Disaksikan oleh langit kelabu yang menyembunyikan mentari, dikungkung dalam rumah tua yang sementara akan menaungi, dibalut dalam darah sebagai tanda telah melukai dan dilukai.

Bagaikan sebuah permata yang terkubur dalam reruntuhan puing, senyumnya masih tak lekang jua.

"Hai, lama tak jumpa. Kau memang anak yang baik ya, sampai menolongku lagi hahaha."

Sepasang emerald menatap tajam pada bola mata indah yang dirundung kelabu tersebut.

"Diam. Jangan bicara. Jangan bergerak." Karena akan susah untuk mengobati lukamu bila kau terus meracau dan menggunakan tanganmu untuk bermain dengan rambutku.

"Hehe, kau memang anak yang baik." Senyumnya makin lebar saja. "Walau jika dari luar sikapmu sungguhlah jelek."

Sang bocah berambut hijau itu berdecak kesal, membuat sang bocah berambut raven tertawa lepas—kemudian meringis menahan sakit. Sang bocah hijau sama sekali tak habis pikir, benarkah orang ini sama dengan seorang bocah sepuluh tahun yang tadinya baru saja menorehkan luka-luka vital pada belasan orang dewasa?

Ucapan "Terima kasih." dan "Aku senang kau datang ke sini." dari sang bocah bermata kelabu sesaat kemudian membuat sang bocah hijau memalingkan wajahnya. Mukanya merah, manis sekali.

Ketika bibir terkunci dan hanya tangan yang bekerja untuk membalut luka, keheningan kembali terjadi. Terus dan terus tiap kali salah satu terluka, dan satunya akan merawat luka itu sebaik mungkin sambil menambahkan bonus tatapan intens yang seolah berkata: daripada kau, lebih baik aku yang menerima luka-luka ini.

Selalu, dua insan (yang harusnya tak saling bertemu) dan keheningan sesaat mereka.

"…tapi kau memang hebat, Shin-chan. Bisa keluar-masuk kota mati ini dengan mudah, sementara aku mencoba bertahun-tahun untuk keluar tapi selalu gagal."

Senyuman pahit.

Dan ia tahu, tempat ini adalah neraka. Seseorang harus membunuh dan bertahan hidup dalam panggung perebutan nyawa yang begitu kejam. Bagaikan rimba, di tempat ini berlaku sebuah hukum alam. Yang kuat akan terus hidup, sementara yang lemah akan mati terbunuh. Tak ada orang benar-benar ingin hidup di tempat ini. Mereka terpaksa—dipaksa, karena mereka adalah kumpulan makhluk jalang yang terbuang.

Tak terkecuali bagi sang pemilik mata kelabu di hadapannya ini.

(Padahal senyumannya begitu menyilaukan).

Ia ingin membawanya keluar. Ia bisa membawanya keluar dari tempat busuk ini. Yang jadi masalah adalah, ia tak bisa memberikan sebuah tempat bagi sang bocah raven untuk hidup di luar sana.

Bagaimanapun kuatnya sang bocah raven itu, ia hanyalah manusia.

Sementara bocah bermata emerald yang ingin menolongnya ini, bukan.

(Tapi jangan bilang—jangan pernah katakan padanya. Ini adalah sebuah rahasia dan ia akan mengatakannya berkali-kali bagaikan mantra. Karena bila ia tahu, sang bocah hijau itu tak yakin bila kemudian harinya sang bocah raven akan membukakan pintu rumah padanya lagi).

(Karena itu—karena begitu besar keinginannya untuk tetap melihat senyuman itu—ia akan menjadikan hal tabu tersebut sebagai rahasia).

"…Takao," Sepasang iris kelabu memandang penuh tanya pada bocah yang sedari tadi membisu. Ah, akhirnya Shin-chan buka suara.

"Apa kau… benar-benar ingin pergi ke luar?"

Sepasang abu-abu dan emerald saling bertatapan. Si bocah hijau ingin sekali menampar mulutnya sendiri dan menutupnya—sayang itu sudah terlambat untuk dilakukan.

Ia baru saja menanyakan sebuah tabu.

Ucapan itu pasti melukai bocah itu.

Padahal ia tak bermaksud—tidak—mana mungkin seseorang bisa punya niatan untuk menyakiti orang yang ia sayangi?

Ia harus—maaf—

"Midorima Shintarou-kun."

Ia harus(nya) minta maaf.

Hanya saja kilauan cahaya matahari yang menembus celah jendela reyot serta noda-noda merah pada bajunya yang kelonggaran itu membuat sang bocah emerald di hadapannya menelan ludahnya.

Begitu menyilaukan, seolah ia berhadapan dengan seorang malaikat buangan yang dijatuhkan ke neraka.

Atau mungkin yang di hadapannya ini memanglah malaikat, karena ia tak pernah tahu kalau senyuman seseorang dapat begitu hangat dan terang, bagaikan sumber cahaya—bagaikan mentari.

Begitu cantik.

"Kau tahu, yang kuinginkan adalah—"

Kala itu, di bawah sinar mentari yang jarang-jarang, Midorima Shintarou telah jatuh cinta.

(Atau mungkin—bahkan jauh sebelum itu).

.

.

.

"—hanya ini. Ini saja."

.

.

.

Deformity

By susu soda gembira and The Fallen Kuriboh

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

3rd Shape:

Memory About Him

.

.

.

Hujaman sinar mentari pagi menusuk melalui celah kelopak matanya.

"…"

Lagi-lagi mimpi tentang kenangan masa lalu. Sebuah cerita yang mana ia tak tahu apakah harus senang atau sedih ketika mengingatnya. Tak pernah ada yang istimewa dari masa lalu, hanya sebuah fragmen yang akan membimbingmu pada masa sekarang. Dan tugas makhluk hidup adalah hidup untuk masa depan, bukannya terus berbalik untuk melihat masa lalu.

Walau ia penasaran akan kelanjutan mimpi itu.

(Ia melupakannya, satu ucapan yang jadi bagian dari memori penting itu).

Ah, sudahlah. Masa lalu bukan untuk terus diingat-ingat. Lagipula yang tadi itu mimpi, belum tentu sama persis dengan kenyataan yang terjadi di masa lalu.

(Ternyata ia memang benar-benar lupa).

Midorima Shintarou, seperti hari-hari sebelumnya, melakukan rutinitas paginya. Membuka mata, mematikan alarm jam yang bahkan belum waktunya berbunyi, meraih kacamatanya dari meja tidur, bangun dari atas ranjang—

—berat.

