alfred.

"Terima kasih, aku mengemudi dulu ya." layar kini bergerak lagi. Alfred dan Matthew dapat melihat wajah Arthur lagi.

"Tempatnya jauh?" tanya Arthur pada Francis.

"Tidak. setelah melewati lampu merah kita belok kanan dan sudah sampai."

"Alfred, Matthew. Kalian ingat ya. Kalian harus menyapa Gilbert. Matthew, kau jangan lupa berterima kasih kepada Gilbert."

"Iya. Aku bukan anak kecil lagi..." Arthur tersenyum mendengar jawabannya.

"Kita sudah sampai." Arthur menutup layar telfon genggamnya, untuk memberi kejutan bagi anak-anaknya dan juga Gilbert.

Semoga Gilbert terkejut dapat melihat lagi Matthew, ucap Arthur dalam hati. Namun senyumnya menghilang saat melihat pintu gerbang besar di depan mobil Francis.

"Artie?" Francis sampai harus memanggil Arthur agar Arthur dapat turun dari mobilnya.

"Kau... benar ini tempatnya?" tanya Arthur lali turun dari mobil. Francis tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu mobil, menguncinya, lallu berjalan melewati gerbang. Arthur mengikuti langkah Francis dari belakang. Langkahnya terasa berat karena pemandangan di sekitarnya. Saat Francis belok kanan, Arthur berusaha mengikutinya. Francis akhirnya berhenti melangkah. Arthur dapat melihat Francis berdiri di depan batu nisan bertuliskan 'Gilbert Beilschmidt' "Astaga..." terkejut dengan nama yang terukir di batu nisan tersebut, Arthur menjatuhkan telfon genggamnya.

"Ayah?" Matthew bingung dengan pemandangan di sekitarnya yang tadinya gelap kini tampak langit. Alfred dan Matthew dapat mendengar suara tangis Arthur. "Ayah, kau kenapa?"

Francis meletakan bunga lili di depan batu nisan, lalu memungut telfon genggam Arthur. "Matt." kini Francis yang tampak di layar telfon genggam Matthew. "Kau lihat pemandangan di belakangku?"

Alfred dan Matthew melihat pemandangan yang ada di belakang Francis. Meski terlihat kecil, Matthew tahu terdapat banyak batu nisan di belakang Francis. "Astaga..." akhirnya, Alfred dan Matthew sadar kenapa Arthur bisa menangis.

"Ya." kali ini Francis memperlihatkan Alfred dan Matthew batu nisan milik Gilbert. "Ini Gilbert yang sekarang. Enam tahun yang lalu saat ia hendak kembali ke tubuh aslinya, ia memilih untuk beristirahat bersama ibunya. Kini ia beristirahat untuk selamanya di sisi ibunya. Ia bilang padaku jika bertemu dengan kalian, sampaikan salam untuk kalian."

Matthew langsung menangis, begitu pula Alfred. Gilbert sudah melakukan banyak hal untuk Matthew, dan Matthew belum mengucapkan terima kasih pada Gilbert. "Alfred, Matthew." kini pemandangan di layar berganti dengan wajah Arthur. "Ayo berdoa, jangan lupa ucapkan terima kasih pada Gilbert."

Alfred dan Matthew menganguk lalu menundukkan kepala sambil memejamkan mata. "Gilbert, terima kasih atas perilakuanmu enam tahun yang lalu. Sejak aku kembali aku tidak lagi diganggu oleh siswa siswi di sekolah. Kau membuatku bisa akrab dengan mereka. Aku juga mulai belajar untuk mencintai diri sendiri. semoga kau beristirahat dengan tenang..."

"Sudah dulu ya, aku akan pulang nanti siang. Jangan lupa sarapan. Dah.." Arthur melambaikan tangannya lalu menutup telfonnya.

Alfred dan Matthew terdiam untuk waktu yang lama. "Tak kusangka Gilbert sudah tidak ada..." Matthew memulai pembicaraan untuk memecahkan keheningan. "Aku belum sempat bertemu langsung dengannya..." Matthew menyandarkan kepalanya ke dada Alfred.

"Lain kali kita harus mengunjungi makamnya langsung, ok?" Alfred mengelus rambut Matthew berharap perasaan Matthew bisa lebih tenang.

"Hm..." sahut Matthew pelan. "Aku akan buat sarapan, kakak main dulu saja." Matthew turun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Saat menuruni anak tangga, Matthew dapat mendengar suara bel rumah berbunyi. Matthew tidak jadi pergi ke dapur. Ia lebih penasaran dengan suara bel yang berbunyi karena rumah mereka sangat jarang didatangi tamu di pagi hari. Matthew mengintip dari jendela ruang tamu. Matthew dapat melihat seorang pria dengan rambut pirang yang cepak, memakai syal dan jubah panjang. Penasaran, Matthew pun membuka pintu rumah. Matanya terbelak saat melihat orang yang menjadi tamunya.

"Selamat pagi, nama saya Arjan. Mulai sekarang saya akan menjadi tetangga baru Anda. Salam kenal..."

-TAMAT-

Berdasarkan hasil, kisah kembalinya Gilbert dan Matthew digabung maka ini adalah chapter terakhir dari kisah Exchange. Saya sudah pernah bilang kisah ini akan tamat di chapter 17, bukan? maaf jika akhir dari cerita ini tidak sesuai dengan keinginan Anda /bersembunyi.

Terima kasih untuk kalian yang membaca kisah ini dari awal. Ini adalah cerita bersambung pertama saya jadi saya sangat senang saat mendapat respon yang baik dari para pembaca. Review, follow, favorite dari kalian telah membuat saya untuk terus menulis dan menamatkan cerita ini. Hontou ni arigatou gozaimasu! Saya juga meminta maaf jika dalam penulisan dan membalas review kalian saya melakukan banyak kesalahan dalam penulisan. Hontou ni gomenasai!

Saran, kritk, dan review masih saya terima. Jika anda memiliki akun, saya akan usahakan membalas review Anda melalui message.

Sekian dari Arisa, sampai bertemu lain kali. Dadah!

-arisanightray-