Disclaimer Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Story by Faris Shika Nara

Warning : OOC, AU,TYPOS DLL.

Rate : M

Main pairing : Naruto x Hinata

"Hidup"

Chapter 4

"Kakak-ku ada ditempat Orochimaru! Kumohon selamatkan kakak-ku!"

"O-orochimaru," gumamnya dengan suara pelan. Wajah kaget tentu saja terlihat jelas pada wajahnya.

Semua orang pasti mengetahui siapa Orochimaru itu, dia merupakan seorang mucikari terkenal, orang yang telah menjadikan para gadis pelajar yang tengah mengalami masalah kekurangan uang dan memaksa mereka menjadi pekerja seks komersial. Orang yang menguasai distrik khusus tempat hiburan malam, tempat dimana para lelaki hidung belang memuaskan nafsunya.

"Iyaaaa...hiks..kakakku berada ditempat Orochimaru, hiks... tolong..hiks.. tolong selamatkan kakakku..huuu."

Tangis gadis itu pecah, wajahnya ia benamkan pada perut Naruto, menangis tersedu-sedu sembari memohon-mohon di sela tangisnya.

Naruto terdiam, dirinya memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menenangkan gadis kecil yang tengah menangis meledak itu. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dirinya lalu menatap adiknya yang berada di sampingnya.

"Shion, bagaimana ini," Ia berbisik pelan pada adiknya yang terlihat begitu kasihan pada gadis yang kini sedang menangis sembari memeluknya.

"Kakak kan yang membawanya, jadi kakak harus bertanggung jawab!" Adiknya sedikit berteriak dengan jawabannya. Pandangannya tajam penuh harap melihat kakaknya.

"Ta-tanggung jawab, apa maksudmu?" Naruto bertanya dengan wajah bingung.

"Tentu saja, kakak harus menyelamatkan kakaknya," jelasnya dengan wajah yang tampak sekali bingung, kakaknya itu bodoh atau apa sih. Pikirnya.

"Hah, apa kau pikir itu hal yang mudah?" Kakaknya memandang tak percaya pada adiknya. Ini Orochimaru loh, OROCHIMARU.

"Kakak kan tinggal membawa kakaknya kesini, apa susahnya," Bentak adiknya.

Naruto tidak bisa menyalahkan Shion, bagaimanapun juga dia tetaplah anak kecil, jadi dia belum tau sebesar apa permintaan adiknya pada dirinya.

"Baiklah-baiklah!" Naruto kemudian hanya pasrah. Setelah dipikir-pikir, perkataan adiknya ada benarnya juga. Apa yang diminta adiknya adalah perbuatan baik, jadi, apa salahnya mencoba.

"Tapi pertama, ceritakan dulu apa yang sebenarnya terjadi?" Naruto memegang pundak gadis yang tengah menangis itu, lalu menegakkan kepala berambut coklat itu untuk melihatnya.

"Aku dan kakakku sebenarnya dari tokyo, hiks.. A-ayahku meninggal 5 hari yang lalu karena sakit," Ia menjelaskan sembari terisak, tangan kecilnya mengusap-usap matanya mencoba membersihkan air yang menumpuk di pelupuknya.

"Rumah kami disita bank karena hutang, hiks... Setelah itu kami pindah ke rumah kakak sepupuku, hiks..hiks.. kami tidak tahu kalau kakak sepupuku ternyata jahat, hiks..hiks... itu, aku disiksa agar kakak menuruti semua perkataan kakak sepupuku. Dan keesokannya, kakak di antar menuju tempat Orochimaru untuk dijual, hiks...hiks." Tangisnya kembali pecah, mendengar penjelasan itu, Shion langsung saja menangis lalu memeluk gadis yang telah mendapati berbagai tindakan kejam itu dari belakang. Merengkuh gadis yang usianya tak berbeda jauh darinya, memeluknya kuat.

"Se-setelah mengantar kakak, a-aku dibuang di jalan dan akhirnya bertemu kakak, hiks...hiks."

Setelah selesai menjelaskan dengan suara yang terbata-bata, gadis itu kembali menangis ketika mengingat apa yang sudah terjadi pada dirinya dan kakaknya.

"Po-pokoknya, kakak harus menyelamatkan kakaknya, kasihan dia, hanya tinggal kakaknya saja keluarganya yang tersisa, sama seperti aku." Isakan Shion bertambah kuat, bahkan melebihi tangisan gadis kecil yang tengah dipeluk nya.

Naruto hanya diam, tak percaya dengan apa yang didengarnya, tapi, dunia memang kejam, kejadian ini mungkin juga sudah banyak terjadi di belahan dunia lain, dan mungkin hal yang lebih buruk dari ini pastilah sering terjadi.