Dan seperti hari-hari sebelumnya pula, ia mendapati Takao yang tertidur nyenyak. Kedua tangannya—seperti biasa—memeluk tubuh Midorima, erat. Masalahnya, ia tidak sedang tidur di samping Midorima, melainkan di atas tubuhnya.

Hari masih pagi buta, dan Midorima disambut oleh manusia serupa kadal raksasa yang merayap sambil mengeluarkan liur di atas tubuhnya.

Biasanya Midorima akan bersiap memarahinya, namun kemudian urung karena melihat ekspresi polos Takao, kemudian menemaninya tidur lagi. Namun untuk kali ini, tidak bisa begitu.

"Takao, bangun. Hari ini kita ada misi."

Kontras dengan nada bicaranya yang dingin, tangannya membelai wajah Takao dengan lembut. Memainkan rambut hitamnya dan menyentuh pipi halus itu dengan jemarinya. Afeksi, tanpa sadar sudah bertahun-tahun ia melakukan kebiasaan seperti ini.

Sang pemuda berambut belah tengah itu membuka kelopak matanya perlahan, menampakkan sepasang mata kelabu yang berkilat cantik karena pantulan sinar mentari. Sebuah senyuman manis terukir di bibirnya.

"Selamat pagi, Shin-chan."

Midorima menahan nafasnya.

"Pagi. Cepat bangun dan mandi nanodayo, atau kita akan terlambat melaksanakan misi."

Sang pemuda belah tengah menatap ke arah jam kecil yang duduk di meja ranjang mereka.

"Shin-chan, ini masih sangat pagi."

Sayangnya sang pemuda hijau sama sekali tak menerima protes.

"Kau selalu lama kalau mandi. Dan kali ini kita harus berangkat lebih cepat, malam nanti aku ada urusan nanodayo."

"Urusan? Maksudmu menonton acara 'Menguak Rahasia Zodiak dan Primbon' itu kan?"

Alis Midorima berkedut.

"Pfftt—aku benar!"

Takao tertawa lebar.

"Takao! Cepat mandi atau Akashi akan marah karena kita terlambat!"

"Hee? Tapi Sei-chan tidak pernah marah padaku lho, Shin-chan~"

Baiklah, oke. Takao menang.

"…terserah." Takao makin terkekeh saat melihat tanda perempatan di dahi Midorima yang makin berlipat ganda. "Aku ke dapur, melihat Sakurai."

"Maksudnya membantu Sakurai menyiapkan sarapan, nih? Hahaha, Shin-chan memang baik ya~ Sayang kau tukang gondok."

Telak.

Midorima makin kesal saja. Ia percepat langkah kakinya menuju pintu kamar. Tch, Takao di pagi hari memang sangat—

"Oh, Shin-chan! Kau lupa sesuatu—"

Sepasang tangan memeluk lengannya, sebuah bibir menyapu lembut bibirnya.

"—ciuman selamat pagi."

Sepasang emeraldnya melebar. Oh tidak, baru saja Midorima mengira kalau hari ini Takao akan melupakan ritual paginya itu.

Oh tidak, sekarang wajahnya terasa panas.

"Selamat pagi Shin-chan. Hari ini pun, aku sangat menyukaimu."

Senyumnya terlalu menyilaukan, seolah mengajak bersaing dengan mentari pagi.

"…"

"Loh, mana balasannya Shin-chan?" Takao tersenyum nista.

"K-kau menyebalkan!"

"Uhn, I love you too~"

Hari masih pagi dan seperti biasa, Takao sudah agresif.


.


Gebrakan suara tinju pagi-pagi buta membangunkan Kise dari tidurnya. Mata cokelat madunya menyusuri tempat tidur, tidak terlihat adanya makhluk dakian yang kemarin memeluknya sembari mengira ia adalah makanan.

Mendengus bahagia, Kise Ryouta beranjak untuk keluar dari kamar. Posisi kamar Aomine yang ditempatinya langsung menghadap ke halaman, membuat si pirang itu dapat melihat pemandangan begitu keluar.

Terlihat dua sosok sedang berlatih combat battle, sebuah pertarungan tangan kosong di halaman. Gerakan mereka begitu lincah dan cepat, tapi juga kuat. Tak hanya mereka berdua, seorang berambut biru langit juga turut menonton.

Kise hanya dapat memperhatikan bagaimana tangan salah seorang dari mereka menahan tendangan lawan tandingnya. Kemudian tidak sampai satu detik setelahnya tangan itu menjadi tumpuan si pelaku tendangan untuk melompat tinggi, tidak tanggung-tanggung sikunya menghantam kepala lawannya.

"GYAAA! SAKIT, BAKAGAMI! Kau tidak perlu menyikutnya betulan, kan?" raung sang lawan sambil berjongkok memegangi kepalanya, yang jadi korban penindasan siku sang 'Bakagami'.

Tawa Kise meledak, yang dengan segera tawa itu mengundang amarah dari pelaku teriakan tadi. "Kau diam saja, Kuning! Kau tak tahu bagaimana sakitnya disikut Bakagami!" serunya, Aomine Daiki, partner kontrak Kise, kepada si kuning yang baru saja keluar dari kamarnya.

Sang korban teriakan, Kagami—Bakagami kalau kata Aomine—mengorek-ngorek telinganya yang sepertinya akan tuli beberapa saat lagi. "Salah sendiri gerakanmu lambat, Ahomine. Kau harus terbiasa dengan serangan betulan, musuh tidak akan kasihan padamu, tahu!"

Aomine mendengus, tidak terima. Wajahnya berpaling angkuh, dan Kagami mendapatkan kesempatan untuk menonjok cowok dakian itu tepat di muka. Telak.

Kali ini, tidak ada yang berani berteriak maupun tertawa. Bahkan Aomine sendiri hanya membiarkan dirinya tersungkur di tanah dengan mulut mengeluarkan darah.

"Jangan pernah mengendurkan pertahananmu," Kagami berujar dingin, kemudian berlalu lamat-lamat tanpa mengucapkan apa pun.

Kuroko, sang biru langit yang sedari tadi hanya menonton, membantu Aomine berdiri saat yang bersangkutan masih terlarut pada rasa terkejut. "Kau tidak apa-apa, Aomine-kun?" yang disambut dengan gumaman bermakna 'ya' dari Aomine.

Setelah membantu pemuda tan itu berdiri, Kuroko mengejar Kagami. Tidak peduli dengan seruan yang menanyakan kemana ia pergi dari Kise, maupun pandangan penasaran Aomine,

"Kagami-kun," panggil Kuroko pelan, sembari meraih tangan Kagami yang berkeringat.

