SWEET LOVE

Pair: ChangKyu

BUAGH!

Suara pukulan itu nyaring memenuhi gudang gelap tersebut. Hanya ada sedikit cahaya matahari yang mengintip masuk di ruangan itu. Udaranya sesak penuh dengan debu yang berterbangan. Pria dengan tongkat baseball itu tersenyum meremehkan. Sedangkan lelaki yang duduk disampingnya hanya diam menatap seorang pria yang meringkuk kesakitan didepannya.

"Cih, jadi hanya ini kekuatanmu SAMPAH!" pria bertongkat baseball itu meludah tepat kearah pria itu. Kakinya ia hentakkan tak sabar.

Hah… hah…

Deru napas pria itu mulai terdengar kepayahan. Seluruh tubuhnya bergetar saat berusaha untuk bangkit berdiri. Ia terbatuk, meludahkan darah yang ada di mulutnya.

"Kau.. hah… hah… jangan pernah… memanggilku… sampah." Suara pria itu pelan walau nyatanya ia sudah bersusah payah untuk mengeluarkan suaranya.

"Eoh? Kau tak suka kupanggil sampah? Bagaimana ya, sampah!" pria itu tersenyum mengejek. Mulai merasa senang akan reaksi pria yang berdiri didepannya.

Tangan pria itu bergetar, perlahan mengepal. Kepalanya semakin tertunduk menahan amarah yang sedaritadi ia tahan.

"JANGAN PERNAH MEMANGGILKU SAMPAH! BRENGSEK!" teriaknya dengan wajah yang mendongak. Rahangnya mengeras seolah berusaha menyimpan kemarahannya yang siap meledak.

Alis pria itu mengkerut tak senang mendengar suara pria didepannya tersebut. perlahan ia melangkah maju dengan tongkat baseball yang ia seret di lantai berdebu itu. "Kau!" ucapnya. "Mati kau!" sejalan dengan ucapannya itu ia mengangkat tongkat baseball itu tinggi. Dengan penuh amarah ia ayunkan tongkatnya kelelaki tersebut.

BUAGH

BUAGH

Tubuh pria itu terguncang hingga merosot jatuh ke lantai. Kepalanya bersimbah darah mewarnai kulit putihnya.

BUAGH

"Hey Joon-ah! Kau yakin dia Max? Dia tak sekuat rumor yang beredar…" ucap pria itu pada lelaki yang sedari tadi menonton perkelahian mereka. Lelaki itu bangkit berdiri dengan senyum ramah.

"Hemm, kurasa mungkin kau benar."

"Yah! Aish jinjja!" ucap pria itu kesal. Diliriknya pria yang meringkuk itu. Entah kenapa ia menjadi kesal sendiri. Ditendangnya perut pria itu.

Uhuk.

Lelaki yang dipanggil Joon itu mulai berjongkok untuk melihat pria yang bersimbah darah itu. Angin berhembus menerbangkan debu disekitar mereka. Joon menatap pria itu dengan binar polos matanya.

"Hah~ seharusnya kau tidak usah menahan diri." Ucap Joon, ia bangkit berdiri setelah menepuk pipi pria itu.

"Ah sebaiknya aku pulang saja." Tambahnya.

"Yah! Joon!" Ucap temannya kesal saat melihat Joon yang pergi begitu saja.

"Ah…" Joon menghentikan langkahnya. "Aku hampir lupa, hati-hatilah." Ucapnya sebelum melanjutkan langkahnya keluar dari gudang itu.

"Aissh, anak itu seenaknya saja." Pria itu bergumam kesal. "Sekarang apa yang harus kulakukan dengan sampah sepertimu?" ucapnya lagi.

"Kau…" leleaki yang tersungkur tadi tiba-tiba berdiri dengan tegak. Menatap marah kearahnya.

"Eoh? Sampah sepertimu masih bisa bangun rupanya?" ia mengayunkan tongkatnya ketubuh pria yang penuh luka itu.

Hingga saat tongkat itu kembali terayun ketubuh pria itu. Tapi kali ini pria itu tak mau menerima penghinaan lagi. Ditahannya tongkat tersebut dengan lengannya. Ia bahkan berusaha mengabaikan rasa ngilu ditulangnya. Dengan tatapan tajam ia menatap pria yang sedaritadi memukulnya.

"Kau… sudah kubilang… jangan pernah memanggilku… SAMPAH."

Ditariknya tongkat baseball itu membuat pria tersebut tertarik kearahnya. Tak ingin membuang kesempatan, dipukulnya telak perut pria tersebut dengan lututnya. Pria itu terbatuk. Merasakan sakit hingga ke ulu hatinya.

"Jangan pernah kau bermain-main denganku, dengan Max."

