Disclaimer: Sesungguhnya, hanya Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki napas dan jalan kehidupan semua karakter yang ada dalam cerita Puan ini. Puan hanya meminjam nama mereka saja.

Rate: M

Genre: Puan agak kurang paham dengan masalah ini. Bisa jadi genre-nya romance, drama, tragedy and family.

Warning: Boys love, yaoi, m-preg, beberapa butir typo yang kemungkinan terlewat ketika proses peng-edit-an, jalan cerita yang cukup lambat, beberapa adegan penyiksaan, karakter para tokoh yang tidak sesuai kepribadian aslinya pastinya dan banyak lagi yang lainnya.

Cast:

- Kim Jaejoong as Kim Jaejoong/Selir Hwan (15 tahun)

- Jung Yunho as Raja Yi Yunho/Raja Sukjong (30 tahun)

- Kim Junsu as Kepala Pengawal Kim (28 tahun)

- Go Ahra as Permaisuri Yi Ahra (30 tahun)

- Shim Changmin as Putera Mahkota Yi Changmin (15 tahun)

- Park Yoochun akan muncul di chapter yang kesekian, jadi umur dan perannya juga belum Puan tentukan, hehehe.

Sedikit cuap-cuap:

Latar dari cerita ini adalah di era Dinasti Joseon, di bawah kepemimpinan Raja Yi Sun (memerintah sejak tahun 1674-1720) yang untuk keperluan cerita namanya Puan ganti menjadi Raja Yi Yunho. Raja ke-19 dari Joseon. Tidak bermaksud sama sekali untuk menodai sejarah Korea dengan perubahan ini, jadi Puan minta maaf sebelumnya jika ada pihak yang tidak berkenan.

Puan juga berusaha meminimalisir penggunaan bahasa Korea disebabkan karena keterbatasan Puan. Sebagai pendatang baru di fandom ini, Puan ingin turut serta menyalurkan minat menulis Puan yang tentunya belum ada apa-apanya, untuk itu kritik dan saran membangunnya sangat Puan harapkan.

Cerita ini terinspirasi dari banyak drama kolosal Mandarin dan Korea yang Puan tonton juga cersil yang Puan baca, yang paling utama adalah drama Mandarin berjudul The Great Conspiracy serta drama Korea berjudul Jewel in the Palace alias Jang Geum dan serial Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh. S. Kalau ada beberapa kesamaan, harap dimaafkan, ne?

Puan ingin berterima kasih untuk separuh jiwa Puan (Lluvia) yang selalu menjadi teman untuk bertukar pikiran, memberikan masukan-masukan dan saran-saran yang berharga, meskipun ujung-ujungnya selalu out of the topic, hahaha. Kau adalah salah satu anugerah terindah yang pernah kumiliki, Via. Special thanks to Sulis: maafkan diriku yang selalu merepotkanmu, Sayang.

Untuk readers tersayang baik yang lama atau baru, silent readers, ataupun viewers yang sudah menyempatkan diri melihat, membaca, mem-follow, mem-favoritkan, juga memberi jejak di chapter-chapter sebelumnya, sehamparan cinta bersuntingkan ribuan ucapan terima kasih dari lubuk hati terdalam Puan haturkan pada kalian yang namanya tidak bisa Puan tuliskan satu per satu. Terima kasih tak berhingga untuk dorongan semangat dari kalian yang tiada hentinya, hingga membuat Puan tetap semangat menulis di sela-sela kesibukan Puan sebagai ibu rumah tangga. Juga untuk kesabaran kalian menantikan tulisan Puan update. Terima kasih, terima kasih dan terima kasih.

Ada banyak hal yang menyebabkan fanfic ini tidak bisa Puan publish secepat yang Puan inginkan, namun tidak perlu rasanya Puan jabarkan satu per satu. Sebagai manusia biasa, Puan hanya bisa merencanakan, namun Tuhan tetaplah memiliki rencana-Nya tersendiri, yang tentunya memiliki hikmah. Akan tetapi untuk segala keterlambatan yang membuat teman-teman sekalian menunggu, Puan sekali lagi meminta maap yang sebesar-besarnya.

Chapter kali ini, dan kemungkinan juga chapter-chapter berikutnya, tidak akan sepenuhnya terfokus pada Jaejoong, sebab Puan merasa perlu untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian lain yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin terbersit di benak teman-teman pembaca sekalian. Kenapa hal ini Puan anggap perlu, karena memang di sanalah kunci jawaban dari beberapa pertanyaan yang teman-teman ajukan di kolom review. Dan Puan berharap, hal itu sama sekali tidak akan mengganggu.

Dan akhirnya, Puan persembahkan chapter 7 kepada kalian semua, selamat membaca dan terima kasih jika ada yang berkenan meninggalkan jejak untuk kesekian kalinya.

The Great Revenge

by

Puan Hujan

Chapter 7

"Hiyaaa! Hiyaaa! Hiyaaa…!"

Titik-titik embun masih menggeliat manja di ujung daun dan rerumputan ketika derap kaki kuda yang ditingkahi suara teriakan nyaring pembakar semangat terdengar memecah kesunyian di awal pagi yang berselimut kabut cukup tebal. Seorang pemuda gagah berwajah manis dalam balutan pakaian serba hijau, serta rambut panjang yang diikat sehelai kain berwarna senada, tampak tengah memacu kuda hitamnya dengan kecepatan tinggi seperti dikejar sekawanan anjing hutan yang kelaparan. Begitu cepatnya pemuda berwajah manis namun memiliki sorot mata yang tajam itu memacu kudanya, hingga yang terlihat dari kejauhan hanyalah kelebatan bayangan hijau dari pakaian yang ia kenakan, membelah jalan setapak tanpa mempedulikan gumpalan kabut yang menghalangi pandangan. Sementara itu, beberapa batang tombak di belakangnya, seorang pemuda lain yang berwajah tampan dengan rahang tegas berpakaian serba biru tampak kewalahan mengimbangi lari kuda hitam di depannya. Jika diperhatikan dengan seksama, kuda berbulu cokelat yang ditunggangi pemuda berparas tampan itu kelihatannya memang bukan tandingan kuda hitam di depannya yang sepertinya memiliki kemampuan untuk berlari secepat angin.

"Hiyaaa! Hiyaaa …!"

Pemuda tampan yang mengenakan pakaian serba biru yang sudah agak memudar warnanya, dengan gagang pedang tipis yang tersembul di balik punggungnya itu terus menggebah kudanya agar bisa berlari lebih cepat lagi, mengejar pemuda berwajah manis di depannya. Tapi pada kenyataannya tetap saja kuda berbulu cokelat yang ditungganginya semakin jauh tertinggal. Pemuda berwajah manis yang berusaha dikejarnya sudah lenyap tak terlihat sama sekali bersama kuda tunggangannya. Bahkan, bayangannya pun sudah tidak mampu dijangkau oleh pandangan mata, meski kabut yang sempat menghalangi penglihatan sudah mulai menipis. Yang kini terlihat di depannya hanyalah jalanan setapak memanjang dengan tanah berumput yang dipenuhi bekas tapak kaki kuda, yang menandakan bahwa pemuda berwajah manis yang berusaha dikejarnya telah melalui jalan yang sama. Hal tersebut juga sebagai pertanda bahwa ia sudah semakin jauh meninggalkan ibukota Haeju yang saat ini mulai dihiasi bias merah jingga dari cahaya matahari yang belum seutuhnya menampakkan diri. Hari memang masih terlalu pagi, dan menawarkan selaksa pesona untuk dinikmati. Namun sayangnya, keindahan yang tersaji sama sekali tidak bisa dinikmati oleh panglima muda Kerajaan Joseon ini.

"Aishhh, sial, sial, sial…! Kudaku bisa kehabisan napas kalau begini caranya. Huh, benar-benar keterlaluan! Tega sekali Junsu Hyung meninggalkanku begitu saja!" rutuk pemuda tampan itu dalam hati.

Memang, sesungguhnya pemuda berparas manis penunggang kuda hitam yang telah melesat jauh di depan bagai anak panah terlepas dari busurnya itu adalah Kepala Pengawal Kim, atau nama aslinya ialah Kim Junsu. Seorang pemuda berusia dua puluh delapan tahun, yang selain menjabat sebagai kepala pengawal Kerajaan Joseon yang sangat ahli dalam permainan pedang, juga merupakan orang kepercayaan raja. Sedangkan pemuda tampan penunggang kuda berbulu cokelat itu sendiri tak lain adalah Shin Won Gi, seorang panglima muda Kerajaan Joseon yang usianya saat ini baru dua puluh enam tahun. Keduanya sedang menjalankan sebuah misi khusus dari Yang Mulia Raja Yi Yunho. Atau lebih tepatnya, Kepala Pengawal Kim-lah yang mendapatkan misi itu, dan ia mengikutsertakan Panglima Shin dalam misinya kali ini, setelah mendapat persetujuan dari sang raja. Misi mereka berdua adalah menguak kebenaran dari selentingan kabar mengenai keberadaan keluarga Park yang masih tersisa, sesuai dengan berita yang dikirimkan seorang telik sandi beberapa waktu yang lalu.

Sejak mendapatkan misi dari Yang Mulia Raja, Kepala Pengawal Kim yang menurut pengamatan Panglima Shin selama ini merupakan pribadi yang ramah, menjadi sedikit berubah. Ia cenderung menjadi jauh lebih pendiam. Entah apa yang membebani pikiran pemuda itu. Panglima Shin hanya mampu merajut benang-benang praduga di dalam benaknya tentang perubahan sikap Kepala Pengawal Kim yang tidak biasa, dan tidak memiliki cukup keberanian untuk bertanya lebih jauh. Yang panglima muda itu ketahui dengan pasti hanyalah bahwa mereka akan menyisir seluruh wilayah utara, mulai dari Provinsi Hwanghae, Provinsi Pyeongan, hingga Provinsi Hamgyeong untuk menyelidiki kebenaran mengenai keberadaan keluarga Park yang kemungkinan masih tersisa, meski menurutnya hal itu kemungkinannya sangatlah kecil. Peristiwa mengerikan yang terjadi lima belas tahun yang lalu telah membinasakan seluruh keluarga Park, ataupun keluarga-keluarga lain yang memiliki marga yang sama meski tidak memiliki kaitan darah sama sekali. Peristiwa yang sesungguhnya diam-diam menimbulkan pertanyaan di dalam hati panglima muda itu, mengapa keluarga Park harus dimusnahkan hingga tak bersisa? Jika memang benar Park Ji Hoon yang saat itu menjabat sebagai Panglima Perang Utama Kerajaan merencanakan makar, bukankah seharusnya hanya ia dan keluarganya yang bersalah saja yang seharusnya dihukum? Benarkah bahwa sesungguhnya penggulingan dan pemusnahan keluarga Park dari pemerintahan disebabkan adanya pihak-pihak tertentu yang merasa khawatir jika keberadaan keluarga itu akan mengancam kedudukan keluarga mereka di kemudian hari? Sungguh, begitu banyak pertanyaan yang memenuhi isi kepala sang panglima muda itu. Dan sikap Kepala Pengawal Kim yang menjadi lebih pendiam sama sekali tak banyak membantunya dalam memecahkan teka-teki yang bergelayut seperti jaring laba-laba di benaknya.

Sejak mereka meninggalkan istana melalui jalan rahasia di bagian belakang istana tepat tengah malam tadi, perjalanan mereka lebih banyak diisi oleh kesunyian, selain jerit binatang malam. Kepala Pengawal Kim hanya menjawab singkat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Panglima Shin, dan selebihnya memilih diam namun tetap memacu kudanya dengan kecepatan penuh saat mereka melewati jalanan yang biasanya jarang dilalui penduduk. Dan puncaknya adalah saat Kepala Pengawal Kim meninggalkannya begitu saja sejak mereka memasuki pintu gerbang Provinsi Hwanghae, dengan memacu kuda hitam tunggangannya secepat kilat. Sejujurnya kalau dibandingkan, kuda cokelat milik pemuda tampan yang lebih sering dipanggil Panglima Shin itu memang tidak ada apa-apanya dibandingkan kuda hitam milik Kepala Pengawal Kim yang merupakan jenis kuda dari ras terbaik yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau Panglima Shin kehilangan jejak dari sang kepala pengawal yang diam-diam dicintainya.

Panglima Shin yang berparas tampan dengan garis rahang tegas itu lalu mengarahkan perhatiannya pada kuda tunggangannya. Hatinya jadi mencelos melihat kuda berbulu cokelat itu telah mendengus-dengus kelelahan, karena terus-menerus dipaksa berlari cepat, mengikuti kuda hitam milik Kepala Pengawal Kim. Air liur kudanya terus mengalir, menetes bersamaan dengus napasnya yang memburu.

"Hooop…!"

Tanpa menghiraukan Kepala Pengawal Kim yang bayangannya pun sudah tidak terlihat lagi, Panglima Shin memutuskan untuk menghentikan lari kudanya. Kemudian pemuda berparas tampan dan berambut panjang yang mengenakan ikat kepala berwarna hitam itu melompat turun. Begitu ringan dan indah gerakannya saat melompat dari punggung kuda tunggangannya. Bahkan tidak ada sedikit pun suara yang ditimbulkan ketika kedua kakinya menjejak tanah berumput yang masih basah oleh linangan embun.

"Kemarilah, Ha Rim…."

Panglima Shin kini menuntun kuda berbulu cokelatnya yang diberi nama Ha Rim mendekati sebuah aliran sungai kecil yang banyak dikelilingi tanaman pinus dan bambu, tidak jauh dari situ. Kemudian, ditinggalkannya kuda cokelat itu, dibiarkan mereguk sejuknya air sungai. Sedangkan pemuda berparas tampan berpakaian serba biru itu melepaskan kantung kulit tempat persediaan airnya yang tergantung di pinggang, lalu menenggak isinya hingga separuh untuk membasahi kerongkongannya yang dahaga. Ia lalu berjongkok di pinggiran sungai kecil itu, mengisi kembali kantung kulitnya dengan air sungai yang bening hingga penuh, lalu mencuci wajahnya yang terasa lengket oleh debu, sebelum akhirnya menghempaskan tubuhnya di atas salah satu akar kayu dari sebatang pohon pinus yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Dengan ujung lengan baju, disekanya tetes-tetes air sungai yang masih menghiasi wajah tampannya, sambil membiarkan angin pagi mengeringkan pakaiannya yang basah oleh keringat, meski udara masih cukup dingin.

"Phuuuh…!"

Panglima muda berwajah tampan itu menghembuskan napas dengan keras sekali. Sementara pandangan matanya tertuju lurus ke arah jalan setapak yang membentang di hadapannya. Matahari sudah beberapa waktu berbenah diri, cahayanya yang merah menyemburat di ufuk timur. Sinarnya yang hangat membuat kabut menyebar ke udara, dan embun-embun mulai menguap dari puncak pepohonan dan rerumputan. Panglima Shin tidak bisa memperkirakan, sudah sampai di mana Kepala Pengawal Kim saat ini. Tapi, bukan itu yang menyita pikirannya. Ada sesuatu yang terus mengganjal dalam benaknya, yang sampai saat ini belum bisa terjawab.

"Aku merasa sikap Junsu Hyung belakangan ini sangat aneh…. Benar-benar aneh. Tidak biasanya Junsu Hyung seperti itu. Ada apa, ya…? Apa yang sesungguhnya ia sembunyikan?" Panglima Shin bicara sendiri, dengan nada bertanya-tanya.

Pandangan mata pemuda berparas tampan itu terus tertuju lurus ke arah jejak-jejak kaki kuda yang masih terlihat cukup jelas dari tempatnya beristirahat. Tampak keningnya berkerut, kedua pangkal alisnya yang cukup tebal nyaris menyatu, dan kelopak matanya yang sipit semakin menyipit. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Begitu banyak pemikiran yang berkecamuk di benaknya. Namun, pandangannya sedikit pun tidak beralih dari jalanan setapak dengan tanah berumput di hadapannya.

"Aku sangat yakin, Junsu Hyung pasti menyembunyikan sesuatu. Tapi, apa…? Dan mengapa…? Huuuft…! Padahal Junsu Hyung sendiri yang mengajakku, tapi kenapa akhirnya ia meninggalkanku…?" kembali Panglima Shin bertanya-tanya pada diri sendiri.

Pemuda tampan itu menggelengkan kepalanya, seakan berusaha menghilangkan dugaan-dugaan yang menghinggapi dirinya. Dipalingkannya pandangannya, menatap kuda cokelatnya yang sudah tidak lagi melepaskan dahaga, dan kini terlihat sedang merumput. Dan seakan-akan menyadari bahwa ada seseorang yang memerhatikannya, binatang yang tubuhnya tinggi tegap dan berotot itu menaikkan kepalanya, berbalik memandangi Panglima Shin. Sorot matanya seakan-akan mengatakan bahwa ia sudah siap untuk dipacu kembali, mengejar Kepala Pengawal Kim yang sudah meninggalkan mereka berdua.

"Hhh…!"

Sambil menghembuskan napas panjang, Panglima Shin bangkit berdiri. Sebentar tubuhnya digeliat-geliatkan, mencoba mengusir rasa pegal pada persendian tulang pinggangnya akibat berkuda nyaris semalaman. Kemudian kakinya melangkah, menghampiri kudanya yang berbulu cokelat.

"Sudah cukup istirahatmu, Ha Rim? Bagaimana menurutmu kalau kita meneruskan perjalanan, hemmm…? tanya Panglima Shin sambil mengelus-elus leher kuda cokelat tunggangannya.

Kuda jantan berbulu cokelat itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mendengus kecil, seakan-akan mengerti perkataan Panglima Shin tadi. Panglima Shin tersenyum lebar. Dengan gerakan indah sekali, pemuda tampan itu melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja duduk di pelana, tiba-tiba….

Wusss!

Wusss!

Wusss!

Jleb!

Jleb!

Jleb!

"Heh…?! Upst! Hup!"

Cepat-cepat Panglima Shin membuat gerakan melenting ke udara, sambil menghentakkan kaki ke tubuh kudanya. Kuda cokelat yang merasa bahwa pemiliknya tidak lagi berada di punggungnya itu kontan meringkik keras sambil mengangkat dua kaki depannya, dan langsung melompat begitu pemiliknya melesat ke atas.

"Hap!"

Manis sekali Panglima Shin menjejakkan kedua kakinya kembali ke tanah. Sedikit kepalanya berpaling, melirik tiga batang anak panah yang tadi meluncur cepat sekali ke arahnya. Anak-anak panah beronce benang merah membentuk hiasan burung bangau yang mengepakkan sayap itu menancap dalam pada sebatang pohon pinus, tidak jauh di sebelah kanannya. Jelas, anak-anak panah itu dilepaskan oleh orang-orang yang memiliki keahlian memanah yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

ooo 000 ooo

Belum juga hilang sepenuhnya rasa keterkejutan yang mendera, kembali Panglima Shin dikejutkan oleh melesatnya empat buah bayangan hitam dengan gerakan sangat ringan dari atas pohon pinus tua di hadapannya. Begitu ringannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kaki-kaki mereka menjejak tanah, tepat sekitar satu batang tombak di depan Panglima Shin. Mereka membentuk formasi satu di depan sebagai pemimpin, sedangkan tiga orang lainnya berdiri sejajar di belakang dengan busur panah terentang di tangan. Tak diragukan lagi, ketiga orang itulah yang telah melepaskan anak-anak panah tadi.

"Siapa kalian…?! Mengapa tiba-tiba kalian menyerangku…?!" tanya Panglima Shin langsung, sambil merayapi sosok berpakaian serba hitam di depannya yang ternyata merupakan seorang lelaki tua dengan rambut panjang meriap yang seluruhnya telah memutih. Kepalanya tertutupi sebuah topi jerami bercaping lebar yang menyembunyikan hampir sebagian wajahnya. Panglima muda itu sempat melirik ketiga sosok yang berdiri di belakang lelaki tua itu, yang semuanya mengenakan pakaian serba hitam dan penutup kepala dari jerami yang juga bercaping lebar. Seekor burung bangau yang sedang merentangkan kedua sayapnya terlihat tersulam dengan benang merah di dada pakaian ketiga orang tersebut.

"Ha ha ha…!"

Lelaki tua bertopi jerami yang sepertinya merupakan pimpinan kelompok itu hanya terbahak saja untuk menjawab pertanyaan Panglima Shin. Suara tawanya terdengar kering dan serak. Sedangkan ketiga orang di belakangnya hanya diam membisu seperti arca batu. Panglima Shin semakin tajam merayapi seluruh tubuh lelaki tua yang terlihat renta di depannya itu.

Pemuda tampan itu menaksir kalau usia si lelaki tua pasti sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk terbungkus baju panjang longgar berwarna hitam yang sudah memudar, tanpa sulaman burung bangau. Berbeda dengan ketiga lelaki di belakangnya yang memegang senjata berupa busur panah, lelaki tua ini menggenggam sebatang tongkat kayu yang bentuknya tidak beraturan di tangan kanannya yang tinggal kulit pembalut tulang. Pada lehernya yang keriput, melingkar seuntai kalung dari batu-batu hitam sebesar ibu jari. Sementara itu, dari sekilas pandang, Panglima Shin memperkirakan kalau usia ketiga lelaki di belakang lelaki tua itu tak lebih dari empat puluhan. Terlihat dari bentuk badan mereka yang masih cukup tegap dan gagah.

"Kau pastilah Shin Won Gi, atau yang lebih sering dipanggil Panglima Shin. Murid tunggal Choi Ji Won, seorang pandai besi dan ahli pedang dari selatan," ucap lelaki tua itu dengan suara kering dan datar.

"Benar. Bagaimana kau bisa mengetahuinya? Siapa kau sebenarnya, Ahjussi?" Panglima Shin balik bertanya dengan hati diliputi keterkejutan karena lelaki tua di hadapannya ini mengenal gurunya. Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat apakah ia pernah bertemu dengan lelaki tua itu sebelumnya. Namun, meskipun sudah mengerahkan seluruh ingatannya, panglima muda itu sama sekali tidak berhasil mengingat kapan dan dimana ia pernah bertemu dengan lelaki tua renta itu.

"Ha ha ha…!"

Lelaki tua itu lagi-lagi hanya tertawa saja, dengan suaranya yang kering dan serak, seperti tidak mempedulikan pertanyaan Panglima Shin barusan. Ia mengangkat tongkat kayunya ke atas, lalu memutarnya ke kiri dan kanan sebanyak dua kali. Tiga orang lelaki di belakangnya secara serentak melangkah mundur sejauh dua batang tombak setelah membaca isyarat dari lelaki tua itu. Mereka mengambil posisi bersiap, dengan anak panah berada pada busur masing-masing. Siap dilepaskan begitu diperintahkan. Sementara itu, lelaki tua itu menggeser kakinya ke depan beberapa langkah. Begitu ringan gerakan kakinya, sehingga hampir tidak terlihat. Dan seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menjejak tanah. Bahkan rumput yang dipijaknya pun sama sekali tidak rusak. Melihat itu, Panglima Shin sudah bisa menduga kalau tingkat kepandaian yang dimiliki lelaki tua itu pasti sangat tinggi.

"Kau sama sekali tidak perlu tahu siapa aku, Panglima Shin. Dan bagaimana aku mengetahui siapa gurumu. Yang perlu kau ketahui, aku akan menghalangimu untuk meneruskan perjalananmu dalam menunaikan tugas apa pun yang sedang kau emban! Aku memberimu dua pilihan, Anak Muda. Kembali ke istana dan bersikap seperti anjing pesuruh yang patuh, atau bersiaplah untuk menjemput kematianmu saat ini juga!" ancam lelaki tua itu dingin. Bibirnya yang sedikit terlihat dari ujung caping tampak membentuk sebuah seringai tipis, namun kata-kata yang diucapkannya penuh ancaman.

"Heh…?! Apa maksudmu…?!" Panglima Shin jadi kaget setengah mati mendengar ancaman dari lelaki tua yang sama sekali tidak dikenalnya itu. Ia sampai melonjak mundur selangkah ke belakang. Ditatapnya lelaki tua di hadapannya itu dengan tatapan penuh selidik. Dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti saat ini, otaknya bekerja dengan cepat mencerna ucapan lelaki tua itu. Dan ia mendapatkan dua kesimpulan awal. Yang pertama, ke-empat orang di hadapannya adalah orang-orang bayaran yang diperintahkan untuk menggagalkan misi yang sedang ia emban bersama Kepala Pengawal Kim. Dan pihak-pihak tertentu yang telah menggunakan jasa orang-orang bayaran ini pastilah memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan, hingga bisa mengetahui bahwa perjalanan mereka ke arah utara adalah dalam rangka menjalankan misi tertentu dari Yang Mulia Raja. Kesimpulan kedua, siapa pun pihak yang telah menyewa jasa orang-orang bayaran ini kemungkinan besar belum mengetahui bahwa misi rahasia mereka adalah untuk menguak kebenaran mengenai kabar keberadaan keluarga Park yang tersisa. Panglima Shin menelan ludahnya. Orang-orang bayaran ini pasti akan menggunakan segala cara untuk menjegal langkahnya.

"Ha ha ha…! Kau tidak mendadak menjadi bodoh dan tuli, bukan? Tentukan pilihanmu saat ini juga, Panglima Shin. Atau bersiaplah untuk meninggalkan kepalamu di sini!" ucapan lelaki tua di hadapannya memutus lamunan Panglima Shin yang sedang mereka-reka segala kemungkinan di dalam benaknya.

"Eh, tunggu…! Aku tidak mengenalmu dan tidak merasa memiliki urusan denganmu, Ahjussi!"

"Kau membuang kesempatan yang kuberikan padamu, Anak Muda. Bersiaplah untuk mati saat ini juga! Hiyaaat…!"

Lelaki tua berpakaian serba hitam yang tidak bersedia menyebutkan namanya itu, sudah melompat begitu cepat bagai kilat sambil mengebutkan tongkatnya. Dan saat ujung tongkatnya tinggal sejengkal lagi dari dada panglima muda itu, ia segera menghentakkannya ke depan. Akibatnya, Panglima Shin jadi terperangah sesaat dengan kedua bola mata terbeliak lebar mendapat serangan di luar dugaan itu.

"Upths!"

Cepat-cepat pemuda tampan yang merupakan salah seorang panglima muda Kerajaan Joseon itu mengegoskan tubuhnya ke kiri, begitu ujung tongkat lelaki tua yang runcing berkelebat cepat sekali ke dadanya. Dan ujung tongkat yang runcing itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Panglima Shin yang bidang.

"Hup!"

Bet!

Panglima Shin langsung melompat ke belakang beberapa langkah, begitu terhindar dari serangan lelaki tua yang tidak dikenalnya itu. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, lelaki tua itu sudah kembali melesat cepat bagai kilat, sambil mengebutkan tongkatnya yang berujung runcing, menyabet ke arah kaki pemuda tampan itu sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.

"Hiyaaa…!"

"Haiiit…! Yeaaah…!"

Mau tak mau Panglima Shin terpaksa harus berjumpalitan, menghindari serangan-serangan cepat yang dicecarkan lelaki tua ini. Sepertinya lelaki tua ini tidak main-main dengan ancamannya. Beberapa kali ujung tongkat runcing itu hampir beruntun mengenai tubuh sang panglima muda, tapi Panglima Shin masih bisa menghindar dengan gerakan tubuh yang sangat indah.

"Hup!"

Begitu memiliki kesempatan, cepat-cepat Panglima Shin melenting ke belakang, lalu berputaran beberapa kali sebelum kedua kakinya menjejak tanah.

"Ha ha ha…! Kenapa kau hanya bisa menghindar dan melompat-lompat seperti seekor kera, Panglima Shin? Kenapa tidak langsung saja kau cabut pedangmu? Ingin kulihat sejauh mana kepandaianmu dalam memainkan jurus-jurus pedang dari selatan yang begitu terkenal. Bukankah kemampuanmu dalam hal memainkan pedang hanya dua tingkat di bawah Kepala Pengawal Kim yang tersohor itu?" terasa dingin sekali nada suara lelaki itu.

Panglima Shin tertegun. Tidak banyak yang mengetahui mengenai kemampuannya dalam memainkan pedang. Selama ini ia selalu bersikap selayaknya seorang panglima muda biasa yang hanya memiliki kemampuan standar dalam hal bela diri. Bahkan Selir Hwan yang baru mempelajari jurus-jurus pedang dalam beberapa purnama dikenal sebagai seorang ahli pedang muda yang memiliki kemampuan jauh di atas dirinya yang sudah lebih dahulu mempelajarinya. Kemampuan sang selir terkasih sang raja itu dalam memainkan jurus-jurus pedang hanya setingkat di bawah Kepala Pengawal Kim yang merupakan gurunya, dan itu berarti satu tingkat di atas kemampuannya.

