Utopia

By: DeBeilschmidt

Kuroko's Basketball © Fujimaki Tadatoshi
I'm not making any profit from this fanfiction.


v.

Kau pernah merasakan berada di dalam lambung seseorang? Mengalami kejadian di mana kau mengecil dan masuk ke dalam sistem pencernaan—diacak-acak di lambung dengan segala enzim yang tidak kau peduli dan ingat namanya, kemudian merasakan lengket karena asam lambung menyerangmu dan membuat dagingmu terkorosi? Ah. Tentu tidak pernah. Hal itu hanya akan ada dalam sebuah film fiksi sains atau dalam mimpi terliarmu, di mana kau baru saja membaca sebuah komik nan menjijikkan dan alam bawah sadarmu mengubah imajinasi tersebut menjadi bunga tidur.

Namun kalau Aomine diperbolehkan bersikap hiperbolis, tentu itulah yang dia rasakan saat ini.

Hanya dalam waktu beberapa minggu, ia merasakan hidupnya kini kacau. Sekacau kapal di tengah samudra diterjang badai, sekacau anak kecil sedang pusing yang dipaksa naik roller coaster. Entahlah, dia tidak pernah menjadi entitas yang pintar menggunakan pembendaharaan katanya. Sehingga, inilah apa yang (ia pikir) kurang lebih menggambarkan perasaannya sekarang.

(Kacau balau.)

(Pusing!)

"Sial."

Namun saat ia mencari-cari kata untuk meluapkan perasaannya pada masa itu, hanya satu kata serapah yang keluar dari mulutnya.

vi.

Hujan yang turun membuat hatinya semakin muram, tiada yang bisa ia rasakan selain kelam. Harinya begitu gelap, Aomine kalap. Dalam perjalanannya kembali ke sekolah untuk mengambil tasnya, yang ia lakukan sepanjang jalan hanya marah-marah, meluapkan emosi negatifnya pada kaleng, kerikil, batu, vending machine, tiang listrik. Semua benda mati yang bisa ia temukan dalam visinya yang sempit telah menjadi korban. Masa bodoh dengan semua cercaan; memangnya akan ia jadikan beban pikiran? Pfft.

Mereka berpikir bahwa ia adalah seorang jenius basket berkedok berandal.

Ha. Salah—yang benar adalah, ia seorang berandal yang kebetulan jenius dalam memainkan bola basket. Itulah mengapa saat orang-orang yang ia temui dalam perjalanan di kelas menegurnya, ia bersikap tak acuh dan memberi mereka sebuah tatapan tajam, seperti… "Apa? Mau protes? Sini, kuhajar kau kalau berani" atau semacamnya.

Dengan sengaja ia membuka pintu gimnasium dengan sekuat tenaga, tahu bahwa kekuatan itu akan memberi efek destruktif pada pintunya yang tak biasa dengan perlakuan kasar. Toh, sekali lagi, dia bersikap masa bodoh. Ini Daiki Aomine: Si Bengal, dan bocah bengal ini sedang marah. Apa? Kau punya masalah dengan hal itu?

Namun, saat pintu gimnasium telah dibuka, yang ia harapkan (sebuah ruangan luas berlantai kayu yang sudah dipelitur, kosong dan muram, di mana di sana hanya tersisa jaket dan tasnya yang teronggok di pojokan) tidak terjadi. Sama sekali tidak. Dan sekali lagi Aomine merasa bahwa segala yang ada di dunia pada hari ini tengah bermain-main dengannya.

"Che," dia mendecak, "Yang benar saja."

.

.

Apa-apaan, coba?

vii.

"Kise, ngapain?" tanyanya sebal. Ia tak pernah suka saat wajah cantik dengan surai emas yang membingkai itu menatapnya dengan penuh harap. Jijik, tahu, saat dalam kepalanya mendadak membuat sebuah halusinasi: biner kembar Kise yang sewarna madu membesar, memberi tatapan layaknya anak anjing yang minta makan. Hanya saja, kali ini ia menampakkan wajah seperti Hachiko yang kangen dengan tuannya.