Yang terpanggil menoleh sebentar, "ah, kau rupanya, Kuroko."

Si biru tersenyum kecil, berusaha melupakan suara dingin berbalut kesedihan yang dikeluarkan Kagami barusan. "Bagaimana kalau Kagami-kun membuatkanku vanilla shake sebagai sarapan hari ini?" tawarnya.

Kagami terperangah, menyadari bahwa kalimat tersebut adalah upaya seorang Kuroko untuk membuatnya nyaman. Pemuda merah itu kemudian tersenyum lebar, dengan serampangan mengacak rambut biru Kuroko. "Baiklah, akan kubuat vanilla shake terenak untukmu! Dengan susu!"

Merasa bahwa pemuda tinggi di depannya ini sudah lebih baik, Kuroko kini melukis senyum di wajahnya yang tadinya datar. "Terima kasih, Kagami-kun."


.


Sementara duo langit dan bumi yang sedang mesra-mesraan, pasangan laut dan matahari ditinggal berduaan.

Kise melirik Aomine, dan sang dim juga melirik si pemuda matahari.

Pandangan mereka bertemu, namun seketika langsung saling tarik. Buang muka.

Setelah itu hening.

Mereka diam-diaman dalam waktu lumayan lama hingga Kagami dan Kuroko kembali membawa nampan berisi makanan.

"Kise-kun, sepertinya kau menyukai roti isi telur goreng dengan potongan wortel, kan? Aku meminta Sakurai-kun membuatkannya untukmu barusan," ujar sang biru unyu sembari meletakkan sebuah piring berisi dua keping roti yang di antara keduanya terdapat telur goreng dan potongan wortel.

Kise mengerjap, seingatnya, ia tidak pernah membicarakan tentang dirinya pada siapa pun. Roti isi telur goreng dengan potongan wortel saja jarang ia makan sebagai sarapan, walaupun ia sangat suka. "Bagaimana—"

"Bagian Aomine-kun ada pada Kagami-kun. Kalian sama-sama monster dengan perut empat," sindir Kuroko, ia tidak membawa apa-apa sebagai makanan. Di nampan yang ia bawa hanya ada gelas vanilla shake yang telah Kagami buatkan.

Aomine menyambar nampan yang dibawa Kagami, mengambil bagiannya, dan melahap isinya banyak-banyak sekaligus. Kagami tidak mau kalah, dengan cepat ia memindahkan seluruh makanan bagiannya—yang sepertinya tiga puluh kali lebih banyak daripada milik Kise—ke dalam perut monsternya.

"Kagfhamih! Afyoh kitha berftandhingh! Siafha yangh makhan palingfh cefaht menangh!" tantang Aomine, masih penuh makanan di mulutnya. Ia menunjuk Kagami begitu intens dengan sosis goreng ukuran ekstra.

Merasa tertantang, tentu saja Kagami setuju. "Bhuoleh! Siafha takhuth!" sama seperti si biru laut, mulutnya penuh makanan. Tiada hari tanpa bertanding di antara mereka.

Bahkan sambil makan pun, dua monster pemakan segala itu tetap saja bertanding.

Sementara dua monster masih saling bertanding, Kuroko masih menyesap vanilla shake, Kise bertanya-tanya dalam hatinya.

'—Bagaimana seseorang yang baru kenal bisa langsung tahu makanan kesukaan?'


.


"Nee, nee, padahal tadi mereka berdua masih bertengkar ssu, kenapa sekarang sudah baikan?" Kise berbisik kepada Kuroko, makhluk yang sepertinya adalah manusia normal seperti dirinya.

Pemuda biru itu menyesap vanilla shake-nya, yang sebenarnya sudah habis tapi masih dipaksakan—ia tidak ingin kehilangan satu tetes pun—untuk diminum. "Mereka memang begitu, biarkan saja. Kagami-kun mood-nya memang cepat berubah, tapi sebenarnya dia tidak pernah marah."

Si pirang mengangguk mengerti, seketika melemparkan pandangan kepada dua vampir berwarna kontras yang sedang tanding makan itu. Mereka terlihat sangat akrab seperti teman lama, seakan tidak terjadi apa-apa terhadap mereka tadi.

Bahkan Aomine sepertinya sudah melupakan rasa sakit di kepala dan mukanya.

"Ngomong-ngomong, Kise-kun. Kira-kira apa kau sudah mengerti tentang 'dunia kami'?" tanya Kuroko sembari melap mulutnya dari sisa vanilla shake.

Kise meminum air di gelasnya, kemudian menggelengkan kepala. "Tidak begitu mengerti, sih ssu. Yang kutahu hanya, aku harus berada di sini untuk seterusnya, sampai keadaan kembali normal dan aku bisa kembali pulang."

Wajah Kuroko tidak berubah, masih tetap datar. Ia hanya berkedip satu kali ketika Kise bicara. "Baiklah Kise-kun, jika memang hanya itu yang kau mengerti, aku dan Kagami-kun akan menjelaskannya," ucap Kuroko setelah diam sebentar.

Entah kenapa, sepertinya Kise dapat mendengar Kuroko menekankan kata 'hanya' dalam kalimatnya tadi.

Mengangguk pelan-pelan, Kise tak begitu yakin Kagami akan menjelaskan. Pasalnya lihat saja monster merah itu sekarang, masih tanding makan tercepat bersama Aomine.

Lain pihak, kenapa cuma Kagami dan Kuroko yang akan menjelaskan? Bukankah juga ada—

"Aomine-kun tidak akan menjelaskan karena dia sedikit bodoh dan tidak sabaran. Apalagi dengan orang yang lemot," Kuroko menjawab, padahal Kise belum mengatakan apa pun. Kalimat terakhirnya menjelaskan secara tak langsung bahwa Kise adalah orang yang lemot.

Beruntung dia lemot betulan, jadi tidak sadar Kuroko sedang menyindirnya.

Sebagaimana orang tersindir, Aomine memprotes. "Afha-afhaan ithu, Tetsyu! Akhu tidakh bhodhoh!" sama seperti tadi, dengan mulut penuh makanan.

Kuroko menoleh ke belakang, tempat Aomine memprotes tadi. "Maaf, Aomine-kun. Tapi aku tahu pasti kalau yang kukatakan adalah sebuah kejujuran," katanya, sedatar tembok raksasa di sebuah serial anime yang pernah ia tonton.

Pemuda biru langit itu kembali lagi ke posisinya, menghadap Kise. "Baiklah, kita mulai, Kise-kun," disertai anggukan Kise yang lamat—lagi.