"Hm…. Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang diriku, Ahjussi," desis Panglima Shin, tidak kalah dinginnya, setelah membuang jauh-jauh pemikiran-pemikiran yang berkelebat di benaknya.

"Aku memang tahu banyak tentang dirimu, Panglima Shin. Dan aku juga tahu cara cepat untuk mengirimmu ke liang kubur," sahut lelaki tua itu, tetap kering dan dingin suaranya.

"Hm…," Panglima Shin hanya menggumam perlahan saja, berusaha untuk tidak terpancing meski ucapan yang terlontar dari bibir lelaki tua itu sangat menyakitkan hati.

Sedikit panglima muda berparas tampan itu menggeser kakinya ke kanan. Tatapan matanya tetap tajam, mengamati setiap gerakan lelaki tua ini. Dalam bentrokan yang terjadi beberapa jurus tadi, Panglima Shin sudah bisa mengukur kalau kepandaian lelaki tua ini cukup tinggi. Namun, sedikit pun tidak ada rasa gentar dalam hatinya. Sebagai seorang panglima dari sebuah kerajaan ternama, baginya lebih terhormat jika ia mati setelah melawan sekuat tenaga, daripada melarikan diri seperti seorang pengecut.

"Cabut pedangmu dan berusahalah untuk mempertahankan selembar nyawamu, Anak Muda! Hiyaaat…!"

Sambil berteriak nyaring, lelaki tua itu kembali melompat dengan gerakan yang sangat cepat hingga yang terlihat hanya bayangan hitam yang mengebutkan tongkat kayunya beberapa kali ke bagian-bagian tubuh Panglima Shin yang mematikan.

"Hap! Yeaaah…!"

Cring!

Tak ingin mati secara percuma dalam menghadapi pertarungannya dengan lelaki tua yang tidak dikenalnya, Panglima Shin akhirnya mengeluarkan pedangnya dari warangka. Dengan gerakan cepat, Panglima Shin mengeluarkan jurus-jurus permainan pedangnya yang indah untuk menangkis serangan-serangan dari tongkat lelaki tua itu. Pedang baja tipis yang lentur itu berubah menjadi senjata yang sangat mematikan di tangannya.

"Hiyaaat…!"

Dengan gerakan yang sangat cepat, sambil bertumpu pada pedangnya yang menegang kaku di tanah, Panglima Shin berteriak nyaring lalu melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu, dengan cepat tubuhnya meluruk deras sambil mengebutkan pedang tipisnya. Arahnya langsung ke kepala, leher, dan dada lelaki tua itu.

Lelaki tua bersenjata tongkat itu terlihat kelabakan menghindari serangan balasan yang begitu cepat hingga terpaksa berjumpalitan dan meliuk-liuk untuk menghindari tebasan pedang tipis di tangan kanan panglima muda Kerajaan Joseon itu. Namun pedang tipis di tangan Panglima Shin seakan memiliki mata. Ke mana saja lelaki tua itu bergerak, pedang tipis yang lentur itu selalu mengikuti dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Hiyaaat…!"

Wuk!

Begitu cepat Panglima Shin mengebutkan pedangnya ke arah dada lawan. Dan kali ini, lelaki tua itu tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Terpaksa serangan itu harus ditangkis dengan tongkatnya. Hingga….

Tring!

"Ikh…?!"

"Hup!"

Lelaki tua itu jadi terperanjat setengah mati, begitu tongkatnya berbenturan dengan pedang baja tipis milik Panglima Shin. Sementara, pemuda tampan berpakaian biru itu langsung melompat ke belakang. Tubuhnya berputaran beberapa kali, sebelum kakinya menjejak tanah. Tampak bibirnya meringis sambil memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Memang, salah satu kehebatan dari Panglima Shin adalah kemampuannya untuk memainkan pedang dengan menggunakan tangan kanan maupun tangan kiri dengan sama baiknya.

"Ugh! Tenaga dalam lelaki tua ini besar juga…," dengus Panglima Shin dalam hati saat merasa tangannya kesemutan akibat benturan kedua senjata tadi.

"Phuih! Rupanya panglima muda ini memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Permainan pedangnya sangat berbahaya. Huh! Tampaknya aku harus mengeluarkan segenap kemampuanku untuk menandinginya. Perdana Menteri Go ternyata tidak berbohong saat mengatakan kalau anak muda ini memiliki kemampuan memainkan pedang yang begitu luar biasa. Jika dia saja sudah sehebat ini, lalu bagaimana dengan kemampuan Kepala Pengawal Kim yang dikatakan sebagai ahli pedang terhebat di Semenanjung Korea itu?" batin lelaki tua itu sambil diam-diam memuji kehebatan lawan.

Kini mereka berdiri berhadapan dengan jarak sekitar satu batang tombak. Satu sama lain saling menatap tajam, menusuk langsung ke bola mata masing-masing. Seakan-akan, mereka tengah mengukur tingkat kepandaian satu sama lain.

Panglima Shin menggenggam gagang pedang tipisnya dengan kedua tangan dan menyilangkannya di depan dada. Wajah tampannya terlihat menegang kaku. Sorot matanya pun terlihat begitu dingin dan tajam. Bibirnya yang tipis terkatup rapat tanpa seulas senyuman.

"Majulah kau, Ahjussi! Ingat kulihat sejauh mana kemampuanmu untuk mengirimku ke alam baka. Atau barangkali, kau dan mulutmu yang sesumbar itulah yang lebih dulu akan kukirim ke liang kubur!" desis Panglima Shin dengan nada begitu dingin. Perlahan ia menggeser kakinya beberapa langkah ke depan, dengan sepasang mata menatap tajam lurus ke depan.

"Kenapa kau diam saja, Ahjussi? Bukankah sejak tadi kau begitu banyak bicara? Atau kau mulai merasa gentar untuk menemui ajalmu di ujung pedangku? Jika kau berubah pikiran, masih ada kesempatan untuk melarikan diri seperti seorang pecundang. Sebab kali ini, aku tidak akan setengah-setengah lagi dalam menghadapimu. Jadi bersiaplah!" terdengar sinis sekali nada suara Panglima Shin.

Glek!

Lelaki tua itu menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. Entah mengapa, sinisnya nada suara pemuda berwajah tampan itu dalam berkata membuat hatinya tercekat. Dan tak cukup sampai di situ, hatinya juga bergetar hebat melihat jurus-jurus pedang tingkat tinggi yang dimainkan oleh panglima muda di hadapannya ini. Dan hal ini benar-benar di luar perkiraannya semula. Sungguh tidak disangka jika panglima muda di hadapannya ini mampu mengimbangi serangannya dengan jurus pedang yang sangat indah, bahkan sanggup memberikan serangan balik yang membuatnya harus mempertahankan selembar nyawanya dengan susah payah!

"Tahan seranganku, Ahjussi! Hiyaaat…!"

Sambil berteriak nyaring, tiba-tiba Panglima Shin melompat ke depan dengan bertumpu pada kaki kanan bagian belakangnya. Pedang baja tipis di tangannya menegang kaku dan langsung ditebaskan ke arah lawan dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam. Begitu dahsyatnya kebutan pedang tipis itu, sehingga menimbulkan suara angin yang menderu yang mampu menggerakkan dedaunan kering dan batu-batu kecil yang berserakan di sekitar tempat itu.

"Hup!"

Dengan bertumpu pada tongkat kayunya, lelaki tua itu membuat gerakan melompat ke belakang untuk menghindari sabetan pedang tipis Panglima Shin, lalu dengan cepat mengebutkan tongkatnya dengan gerakan memutar untuk menangkis serangan beruntun yang tertuju padanya. Tapi, rupanya serangan pedang Panglima Shin tidak berhenti sampai di situ saja. Pedang baja tipisnya kembali meluruk dengan cepat ke arah lawan, dengan sasaran kedua kaki lelaki tua yang menjadi lawannya itu.

"Hiyaaat…!"

"Upst! Yeaaah…!"

Dan begitu pedang tipis di tangan Panglima Shin berkelebat ke arah kaki, lelaki tua itu cepat-cepat melesat ke atas. Tapi diluar dugaan, Panglima Shin ternyata justru membuat gerakan melenting sehingga tubuhnya jadi berbalik, hingga kakinya berada di atas. Pedang tipisnya ia lemparkan ke atas, lalu sambil bertumpu pada kaki kanan di atas pedangnya yang mengambang di udara, ia melepaskan sebuah tendangan kaki kanan yang sangat cepat sekali menghentak ke dada lawan.

Desss!

"Akh…!"

Begitu keras tendangan yang dilepaskan oleh Panglima Shin, sehingga lelaki tua yang menjadi lawannya tidak memiliki kesempatan untuk menghindar sama sekali. Akibatnya tubuhnya terpental sejauh satu setengah batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, tak jauh dari kaki salah seorang anak buahnya. Dan pada saat itu juga, Panglima Shin menangkap pedangnya yang masih mengambang di udara, lalu kembali melesat cepat ke arah lawan sambil berteriak keras. Bahkan pedangnya sudah terangkat naik ke atas kepala, siap untuk memisahkan kepala sang lelaki tua dari batang lehernya.

"Hiyaaat…!"

Slap!

Tring!

"Ikh…?!"

Panglima Shin jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat kilatan cahaya keperakan menyambar pedangnya yang tengah meluncur deras ke leher lelaki tua itu. Tangannya seketika terasa jadi menggeletar, begitu pedangnya membentur pedang perak yang berkelebat begitu cepat menyambarnya tadi.

"Hup!"

Cepat-cepat Panglima Shin melompat ke belakang dan berputaran beberapa kali, sebelum kakinya menjejak tanah. Beberapa kali dilakukannya gerakan-gerakan jurus kembangan permainan pedang untuk melemaskan otot tangannya yang seketika juga jadi meregang kaku.

Dan begitu menatap lelaki tua lawannya yang masih tergeletak tak berdaya di tanah, yang kini dikerumuni ketiga anak buahnya, kedua bola mata Panglima Shin jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya tampak ternganga.

"Hyung…?"

ooo 000 ooo

Pemuda tampan yang merupakan seorang prajurit muda Kerajaan Joseon dengan pangkat panglima itu hampir-hampir tidak bisa mempercayai penglihatannya sendiri. Tepat di depan lelaki tua yang menjadi lawannya tadi, berdiri tegak Kepala Pengawal Kim dengan pedang yang sudah tersilang di depan dada. Cepat-cepat panglima muda berwajah tampan itu memasukkan pedang baja tipisnya ke dalam warangka, lalu mengikatnya di punggung. Pada saat itu, Kepala Pengawal Kim juga memasukkan pedang peraknya yang bergagang kepala naga ke dalam warangka.

"Junsu Hyung…," desis Panglima Shin, sambil menghampiri sang kepala pengawal yang telah menghentikan pertarungannya.

Tapi pemuda tampan itu langsung menghentikan ayunan langkahnya, begitu melihat lelaki tua yang menjadi lawannya berusaha bangkit berdiri dengan bantuan ketiga anak buahnya. Dan akhirnya setelah bersusah-payah, ia mampu berdiri, walau napasnya jadi tersengal akibat menerima tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi dari Panglima Shin tadi. Salah satu anak buahnya menyerahkan tongkat kayu milik lelaki tua itu yang sempat terlepas dari tangannya, yang akhirnya dipergunakannya untuk menyangga tubuh rentanya. Sementara, Kepala Pengawal Kim menggeser kakinya ke kanan dan memutar tubuhnya sedikit. Kini, dirinya menjadi penengah di antara Panglima Shin dan lelaki tua itu.

"Bisa kau jelaskan ada apa ini sebenarnya, Won Gi-ya?" tanya Kepala Pengawal Kim seraya menatap Panglima Shin. Nada suaranya terdengar penuh tekanan.

"Sebaiknya Hyung tanyakan saja pada lelaki tua itu. Dialah yang lebih dulu mencari gara-gara dengan langsung menyerangku begitu saja," sahut Panglima Shin, agak mendengus suaranya.

Kepala Pengawal Kim berpaling, menatap lelaki tua yang masih berusaha mengatur jalan pernapasannya sambil menumpu beban tubuhnya pada tongkatnya. Panglima Shin juga menatap lelaki tua itu dengan sinar mata tajam. Sedangkan yang dipandangi seperti tidak peduli, tetap saja berusaha mengatur jalan pernapasannya. Sementara ketiga anak buahnya berdiri berjajar di belakangnya dengan senjata yang kembali sudah dalam posisi siaga.

"Ahjussi! Ada apa ini? Kenapa kau sampai terlibat pertarungan dengan Panglima Shin? Apakah kau memiliki masalah pribadi dengannya?" tanya Kepala Pengawal Kim, setelah melihat lelaki tua yang tidak diketahui namanya itu sudah agak lancar pernapasannya.

Lelaki tua itu tidak menjawab. Hanya ditatapnya Kepala Pengawal Kim dengan sinar mata yang sangat tajam dari balik capingnya yang lebar. Dan mendadak saja….

"Hup!"

"Hei…! Dasar pengecut! Jangan coba-coba melarikan diri…!"

Hampir saja Panglima Shin melesat mengejar, begitu tiba-tiba lelaki tua itu cepat melompat pergi diikuti ketiga anak buahnya. Tapi untung saja, dengan cepat Kepala Pengawal Kim segera mencekal pergelangan tangan sang panglima muda itu.

"Biarkan saja, Won Gi-ya. Tidak ada gunanya mengejar mereka. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan kita," ujar Kepala Pengawal Kim.

"Huh! Kenapa mereka dibiarkan kabur begitu saja? Lelaki tua itu tadi hampir saja menghabisi nyawaku, Hyung!" dengus Panglima Shin, yang rupanya masih merasa kesal dengan kejadian yang baru saja terjadi.

"Misi yang kita emban jauh lebih penting daripada mengejar lelaki tua yang sudah tidak berdaya."

Kepala Pengawal Kim melepaskan cekalan tangannya, kemudian melangkah menghampiri seekor kuda hitam yang berdiri berdampingan dengan kuda berbulu cokelat tunggangan Panglima Shin. Sementara, Panglima Shin tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian lelaki tua bersama ketiga anak buahnya tadi. Entah kenapa, hatinya masih saja merasa kesal. Mungkin karena tadi niatnya untuk mengirim lelaki tua itu ke liang kubur tidak kesampaian. Atau mungkin juga, reaksi yang diharapkannya dari pemuda yang diam-diam menarik hatinya itu, sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Alih-alih memberikan sebentuk penjelasan atas kepergian dan kemunculannya yang tiba-tiba, Kepala Pengawal Kim bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Entahlah. Perasaan Panglima Shin terasa campur aduk.

Kepala Pengawal Kim kembali menghampiri Panglima Shin sambil menuntun dua ekor kuda tunggangan masing-masing. Kemudian diserahkannya tali kekang kuda berbulu cokelat yang bernama Ha Rim pada pemuda tampan itu. Panglima Shin menerima tali kekang kudanya dengan wajah masih tertekuk, menandakan kekesalan hatinya yang belum juga sirna. Tapi Kepala Pengawal Kim tampak tidak peduli. Bahkan langsung melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya.

"Ayo, Won Gi-ya. Naik ke kudamu. Kita lanjutkan perjalanan," pinta Kepala Pengawal Kim, bernada agak memerintah.

Panglima Shin menatap wajah manis Kepala Pengawal Kim sesaat, kemudian melompat ke punggung kuda cokelat tunggangannya. Tapi, panglima muda itu belum juga menghentakkan tali kekangnya. Sementara, kuda hitam tunggangan Kepala Pengawal Kim sudah melangkah membawa pemuda berwajah manis itu di punggungnya. Sang kepala pengawal itu menghentikan langkah kaki kudanya, saat merasakan Panglima Shin tidak juga menggebah kudanya. Ketika kepalanya berpaling ke belakang, tampak Panglima Shin masih tetap duduk di punggung kudanya yang masih belum jalan juga. Bibir pemuda tampan itu mengatup rapat, dan sepasang matanya melukis isyarat yang begitu sukar untuk dibaca.

"Ayo, Won Gi-ya. Apa lagi yang kau tunggu…?" agak keras suara Kepala Pengawal Kim, menegur sang panglima muda.

"Huh! Ck, ck…!"

Kini, baru Panglima Shin menghentakkan tali kekang kuda tunggangannya. Maka kuda cokelat itu melangkah perlahan-lahan menghampiri kuda hitam yang ditunggangi Kepala Pengawal Kim. Mereka mengendarai kuda perlahan-lahan, menyusuri jalan setapak berbatu menuju ke arah matahari terbenam. Sesekali Kepala Pengawal Kim melirik wajah Panglima Shin yang masih kelihatan memberengut dengan bibir mengatup, akibat pertarungannya dihentikan di tengah jalan. Padahal, tinggal sedikit lagi lawannya bisa dikirim ke alam baka.

"Kau kesal karena pertarunganmu kuhentikan…?" tegur Kepala Pengawal Kim seperti bisa membaca jalan pikiran panglima muda berwajah tampan yang berkuda di sebelahnya.

"Aku tidak tahu hal mana yang lebih membuatku kesal, Hyung. Pertarunganku yang kau hentikan, atau kau yang tiba-tiba meninggalkanku begitu saja," sahut Panglima Shin di dalam hati. "Seharusnya lelaki tua itu dibiarkan mati saja, Hyung," jawaban yang terlontar dari bibir tipis Panglima Shin justru berlawanan dengan kata hatinya.

"Kau mengenal lelaki tua itu?" tanya Kepala Pengawal Kim.

"Tidak. Tapi sepertinya ia sangat mengenalku, dan begitu bernapsu untuk menghabisi nyawaku," dengus Panglima Shin, dengan nada kesal yang sangat kentara di telinga.

"Kau tanyakan alasannya?"

"Tentu saja. Dan dia mengatakan kalau ia bermaksud menghalangiku menjalankan apa pun misi yang saat ini sedang kuemban. Aku menduga bahwa ada pihak-pihak tertentu di dalam istana yang mengetahui bahwa kita sedang menjalankan misi rahasia dari Yang Mulia Raja. Tapi sepertinya mereka sama sekali tidak mengetahui maksud dari perjalanan kita kali ini, Hyung. Bukankah hal ini aneh? Hanya kau dan Yang Mulia Raja yang terlibat dalam pembicaraan mengenai misi yang sedang kita jalankan saat ini. Dan aku sangat mengetahui betapa Yang Mulia Raja tidak akan membicarakan hal sepenting itu di tempat dimana dinding kemungkinan memiliki telinga. Jadi yang bisa kusimpulkan untuk sementara ini hanya satu: ada orang yang memata-matai gerak-gerikmu, Hyung."

Kepala Pengawal Kim tertegun sesaat mendengar ucapan pemuda tampan itu, tapi kemudian terlihat menganggukkan kepalanya pelan. Dalam hati diakuinya kebenaran ucapan sang panglima muda itu.

"Itu artinya kita harus jauh lebih berhati-hati, Won Gi-ya. Siapa pun mereka, dan apa pun maksud tujuan mereka, kita tidak boleh lengah. Aku yakin bukan hanya mereka yang akan berusaha menjegal perjalanan kita. Untuk saat ini, kita akan terus berjalan ke arah matahari tenggelam. Dan sebaiknya kita menghindar kawasan yang banyak dilalui penduduk, agar tidak memancing perhatian dan untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan."

"Itu ide yang bagus. Oh ya, kau sendiri, kenal dengan lelaki tua itu, Hyung?" Panglima Shin balik bertanya, seraya menatap wajah manis sang kepala pengawal.

"Tidak. Kami sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi tidak perlu kau herankan, Won Gi-ya. Di dunia ini cukup banyak jenis manusia yang tergiur dengan sekantung uang hingga mereka rela menjadi pembunuh bayaran," sahut Kepala Pengawal Kim.

Mereka kemudian terdiam. Sedangkan kuda yang ditunggangi tetap berjalan perlahan-lahan meniti jalan tanah yang mulai berbatu. Sementara, matahari sudah semakin meninggi, dan sinarnya yang kian terik seakan berlomba menelusup di antara kerimbunan pepohonan pinus yang tumbuh di sisi kanan dan kiri jalan yang mereka lewati. Lebatnya dedaunan menyebabkan sinar matahari yang terik itu tidak terasa menyengat di kulit. Apalagi, angin berhembus cukup kencang siang itu. Sehingga perjalanan yang mereka tempuh tidak membuat mereka terlalu banyak mengeluarkan peluh.

Kedua pemuda itu terus mengendarai kudanya perlahan-lahan tanpa berbicara lagi, seakan tak menemukan akar percakapan untuk diperbincangkan. Sampai akhirnya, mereka tiba di pinggir sebuah sungai besar yang tidak terlalu dalam. Di sini, langkah kuda mereka dihentikan. Secara bersamaan, kedua pemuda itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara, kuda-kuda itu menikmati jernihnya air sungai.

Panglima Shin membasuh wajah dan lengannya dengan air sungai yang jernih ini. Sementara, Kepala Pengawal Kim sudah menghenyakkan tubuhnya, duduk bersandar pada sebatang pohon tumbang, sambil membasahi tenggorokannya yang dahaga dengan air dari kantung kulit yang tergantung di pinggangnya. Panglima Shin yang merasa tubuhnya segar kembali begitu terkena air sungai yang jernih dan cukup dingin ini segera mendekati kuda cokelatnya yang kini sedang merumput di pinggiran sungai. Dirogohnya kantung perbekalan di punggung kudanya, lalu mengeluarkan dua buah apel merah. Setelah itu dihampirinya Kepala Pengawal Kim, lalu tubuhnya dihempaskan di samping pemuda berwajah manis itu, sambil mengulurkan sebuah apel merah.

"Ini, makanlah, Hyung. Lumayan juga untuk mengganjal perut," ujar Panglima Shin, sambil mulai menggigiti apelnya.

"Kita bisa menginap di penginapan Tujuh Lentera milik Kwon Ahjussi, di perbatasan provinsi. Selain menyediakan tempat bermalam, penginapan itu juga membuka kedai makan. Sudah sejak tadi malam kita memang belum mengisi perut," sahut Kepala Pengawal Kim, sambil mengunyah apel di tangannya.

"Kurasa kita tidak perlu bermalam di penginapan, Hyung. Seperti yang Hyung bilang, lebih sedikit interaksi dengan penduduk sebelum kita sampai di tempat tujuan, akan jauh lebih baik. Lagipula perbekalan makanan yang kubawa masih cukup untuk beberapa hari ke depan."

Kepala Pengawal Kim hanya mengangkat pundaknya mendengar ucapan Panglima Shin, lalu kembali mengunyah apelnya. Meski begitu, pandangannya tertuju lurus ke seberang sungai. Tampak di seberang sana, beberapa anak kecil yang sepertinya anak-anak dari desa terdekat sedang berlarian dan bermain-main dengan air sungai yang dangkal.

"Dari mana kita harus memulai penyelidikan untuk mengungkap kemungkinan tentang keberadaan keluarga Park yang tersisa ini, Hyung? Kita bahkan hampir sampai di perbatasan provinsi, namun tak ada satu keterangan pun yang kita dapatkan di sini," tanya Panglima Shin, dengan suara yang agak dipelankan.

"Kita memang tidak akan mendapatkan keterangan apa-apa di sini," tukas Kepala Pengawal Kim, tanpa melepaskan perhatiannya dari anak-anak kecil yang sedang bermain air sungai. Apel merah di tangannya sudah habis tak bersisa.

"Bagaimana Hyung mengetahuinya?" Panglima Shin yang diliputi rasa penasaran dengan jawaban yang diberikan oleh pemuda berwajah manis itu tak mampu menyembunyikan keingintahuannya.

Kepala Pengawal Kim hanya memberikan jawaban berupa sebuah senyum simpul, yang membuat kedua alis Panglima Shin nyaris menyatu. Namun sejurus kemudian, panglima muda berwajah tampan itu terlihat menepuk keningnya sendiri, seakan baru menyadari betapa bodohnya pertanyaan yang telah ia ajukan. Sebagai seorang kepala pengawal sekaligus orang kepercayaan raja, sudah tentu Kepala Pengawal Kim memiliki telik sandi yang tak terhitung jumlahnya, menyebar di banyak tempat. Dan kejadian dimana sang kepala pengawal meninggalkannya di awal pagi tadi, tentulah berhubungan dengan salah satu telik sandi yang ia temui untuk mengumpulkan keterangan yang mereka perlukan. Pantas saja pemuda berwajah manis itu dengan ringan berucap bahwa tidak ada yang bisa mereka dapatkan di Provinsi Hwanghae yang tidak terlalu luas ini. Lagipula, selain Provinsi Gangwon dan Provinsi Chungcheong, provinsi Hwanghae adalah provinsi yang paling dekat dengan ibukota kerajaan. Jadi sangat tidak mungkin jika memang ada anggota keluarga Park masih tersisa, namun hal tersebut luput dari pengetahuan pihak istana.

Dalam hati, Panglima Shin merutuki kebodohannya. Dan tanpa sadar wajahnya memerah bagai kepiting rebus karena telah mengajukan pertanyaan tolol seperti itu. Membuatnya terlihat seperti bukan seorang panglima saja. Namun untungnya, pada saat itu Kepala Pengawal Kim sedang menatap lurus ke depan, sehingga rona merah yang menyebar di wajah Panglima Shin tidak tertangkap penglihatan. Dan sang kepala pengawal berwajah manis itu pun tidak lagi membahas hal tersebut lebih jauh.

Kedua pemuda itu tak ada lagi yang berbicara. Mereka berdua terdiam karena kehabisan bahan pembicaraan, namun benak masing-masing bergelut dengan aneka pemikiran. Sementara kuda-kuda mereka masih asyik merumput di tepian sungai dan sedikit pun tak ingin mengusik sang majikan yang sepertinya begitu larut dalam pemikirannya.

Setelah dirasa cukup beristirahat di tepi sungai dan mengisi kantung-kantung perbekalan dengan air, mereka naik kembali ke punggung kuda masing-masing, kemudian menyeberangi sungai yang dangkal ini tanpa tergesa-gesa. Dan memang, saat ini matahari sudah tergelincir semakin condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik menyengat di permukaan kulit. Sementara, keadaan di sekitar tempat itu kini menjadi sunyi, sepeninggal anak-anak desa yang telah kembali ke rumah masing-masing. Tak ada lagi suara canda dan tawa dari bibir anak-anak desa yang terdengar, selain desir angin petang yang menggesek dedaunan.

ooo 000 ooo

Senja sudah demikian larut. Matahari hampir tenggelam di balik peraduannya. Di ufuk barat, hanya terlihat semburat cahaya kuning kemerahan yang begitu lembut dan indah dipandang. Burung-burung pun sudah mulai terdengar ramai berkicauan, kembali pulang ke sarang. Sebentar lagi, kawasan yang menjadi perbatasan antara Provinsi Hwanghae dengan Provinsi Pyeongan ini akan diselimuti kegelapan.

Kedua pemuda dari Kerajaan Joseon itu terus mengendalikan kudanya perlahan-lahan, melewati pinggiran sebuah desa yang tidak begitu besar, namun letak rumah-rumah penduduknya yang beratap jerami tertata rapi. Pendar cahaya dari lampion-lampion yang terpasang di sudut rumah memberikan pesona tersendiri untuk dinikmati. Mereka terus berjalan melewati jalan setapak yang membelah sebuah hutan yang cukup lebat dengan pepohonan ginkgo dan sansuyu yang tumbuh rapat dan sepertinya jarang sekali dilewati penduduk, selain untuk berburu.

"Sepertinya di ujung jalan ini ada tanah yang cukup lapang yang bisa kita gunakan untuk bermalam, Hyung," ujar Panglima Shin memecah kesunyian di antara mereka. Saat itu, senja sudah berganti malam. Cahaya bulan yang membulat sempurna di pinjung langit berusaha menerobos di sela lebatnya dedaunan. Udara yang berhembus pun mulai terasa dingin menusuk tulang.