Memandang gadis kecil yang ada di depannya, kedua matanya secara tak sadar perlahan meneteskan air mata, tatapannya melunak ketika melihat tubuh kecil yang dipenuhi lebam-lebam yang telah membiru.

Dirinya membayangkan, bagaimana bila adiknya yang dalam posisi tersebut, bagaimana jika tubuh adiknya lah yang dipenuhi luka itu, apa yang akan ia lakukan?

Tubuhnya memanas, giginya gemelutuk sementara salah satu tangannya mengepal karena emosi.

"Baiklah, bisakah kamu menjelaskan padaku bagaimana ciri-ciri kakakmu?"

"B-baik," gadis itu mengangguk meng-iyakan.

"Em, pertama, apa kakak boleh tau siapa namamu dan kakakmu?"

"Namaku Hanabi, dan nama kakakku Hinata."

"Untuk sekarang, Hanabi-chan adalah adikku dan adiknya Shion." Kedua tangan Naruto lalu mengusap pelan puncak rambut 2 gadis kecil itu. Wajahnya tersenyum, mencoba menenangkan, memeritahukan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Sekarang coba beritahukan kakak, ciri-ciri kakakmu, dan juga apakah kamu tahu dimana alamat kakak sepupumu itu."

"Buat apa alamat itu?" Tanya Hanabi dengan wajah bingung.

"S-siapa tahu kakakmu berada disana, aku akan mencoba memeriksanya," jelasnya dengan suara yang agak gugup.

Shion yang melihat tingkah kakaknya yang agak aneh itu lalu berpikir, apa yang akan dilakukan oleh kakaknya itu, kenapa dia menampilkan mimik yang terlihat seperti berbohong. Tapi pemikirannya pun segera ia kesampingkan. Dirinya percaya kalau kakaknya tidak akan melakukan sesuatu hal yang bodoh.

"Kalau kakak mau kesana, kakak harus hati-hati, Sepupuku itu jahat," Hanabi berujar memperingati. Sementara Naruto hanya tersenyum, lalu berkata. "Semuanya akan baik-baik saja, serahkan semuanya pada kakak!"

.

.

.

Jam menunjukkan pukul 07:48, Hinata masih termenung memikirkan apa yang ingin ia lakukan, mata yang dulunya menampilkan rasa belas kasih itu berubah menjadi kosong. Pikirannya melayang menerawang jauh, mensimulasikan setiap detil langkah-langkah yang ia akan lakukan.

Tangannya kembali meraih pisau yang tadi dipegangnya, yang kemudian ia selipkan kedalam stocking hitam yang ia kenakan. Mengusap pelan kedua matanya, membersihkan sisa-sisa liquid yang masih menempel di matanya.

Dirinya lalu meraih bedak yang berada didepannya, mendandani wajahnya secara perlahan berusaha membuat penampilannya agar terlihat secantik mungkin.

Dalam rencananya, ia akan mencoba merayu orang bernama Jiraiya itu untuk mengikuti keinginannya. Membawa dirinya keluar dari bangunan tempatnya berada, setelah itu menuntun untuk membawanya pergi sedekat mungkin menuju rumah kediaman Neji dimana adiknya berada.

Setelah merasa cukup dekat, dirinya akan mencoba mengancam lelaki tua bernama Jiraiya itu menggunakan pisau yang telah ia selipkan di kakinya. Lalu melarikan diri.

Dirinya sudah muak menjadi pasrah, menerima semuanya tidak akan membuahkan hasil, ini adalah waktunya untuk memberontak, ini waktunya untuk berjuang.

Dirinya tidak perlu memandang jauh ke depan, nanti ya nanti, sekarang ya sekarang. Keputusan yang akan ia ambil merupakan pilihan terbaik. Yang pertama yang harus ia lakukan adalah mengambil Hanabi dari sepupunya Neji, lalu membawanya pergi. Tempat tujuan tidaklah penting, selama ia bisa bersama adiknya dan bisa melakukan apapun yang ia ingin lakukan itu sudah cukup.

Didunia ini selalu ada pilihan, pilihan untuk memilih apa yang benar, apa yang salah. Dirinya tidak mau kalau disepanjang hidupnya akan ia habiskan sebagai seorang pelacur. Bahkan kalau pun ia menerima kenyataan ini, jaminan hidupnya belum tentu akan baik. Dan lebih parahnya lagi, adiknya mungkin akan berakhir sama seperti dirinya, menjadi seorang pelacur.

.

.

.

Jam menunjukkan pukul 07: 50 malam, setelah mendengarkan penjelasan gadis kecil yang ditemukannya, dan sekarang ia klaim menjadi adiknya, ia segera bergegas mengambil sepeda dan mulai mengayuh sepeda dengan boncengan dibelakangnya itu menuju tempat dimana orang bernama Neji itu berada.