Pria itu melotot terkejut saat tangan kanannya terpelintir kebelakang punggungnya. Saat tubuhnya membentur lantai yang kotor ia mulai menyadari kata-kata Joon tadi. Setelahnya hanya terdengar suara erangan kesakitan dari dalam gudang tersebut.

oOo

Seorang pria dengan wajah menawan berjalan tergesa-gesa dengan tangan penuh kantung belanjaan. Sesekali ia berlari kecil untuk menghemat waktunya. Wajahnya tersirat kekhawatiran yang mendalam.

Ia melangkah satu-satu manaiki tangga untuk menuju apartemen adiknya. Apartemen itu hanya dua lantai dengan enam kamar, tiga kamar dilantai bawah dan tiga lainnya dilantai dua. Apartemen itu tidak terlihat mewah, sederhana lebih tepatnya dengan lingkungan yang nyaman.

Satu kamar dilantai bawah dihuni oleh pemilik apartemen sedangkan dua sisanya ditempati oleh pasangan suami-istri yang sudah paruh baya. Adiknya tinggal dilantai dua sendirian, dua kamar lainnya belum dihuni oleh penyewa baru.

BRAKK

Dengan kasar ia membuka pintu tersebut. Ruangan didalamnya gelap tanpa pencahayaan padahal hari sudah menjelang tengah malam. Dirabanya dinding samping pintu untuk mencari saklar lampu.

Pik

"Omo Minnie-ah!" pria itu terkejut saat melihat bagaimana keadaan adiknya yang tengah meringkuk dilantai. Tubuhnya penuh memar dan darah yang mengering dikepalanya.

"Jae hyung…"

.

.

"Aww hyung! Pelan-pelan!" bukannya mengindahan lontaran protes yang keluar dari mulut adiknya, Kim Jaejoong semakin kasar menekan luka ditubuh Changmin. Ia berdecak melihat betapa parahnya memar-memar biru yang didapat Changmin apalagi melihat luka dikepala adiknya itu.

"HYUNG! APPO!"

"Appo katamu! Apa ini sakit hah!" Jaejoong menjadi kesal mendengar suara Changmin, dengan kasar ia memukul luka memar dipundak adiknya.

"Hyung~" Changmin dengan sigap menangkap lengan hyungnya. Ia jelas tahu hyungnya begitu mengkhawatirkannya. Ia semakin merasa bersalah saat melihat Jaejoong yang menundukkan kepalanya.

"Kalau kamu tahu itu sakit kenapa tetap berkelahi…" Changmin terdiam dan ikut menundukkan kepalanya. Merasa tak nyaman dengan atmosfer disekitar mereka.

"Hyung mian." Ia berucap pelan penuh kesungguhan. Saat ia mengangkat kepalanya dilihatnya manik hitam hyungnya. Mata bulat itu menatapnya sendu. Perlahan ia melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Jaejoong.

"Minnie-ah, bukannya kau berjanji untuk tidak melukai dirimu lagi? Tinggalkanlah nama Max itu." Jaejoong menatapnya penuh harap. Tatapan yang selalu ia tunjukkan untuknya. Sejujurnya Changmin tidak ingin merepotkan lelaki didepannya itu. Ia mengangguk. Entah itu janji yang kesekian kalinya ia berikan pada Jaejoong.

"Sini biar hyung obati lagi."

Changmin mengangsurkan tangannya. Kali ini Jaejoong mengobatinya dengan lembut. Melihat wajah hyungnya yang tampak sedih membuatnya merasa menjadi dongsaeng yang merepotkan. Tiba-tiba ia bergerak memeluk Jaejoong, menumpukan dagunya dibahu pria cantik itu.

"Hyung mian." Usapan lembut tangan Jaejoong di tubuhnya yang topless membuatnya tenang. Ia bisa merasakan olesan dingin alkohol pada punggungnya. Ia tersenyum hingga tanpa sadar tertidur dalam pelukan Jaejoong.

Tumpuan berat tubuh Changmin serta deru napasnya yang teratur membuat Jaejoong tau jika Changmin sudah tertidur. Ia sudah selesai mengobati tubuh dongsaeng satu-satunya itu. Wajahnya sedih melihat banyak bekas luka ditubuh tegap Changmin. Perlahan ia mengusap surai hitam adiknya. Mulutnya melantunkan melodi yang indah. Bernyanyi memang hobinya dan semua orang mengakui keindahan suaranya.

"Suatu hari, kamu akan menemukan alasan untuk menggunakan kekuatanmu agar melindungi yang paling berharga bagimu. Cepatlah dewasa Minnie." Gumamnya sambil menyamankan tubuhnya dalam dekapan Changmin.

oOo

Shim Changmin, remaja berumur 18 tahun itu berjalan dengan angkuhnya dikoridor sekolah. Seragamnya berantakan dan tidak terkancing dengan benar. Ia terkenal sebagai salah satu preman sekolah yang ditakuti. Setiap hari ia datang kesekolah hanya untuk berkelahi. Yah, setidaknya sekarang ia berusaha untuk berubah.