"Kau benar, Won Gi-ya. Kurasa tempat ini memang cocok untuk bermalam. Kita beristirahat di sini saja. Hutan ini ditumbuhi pepohonan yang sangat rapat, sehingga sukar dilewati oleh kuda-kuda kita. Terlebih dalam kondisi minim penerangan seperti ini. Sebaiknya besok pagi-pagi sekali baru kita meneruskan perjalanan," sahut Kepala Pengawal Kim yang sudah melompat turun dari kudanya, ketika mereka tiba di ujung jalan. Diedarkannya pandangannya berkeliling, mengamati tanah lapang yang nyaris dipenuhi dedaunan ginkgo dan sansuyu yang berguguran, yang memang cukup luas seperti yang dikatakan oleh Panglima Shin sebelumnya. Dan saat itu pula Kepala Pengawal Kim baru menyadari bahwa jalan setapak yang mereka lewati terputus sampai di tanah lapang ini. Dengan penerangan cahaya bulan seadanya, kepala pengawal berwajah manis itu bisa melihat dengan cukup jelas adanya bayangan hitam membentuk gugusan bukit batu yang tak terlalu tinggi, namun agak tersembunyi di antara rapatnya barisan pepohonan yang mengelilingi tempat itu.

Sejurus kemudian, Panglima Shin yang masih duduk di punggung kudanya melompat turun. Kuda cokelatnya dibiarkan merumput di samping kuda hitam milik Kepala Pengawal Kim yang diketahuinya bernama Ji Ae, yang telah lebih dahulu melahap rerumputan yang tumbuh subur di sekitar tempat itu. Pemuda tampan itu berdiri sedikit di belakang Kepala Pengawal Kim, kemudian melangkah tiga tindak ke depan dan turut mengedarkan pandangannya berkeliling, sambil sedikit memeluk tubuhnya, menahan udara malam yang semakin dingin.

"Sepertinya akan turun hujan, Hyung. Langit terlihat begitu kelam. Cuaca cepat sekali berubah," ujar Panglima Shin seraya mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit yang memang terlihat sangat kelam. Awan-awan hitam terlihat menebal, mengandung titik air yang siap ditumpahkan. Mendengar ucapannya, Kepala Pengawal Kim hanya bergumam kecil, sambil melangkah ke depan beberapa tindak, tanpa berkata apa-apa. Pemuda yang memiliki wajah manis itu terus berjalan, mendekati barisan pepohonan yang tumbuh rapat, sebelum akhirnya bayangannya lenyap dari pandangan.

Sementara itu, Panglima Shin yang masih berdiri tegak di tempatnya sambil menatap lurus ke depan, memandangi punggung sang kepala pengawal yang tak lagi telihat, memutuskan untuk menyusul pemuda yang dipanggilnya Hyung itu. Ia berjalan melewati batang-batang pohon ginkgo dan sansuyu, hingga akhirnya berhenti di depan bukit batu yang berdiri angkuh di balik kerimbunan pepohonan tersebut. Saat itu, titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Akan tetapi, bayangan Kepala Pengawal Kim masih juga belum terlihat.

"Won Gi-ya! Bawa kuda-kuda kita kemari. Aku menemukan sebuah gua yang cukup luas yang bisa kita gunakan untuk berteduh."

Beberapa langkah dari arah kirinya, Panglima Shin melihat pendar cahaya dari sebuah ceruk yang diyakininya merupakan mulut gua yang dimaksud oleh Kepala Pengawal Kim yang hanya terdengar suaranya. Tanpa diperintah dua kali, panglima muda berwajah tampan itu segera berbalik arah menuju kuda-kuda mereka. Ia lalu mengambil tali kekang kedua binatang bertubuh tegap yang telah selesai merumput itu, lalu menuntunnya menuju gua yang ditemukan oleh Kepala Pengawal Kim. Setibanya di dekat barisan pepohonan yang rapat, Panglima Shin mengeluarkan pedangnya, dan mengayunkan senjata tajam itu untuk menebang beberapa batang pohon guna memudahkan kedua binatang itu lewat. Dan ketika ia tiba di mulut gua yang benderang oleh nyala api unggun yang dibuat oleh Kepala Pengawal Kim, hujan deras mulai mengguyur seluruh wilayah itu.

ooo 000 ooo

Hujan turun deras sekali bagai ditumpahkan dari langit. Suaranya menggemuruh dahsyat, seakan-akan hendak meruntuhkan seluruh permukaan mayapada. Suara guntur menyalak bersahutan membelah angkasa, disertai percikan cahaya kilat yang seakan-akan ingin merobek langit yang gelap gulita tertutup awan tebal menghitam.

Di bagian tengah gua batu yang cukup kering dan luas untuk menampung kedua pemuda dari Joseon beserta kuda tunggangan mereka itu, Panglima Shin duduk menghangatkan diri sambil memeluk lututnya di depan api unggun yang menyala, sambil sesekali menambahkan beberapa potongan ranting kering ke dalam api yang berkobar. Di dalam gua yang mereka tempati, memang banyak terdapat ranting-ranting kayu dan dedaunan kering yang berserakan. Panglima berwajah tampan itu sama sekali tidak terusik dengan berbagai macam suara di luar gua yang cukup mampu menegakkan bulu roma. Pandangannya lurus, menatap api yang melahap ranting-ranting kayu hingga menimbulkan suara gemeretak dan percikan bunga api ke udara.

Sesekali, diliriknya Kepala Pengawal Kim yang duduk tepat di hadapannya, dengan dipisahkan oleh api unggun yang menyala. Kepala pengawal berwajah manis itu tampak memusatkan perhatiannya pada selembar kain yang merupakan peta perjalanan yang mereka tempuh. Deru angin yang berhembus cukup keras dari luar gua mempermainkan helaian anak rambut orang kepercayaan Raja Joseon tersebut, hingga membuat sebagian helaiannya jatuh terjuntai di antara kedua alisnya, melewati ikat kepala yang berwarna senada dengan pakaian yang ia kenakan. Membuat pemuda yang juga merupakan seorang ahli pedang itu terlihat semakin manis dalam pantulan cahaya api unggun. Panglima Shin tersenyum samar sambil kembali melemparkan ranting-ranting kering ke dalam api yang berkobar. Suara bergemeretak dari ranting-ranting yang terbakar seakan-akan ingin mengalahkan suara hujan dan deru angin yang berhembus malam ini.

"Adakah sesuatu yang menggelitik hatimu hingga kau tersenyum seperti itu?"

Suara teguran dari Kepala Pengawal Kim memupus senyuman di wajah tampan panglima muda Joseon itu, sekaligus menghentikan gerakan tangannya yang hendak kembali melemparkan potongan ranting ke dalam kobaran api unggun. Sungguh, ia sama sekali tidak menyadari entah sejak kapan Kepala Pengawal Kim menyimpan peta perjalanan yang tadi dipelajarinya, dan saat ini justru sedang memandang lurus padanya. Dalam keremangan cahaya api unggun, rona merah menjalar di wajah tampan Panglima Shin akibat perbuatannya yang mencuri-curi pandang wajah manis sang kepala pengawal yang diam-diam dicintainya justru kepergok oleh sang empunya diri. Pemuda berparas tampan itu pun akhirnya terbatuk-batuk kecil dan tersenyum kikuk, berusaha menutupi rasa gugup yang perlahan menyambanginya.

"Ah, bukan apa-apa, Hyung. Lupakan saja," balas Panglima Shin sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, setelah melempar potongan ranting yang sebelumnya tertahan di udara ke dalam api unggun.

"Seandainya kau memiliki persoalan dan membutuhkan seorang teman untuk bertukar pikiran atau sekedar berkeluh kesah, aku bersedia menjadi seorang pendengar yang baik untukmu, Won Gi-ya," sambung Kepala Pengawal Kim yang masih tetap memusatkan perhatiannya pada wajah tampan sang panglima muda di hadapannya.

"Terima kasih banyak, Hyung. Aku tidak ingin menambah bebanmu dengan persoalanku. Sudah terlalu banyak beban yang kau sandang di pundakmu. Lagipula, itu bukan masalah penting," elak Panglima Shin, yang tidak ingin membahas lebih lanjut. Bukan apa-apa, pemuda tampan itu belum siap seandainya pemuda berwajah manis di depannya itu mengetahui perasaannya yang sesungguhnya.

Kepala Pengawal Kim tersenyum lebar, membuat matanya yang sipit membentuk garis.

"Kau menyukai seseorang…?" tebaknya langsung, yang tak urung membuat Panglima Shin terkejut.

"Bagaimana Hyung bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya Panglima Shin dengan perasaan berdebar.

"Aku hanya menebak saja, Won Gi-ya. Kau tidak perlu kaget seperti itu. Kau tahu, kalau kuperhatikan, kau seperti seseorang yang sedang membutuhkan saran, tapi tidak tahu kemana arah yang harus kau tuju atau siapa orang yang harus kau temui untuk mendapatkan saran yang kau butuhkan. Apakah tebakanku benar?"

"Yaaah…, kuakui aku memang menyukai seseorang, Hyung. Ah, perasaanku bukan lagi sebatas suka. Aku diam-diam jatuh cinta padanya. Tapi…, aku sama sekali tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Mungkin selamanya perasaan cintaku hanya akan tersimpan di dalam hati saja," tutur Panglima Shin, yang akhirnya mengungkap perasaan yang tersimpan di hatinya, meski ia tidak menjelaskan bahwa seseorang yang ia maksud ialah Kepala Pengawal Kim sendiri.

"Siapa pun orang yang kau maksud, aku bisa memastikan kalau ia adalah orang yang sangat beruntung karena dicintai oleh pemuda sepertimu. Sebaiknya, kau kumpulkan segenap keberanianmu dan segeralah menyatakan perasaanmu pada orang yang diam-diam kau cintai itu, Won Gi-ya. Semakin cepat dia mengetahui perasaanmu yang sebenarnya, itu semakin bagus. Kau tidak perlu mencemaskan apa jawaban yang akan dia berikan. Bisa jadi perasaanmu terbalas, dan kau bisa mulai merencanakan masa depan bersamanya. Atau, jika ternyata perasaanmu bertepuk sebelah tangan, setidaknya kau tidak perlu menghabiskan waktu dalam penantian tak berkesudahan hanya untuk mendapat sebentuk kepastian. Kau bisa melangkah ke depan, dan mencoba membuka perasaanmu untuk sosok yang lain," ucap Kepala Pengawal Kim dengan pandangan menerawang, seakan hendak menembus nyala api yang berkobar di depannya. Panglima Shin menangkap ada makna yang lain dari kalimat-kalimat akhir sang kepala pengawal yang berwajah manis itu, dan hal itu membuat keningnya jadi berkerut.

"Hyung…?"

"Ah, maafkan aku, Won Gi-ya. Sepertinya aku sudah mulai melantur. Jika kau masih ingin menghangatkan diri, teruskan saja. Aku akan bersemadi untuk melatih teknik pernapasan."

Kepala Pengawal Kim bergegas berdiri, dan melangkahkan kakinya ke salah satu sudut ruangan. Sikapnya itu membuat Panglima Shin semakin yakin bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikannya. Namun, sang panglima muda itu sama sekali tidak mendesak pemuda yang dipanggilnya Hyung tersebut untuk menjelaskan perubahan sikapnya yang begitu mendadak. Ia memilih untuk kembali menghangatkan diri di depan api unggun, seraya membuang jauh-jauh segala praduga dari benaknya.

Setelah merasa cukup menghangatkan diri, Panglima Shin lalu bangkit berdiri sambil menggeliat-geliatkan tubuhnya yang terasa pegal setelah seharian penuh berada di punggung kuda, kemudian melangkah perlahan mendekati kudanya yang sedang beristirahat di salah satu sudut ruangan di dalam gua batu itu. Diambilnya bungkusan berisi perbekalannya, lalu kembali mendekati api unggun. Sekilas kembali diliriknya Kepala Pengawal Kim yang kini tampak duduk bersila sambil memejamkan matanya. Tak ingin mengganggu sang kepala pengawal yang sedang melatih teknik pernapasannya itu, Panglima Shin membuka perbekalannya dan mengeluarkan beberapa lembar daging asap. Ia lalu menusukkan daging-daging itu pada ranting-ranting kayu, dan memanaskannya pada api unggun. Tak lama kemudian, aroma daging asap menyeruak seantero ruangan, menggoda penciuman. Kepala Pengawal Kim membuka matanya, yang langsung dihadiahi sebuah senyuman manis dari Panglima Shin. Sang panglima muda lalu mengulurkan dua batang ranting dengan daging asap yang masih mengepul, siap disantap, kepada Kepala Pengawal Kim. Pemuda pemilik nama asli Kim Junsu tersebut menerima ranting-ranting itu sambil mengucapkan terima kasih. Ia meniup-niup daging asap yang masih panas itu, lalu menggigitinya pelan-pelan. Mereka menikmati makan malam sederhana tanpa suara, selain suara gemeretak ranting yang dilahap nyala api, juga jerit hewan-hewan malam di langit-langit gua yang mungkin tergoda dengan aroma daging asap tersebut.

ooo 000 ooo

Desa Hang Nam, sebuah desa kecil terluar yang merupakan bagian dari Provinsi Hamgyeong.

Pagi yang baru saja membasuh diri dalam linang embun, biasanya menawarkan keheningan yang menelusup hingga ke pucuk daun. Seandainya pun ada riuh yang mengusik, biasanya berasal dari cicit burung yang menebar sapa ke penjuru semesta, atau pun kokok ayam jantan yang beradu perkasa. Namun tidak demikian halnya yang terjadi di Desa Hang Nam, yang pagi heningnya terusik oleh teriakan-teriakan keras yang berasal dari mulut seorang namja. Sebenarnya, bukan hanya pagi ini saja teriakan-teriakan keras itu mengusik pendengaran. Setiap hari, semua penduduk yang bermukim di Desa Hang Nam pasti mendengar teriakan-teriakan yang meski sesungguhnya sangat mengganggu, namun sudah sangat akrab di telinga. Dan teriakan-teriakan itu tak hanya terdengar di awal pagi, ketika penduduk baru membuka mata dan berbenah diri. Hampir setiap saat, tanpa mengenal waktu, teriakan-teriakan itu terdengar mengusik kalbu.

Dari sebuah chogajib[50] tua yang tak terawat di pinggiran Desa Hang Nam, teriakan-teriakan itu berasal. Dinding-dinding rumah tua beratap jerami itu sudah penuh lubang, dan atapnya juga semakin menipis dimakan usia. Rumpun-rumpun ilalang setinggi pinggang, dan daun-daun kering berserakan, memenuhi halaman yang sepertinya tidak pernah tersentuh tangan. Hampir semua penduduk Desa Hang Nam yang melintas di depan chogajib itu memberikan reaksi seragam berupa tatapan penuh kebencian, disertai semburan ludah dan sumpah serapah yang terlontar karena merasa kesal dengan teriakan-teriakan yang acap kali terdengar. Bahkan tak jarang, anak-anak kecil yang melewati jalan di depan rumah tua itu turut melempari atap-atap jerami yang sudah menipis, dengan batu-batu kecil yang banyak berserakan di badan jalan. Dan pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya, para penduduk yang melintas di depan rumah tua itu kembali membuang ludah dan mengucapkan sumpah serapah karena lagi-lagi mendengar teriakan-teriakan keras dari dalam rumah yang keadaannya sangat memprihatinkan itu.

"Benar-benar mengganggu! Sudah lebih dari sepuluh tahun kita selalu mendengar teriakan-teriakan yang memekakkan telinga itu. Seharusnya sejak dulu anak sialan itu dibuang ke hutan, biar menjadi santapan binatang buas!" seorang lelaki tua yang mengenakan hanbok lusuh berwarna putih terlihat menggerutu begitu melintas di depan chogajib tua yang pintunya sedikit terbuka itu. Lelaki tua bertubuh kurus yang memanggul cangkul di bahu kirinya itu tak lupa membuang ludahnya tepat di depan pintu, seakan-akan ingin menunjukkan kekesalan hatinya.

"Aigooo[51]…, sudahlah, Suamiku. Biarkan saja. Anak itu sama sekali tidak mengusik kita," timpal seorang perempuan tua dalam balutan hanbok biru yang tak kalah lusuh, yang berjalan di sampingnya. Sisa-sisa kecantikan masa muda masih terlihat di wajahnya yang banyak dihiasi keriput.

"Tidak mengusik katamu, eoh? Teriakan-teriakannya membuat telingaku hampir tuli!" sanggah sang suami, yang rupanya masih kesal. Sementara perempuan tua yang ternyata adalah istrinya hanya menggeleng kecil menanggapi sikap suaminya yang menurutnya terlalu berlebihan.

"Abeoji benar. Seharusnya namja gila itu diusir jauh-jauh dari desa kita, agar tidak mengganggu ketenangan seluruh penduduk," celetuk seorang pemuda berusia di awal dua puluhan, yang berjalan di belakang sepasang suami istri itu sambil menarik sebuah gerobak kayu yang membawa beberapa perkakas pertanian dan bibit-bibit tanaman. Pemuda yang mengenakan pakaian berwarna putih kusam itu adalah putera tunggal dari pasangan tua tersebut.

"Nah, kau dengar itu? Bahkan anak kita mendukung pendapatku. Aku heran denganmu, Istriku. Memangnya kau tidak merasa terganggu setiap hari harus mendengar teriakan-teriakan tidak jelas itu, heh…?" tanya sang suami yang merasa berada di atas angin karena mendapat pendukung yang sependapat dengannya.

"Tentu saja teriakan-teriakan itu cukup mengganggu, Suamiku. Tapi coba pikirkan kembali, bagaimana seandainya yang berada di posisi namja itu adalah anak kita? Apakah kau rela anakmu dibuang ke hutan dan menjadi santapan binatang buas?" tanya sang istri yang pada akhirnya membuat sang anak dan suami bungkam, tak mampu lagi berkata-kata.

Suara-suara teriakan keras dari dalam rumah tua beratap jerami kering itu akhirnya berhenti. Dan kini, yang terdengar adalah sebuah tangisan terisak, yang nadanya begitu memilukan. Tak lama berselang, tangisan terisak yang memilukan itu sudah berganti dengan gumaman-gumaman kecil, seperti dengung kawanan lebah, berisikan senandung yang iramanya tak jelas. Akan tetapi, hanya sebentar gumamam kecil itu terdengar, karena tak lama kemudian sudah kembali digantikan oleh tangisan memilukan yang memecah kesunyian.

Jika sudah begitu, tak ada seorang pun yang menyemburkan ludahnya lagi di depan pintu chogajib tua ini. Kata-kata makian beserta sumpah serapah pun tak lagi terdengar. Dan tatapan penuh kebencian yang kerap dilayangkan para penduduk karena merasa terganggu dengan suara-suara teriakan dari dalam rumah itu pun seketika terhenti. Perasaan kasihan yang kemudian mengambil alih kendali atas hati. Isak tangis disertai ratapan tak jelas dari dalam chogajib tua itu memang membuat hati siapa saja yang mendengarnya menjadi trenyuh.

"Namja yang malang. Kasihan sekali dia…," desah seorang pemuda petani berwajah cukup tampan yang sedang memikul cangkul di pundaknya, ketika melintas di depan rumah tua yang hanya tinggal menunggu waktu untuk runtuh itu.

"Iya. Malang sekali nasibnya. Tak bisa kubayangkan seandainya aku berada pada posisinya," timpal seorang pemuda lain yang berjalan bersamanya. Pemuda petani yang di bagian bawah matanya terdapat bekas luka memanjang itu juga memikul cangkul di pundaknya.

"Seharusnya dia tidak perlu dipasung. Biarkan saja dia hidup bebas, seperti kita," kata pemuda itu lagi.

"Berpikirlah dahulu sebelum kau bicara. Seandainya ia dibiarkan bebas, ia bisa membunuh orang lagi. Apa kau tidak takut jika kaulah yang akan jadi korban berikutnya?" celetuk pemuda lainnya yang bertubuh pendek dan gemuk. Pemuda ini memanggul karung yang dipenuhi pupuk.

"Ah, sudah, sudah! Berhentilah membicarakan namja itu. Memangnya apa yang bisa kita lakukan selain ikut merasa kasihan? Tidak ada. Karena itu bersyukurlah kita tidak mengalami nasib yang sama sepertinya. Ayo, kita terus ke ladang. Semakin lama hari semakin siang," selak seorang pemuda lainnya, menengahi sekaligus menutup debat kusir ketiga temannya.

Pemuda-pemuda petani yang usianya sekitar dua puluhan itu tak lagi berbicara, dan terus berjalan menuju ladang jagung yang merupakan sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Desa Hang Nam. Sementara, isak tangis memilukan dari dalam chogajib sudah tak terdengar lagi. Suasana di awal-awal pagi itu begitu sunyi. Tak ada satu pun suara terdengar dari dalam rumah tua di pinggiran jalan Desa Hang Nam ini, seakan-akan suara teriakan yang belum lama mengusik pendengaran sama sekali tidak pernah terjadi.

Matahari semakin tinggi merangkak ke langit bening yang kali ini tak berhias arakan awan. Semua penduduk Desa Hang Nam sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jalan tanah seluas satu batang tombak yang tadi masih kelihatan sepi, kini menjadi ramai dipenuhi orang-orang yang lalu lalang, hendak menuju ke pekerjaan masing-masing.

Seakan menjadi sebuah kebiasaan tak tertulis selama lebih dari sepuluh tahun, hampir semua penduduk yang melintasi chogajib tua ini selalu berhenti sejenak di depan pintu. Bermacam-macam pembicaraan terlontar dari mulut mereka, dengan pendapat yang juga berbeda pula. Akan tetapi, suara-suara dari dalam rumah beratap jerami tua itu sudah sejak beberapa waktu yang lalu tak lagi terdengar mengusik gendang telinga. Dan saat itu, dari ujung jalan desa terlihat seorang perempuan renta yang tubuhnya begitu kurus, berjalan tertatih-tatih menghampiri chogajib tua ini. Tak ada seorang pun penduduk desa yang menghiraukannya. Bahkan tak ada seorang pun yang melayangkan pandang, ketika perempuan tua kurus dan sedikit bungkuk itu masuk ke dalam rumah tua ini. Seakan-akan, sosok wanita itu hanyalah sebuah bayangan yang tak tertangkap penglihatan.

Bau debu langsung menyengat penciuman, ketika perempuan tua yang wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kecantikan masa muda itu berada di dalam rumah yang kondisinya tidak lebih baik dari keadaan di luar rumah. Di salah satu sudut ruangan, seorang namja berambut acak-acakan yang usianya masih muda, tengah duduk lemah di atas tumpukan jerami kering. Kedua kakinya yang kurus terpasung balok kayu yang cukup besar, dan terikat rantai besi yang sangat kuat. Di ujung masing-masing rantai, ada bandul-bandul besi sebesar buah semangka yang digunakan sebagai pemberat. Namja muda yang nyaris seluruh tubuhnya kotor dan berdebu ini hanya melirik sedikit pada perempuan tua kurus yang tubuhnya tenggelam dalam balutan hanbok berwarna hijau daun yang sudah memudar dan lusuh. Dan seakan-akan tidak peduli dengan kedatangan wanita tua ini, namja dalam pasungan itu lalu kembali menggigiti kuku-kuku tangannya yang entah sudah berapa lama tidak tersentuh air.

"Song Hwa-ya! Aku datang membawakan makanan kesukaanmu, Nak,"

Meski berusaha berucap dengan nada lembut, namun suara perempuan tua itu terdengar serak dan kering sekali. Dengan tertatih, diseretnya langkah menghampiri namja yang kedua kakinya terpasung itu. Sebuah bungkusan daun pisang yang sejak tadi dibawanya diletakkannya di atas tumpukan jerami di depan pemuda itu. Tapi, pemuda bertubuh kotor dan berbaju lusuh penuh sobekan di sana-sini yang sudah tidak diketahui warna aslinya itu sama sekali tidak menyentuh makanan yang dibawakan untuknya. Ia lagi-lagi hanya melirik sedikit. Kemudian, memandang tajam pada perempuan tua bertubuh kurus yang kini sudah duduk di depannya. Beberapa tumpukan jerami kering menjadi alas duduknya.

"Kenapa kau lakukan ini, Han Ahjumma? Kenapa kau selalu mengantarkan makanan untukku di saat semua penduduk desa ini membenciku? Kenapa kau tidak bersikap sama seperti mereka?" terdengar datar sekali suara pemuda yang terpasung itu, pada tiap-tiap pertanyaannya. Wanita tua yang dipanggil Han Ahjumma itu hanya tersenyum saja menanggapi serentetan pertanyaan dari namja yang sebenarnya berwajah tampan ini. Dibukanya bungkusan daun pisang yang ternyata berisi nasi yang masih hangat dengan lauk ikan bakar yang kelihatannya begitu menggugah selera. Namja yang dipanggil Song Hwa ini sempat menelan air liurnya saat melihat makanan yang memang disukainya. Tapi lagi-lagi ia hanya memandangi makanan itu untuk beberapa saat, tanpa menyentuhnya sama sekali. Ditatapnya wajah tua penuh keriput di depannya dengan pandangan yang begitu tajam, tanpa memedulikan perutnya yang mulai berteriak gaduh menahan lapar.

"Jangan hanya dipandangi saja, Song Hwa-ya. Makanlah. Habiskan semuanya. Aku membuatkannya hanya untukmu," bibir keriput Han Ahjumma mencoba mengukir sebentuk senyuman manis.

"Seharusnya Ahjumma tidak datang lagi ke sini. Apa yang Ahjumma lakukan hanya akan membuat penduduk desa semakin membenci Ahjumma. Aku tidak ingin Ahjumma dan Ahjussi susah hanya karena karena kalian selalu bersikap baik padaku," kata namja bertubuh kotor itu. Kali ini, nada suaranya tidak lagi sedatar sebelumnya.

"Aku tidak peduli dengan mereka, Song Hwa-ya!" dengus Han Ahjumma. Dengan sedikit bergetar, kedua tangannya yang keriput terulur, menangkup kedua sisi wajah namja yang dipasung itu. "Dengar, mereka semua adalah orang-orang yang mata hati dan pikirannya sudah buta. Aku tidak suka cara mereka memasungmu sampai bertahun-tahun begini. Kau manusia, Song Hwa-ya. Kau bukan binatang, Nak. Tidak sepatutnya mereka memperlakukanmu seperti ini. Sekarang makanlah, jangan pikirkan mereka karena itu hanya akan membuat selera makanmu hilang."

Song Hwa terus memandangi perempuan tua kurus ini, dengan sinar mata yang lagi setajam sebelumnya. Titik-titik air terlihat mengambang di pelupuk matanya. Bibirnya bergerak-gerak pelan, seakan hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibirnya yang kering. Han Ahjumma melepaskan kedua tangannya dari wajah pemuda itu. Didekatkannya bungkusan daun pisang yang dibawanya, dan mengulurkan sepasang sumpit kepada pemuda bertubuh kotor itu. Song Hwa menerima bungkusan dan sumpit itu dengan tangan sedikit gemetar, kemudian mulai menikmati makanan yang dibawakan oleh perempuan tua kurus ini.

Senyuman lebar mengembang di wajah keriput Han Ahjumma ketika namja dalam pasungan ini menikmati makanan yang dibawanya. Dituangkannya air bening dari dalam guci tanah liat ke dalam cawan keramik yang dibawanya, lalu disodorkannya pada Song Hwa. Dengan sikap sedikit ragu-ragu, namja beramput panjang acak-acakan itu menerima cawan putih ini. Kemudian, dalam sekali teguk di tenggaknya isinya hingga tandas tak bersisa.

"Habiskan semuanya, Song Hwa-ya. Aku senang kalau kau menghabiskan makanan yang kubawa," ujar Han Ahjumma dengan perasaan senang yang tak bisa disembunyikan.

"Gomawo, Han Ahjumma. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas seluruh kebaikanmu dan Han Ahjussi," balas Song Hwa pelan, sambil kembali menikmati makanannya.

"Kau tidak perlu membalas apa-apa, Song Hwa-ya. Aku melakukan semuanya tanpa mengharapkan balasan. Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Lanjutkan makanmu," tutur Han Ahjumma sambil memberikan sebuah senyum manis untuk namja dalam pasungan itu.