Dirinya belum menemukan cara untuk menyelamatkan kakak gadis kecil itu dari Orochimaru, dengan kekuatannya sendiri, dirinya tidaklah mungkin bisa. Mustahil.

Dia akan memutuskannya nanti, setelah ia bertemu dengan orang yang bernama Neji.

Yang dirasakan nya saat ini adalah rasa kesal, dirinya tidak terima atas perlakuan orang yang bernama Neji itu pada Hanabi. Bagaimana bisa dia tega menyiksa gadis kecil hingga seperti itu, apakah dia benar-benar manusia?

Dirinya memutuskan untuk meminta pertanggungjawaban pada Neji si brengsek itu. Meminta uang untuk menyembuhkan luka-lukanya, dan sebagainya.

Kalau orang yang bernama Neji itu menolak permintaannya, dirinya sudah memutuskan untuk menghajarnya. Setidaknya, ia akan membuat orang yang bernama Neji babak belur dengan beberapa tulang yang patah.

Butuh sekitar kurang lebih 1 setengah jam untuk sampai pada alamat yang ditunjukkan oleh Hanabi. Sudah 1 jam berlalu ketika dirinya mengayuh sepeda tua itu, keringat bercucuran di pelipisnya membuat kaos putih kusam dengan tulisan JAPAN di dadanya basah. Meskipun begitu, tekadnya tidak luntur sama sekali, laju sepedanya pun sedikit demi sedikit bertambah cepat.

Setelah sampai di depan rumah yang ia pastikan bahwa itu merupakan tempat dimana Neji berada, ia dengan segera turun dari sepedanya lalu menyandarkan sepeda itu pada pagar yang ada di depannya.

.

.

.

Duduk dengan gelisah pada sebuah ranjang, dapat terlihat kedua tangannya kini sedang bergetar, degup jantungnya pun berdetak lebih cepat dari biasanya.

Dari 15 menit yang lalu, dirinya sudah berkali-kali merubah posisinya, dari berbaring, kemudian duduk, lalu berjalan mondar-mandir dengan kegelisahan dalam hatinya, memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya.

Meskipun beberapa saat lalu ia sudah meyakinkan hatinya, tubuhnya berkata lain. Duduk gemetar dengan bibirnya yang komat-kamit mengucapkan mantra 'semua akan baik-baik saja' berulang-ulang adalah buktinya.

Matanya melirik sebuah jam di dinding, yang menunjukan pukul 08:14, Jiraiya dikatakan akan datang pada pukul 8, tapi sepertinya tua bangka itu akan datang terlambat.

Tok tok tok.

Mendengar sebuah ketukan dari pintu, dirinya melonjak kaget, membuyarkan lamunannya. Dirinya mengambil napas besar, mengatur detak jantungnya.

Dalam benaknya, dirinya akan memainkan sebuah drama, dan dirinya lah yang memainkan peran utamanya. Hinata merutuki dirinya sendiri, menyesali dirinya yang dulu. Dulu waktu Sma, dia pernah mengikuti club drama, tapi karena sifatnya yang sangat pemalu, dirinya tidak pernah diikutkan setiap ada pementasan.

"Ma-masuk," jawabnya pada seseorang yang mengetuk. Ia lalu bangkit dari duduknya, berdiri.

Kenop pintu berputar secara perlahan, Hinata berdoa dalam hatinya, berharap orang yang bernama Jiraiya itu merupakan seseorang yang bodoh.

Pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki tua dengan rambutnya yang memutih terurai berantakan. Dalam hati kecilnya ia berpikir, 'kok ada orang yang seperti itu, bagaimana bisa dia memanjangkan rambut yang sudah ubanan begitu'.

"Jadi ini yang namanya Hinata, kau cantik sekali, ahahahahahaha."

Jiraiya berkata dengan raut yang bahagia, pipi keriputnya memerah, mulutnya terbuka, Hinata dengan jelas bisa melihat pada sudut bibir lelaki tua dihadapannya sudah mengalir sebuah air yang tentu saja air liur.

Perasaan jijik tentu saja Hinata rasakan, kalau saja situasi yang dialaminya tidak seperti ini, mungkin tubuhnya sudah bergidik lalu berlari sejauh mungkin agar tidak dekat-dekat dengan lelaki tua itu.

"Te-terima kasih atas pujiannya tuan," Ia sedikit terbata. Hinata merutuki dirinya sendiri, berbicara terbata dalam sebuah drama adalah kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, dirinya memutuskan untuk mengerling yang terlihat begitu nakal pada lelaki tua itu.

"Haaaa... kau manis sekali."

Jiraiya yang mendapat kerlingan mata yang terlihat begitu nakal dimatanya pun segera mendekat berjalan cepat menuju Hinata.

"Mmm,"

Memegang kedua bahu Hinata, mencoba menahan tubuh yang terlihat begitu indah dimatanya. Bibirnya maju mencoba mencium bibir mungil dengan lipstik berwarna merah yang terlihat begitu menggoda.