Ia dikenal dengan nama Max. Max yang tak pernah terkalahkan.

Walaupun terkenal dengan citra buruknya, Changmin merupakan salah satu siswa terpandai disekolahnya. Hal itulah yang membuat dewan sekolah tak berkutik untuk mengeluarkannya.

"Changmin! Changmin!" mendengar suara khas lumba-lumba itu membuat Changmin sudah dapat menebak siapa yang memanggilnya. Kim Junsu, namja manis yang terkenal dengan tingkah polosnya. Jangan Tanya kenapa ia bisa akrab dengan namja dengan senyum angelic itu, semua siswa juga mempertanyakan hal itu.

Dulu saat mereka masih ditingkat satu, Junsu kerap kali mendapatkan kekerasan dari siswa lain. Ia yang bertubuh lemah dan polos itu menjadi sasaran empuk para murid yang berpredikat bad boy. Dan saat itu Changmin juga sudah mendapatkan gelar tersebut.

Tak sengaja dulu Changmin menolong Junsu dari salah satu sunbae yang paling ia benci. Sejak saat itu Junsu selalu mendeklarasikan jika Changmin adalah sahabatnya yang paling berharga.

"Waeyo Junchan?" Tanya Changmin malas.

"Tadi seseorang memberikanku amplop ini. Katanya ini buatmu. Ah, sepertinya itu surat cinta!" ujar Junsu heboh.

Changmin mengerutkan alisnya ketika mengambil surat tersebut. Surat dengan gambar tengkorak pada amplopnya itu tak terlihat seperti surat cinta pada umumnya.

"Cepat buka Min! aku penasaran siapa orang kurang beruntung yang menyukaimu ini." Changmin melotot mendengar lontaran kalimat tersebut. sedang malas berdebat dengan Junsu ia lebih memilih membuka amplopnya.

"Bagaimana?" Tanya Junsu penasaran saat melihat tak ada respon apapun saat Changmin membacanya.

Changmin berdiri dari kursinya. Menjitak kepala Junsu yang sedaritadi membuatnya gemas dengan tingkah polos namja itu.

"Yah Minnie!" protes Junsu saat kepalanya berdenyut sakit.

"Ini bukan surat cinta pabo!"

"Eh? Terus apa dong?" Tanya Junsu penasaran.

"Ini surat tantangan." Jawab Changmin sebelum melangkah pergi meninggalkan kelas. Ia khawatir jika terlalu lama dekat dengan Junsu membuat otaknya menjadi error layaknya namja imut itu.

"Minnie andwae! Jangan berkelahi lagi!" kelekar Junsu sepanjang koridor. Saat berhasil menangkap lengan Changmin, namja manis itu memeluk lengannya erat.

"Andwae Minnie! Andwae! Andwae!" teriaknya cempreng membuat mereka menjadi pusat perhatian siswa lainnya.

"Yah Junsu! Lepaskan tanganku!" Ucap Changmin kesal bercampur malu melihat aksi Junsu.

"Jangan pergi! Minnie nggak boleh ketemu mereka!"

"Aishh, Junchan! Dengar! Aku sudah berjanji pada Jae hyung untuk tidak berkelahi lagi. Jadi tenang saja."

"Tapi kau tetap ketempat mereka kan?" ucap Junsu mulai tenang. Matanya menatap Changming penuh khawatir.

"Tentu saja…" belum sempat Changmin menyelesaikan kata-katanya dapat ia rasakan lengannya semakin kencang dipeluk oleh Junsu.

Changmin menarik napasnya dalam. Namja imut ini memang harus dijelaskan dengan lembut agar dia mengerti.

"Aku harus menemui mereka Junsu-ah. Aku berjanji tidak akan berkelahi, aku hanya akan mengingatkan mereka untuk tudak menggangguku. Jadi, bisakah kau melepaskan lenganku?" ucap Changmin lembut.

Mata Junsu bergerak gelisah. Wajahnya menyiratkan keraguan akan perkataan Changmin tapi pelukannya dilengan Changmin perlahan mengendur.

"Benarkah?"

"Ne, tidak akan berkelahi" ucap Changmin meyakinkan. Saat Junsu sudah melepaskan lengannya ia langsung berlari menjauhi Junsu. Ia takut jika ia berlama-lama sahabat dekat yang sudah ia anggap dongsaengnya sendiri itu berubah pikiran akan keputusannya.

Ia tersenyum menenangkan saat melihat Junsu masih terpaku ragu ditempatnya. Selain Kim Jaejoong, Kim Junsu merupakan salah satu keluarga berharga yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.

oOo

Changmin berjalan tenang menuju tempat yang disebutkan dalam surat tantangan itu. Tempat itu merupakan salah satu gang sepi yang marak menjadi tempat aksi kejahatan. Ia memang sudah maklum delam pemilihan tempat seperti itu.

