Title: Kuchisake Onna

Disclaimer: Masashi Kishimoto. Cerita ini saya buat hanya untuk hiburan semata, tidak ada keuntungan materiil yang saya harapkan dari cerita ini.

Happy reading...


Kuchisake Onna

Chapter 1

Hari ini cuaca terlihat tak bersahabat. Langit gelap, kelam dengan beberapa kilat menyambar-nyambar sebagai cahayanya. Hujan mengguyur penjuru kota sepanjang hari ini. Akibatnya, jalanan menjadi basah dan licin, menyebabkan kendaraan di atasnya terdorong bergerak lebih cepat.

"Onii-san, kita benar-benar akan pindah ke desa di Hokkaido?" seorang gadis berambut merah muda bertanya dengan tatapan kosong ke arah luar kaca mobil, menatap hujan lebat dengan mata emeraldnya. Sebenarnya pertanyaan gadis itu lebih tepat dikatakan sebagai bentuk protes atas ketidaksetujuannya.

Laki-laki berambut merah marun yang duduk menyetir Lexus biru di samping gadis itu tidak mengubris. Mata merah delimanya masih menatap lurus ke jalan di hadapannya.

Sakura Haruno, gadis berambut merah muda itu hanya mendengus kesal melihat reaksi kakaknya. "Kupikir aku akan melanjutkan kuliah di kota," nada kesal terdengar jelas di balik suaranya yang khas. Mata emeraldnya masih memandang hujan yang tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. "Tapi kenyataannya aku harus ikut ke desa yang sama sekali tidak kuketahui entah dimana, menyebalkan!"

Sasori Haruno, kakak laki-laki Sakura itu hanya bisa menghembuskan napas berat. Ia tahu pasti bagaimana perasaan adiknya jika sudah berkata seperti itu. Sasori juga merasa agak bersalah, "Ini hanya satu sampai dua tahun selama aku bertugas di sana."

Sakura masih memayunkan bibirnya. Namun ketika otaknya mendengar nada penyesalan di balik suara kakaknya, pandangannya meredup. Ia memalingkan wajah ke arah kakaknya yang masih memasang wajah datar. "Maaf," ucap Sakura tulus, "Aku hanya merasa sedikit kesal, ya, sedikit."

Seulas senyum yang sangat disukai oleh Sakura menghiasi wajah tampan Sasori. "Sesekali kau harus menikmati panorama desa," katanya kemudian.

Sakura mengangguk, kemudian tersenyum dan berkata, "Iya, kau benar. Seharusnya aku memang harus mencoba ke tempat dimana aku bisa merasakan hidup lebih baik."

Sasori melirik adiknya sejenak. Ia menghembuskan napas lega karena melihat wajah adiknya sudah tidak menunjukkan rasa keberatan lagi. "Aku berjanji, setelah kembali ke kota, kau akan kukuliahkan di universitas terbaik yang pernah ada." Ujar Sasori yakin.

"Aku percaya," sahut Sakura senang. Namun, tiba-tiba raut wajah Sakura berubah sendu. "Tapi apakah mungkin aku bisa bertahan selama itu? ya, aku takut kalau seandainya aku tidak bisa kembali ke Tokyo lagi."

Sasori sangat mengerti maksud perkataan Sakura. Ia juga mencemaskan hal yang sama, tetapi kemudian ia membuang pikiran yang baru saja terlintas di benaknya jauh-jauh. Ia hanya bisa tersenyum samar. "Semua akan baik-baik saja, percayalah," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.

Apakah semua benar-benar akan baik-baik saja? Sakura tahu pasti bahwa perkataan Sasori tadi hanyalah untuk menenangkan dirinya atau mungkin untuk menenangkan Sasori sendiri, entahlah. Tetapi yang pasti, Sakura tahu itu. Ia tahu pasti bahwa semua tidak akan baik-baik saja, tidak setelah ia didiagnosis menderita kelainan jantung. Kata dokter, jantung Sakura mengalami kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tuanya sehingga jantungnya tidak dapat memompa darah secara normal. Sakura tahu pasti ia mendapatkan penyakit itu dari siapa karena ibunya dulu meninggal karena penyakit yang sama saat ia masih berumur sepuluh tahun.

"Sebaiknya kau istirahat dulu. Dua jam lagi kita akan sampai," suara Sasori membuyarkan lamunan Sakura.

Sakura memutar kepalanya sejenak, kemudian ia tersenyum yang dapat diartikan sebagai ucapan terima kasih bagi Sasori. Ia menutup matanya kemudian dan memutuskan untuk tidak memikirkan apa pun saat ini.