Blargh.

Di antara semua orang yang tidak ingin ia temui sekarang, Kise berada dalam urutan pertama.

(Sial. Sial. Sial. Sial. Sial. Sial. Sial….)

Aomine menghela napas.

(—Brengsek.)

Mendadak saja ia merasa bahwa tubuhnya amat lelah.

"Pergilah," Aomine berkata dengan nada mengusir, "Aku sedang tidak ingin melihat mukamu."

Satu kalimat yang tadi ia gunakan sebagai alibi untuk menjauhkan Kise darinya membuat sang pemuda yang berambut pirang nampak sangat tersakiti. Haha, lihatlah siapa yang brengsek hari ini, katanya dalam hati, majas ironi ia gunakan untuk menertawai dirinya sendiri. Ia tahu ekspresi itu—seperti perasaan tatkala kau merasakan kesedihan akibat dikhianati. Aomine sendiri tahu bahwa ia jahat, tindakannya bagai orang tak tahu adat. Namun, bagaimana lagi? Untuk berbicara pun ia tiada hasrat!

Ia sudah tak ambil pusing lagi pada apa yang akan Kise lakukan. Apakah pemuda itu akan menangis seperti biasa dan membenci dirinya, atau akan memaki sikapnya yang begitu jahanam, atau akan menonjoknya? Duh, dia bukan Dewa, astaga. Manusia hanya bisa berspekulasi dan biarkan takdir bergulir ke manapun yang ia mau. Namun, di atas segala kemungkinan yang sudah ia pikirkan, Aomine sama sekali tak menyangka bahwa Kise bergeming, tak bergerak barang satu centi pun dari tempatnya semula dan menghalangi jalan Aomine yang akan mengambil tas dan jaketnya.

Ini adalah decakan kedua yang ia tujukan pada Kise. Kadang kala sang small forward, bisa menyebalkan—ha, itu sudah menjadi rahasia umum dan Aomine tahu. Namun, ia tak berharap bahwa sikap sialan Kise akan keluar pada masa-masa di mana ia sedang begitu marah pada dirinya sendiri.

Tangan Aomine mendorong paksa Kise agar bergeser ke samping dan tak menghalangi jalannya. "Minggir."

Kise lagi-lagi tak bersuara. Hal ini sama sekali membuat Aomine tak nyaman. Pemuda berkulit gelap itu mendesah. Pikirnya, terserahlah. Ia sama sekali tidak ambil pikir dan bergerak pelan tatkala mengenakan kembali jaketnya dan mengambil tasnya yang teronggok di lantai. Jaketnya bau keringat dan saliva dan… Kise. Semua hal ini biasanya tak menjadi masalah baginya, namun kali ini tidak. Ia memikirkan lagi ekspresi Kuroko, memikirkan kembali bagaimana ekspresi Kise sebelum ia pergi mengejar Kuroko, dan mendadak saja bau jaket itu terasa menjijikkan.

Ia akan pergi dari sini secepatnya.

Aomine melangkah, menuju ke pintu gimnasium menggunakan kedua kaki jenjangnya. Tetapi, sebelum ia bisa meraih pintu tersebut, langkahnya terhenti. Jaketnya direnggut dalam satu genggaman kencang dan, yah, tidak ada hantu di sini sehingga tanpa menoleh pun ia tahu tangan siapa yang tengah menariknya dengan kencang.

"Maumu apa, he?" Ia berujar, terkesan gerah dengan segala yang dilakukan Kise. "Kau mau membuat jaketku molor?"

Saat Aomine mencibir tingkahnya, Kise segera melonggarkan genggamannya. Namun tangan dengan kulit mulus itu tetap berada di sana, mengerahkan tenaga minimal untuk mencengkeram jaket Aomine. "Maaf," satu kata itu terdengar begitu lirih, teredam nyaris sempurna dalam ruangan luas nan sunyi ini.