"Sekali lagi terima kasih, Ahjumma."

ooo 000 ooo

Ketika matahari sudah berada di atas kepala, perempuan tua yang dipanggil Han Ahjumma itu akhirnya keluar dari dalam chogajib tua di pinggir jalan itu. Tapi baru saja beberapa langkah ia meninggalkan rumah tua beratap jerami itu, tiba-tiba saja hatinya jadi tercekat. Bahkan, ayunan sepasang kakinya yang agak tertatih langsung terhenti seketika, begitu melihat seorang laki-laki setengah baya dalam balutan hanbok dari bahan sutera halus berwarna kuning muda, berjalan mendekatinya dari arah yang berlawanan. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot, terlihat mengikutinya dari belakang. Di tangan mereka masing-masing, tergenggam sebilah pedang panjang. Sedangkan laki-laki setengah baya yang mengenakan hanbok sutera kuning muda itu, menggenggam sebilah tongkat berwarna hitam di tangan kanan.

"Kepala Desa Hwang…," desis Han Ahjumma perlahan, begitu mengenali sosok lelaki separuh baya itu.

Tubuh kurus Han Ahjumma terlihat bergetar, dan menggigil seperti terserang demam. Dia tahu persis siapa laki-laki setengah baya yang berjalan ke arahnya dengan diiringi lima orang pengawal kepercayaannya yang bertubuh tegap dan berwajah dingin itu. Hwang Tae Nim, yang merupakan Kepala Desa Hang Nam. Lelaki setengah baya itulah orang yang telah memberi perintah untuk memasung Song Hwa. Bahkan ia juga yang memerintahkan orang-orang suruhannya untuk menghasut para penduduk desa agar membenci namja itu.

Kepala Desa Hang Nam beserta lima orang pengawalnya berhenti berjalan setelah berjarak hanya beberapa langkah dari Han Ahjumma. Sedangkan perempuan tua bertubuh kurus kering ini hanya menundukkan kepalanya saja, memandangi ujung jari-jari kakinya. Tubuhnya yang bungkuk, terlihat semakin membungkuk.

"Apa yang kau lakukan di rumah namja gila itu, Han Ahjumma?" tanya Kepada Desa Hwang sambil menunjuk chogajib tua tempat Song Hwa dipasung.

"Aku…, aku hanya membawakannya sedikit makanan," sahut Han Ahjumma tergagap.

"Sudah berapa kali aku memberikan peringatan padamu, Ahjumma. Jangan pernah lagi memberi makanan padanya! Kau dan siapa pun penduduk desa ini dilarang keras untuk memberikan sesuatu padanya!" bentak Kepala Desa Hwang kasar.

"Ta-tapi…."

"Diam! Jangan membantahku…!" sergah Kepala Desa Hwang lantang.

Han Ahjumma seketika terdiam. Sementara tubuhnya jadi semakin keras menggigil ketakutan. Memang sudah berulang kali kepala desa itu memergoki Han Ahjumma yang datang mengunjungi Song Hwa. Terlebih lagi memberi makanan pada pemuda dalam pasungan itu. Padahal, hal itu adalah larangan. Tapi entah kenapa, Han Ahjumma tidak pernah mengindahkan larangan itu. Dan setiap hari, perempuan tua ini selalu datang memberi makanan pada pemuda yang dianggap gila oleh penduduk desa itu.

"Dengar, Ahjumma. Ini peringatanku yang terakhir kalinya. Kalau kau masih saja suka memberi makanan padanya, aku tidak segan-segan memberi hukuman yang berat padamu. Camkan kata-kataku!" ancam Kepala Desa Hwang.

Han Ahjumma hanya bisa diam membisu saja, tidak berani lagi mengeluarkan sepatah suara pun. Sementara, Kepala Desa Hwang sudah melangkah pergi diikuti lima orang pengawalnya. Han Ahjumma masih tetap diam memandangi kepergian kepala desa itu. Dan perempuan tua itu baru kembali meneruskan langkahnya ketika sang kepala desa tidak terlihat lagi. Ayunan kakinya begitu perlahan dan tertatih. Kepalanya juga terus tertunduk, mengikuti ayunan langkah kakinya yang perlahan.

Langkah perempuan tua itu baru terhenti setelah tiba di depan rumahnya yang juga beratap jerami dan berukuran kecil. Perlahan kepalanya terangkat naik. Dan pandangannya langsung tertumbuk pada seorang laki-laki tua renta yang tengah menggosok-gosok mata cangkul di depan rumah. Dia adalah Han Ahjussi, suami Han Ahjumma. Laki-laki tua renta yang sudah berusia delapan puluh tahun itu menghentikan pekerjaannya. Langsung dipandangnya Han Ahjumma yang berdiri saja mematung memandanginya.

"Tadi kulihat Kepala Desa Hwang dan para pengawalnya lewat sini. Apa kau bertemu dengannya, Istriku?" ujar Han Ahjussi dengan suara bergetar, karena termakan usia.

Han Ahjumma tidak menyahut, tapi melangkah menghampiri. Tubuhnya segera dihenyakkan di samping suaminya, di dipan sederhana di bagian depan rumah. Wajahnya masih kelihatan murung. Pandangannya begitu kosong, menatap lurus ke depan, bagai tak lagi memiliki gairah hidup. Sedangkan Han Ahjussi memandanginya dengan kening semakin banyak berkerut. Dia tahu, apa yang telah terjadi pada istrinya.

"Bukankah sudah berulang kali kukatakan padamu, Istriku? Tidak ada gunanya berbelas kasihan pada Song Hwa. Semua penduduk desa jadi membenci kita. Bahkan anak dan menantu kita sendiri tak ada lagi yang sudi datang mengunjungi kita. Sudahlah, Istriku…. Tidak perlu lagi ke sana, walau hanya mengantarkan makanan saja," kata Han Ahjussi dengan lembut.

"Sejak kapan kau mulai kehilangan sisi baikmu sebagai manusia, Suamiku? Aku kasihan pada anak itu. Hidupnya begitu berat. Tinggal sebatang kara tanpa sanak saudara, dan bahkan harus menjalani pasungan karena dianggap gila," jawab Han Ahjumma lirih.

"Aku mengerti perasaanmu, Istriku. Kita boleh saja merasa kasihan pada orang lain. Tapi, rasa kasihan itu jangan sampai membuat kita sendiri jadi sengsara. Lihat kehidupan kita, yang sejak dulu sudah susah. Dan sekarang bertambah susah dengan menjadi sasaran kebencian penduduk desa karena kau sering datang dan memberi makan pada Song Hwa," ujar Han Ahjussi, seakan menyesali perbuatan baik yang dilakukan oleh istrinya.

Han Ahjumma kembali terdiam, sambil kembali memandang lurus ke arah jalan di depannya. Memang sulit berbuat baik pada seseorang. Bahkan terkadang, orang lain tidak mau mengerti terhadap perbuatan baik yang dilakukan. Orang-orang biasanya hanya melihat dari luar saja, tanpa mau melihat jauh ke dalam. Dan jauh di dalam hati, Han Ahjumma sangat mengerti kalau suaminya sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap semua orang di Desa Hang Nam ini, yang ikut-ikutan membenci mereka hanya karena ia telah berbuat baik pada namja dalam pasungan itu.

"Sebaiknya kau masuk sana, Istriku. Sudah siang, bukankah sudah saatnya kau menyediakan makan buatku…?" ujar Han Ahjussi lagi, sambil meletakkan cangkulnya yang sudah tajam ke salah satu sudut dipan.

Han Ahjumma bangkit berdiri tanpa berkata apa-apa lagi pada suaminya. Perempuan tua itu masuk ke dalam rumah kecilnya yang sudah berlubang di sana-sini. Sementara, Han Ahjussi mulai menyusun beberapa kayu bakar yang sedang dijemur di halaman rumah. Sekilas matanya masih melirik istrinya, sebelum perempuan yang sudah berpuluh tahun mendampinginya itu menghilang ke dalam rumah. Lelaki tua itu hanya bisa menghembuskan napas panjang, sambil menggeleng-gelengkan kepala perlahan, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya menyusun kayu-kayu bakar.

ooo 000 ooo

Waktu tanpa terasa terus bergulir, seiring dengan peredaran matahari yang mengelilingi bumi. Siang yang begitu benderang pada akhirnya digantikan sang malam. Seluruh Desa Hang Nam yang tidak seberapa luas sudah diselimuti kegelapan malam yang begitu pekat. Tak terlihat satu pun bintang di hamparan langit yang menghitam. Awan-awan terlihat menggumpal, menyembunyikan cahaya bulan. Dan suasana di malam ini terasa begitu lain dari biasanya. Angin pun seakan-akan enggan berhembus, hingga membuat udara malam yang selalunya mampu menggigilkan tulang terasa begitu panas dan gerah di badan.

Tepat tengah malam, terlihat sesosok tubuh berkelebat cepat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Gerakannya begitu cepat dan ringan, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Namun tiba-tiba sosok tubuh itu berhenti bergerak. Bahkan langsung cepat-cepat menelungkupkan tubuhnya di atas atap salah satu rumah penduduk yang di salah satu sisi rumahnya tumbuh sebatang pohon ginkgo tua, ketika terlihat dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berjalan sambil berbicara dari arah depan. Sosok di atas atap itu langsung mengenali mereka yang merupakan dua orang pengawal Kepala Desa Hwang yang sedang mendapat giliran untuk menjaga keamanan desa.

"Rasanya malam ini panas sekali, Jiwook Hyung," ujar salah seorang di antara mereka, sambil mengebut-ngebutkan pakaiannya di bagian dada.

"Kau benar. Tidak seperti biasanya. Padahal belum masuk musim panas," sahut orang yang dipanggil Jiwook. "Sebaiknya kita istirahat saja dulu di bawah pohon ginkgo itu, Soobin-ah," sambung Jiwook yang saat itu sedang menenteng sebuah lampion di tangan kanannya.

Orang yang dipanggil Soobin melirik ke arah pohon ginkgo tua di pinggir jalan yang ditunjuk Jiwook, yang berada tepat di sebelah rumah salah satu penduduk. Kemudian ia menganggukkan kepalanya. Tampaknya, dia menyetujui ajakan Jiwook. Mereka terus melangkah mendekati pohon yang cukup besar, berdaun lebat dan rimbun sekali. Namun, tak terlihat sedikit pun adanya gerakan pada daun-daun ginkgo itu. Memang, kelihatannya tak ada angin yang berhembus di malam ini.

"Ughhh…!"

Soobin mengeluh panjang begitu duduk di atas akar ginkgo yang menyembul keluar dari dalam tanah, sambil mengipas-ngipaskan tangannya di depan muka.

"Kenapa kau mengeluh seperti itu, Soobin-ah?" tegur Jiwook, sambil meletakkan lampion di ujung kakinya, lalu ikut mendudukkan diri di salah satu akar lainnya yang menyembul di permukaan tanah.

"Perasaanku sejak tadi tidak enak, Hyung," sahut Soobin seraya mendesah pendek.

"Memangnya apa yang kau pikirkan?" tanya Jiwook dengan rasa ingin tahu.

"Entahlah, Hyung. Aku sendiri tidak tahu…," desah Soobin.

Kening Jiwook jadi berkerut dalam mendengar jawaban Soobin yang terlihat begitu gelisah. Bahkan duduknya juga tidak tenang, seperti berada di atas sebuah tungku dengan bara api yang sewaktu-waktu bisa membakar hingga menjadi arang. Kedua pengawal Kepala Desa Hwang itu akhirnya terdiam, dan tidak berbicara lagi sedikit pun juga. Perlahan, Soobin bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Jiwook pun jadi ikut berdiri sambil menenteng lampionnya, dan terus memandangi Soobin dengan kelopak mata yang semakin menyipit.

"Sebaiknya kita pulang saja, Hyung. Perasaanku semakin tidak enak," ajak Soobin.

"Tapi bagaimana dengan Kepala Desa Hwang? Beliau akan marah besar jika tahu kita mangkir dari tugas. Dan kau tahu pasti hukuman apa yang akan terima jika kita tidak menuruti perintahnya," sahut Jiwook.

"Nanti saja kita pikirkan hal itu, Hyung. Yang penting sekarang kita pulang."

"Baiklah," Jiwook akhirnya mengalah.

Tapi baru saja mereka akan melangkah meninggalkan pohon ginkgo tua di pinggir jalan itu, mendadak….

Slap!

"Heh…?!"

"Hah…?!"

Kedua orang pengawal kepala desa itu jadi tersentak kaget bukan kepalang, ketika tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan dari atas atap rumah yang berada tepat di sebelah pohon yang tadi mereka duduki akar-akarnya itu. Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang membuat kedua bola mata pengawal itu jadi terbeliak lebar.

"Kau…?!" tersekat suara Soobin, yang rupanya mengenal sosok di depannya itu.

Bet!

Tapi belum juga mereka bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba saja orang itu sudah bergerak begitu cepat membuka serangan. Namun, kedua pengawal kepala desa itu cepat menyadari, sehingga mereka langsung berlompatan menyebar, menghindari serangan cepat itu.

"Hiyaaa…!"

Baru saja Soobin menjejakkan kakinya di tanah, orang aneh itu sudah kembali bergerak begitu cepat bagai kilat melancarkan serangan-serangan berikutnya. Pada saat itu, terlihat kilatan cahaya keperakan berkelebat begitu cepat ke arah leher laki-laki bertubuh tegap berotot ini. Begitu cepatnya hingga Soobin tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi rasa terkejut dan keseimbangan tubuhnya belum bisa dikuasainya. Sehingga….

Crass!

"Aaakh…!" Soobin menjerit melengking, memecah kesunyian yang membekap Desa Hang Nam.

Lelaki itu langsung jatuh menggelepar dengan leher hampir buntung. Darah langsung menyembur deras sekali dari lehernya yang menganga lebar hampir putus. Hanya sebentar saja Soobin mampu bergerak menggelepar seperti ayam disembelih, sesaat kemudian sudah mengejang kaku. Lalu, dia diam tak bergerak-gerak lagi. Mati.

"Soobin-ah…," desis Jiwook tertahan.

Namun pada saat yang sama, orang aneh itu sudah bergerak cepat memutar tubuhnya. Dan kembali, kilatan cahaya keperakan terlihat berkelebat begitu cepat, bersamaan dengan gerakan tangan kanannya.

"Heh…?! Utfs!"

Cepat-cepat Jiwook melompat ke belakang, menghindari serangan-serangan yang datang membabi buta. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejak tanah. Hanya sedikit saja suara yang ditimbulkannya. Tapi baru saja bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, satu serangan cepat bagai kilat sudah meluruk ke arahnya.

"Hup! Hiyaaa…!"

Cepat-cepat Jiwook melenting ke udara, dan kembali berputaran beberapa kali. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang aneh itu melesat cepat mengejarnya. Dan pada saat yang sama, tangan kanannya kembali dikibaskan, yang kemudian disusul cahaya kilat keperakan yang berkelebat begitu cepat mengarah ke dada laki-laki bertubuh tinggi tegap itu.

Jiwook yang masih berada di udara tak dapat lagi menghindar ketika orang aneh ini melancarkan serangan dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh mata biasa. Sehingga….

Bret!

"Akh…!"

Begkh!

Satu tendangan yang begitu keras di bagian ulu hati, membuat tubuh Jiwook terbanting ke tanah. Darah terlihat muncrat dari dadanya yang terbelah, seperti tersabet pedang. Namun, Jiwook masih bisa bangkit berdiri, meskipun terhuyung. Darah semakin banyak mengucur dari dadanya yang terbelah cukup lebar itu.

"Yeaaah…!"

Belum juga Jiwook bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, orang aneh itu sudah meluruk lagi dengan kecepatan begitu luar biasa. Sementara, Jiwook hanya bisa terbeliak lebar, dengan mulut menganga.

Bet!

Cras!

"Aaa…!"

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak Jiwook terpaku diam, kemudian limbung beberapa saat. Dan tanpa dapat dicegah lagi, dia jatuh berguling dengan kepala terpisah dari leher. Seketika itu juga, darah menyembur deras sekali dari lehernya yang buntung tak berkepala lagi. Sementara, orang aneh itu berdiri tegak memandangi. Sebentar kemudian, tubuhnya melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, hingga hanya sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya.

Dan pada saat itu juga, tampak rumah-rumah penduduk di sekitar jalan itu menyalakan lampionnya. Dan tak lama, terlihat penduduk Desa Hang Nam bermunculan dari dalam rumah masing-masing. Suara pertarungan yang hanya sebentar itu, sudah membuat semua penduduk yang tengah tertidur lelap jadi terbangun. Dan mereka bermunculan hendak mengetahui keributan yang terjadi hanya beberapa saat itu. Tapi begitu mengetahui ada dua orang yang tergeletak di tengah jalan, tidak ada seorang pun yang menghampiri. Terlebih lagi setelah tahu, siapa yang tergeletak di tengah jalan dengan darah berhamburan itu.

Sementara tidak jauh dari jalan itu, terlihat Han Ahjumma dan suaminya juga keluar dari dalam rumahnya. Terlebih lagi, pertarungan itu memang tidak jauh di depan rumah mereka. Maka tentu saja mereka berdua lebih jelas melihat dua orang pengawal kepala desa itu tergeletak tidak bernyawa dengan keadaan begitu mengerikan.

"Malapetaka apa lagi ini…?" desah Han Ahjussi, bernada seperti bertanya pada diri sendiri.

"Mungkin ini adalah tanda-tanda kebesaran yang ditunjukkan penguasa langit untuk menghukum manusia-manusia durjana," gumam Han Ahjumma perlahan, menimpali ucapan suaminya.

Suami istri berusia lanjut itu kembali masuk ke dalam rumahnya, setelah mematikan lampion yang tergantung di sudut beranda. Sementara, tak ada seorang pun yang berani mendekati dua pengawal kepala desa yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka juga satu per satu masuk ke dalam rumah, dan hanya memerhatikan saja dari balik jendela. Entah kenapa, mereka jadi begitu takut untuk mendekat.

ooo 000 ooo

Kematian kedua pengawal Kepala Desa Hwang, tentu saja membuat penduduk Desa Hang Nam menjadi gempar. Akan tapi, tak ada seorang pun yang berani membicarakannya terang-terangan. Dan kalaupun membicarakan, selalu dengan sikap hati-hati sekali, seakan-akan takut ada orang lain yang mendengar. Biasanya, mereka membicarakan peristiwa mengerikan itu di dalam rumah, dengan anggota keluarga masing-masing, dengan suara sepelan mungkin. Akan tetapi, di antara penduduk desa itu, ada juga seorang warga yang berani membicarakan peristiwa kematian kedua pengawal Kepala Desa Hwang itu dengan suara keras, dan tampaknya begitu gembira atas kematian dua di antara lima pengawal pribadi kepala desa itu. Dan orang tersebut ialah Han Ahjumma.

"Aku akan sangat senang seandainya manusia-manusia durjana itu mati semuanya, Suamiku!" dengus Han Ahjumma.

"Jangan sembarangan kalau bicara, Istriku," tegur Han Ahjussi.

"Memangnya kenapa? Bukankah memang begitu kenyataannya? Mereka memang manusia-manusia terkutuk yang sudah kehilangan akal sehat dan nuraninya. Dan aku sudah lama berharap agar ada orang yang membinasakan manusia-manusia terkutuk itu!"cetus Han Ahjumma, dengan suara keras yang terdengar bergetar.

"Sudahlah, Istriku. Bisa celaka kalau ada orang yang mendengar."

"Biar saja. Biar saja kalau ada yang mendengar dan mengadukannya kepada kepala desa laknat itu. Mereka semua pengecut! Sudah tahu hidup tertindas selama belasan tahun, tapi tidak juga melakukan tindakan apa-apa. Huh! Sayang sekali aku sudah tidak muda lagi, kalau tidak sudah kubumihanguskan manusia-manusia biadab itu," dengus Han Ahjumma, sedikit meninggikan suaranya, meluapkan semua ganjalan yang selama ini tertekan dalam hatinya.

Sementara Han Ahjussi hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Lelaki tua itu bisa memaklumi istrinya yang sedang menumpahkan isi hatinya. Dan memang, jauh di dasar hatinya, Han Ahjussi juga senang kalau ada orang yang bisa mengikis habis kelaliman yang ada di Desa Hang Nam. Kepala desa ini memang hidup bagai raja kecil yang selalu memperkaya diri, dengan menarik pajak dari rakyat dalam jumlah yang mencekik leher bagi sebagian besar penduduk yang mata pencaharian utamanya sebagai petani atau pekerja ladang yang merupakan milik sang kepala desa sendiri. Tak ada yang berani berontak, sebab segala perkataan sang kepala desa sudah menjadi peraturan mutlak yang tidak bisa dibantah sedikit pun juga. Dan tak ada yang berani coba-coba melaporkan tindak-tanduk sang kepala desa ke Kantor Inspektur Jenderal yang salah satu tugasnya adalah untuk memantau administrasi dan pejabat pemerintah di setiap tingkatan baik pusat atau daerah dalam masalah korupsi ataupun penyimpangan kekuasaan, setelah beberapa tahun lalu ada satu keluarga yang tewas dibantai karena putera mereka yang merupakan pelajar di Universitas Kerajaan berusaha mengadukan penyimpangan yang dilakukan Kepala Desa Hwang ke kantor yang berwenang.

Bukan hanya pasangan suami-istri berusia lanjut ini saja yang pernah merasakan kelaliman Kepala Desa Hwang. Bahkan, semua penduduk Desa Hang Nam ini sudah pernah merasakannya. Tapi memang, tak ada seorang pun yang berani menentangnya. Apalagi, Kepala Desa Hwang selalu dikelilingi lima orang pengawalnya yang tidak segan-segan menurunkan tangan kejam.

"Aku akan ke ladang dulu, Istriku," kata Han Ahjussi memutuskan lamunannya.

"Pergilah. Dan kalau ada pepaya atau jagung muda, jangan lupa bawa pulang. Aku ingin memasaknya untuk lauk makan siang kita."

Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar dari rumah sederhana miliknya. Dia tidak ingin mendengar istrinya yang terus mengoceh, menumpahkan segala ganjalan dalam dadanya yang sudah lama di tahannya. Perasaan itu paling tidak sudah ditahan selama Kepala Desa Hwang menguasai Desa Hang Nam. Lelaki setengah baya yang kejam itu diangkat menjadi kepala desa berdasarkan persetujuan Gubernur Go Nang Im, yang masih merupakan iparnya sendiri.

Han Ahjussi terus melangkah meninggalkan rumahnya. Sementara, Han Ahjumma juga bergegas membungkus makanan yang sudah dimasaknya pagi-pagi sekali. Dan tak lama kemudian perempuan tua itu sudah keluar dari rumahnya. Langkahnya nampak tertatih, dengan tubuh terbungkuk. Akan tetapi walaupun sudah begitu renta, jalannya tanpa bantuan tongkat sebatang pun juga.

Han Ahjumma terus berjalan tertatih-tatih menuju chogajib tua yang tidak jauh dari rumahnya. Letaknya di pinggir jalan membelah Desa Hang Nam ini. Beberapa orang yang melihatnya kelihatan tidak ambil peduli. Dan bahkan mereka seperti tidak sudi melihat perempuan tua renta yang sudah memasuki rumah beratap jerami itu.

"Kau sudah dengar apa yang terjadi semalam, Song Hwa-ya…?" tanya Han Ahjumma begitu duduk di depan namja yang terpasung kedua kakinya itu.

Sedangkan namja bernama Song Hwa hanya diam saja sambil memandanginya. Kedua tangannya terulur, menerima bungkusan daun pisang beserta sepasang sumpit yang dibawa Han Ahjumma. Kemudian dibukanya bungkusan makanan itu perlahan-lahan. Tanpa disuruh lagi, dilahapnya makanan yang dibawa oleh perempuan tua itu. Han Ahjumma tersenyum, dan menuangkan air dari kendi tanah liat ke dalam cawan keramik yang dibawanya. Lalu diletakkannya cawan berisi air itu di atas balok yang membelenggu kedua kaki namja berwajah tampan, yang ketampanannya tersembunyi di balik penampilannya yang berantakan itu.

"Dua orang pengawal Kepala Desa Hwang dibunuh semalam," kata Han Ahjumma melanjutkan. Tidak bisa disembunyikannya nada senang pada suaranya.

Song Hwa menghentikan gerakan sumpitnya. Ditatapnya perempuan tua itu dalam-dalam. Tapi, sorot matanya terlihat begitu kosong. Tak berapa lama, kembali dinikmatinya makan paginya tanpa berbicara sedikit pun juga. Sedangkan Han Ahjumma tidak bicara lagi, dan terus memerhatikan pemuda terpasung yang tengah menikmati makanan yang ia bawakan.

"Kalau mereka semua sudah habis, kau pasti akan bebas, Song Hwa-ya," kata Han Ahjumma lagi.

"Tidak ada seorang pun yang akan membebaskan aku, Ahjumma. Kecuali diriku sendiri," ujar Song Hwa datar.

"Ah! Jangan dihiraukan orang lain. Aku yakin, tidak lama lagi kau pasti akan bebas," hibur Han Ahjumma, membesarkan hati pemuda ini.

Tapi, Song Hwa hanya tersenyum kecil. Dilemparkannya daun pisang bekas bungkusan makanannya begitu saja. Kemudian diambilnya cawan keramik, dan isinya diteguk sampai tandas tak bersisa. Han Ahjumma menambahkan lagi air bening ke dalam cawan yang sudah kosong itu. Sementara bibir keriputnya tetap menyunggingkan senyum. Entah kenapa, sejak tadi perempuan tua itu selalu tersenyum. Mungkin hatinya kelewat gembira melihat dua orang pengawal Kepala Desa Hwang mati terbunuh semalam. Bahkan peringatan sang kepala desa tidak dipedulikannya sama sekali. Perempuan tua itu benar-benar sudah nekat.

"Han Ahjumma! Sebaiknya kau tidak perlu lagi datang ke sini. Aku tidak ingin kau mendapat kesulitan. Sudah cukup semua orang di desa ini membencimu," kata Song Hwa pelan.

"Aku tidak pernah peduli dengan penduduk desa ini. Biarkan saja mereka membenciku, Song Hwa-ya. Mereka pasti akan mendapat ganjarannya, karena telah memasungmu," sahut Han Ahjumma. "Aku tetap akan mengunjungimu."

"Ahjumma…. Apa kau tidak ingat, kenapa aku sampai dipasung begini…?"

"Aku tahu. Tapi aku yakin, kau tidak bersalah. Dan bukan kau yang melakukannya, Nak. Kau juga tidak gila. Hanya mereka saja yang menganggapmu gila, Song Hwa-ya," sahut Han Ahjumma, tetap tegas nada suaranya.

Song Hwa tersenyum tipis. Begitu hambar senyumannya. Kepalanya yang ditumbuhi rambut panjang meriap tak teratur, bergerak menggeleng beberapa kali. Han Ahjumma melihat adanya kesenduan dalam bola mata yang lesu tanpa gairah hidup lagi itu.

"Kau pasti akan segera bebas, dan bisa melanjutkan kehidupanmu, Nak. Kau juga pasti akan secepatnya menemukan keberadaan puteramu. Aku yakin itu."

Ada riak kecil yang bermain di mata namja dalam pasungan itu, saat Han Ahjumma menyebut tentang puteranya. Putera yang sampai saat ini tidak diketahuinya keberadaannya. Akan tetapi, hanya sebentar riak itu singgah di sepasang bola matanya, karena kejap berikutnya tatapannya kembali kosong seperti sebelumnya. Meskipun begitu, tangan kanannya yang kurus perlahan meraba perutnya, seakan-akan menyapa sebuah kehidupan yang bersemayam di sana. Dan tanpa sadar, beberapa butir airmata jatuh dari kedua matanya yang terlihat memejam.

Beberapa saat kemudian mereka terdiam, tak berbicara sedikit pun juga. Dan beberapa kali pula sorot mata mereka bertemu. Sementara, matahari terus beranjak naik semakin tinggi. Sinarnya yang cukup terik, menerobos masuk melalui lubang yang begitu banyak terdapat di dinding dan atap chogajib tua ini. Han Ahjumma beranjak bangkit berdiri. Didekatkannya kendi tanah liat ke samping sebelah kiri Song Hwa.

"Aku pulang dulu, Song Hwa-ya. Ahjussi-mu sebentar lagi akan kembali dari ladang dan lelaki tua itu akan marah-marah jika aku terlambat menyediakan makan siang," pamit Han Ahjumma, setengah tertawa ketika mengingat kembali ucapannya.

"Gomawo, Ahjumma. Maafkan aku karena sudah terlalu sering merepotkanmu." ucap Song Hwa perlahan.

"Tidak lama lagi, kau pasti bebas, Nak. Percayalah padaku," kata Han Ahjumma mantap.