"Ja-jangan!"

Hinata secara spontan berteriak, insting nya tidak mau mendengarkan logikanya. Salah satu tangannya menahan bibir milik orang yang sudah bersiap menerkamnya itu, membuat bibir yang maju itu mencium telapak tangannya.

"Eh, kenapa, aku ingin cepat-cepat merasakan nikmatnya tubuhmu." Setelah berujar demikian, salah satu tangan Jiraiya meraih dada besar yang masih memakai baju itu lalu meremasnya kuat. Hinata melonjak yang kemudian membuatnya jatuh terbaring di atas ranjang.

Jiraiya yang melihat hal itu pun tak menyia-nyiakan nya, ia dengan cepat segera menggagahi tubuh molek Hinata.

Jantung Hinata berdetak lebih cepat, bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Wajahnya memandang takut pada kakek-kakek yang tengah menggagahi tubuhnya yang kemudian duduk diatas perutnya.

"Tu-tunggu dulu tuan," takut-takut ia berkata dengan suara pelan, mencoba menahan lelaki tua itu.

"Apa lagi, aku ingin cepat-cepat bermain denganmu," ucap Jiraiya tak sabar. Bibirnya pun kembali maju mencoba menciumi wajah cantik itu.

"Ja-jangan dulu!"

Hinata menahan kepala yang semakin mendekat ke wajahnya. Membelokkan wajah penuh keriput itu ke samping dengan cara menahan rahang kakek itu menggunakan kedua tangannya.

Setelah kepala itu kembali ke posisi sebelumnya, kedua tangan Hinata menutup wajahnya sendiri lalu berkata lirih.

"A-aku juga ingin cepat-cepat melakukannya bersama tu-tuan, tapi... li-lihatlah tempat ini, tempat ini su-sungguh tidak nyaman, a-aku sebenarnya ingin mandi terlebih dulu sebelum melakukannya, apakah tuan keberatan dengan permintaanku ini?"

Hinata berjuang keras untuk mengatakan semua itu, dan dirinya pun tak percaya pada dirinya sendiri ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Setelah mengatakannya, ia mengintip kakek yang sedang menduduki tubuhnya dari sela-sela jarinya, melihat bagaimana respon dari lelaki hidung belang itu.

"He... benarkah kau akan melakukan semua itu untukku, ahahahahahaha... aku beruntung sekali hari ini, kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukannya di tempatku, aku jamin tempatku sangat nyaman dan pas untuk melakukan semua hal itu."

Jiraiya tersenyum bahagia, baru kali ini ia mendapatkan gadis muda yang mau melakukan semua hal itu untuknya. Diperlakukan seperti itu dirinya pun tak mau membuang kesempatan, rasanya dirinya masih bisa menahan tubuhnya agar tidak menerjang tubuh seksi itu sekarang juga.

"Tidak. Ma-maksudku, aku tau tempat yang pas, apakah tuan keberatan menuruti keinginanku?"

"Benarkah, kau mempunyai tempat yang pas. Baiklah-baiklah, aku akan menuruti semua keinginanmu, aku akan menyewa mu 3 hari 3 malam!"

Setelah berkata demikian, Jiraiya turun dari tubuh Hinata lalu duduk di ranjang. Hinata yang merasa seperti baru terbebas dari penjara Itu pun segera bangkit berdiri.

"Ka-karna diluar dingin, aku akan mengambil jaketku dulu."

"Tunggu dulu~" Hinata yang hendak melangkah pun menghentikan niatnya. Tepat setelahnya, ia merasakan tangan besar melingkari tubuhnya, menahan tubuhnya dengan kuat.

"Biarkan aku merasakan tubuhmu sebentar." Setelah mendengar kalimat yang membuatnya berhenti bernapas itu, ia dapat merasakan bahwa terdapat lidah yang menjulur pada area lehernya, menjilatnya dari bawah atas.

Matanya terpejam, cairan bening menerobos keluar dari sudut matanya.

.

.

.

Naruto berjalan menuju pagar rumah yang ada di depannya, memeriksa pagar tersebut lalu membukanya ketika mengetahui bahwa pagar rumah itu tidak dikunci.

Berjalan masuk tanpa permisi kemudian membuka pintu yang terbuat dari kayu yang ternyata juga tidak dikunci. Matanya melihat sekeliling, melihat dengan seksama isi rumah tersebut, tak mendapati satu orang pun, dirinya memutuskan untuk memeriksa setiap ruangan.

Di lantai satu, dirinya tidak menemukan siapapun, kini dirinya berjalan menaiki tangga menuju lantai 2. Kurang beberapa langkah lagi ia akan selesai menaiki tangga, langkahnya terhenti ketika matanya melihat sebuah ruangan yang di dalam ya terdapat seorang lelaki yang entah sedang melakukan apa.