Safir pemuda itu menatap Kise. Diam, penuh ancam, begitu menceracam. Otaknya sedari dulu memang tak didesain untuk berpikir rumit—terlalu merepotkan dan Aomine tidak suka. Ia hanya mengandalkan insting dan norma yang telah ditanamkan dalam dirinya untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran Kise. Dan hasilnya nihil. Sama sekali tidak tahu.

Namun ia tetap menunggu.

Daripada Kise menangis.

Ia berusaha bersabar, menahan diri agar tidak berseloroh mengenai tingkah Kise yang cengeng dan 'tidak jantan'. Tetapi seiring berdetaknya jam dalam dirinya, tiada kata yang kunjung keluar. Ia…

… menyerah kali ini, untuk sekali lagi menghela napas dan bersiap untuk pergi.

Itu, yang akan ia lakukan kalau saja Kise tidak mempererat lagi cengkeramannya dan menahan Aomine. "Tunggu, Aominecchi."

Aomine sudah terlalu lelah untuk menunggu. Ujarnya sewot, "Apa?"

Terbersit keinginan dari dalam dirinya untuk tertawa, melecehkan Kise dalam usahanya menahan tangis. Baik, baik, kau mencoba untuk bersikap tegar. Setidaknya, Aomine harus menghargai hal itu.

Ia sudah menantikan sebuah hardikan. Atau protes. Pokoknya segala tindakan verbal yang akan menyuarakan betapa rapuhnya seorang Ryota Kise. Aomine—mencoba—siap, dia sudah menanti.

Namun, siapa sangka bahwa yang dilakukan Kise hanya menciumnya sekuat tenaga.

(Bah.)

Di sinilah bagian terburuknya: sebagian besar dari diri Aomine menikmati ciuman itu, menikmati ekspresi putus asa di wajah Kise yang nampak begitu menggoda dan membuatnya melupakan segala emosi yang tadi ia rasakan. Sial, betapa dia terkadang membenci dirinya yang memiliki pemikiran sangat sederhana. Kau suka, maka nikmati. Kalau kau tidak suka, maka tinggalkan. Sesederhana itu.

"Hentikan." Tiba-tiba saja perintah itu terucap dari mulut Aomine, mencegah Kise untuk kembali memagut bibirnya setelah ciuman itu dipisahkan oleh kebutuhan masing-masing entitas untuk meraup oksigen ke paru-paru. Ha, kali ini ia punya kendali. Tumben.

Kise menatapnya dengan ekspresi sendu. Penuh kesakitan. Ia ingin abai, walau ia tahu dari mana asal raut wajah yang berisi nestapa itu.

(Dari dirinya.)

Ia tahu apa yang akan dikatakannya setelah ini adalah sesuatu yang kejam, namun masih lebih baik ketimbang bungkam. "Aku suka Tetsu."

Pernyataan yang begitu lugas, tegas, tanpa makna kias. Seketika itu juga Kise mundur. Ia menunduk dan dalam heningnya mulai meneteskan air mata. Kata-kata Aomine tadi menampar Kise begitu keras—sebuah fakta yang tak bisa diretas. Ketika tubuh dan nafsu bisa terdistorsi, tidak begitu adanya dengan hati satu insan manusia.

(Yang lebih terkutuk lagi adalah saat Aomine—dengan instingnya—mengetahui bahwa Kise berharap hatinya berpaling pada sang pemuda berambut emas. Namun sayangnya tidak dan yang selama ini ia lakukan hanya bermain-main dengan perasaan seorang pemuda naif.)

Sampai sekarang pun masih begitu.

"Aominecchi…." Mendengar namanya disuarakan oleh suara cengeng Kise sedikit banyak membuat hatinya pilu. Hanya satu kata dan sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bersembilu. "Apa kau tidak bisa memilihku? Kurokocchi tidak menyukaimu seperti aku… ssu."