Saai ia sudah mencapai ujung jalan itu yang dibatasi oleh tembok, ia mengedarka pandangannya mencari si penantang. "Wah, ternyata Max sudah datang." Changmin dapat melihat tiga orang namja dengan tubuh besar berjalan kearahnya.

Sial, aku tersudut. Rutuk Changmin dalam hati saat menyadari dirinya berada antara tembok dan tiga namja itu.

"Aku tidak akan berkelahi!" ucap Changmin lantang.

"Jadi kau meremehkan kami." Tunjuk salah seorang namja tersebut tak terima.

"Tidak, aku hanya ingin bilang jangan ganggu aku, karena aku tidak akan berkelahi lagi."

Saat Changmin berusaha pergi dari tempat itu, salah seorang dari namja itu menahan pendaknya. Saat ia berbalik sebuah pukulan telak tepat mengenai tulang pipinya. Ia nyaris tersungkur jatuh.

"Kalau begitu kami yang akan memaksamu berkelahi!"

Buagh

Satu pukulan diperutnya membuatnya meringis sakit.

Buagh

Buagh

Buagh

Ia berusaha menahan kepalan tangannya untuk tidak terayun kepada ketiga namja itu. Sambil membayangkan eajah hyungnya dan juga Junsu membuatnya terus mengingat janji yang sudah ia ikrarkan. Tapi, tubuhnya tak selamanya bisa bertahan dengan pukulan yang continuitas tersebut.

Buagh

Buagh

Changmin sudah tak kuat lagi menerima pukulan dari tiga orang berandaalan itu. Tubuhnya terjatuh ketanah yang kotor. Matanya bahkan sudah mengabur nyaris tak sadarkan diri. Sebuah tendangan mendarat keperutnya. Ia terbatuk kesakitan.

"Dan inilah akhir dari seorang Max Changmin!"

Changmin memejamkan matanya, siap menerima tendangan lainnya dari musuhnya itu.

Puk

"Yah! Siapa itu?" sebuah lemparan batu menghentikan aksi mereka.

Puk

Puk

Semakin lama lemparan batu itu semakin gencar melukai kepala para preman itu. Wajah tiga orang itu merah padam karena amarah. Changmin bersyukur dalam hati, dengan jeda tersebut ia berusaha mengumpulkan kesadarannya kembali.

Ketiga orang itu mengedarkan pandangannya di gang sempit itu, berusaha mencari pengganggu yang mengganggu aksi mereka. Salah seorang dari berandalan itu tersenyum saat melihat seorang anak remaja yang lebih muda dari mereka memandang takut karena sudah tertangkap basah.

"Cih, ternyata hanya seorang bocah."

Bocah tersebut semakin mengkerut ketakutan. Pakaiannya lusuh dengan wajah kotor. Anak lelaki itu perlahan mundur dengan wajah yang menunduk pias. Tangannya melempar tanpa tenaga sisa batu dalam genggamannya.

Saat kaos baju anak itu dicengkeram paksa oleh salah satu berandalan itu, temannya yang lain sudah siap untuk memberikan bogem mentah diperut bocah lelaki itu.

Buagh

Buagh

Tubuh kurus anak itu tergoncang akibat pukulan yang keras. Ia meringkuk ditanah dengan tangan yang mencengkeram kaos bajunya erat. Matanya terpejam menahan sakit. Tanpa belas kasih berandalan itu terus memukuli tubuh anak lelaki itu hingga pingsan.

"Yah! Lawan kalian bukan dia tapi aku!" teriak Changmin mengejutkan ketiga orang itu. Dengan sekuat tenaga Changmin mengayunkan kayu yang ia dapatkan ke kepala salah satu berandalan itu.

Ia mengacungkan kayu yang penuh paku itu saat berandalan yang ia pukul tadi terjerembab ketanah tak sadarkan diri. Dua berandalan lainnya menjadi panic melihat amarah dimata Changmin dan senjata yang tak menguntungkan untuk mereka. Dengan secepat kilat mereka berlari kabur tanpa memperdulikan temannya yang jatuh pingsan.

Changmin terduduk lemas, memaksakan tubuhnya untuk berdiri saja sudah membuat tenaganya habis. Dengan menghiraukan rasa sakit ditubuhnya ia berdiri mendekati anak lelaki yang menolongnya itu.

Ia mengelus surai ikal anak tersebut sebagai pengganti ucapan terima kasihnya. Dengan perlahan ia berusaha mengangkat tubuh anak itu ke punggungnya.

"Anak bodoh." Ucapnya pelan sambil berjalan pulang dengan menggendong anak lelaki itu dipunggungnya.

.

.

TBC

.

.