Ia berjalan lagi, melangkah menuju ruangan tersebut. Ketika dirinya baru satu langkah memasuki ruangan itu, pandangannya bertemu dengan orang yang memang sedang dicarinya.

Laki-laki yang sepertinya seumuran dengannya, mempunyai rambut coklat panjang persis seperti Hanabi, rambutnya diikat dengan wajah yang terlihat marah menatapnya.

"Oi gembel, bagaimana kau bisa masuk kesini?"

"Apakah kau orang yang bernama Neji?" Naruto tidak menjawab, dirinya malah balik bertanya. Kalau orang itu bukanlah Neji, dia akan segera meminta maaf lalu pergi begitu saja.

"Memangnya kenapa, hah, cih, dasar tenten sialan, kenapa dia tidak mengunci pintunya sih," Dirinya mendesah pelan disela perkataannya, dirinya lalu melempar selembar uang kertas yang telah ia remas ke arah Naruto.

"Ambil uang itu dan cepat pergi sana!"

Naruto berjalan mendekat lalu berhenti di depan pemuda yang tengah menghitung uang 1 koper di hadapannya. Pandangan yang tidak teralihkan itu menatap tajam pemuda yang tengah duduk itu.

"Aku kesini untuk meminta pertanggungjawaban atas apa yang kau lakukan terhadap Hanabi."

"Oh jadi begitu, itukah alasanmu kemari?" Neji tersenyum ketika mengetahui maksud dari 'pertanggungjawaban' yang keluar dari mulut orang yang terlihat seperti gembel yang kini tengah berdiri di hadapannya.

Rahang Naruto mengeras secara tiba-tiba ketika melihat senyum yang terpampang pada wajah dihadapannya. Ingin sekali dironya membenturkan wajah yang tersenyum itu pada meja dihadapannya.

'Benar, aku ingin kau bertanggung jawab," Ucapnya dengan suara berat, luapan amarah terlihat jelas menempel di setiap kata yang baru keluar dari lelaki berambut kuning itu.

"Jadi bocah itu masih hidup, dan kau yang menemukannya, haaah... aku menyesal, kenapa aku tidak membunuhnya saja, kalau aku tahu hal merepotkan ini akan terjadi, aku pasti akan membunuhnya menggunakan tanganku se~"

Duakhh!

"Bajingan kau!"

Kesabaran Naruto sudah pada batasnya, dirinya seolah hilang kendali ketika telinganya mendengar kata 'Bunuh' yang keluar begitu mudah dari pemuda yang kini meringis kesakitan itu.

Menarik rambut panjang itu lalu membenturkannya pada meja yang terbuat dari kaca itu dengan sekuat tenaganya, membuat retakan pada meja.

"Brengsek ka~"

Duakhh!

"Teganya kau melakukan hal sekejam itu!"

Belum puas dengan apa yang dilakukannya, ia kembali membenturkan wajah itu pada meja, membuat darah bercucuran pada kening pemuda yang kini berteriak kesakitan.

"Aakhhh.. beraninya kau!"

Tangan Naruto meraih kerah Neji, menyeretnya dari tempat duduknya lalu melempar tubuh besar pemuda itu ke lantai. Menendangnya lalu menginjaknya.

"Aakhhh... aku bersumpah akan membunuhmu!" Ia berteriak histeris, tangannya memegangi dahinya ketika darah merembes keluar dari kepalanya.

"Cih!" Naruto mendesah jijik, ia lalu meraih tangan kiri Neji kemudian menginjak nya.

"Apakah tangan ini yang kau gunakan untuk menyiksa Hanabi?" Naruto bertanya dengan suara dingin layaknya seorang psikopat.

Setelah bertanya demikian, Naruto lalu menginjak jari-jari itu menggunakan salah satu kakinya, hingga membuat jari-jari itu patah kecuali ibu jari.

"Ahhh... sial sial sial sial!"

"Hah, bukan tangan ini, tapi yang satunya?"

Setelah berkata demikian, Naruto meraih tangan yang satunya. Neji merintih kesakitan, wajah yang tadinya penuh kesombongan itu berubah menjadi ketakutan. Mulut yang tadinya mengumpat penuh kata-kata kotor itu kini memohon ampun.

"Hentikan, tolong hentikan, aku menyesal, aku menyesal!" Ia berteriak memohon ampun ketika Naruto mengambil ancang-ancang.

"Jadi, kau mengakui perbuatanmu, kalau begitu terimalah balasannya!"

Duakhh!"

Naruto menginjak jari yang satunya, suara 'klatak' yang menandakan bahwa jari yang di injaknya patah kembali terdengar.

'Akkh... Sialan kau... bajingan kau...aku akan membunuhnya!"