Song Hwa hanya tersenyum saja sambil mengangguk singkat. Namun nyata sekali kalau senyumannya terlihat begitu hambar. Sementara Han Ahjumma sudah melangkah keluar dari dalam rumah tua ini.

Tapi baru saja mencapai pintu, Song Hwa sudah memanggilnya kembali. Han Ahjumma segera memutar tubuhnya berbalik.

"Ada apa, Song Hwa-ya?" tanya Han Ahjumma dengan penuh kelembutan, seperti seorang ibu yang sedang berbicara pada anak remajanya yang manja.

"Ahjumma, boleh aku minta sesuatu padamu…?"suara Song Hwa terdengar ragu.

"Katakan saja. Apa yang kau minta, mudah-mudahan bisa kuturuti. Asal jangan pernah memintaku untuk berhenti mengunjungimu, karena aku tidak akan pernah mengabulkan permintaan itu."

"Tolong bawakan selembar kain hitam untukku, Ahjumma," pinta Song Hwa.

"Kain hitam…? Untuk apa, Song Hwa-ya?"

"Udara di sini terlalu dingin saat malam hari, Ahjumma, sementara pakaian yang melekat di badanku sudah sangat tipis. Seperti yang kau ketahui, sudah bertahun-tahun pemanas ruangan di rumah ini tidak berfungsi. Barangkali saja selembar kain bisa sedikit menghangatkan tubuhku, Ahjumma."

"Bagaimana kalau kubuatkan baju saja, Nak? Biar kau bisa memakainya," usul Han Ahjumma.

"Itu juga boleh. Tapi aku minta yang berwarna hitam. Itu juga kalau Ahjumma tidak keberatan."

"Nanti sore kubawakan. Kebetulan hari ini hari pasaran, jadi aku bisa membelikan bahan untuk pakaian buatmu," kata Han Ahjumma.

"Terima kasih, Ahjumma. Dan sekali lagi maaf, karena selama ini aku selalu menyusahkanmu."

Han Ahjumma tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Kini dia terus berjalan tertatih-tatih, tidak memedulikan pandangan orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan. Sedangkan dari dalam, Song Hwa terus memandangi punggung perempuan renta itu sampai tak terlihat lagi di pandangannya.

ooo 000 ooo

Istana Changdeok, Kediaman Khusus Permaisuri.

Seringai kecil tersungging di sudut bibir Putera Mahkota Changmin yang sejak beberapa waktu lalu mengamati keadaan kamar Yang Mulia Permaisuri dari balik sebatang pohon sansuyu yang tumbuh di bagian depan halaman, ketika melihat empat orang prajurit yang bertugas menjaga keamanan di kediaman khusus Ratu Joseon itu berpencar ke arah yang berlawanan, untuk memeriksa keadaan. Dengan tergesa remaja berusia lima belas tahun itu keluar dari persembunyiannya, lalu mengayunkan langkahnya mendekati pintu. Setibanya di depan pintu, ia dengan cepat memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan bahwa ke-empat prajurit penjaga itu masih belum menyadari keberadaannya. Setelah memastikan bahwa situasi aman dan terkendali, sang putera mahkota segera menggeser pintu kamar sang ibu dan menyelinap masuk ke dalam, sambil menutup kembali pintu geser itu dengan gerakan begitu perlahan, sehingga tidak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan.

Untuk sesaat, sambil bersandar di balik pintu, Putera Mahkota Changmin mendekap dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya, seakan-akan hendak mengurangi gemuruh yang ditabuh jantungnya. Kemudian, diedarkannya pandangannya berkeliling, menelusuri setiap sudut kamar pribadi sang ibu yang didominasi warna merah bata, yang dengan lancang dimasukinya.

"Apa sebenarnya isi dari bungkusan merah yang diberikan oleh Tabib Joong pada Ibunda tempo hari? Dan mengapa sikap Ibunda terlihat begitu mencurigakan? Aaarrrggghhh…! Apa-apaan aku ini? Kenapa malah mencurigai ibuku sendiri? Tapi…, ah, persetan! Hatiku baru bisa tenang kalau sudah mengetahui apa sebenarnya isi dari bungkusan itu. Aku harus menemukan benda itu. Harus!" Putera Mahkota Changmin terlihat berperang dengan batinnya sendiri, antara meneruskan maksud hati yang didera rasa ingin tahu yang begitu menggebu, atau mengurungkan niatnya dan berhenti mencurigai perempuan yang telah melahirkannya. Akan tetapi, pada akhirnya rasa penasaranlah yang menjadi pemenang dari pertarungan tak kasat mata itu.

Maka dengan mengendap-endap seperti seorang pencuri, sang putera mahkota berusia lima belas tahun itu bergerak cepat menggeledah tempat-tempat yang menurutnya memiliki kemungkinan untuk menjadi tempat rahasia dimana sang ibu menyimpan benda-benda berharga. Namun, meski sudah hampir sepeminuman teh menggeledah kamar sang ibu, ia belum juga menemukan bungkusan merah yang ia cari.

"Aku sudah menggeledah hampir seluruh bagian kamar ini, tapi bungkusan itu tak juga kutemukan. Tidak mungkin Ibunda membawa serta bungkusan itu ke acara minum teh petang bersama Yang Mulia Ibu Suri, karena hal itu akan menimbulkan pertanyaan dan memancing kecurigaan. Dan aku tidak yakin Ibunda menyimpan bungkusan itu di ruang baca atau di ruang khusus untuk menerima tamu. Hemmm…, jadi kira-kira dimana Ibunda menyembunyikan benda itu…?" tanya Putera Mahkota Changmin pada dirinya sendiri setelah tak kunjung menemukan bungkusan yang sejak kemarin membangkitkan rasa penasarannya.

Keringat tampak memenuhi seluruh permukaan wajah remaja tampan itu. Dengan cepat ia menyekanya dengan sehelai saputangan yang memiliki sulaman benang emas di ke-empat sudutnya itu. Ia kemudian berjalan ke arah daun jendela yang sedikit terbuka, mengawasi keadaan di luar kediaman sang ibu yang diam-diam dimasukinya. Setelah sekali lagi memastikan bahwa keadaan masih aman, ia mengulangi kembali pencariannya. Dimulai dari lemari kayu setinggi dadanya yang terdapat di sisi kiri pintu kamar. Ia memeriksa setiap laci dari lemari yang berwarna merah bata itu dengan teliti, tanpa ada satu pun yang terlewatkan. Ketika pencariannya tak membuahkan hasil, ia melanjutkannya pada lemari berwarna senada yang berukuran lebih rendah di sisi kanan pintu ruangan. Ia bahkan memeriksa pasu bunga berisikan batang-batang sakura kering yang terletak di atas lemari itu, meski masih belum menemukan apa-apa. Namun, sang putera mahkota belum mengenal kata menyerah, karena itu ia melanjutkan penggeledahannya dengan sikap sangat hati-hati, dan sebisa mungkin tidak merubah posisi awal dari benda-benda yang ia sentuh, sebab tak ingin memancing kecurigaan dari sang ibu.

Beberapa waktu berikutnya, sang putera mahkota terduduk lemas di depan lemari yang terletak di sisi kanan pintu masuk. Ia sudah dua kali menggeledah ruangan itu, namun tak ada benda mencurigakan yang ia temukan. Semua kotak penyimpanan barang milik sang ibu sudah ia buka, namun tak menemukan apa-apa. Guci-guci keramik berbagai bentuk dan ukuran yang merupakan benda koleksi ibunya juga sudah ia periksa satu per satu, namun bungkusan merah yang ia cari tak kunjung ditemukan. Ia bahkan sudah menggeledah pembaringan sang ibu, tapi lagi-lagi hasilnya nihil.

"Mungkinkah sebenarnya bungkusan merah itu disimpan Ibunda di tempat lain? Ah, tapi itu tidak mungkin. Sejak kemarin Ibunda tidak kemana-mana. Baru petang ini saja Ibunda keluar untuk menghadiri jamuan minum teh bersama Yang Mulia Ibu Suri. Jadi, kecil sekali kemungkinannya kalau bungkusan itu sempat dipindahkan keluar ruangan. Lalu, dimana lagi aku harus mencarinya? Aku sudah menggeledah tempat ini sebanyak dua kali, dan tak melewatkan satu bagian pun, tapi tetap saja tak berhasil menemukan bungkusan itu. Hhh…," Putera Mahkota Changmin menghembuskan napas panjang, sambil kembali menyeka keringat yang menyambangi wajah tampannya yang diwarisinya dari sang ayah. Rasanya ia sudah begitu lelah dan ingin menyerah.

Pada saat itu pula, pandangan mata sang putera mahkota tertumbuk pada lukisan pemandangan yang terdapat di dinding ruangan sebelah kiri yang menjadi sekat antara ruang tidur dengan ruang baca, yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya duduk bersandar. Gunung Bukhasan yang tegak menjulang bagai hendak menembus langit dilukis dengan sempurna oleh salah seorang pelukis istana. Barisan pohon ginkgo dengan daunnya yang mulai berubah warna, serta burung-burung bangau yang sedang mencari makan di tepi sungai terlihat begitu hidup. Akan tetapi, bukan keindahan alam yang tersaji dalam lukisan itu yang menarik minat remaja berusia lima belas tahun yang merupakan pewaris satu-satunya Kerajaan Joseon tersebut.

Rasa lelah dan putus asa yang sempat menghampirinya seketika menguap begitu saja. Dengan senyum sumringah, Putera Mahkota Changmin bergegas bangkit dari duduknya, dan melangkah mendekati lukisan yang memenuhi separuh bagian dinding itu. Dirabanya permukaan lukisan yang sangat halus, lalu beralih pada bingkainya yang terbuat dari sejenis kayu hutan yang diserut dan diberi ukiran dengan pola garis yang rumit. Dengan tangan kirinya, sang putera mahkota sedikit mengangkat bagian bawah lukisan itu. Dan senyum lebar kembali menghiasi wajahnya yang tampan, ketika di balik lukisan itu ia menemukan beberapa celah sebesar kotak perhiasan sang ibu yang ternyata adalah tempat penyimpanan rahasia, persis seperti dugaannya. Dan sepasang bola matanya terlihat berbinar-binar ceria, ketika bungkusan merah yang sedang ia cari berada di salah satu celah di balik lukisan itu.

"Ah, tepat seperti dugaanku. Seharusnya aku memang tidak perlu meragukan keenceran otakku, he he…."

Dengan cepat, ia mengambil bungkusan merah itu tanpa memeriksa isinya terlebih dahulu, dan menyembunyikannya di balik lipatan ikat pinggangnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan lain yang serupa - yang sudah ia persiapkan sebelumnya - dari balik lengan pakaiannya, dan menempatkannya di tempat semula. Lalu dengan hati-hati, ia kembali mengatur posisi lukisan pemandangan itu sedemikian rupa, dan dengan langkah ringan berbalik hendak meninggalkan ruangan itu. Senyuman lebar masih terpahat di wajahnya yang mewarisi ketampanan dari Raja Sukjong.

Akan tetapi, baru saja hendak melangkahkan kakinya ke arah pintu, ia mendengar langkah-langkah kaki yang tergesa menuju kediaman khusus ibunya itu. Senyuman di wajah sang putera mahkota menghilang seketika. Dalam hati ia mengumpat karena melupakan suatu kenyataan bahwa jamuan minum teh petang yang dilakukan sang ibu bersama Yang Mulia Ibu Suri tidaklah memakan waktu lama. Kecuali jika jamuan minum teh itu juga diikuti oleh sang ayah. Sang putera mahkota itu merasakan kepanikan yang luar biasa ketika langkah-langkah kaki itu semakin jelas terdengar di telinga. Aliran darah remaja berusia lima belas tahun itu seakan terbalik, dan dadanya bergemuruh kencang. Dengan cepat ia memutar otaknya, mencari tempat persembunyian sementara, sambil berharap siapa pun yang masuk kamar itu tidak akan menyadari keberadaannya. Dan karena remaja itu tak memiliki waktu banyak untuk berpikir terlalu lama, pada akhirnya ia memutuskan untuk menyembunyikan diri di kolong tempat tidur sang ibu. Sungguh, untuk pertama kalinya sang putera mahkota bersyukur karena tempat tidur utama untuk istri raja dan selirnya merupakan sebuah pembaringan yang memiliki kolong, bukan kasur lipat seperti yang biasanya digunakan rakyat kebanyakan.

"Memangnya apa yang ingin kau bicarakan, Menteri Sung? Apakah begitu mendesak hingga kau nekat menemuiku tanpa memberi tahu terlebih dahulu?"

Putera mahkota yang bersembunyi di bawah tempat tidur semakin merapatkan tubuhnya ke dinding saat mendengar suara dengusan sang ibu, sesaat setelah menggeser pintu. Dari celah alas pembaringan yang menjuntai namun tidak sampai ke lantai, ia bisa melihat sang ibu yang dengan kasar mendudukkan diri di bagian tengah ruangan. Keningnya sedikit berkerut mendengar ibunya menyebut nama Menteri Sung. Sepengetahuannya, Menteri Sung Ha Gun adalah Menteri Pertahanan Kerajaan Joseon. Yang menjadi tanda tanya besar di benaknya, ada urusan apa seorang menteri pertahanan mendatangi kediaman khusus sang permaisuri? Dan satu hal lagi, mengapa sang ibu tidak mengajak Menteri Sung untuk berbicara di ruang khusus yang biasa digunakan sang ibu untuk menyambut tamu? Mengapa sang ibu justru terlibat perbincangan dengan salah seorang menteri dari Enam Kementrian di ruang tidurnya? Tidakkah hal itu bisa menimbulkan skandal besar yang bisa mencemarkan nama baik sang ibu?

Lelaki setengah baya yang dipanggil Menteri Sung turut duduk dengan tergesa di depan Yang Mulia Permaisuri, dengan sebuah meja kecil berkaki rendah sebagai pembatas di antara keduanya.

"Ah, maafkan saya, Yang Mulia Permaisuri. Saya hanya terlalu senang dengan berita bagus yang saya bawa, sehingga melupakan sopan-santun dan langsung menemui Anda untuk mengabarkannya sendiri. Sekali lagi maafkan saya, Yang Mulia Permaisuri," Putera Mahkota Changmin yang sedang bersembunyi mendengus tanpa suara, lalu menjulurkan lidahnya. Ia sungguh muak melihat sikap lelaki setengah baya yang memiliki kumis dan janggut yang sudah memutih itu. Menurutnya, lelaki itu terlihat seperti seorang penjilat yang suka mencari muka demi keuntungan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki sikap seperti itu mendapatkan kedudukan penting dalam pemerintahan?

"Berita bagus apa yang kau bawa?" tanya Yang Mulia Permaisuri dengan nada suara yang terdengar begitu datar, dan sama sekali tidak terpengaruh pada basa-basi Menteri Sung. Putera Mahkota Changmin menajamkan pendengaran, ikut mencari tahu kabar apa yang hendak disampaikan oleh lelaki setengah baya yang janggutnya hampir mencapai dada itu.

"Yang Mulia Permaisuri, saya mendapat informasi dari salah satu sumber yang bisa dipercaya bahwa pada akhir pekan nanti, Selir Hwan akan berlatih memanah di salah satu hutan kerajaan. Dan ia akan berlatih dengan hanya ditemani oleh seorang pelatih, serta beberapa prajurit. Tidak ada Kepala Pengawal Kim yang biasanya menemaninya, karena kepala pengawal itu sedang menjalankan misi rahasia dari Yang Mulia Raja. Bukankah itu adalah kesempatan yang sangat bagus untuk melenyapkannya, seperti keinginan Anda, Yang Mulia Permaisuri?" remaja tampan yang sedang bersembunyi di kolong tempat tidur itu membelalakkan mata selebar-lebarnya ketika mendengar nama selir terkasih ayahnya disebut-sebut. Namun yang membuat ia terkejut setengah mati ialah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Menteri Sung, tentang sang ibu yang berkeinginan untuk menyingkirkan Selir Hwan yang juga merupakan seseorang yang sudah dianggapnya sebagai sahabat sendiri.

Untuk sesaat sang putera mahkota hanya bisa terperangah di tempat persembunyiannya. Ia kemudian menggeleng pelan, berusaha menyangkal pendengarannya sendiri. Rasanya sungguh sukar dipercaya, jika wanita selembut ibunya berniat menyingkirkan salah satu selir sang ayah tanpa alasan yang jelas. Meski begitu, satu sisi dalam hatinya mengakui, bahwa sejak kedatangannya ke istana, Selir Hwan memang merebut nyaris seluruh perhatian ayahnya. Bisa saja hal itu menimbulkan benih-benih kecemburuan di hati sang ibu, sehingga bisa dijadikan alasan yang cukup kuat untuk menyingkirkan Selir Hwan dari kehidupan sang ayah. Tapi apakah itu mungkin? Bukankah selama ini ibunya bersikap sangat baik terhadap siapa saja, bahkan kepada selir-selir Raja Sukjong, termasuk kepada Selir Hwan yang telah menyita perhatian dan kasih sayang sang ayah? Sebagai seorang perempuan, sangat wajar jika ibunya memiliki setitik perasaan cemburu melihat sang ayah yang membagi kasih sayangnya pada orang lain, namun selama ini Putera Mahkota Changmin tidak pernah sekali pun melihat sang ibu menunjukkan kecemburuannya. Lagipula, rasanya sangat tidak masuk akal jika hanya karena alasan cemburu, maka sang Ratu Joseon itu berniat untuk bertindak telengas. Sepengetahuannya, perempuan yang dipanggilnya ibu itu bukanlah perempuan yang akan bertindak dengan menurutkan perasaan. Akan tetapi, bagaimana seandainya sang ibu ternyata adalah seseorang yang begitu pintar memanipulasi perasaan serta bersandiwara hingga ia tak melihat ada hal yang ganjil dari sikap ibunya selama ini?

"Hemmm…, benarkah? Lalu di hutan kerajaan yang mana ia akan berlatih?"

Dinginnya nada suara sang ibu ketika mengucap tanya membuat sang putera mahkota menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Satu sisi hatinya masih terus berharap agar sang ibu menyangkal perkataan Menteri Sung mengenai niatnya melenyapkan Selir Hwan.

"Saya belum tahu dimana persisnya, Yang Mulia Permaisuri. Tapi saya akan segera mendapatkan informasi itu secepatnya untuk Anda."

"Bagus! Aku ingin kau memastikan dengan benar kapan dan dimana ia akan berlatih memanah, Menteri Sung. Sudah saatnya selir keparat itu menyingkir selamanya dari kehidupan suamiku. Hanya karena dirinya diijinkan tinggal di taman istana, ayam hutan itu menjadi terlalu berbangga diri dan melupakan asal-usulnya. Kita harus segera mengembalikannya ke dalam hutan, tempat dimana seharusnya ia berada."

Putera Mahkota Changmin membekap mulutnya dengan kedua tangan, berharap seruan kagetnya tak terlontar keluar. Ia nyaris tak mengenali perempuan yang sedang duduk dan berbicara dengan nada begitu dingin di tengah ruangan itu. Benarkah perempuan itu adalah perempuan yang sama, yang selama ini dikenalnya? Perempuan yang telah melahirkannya, yang membesarkannya dengan limpahan kasih sayang, dan mengajarkannya banyak hal dengan penuh kelembutan. Mengapa rasanya perempuan yang dipanggil Yang Mulia Permaisuri oleh Menteri Sung itu mendadak menjadi sosok asing yang sama sekali tidak dikenalnya? Inikah wujud asli dari sang ibu yang selama ini begitu dihormati dan dicintainya?

"Anda benar, Yang Mulia Permaisuri. Keberhasilan Selir Hwan mengatur strategi perang ketika melawan Ming membuatnya menjadi buah bibir hingga saat ini. Dan hal itu sangat tidak baik untuk posisi Anda sebagai seorang ratu. Anak itu bahkan berhasil menarik simpati kalangan dayang di Dapur Istana karena kemampuan memasaknya yang katanya begitu luar biasa. Hal itu tidak boleh kita diamkan begitu saja, Yang Mulia Permaisuri. Semakin ia diberi kesempatan untuk bergerak, akan semakin banyak pihak yang berhasil ia rebut perhatiannya. Dan itu sangat membahayakan kita."

"Kuakui aku memiliki andil besar ketika menyarankan Yang Mulia Raja untuk mengajaknya ikut berperang. Aku sungguh berharap ia mati saat itu, tapi rupanya panglima bodoh yang kuperintahkan untuk menghabisi nyawanya memang tidak berguna. Selir jalang itu berhasil lolos dari maut, bahkan menuai puja-puji di sana-sini. Sudah cukup aku memberinya waktu. Aku tidak akan membiarkannya merebut seluruh perhatian suamiku. Aku akan memastikan keadaan secepatnya akan kembali seperti semula, seperti keadaan sebelum selir keparat itu masuk dalam kehidupan kita. Aku benar-benar sudah muak melihat segala tingkah lakunya. Tidak cukup dengan merebut seluruh perhatian suamiku, ia juga mendekati putera tunggalku! Hal ini tidak bisa dibiarkan!"

Putera Mahkota Changmin nyaris tidak percaya bahwa kata-kata kasar penuh bisa itu keluar dari bibir seorang perempuan yang tak lain adalah ibunya sendiri. Sirat-sirat kebencian nyata terpancar dari nada suara ibunya yang begitu dingin dan penuh api dendam. Dari tempat persembunyiannya, sang putera mahkota berusia lima belas tahun itu menggeleng lemah, mencoba menyangkal kenyataan pahit yang seolah menamparnya. Kenyataan bahwa di balik topeng keanggunan dan kelembutan yang selama ini diperlihatkan oleh sang ibu kepada setiap orang, tersimpan seraut wajah licik dan kejam dari seorang perempuan yang tak segan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sang putera mahkota memejamkan kedua matanya rapat-rapat, menahan titik embun yang mulai mengambang di pelupuk matanya agar tak tumpah. Rasa marah dan kecewa yang dibalut rasa tak percaya mengaduk-aduk hatinya. Kenyataan pahit yang diterimanya membuat jiwa mudanya begitu terguncang.

"Panglima bodoh? Siapa yang Anda maksudkan, Yang Mulia Permaisuri?"

"Lupakan saja hal itu, Menteri Sung. Aku justru lebih tertarik dengan informasi mengenai Kepala Pengawal Kim. Misi rahasia apa yang sedang ia jalankan?"

"Kalau mengenai hal itu, sejujurnya saya sendiri tidak tahu. Orang kepercayaan saya hanya menyampaikan bahwa Yang Mulia Raja memberikan tugas rahasia kepada Kepala Pengawal Kim untuk pergi ke utara. Kemungkinan besar, kepala pengawal sekaligus orang kepercayaan Yang Mulia Raja itu dikirim ke sana untuk mencari tahu mengenai kabar angin yang menyebutkan tentang adanya sekelompok perompak yang mengacau di pesisir utara, Yang Mulia Permaisuri."

"Apa kau juga sudah mengirim orangmu untuk menyelidiki kebenaran dari kabar angin itu, Menteri Sung?"

"Anda tidak perlu merisaukannya, Yang Mulia Permaisuri. Saya sudah mengirimkan beberapa orang untuk mengikuti mereka. Bahkan ayah Anda sendiri turut mengirimkan beberapa pembunuh bayaran untuk membayang-bayangi mereka."

"Aku senang mendengar Abeoji bergerak cepat untuk mencari informasi. Kita memang tidak boleh lengah dan harus selalu mengawasi pihak-pihak yang memiliki kemungkinan untuk menjadi batu sandungan kita dalam mencapai tujuan."

"Saya sependapat dengan Anda dalam hal ini, Yang Mulia Permaisuri. Apa yang kita nikmati saat ini, adalah hasil jerih-payah kita di masa lalu. Dan keberhasilan kita ini tentu saja akan menimbulkan rasa iri hati dari pihak-pihak tertentu, yang pastinya akan selalu mencari cara untuk menjatuhkan kita. Tapi Anda tenang saja, saya akan memastikan bahwa kedudukan kita tidak akan tergoyahkan."

"Yang paling penting adalah memastikan siapa calon lawan yang akan kita hadapi, Menteri Sung. Apakah hanya satu pihak, atau justru ada beberapa pihak yang akan menyerang sekaligus? Kita harus sudah menyiapkan segala amunisi untuk mengantisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi."

"Lagi-lagi saya sependapat dengan Anda, Yang Mulia Permaisuri. Dan dari apa yang Anda sampaikan, saya menarik kesimpulan bahwa Anda sudah menyiapkan amunisi dalam jumlah yang banyak, bukan? Ah, Anda memang mewarisi segala kecerdikan Perdana Menteri Go. Beliau pasti sangat bangga memiliki puteri seperti Anda, Yang Mulia Permaisuri."

Sikap penjilat yang ditunjukkan oleh Menteri Sung benar-benar membuat Putera Mahkota Changmin yang sudah bisa menguasai perasaannya, menjadi muak. Ingin rasanya ia keluar dari persembunyiannya, kemudian meludah tepat di depan muka lelaki setengah baya itu. Remaja berusia lima belas tahun itu untuk beberapa saat memerhatikan raut wajah sang ibu yang masih terlihat begitu datar, dan sama sekali tidak terpancing dengan sikap Menteri Pertahanan Kerajaan Joseon itu.

"Menteri Sung, aku ingin kau memastikan apakah misi khusus yang dijalankan oleh Kepala Pengawal Kim berkaitan dengan kedudukannya sebagai salah satu petugas Kantor Investigasi, atau benar-benar murni untuk menyelidiki kabar angin yang kau katakan."

"Saya sangat yakin kalau misi yang diembannya tidak memiliki kaitan sama sekali dengan urusan Kantor Investigasi, Yang Mulia Permaisuri."

"Bagaimana kau bisa begitu yakin dengan ucapanmu, Menteri Sung?"

"Karena, kali ini Kepala Pengawal Kim mengajak Panglima Shin untuk turut serta dalam menjalankan misi rahasia dari Yang Mulia Raja. Itu berarti, kepala pengawal itu menjalankan tugas dalam kapasitasnya sebagai seseorang yang menjadi kepercayaan sang raja. Sudah menjadi semacam aturan tidak tertulis, bahwa petugas Kantor Investigasi tidak boleh terlihat bersama-sama dalam menjalankan tugas di lapangan. Karena itulah saya menarik kesimpulan, bahwa misi Kepala Pengawal Kim kali ini murni untuk urusan yang lain, Yang Mulia Permaisuri."

Putera Mahkota Changmin tertegun di tempat persembunyiannya ketika mendengar sang ibu dan Menteri Sung berbicara mengenai Kantor Investigasi. Ia sudah sering kali mendengar desas-desus mengenai salah satu kantor di dalam pemerintahan itu. Kantor yang khusus menangani kasus pengkhianatan dan kasus-kasus serius lainnya yang berkaitan dengan sang raja dan anggota keluarga kerajaan itu memang sangat tertutup dan berselubung rahasia, terlebih setelah diambil alih secara langsung oleh sang ayah semenjak ia naik tahta yang juga membuatnya menjadi satu-satunya orang yang memiliki kendali penuh ke atas kantor tersebut. Keanggotaan maupun perekrutan anggota baru juga bersifat sangat rahasia. Sejauh ini, publik hanya mengetahui bahwa Kantor Investigasi diketuai oleh Kim Sang Woo, sedang yang menjabat sebagai wakilnya adalah Choi Ha Jin. Keduanya menduduki jabatan itu sejak lima belas tahun yang lalu. Mereka dipilih langsung oleh sang raja yang saat itu masih berusia sangat muda, namun memiliki kejelian dalam memilih orang-orang yang menurutnya pantas menduduki posisi penting dalam kantor tersebut.

Dan memang, sepanjang pengetahuannya sepak terjang Kantor Investigasi cukup mengerikan. Meski terkesan lambat, namun mereka berhasil mengungkapkan sejumlah kebenaran mengenai kasus-kasus yang terjadi di masa pemerintahan raja-raja sebelumnya. Salah satu prestasi besar yang berhasil ditorehkan Kantor Investigasi dalam catatan sejarah Dinasti Joseon ialah keberhasilan mereka mengembalikan nama baik Selir Istana Jeong Geum-yi yang merupakan salah seorang selir dari ayah Raja Sukjong yang difitnah telah menjalin hubungan terlarang dengan salah seorang prajurit rendahan. Akibat fitnah tersebut, sang selir yang pada saat itu ternyata sedang berbadan dua mendapat hukuman buang ke daerah pengasingan, hingga akhirnya meninggal dunia ketika melahirkan putranya yang tak lain ialah Pangeran Besar Yi An So. Selain membersihkan nama sang selir dalam catatan sejarah, Raja Sukjong juga memboyong sang adik ke istana dan memberinya gelar Pangeran Besar. Pemberian gelar Pangeran Besar untuk adik tiri dari Raja Sukjong itu sendiri merupakan salah satu bentuk permohonan maaf dari ayah kandung Putera Mahkota Changmin itu atas sikap raja sebelumnya yang tak lain ialah ayah kandungnya sendiri, yang menurutnya begitu mudah termakan fitnah.