"Vampir, keseluruhan dari mereka berwujud layaknya manusia. Perbedaan paling mencolok di sisi luar tubuh adalah gigi taring mereka yang memanjang dan kuku mereka menjadi lebih tajam. Sedangkan perbedaan di sisi dalam tubuh adalah, mereka senang meminum darah, dan daya tahan tubuh mereka lebih kuat dari manusia.

"Bagi manusia, mereka semacam bencana. Darah mungkin memang bukan hal terpenting dalam hidup para vampir, mereka juga membutuhkan makanan normal untuk tetap bertahan hidup karena mekanisme tubuh mereka bisa dikatakan sama dengan manusia biasa, namun darah adalah makanan kesukaan mereka. Makanya, tak jarang dari mereka yang menghisap kering darah dalam tubuh mangsanya."

Kise mendelik seketika. Membayangkan empat vampir yang hampir memangsanya kemarin malam menghisap kering-kering seluruh darah dalam tubuhnya. "Se-sepertinya sangat mengerikan ssu," komentarnya.

Kuroko mengangguk. "Dapat menyebabkan kematian seketika," jelas Kuroko singkat, padat, dan jelas. Cukup membuat Kise merinding dan meneguk ludah pahit ketakutan mentah-mentah.

"Oh, iya, darah di sini bukan hanya manusia. Darah hewan dan sesama spesies vampir juga termasuk, tapi mereka lebih menyukai darah manusia dan vampir. Menurut mereka darah hewan itu tidak enak."

Sebuah kepala pirang mengangguk-angguk sok mengerti, sebelum—

"EEE? JADI MEREKA SEMACAM KANIBAL, GITU?!"

—untung saja Kuroko sudah siap sedia dengan menyumpal telinganya menggunakan kapas, entah dari mana dan kapan ia dapatkan.

Si biru muda mengalihkan pandangan ke belakang. Hebat sekali. Dua monster dengan perut empat tadi sepertinya sama sekali tidak terusik dengan teriakan Kise. Mereka tetap saja tanding makan cepat dan sepertinya Kagami yang akan menang, lihat saja piringnya, sudah hampir bersih.

"Bisa dibilang begitu. Nah, sekarang aku akan menjelaskan tentang pembagian mereka," Kuroko mencabut kapasnya.

"Dahulu vampir kebanyakan meminum darah mangsanya hingga habis. Hal itu bisa ditanyakan lebih lanjut pada mereka, karena aku tak begitu tahu alasannya. Namun beberapa waktu berselang, ada kubu vampir yang menginginkan perdamaian— yang ini aku juga tak tahu alasannya— jadi mereka bekerja sama dengan manusia untuk membasmi vampir yang hobi membunuh itu."

"Oh, jadi berarti kalian ini yang bekerja sama dengan manusia itu, begitu?" Kise memotong sesaat, setelah mencerna kalimat Kuroko satu demi satu.

Baru saja Kuroko mau membuka mulutnya untuk menjawab, sebuah tangan yang besar melingkari lehernya. "Bukan hanya itu, kami juga tidak meminum darah sembarangan," ucapnya sembari menenggak air minum.

Kuroko yang merasa terganggu, agak kesulitan menyingkirkan lengan yang melingkari lehernya karena terlalu berat. "Berat, Kagami-kun. Sana tanding makan lagi," usirnya kejam, tapi wajahnya tetap datar.

Si pemilik lengan, Kagami, melepaskan rangkulannya dan mengacak rambut Kuroko gemas. "Na, Kise, kau sudah tahu kalau kau sekarang terikat kontrak dengan si dim di belakang itu, kan?" ia menunjuk Aomine dengan ibu jarinya.

Mengangguk cepat, Kise lebih memperhatikan rambut Kuroko yang sudah berubah jadi semak-semak akibat perbuatan Kagami. Mengabaikan teriakan si dim Aomine yang memprotes—"Kenapa aku yang harus meletakkan piring bekas makan kalian di dapur?" "Kau baru saja kalah dariku, Aomine, itu hukuman buatmu. Lagi pula kau pasti akan menyuruh Sakurai yang mencucinya, kan?"

"Jadi," Kagami bangkit, ia pergi ke sebuah ruangan yang bersebelahan dengan posisi mereka, dan mengambil selembar kertas beserta pena dari sana, "untuk lebih spesifiknya kita gambarkan saja seperti ini," ia menggambar beberapa bulatan kecil di atas kertas.

"Ini adalah pihak kami," ia menulis inisial V—vampir di salah satu bulatan, "dan ini kalian," lalu ia menulis inisial H—human, manusia di bulatan lainnya, yang posisinya bersebelahan dengan lingkaran vampir, namun terletak agak jauh.

Di bagian atas kertas, Kagami menulis kata kontrak besar-besar. "Kontrak adalah pengikatan hubungan di antara vampir melalui darah. Bisa sesama vampir, atau vampir dengan manusia, tapi kontrak dengan manusia hanya dilakukan jika keadaan si manusia sudah sangat mendesak, hampir mati, atau sekarat, seperti kau dengan si dim itu."

Kise mencibir, menolak dijadikan contoh. "Biar Kise-kun jadi lebih mengerti," jelas Kuroko tanpa diminta.

"Jika sesama kami yang melakukan kontrak," Kagami membuat bulatan vampir yang lain, dan diletakkan tepat di samping bulatan vampir pertama. "Kami hanya akan terikat, dan bagi kami itu merupakan tindakan terhormat. Mungkin bagi manusia dapat dikatakan sebagai pertunangan (atau pernikahan? Entahlah), dan itu membuat kami hanya membutuhkan darah dari pasangan kontrak kami, kontrak ini disebut kontrak berimbang."

"Kalian tak akan memburu manusia jika berkontrak dengan vampir lain?"

Kagami mengangguk penuh konspiratif, Kuroko meliriknya sambil manyun. "Ah, tapi jika vampir melakukan kontrak dengan manusia, atau disebut juga kontrak tak berimbang, akan ada efek yang harus diderita si manusia," Kagami membuat bulatan vampir yang baru, di samping bulatan manusia. Kemudian ia menyambungkan kedua bulatan itu dengan menarik garis lurus, di bawah garis tersebut terdapat tanda positif dan negatif.

"Keuntungan bagi manusia yang berkontrak dengan vampir, pertama daya tahan tubuhnya jadi jauh lebih kuat daripada saat menjadi manusia, artinya daya tahan tubuh kalian sudah sama dengan kami. Kedua, tubuh kalian tidak akan menua setelah umur kedewasaan vampir, yaitu dua puluh tahun, sama seperti kami."