Naruto hanya diam, memandang Neji yang tengah merangkak mencoba mendudukkan tubuhnya. Setelah Neji berhasil duduk, tangan Naruto meraih kerah Neji mendirikannya

Tangannya mengepal, lalu meninju perut Neji sekeras yang ia bisa. Membuat Neji kembali merintih kesakitan. Setelah Naruto melepaskan pegangannya, Neji kembali jatuh tersungkur di lantai.

"Dengar baik-baik, kalau kau berani menyentuh Hanabi lagi, akan aku pastikan, bukan hanya jari tanganmu yang akan patah, tapi seluruh tulang yang kau miliki akan patah!"

Neji tak menjawab, yang keluar dari mulutnya hanyalah rintihan-rintihan sakit pada jari dan keningnya.

Setelah berkata demikian, Naruto keluar dari ruangan tersebut, dan kembali meneriksa ruangan lainnya yang berada pada lantai 2.

Setelah membuka ruangan yang terletak di sebelah ruang dimana dirinya telah menyiksa Neji, dirinya melihat koper kecil yang berada di atas ranjang. Membukanya dan didalamnya terdapat pakaian anak kecil yang sudah pasti milik Hanabi. Ia membawa koper itu berkeliling di lantai 2, dan pada akhirnya ia tidak menemukan apapun lagi.

Setelah itu, ia kembali ke ruangan dimana Neji berada. Melihat jam yang terpaku di ddinding, yang menunjukkan pukul 09:30 malam. Neji masih meringkuk kesakitan, rasa kasihan pun terbesit di pikirannya. Ia lalu mengambil sebuah telepon yang berada di atas meja yang retak itu, melemparnya tepat di depan Neji.

Dirinya kemudian berjalan menuju ke sebuah lemari di ruangan itu, membukanya lalu mengambil satu setel baju dan memakainya.

Setelah ini, dirinya berniat untuk datang ke tempat Orochimaru, jadi dia memutuskan untuk menyamar menjadi seperti seorang lelaki hidung belang, dirinya yang memakai kaos kusam, tidak akan mungkin bisa masuk ke dalam rumah bordir milik tempat Orochimaru.

Ukuran tubuh Naruto dan Neji tidak berbeda jauh, jadi pakaian yang ia kenakan tampak begitu pas di tubuhnya. Menyemprot Parfum ke seluruh tubuhnya, mencoba menjadi lelaki mesum yang sempurna untuk satu malam.

"Ini pasti uang yang kau dapat dari hasil penjualan sepupumu, aku akan membawanya. Kau pastinya memiliki simpanan kan, aku akan menggunakan uang ini untuk mengurus Hanabi dan mencari Hinata yang telah kau Jual!'

Neji masih terdiam, tak menggubris sama sekali. Tangannya mencoba meraih ponsel menggunakan jari-jarinya yang telah patah.

Naruto yang melihat hal itu pun kembali merasa bersalah, ia berjongkok mengambil ponsel yang tadi ia lempar.

"Siapa yang akan kau hubungi?"

''Tenten!"

Setelah mendengar jawaban itu, Naruto lalu mencari nomor telepon dalam kontak yang bernama Tenten, ia lalu menekan tombol Call kemudian menyelipkan telepon itu pada bahu dan kepala Neji.

Setelah melakukan hal itu, Naruto keluar dari rumah sembari membawa 2 koper, satu berisi pakain Hanabi, dan satunya koper yang penuh dengan uang.

Tampang nya terlihat berbeda sekali dari ketika dirinya masuk dan keluar. Dirinya masuk rumah seperti seorang gembel, den keluar seperti seorang CEO perusahaan besar dengan jas mewah berwana biru tua, dengan 2 koper di kedua tangannya.

Tapi perasaan seperti melihat seorang CEO itu seketika langsung berubah ketika Naruto mencoba menaiki sepeda butut sebagai kendaraannya.

.

.

.

Hinata berjalan dengan pelan menuju sebuah mobil yang sedang terparkir, tubuhnya direngkuh dari samping oleh tangan penuh keriput milik Jiraiya.

Perasaan jijik yang dirasakan nya harus ia tahan, perasaan untuk segera lari dari pelukan lengan tua bangka itu harus ditahannya.

Masuk kedalam mobil, yang terlihat begitu mewah, mobil dengan desain elegan berwarna hitam.

Hanya 3 orang yang berada dalam mobil mewah itu, dirinya, Jiraiya dan supir. Hinata duduk bersebelahan dengan Jiraiya. Rasa rusuh tentu saja ia rasakan, apalagi saat jemari keriput itu menegang jari-jarinya. Ingin sekali dirinya meraih pisau yang terselip pada pahanya, lalu menghujamnya pada jari-jari kurang ajar itu.