Akan tetapi, tidak sedikit rakyat yang berpendapat bahwa pencapaian terbesar Kantor Investigasi ialah ketika Raja Sukjong berhasil mengembalikan sekaligus memulihkan nama anumerta bagi Putera Mahkota Ui'an dan Pangeran Mu'an yang tewas terbunuh pada usia enam belas dan tujuh belas tahun di depan Gerbang Yeongchumun di Istana Gyeongbok pada pemerintahan raja yang memerintah jauh sebelum ayah Raja Sukjong, tepat enam tahun setelah ia memegang Kantor Investigasi. Kedua pangeran yang merupakan putera dari Raja Taejo dengan Ratu Sindeok itu tewas mengenaskan di tangan saudara satu ayah mereka sendiri yang memang haus kekuasaan pada peristiwa yang dikenal sebagai Perselisihan Pertama Para Pangeran.

Sedangkan mengenai Kepala Pengawal Kim sendiri, baru beberapa waktu yang lalu kedudukannya sebagai salah satu petugas Kantor Investigasi diketahui oleh sebagian besar kalangan istana, karena Yang Mulia Raja sendiri yang mengumumkannya pada suatu jamuan makan malam. Dan sampai saat ini, Putera Mahkota sendiri masih bertanya-tanya dalam hati, apa maksud sang ayah mengumumkan hal itu? Bukankah mengungkapkan keberadaan Kepala Pengawal Kim sebagai salah satu petugas kantor khusus itu bisa membahayakan nyawa dari sang kepala pengawal itu sendiri? Akan tetapi, mengingat kemampuan beladiri dari sang kepala pengawal yang juga merupakan salah seorang ahli pedang terbaik di Semenanjung Korea, sang putera mahkota sedikit banyak mulai memahami jalan pikiran sang ayah. Menurut dugaannya, besar kemungkinan sang ayah mulai menangkap gelagat-gelagat tertentu dari pihak-pihak yang kemungkinan mulai ingin menggoyang kekuasaannya. Sehingga tidak mengherankan jika sang ayah memberikan pesan tersirat kepada mereka, bahwa siapa pun yang bermaksud melakukan makar kepada raja, akan berhadapan langsung dengan Kantor Investigasi.

"Lalu apa rencana Anda selanjutnya, Yang Mulia Permaisuri?"

"Menteri Sung, hal paling utama yang menyita perhatianku adalah melenyapkan Selir Hwan untuk selamanya. Dengan cara apa dan bagaimana aku melakukannya, itu bukanlah urusanmu. Tugasmu hanya memastikan dimana anak itu akan berlatih memanah, sisanya serahkan semuanya padaku."

"Saya percaya sepenuhnya pada Anda, Yang Mulia Permaisuri. Anda pasti bisa melakukannya dengan bersih."

"Tentu saja. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Kita tidak bisa melakukannya secara mencolok, karena itu akan membuat kita berdepan dengan kesulitan besar. Terlebih jika Kantor Investigasi sudah turut campur tangan. Ah…, sudahlah. Sebaiknya kau segera pergi, Menteri Sung. Aku juga ingin menemui Abeoji. Ada hal yang sangat penting yang ingin kubicarakan dengannya. Dan ingat, usahakan agar tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa kau pernah menemuiku. Aku tidak ingin jika sampai ada berita yang tidak-tidak di luar sana, yang dapat menghancurkan citra baikku selama ini."

Putera Mahkota Changmin menghembuskan napas lega ketika mengetahui sang ibu akan kembali meninggalkan ruangan kediaman pribadinya itu. Beberapa saat kemudian, terdengar langkah-langkah kaki yang bergerak meninggalkan ruangan itu. Setelah memastikan bahwa suara-suara langkah kaki itu tidak lagi terdengar, dan sebelum dua orang dayang kepercayaan sang ibu datang untuk menyiapkan air mandi untuk sang permaisuri, remaja berusia lima belas tahun itu bergegas keluar dari persembunyiannya. Sejurus kemudian, remaja tampan itu terlihat menggerak-gerakkan tubuhnya, melakukan peregangan untuk mengurangi rasa kaku akibat terlalu lama bersembunyi di kolong tempat tidur yang tidak terlalu tinggi. Ia lalu melangkah cepat menuju pintu, dan dengan sangat hati-hati menggeser pintu, kemudian menyelinap keluar.

Remaja pewaris tahta Kerajaan Joseon itu cepat-cepat menyembunyikan tubuhnya di balik batang pohon sansuyu yang sebelumnya ia gunakan untuk mengintai keadaan di kediaman pribadi sang ibu, ketika dari arah depan, satu regu prajurit penjaga terlihat berjalan ke arahnya. Para prajurit yang merupakan regu penjaga kedua itu berjalan terus hingga melewati pohon sansuyu yang batangnya cukup besar untuk menyembunyikan tubuh sang putera mahkota, lalu menghilang di koridor panjang yang menghubungkan kediaman pribadi sang permaisuri dengan Balai Hujeong. Setelah bayangan para prajurit itu menghilang dari pandangan, Putera Mahkota Changmin segera keluar dari balik pohon dan berjalan cepat menuju bagian belakang kediaman pribadi sang ibu, melewati jalan setapak di bagian kiri bangunan yang atapnya tidak diwarnai itu. Remaja berusia lima belas tahun itu merasa sangat beruntung karena jarang sekali ada prajurit penjaga yang melakukan penjagaan hingga ke bagian belakang kediaman pribadi sang permaisuri yang terdiri dari taman kecil dan sebuah paviliun yang jarang dikunjungi. Sang putera mahkota yang mewarisi ketampanan sang ayah itu berhenti sejenak di dekat taman kecil yang dipenuhi bunga canola yang bermekaran. Senyumannya terkembang, namun sesaat kemudian menghilang ketika teringat kembali dengan kenyataan pahit yang harus diterimanya tentang sosok perempuan yang sangat dihormatinya. Wajahnya mendadak murung. Untuk sesaat ia hanya berdiri mematung, menatap barisan bunga canola dengan tatapan kosong. Akan tetapi, ketika disadarinya kalau hari sudah semakin senja, ia segera mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu.

ooo000ooo

Kediaman pribadi Selir Hwan, dua hari kemudian.

Jaejoong yang terlihat mempesona dalam balutan dangui dan seuran chima berwarna hijau pucuk daun dengan rambut tersanggul rapi terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya saat membaca lembaran naskah dari buku yang dipinjaminya dari Perpustakaan Kerajaan. Ia lalu membandingkan buku itu dengan buku-buku lain dari Departemen Perpajakan serta Kantor Catatan yang dipinjamnya melalui Selir Suk. Selir terkasih raja yang masih berusia lima belas tahun itu memerhatikan dengan seksama huruf demi huruf yang tertulis dalam lembaran-lembaran naskah itu. Sesekali, terlihat kerutan keningnya saat menemukan keterangan yang berbeda antara naskah yang satu dengan naskah yang lain. Tak jarang pula ia mengetuk-ngetuk meja kecil berkaki rendah di hadapannya. Bahkan terkadang, remaja berparas rupawan itu bergumam tidak jelas sambil menulis beberapa catatan kecil berupa kesimpulan yang ia dapatkan dari buku-buku yang ia pelajari, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada naskah-naskah tebal yang sedang ia baca.

"Dalam naskah ini tertulis, bahwa Park Hyun Jin, putera bungsu salah satu petinggi militer pernah bertunangan dengan Choi Soo Hoon yang merupakan putera kedua Kepala Departemen Ritus. Akan tetapi, dikarenakan perintah eksekusi yang akhirnya memusnahkan seluruh keluarga Park, Choi Soo Hoon kemudian menikah dengan puteri pertama Menteri Kehakiman yang bernama Han Hye Ri. Hemmm, cukup banyak ternyata catatan yang menuliskan tentang putera-putera pejabat yang sebelumnya memiliki ikatan pertunangan dengan namja-namja yang merupakan anggota keluarga Park, namun pada akhirnya menikah dengan anak gadis dari petinggi dan pembesar kerajaan yang lain. Mungkin jika Joongie menelusuri catatan ini lebih lanjut, ada benang merah yang bisa ditemukan atau ada semacam pola berbentuk jaring laba-laba yang saling terkait yang bisa menuntun Joongie untuk menguak keterlibatan orang-orang yang berada dalam catatan ini dengan kasus pemusnahan keluarga Park."

Jaejoong terlihat mengerucutkan bibir merahnya yang tipis dan mungil sambil menyangga dagunya dengan tangan kanan, sedang sikunya bertumpu di atas meja rendah di depannya. Sementara tangan kirinya membolak-balik lembaran naskah yang kini sudah berpindah ke atas meja.

"Tunggu dulu…, apa hubungan antara pimpinan Kantor Inspektur Jenderal, Departemen Pertahanan, serta Departemen Kehakiman dalam peristiwa pemusnahan keluarga Park? Nama mereka saling terkait dalam catatan-catatan yang ditulis pada tahun yang sama. Mungkinkah selain Perdana Menteri Go, mereka adalah orang-orang yang juga terlibat dalam peristiwa pemusnahan keluarga Joongie? Di surat yang Eomma tulis, Perdana Menteri Go bekerjasama dengan antek-anteknya. Mereka inikah yang Eomma maksud? Kalau dipikir kembali, mereka yang menduduki posisi tertinggi di lembaga pemerintahan itu mempunyai akses yang begitu luas, sehingga jika mereka turut andil menjadi dalang yang memfitnah keluarga Park, maka hal tersebut memiliki kemungkinan yang sangat berdasar. Salah satu kesamaan yang dimiliki oleh ketiga pimpinan tertinggi lembaga pemerintahan itu adalah mereka sama-sama memiliki anak perempuan yang pada akhirnya menikah dengan putera-putera pembesar kerajaan yang sebelumnya memiliki ikatan dengan namja dari keluarga Park. Bukankah hal ini terlalu aneh jika disebut kebetulan…?"

Remaja yang merupakan selir terkasih Raja Sukjong itu mengetuk-ngetuk jari telunjuknya yang berkuku indah pada ujung dagunya. Benaknya mulai merangkai bermacam kemungkinan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya di masa lalu yang menurutnya memiliki kaitan erat dengan peristiwa mengerikan yang dialaminya seluruh keluarganya.

"Hemmm…, pada saat peristiwa itu terjadi lima belas tahun yang lalu, Yang Mulia Raja masih menjadi seorang Putera Mahkota. Seperti apa rupa beliau saat itu? Apakah sudah setampan sekarang? Eh, igeo mwoya[52]…? Apa yang barusan Joongie katakan? Aish, memalukan sekali. Bisa-bisanya Joongie malah memikirkan Yang Mulia Raja di saat Joongie seharusnya memikirkan cara yang akan Joongie pakai untuk mengungkap keterlibatan orang-orang yang Joongie curigai memiliki andil besar dalam peristiwa pemusnahan keluarga Park. Ugh…!" remaja cantik itu terlihat menepuk keningnya yang terbungkus kulit seputih susu dengan cukup keras, kemudian menggeleng beberapa kali, seakan ingin mengusir bayangan wajah tampan sang suami yang menari-nari di benaknya. Wajahnya sempat memerah sesaat ketika mengingat kembali pikiran nakal yang sempat berkelebat dalam pikirannya. Ia kemudian menegakkan punggung dan mengatur jalan pernapasannya, lalu meraih kembali naskah-naskah yang tadi diletakkannya di atas meja dan kembali memusatkan perhatiannya pada lembar-lembar yang sedang dibaca dan dipelajarinya.

Selir termuda Kerajaan Joseon itu sepertinya begitu larut dalam barisan aksara yang menjalin berbagai peristiwa yang sedang ia pelajari di ruang tengah kamar tidurnya, hingga tidak menyadari langkah-langkah kaki yang berasal dari Dayang Kwan yang merupakan salah seorang dayang kepercayaannya, yang berjalan pelan menghampirinya.

"Selir Hwan…,"

Jaejoong melepaskan pandangannya dari naskah-naskah yang sedang ia teliti, kemudian mendongakkan kepala ketika mendengar Dayang Kwan memanggil namanya dengan nada ragu. Diletakkannya naskah-naskah itu di atas tumpukan buku-buku yang lain, lalu menghadiahkan sebuah senyuman manis kepada sang dayang yang sedikit membungkukkan tubuhnya, memberi hormat.

"Ada apa, Dayang Kwan? Katakan saja, tidak usah ragu-ragu seperti itu," ujar Jaejoong dengan lembut.

"Maafkan saya yang telah mengganggu Anda, Selir Hwan. Hanya saja, Yang Mulia Ibu Suri ingin menemui Anda. Beliau saat ini sedang menunggu di ruang baca," jawab Dayang Kwan dengan sikap begitu hormat.

Mendengar nama ibu kandung dari suaminya terlontar dari bibir salah seorang dayang kepercayaannya, mata indah berbulu mata lentik milik sang selir terkasih raja itu seketika membulat sempurna. Terlebih, setelah mengetahui bahwa perempuan setengah baya itu berniat untuk bertemu dengannya. Selama ia menjadi selir Raja Sukjong, baru kali inilah Yang Mulia Ibu Suri mengunjungi kediamannya. Sehingga sangat wajar jika ia begitu terkejut dengan berita yang dibawa oleh Dayang Kwan itu.

"Yang Mulia Ibu Suri…?" ulang remaja berusia lima belas tahun itu dengan nada pelan, nyaris menyerupai sebuah bisikan.

"Benar, Selir Hwan."

"Kira-kira ada apa ya, sampai Yang Mulia Ibu Suri ingin bertemu dengan Joongie? Apa beliau menyampaikan maksud dan tujuannya padamu, Dayang Kwan?"

"Sama sekali tidak, Selir Hwan. Yang Mulia Ibu Suri hanya mengatakan bahwa beliau ingin bertemu Anda, tanpa menjelaskan lebih jauh maksud kedatangannya."

"Hemmm…, baiklah! Kalau begitu Joongie akan segera menemui Yang Mulia Ibu Suri di ruang baca. Dayang Kwan, sebaiknya kau membantu Dayang Choi menyediakan beberapa penganan kecil untuk beliau. Joongie akan segera ke sana setelah membereskan buku-buku Joongie di sini."

Tanpa mendengarkan jawaban lebih lanjut dari Dayang Kwan, Jaejoong segera menyusun dengan rapi naskah-naskah yang sejak tadi dipelajarinya bersama beberapa buah buku yang lain, lalu menyimpannya dengan hati-hati di dalam laci terbawah dari lemari kayu setinggi lutut yang terdapat di samping kirinya. Ia kemudian berdiri, dan mematut wajahnya sebentar di depan cermin yang tergantung di atas meja riasnya, untuk memastikan penampilan dan tatanan rambutnya, lalu bergegas mengikuti Dayang Kwan yang sudah meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Dadanya berdebar keras seiring ayunan langkah kakinya menuju ruang baca yang terletak di sebelah kiri ruang tidurnya.

Semakin dekat langkahnya dengan ruang baca, semakin kencang debaran yang Jaejoong rasakan di dadanya. Terlebih, ketika ia berhadapan langsung dengan Yang Mulia Ibu Suri yang saat itu sedang begitu serius memerhatikan hasil sulamannya yang masih setengah jadi. Remaja berusia lima belas tahun itu sedikit berdehem untuk memberitahukan kedatangannya. Dan ia segera membungkukkan tubuhnya ketika Yang Mulia Ibu Suri yang mengenakan dangui dan seuran chima berwarna kuning dengan simbol negara berupa naga emas di bagian dada mengangkat wajah, dan menghadiahkannya sebentuk senyuman manis yang sedikit banyak mampu meredam debaran di jantungnya. Perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik itu mengangguk kecil ketika selir terkasih puteranya itu berjalan menghampirinya dalam langkah-langkah pendek.

"Yang Mulia Ibu Suri…. Sungguh suatu kehormatan besar bagi Joongie karena Anda datang berkunjung. Maafkan Joongie yang hanya bisa memberikan penyambutan seadanya…," sapa Jaejoong ketika jarak mereka hanya tinggal selangkah. Setelah berkata seperti itu, ia terlihat menundukkan kepalanya, menekuri lantai di ujung chima yang membungkus kakinya.

"Ah, Selir Hwan, angkat wajahmu dan tidak usah merasa bersalah seperti itu. Aku yang sengaja datang tanpa pemberitahuan sebelumnya, jadi kau tidak perlu meminta maaf untuk kesalahan yang sama sekali tidak kau lakukan. Sudahlah, tidak usah sungkan seperti itu. Ayo, temani wanita tua ini duduk dan berbincang-bincang untuk menghabiskan petang," jawab Yang Mulia Ibu Suri dengan ramah sambil mendudukkan dirinya di tengah ruang baca yang berukuran tidak terlalu luas itu, memunggungi sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding ruangan. Pembidangan yang menyangga sehelai kain yang memperlihatkan pola sulaman yang masih belum selesai diletakkannya kembali di tempat semula, yakni ke dalam sebuah keranjang dari rotan yang berisikan beberapa gulungan benang beraneka warna serta pembidangan-pembidangan yang sudah dialasi kain yang siap untuk disulam.

Keramahan yang ditunjukkan oleh ibu kandung dari suaminya itu membuat Jaejoong cukup terkejut, sekaligus senang. Karena itulah tanpa menunggu perintah dua kali, ia segera mendudukkan dirinya di hadapan Yang Mulia Ibu Suri. Sebuah meja hitam berkaki rendah dengan permukaan berkilat yang di atasnya terdapat tatakan keramik dengan hiasan bunga krisan berisi buah-buahan segar menjadi pembatas di antara keduanya.

"Sejak tadi aku sudah melihat-lihat hasil sulamanmu yang masih setengah jadi. Kau mengerjakannya dengan begitu rapid an teliti. Aku tidak tahu kalau kau juga memiliki kemampuan dalam hal menyulam, Selir Hwan. Kau memang seorang remaja yang memiliki begitu banyak bakat terpendam. Pantas saja puteraku begitu tergila-gila padamu, eoh?" ada nada bercanda di ujung kalimat Yang Mulia Permaisuri, yang tak urung membuat rona merah menyemburat di pipi Jaejoong.

"Baru tiga pekan Joongie belajar menyulam dengan Selir Suk untuk mengisi waktu luang, Yang Mulia Ibu Suri. Jadi hasilnya masih sangat jauh dari kata bagus. Joongie masih harus banyak belajar," sahut Jaejoong sambil mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk. Yang Mulia Ibu Suri yang untuk pertama kalinya melihat wajah rupawan sang selir dari jarak yang sangat dekat diam-diam semakin mengagumi kecantikan alami yang dimiliki Jaejoong. Remaja berusia lima belas tahun itu memang memiliki paras yang luar biasa cantik, bahkan melebihi kecantikan seorang yeoja dengan sepasang bola mata bulat besar yang begitu jernih tak ubahnya air gunung. Hidungnya mancung mencuat. Bibirnya yang tanpa polesan pewarna bibir terlihat merah merekah. Kecantikan ragawinya bahkan disempurnakan oleh kulit seputih susu yang membalut seluruh tubuhnya. Sungguh tidak heran jika remaja yang menjadi selir termuda Kerajaan Joseon itu mampu membuat puteranya bertekuk lutut dan jatuh begitu dalam pada segala pesonanya yang memang sukar untuk ditampik.

"Mata tuaku ini tidak bisa ditipu, Selir Hwan. Aku tahu mana hasil sulaman yang bagus, dan mana yang tidak. Hanya dengan sekali lihat, aku bisa memastikan kalau hasil sulamanmu nanti pasti akan sangat indah. Seindah dirimu," puji Yang Mulia Ibu Suri dengan tulus.

"Yang Mulia Ibu Suri terlalu memuji. Joongie jadi sungguh malu," ucap Jaejoong yang kembali menundukkan wajahnya tanpa mampu menyembunyikan rona merah yang menjalar di kedua pipinya. Kedua tangannya yang terhalang dari pandangan Yang Mulia Ibu Suri terlihat saling meremas, untuk mengurangi perasaan malu yang menderanya. Tingkah lakunya itu membuat perempuan setengah baya yang menghias sanggulnya dengan tusuk konde berbentuk burung phoenix di hadapannya menggeleng pelan sambil mengulum senyum.

"Ah iya, kudengar Dayang Istana Han meminta ijin secara khusus kepada Yang Mulia Raja agar mengijinkanmu untuk menjadi salah satu juri dalam kompetisi memasak tahunan untuk para calon dayang utama di Dapur Istana. Apakah itu benar, Selir Hwan?" tanya Yang Mulia Ibu Suri, mengalihkan pembicaraan mereka agar remaja berparas rupawan itu tidak berlarut-larut dengan perasaan malu yang menyambanginya. Jaejoong menganggukkan kepalanya, membenarkan pertanyaan perempuan setengah baya itu, lalu perlahan-lahan kembali mengangkat wajahnya.

"Itu benar, Yang Mulia Ibu Suri. Dua hari yag lalu, Yang Mulia Raja sendiri yang menyampaikannya pada Joongie sekaligus memberikan persetujuannya. Akan tetapi, Yang Mulia Raja hanya mengijinkan Joongie untuk menjadi juri pada hari terakhir kompetisi yang merupakan hari penentuan untuk menetapkan siapa saja yang berhak menjadi dayang utama, sekaligus menentukan siapa pemenang utamanya."

Jaejoong menjelaskannya dengan nada suara yang begitu lembut dan penuh kesopanan, sehingga membuat Yang Mulia Ibu Suri begitu terkesan.

"Mengapa bisa begitu? Bukankah kompetisi memasak tahunan berlangsung selama satu pekan? Tidakkah seharusnya kau ikut memberikan penilaian sejak hari pertama kompetisi dimulai, Selir Hwan?"

"Seharusnya memang seperti itu, Yang Mulia Ibu Suri. Hanya saja, Yang Mulia Raja mengatakan bahwa beliau tidak ingin Joongie terlalu lelah dengan urusan-urusan yang sebenarnya bukan merupakan tugas utama Joongie. Karena itulah Yang Mulia Raja hanya memberikan ijin kepada Joongie untuk menjadi juri di hari terakhir. Lagipula, pengetahuan Joongie di bidang memasak tidaklah seberapa, sehingga keikutsertaan Joongie menjadi salah satu penilai sebenarnya tidaklah berarti banyak. Keberadaan dayang-dayang utama senior di Dapur Istana yang kemampuan memasaknya tidak perlu diragukan lagi sebenarnya sudah cukup untuk menentukan siapa saja yang berhak menjadi dayang utama dalam kompetisi memasak kali ini, Yang Mulia Ibu Suri."

"Kau terlalu merendah, Nak…."

"Joongie tidak bermaksud merendah, Yang Mulia Ibu Suri. Joongie hanya sadar diri sejauh mana batas kemampuan Joongie."

"Tidak banyak orang sepertimu, Selir Hwan. Kehidupan benar-benar menempamu menjadi pribadi yang memiliki kedewasaan dalam berpikir, bersikap, juga bertindak melebihi remaja-remaja lain seusiamu. Kebanyakan orang selalu membanggakan diri sendiri, meski kemampuan yang mereka miliki hanyalah seujung kuku. Tapi kau berbeda. Pada akhirnya aku mengerti mengapa puteraku begitu mencintaimu. Hanya saja, satu hal yang membuatku tak habis pikir adalah alasan yang diberikan oleh suamimu mengenai penunjukanmu sebagai juri. Hah…, anak itu terlalu pintar mencari alasan. Seharusnya ia katakan saja terus terang bahwa alasan utamanya memberimu ijin menjadi juri di hari terakhir karena dia tidak ingin kau kelelahan saat melayaninya di atas ranjang. Anak dan ayah sama saja!" rutuk Yang Mulia Permaisuri sambil menggelengkan kepalanya. Perempuan setengah baya itu memelankan suaranya pada kalimat terakhir yang diucapkannya, sehingga Jaejoong yang saat itu duduk di depannya dengan wajah memerah hanya bisa mengerutkan kening, tak mendengar dengan jelas perkataannya yang mirip gumaman kecil itu.

Perempuan yang masih terlihat cantik di usianya yang telah mencapai kepala lima itu kemudian mengambil sebuah bungkusan kecil yang terbungkus sehelai kain putih dan meletakkannya ke atas meja berkaki rendah yang menjadi pembatas di antara mereka setelah lebih dahulu menggeser tatakan berisi buah-buahan ke sisi kiri meja, lalu mengulurkan bungkusan itu ke depan Jaejoong. Remaja berparas rupawan yang tidak menyadari sejak kapan bungkusan itu ada di sisi kiri meja, mengangkat wajahnya dan menatap Yang Mulia Ibu Suri dengan penuh tanda tanya.

"Apa ini, Yang Mulia Ibu Suri?"

"Bukalah…!" perintah Yang Mulia Ibu Suri dengan nada lembut disertai senyuman lebar. Ia lalu menganggukkan kepala ketika melihat tangan Jaejoong terulur meraih bungkusan itu, dan perlahan-lahan membuka kain putih yang membungkusnya.

Kening Jaejoong berkerut semakin dalam ketika bungkusan itu akhirnya terbuka. Di atas sehelai kain putih yang semula menjadi pembungkus itu, terdapat sebuah cawan putih berisikan cairan merah yang sedikit kental, seperti darah. Berbekal pengetahuannya di bidang ramuan dan pengobatan, Jaejoong bisa memastikan bahwa cairan di dalam cawan itu tidak mengandung sejenis racun. Namun tetap saja rasa penasaran menderanya. Dan rasa ingin tahu jelas tergambar di paras rupawan Jaejoong ketika ia kembali mengangkat wajahnya, dan memandangi wajah Yang Mulia Ibu Suri yang masih terbalut senyum.

"Kau tahu, Selir Hwan, setiap laki-laki dari garis keturunan keluarga Yi sudah sejak lama dikenal sebagai pria yang sangat perkasa di atas ranjang. Karena itu, tidak heran selain memiliki seorang istri sah, mereka juga memiliki beberapa selir untuk menyalurkan hasrat kelelakian mereka yang begitu besar. Dan rahasia mengapa mereka begitu perkasa, ada pada cairan di dalam cawan ini," Yang Mulia Ibu Suri menghentikan sejenak ucapannya yang terdengar begitu blak-blakan, dan memerhatikan wajah Jaejoong yang kembali memerah mendengar perkataannya. "Cawan ini berisikan darah yang berasal dari tanduk rusa betina yang baru saja diburu. Meminum darah dari tanduk rusa memang sudah sejak lama diketahui khasiatnya sebagai penambah stamina untuk para lelaki agar perkasa di atas ranjang. Karena itulah kau tidak perlu heran jika suamimu tidak hanya cukup sekali dalam pelayaran mengarungi samudera birahi bersamamu, Selir Hwan. Aku mengenal puteraku dengan sangat baik, jadi kau tidak usah merasa malu atau segan. Justru aku memberitahukanmu rahasia ini, agar kau bisa mengimbangi keperkasaannya di atas ranjang."

Jaejoong yang wajahnya sudah merah padam sungguh berharap di dalam hati agar lantai di depannya terbelah sehingga ia bisa menyembunyikan diri di sana. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Yang Mulia Ibu Suri dengan nada tenang justru membuatnya merasakan sebuah perasaan malu yang luar biasa, meski ia tahu pasti bahwa Yang Mulia Ibu Suri sama sekali tak berniat untuk mempermalukannya. Bahkan perempuan setengah baya itu begitu berbaik hati memberitahukan rahasia tentang keperkasaan suaminya. Namun tetap saja, Jaejoong adalah seorang remaja yang masih merasa sangat tabu untuk membicarakan hal-hal seputar ranjangnya dengan orang lain, terlebih orang lain itu adalah ibu kandung dari suaminya sendiri. Hingga akhirnya ia hanya bisa menunduk malu sambil menggigit bibir bagian bawahnya.