Si pirang mengangguk mengerti tatkala mendengar penjelasan Kagami, dan melihat tangan berpena itu melingkari sisi positif di atas kertas.

"Kerugiannya, pertama kalian tidak boleh berpisah jauh dari pasangan kontrak kalian, atau masing-masing dari kalian akan mati. Kedua, pasangan manusia dari kontrak tak berimbang harus menyalurkan darah kepada pasangan vampirnya, vampir tersebut juga tidak bisa meminum darah dari makhluk lain selain pasangannya."

"Tunggu! Tunggu sebentar!" Kise menyela, saat Kagami baru saja melingkari poin negatif 'efek kontrak tak berimbang' di kertasnya. "Apa manusia yang berkontrak itu harus meminum darah juga? Sejujurnya... aku agak..." ia menggantungkan kalimat, tak bisa membayangkan jika ia harus meminum darah si dim kurang terang itu. Hii.

"Tidak, itu tidak akan terjadi. Kalian tetap manusia, hanya fisik luar tidak menua dan tubuh kalian jadi kuat, itu saja," Kuroko berucap datar, Kise menghela napas. Lega sekali.

"Sebenarnya masih banyak efek yang lain, tapi untuk lebih jelasnya boleh kau tanya pada Sei-nii. Efek yang ditimbulkan, rugi atau untungnya sebenarnya tergantung kepada manusia itu sendiri, bisa atau tidaknya tubuh mereka merespon semua risiko kontrak. Yang bisa mengendalikan, tentu akan menguntungkan, tapi yang tidak, itu akan membebani tubuh mereka sendiri," Kise merinding sendiri. Sei-nii itu Akashi yang kemarin itu, kan? Orang gila macam apa yang berani tanya-tanya sama maniak gunting begitu?

"Gampangnya," tangan mungil Kuroko merebut kertas dan pena dari tangan besar Kagami, ia menulis sesuatu. "Cara matematika, positif tambah positif sama dengan positif. Sedangkan positif ditambah negatif hasilnya tergantung mana yang lebih besar," si biru muda menulis cara matematikanya.

Kagami menatap Kise yang mengangguk mengerti. Senyumannya merekah sangat lebar seperti anak-anak yang polos dan tak tahu apa-apa. Selayaknya bukan seorang manusia yang terjebak dalam dunia penuh darah lantaran ikut menjadi korban.

Kise manusia, dan dirinya bukan. Kagami jadi merasa bersalah karena ialah yang mengikutsertakan manusia normal seperti itu ke dalam dunia mereka.

DUAK

"AAAWW, SAKIT!" erang Kagami mendadak. membuat Kise yang berada di depannya hampir jantungan dan Kuroko yang duduk tepat di sampingnya nyaris tersedak.

Menoleh ke belakang, terdapat satu makhluk biru kurang terang mengelus kepalan tangannya. "Balasan untuk sikumu tadi," ujarnya gampang sembari menyeringai lebar.

Dengan segera si merah bangkit, memberikan jambakan yang lumayan untuk si biru. Kise tersenyum canggung, sedang Kuroko mengasingkan diri bersama kekasihnya—gelas vanilla shake yang telah habis—ke pojokan.

Aksi jambak-jambakan terjadi. Kise berusaha menjadi anak baik dengan melerai kedua monster empat perut itu, namun yang terjadi malah—

"Kau diam, Kuning! Dasar pirang perusak pandangan!"

—seperti itu.

Tidak terima dikatai oleh seseorang yang, em... sesuatu, Kise meledak. "Enak saja, kau itu kurang terang!" serunya sembari mencekik Aomine.

Keributan tidak terelakkan. Sedangkan satu-satunya makhluk yang bisa menenangkan malah menonton dengan pandangan datar dan tetap menyeruput gelasnya—yang, sekali lagi, isinya telah habis— dalam damai.


.


Sambil mengunyah saladnya dengan ekspresi datar, sang raja merah menatap ke arah halaman. Empat warna rambut terlihat bergerombol di sana, rupanya duo KagaKuro dan satu pasangan partner baru—Aomine dan Kise. Beberapa suara berisik terdengar sampai ke sini. Huh, ternyata si anak baru itu cepat akrab juga dengan yang lainnya.

"Hari masih pagi dan mereka berisik lagi," komentar Akashi sembari mengunyah potongan wortelnya.

"Sumimasen Akashi-san, kalau makan jangan sambil bicara—sumimasen…" Ketika Akashi mendelik, Sakurai makin ciut. Benar kata Kagami. Walau punya wibawa, pimpinan muda ini punya kebiasaan buruk ketika makan dan minum. Dan lagi, ia sangat susah untuk dinasihati dalam perkara itu. Kagami saja tidak digubris—kalau orang lain, pasti sudah dilempari gunting.

Untungnya Sakurai masih belum masuk kategori 'orang lain' karena dia adalah juru masak mansion ini.

Lagipula salad hari ini rasanya enak juga.

"Wah wah, Akashi-kun. Jangan jahat pada Saku-chan dong. Dia kan sudah repot-repot bangun pagi tiap hari untuk memasak."

Wajah Akashi makin datar saja. Nah ini dia, vampir paling nggak guna sepanjang sejarah serikat mereka—

—bohong. Tentu saja gadis berambut merah jambu ini ada gunanya. Sejak kapan Akashi membawa masuk orang yang tidak berguna?

"Ngomong-ngomong, tumben Akashi-kun makan di ruang makan. Biasanya makan sendirian di ruang kerja atau kamar."

Sang pemilik mata heterokromatis menghela napas singkat. "Sedang ingin saja."

Sang gadis cantik—Momoi—menuangkan teh merah ke cangkir Akashi. Sang pimpinan itu kemudian menyeruputnya dengan wajah datar.

"Sumimasen Akashi-san, aku lupa bilang kalau Midorima-kun dan Takao-kun sudah berangkat menjalankan misi. Kiyoshi-san dan Hyuuga-san juga berangkat saat pagi buta tadi."

"Eeeh, jadi sepi dong—" Momoi menolehkan kepala ke arah jendela. Terlihat adegan jambak-menjambak yang epic antara Aomine, Kise, dan Kagami. Di pojokan sana, Kuroko masih datar sambil maksa menyeruput gelas minuman yang jelas-jelas sudah habis isinya. "—oh, tapi sepertinya tidak begitu."