Ia tahu bahwa semburan kata-kata itu dimaksudkan untuk membuatnya hatinya berubah tambatan. Namun, sial, yang dilakukan Kise justru membuat Aomine marah. "Diam kau," dia bergumam jengkel. Lalu mendesah. Aomine sudah tidak sanggup lagi bertahan dengan semua informasi yang serasa dijejalkan ke dalam kepalanya. Terlalu banyak hal terjadi hari ini. Terlalu banyak yang harus dia alami dalam kehidupannya yang—seharusnya—sederhana dan hanya mengorbit mengelilingi tidur, majalah porno, basket, dan Kuroko.

"Aku mau pulang."

Kali ini ia tidak perlu repot-repot menunggu. Sekali lagi dibiarkan dan Aomine yakin bahwa Kise akan mencegahnya dengan cara lain. Hah, tidak lagi; ia sudah lelah. Merepotkan. Ia perlahan membenci cengkeraman pada jaketnya, membenci bagaimana ada gerak halus menggamit garmen yang ia kenakan. Ia menyentakkan pemuda itu dengan sekuat tenaga, lalu lari secepat yang kedua tungkai itu bisa.

Aomine pengecut. Ia tahu.

Selain itu, ia juga brengsek dengan caranya sendiri.

viii.

Malam itu, adalah malam di mana ia merasa bahwa kantung mata akan nampak di wajahnya pada keesokan hari.

Aomine berusaha untuk memejamkan mata namun emosi dan rasa bingung membuatnya terjaga. Sedari dulu dia tidak pernah melabuhkan hatinya untuk Kise, dianggapnya pemuda itu tak lebih dari individu yang pintar mencium dan seorang partner yang kebetulan memiliki bibir dan tubuh yang kompatibel dengannya. Namun, ia tak pernah berpikir bahwa terlalu lama bersama Kise akan membuat hatinya mendua. Kuroko adalah orang yang selalu membuat rasa posesifnya keluar—setiap kali Kuroko bersama orang lain, Aomine memiliki keinginan untuk mencabik leher orang tersebut dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Sedangkan Kise… ia bingung harus mendeskripsikan sang pirang seperti apa. Entah sebagai dia yang membuat rasa bersalahnya kian besar, atau dia yang nampak begitu manis kala berada dalam dekapnya.

Dia terus mengganti posisi tidurnya: telentang, tengkurap, menghadap ke kanan, menghadap ke kiri, miring, dan segala posisi yang muncul dalam kepalanya sudah ia coba sedemikian rupa. Namun, tak ada satupun yang memunculkan kantuk. Sehingga, ia meneruskan lamunan yang berkembang menjadi racauan, hingga sampailah ia pada satu keputusan.

Esok—ya, esok—ia akan membuatnya menjadi sejelas kaca. Tanpa ada tetes air yang mendistorsi, tanpa ada jelaga yang menutupi pantulan cahaya ke permukaannya yang mulus, tanpa ada sinar terang yang membias, memantul lalu membutakan penglihatan. Determinasi sudah ada dalam benak, satu yang didapat setelah berpikir hati-hati.

Esok.

… Esok.

Dan dia mendesah.

Dasar bodoh. Ia terlalu lama berpikir, hingga tak sadar bahwa 'esok' yang ia maksud adalah hari ini.

.

.

.

(Mentari akan menyapa buana kurang dari empat jam lagi.)

ix.

Hanya tatapan penuh tanya yang ia dapat kala turun ke ruang makan pada hari yang begitu pagi dengan kantung mata yang begitu mencolok, bahkan di kulitnya yang gelap. Namun, sebelum ada yang bisa mengutarakan rasa penasaran mereka, Aomine sudah mendelik.

"Aku keasikan nonton NBA," katanya.

Tentu saja, semua orang tahu bahwa itu hanyalah sebuah dusta.