Langit terlihat sangat gelap ketika Sasori menghentikan Lexus birunya dan memarkirkannya di halaman tandus yang cukup luas. "Sakura, bangun," katanya setengah berbisik sambil menepuk bahu Sakura pelan.

Sakura mengerang dan membuka matanya perlahan. "Ada apa?"

"Kita sudah sampai," Sasori membuka pintu Lexus-nya dan beranjak turun. Ia kemudian berjalan memutar ke sisi badan mobilnya yang lain lalu membukakan pintu untuk Sakura.

Dengan malas, Sakura turun dari mobil sebelum Sasori menutup pintu di belakangnya kembali. Sesekali ia menguap, tetapi ia tetap memaksakan kakinya untuk tetap berdiri.

"Ayo!" ajak Sasori sambil melangkah mendahului Sakura.

Tetapi bukannya mengikuti langkah kakaknya, Sakura malah berdiri mematung. Sesekali ia mengusap matanya sambil menatap tak percaya. Ia masih tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Saat ini sebuah mansion megah berdiri kokoh tepat di hadapannya. Mansion itu sangat besar saat terlihat dari tempatnya berdiri, indah, dan juga terkesan mewah. "Kita akan tinggal di sini?" tanya Sakura masih tidak percaya. Ia tersadar bahwa ia sudah tertinggal cukup jauh dari Sasori. Buru-buru ia melangkah cepat untuk menyamakan langkah kakaknya.

"Begitulah," Sasori mengiyakan sambil menyunggingkan senyum khasnya.

"Wow... tinggal di mansion besar dengan kebun yang luas ini, sugoi!" sahut Sakura takjub. Matanya terlihat berbinar-binar.

"Hm, sewanya juga sangat murah."

"Apa? Kau serius?" tanya Sakura setengah berteriak.

"Apa aku terlihat sedang bercanda?" Sasori balik bertanya ketika melihat reaksi adiknya yang agak berlebihan. Tidak, hal itu tidak berlebihan mengingat reaksi Sasori saat mendengar hal yang sama dari temannya tidak jauh berbeda. Siapa yang tidak terkejut mendengar kata "murah" untuk mansion berkelas seperti ini?

Sakura menerawang ke dalam bola mata Sasori sejenak. Tak didapatinya sekilat kebohongan yang dicarinya di mata laki-laki itu. "T-tidak sih. Tapi aku masih belum yakin."

"Temanku yang memilihkan rumah ini. Dia memang bisa diandalkan," puji Sasori tiba-tiba.

"Temanmu... siapa?" tanya Sakura penasaran. Setahunya kakaknya itu tidak pernah berteman dengan siapa pun karena sikapnya yang dingin.

"Namanya Itachi Uchiha, ia anak pengusaha terkaya dan ternama di Kyoto, Fugaku Uchiha." jawab Sasori tenang. Ia melihat Sakura tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk-angguk. "Dia juga akan tinggal bersama kita karena kebetulan dia akan bekerja di kantor pariwisata di kota dekat sini." Sasori kemudian merongoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kunci yang berukuran cukup besar.

Sakura memperhatikan gerakan tangan kakaknya yang memutar kunci setelah memasukkannya ke lubang, kemudian mendorong gagang pintu sehingga pintu terbuka lebar. Sakura mengalihkan perhatiannya ke arah ruangan lusa di hadapannya. Matanya tak berhenti berkilat-kilat saat retinanya menangkap seisi sudut ruangan. Lantai marmer, dinding berarca klasik, barang-barang antik, dan guci-guci hias membuat Sakura tidak dapat mengerjapkan matanya barang sedetik pun. Rumah itu benar-benar tak seperti kontrakan kecil yang sering ia bayangkan sebelum sampai ke tempat itu.

"Naiklah ke lantai atas terlebih dahulu dan pilih kamar yang ingin kau tempati. Aku akan mengambil barang-barang kita di bagasi terlebih dahulu."

Sakura sempat akan memprotes sebelum kakaknya mengangkat tangan yang memberikan isyarat bahwa ia tidak keberatan. Sakura tersenyum sebagai ucapan terima kasih, begitu juga kakaknya yang telah berbalik memunggungi Sakura dan berjalan ke arah mobilnya. Sakura melanjutkan perjalanannya menapaki lantai marmer, kemudian ia berhadapan dengan sebuah tangga bergaya klasik yang ia tahu akan membawanya ke lantai atas. Sakura menarik napas terlebih dahulu sebelum melangkah menaiki anak-anak tangga satu persatu yang terbuat dari kayu itu.