Akashi tersenyum ketika melihat keempat orang yang tingkahnya makin tak waras itu. Entah senyum keki atau senyuman iba.

"Sejak Kise-kun datang kemarin, sepertinya suasana mansion ini agak sedikit terasa berbeda." Akashi kembali mendelik pada Sakurai. "S-sumimasen! Maksudku, suasananya jadi lebih ceria!"

Akashi mendengus geli. Asyik juga mengerjai manusia galau model Sakurai. Dasarnya Akashi memang sadis, semua orang dia buat takut.

"Jadi kau mau bilang kalau mansion ini suram?" Akashi melotot seram. Sakurai merinding disko. Hujan 'sumimasen' terlontar di penjuru ruangan. Melihat Akashi yang hanya diam sambil tersenyum puas, Momoi geleng-geleng kepala. Repot kalau punya pemimpin sadis.

Kasihan pada Sakurai, Momoi memohon pada Akashi untuk memaafkannya. Hei hei, sejak kapan Momoi jadi kurang ajar dan berani menyuruh-nyuruh untuk memaafkan orang lain? Padahal seingatnya, Momoi sangat penakut saat pertama kali menginjakkan kaki ke dalam mansion (itu karena sejak dulu pun, kau menyeramkan Akashi). Dasar, makin lama makin tak tahu diri saja para anak buahnya. Ya sudahlah. Toh Akashi paling tidak tahan bila berhadapan dengan orang yang selalu canggung dan serba salah.

Canggung dan serba salah, huh?

.

"Uwaaaa! M-maafkan aku, Akashi-san!"

"Berhenti meminta maaf, kau pikir aku bisa marah padamu?"

.

(Ucapannya dibalas senyum canggung).

.

Ah. Dulu juga biasanya selalu seperti itu.

"Aku tidak marah sama sekali, Satsuki. Dan Kouki, tolong kau hentikan tingkah panikmu itu."

Diam.

Sakurai dan Momoi menatap kaget ke arah Akashi.

"Ada apa?"

Sakurai memberanikan diri, "Akashi-san, siapa itu Kouki?"

—ah.

Barusan ia menyebut nama 'itu' kah?

"…Aku kembali ke ruang kerja."

Meninggalkan separuh sisa salad dan tiga perempat teh yang belum habis diminum, Akashi meninggalkan Momoi dan Sakurai yang mematung. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mengejar—memanggil saja takut.

Mata Akashi baru saja berkilat sangat mengerikan barusan.


.


Di balik meja kerjanya, Akashi mengurut pelipis. Empat orang tadi masih saja ramai di halaman sana, entah apa yang mereka bicarakan. Akashi harap itu adalah diskusi soal vampir atau posisi Kise saat ini. Banyak yang harus mereka ajarkan pada Kise mulai saat ini.

...haaah, lagi-lagi ketambahan murid baru.

Kalau dipikir-pikir, masalah Kise ini memang sumbernya tak lain tak bukan ialah dari adik sepupunya sendiri. Dasar, bikin repot sa—

—ah lihat, Kagami tertawa.

Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini Kagami memang jarang tertawa. Si alis ganda itu mulai tumbuh menjadi pemuda yang khawatiran kadang parno berlebihan. Sungguh, sifatnya yang mulai menjadi tidak praktis itu sangat mengganggu bagi Akashi.

Padahal sejauh yang ia ingat—dulunya Kagami itu polos dan selalu bahagia.

Tsk. Ini semua gara-gara 'dia'.

Akashi mengamati sebuah benda perak yang tersimpan di laci meja kerjanya, tatapannya campur aduk. Ia benci, ia dendam, ia marah, ia kecewa, ia rindu—

—ia dikhianati.

Delapan tahun lalu, ada seseorang yang mengambil dua hal penting miliknya. Dan sampai sekarang pun, Akashi masih tetap mengejarnya. Ada satu hal yang benar-benar ingin ia ambil kembali, sementara satunya ingin ia hanguskan bersama eksistensi orang itu sendiri.

"…tunggu saja, aku akan mengambilmu kembali…"

Bukan Akashi Seijuurou namanya bila ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.


.

.


Berliput keramaian dan bising kendaraan, dua manusia menyusuri trotoar yang semak akan pejalan kaki. Seorang dari mereka bersiul sembari menyilangkan tangan di belakang kepala, sedang yang lainnya berjalan dua langkah lebih ke depan.

Oh, ralat. Seorang manusia, dan seorang lagi bukan.

"Nee, Shin-chan," keluh yang hitam, Takao, memanggil si hijau, Midorima, yang berada di depannya. "Jalannya jangan cepat-cepat, dong. Aku kan tidak bisa mengikuti."

Si hijau menaikkan kacamatanya, yang sebenarnya sama sekali tidak turun. Ia berhenti sejenak, memberi jeda agar sang hitam mengikuti. "Salah siapa lamban? Dan aku bukan berhenti karena aku peduli, aku hanya muak melihatmu yang lamban sekali."

Daripada tersinggung, pemuda bersurai hitam itu malah tertawa. "Pffft, Shin-chan tsun-tsun, deh~" girang si hitam sambil iseng mencubit pipi Midorima gemas.

Hening sejenak untuk mereka, namun tidak untuk dunia. Di sebuah etalase toko elektonik, terdapat beberapa televisi yang menyiarkan siaran sama, beberapa orang berkumpul untuk menonton sejenak berita di televisi itu.

["pemeran utama, Kise Ryouta, dinyatakan menghilang sejak dua hari yang lalu"]

Takao mengerjap, setelah memutuskan untuk melihat apa yang membuat orang berkerumun untuk melihat televisi. "Hoo, jadi dia semacam artis, begitu?" ia berkata sendirian, tatkala di televisi tersebut terpampang wajah seseorang yang dikenalnya.

"Cepatlah, Takao. Nanti kutinggal."

"Baiklah, Shin-chan~"

Cepat-cepat Takao mengejar langkahnya yang tertinggal. "Nee, Shin-chan. Menurutmu bagaimana dengan si Kise Ryouta itu?"

Midorima mendengus, sama sekali tak menoleh meskipun mereka sedang berada di jalan setapak yang sempit dan basah. "Aku sudah tahu kalau dia seorang artis. Kemarin aku memburu datanya bersama Kiyoshi-senpai dan Hyuuga-senpai."

Memasang wajah sok terpana, Takao menepuk tangannya satu kali. "Sasuga, Shin-chan! Eh, tapi tumben sekali kau mengumpulkan data bersama orang lain, biasanya forever alone?" siku Takao menyodok pelan pinggang Midorima, menggodanya.