Tidak biasanya Aomine makan bersama dengan keluarganya. Dia (nyaris) setiap hari menjadi yang terakhir bangun. Otomatis, hal ini menjadikannya orang yang paling terakhir sarapan dan berangkat. Namun, saat dia menjadi orang yang bangun—tidak paling awal, tapi, katakanlah—pada saat yang tepat, kehadiran sang pemuda justru membuat suasana di meja makan menjadi canggung. Aura yang ia keluarkan adalah penyataan tegas "jangan usik aku!" dan, yah, tidak ada yang mengusiknya.

Suara derak dari kursi yang ia seret tatkala pemuda itu berdiri mengejutkan semua orang. Dia menghembuskan napas singkat, merasa jengah dengan keheningan dan juga sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Aku pergi dulu."

x.

Langkah satu duanya membuat pemuda ini merasa aneh. Terlalu lamban dan sangat kontradiktif dengan irama jantungnya. "Deg deg deg" cepat berkumandang dalam telinga, mengacaukan lamunan bertopeng 'aku-ingin-fokus' dalam benak Aomine.

Dia sudah mengirimkan pesan singkat, kau tahu. Tepatnya dua puluh menit lalu, tepat kala kedua kaki jenjangnya sudah berada di luar rumah. Isi pesan itu hanya singkat—berapa kali harus dibilang kalau ia bukan orang yang pandai merangkai kata-kata?—berupa keinginannya untuk bertemu dengan Kuroko, memastikan segalanya.

Atau lebih tepatnya, seperti ini:

[Istirahat siang nanti temui aku. Kita perlu bicara.]

Persis, sama dengan apa yang tersimpan dalam pesan terkirim di ponsel Aomine.

xi.

Kini ia kembali lagi bertemu dengan sang pemuda berambut biru. Perasaan seakan déjà vu kembali menyerang, seolah dia sudah pernah mengalami ini walau belum. Setelah sesaat ia terbengong, barulah Aomine sadar: dia pernah melihat awan ini, pernah melihat warna langit ini, juga pernah merasakan dingin ini.

Padahal musim sudah berganti, pepohonan yang meranggas kini digantikan oleh dinginnya salju. Pada perjalanannya ke sekolah, mendadak langkah seenak hati digantikan oleh jalan hati-hati. Salju pertama turun pada pagi itu, membawa berkah pada mereka yang masih percaya pada indahnya warna putih dan membawah musibah pada mereka—para kaum realistis—yang mengerti bahwa kala salju mencapai tubuhmu, mereka akan meleleh dan menyisakan rasa dingin tak mengenakkan.

Bisa ditebak: Aomine adalah tipe terakhir. Namun itu bukan masalah utama di sini.

Yang menjadi masalah adalah suasana ini—dengan latar belakang yang berubah menjadi putih, namun segala awan, warna langit, dan dingin udara sama seperti kala ia hanyalah suatu bocah yang menyerah pada nafsu hewaninya—membuat Aomine merasa gugup. Rasa itu, kau tahu, saat mendadak muncul perasaan ngilu saat refleks mengingat kenangan menyakitkan yang menunjukkan kebodohanmu? Nah, seperti itu rasanya.

Kini mulutnya terasa kering saat mengucap nama itu.

"Tetsu…"

Namun ia sadar, bahwa langkah yang sudah diambil tidak bisa ia tarik lagi. Nasi sudah menjadi bubur dan Aomine tidak suka disebut pengecut karena mundur di saat terakhir. Dalam suasana tegang, pemuda itu menghela napas—dalam dan tertekan.

"Aku butuh jawaban."

Seandainya ini adalah film laga, tentunya akan ada musik seram bermain sebagai latar belakang dan kedua bocah SMP itu akan saling menatap dengan sorot tajam yang seolah bisa memotong kertas hanya dengan memelototinya. Atau, seandainya ini serial romansa, tentunya akan ada mata berkaca-kaca, dengan instrumental penyayat hati alih-alih kertas. Sayang, Aomine tak menemukan salah satu dari keduanya. Bukannya musik seram, sorot tajam, atau lagu instrumental yang ia imajinasikan.