"Ternyata tidak terlalu tinggi seperti kelihatannya," gumam Sakura kepada dirinya sendiri. Saat ini ia tengah berada di lantai dua rumah yang akan ditempatinya itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan kemudian mendapati dua buah koridor yang tidak terlalu besar. Lantai dua tidak terlalu luas, pikirnya. Sakura menoleh ke lantai bawah dan mendapati Sasori berjalan tertatih-tatih membawa barang mereka. Sakura hanya menyunggingkan sekilas senyum kecil saat melihat kakaknya memasang wajah gusar. Kemudian, ia memutuskan untuk melangkah ke koridor sebelah kiri untuk memilih kamar seperti yang telah dikatakan oleh kakaknya. Sakura melihat ada dua buah pintu geser yang berseberangan sebelum akhirnya ia memilih pintu di sebelah kanannya. Digesernya pintu yang tidak terkunci itu dan mendapati ruangan bernuansa Jepang klasik. Ruang itu luas dan tampak kosong. Hanya ada sebuah lemari kecil di sudut ruangan yang menempel di dinding. Lantainya ditutupi tatami lebar kecoklatan yang menambah kesegaran suasana. Tak ada satu pun debu yang menempel di lantai dan langit-langit juga tampak bersih, menandakan bahwa ruangan itu sering atau baru dibersihkan. Sakura tak dapat menahan langkahnya lebih lama lagi untuk memasuki ruangan. Dibukanya sepatunya kemudian ia mulai menjelajahi ruangan itu.

Mata Sakura tak berhenti memeriksa seluruh isi kamar, mulai dari lemarinya, kamar kecilnya, dan juga jendelanya yang menghubungkannya dengan halaman belakang rumah yang sangat luas. Senyuman tak pernah berhenti tersungging dari wajah cantiknya, sebelum akhirnya matanya menangkap sebuah foto yang cukup besar yang sempat luput dari pandangannya yang menempel di dinding. Foto itu menggambarkan seorang wanita berkulit pucat dari kepala sampai ke dada dengan rambut indigo terurai panjang. Disentuhnya bingkai kaca yang melapisi foto itu dengan sebelah tangannya dan begumam pelan, "Cantik."

Tepat setelah ia bergumam, wajah di foto itu terlihat menyunggingkan senyuman. Sakura terkejut dan menarik lengannya. "Tidak mungkin," sahutnya setengah berbisik, kemudian mengusap-usap matanya dan kembali menatap foto itu. Ternyata foto itu sama sekali tidak berubah, sama seperti saat sebelum ia menyentuhnya. Sakura menghembuskan napas lega. Ia menjadi yakin bahwa barusan ia salah lihat, mungkin karena rasa kantuk yang menghantuinya. Diliriknya jam tangannya, masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi rasa lelah sehabis perjalanan membuat rasa kantuk menggerogoti seluruh tubuhnya. Tiba-tiba, ia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya yang sejenak membuatnya merinding. Sakura berbalik dan terkejut melihat Sasori berdiri di belakangnya yang menatapnya dengan alis terangkat.

"Kau kenapa?" tanya Sasori heran, kemudian mendapati Sakura mengelus-elus dadanya sambil terengah-rengah. "Kau tidak apa-apa?" tanya Sasori lagi, khawatir.

Sakura menggeleng. "Tidak apa-apa, aku hanya sedikit terkejut," kemudian ia menoleh ke belakang Sasori, ke arah koper merah mudanya dan sebuah kardus besar. "Terima kasih telah membawakannya untukku," ucapnya ceria kemudian.

"Kau tau, betapa susahnya aku membawa barang-barang ini untukmu dari lantai bawah. Kuharap kau membayarku setelah ini," ujar Sasori setengah bergurau. "Sebaiknya kau istirahat. Kalau ada apa-apa, panggil aku. Kamarku di depan kamarmu," Sasori menepuk kepala Sakura pelan, kemudian mengecup keningnya yang yang lebar.

Wajah Sakura sontak memanas. Bukankah wajar seorang kakak melakukan itu kepada adiknya? Entahlah, tapi hal itu tidak bagi Sakura. Ia berusaha meredam wajahnya yang saat ini pasti berwarna merah. Untungnya Sasori telah berbalik dan tidak melihat wajahnya saat ini, tapi kemudian ia berbalik lagi untuk mengucapkan selamat malam yang membuat Sakura menahan napas sejenak. Sakura cepat-cepat membalasnya dengan ucapan yang sama dengan maksud agar Sasori cepat pergi dari kamarnya. Baru setelah Sasori keluar dari kamarnya dan pintu geser kembali tertutup, Sakura bisa menghembuskan napas yang sedari tadi ditahannya.