"Kebetulan saja aku bertemu mereka, nanodayo. Dan jangan menyikut pinggangku, itu geli," Midorima memprotes aksi sikut-sikutan Takao.

Pemuda hitam itu menarik tangannya sambil mencibir. "Huu, Shin-chan nggak asik," komentarnya, sembari menyilangkan lagi tangannya di belakang kepala.

Si hijau bertingkah tidak peduli, namun demikian, ia meraih sebelah tangan Takao dan menggenggamnya. Dengan garis tipis kemerahan yang menghias di wajahnya.

Tidak ada yang berbicara setelah itu.

Tidak ada, hingga secara mendadak Midorima membalikkan tubuhnya dan menarik Takao. Limbung, Takao seketika menabrak si hijau yang segera melingkarkan sebelah tangannya di pinggang sang hitam—

DOR

—dan entah sejak kapan mengambil senjata Takao, pistol revolver model lama, sebelum melepaskan pelurunya ke arah jam sembilan tempat mereka berdiri.

Sepasang mata kelabu mengerjap beberapa kali sebelum membiasakan diri akan apa yang terjadi.

"Shin—"

"Ssshh," desis Midorima, menyuruh partner-nya untuk diam. Tangan kirinya masih menggenggam revolver milik Takao, dan tangan kanannya masih memeluk pinggang si hitam.

Sebelum benar-benar memahami keadaan, mata kelabu itu mendapati adanya seonggok mayat yang jatuh tepat di arah Midorima menembak.

Itu—vampir.

Dan dia mati, terkena tembakan berisi peluru sembilan milimeter dari sebuah revolver. Tepat di kepala, mengenai mata kirinya.

Takao bisa mengetahui itu dari darah yang mengucur di mata kiri sang mayat. Di tangan mayat itu terdapat sebuah senjata berupa pisau lempar, agaknya ia berniat untuk melukai Midorima dan Takao secara diam-diam.

"Pasti masih ada yang lain," geram sang hijau, menggenggam erat pinggang Takao tanpa sadar. Berliput bingung, pemuda hitam itu terpaksa menyetujui.

Sebab, jalan setapak ini lumayan gelap, tertimpa atap bangunan yang berimpitan. Tidak heran banyak makhluk yang bersembunyi di balik bayang-bayang.

Berselimut sunyi, Midorima dengan hati-hati dan diam mencoba untuk memperhatikan adanya pergerakan yang ganjil. Cepat, tubuhnya berbalik dan menembak lagi.

Dua peluru hangus. Dua mayat terbaring.

Takao yang melihat hal itu hanya bisa terpana dalam hening. Baiklah, ia memang tahu kalau Midorima Shintarou memiliki skill yang hebat dalam pertarungan, tapi—

"Mundur, Takao."

Pemuda hijau tinggi itu memanjangkan kukunya, dengan gerakan cepat mengembalikan revolver Takao ke tempat semula. Begitu cepat sampai Takao sendiri tak menyadarinya.

Midorima masuk ke dalam gelap, Takao berusaha mengikuti. Diam-diam, tentu saja, sebab si hijau pasti tak akan mengizinkan manusia kesayangannya itu untuk ikut bertarung. Langkahnya sengaja ia percepat dengan tak mengeluarkan suara agar tidak ketahuan Midorima.

Berhenti mendadak, membuat sang hitam menabrak punggung Midorima. "Apa yang kau lakukan, nodayo? Sudah kubilang mundur!" ia menggeram, memandangi wajah Takao yang tidak terima.

"Tidak mungkin kubiarkan Shin-chan bertarung sendirian! Ini misi kita, Shin-chan! Bukan misimu sendiri! A—"

Kalimat itu terhenti, seiring dengan musuh yang bermunculan, mengepung mereka.

Sang hitam menyeringai, betul-betul bahagia dengan keadaan mereka yang dikelilingi musuh tanpa celah. "Wah, kebetulan sekali. Aku bisa dekat-dekat sama Shin-chan, deh~" ia menggumam riang seraya memposisikan diri membelakangi Midorima, menempel lekat di punggungnya.

"Jangan bercanda, nanodayo," sahut Midorima, tanpa sadar wajahnya memerah. "Selesaikan dengan cepat, lalu pulang, aku banyak urusan."

"As you wish, Shin-chan~"

Terkekeh, Takao memulai serangan. Diambilnya dua pisau pendek dari kedua sisi pinggang, menghujamnya dalam-dalam tepat di jantung lawan.

Satu serangan, dua tumbang.

Tapi terlalu cepat untuk merasa senang.

Mengganti senjatanya, Takao meraih sebilah pedang yang tersembunyi di balik jaketnya. "Yang ini lebih panjang~" senyumnya terlihat gembira, tanpa mempedulikan bahwa sekarang ia sedang menebas habis kepala musuh-musuhnya hingga terpenggal.

"Jangan cuma main-main, Takao. Musuh masih banyak," komentar sarkatis dari seorang Midorima, yang hanya menonton pasangannya itu menebas-nebas kepala lawannya.

Takao masih tertawa, dengan cepat mengangguk gembira sambil menebas sembarangan. Kali ini, ia tak peduli meskipun bukan kepala yang jadi sasaran.

Berselimut gaung jeritan, Midorima hanya memperhatikan Takao seorang. Tak dipedulikannya musuh yang menyerang, tusuk saja yang mengganggu, dan urusan selesai. Dalam kepala, nelangsanya berkata penuh tanya kepada sanubari terdalam.

Apa yang terjadi dengan mataharinya?

Jumlah musuh makin menipis saja, sementara Takao masih tetap tersenyum—tentu saja, akan sangat aneh bila ia tidak—namun gerakannya makin menggila saja. Ayunan tangan dan tendangan liar itu bukanlah gerakan-gerakan yang dulu diajarkan Akashi padanya. Serangan Takao terlalu membabi buta, kurang terkontrol. Banyak gerakan sisa-sia dan berakibat pada celah pertahanan yang makin melebar. Tsk, harusnya Takao ingat kalau ia masih manusia. Berbahaya kalau ada salah satu dari vampir-vampir itu yang melukainya.

Dan lagi—ada apa dengan senyumnya itu? Tidakkah ia terlalu menikmati pertarungan tak berimbang ini? Mana ada orang yang tersenyum bahagia di tengah situasi hidup-mati—

Hidup-mati—

"—bukan matahari. Sejak awal, di sini tidak ada yang namanya matahari."

—ah.

Takao yang sekarang bukan lagi matahari. Ia kembali menjelma menjadi iblis.