Tidak ada.

Aomine hanya menghela napas dan itu saja sudah membuat jantungnya berdebar keras. Bukan karena ia tidak sabar atau malu, tapi… karena dia tidak siap akan penolakan. Sorot mata Kuroko yang menatapnya dengan penuh ratapan dan frustrasi, membuatnya kesulitan menentukan jawaban yang akan keluar dari mulut si pemuda berkulit pucat.

(Walau begitu, ia masih berharap bahwa Kuroko akan memaafkannya. Akan mengatakan 'ya'. Akan menjawab perasaannya dengan sesuatu yang mutual.)

Namun dalam ketegangan yang mengalir sepanjang nadi, firasat Aomine akan waktu yang berjalan sangat terdistorsi. Ini… seperti memetakan daerah khatulistiwa dengan proyeksi kerucut, atau memetakan daerah subtopis dengan proyeksi silinder; semua terasa… tidak benar. Satu detik menjadi satu menit dan satu menit menjadi lima menit. Ia kira jarum jam telah berdetak tiga ratus kali, menjadikannya melewati lima menit penuh siksa. Tapi, rupanya tidak.

"Tetsu, tolong jawab ak—"

Sehingga saat ia menjawab hal ini, jawaban Kuroko menderanya dengan begitu cepat. Begitulah.

"Maafkan aku, Aomine-kun."

.

.

.

.

Dunia Aomine pun berubah… monokrom. Bukannya gelap; ia masih bisa menangkap siluet Kuroko dalam pandangnya, masih bisa merasakan bagaimana dinginnya udara dan juga melihat betapa kelabunya langit. Hanya saja, kini yang tersisa padanya tinggallah sebuah senyum getir. Untuk alasan yang tidak ia ketahui, sudut bibirnya sudah tertarik, membentuk sebuah seringai penuh ironi: perasaan mengasihani yang ditujukan untuk diri sendiri. Dia masih diam, menunggu Kuroko melanjutkan perkataannya.

xii.

Aomine tidak pernah menyangka bahwa kata-kata ini akan menampar benaknya.

"Aku tidak bisa denganmu, Aomine-kun."

"… Maksudku di sini adalah…"

"Aku bukan homoseksual."

"Aku masih normal."

Dan yang terpenting:

"Kasihan Kise-kun."

Aomine tidak mengerti dengan kalimat terakhir. Pikirannya kosong dan penuh kabut yang menutupi kemampuannya untuk berpikir rasional. Dari segala kata, fonem, dan morfem yang bisa keluar dari mulut Kuroko… Aomine masih tidak mengerti mengapa ada nama Kise disebut di sini.

Bahkan sampai Kuroko pergi pun, Aomine masih bertanya-tanya.

.

.

.

"Mengapa?"

-bersambung-


Afterwords:Karena fandom sebelah lebih menggoda untuk dibuat fanfiksinya dan IRL sibuk. Maka jadilah, saya tidak kunjung update. Omong-omong, saya bukannya PHP. Makanya saya tidak memberi tag pairing di fanfiksi ini. Habisnya, bagaimana lagi? Memang ini bukan AoKuro ataupun AoKise. Simply Aomine yang mengacaukan hidup dua orang bocah SMP serta melampiaskan keinginan untuk membuat semua karakter yang terlibat menjadi… galau? Makanya dulu saya berkata bahwa ini penuh fatalisme. Dan, yah, semoga Anda senang dengan chapter kali ini. 2700 kata penuh kekacauan. Saya heran pada kalian yang masih betah membaca #...

(Karena chapter berikutnya adalah yang terakhir…)

Terakhir: kritik, saran, dan flame selalu saya nanti di kotak review. Bahkan yang absurd seperti fangirlingan tidak jelas pun juga saya nanti. Hehe.

022214—rdb