Sakura masih tak mengerti dengan jalan pikirannya. Bukankah ia sudah lama membuang perasaannya kepada Sasori? Tapi kenapa ia masih merasa aneh ketika laki-laki itu melakukan sesuatu kepadanya? Sakura masih tak mengerti. Rupanya ia memang masih yakin di dasar lubuk hatinya bahwa perasaan yang dirasakannya bukanlah hal yang salah atau semacamnya. Ya, memang benar perasaannya itu tidaklah salah mengingat Sasori bukanlah kakak kandungnya. Kedua orang tua mereka adalah orang yang berbeda. Mereka berdua menjadi saudara hanya karena ibunya menikah dengan ayah Sasori. Tetapi, kedua orang tua mereka sudah meninggal. Ayah Sasori sudah meninggal tiga tahun yang lalu, sedangkan ibunya sendiri sudah meninggal satu tahun yang lalu. Jadi, saat ini bisa dibilang mereka tidak memiliki hubungan apa-apa dan berarti Sakura sangat boleh memiliki perasaan suka kepada Sasori. Namun, di sisi lain hal itu masih sangat sulit bagi Sakura mengingat Sasori selama ini hanya menggapnya sebagai saudara. Apalagi dengan kondisinya saat ini...

Sakura mendesah untuk menghilangkan segala pikiran yang berkecamuk di kepalanya, kemudian ia berbalik dan memutuskan untuk beristirahat. Tetapi matanya sekali lagi menagkap sosok foto di dinding ruangannya dan rasa penasaran mulai merambat di sekujur tubuhnya, "Siapa gadis ini?"


Sakura kini tengah memakai pakaian tidurnya dan merebahkan tubuhnya ke atas futon empuk yang telah dikembangkannya di tengah ruangan. Baru saja ia hendak menutup matanya, tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkannya. Suara itu terdengar seperti suara seorang gadis yang yang merintih. Sesekali suaranya berubah menjadi suara seseorang yang terbatuk, erangan yang terdengar memilukan. Sakura bangkit dari posisi berbaringnya dan mendekati jendela, sumber suara itu terdengar. Sakura menerawang dari balik salah satu kaca jendela lebar kamarnya, kemudian mendapati seorang gadis yang tengah duduk di atas bangku di halaman belakang mansion itu. Gadis itu menoleh ke arahnya. Sejenak pupil abu-abu gadis itu bertemu dengan pupil hijau milik Sakura. Sakura tersenyum dan menyadari bahwa sebagian wajah gadis itu ditutupi oleh masker putih. Gadis itu kembali terbatuk-batuk dan merintih, membuat Sakura tidak dapan menahan dirinya untuk membuka kaca jendela dan bertanya. Namun, tiba-tiba ia mengurungkan niatnya, seperti baru saja menyadari sesuatu.

"Gadis itu..." gumam Sakura, rasa penasaran kembali menghantuinya. "Sepertinya aku pernah melihatnya. Oh, dia gadis di dalam lukisan." Gadis itu menoleh ke samping kirinya dan wajahnya langsung memucat, tubuhnya mematung, keringan dingin mengucur deras dari keningnya, dan napasnya tercekat karena mendapati foto yang ada di kamar itu hilang, hanya meninggalkan bingkai kaca besar tanpa isi. Sakura lantas memberanikan diri menoleh kembali ke arah gadis itu dan ketegangannya pun kembali bertambah saat melihat gadis itu melepaskan maskernya. Bukan hal itu yang membuatnya tegang, melainkan karena wajah gadis itu, wajah yang sangat menyeramkan dengan mulut terkoyak sampai di kedua telinganya.

Setelah itu, Sakura tidak tahu apa-apa lagi karena pandangannya tiba-tiba menggelap dan kesadarannya menghilang.

To Be Continued

Bersambung... sungguh betapa tengangnya suasana di sini. Bukan karena fanfic ini, tapi. Agh! Sudahlah. Saya hanya meminta do'a kepada reviewers sekalian semoga saya diberikan yang terbaik.

Mungkin sebagian reviewers bertanya-tanya dan merasa pernah mendengar judul fanfic yang sama. Itu memang benar mengingat fanfic ini sebenarnya dulu saya pernah membuat fanfic yang berjudul sama. Fanfic itu sudah saya hapus dan semoga fanfic ini bisa lebih baik dan menggantikan yang lama. Maaf. Saya sudah memutuskannya dan berharap fanfic ini bisa terus update tepat waktu. Terima kasih kepada para pembaca fanfic saya selama ini.

Terakhir, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian karena saya merasa kemampuan menulis saya sudah sangat menurun karena sudah lama vakum. Akhir kata, terima kasih.