"Ja-jangan tuan, anda harus menahannya dulu," Ucapnya sembari menjauhkan tubuhnya dari tubuh Jiraiya yang kian menempel pada tubuhnya.

"Baiklah-baiklah, tapi biarkan aku bermain-main dengan tubuhmu sebentar." Setelah mengatakan hal itu, tangan Jiraiya terulur lalu meraih rambut panjang berwarna biru gelap itu, memainkannya pada jemarinya lalu menghirup aroma harum yang menguar dari rambut itu.

"Ja-jangan dulu, anda harus menahannya!" Hinata mendorong dengan sekuat tenaga, membuat tubuh tua dihadapannya mundur terjengkang menabrak pintu di belakang Jiraiya.

"Wah, kau kasar sekali manis, aku berharap nanti kau akan bermain kasar padaku!"

Bukannya marah, Jiraiya malah tersenyum bahagia, wajahnya pun kian berseri menatap takjub Hinata yang berada disebelahnya.

"Baiklah-baiklah, aku akan mencoba menahannya."

Hinata bernafas lega ketika lelaki tua itu kembali duduk normal pada tempatnya, ia juga segera membenarkan posisi duduknya. Ia bersyukur dalam hatinya, untung saja Jiraiya itu bodoh, lelaki tua masochist yang bodoh.

"Sebenarnya kita akan kemana, apakah tempat itu cocok untuk melakukannya?"

Jiraiya bertanya pada Hinata, wajah tak sabar terlihat jelas di wajahnya. Jemari lembut tangannya mengepal seperti mencoba menahan nafsunya.

"Sebentar lagi akan sampai tuan," ucap Hinata mulai gelisah.

Dari tempat Orochimaru menuju ke tempat Neji membutuhkan waktu sekitar, 1 jam ketika menggunakan mobil, dan perjalanannya kini baru sekitar 45 menitan. Jadi kurang 15 menit lagi, dirinya akan sampai pada tujuannya.

Ketika mobil yang ditumpanginya sampai pada lampu merah yang berada jauh di depan, perjuangan Hinata yang sebenarnya akan dimulai, semuanya akan di pertaruhkan pada saat itu, masa depannya, dan masa depan adiknya.

Salah satu tangan Hinata meraih tudung jaket penuh bulu yang ia kenakan, memakainya yang kemudian menutupi seluruh rambut dan kepalanya. Setelah itu, tangan kirinya meraih pisau yang sudah lama sekali ia persiapkan. Menyembunyikannya disebelah tubuhnya.

"Manis, kenapa kau menyembunyikan rambut indah mu?" Jiraiya yang melihat hal tersebutpun spontan bertanya.

"Bu-bukan apa-apa, aku hanya kedinginan."

"Apakah aku harus mematikan pendinginnya?"

"Tidak usah."

Jalan Raya memang ramai, tapi berbagai jenis kendaraan melaju tanpa ada hambatan, tak ada kemacetan sama sekali. Tak lama setelah itu, mobil yang ditumpanginya berhenti karena lampu pengatur jalan berwarna merah.

Jantung Hinata berpacu dengan cepat, rasa takut akan kegagalan pun memenuhi pikirannya. Dengan tubuh yang sedikit bergetar dirinya meraih gagang pintu mobil, membukanya dengan suara 'klek' yang terdengar lumayan nyaring.

Hinata bersyukur dalam hatinya karena pada saat itu, suara klakson yang entah datang dari mana tiba-tiba berbunyi dengan keras sehingga menyembunyikan suara pintu yang dibukanya.

Mengambil napas besar mencoba mengatur detak jantungnya, memberikan dorongan-dorongan menyemangati dirinya sendiri guna membuat dirinya agar berani.

Setelah, menemukan keberaniannya, dirinya mendorong dengan cepat pintu yang sudah tidak terkunci itu, bangkit dengan cepat mencoba langsung untuk berlari.

"Mau kemana kau manis, jangan bilang kau akan melarikan diri!"

Jiraiya yang melihat hal seperti itu pun dengan cepat meraih pergelangan tangan Hinata. Menahannya yang sudah bersiap melesat.

"Le-lepas!"

Hinata meronta, bagian tubuh yang keluar dari mobil hanya salah satu kakinya. Adegan tarik-menarik pun tak terelakkan, menarik tangannya dengan sekuat tenaganya.

Usahanya pun membuahkan hasil, kedua kakinya kini menginjak aspal malam yang dingin, tapi dirinya belum bisa bernapas lega, karena salah satu tangannya masih bisa di tahan.

"Baraninya kau!"

Meskipun Jiraiya merupakan seorang kakek-kakek, tapi dia memiliki tubuh tegap yang kekar. Tenaga seorang gadis tidak akan bisa mengalahkannya. Dengan sekali tarikan, tubuh Hinata terhuyung, membuat tubuh bagian atasnya terhempas diatas jok kursi mobil.