Iblis yang haus akan darah.

Tidak. Ia tidak mau melihat Takao yang seperti itu.

Tidak mau. Tidak mau. Tidak mau. TIDAK MAU.

Lakukan sesuatu—ya, ia harus menghentikan Takao.

"TAKAO—"

Sepasang kelabu yang berkilat balas menatap, warna daun dan debu saling bertumbukan.

Tepat di belakang Takao, satu vampir mengayunkan cakarnya.

"—BELAKANGMU!"

Terlambat.

Segalanya berputar lambat di hadapan iris Midorima yang melebar. Satu vampir laknat itu menanamkan kukunya dalam-dalam di dada kiri Takao, tepat ketika si matahari yang dirundung gerhana itu berbalik. Gesekan kasar mengoyak daging yang dibenami jalinan kitin tersebut, sebelum benda asing itu kembali menarik diri. Darah mengucur deras, sosok Takao limbung dan jatuh bertemu tanah.

Kolam darah.

Sisa-sisa vampir yang ada mulai mendekat untuk berpesta dengan cairan merah yang menggenang.

Don't. You. Dare.

Ketika pandangan Takao memutih, visi Midorima menghitam.

Ia tak ingat jelas tentang detailnya. Yang ia rasakan hanyalah amarah luar biasa, kaki yang bagai melangkah di udara, dan kuku-kukurnya yang menyayat habis makhluk-makhluk hina itu.

Mereka mati.

Mereka yang berani melukai Takao memang pantas mati.

Bunuh. Semuanya.

Tidak. Masih kurang. Di luar sana masih banyak orang, bisa jadi nantinya mereka akan melukai Takao. Mungkin tidak sekarang. Namun besok? Lusa? Tahun depan? Siapa tahu?

Ya. Bunuh. Sekarang—

"…kh." Midorima memegangi kepalanya. Tidak, Midorima Shintarou. Jangan kehilangan kendali. Jangan kalap atau Akashi akan membabat habis kalian berdua. Jangan, tidak ketika Takao baru terluka—

—ah, iya. Takao. Bagaimana bisa ia lupa?

(Cinta yang berubah obsesi itu memang menyeramkan.)

Mendadak panik, Midorima segera menopang tubuh Takao yang tergeletak tak berdaya di gang sempit tersebut. Jemarinya melepas kancing kemeja Takao dengan hati-hati, luka menganga terpampang jelas di area dada kirinya. Tch, ia harap goresan ini tak terlalu dalam—ia tidak sehebat Kuroko dalam hal menangani jantung bocor.

"Takao, jangan tutup matamu! Bertahanlah sebentar, aku akan membuatkan—"

"…-chan… jangan pergi…"

Tangan yang tergolek lemah itu menggapai jemari Midorima. Déjà vu.

"Bodoh. Bagaimana bisa aku mengobatimu kalau kau tidak mau melepas tanganmu?"

Harusnya ia panik, dan detak jantungnya memang masih tak karuan. Takao bisa saja mati semenit atau dua menit lagi bila lukanya tidak segera ditangani.

Namun nada kalimatnya barusan terdengar begitu tenang.

Lagipula, ia memang seperti pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya.

Pemuda hijau itu menggigit bibirnya, rasa besi mulai menyambut indera pengecap ('Ini akan membantu untuk sementara'). Jemarinya mengeratkan genggam pada Takao, sementara wajahnya bergerak maju untuk menutup jarak dengan sang partner.

.

.

.

"—tetaplah bersamaku seperti ini. Ini saja cukup, Shin-chan. Hanya ini."

.

.

.

"…sekarang aku ingat."

Dua bibir yang tejebak obsesi itu kembali terpaut dalam balutan darah.

.

.

.

To be Continued

.

.

.

.

.

.

.

Deformity NG!

Take 1!

Sang gadis cantik—Momoi—menuangkan teh merah ke cangkir Akashi. Sang pimpinan itu kemudian menyeruputnya dengan wajah datar.

"Sumimasen Akashi-san, aku lupa bilang kalau—lho, Akashi-san?"

"Uooghhh! Ohookkk!"

Mendadak Akashi muntah darah. Lalu tumbang dengan ganasnya di atas piring saladnya. Secangkir teh merah jatuh dan tumpah berserakan di lantai.

"…sumimasen, Momoi-san. Itu tehnya siapa yang buat?"

Momoi menjawab enteng, "Eh? Tentu saja aku. Ada apa, Saku-chan? Akashi-kun juga kenapa mendadak tidur?"

Oh, pantas saja. Hebat Momoi, kemampuan lethal chef yang tak diragukan lagi.

Maka, mulai hari ini kepala serikat Kiseki no Sedai dinyatakan telah gugur akibat gejala keracunan minuman.

(Sebuah gunting melayang).

.

.

Deformity NG!

Take 2!

"Pasti masih ada yang lain," geram sang hijau, menggenggam erat pinggang Takao tanpa sadar. Berliput bingung, pemuda hitam itu terpaksa menyetujui.

Cling. Sinar ide bergemerlap lampu menghias kepala hitam Takao.

"Ih, Shin-chan romantis banget, sih. Pake peluk-peluk aku segala~"

Kemudian Midorima melepas pegangannya pada pinggang Takao seketika, dengan serabut warna merah di wajahnya.

.

.

Deformity NG!

Take 3!

Satu serangan, dua tumbang.

Tapi terlalu cepat untuk merasa senang.

Mengganti senjatanya, Takao meraih sebilah pedang yang tersembunyi di balik jaketnya. "Yang ini lebih panjang~" senyumnya terlihat gembira, tanpa mempedulikan bahwa sekarang ia sedang menebas habis kepala musuh-musuhnya hingga terpenggal.

Kening Midorima berkedut seketika. Dalam keributan, ia melepas suara—

"Apa yang kau katakan, Takao! Itu ambigu!"

—dan Takao hanya bisa memiringkan kepala. Tidak mengerti apanya yang ambigu dari ucapannya, juga mengapa wajah vampir kesayangannya itu mendadak merah.

.

.

.

Balasan review yg ga login:

Unknownwers:

apdet lagi, silakan dibaca dan review lagi #jdor

yah, kira-kira begitulah, penjelasan lengkapnya bisa dilihat di chap ini, baru dikit sih, dan banyak hint-hint (yaoi #dor) bertebaran di fic ini

ah, Furihata, namanya dah muncul kok. Dia jadi apa? Itu masih misteri #plak

.

Balasan review yg login sudah saya jawab via pm :)

Mind to review again?