"Minumlah! Kau membutuhkannya untuk melayani hasrat kelelakian suamimu. Aku sudah menambahkan beberapa tetes arak di dalamnya, agar rasanya tidak akan membuatmu terlalu mual."

Yang Mulia Permaisuri mengangkat cawan putih yang terisi setengah itu, kemudian memberikannya pada Jaejoong yang menerimanya dengan sedikit ragu. Namun, melihat kesungguhan di sorot mata perempuan setengah baya itu, Jaejoong memantapkan hati dan segera menghabiskan isi cawan itu dengan sekali tenggak. Ia lalu buru-buru meletakkan cawan yang telah kosong di atas meja, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Berusaha menghilangkan rasa mual yang mendadak menderanya dan membuat perutnya bergolak.

"Tidak apa-apa. Rasa mualnya tidak akan bertahan lama. Mulai saat ini kau harus membiasakan diri untuk meminum darah dari tanduk rusa betina setiap purnama baru tiba. Selain untuk meningkatkan stamina dalam bercinta, cairan ini juga bisa meningkatkan kekebalan tubuh. Hanya saja, khasiat dari cairan ini hanya berlaku untuk kaum lelaki. Apabila yang meminumnya adalah kaum wanita, maka mereka tidak akan merasakan khasiat apa-apa," ujar Yang Mulia Ibu Suri.

Ucapan Yang Mulia Ibu Suri memang terbukti. Rasa mual yang sempat menyerang Jaejoong akhirnya tidak lagi dirasakannya. Kedua insan berbeda usia itu kemudian terlibat perbincangan dengan topik yang beragam, dari hal yang ringan-ringan, hingga ke topik yang cukup berat seperti pandangan Jaejoong mengenai pemerintahan. Jaejoong yang pada mulanya terlihat begitu pemalu dan pendiam, dan baru mengeluarkan suara dan pendapatnya setelah Yang Mulia Ibu Suri mengajukan pertanyaan, pada akhirnya terlihat lebih tenang dan mulai banyak bicara, menimpali ucapan-ucapan yang terlontar dari bibir ibu kandung suaminya itu, atau pun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan perempuan setengah baya tersebut. Bahkan tak jarang ia yang terlebih dahulu melontarkan pertanyaan kepada perempuan itu, yang terkadang dijawab asal oleh Yang Mulia Ibu Suri sehingga menghadirkan kikikan kecil saling sahut dari ruang baca itu. Pembicaraan mereka hanya terhenti sejenak ketika kedua dayang kepercayaan Jaejoong menghidangkan beberapa minuman dan makanan kecil yang terlihat menggoda selera, lalu kembali berlanjut ketika kedua dayang itu kembali menghilang untuk melakukan tugas mereka yang lain. Yang Mulia Ibu Suri tampak senang karena remaja cantik di hadapannya itu tidak lagi terlihat sungkan seperti di awal pertemuan. Namun, tetap saja selir terkasih puteranya itu akan menunduk malu dengan wajah bersemu merah jika pembicaraan mereka sudah menyerempet seputar ranjang. Dan memang, sepertinya perempuan setengah baya itu mendapatkan kepuasan tersendiri jika berhasil membuat selir terkasih putera tunggalnya itu merona, sehingga ia sering sekali memancingnya dengan ucapan-ucapan bernada menggoda.

"Apa yang Ibunda lakukan pada Joongie-ku sampai-sampai wajahnya memerah seperti itu, hemmm?"

Sepertinya kedua insan berbeda usia itu terlalu larut dalam pembicaraan mereka selayaknya dua orang sahabat lama yang saling bertukar cerita setelah sekian lama tidak berjumpa, sehingga tidak menyadari kehadiran pihak ketiga yang tak lain ialah Yang Mulia Raja Sukjong sendiri. Sontak keduanya menghentikan pembicaraan dan serentak menoleh ke arah sang raja berwajah tampan itu, kemudian bergegas bangkit berdiri, menyambut kedatangan sang raja yang melangkah pelan mendekati keduanya.

"Salam sejahtera, Yang Mulia…," Jaejoong terlebih dahulu mengeluarkan suara, memberikan salam untuk suaminya sambil membungkukkan tubuh, memberi hormat. Alih-alih membalas salam sang selir terkasihnya, sang raja justru meraih pinggang ramping remaja berusia lima belas tahun itu, menariknya ke dalam pelukan, kemudian mendaratkan sebuah ciuman singkat pada keningnya. Membuat Jaejoong tak kuasa menahan rona merah yang kembali menghiasi wajah rupawannya, hingga akhirnya ia pun menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah di dada bidang sang raja dengan kedua tangan melingkar manja di pinggang Raja Joseon itu. Sebentuk perasaan hangat merambat perlahan dan menyusup ke setiap jengkal pembuluh darah dalam tubuhnya. Namun, Jaejoong berusaha untuk tidak mengindahkan perasaan hangat yang terasa ganjil itu.

"Ibunda…, salam sejahtera untukmu. Aku berharap Ibunda senantiasa dalam keadaan sehat," sapa sang raja kepada ibu kandungnya itu, tanpa sedikit pun melepaskan dekapannya pada tubuh selir terkasihnya.

"Terima kasih, Anakku. Aku juga berharap agar kau selalu diberikan kesehatan sehingga bisa memimpin kerajaan ini dengan baik. Ah, maafkan aku, bukannya aku tidak senang dengan kedatanganmu. Hanya saja, kalau boleh tahu, mengapa kau datang di saat yang tidak tepat, hemmm…? Aku sedang terlibat perbincangan seru dengan Selir Hwan sebelum kedatanganmu."

"Benarkah…? Apa sebegitu seru sehingga wajah Joongie-ku tak hentinya memerah? Aku jadi curiga dengan perbincangan seru yang Ibunda maksudkan," goda sang raja pada perempuan setengah baya yang telah melahirkannya itu. Membuat sang ibu hanya bisa menggeleng kecil melihat kelakuan putera satu-satunya itu.

"Kau tidak perlu tahu. Ah, sudahlah. Kau pasti tidak senang kalau wanita tua ini berlama-lama bersama selir terkasihmu. Huh, padahal aku masih ingin berbincang-bincang dengan Selir Hwan. Kau ini mengganggu saja!" rutuk Yang Mulia Ibu Suri, berpura-pura kesal. Sementara Yang Mulia Raja Sukjong hanya terkekeh pelan melihat sang ibu berpura-pura merajuk seperti anak kecil yang kehilangan kembang gula.

"Ha ha ha, Ibunda, sepertinya kau terlalu asyik menggoda Joongie sehingga tidak menyadari kalau aku sudah cukup lama berdiri di depan pintu sehingga hampir sebagian besar pembicaraan kalian telah kudengar. Sejauh pengamatanku, kau senang sekali memancingnya agar mau berbicara mengenai masalah ranjang. Jangan-jangan, Ibunda juga melakukan hal serupa ketika berbincang dengan Putera Mahkota?"

"Kalau kau memang sudah tahu, lantas mengapa masih saja bertanya? Kau berniat mempermalukan ibumu sendiri di depan selir terkasihmu, begitu? Kau pikir aku tidak berani menjewer telingamu atau memukul bokongmu hanya karena saat ini kau adalah seorang raja, heh…? Asal kau tahu saja, aku senang menggoda Selir Hwan karena aku sangat menyukai ekspresi wajahnya saat ia sedang merona. Terlihat sangat menggemaskan, membuatku ingin sekali menarik kedua pipinya. Dan ekspresi serupa tak akan pernah kudapatkan dari Putera Mahkota Changmin, cucu lelakiku satu-satunya itu. Alih-alih merona, puteramu itu akan berbinar-binar ceria dan sangat antusias jika diajak berbicara mengenai hal itu. Anak itu memang mewarisi kemesumanmu!" Jaejoong yang masih berada dalam dekapan suaminya terkikik kecil, dan cepat-cepat menutup mulutnya dengan punggung tangan kirinya ketika Yang Mulia Ibu Suri berbalik mengomeli puteranya yang sejak tadi tak henti menggoda sang ibu. Sedangkan sang raja yang memang sangat mengenal sifat sang ibu hanya terkekeh saja sambil mengusap pelan punggung selir terkasihnya dengan sebelah tangan.

"Yang Mulia Ibu Suri hendak kemana…?" tanya Jaejoong setelah berhasil menguasai tawanya, ketika dilihatnya perempuan setengah baya itu mulai mengayunkan langkah, mendekati pintu ruang baca. Wajah remaja berusia lima belas tahun itu terlihat sedikit memerah, namun warna itu muncul di parasnya bukan disebabkan oleh perasaan malu yang menderanya, melainkan karena sebentuk rasa lain yang begitu asing yang kembali menyergapnya.

Yang Mulia Ibu Suri menghentikan ayunan langkah kakinya yang hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk mencapai pintu ruang baca, lalu memutar tubuhnya menghadap Jaejoong yang masih berada dalam dekapan Raja Sukjong.

"Tentu saja aku akan kembali ke kediamanku, Selir Hwan. Suamimu itu pasti memiliki bermacam rencana di dalam otak kecilnya, dan aku sangat yakin kalau hal itu tidak melibatkanku. Ah, kau tenang saja, Nak. Aku akan sering-sering mengunjungimu."

Perempuan setengah baya itu kemudian berjalan mendekati Jaejoong, dan membisikkan sesuatu di telinganya yang tak urung membuat remaja berusia lima belas tahun itu lagi-lagi merona. Yang Mulia Ibu Suri terkikik kecil melihat tingkah selir terkasih puteranya itu, lalu tanpa berkata apa-apa, kembali membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu dengan senyuman lebar terukir di wajahnya.

"Memangnya apa yang Ibunda bisikkan di telingamu hingga wajahmu kembali bersemu merah seperti ini, Sayang?" tanya sang raja sepeninggal ibunya, sambil mengangkat dagu sang selir, hingga pandangan mata mereka bertemu di satu titik. Jaejoong menggelengkan kepalanya dengan gerakan lambat sambil menggigit bibir bagian bawahnya, lalu kembali menyurukkan wajahnya dalam dekapan sang suami yang terasa begitu hangat.

"Joongie tidak mau mengatakannya. Joongie malu, Yang Mulia…," jawab Jaejoong dengan nada manja. Kepalanya yang membuat gerakan berupa gelengan pelan di dada sang suami tak ubah kelakuan seekor anak kucing yang menyorongkan kepalanya untuk dibelai oleh sang pemilik. Rasa hangat yang ganjil yang sempat dirasakannya kembali menjalar, dan akhirnya menyebar dengan cepat ke seluruh pembuluh darah di tubuhnya. Tanpa sadar, bukan hanya kepalanya saja yang melakukan gerakan pelan, tapi seluruh tubuhnya yang berada dalam dekapan sang suami ikut menggeliat dalam gerak lambat, sehingga tak ayal membuat hasrat kelelakian sang raja yang berwajah tampan itu bangkit seketika.

"Sayang…, apa kau sengaja hendak menggodaku?" tanya sang suami dengan napas sedikit menderu, menahan hasrat kelelakiannya yang begitu sukar dikendalikan jika sudah berdekatan dengan remaja berparas rupawan itu.

Jaejoong yang masih tidak menyadari apa yang telah ia lakukan, dan apa akibat dari perbuatannya itu terhadap sang suami, mengangkat wajahnya dan menatap sang raja dengan wajah berselimut tanda tanya. Bibirnya yang merah sedikit merekah terbuka, dan bergerak-gerak kecil seolah hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir merahnya yang tipis dan mungil itu. Melihat hal itu, sang raja yang sudah dikuasai oleh gairahnya segera mendekatkan bibirnya ke bibir remaja berparas rupawan yang begitu menggoda hasrat kelelakiannya itu, dan langsung melumatnya dengan penuh perasaan.

Remaja cantik yang menurut surat peninggalan sang ibu merupakan satu-satunya keturunan keluarga Park yang masih tersisa itu merasa nyaris tak lagi mengenali dirinya sendiri, ketika dengan penuh gairah ia justru menyambut bibir tebal sang suami yang berbentuk hati, dan membalas lumatan-lumatan yang diberikan oleh suaminya. Menikmati sapuan bibir sang raja yang terasa begitu lembut di bibirnya, juga jilatan lidahnya yang sangat menggoda sekaligus penuh cinta.

Jaejoong melingkarkan kedua tangannya yang terbungkus kulit sehalus satin ke leher suaminya, lalu sedikit berjinjit untuk memperdalam ciuman mereka. Sang raja mengerutkan kening di antara gerakannya melumat bibir merah yang mungil milik selir terkasihnya. Dalam hati, ia cukup terkejut dengan sisi liar sang selir yang bersikap tak seperti biasanya. Perlahan-lahan, sang raja mengakhiri lumatannya pada bibir sang selir yang terlihat sedikit membengkak, sebelum mereka berdua sama-sama kehabisan napas. Hal tersebut membuatnya dihadiahi erangan protes dan tatapan tak puas dari remaja cantik yang kini tampak menggelembungkan pipinya dengan kesal. Ia bahkan langsung melepaskan kalungan tangannya di leher sang suami sambil mendengus keras.

"Sayang, katakan yang sebenarnya padaku. Apakah Ibunda memberimu sejenis makanan, atau minuman tertentu saat kalian sedang berbincang tadi?" tanya sang raja tanpa melepaskan pelukannya dari pinggang ramping sang selir. Ia bisa merasakan detak jantung remaja itu yang lebih kencang dari biasanya. Remaja berusia lima belas tahun itu juga terlihat bergerak gelisah dalam pelukannya. Bahkan, beberapa butir keringat muncul di permukaan keningnya yang mulus.

"Ne…. Yang Mulia Ibu Suri menyuruh Joongie untuk meminum darah dari tanduk rusa betina yang baru saja diburu," jawab Jaejoong dengan napas sedikit memburu.

"Kau tahu apa khasiat dari cairan yang kau minum itu?"

"Tentu saja Joongie tahu. Yang Mulia Ibu Suri mengatakan bahwa darah dari tanduk rusa betina yang Joongie minum berkhasiat untuk meningkatkan stamina agar Joongie bisa kuat melayani Yang Mulia di atas ranjang."

Untuk sesaat tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Jaejoong hanya memandangi wajah tampan suaminya dengan pandangan yang sukar dijelaskan. Namun, tangannya perlahan terulur dan jari jemarinya bergerak lambat memberikan usapan dan rabaan pada dada bidang sang suami dari luar gonryongpo merah yang dikenakannya.

Yang Mulia Raja Sukjong menggenggam erat kedua tangan selir terkasihnya yang dengan nakal bermain-main di dadanya yang masih terbungkus pakaian. Membuatnya lagi-lagi dihadiahi tatapan tak puas dari remaja cantik yang memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam hal racun itu. Sang raja tersenyum simpul melihat tindak-tanduk Jaejoong. Perlahan-lahan, sang raja mengangkat jari-jemari sang selir yang tadi digenggamnya, dan mendekatkannya ke bibirnya. Bergantian diciuminya setiap ujung jemari lentik milik sang selir terkasihnya, sebelum akhirnya kembali merengkuh tubuh indah itu ke dalam pelukannya.

Di satu sisi, sang raja sangat berterima kasih pada sang ibu atas tindakannya yang telah memberikan Jaejoong ramuan penguat stamina yang merupakan rahasia turun-temurun keluarga Yi. Namun di sisi yang lain, Raja Sukjong itu juga mengutuk keteledorannya sendiri, dimana sebagai seorang suami seharusnya ialah yang memberikan ramuan itu pada selir terkasihnya. Mengingat sebagai seorang lelaki dewasa, ia memiliki hasrat bercinta yang begitu besar, serta stamina yang luar biasa yang membuatnya mampu untuk bertahan lama dalam mencapai titik tertinggi dalam kepuasan bercinta. Langkah ibunya memberikan darah dari tanduk rusa betina kepada Jaejoong merupakan sebuah langkah yang tepat, juga bijaksana.

Secara terus-terang, sang raja mengakui bahwa sesungguhnya ia sempat dilanda kecemasan seandainya selir terkasihnya itu akan dilanda kelelahan jika terus-menerus melayani hasrat kelelakiannya. Terlebih selama ini, baik permaisuri maupun selir-selirnya yang lain, tak ada seorang pun yang mampu mengimbanginya dalam hal bercinta. Jaejoong adalah satu-satunya orang yang sejauh ini bisa mengimbanginya, meski usianya masih sangat muda. Namun tetap saja, sang raja tak ingin selir terkasihnya itu pada akhirnya jatuh sakit karena kelelahan dalam melayaninya mengarungi samudera kepuasan. Karena itulah Raja Sukjong sangat berterima kasih atas inisiatif sang ibu. Hanya saja, sepertinya perempuan setengah baya itu sengaja melewatkan informasi mengenai reaksi cairan tersebut terhadap seorang lelaki yang baru pertama kali meminumnya. Darah yang berasal dari tanduk rusa betina bisa membangkitkan gairah seorang lelaki dalam waktu cepat, terlebih ketika ia melakukan sentuhan fisik dengan seseorang. Dan hal itu tidak akan bisa berhenti sebelum hasratnya dituntaskan. Untuk kasus Jaejoong, cairan itu langsung bereaksi ketika ia memeluk sang suami di awal kedatangannya ke ruang baca, dan hal itu sama sekali tidak disadarinya.

Sang raja meraba ikat pinggangnya, lalu mengeluarkan sebuah pil berwarna kuning cerah sebesar biji kacang hijau, dan mendekatkannya ke bibir istrinya yang masih merekah dan sedikit membengkak.

"Telan pil ini!" perintah sang raja dengan nada lembut sambil memasukkan pil itu ke dalam mulut selir terkasihnya. Jaejoong yang tidak mengerti dengan sikap sang suami hanya bisa mengangguk dan dengan cepat menelan pil pemberian sang suami, tanpa bertanya-tanya lagi.

Reaksi dari pil berwarna kuning itu sangat cepat. Jaejoong yang semula merasa tubuhnya memanas dibakar oleh gairah dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya tak lagi merasakan hal itu. Dengan wajah bingung, ditatapnya wajah tampan sang suami dengan sinar mata yang menuntut penjelasan.

"Yang Mulia…, apa yang sebenarnya terjadi pada Joongie?" tanya Jaejoong yang untuk beberapa waktu sebelumnya merasa tak kuasa mengendalikan dirinya sendiri.

"Yang Mulia Ibu Suri sepertinya lupa memberitahumu bahwa reaksi dari darah tanduk rusa betina akan sangat cepat untuk seseorang yang baru pertama kali meminumnya. Gairahmu terbakar, Sayang. Apa Ibunda mencampurkan beberapa tetes arak ke dalam darah yang kau minum?"

"He eum…, kata Yang Mulia Ibu Suri supaya Joongie tidak terlalu mual saat meminumnya."

"Bukan hanya itu, beberapa tetes arak membuat reaksi dari darah tanduk rusa betina menjadi lebih lambat. Jika kau meminum darahnya tanpa tambahan apa-apa, bisa-bisa kau langsung menyerangku di depan Ibunda, Sayang. Sedangkan pil yang kuberikan padamu berfungsi untuk menghilangkan pengaruh dari cairan itu di dalam tubuhmu," jelas sang raja dengan penuh kelembutan.

"Oh…!"

Wajah Jaejoong kembali diselubungi rona merah selayaknya matahari ketika hampir terbenam, saat ia membayangkan hal apa saja yang sudah ia lakukan saat ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri akibat terbuai dalam sergapan birahi.

"Tidak apa-apa, Sayang. Kau tidak perlu merasa malu hanya karena kau yang telah lebih dulu mengambil tindakan untuk merangsang suamimu sendiri. Aku justru menyukai sisi liarmu yang muncul ke permukaan, Manisku. Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Ibunda, hmmm…?"

"Yang Mulia! Iiih…, berhentilah menggoda Joongie seperti itu!" bibir tipis dan mungil yang selalu terlihat menggoda itu kembali mengerucut karena perkataan sang suami.

"Jika aku tidak boleh menggodamu seperti itu, lantas katakan padaku, kau ingin aku menggodamu seperti apa, Sayang?" timpal Raja Sukjong yang begitu senang melihat tingkah menggemaskan selir terkasihnya yang bahkan tetap terlihat menggoda meski sedang kesal. Hidungnya yang mancung terlihat kembang-kempis dan mulutnya berkomat-kamit lucu. Sang raja, seperti halnya Selir Suk dan Yang Mulia Ibu Suri, seakan memiliki kegemaran yang sama, yakni menggoda Jaejoong hingga kedua belah pipi remaja itu memerah.

"Tidak! Pokoknya Yang Mulia tidak boleh menggoda Joongie lagi!" balas Jaejoong ketus, namun penuh ketegasan. Rasa malu yang masih menderanya akibat reaksi dari darah tanduk rusa betina yang diminumnya membuatnya menjadi mudah sekali kesal, dan untuk menutupi perasaan itu ia berusaha menunjukkan penolakan terhadap godaan-godaan sang suami yang biasanya tak pernah sungguh-sungguh ia tampik.

"Benarkah…? Jadi, sebagai suami aku tidak diperbolehkan untuk menggodamu lagi? Baiklah kalau memang begitu. Mungkin sebaiknya aku menggoda Yang Mulia Permaisuri saja."

Begitu kata-kata itu terlontar dari bibirnya yang berbentuk hati, seketika sang raja langsung menyesali ucapannya sendiri. Terlebih ketika dirasakannya tubuh sang selir yang berada dalam pelukannya menegang kaku, dan ekspresinya berubah dingin. Rahangnya mengeras. Sepasang mata besarnya yang indah melebar menjadi lingkaran mutiara hitam, dan terlihat menyorot tajam, seolah hendak menembus langsung ke jantung suaminya.

"Itukah yang Anda pikirkan…?" desis Jaejoong berbahaya, dalam nada-nada lambat namun penuh penekanan di setiap kata yang diucapkannya. Sang raja membuka mulutnya, hendak meluruskan apa pun prasangka buruk yang singgah di benak selir terkasihnya. Namun bahasa tubuh remaja cantik itu terlebih dahulu menyampaikan pesan tanpa suara tentang penolakannya untuk mendengar sebentuk penjelasan, hingga akhirnya membuat sang raja bungkam. Memberikan kesempatan pada remaja cantik itu untuk melanjutkan perkataannya. "Menurut Anda, menggoda Yang Mulia Permaisuri jauh lebih baik daripada menggoda Joongie, begitu…? Kalau memang Anda berpendapat seperti itu, kenapa tidak pergi saja? Pintu ruangan ini terbuka lebar untuk Anda. Pergilah! Temui Yang Mulia Permaisuri dan godalah ia sepuas hati Anda, Yang Mulia. Tapi satu hal yang harus Anda ingat, jangan pernah berharap untuk bisa menemui Joongie lagi!"

Di akhir ucapannya, sepasang mata bulat yang indah itu mengerjap pelan seiring luruhnya beberapa bening embun dari pelupuk matanya, yang membentuk aliran asin yang bergerak lambat menuruni kedua pipinya. Dengan cepat Jaejoong menepis kedua tangan sang suami yang masih melingkari pinggang rampingnya. Ia lalu memutar tubuhnya, dan setengah berlari meninggalkan ruang baca tersebut, dengan sebelah tangan membekap mulutnya sendiri agar isak tangisnya tak terlontar keluar.

"Sayang…, tunggu! Dengar, aku sama sekali tidak bermaksud…."

Namun, remaja cantik itu sama sekali tidak memedulikan panggilan suaminya. Ia semakin mempercepat laju langkahnya. Untuk sesaat, sang raja hanya bisa berdiri terpaku dengan tangan kanan terangkat dan mengambang di udara, memandangi punggung sang selir terkasih yang menunjukkan reaksi yang begitu jauh dari bayangannya. Namun, ia kemudian dengan cepat menyusul selir termudanya yang saat itu hampir mencapai pintu. Dengan penuh perasaan bersalah, didekapnya tubuh mungil remaja berusia lima belas tahun itu dari belakang. Dan perasaan bersalah semakin melingkupi dirinya ketika dirasakannya tubuh sang selir yang terguncang hebat dalam pelukannya. Bahu remaja itu bergetar karena berjuang keras menahan tangisnya.

"Kumohon, Sayang…, dengarkan dulu penjelasanku. Jangan seperti ini."

Jaejoong dengan beringas menggerakkan tubuhnya, berusaha melepaskan diri dari dekapan kedua tangan sang suami yang begitu erat memerangkap pinggangnya. Namun, sang raja tak sedikit pun membiarkan selir terkasihnya yang rupawan itu terlepas dari dekapannya. Sebaliknya, ia justru semakin erat mengunci pergerakan selir terkasihnya itu.

"Lepaskan Joongie! Lepas! Joongie benci Yang Mulia. Joongie benci…!" pekik Jaejoong sambil meronta-ronta di dekapan sang suami. Suaranya terdengar bergetar, dan isakannya semakin kencang. Tubuhnya yang didekap erat dari belakang oleh sang suami juga semakin keras terguncang.

Ucapan yang terlontar dari bibir merah yang tipis itu seperti sengatan kalajengking yang paling mematikan. Menimbulkan sebentuk rasa nyeri luar biasa yang menghantam dada sang penguasa Joseon itu dengan telak. Mendengar bahwa sang selir terkasih membencinya adalah hal yang paling tidak diinginkannya. Perkataan yang sebelumnya dimaksudkan hanya untuk menggoda sang selir berbalik menjadi ucapan yang justru melahirkan kebencian dalam diri remaja berparas rupawan itu, persis seekor ular peliharaan yang mematuk pemiliknya karena ekornya terinjak. Raja Sukjong dibekap rasa penyesalan tak berkesudahan. Karena itulah ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang ramping Jaejoong, sambil berulang kali membisikkan permintaan maaf di telinga remaja berusia lima belas tahun itu, hingga akhirnya sang selir tak lagi meronta-ronta ingin melepaskan diri seperti sebelumnya.

Ketika sang raja merasa bahwa ia sudah bisa mengendalikan keadaan, perlahan-lahan ia melepaskan dekapannya dari pinggang ramping sang selir. Ia lalu dengan lembut memutar tubuh indah selir terkasihnya itu, hingga mereka kini berdiri berhadapan. Lelaki berparas tampan itu terkesiap melihat wajah indah Jaejoong kini bersimbah air mata. Hatinya mencelos ketika menyadari bahwa sesungguhnya ialah penyebab paras rupawan di hadapannya kini digelayuti awan kesedihan.

"Sayang…,"

Sang raja mengangkat tangannya, membelai pipi halus seperti kulit bayi yang masih dikotori oleh jejak airmata. Sepasang matanya yang seperti mata elang menyiratkan kekhawatiran.

Jaejoong langsung menampar tangan sang raja seolah tangan itu mengandung bara api yang membakar kulit pipinya.

"Joongie benci Yang Mulia! Hiks…, Joongie benci!"

"Kasihku, kumohon…. Kau boleh mengatakan apa saja, tapi jangan pernah mengatakan kalau kau membenciku, Sayang."

"Mengapa tidak boleh? Anda saja bisa dengan bebas mengatakan hal apa saja, tanpa peduli apakah perasaan Joongie terluka karena perkataan Anda atau tidak. Lalu kenapa Joongie dilarang untuk melakukan hal yang sama…?!" tanya Jaejoong dengan suara bergetar. Dengan susah payah ia berusaha mengatur napasnya. "Mengapa Anda tidak mengerti juga, kalau Joongie tidak suka Anda membawa-bawa nama Yang Mulia Permaisuri saat Anda sedang bersama Joongie? Joongie tidak suka. Di sini rasanya sakit, hiks…," lirih Jaejoong dengan suara serak sambil menepuk dadanya dengan cukup keras. Raja Sukjong dengan cepat meraih tangan kanan selir terkasihnya yang terlihat gemetar itu, lalu merengkuh tubuh mungilnya ke dalam pelukan. Membiarkan remaja berparas rupawan yang selama ini tidak pernah mengungkapkan secara langsung perasaan cemburunya itu menumpahkan tangis kekesalannya di dada bidang sang suami.

"Maafkan aku, Sayang. Kumohon maafkan ketidakmampuanku dalam memahami perasaanmu. Aku teramat menyesal telah melukai hatimu dengan ucapanku. Sungguh, tidak sedikit pun pernah terbersit di pikiranku untuk menggoreskan luka di hatimu. Aku benar-benar menyesal dan minta maaf, Kasihku. Jangan membenciku. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kau membenciku."