Wajahnya mencium dudukan berlapis kulit, sementara lututnya membentur besi mobil yang kemudian membuatnya merintih kesakitan.

"Cepat bantu aku!"

Jiraiya berteriak meminta bantuan pada sopir yang sedari tadi hanya menoleh ke belakang, seperti sedang menikmati adegan drama yang tersaji di belakangnya.

Dengan wajah tersentak, si sopir bangun dari duduknya lalu segera bergegas turun dari mobilnya. Berniat mendorong Hinata masuk dari belakang.

Hinata yang tidak mau situasi yang dialaminya memburuk tak berpikir panjang, ia segera mengayunkan pisau yang sedari tadi dipegang menggunakan tangan kirinya.

Crash!

"Akhh!"

Pisau kecil itu dihujam kan dengan susah payah yang akhirnya menusuk paha milik Jiraiya, lelaki tua itu berteriak kesakitan yang secara spontan melepaskan tangan yang sedari tadi menahan Hinata.

Hinata terlepas, dirinya lalu bangkit mundur beberapa langkah. Berbalik kemudian segera berlari.

"Cepat tangkap dia!"

Jiraiya berteriak disela rintihannya, memberi perintah pada si sopir yang baru saja turun dari mobil.

Hinata berlari sekuat tenaga, lutut yang masih terasa sakit itu tak ia hiraukan, berlari menuju kerumunan orang-orang mencoba menyembunyikan dirinya dari pandangan si sopir yang tengah mengejarnya dari belakang.

"Tungguuuu!"

Tapi usahanya tidak berhasil, jarak antara dirinya dan si pengejar perlahan mulai memendek. Ia berhenti sesaat lalu melepas sepatu berhak tinggi yang menahan lajunya. Menentengnya lalu kembali berlari dengan tertatih, menerobos masuk ke dalam gang-gang sempit nan gelap.

Setelah kurang lebih 5 menit berlari, dirinya menoleh ke belakang, si sopir yang kelihatannya mengejarnya tidak terlihat. Ia berhenti sejenak mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah, mata berwana lavender itu terpejam sesaat ketika ia mengambil napas besar.

"A-aku berhasil kabur!" Ia berucap lega, ia tak percaya bahwa dirinya benar-benar bisa kabur.

Setelah berhenti beberapa detik, dirinya memutuskan untuk berlari kembali, menuju tempat dimana Hanabi berada.

Ia berjalan sekitar kurang lebih 30 menit, jam yang melingkar pada tangannya menunjukkan pukul 09:35 malam, rasa lelah tentu saja ia rasakan. Tak jauh, dari tempatnya, ia dapat melihat rumah dimana Neji menahan adiknya. Dengan kondisi tubuh yang sudah sangat berantakan, ia berhenti sejenak, mengatur napas dan menyeka peluh keringat pada wajahnya. Bibir yang tadinya ia poles dengan lipstik berwarna merah itu kini berubah seperti sedia kala.

Ia kembali berjalan, jarak dirinya dan rumah Neji hanya berjarak sekitar 50 meter. Ia segera memicingkan matanya, memfokuskan pandangannya ketika dirinya melihat seorang pemuda yang baru saja keluar dari rumah Neji.

Berperawakan tegap, rambut kuningnya sedikit berkilau ketika terkena sinar lampu. Jas biru tua yang dipakainya terlihat begitu pas dengan wajahnya. Dengan kedua tangannya menenteng 2 koper yang ukurannya besar dan kecil.

"A-aneh sekali!" Secuil komentar menerobos keluar dari bibir kecilnya ketika melihat pria keren yang berdiri tak jauh didepannya sedang mencoba menaiki sepeda butut yang sungguh tidak sesuai dengan penampilannya.

.

.

.

Tbc.

Setelah sekian lama, akhirnya Fict buluk ini di up juga.

Maafkan hamba yang terlalu sibuk!

Ada sebuah Review dalam fict Faris yang lainnya mengatakan bahwa dia "Kangen faris" Aku sungguh terharu... beneran gak boong. Baru kali ini ada yang bilang begitu, meskipun itu hanya sebuah tulisan, aku sungguh senang sekali, senyum-senyum membacanya secara berulang-ulang. :D

Bagaimana dengan Chapter ini, ini merupakan Chapter terpanjang yang pernah faris buat. Jadi... sudikah kalian memberikan sebuah review?

Apapun yang terlintas di pikiran kalian, pendapat kalian, feel dari fict ini gimana sih? Dapet apa enggak? Terus juga, kalau ada penulisan sebuah kata yang salah, tolong diberi tahu, faris masih tidak terlalu paham dengan EYD, jadi mohon bantuannya.

Review?

Salam, Faris Shika Nara Out.

Surabaya 30/12/16.