Sang raja yang dikenal karena kewibawaan dan kharismanya, serta sikap tegas sekaligus dinginnya dalam menjalankan roda pemerintahan, menunjukkan sisi lain dari dirinya yang merupakan seorang suami yang begitu takut kehilangan kasih sayang dari seseorang yang sangat dicintainya. Remaja cantik yang pintar itu sudah menggenggam seluruh perasaan cinta yang dimilikinya, hingga sang raja tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Jaejoong memutuskan untuk meninggalkannya. Tidak! Remaja berusia lima belas tahun itu adalah miliknya. Dan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama yang bisa membuatnya kehilangan sosok rupawan itu dari sisinya!

Yang Mulia Raja Sukjong meletakkan dagunya di pundak sang selir yang masih berada dalam dekapannya. Sebelah tangannya terulur, memberikan belaian lembut di punggung remaja cantik yang sesekali masih memperdengarkan isakan kecilnya, sambil kembali membisikkan untaian maaf untuk menenangkan remaja yang sangat dicintainya itu.

"Joongie tidak ingin kehilangan perhatian dari Yang Mulia…."

"Kau tidak akan kehilangan perhatian dariku sedikit pun, Sayang. Kau adalah pusat duniaku. Dengar, aku berjanji padamu bahwa ini adalah kali pertama sekaligus terakhir aku melukai perasaanmu. Kau bisa pegang kata-kataku, Kasihku. Aku sangat mencintaimu. Mendengarmu mengatakan kalau kau membenciku membuatku ingin memotong lidahku sendiri yang sudah begitu lancang membuatmu tersakiti."

"Yang Mulia berjanji untuk tidak akan pernah melakukannya lagi?" sambil terisak pelan, Jaejoong mengangkat wajahnya. Tatapan keduanya terkunci pada satu titik dan pergumulan emosi mengaliri jarak kecil yang terbentang di antara mereka. Yang Mulia Raja menganggukkan kepalanya sambil mengangkat tangan kanannya, mengusap pipi halus selir terkasihnya yang masih dibasahi jejak airmata dengan ibu jari tangannya. Kali ini, Jaejoong tak lagi menampik sentuhan tangan suaminya.

"Aku berjanji, Sayang. Kau kuperkenankan untuk menghukumku seandainya aku mengingkari ucapanku."

"Benarkah Joongie boleh menghukum Yang Mulia seandainya Yang Mulia mengingkari janji?"

"Iya, Sayangku. Kau boleh memberiku hukuman apa saja seandainya suatu hari nanti aku melupakan janjiku padamu."

"Apa Joongie juga boleh memberikan hukuman berupa pukulan di bokong Yang Mulia seperti yang pernah dilakukan oleh Yang Mulia Ibu Suri…?"

"Lebih dari pada itu juga akan aku terima, Sayangku."

"Joongie pegang kata-kata Yang Mulia. Kalau suatu hari nanti Yang Mulia mengulangi kembali perbuatan yang Joongie benci itu, Joongie tidak akan segan-segan menghukum Yang Mulia. Joongie tidak main-main!" ancam Jaejoong sambil menatap tajam sang suami. Isakannya sudah berhenti, begitu juga dengan airmata yang mengambang di pelupuk mata indahnya. Matanya yang bulat besar terlihat melebar seperti lingkaran safir yang gelap, bermaksud memberikan pelototan yang mengintimidasi sang suami. Namun sayangnya, ia gagal karena ekspresi yang dihasilkannya justru membuatnya terlihat menggemaskan, sehingga ia dihadiahi dengan sebuah ciuman kecil di hidung mancungnya – isyarat kepemilikan - oleh sang suami yang berwajah tampan itu.

"Iya, Kasihku. Nah, apakah itu artinya aku sudah dimaafkan?"

"Joongie tidak bilang Joongie sudah memaafkan Yang Mulia. Yang Mulia saja yang menyimpulkannya seperti itu."

"Eh…? Jadi, selir terkasihku ini masih belum mau memberikan maaf untuk suaminya yang tampan ini?" Jaejoong mencubit lengan suaminya mendengar ucapan lelaki yang memiliki sorot mata setajam elang itu, sehingga sang suami meringis, dan berpura-pura mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap bagian di lengannya yang terkena cubitan, dari luar pakaian.

"Yang Mulia terlalu percaya diri. Yang Mulia tidak tampan!" timpal Jaejoong dengan nada mencibir, sambil menjulurkan lidahnya dengan begitu kekanakan.

"Benarkah? Lalu siapa yang dua hari lalu membelai wajahku saat pagi menjelang dan berbisik dengan penuh kekaguman mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang sangat tampan, hemmm…? Apakah aku hanya bermimpi kalau kau yang melakukannya, Sayang?"

"Yang Mulia…!" Jaejoong merengut manja sambil berusaha menghilangkan rona merah yang cepat sekali menjalar di permukaan wajahnya, ketika sang suami kembali mengingatkannya pada kejadian dua hari yang lalu itu.

Sang raja terkekeh pelan sambil menikmati segala pesona yang ditawarkan oleh selir terkasihnya yang masih berusia lima belas tahun itu.

"Sayang, sekarang tatap kedua mataku dan katakan terus-terang, apa yang harus aku lakukan agar kau mau memaafkanku?" tanya sang raja dengan nada penuh kelembutan, sambil meraih pinggang ramping selir terkasihnya yang begitu menawan.

"Mengapa Yang Mulia bertanya seperti itu…? Joongie tidak bersungguh-sungguh dengan ucapan Joongie sebelumnya yang mengatakan kalau Joongie belum memaafkan Yang Mulia. Justru sebaliknya, Joongie sudah memaafkan Yang Mulia sejak Yang Mulia berjanji untuk tidak akan pernah lagi melakukan hal yang Joongie benci. Lagipula, Yang Mulia adalah seorang raja. Yang Mulia tidak perlu melakukan apa-apa untuk mendapatkan maaf dari Joongie."

"Aku memang seorang raja, Sayang. Tapi selain sebagai seorang raja, ada satu kenyataan lain yang tidak boleh dilupakan begitu saja, bahwa aku tetaplah seorang suami. Dan sebagai seorang suami, aku berhak melakukan sesuatu untuk mendapatkan maaf darimu, atas kesalahan yang telah kulakukan. Tidak ada satu pun hukum di mayapada yang melarang hal itu, Kasihku."

"Jika Yang Mulia sudah bicara seperti itu, Joongie tidak bisa berkata apa-apa lagi. Namun bagi Joongie, permintaan maaf yang tulus dari lubuk hati terdalam Yang Mulia saja, itu sudah lebih dari cukup untuk mengikis segala rasa kesal dan benci yang sempat Joongie rasakan. Joongie berharap Yang Mulia tidak lagi terus-menerus dibebani perasaan bersalah. Jika dipikir-pikir, Joongie juga memiliki porsi kesalahan yang sama, karena bereaksi berlebihan menanggapi ucapan Yang Mulia, yang tujuan sebenarnya hanya untuk menggoda Joongie. Bukankah seharusnya Joongielah yang mengajukan permintaan maaf dari Yang Mulia?"

Tangan kanan Jaejoong terulur, menelusuri rahang kokoh sang raja yang memiliki paras yang begitu tampan. Senyum kecil terukir di bibirnya, yang diam-diam semakin mengagumi ketampanan lelaki yang merupakan suaminya itu.

"Tidak, Kasihku. Kau sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Seharusnya sebagai suami, memang akulah yang lebih peka pada perasaanmu, sehingga tidak melontarkan perkataan yang justru akan menciderai hatimu," sanggah sang raja.

"Sepertinya kita tidak akan menemukan titik temu dalam jalan percakapan kita kali ini, jika kita berdua sama-sama merasa bahwa diri kita sendirilah yang paling salah, Yang Mulia. Menurut Joongie, alangkah baiknya jika hal ini kita sudahi saja sampai di sini tanpa perlu diingat lagi. Dan ke depannya, kita bisa memetik pelajaran dari kejadian yang sudah terjadi, dan sama-sama melakukan perbaikan diri agar kesalahan yang sama tidak perlu terulang kembali."

Sang raja tersenyum lebar mendengarkan ucapan bijaksana yang keluar dari bibir merah yang mungil milik selir terkasihnya. Diakuinya, apa yang diucapkan oleh remaja berusia lima belas tahun itu memang benar.

"Aku setuju dengan ucapanmu, Sayang. Ah, bagaimana kalau sekarang kau ikut aku? Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu."

"Memangnya Yang Mulia hendak mengajak Joongie kemana?"

"Kau ikut saja, Sayang. Aku bisa memastikan kalau kau akan senang melihat apa yang ingin kutunjukkan padamu nanti," ucap sang raja sambil sambil mengeratkan pelukannya di pinggang ramping Jaejoong dan memberikan kecupan singkat di kening selir terkasihnya yang langsung memejamkan matanya. "Kau tahu, Sayang, seandainya tadi kau mengatakan kalau kau benar-benar belum bisa memaafkanku dan memintaku melompat ke Sungai Han demi mendapatkan sebentuk maaf darimu serta membuatmu tak lagi membenciku, maka aku akan melakukannya. Aku akan melakukan apa pun agar bisa memperoleh maafmu. Apa pun, Kasihku," sambung sang raja dengan nada meyakinkan. Ia kemudian merengkuh tubuh remaja berusia lima belas tahun itu ke dalam dekapannya. Jaejoong melingkarkan kedua tangannya di pinggang sang suami, dan meletakkan wajahnya di dada bidang sang raja yang berwajah tampan itu. Sedikit pun penguasa Joseon yang sedang memeluknya itu tak menyadari ada seringai kecil yang tersungging di ujung bibir sang selir ketika ia perlahan membuka sepasang mata indahnya.

ooo000ooo

Rona bahagia tidak bisa disembunyikan dari wajah Jaejoong yang semakin mempesona dari hari ke hari, ketika menyadari bahwa langkah-langkah lebar sang suami mengajaknya semakin dalam memasuki Taman Rahasia yang sebagian besar diselimuti warna kuning yang berasal dari bunga-bunga canola yang sedang mekar. Bunga-bunga lain seperti magnolia, forsythia, azalea, cherry putih, bahkan bunga-bunga liar tak bernama yang memenuhi hampir setiap sudut taman juga terlihat mekar berseri dan menebarkan wewangian ke setiap penjuru, hingga merasuk ke sanubari.

Langkah-langkah pendek Jaejoong terasa ringan ketika ia berusaha mengimbangi ayunan langkah sang suami, yang tak sedikit pun melepaskan tautan jemari mereka. Sesekali, remaja berparas rupawan itu juga melompat-lompat kecil sambil menyenandungkan sebuah lagu rakyat bernada riang, yang seolah-olah mewakilkan perasaan senang yang kini membuncah di dadanya. Sang raja yang melihat tingkah laku selirnya yang begitu menggemaskan hanya terkekeh kecil. Terkadang, sang raja berwajah tampan itu menggumam pelan, menganggapi celotehan-celotehan selir terkasihnya yang tak kuasa menahan kekagumannya menyaksikan keindahan panorama musim semi di dalam Taman Rahasia.

Sang raja menghentikan langkahnya sejenak, ketika mereka tiba di tepi sungai kecil yang terdapat di tengah-tengah Taman Rahasia. Di hadapan mereka, sebuah jembatan dari bambu yang lebarnya kira-kira satu batang tombak yang memiliki pagar di kedua sisinya berdiri kokoh, seakan memberikan sambutan selamat datang. Dedaunan rimbun dari pepohonan di kanan dan kiri jembatan bambu yang menjorok hingga ke tengah sungai membuat jembatan itu terkesan teduh. Raja Sukjong menginjakkan kakinya di atas jembatan itu terlebih dahulu. Ia kemudian mengulurkan tangan kanannya, yang langsung disambut oleh Jaejoong dengan tangan kirinya, dan bersama mereka mengayunkan langkah berdampingan di atas jembatan. Tangan kanan Jaejoong yang bebas mengangkat sedikit ujung chima yang dikenakannya, agar tidak terkena jilatan air sungai yang hanya berjarak sejengkal dari permukaan jembatan bambu yang dipijaknya.

Sebuah perahu berukuran sedang merapat di ujung jembatan. Bola mata Jaejoong membulat sempurna, membentuk lingkaran safir gelap yang indah ketika ia menatap penuh kekaguman ke arah bentuk perahu yang meruncing di ujung belakang, dan melengkung ke atas di bagian depan, menyerupai kepala seekor angsa. Lambung perahu itu dihiasi dengan warna keemasan yang sangat indah. Sedangkan di bagian tengahnya, di bangun pondok kecil beratap jerami dengan dekorasi rumit menghias ke-empat tiang yang menyangganya. Seorang lelaki mengenakan caping lebar sebagai penutup kepala terlihat membungkukkan tubuhnya, ketika ia berhadapan dengan sang penguasa Joseon beserta selir terkasihnya.

"Perahu sudah siap, Yang Mulia…."

"Terima kasih banyak, Ahjussi. Kembalilah ke tempatmu, dan jalankan perahunya dengan perlahan saja. Aku ingin menikmati keindahan senja dari atas perahu dengan tenang, tanpa perlu tergesa," ujar sang raja sambil tersenyum ramah kepada lelaki tukang perahu itu.

"Baik, Yang Mulia!"

Ketika lelaki tukang perahu itu berjalan ke bagian belakang, sang raja segera menuntun selir terkasihnya untuk naik ke badan perahu. Dan saat sang raja beserta selirnya sudah naik ke atas perahu, lelaki bercaping lebar itu segera mendayung perahunya dengan gerakan pelan. Sang raja mengayunkan langkahnya menuju haluan depan, tanpa melepaskan genggaman tangannya pada jemari lentik selir terkasihnya. Jaejoong mengikuti suaminya, dengan perasaan yang dibuncah oleh rasa bahagia yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Saat itu, matahari sudah semakin tergelincir ke arah barat, menyisakan bias lembayung di antara barisan pohon bambu dan pinus yang banyak tumbuh di sekitar sungai kecil itu. Burung-burung terbang rendah dan berkelompok di atas permukaan sungai, hendak pulang menuju sarang. Setibanya di anjungan perahu, sang raja yang memiliki wajah kecil dengan rahang kokoh itu meminta Jaejoong untuk berdiri di hadapannya. Sementara, ia sendiri berdiri di belakang selir terkasihnya, sambil memeluk erat pinggang ramping remaja cantik itu. Menghidu aroma menenangkan yang menguar dari tubuh indah sang selir.

"Yang Mulia, coba lihat itu…!" pekik Jaejoong sambil menunjuk ke sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi sungai di sisi kiri perahu, yang salah satu dahannya menjulur hingga ke tengah sungai. Beberapa buah batu besar juga terlihat tersebar di sekitar tempat itu. Sang raja memusatkan pandangannya mengikuti arah jari telunjuk Jaejoong, dan tersenyum kecil ketika ia melihat pohon besar berdaun rindang yang merupakan penanda, tempat dimana ia dan Jaejoong serta Selir Suk pernah memancing bersama.

"Kau teringat saat-saat kita memancing bertiga, heummm…?"

"Itu benar, Yang Mulia. Dan cobalah lihat bias sinar matahari yang malu-malu menampakkan diri di balik kerimbunan dedaunan itu. Seperti panah-panah cahaya yang begitu indah," seru Jaejoong dengan penuh kekaguman.

"Kau menyukainya, Sayang…?" bisik sang raja tepat di telinga sang selir yang merupakan salah satu titik paling peka terhadap rangsangan di tubuhnya, sehingga membuat Jaejoong sedikit menggeliat kegelian.

"Tentu saja. Pemandangan senja kala matahari hampir terbenam sepenuhnya di balik barisan pepohonan sangatlah indah untuk dinikmati, terlebih dengan menaiki perahu bersama Anda seperti ini. Terima kasih banyak, Yang Mulia. Joongie benar-benar sangat menyukainya," Jaejoong menangkupkan kedua tangannya di atas sepasang lengan kekar sang suami yang masih melingkari pinggangnya. Ia lalu sedikit memiringkan kepalanya, mengamati wajah tampan sang suami. Dengan segenap keberaniannya, didekatkannya bibirnya ke pipi sang suami, lalu menghadiahkan sebuah kecupan singkat di sana, sebelum ia kembali memusatkan perhatian pada pemandangan yang tersaji di hadapannya.

Saat ini, kegelapan sudah sepenuhnya melingkupi kawasan itu. Perahu yang memiliki ujung seperti kepala angsa tersebut berjalan pelan di atas permukaan air sungai yang memantulkan bayangan rembulan yang bersinar penuh. Di ujung anjungan, sebuah lentera terpasang sebagai penerang. Di sekitarnya beberapa binatang malam yang bertubuh kecil dan memiliki sayap, terbang membentuk lingkaran, seakan sedang mengadakan pertemuan di bawah siraman cahaya. Jaejoong lagi-lagi tersenyum kecil melihat keindahan yang terhidang di depan matanya.

"Aku senang kalau kau menyukainya, Sayang…."

Jaejoong membalikkan tubuhnya, dan kini berdiri menghadap sang raja dengan kening sedikit berkerut. Dalam pendengarannya di antara hembusan angin yang berhembus cukup kencang di haluan perahu, nada suara sang suami terdengar berbeda dari biasanya. Remaja berusia lima belas tahun itu merayapi wajah tampan sang suami nyaris tanpa mengedipkan mata, seakan hendak mencari sesuatu yang terlewat dari perhatiannya.

"Mengapa kau memandangiku seperti itu?" tanya sang raja yang sedikit tidak mengerti dengan sikap selir terkasihnya yang memandanginya sedemikian rupa.

"Joongie hanya berusaha menemukan jawaban dari pertanyaan yang tiba-tiba berkelebat di benak Joongie. Tapi sampai saat ini Joongie masih belum menemukan jawabannya."

"Memangnya pertanyaan apa yang melintas di benakmu, Sayang?"

"Bagaimana bisa Yang Mulia mengatakan bahwa Yang Mulia senang karena Joongie menyukai kejutan yang Joongie terima, sementara sorot mata Yang Mulia memperlihatkan hal yang sebaliknya? Joongie justru berpikir bahwa ucapan yang terlontar dari bibir Yang Mulia malah bertentangan dengan kata hati Yang Mulia sendiri. Tidak ada perasaan senang yang tergambar dari pancaran mata Anda, Yang Mulia. Yang tertangkap oleh penglihatan Joongie justru sinar mata dari seorang lelaki dewasa yang seakan menyimpan satu beban maha berat di kedua pundaknya," jelas remaja berparas rupawan itu panjang lebar, mengungkapkan apa yang mengganjal di benaknya. "Adakah sesuatu yang Anda pikirkan?" sambungnya.

"Selain dirimu…?"

"Tidak bisakah Yang Mulia menjawab pertanyaan Joongie tanpa harus balik bertanya?"

"Ha ha ha, baiklah. Dan untuk menjawab pertanyaanmu, aku hanya merasa kalau sudah terlalu lama aku berdiam diri di balik dinding istana. Aku tidak pernah lagi turun langsung ke tengah-tengah rakyatku untuk melihat kehidupan mereka dari dekat, Sayang," sahut sang raja berwajah tampan itu dengan tenang, setenang permukaan air sungai yang dilalui oleh perahu yang mereka naiki.

"Anda memang seorang raja besar yang memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap kesejahteraan rakyat di negeri ini. Karena itulah rakyat Joseon juga sangat mencintai Anda. Dari cerita yang beredar dari mulut ke mulut, Joongie sering mendengar Anda yang tak segan-segan untuk turun langsung ke pelosok-pelosok desa, untuk melihat lebih dekat kehidupan rakyat Anda. Akan tetapi, Yang Mulia, bukankah di balik tembok istana pun, tugas dan kewajiban Anda tetap berkaitan dengan hajat hidup orang banyak? Anda tidak perlu terlalu merisaukan ketidakmampuan Anda untuk sering-sering berada di tengah-tengah rakyat, karena sebagai seorang raja, Anda juga memiliki para pejabat yang menjadi tangan kanan Anda dalam menjalankan roda pemerintahan. Anda hanya memiliki dua tangan dan kaki, bagaimana mungkin dengan anggota tubuh yang terbatas, Anda berharap bisa melakukan semuanya sendiri?" tanya Jaejoong yang sedikit tidak paham dengan jalan pikiran suaminya.

"Apakah menurutmu, tindakanku yang cukup sering meninggalkan istana untuk melihat kehidupan rakyatku dari dekat adalah langkah yang kurang bijaksana, Sayang?" tanya sang raja, yang ingin tahu lebih lanjut mengenai pandangan selir terkasihnya itu mengenai kebijakan yang telah ia lakukan.

"Joongie tidak berani mengatakan kalau itu adalah tindakan yang tidak bijaksana, Yang Mulia. Lagipula, Joongie tidak memiliki kapasitas untuk mengkritisi kebijakan yang Anda ambil. Itu adalah tugas dari Kantor Sensor. Joongie hanya berpikir, terlalu sering membiarkan singgasana dalam keadaan kosong cukup berisiko, terlebih jika kondisi itu sampai terdengar oleh pihak luar. Itu akan membuat para pihak yang haus kekuasaan beranggapan bahwa Joseon dalam keadaan lengah karena raja mereka tidak berada di singgasananya. Dan hal itu akan membuat mereka lebih mudah menyerang kita. Itu saja, Yang Mulia."

"Melihat kepintaranmu dalam mengatur strategi perang melawan Ming tempo hari, aku pernah mengatakan kalau kau cocok menjadi seorang Mahapatih. Akan tetapi, jika dilihat dari caramu memandang suatu kebijakan dalam pemerintahan saat ini, aku justru berpikir kalau kau lebih cocok menjadi seorang pejabat pemerintahan, Sayang. Sebagai anak dari seorang petani biasa, kau memiliki bakat dan kemampuan yang sungguh luar biasa, Kasihku."

Jaejoong merasa aliran darahnya terbalik saat mendengar kalimat akhir yang terlontar dari bibir sang suami yang berbentuk hati. Jantungnya berdetak kencang, dan ia tercenung dengan benak kembali mengulang-ulang kalimat tersebut, seakan ingin memastikan bahwa tidak ada maksud lain dari ucapan sang raja berwajah tampan itu. Untunglah, selepas memberikan penilaian sekaligus pujiannya kepada Jaejoong, sang raja penguasa Joseon itu mengalihkan pandangannya ke depan, menatap lurus ke arah bayangan rembulan yang tercetak sempurna di atas permukaan air sungai yang dilewati oleh perahu mereka. Dalam hati, remaja berusia lima belas tahun itu hanya berharap agar sang suami tak sempat memerhatikan manik-manik kecemasan yang bermain di sepasang bola mata indah selir terkasihnya itu.

"Terima kasih untuk pujian Anda, Yang Mulia. Tapi bukankah kita tidak sedang membahas tentang Joongie untuk saat ini?" Jaejoong berusaha keras agar nada suaranya terdengar seperti biasanya, tanpa getaran sedikit pun. Ia ikut mengalihkan pandangannya, dan menatap bayangan rembulan yang terlihat begitu indah di atas permukaan air sungai. "Dan jika boleh Joongie jujur berkata, dalam ucapan Anda sebelumnya, pesan tersirat yang bisa Joongie tangkap dari sinar mata Anda ialah tentang ketidakbahagiaan Anda berada di dalam istana, di saat orang-orang di luar sana justru berlomba agar dapat merasakan bagaimana kehidupan di balik tembok istana. Apakah kenyataannya memang seperti itu, Yang Mulia…?" sambung Jaejoong.

"Kenapa kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu, Sayangku? Dan kau terlihat begitu yakin dengan ucapanmu. Bagaimana seandainya kau salah mengartikan apa yang terpancar dari sorot mataku, hemmm…?" tanya sang raja yang sebenarnya cukup terkejut mendengar hasil dari pengamatan selir terkasihnya yang masih sangat muda itu.

"Eomma pernah berkata bahwa sinar mata tidak pernah bisa berdusta. Dalam pancaran sinar mata seseorang, ada gambaran mengenai sifat dan isi hatinya yang bisa dengan mudah dibaca. Bahkan, meski seseorang telah berupaya sekuat tenaga untuk membuat wajahnya terlihat semanis mungkin, tetap saja sorot matanya akan mengatakan hal yang sebenarnya, Yang Mulia. " sahut Jaejoong, sedikit berfilsafat dan secara tidak langsung memberikan pesan tersirat kepada sang suami.

"Hm, ya. Apa yang pernah dikatakan oleh eomma-mu memang tidak salah, Sayang. Akan tetapi, bisakah kau jelaskan padaku, bagaimana caranya kita menafsirkan isi hati manusia yang tak mempunyai biji mata?" sang raja balik bertanya kepada selir terkasihnya, sambil tersenyum kecil. Membuat sang selir yang tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu, hanya bisa mengerucutkan bibirnya.

"Sudahlah, Sayang. Tak usah berkecil hati. Aku hanya ingin mengatakan, ada banyak cara yang bisa kita gunakan untuk menilai manusia. Kalau kita menilai seseorang hanya berdasarkan pada satu sikap dan penglihatan, maka bisa saja penilaian kita salah. Lain halnya kalau kita menilai orang lain dengan melihat dari berbagai sudut pandang, boleh jadi hal itu akan mendekati kebenaran," sahut Raja Sukjong itu, yang akhirnya menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya.

"Yang Mulia pasti lebih mengetahuinya daripada Joongie…," desah Jaejoong, yang mengakui kebenaran dari kata-kata yang terlontar dari mulut suaminya itu.

Beberapa saat kemudian, tak ada pembicaraan yang terdengar di antara mereka, selain desir angin musim semi yang cukup keras menampar bagian depan perahu yang melengkung membentuk kepala angsa. Malam semakin tergelincir, dan hawa dingin mengepung dari segala arah, hingga merasuk ke sumsum tulang terdalam. Sang raja mengeratkan pelukannya di pundak Jaejoong yang terlihat sedikit menggigil menahan terpaan angin.

"Angin yang berhembus terasa begitu dingin. Sebaiknya kita duduk di dalam pondok sambil menikmati makan malam yang telah disiapkan, Sayang."

Remaja berparas rupawan itu hanya mengangguk kecil, lalu membiarkan sang suami menuntun tubuhnya mendekati pondok kecil beratap jerami yang dibangun di tengah-tengah perahu. Hawa dingin yang menyergap membuatnya seakan tak mampu lagi mengeluarkan suara. Mereka lantas duduk bersila dengan posisi saling berhadapan, dipisahkan oleh meja kecil berkaki rendah yang dipenuhi beberapa jenis makanan, serta satu wadah besar berisikan sup yang masih mengepulkan uap yang berasal dari bara api yang menyala di bagian bawah wadah. Sang raja mengambil mantel tebal yang tersampir di pagar kayu setinggi betis yang mengelilingi tiga sisi pondok kecil yang tak memiliki dinding itu, lalu memakaikannya di tubuh sang selir yang tak kuasa melawan hawa dingin. Jaejoong mengucapkan terima kasih dengan bibir gemetar. Dan saat merasa tubuhnya sudah cukup hangat, ia lalu mulai mengisi mangkuk nasi suaminya dengan beberapa jenis lauk yang sangat cocok disantap dalam cuaca dingin seperti saat ini. Di antara kegelapan yang menyelimuti tempat itu, serta pancaran sinar rembulan yang membulat sempurna di pinjung langit, kedua orang itu menikmati makan malam mereka sambil sesekali kembali bercengkerama. Sementara perahu yang mereka naiki terus melaju perlahan, membelah permukaan air sungai yang sesekali beriak saat sekumpulan ikan menampakkan diri, seakan hendak membasuh tubuh mereka dalam linang cahaya bulan.

xoxoxoxoxoxoxoxoxoxox

Bersambung…

Xoxoxoxoxoxoxoxoxoxox

NB: Sebenarnya dalam chapter 7 ini ada sekitar 7 plot yang Puan kembangkan. Hanya saja, dikarenakan terlalu panjang, Puan membaginya menjadi 2 bagian. Makanya, di atas Puan tulis chapter 7a, karena memang ada chapter 7b. Akan tetapi, chapter 7b tidak akan Puan update dalam minggu ini, karena memang kondisi kesehatan tidak mendukung untuk meng-edit bagian yang tersisa. Mohon maaf untuk ketidaknyamanannya ya, teman-teman sekalian.

Beranda Puan Hujan

(Tempat Puan membalas review para pembaca yang telah berbaik hati meninggalkan jejak di tulisan sederhana Puan).

Balasan review untuk chapter 1:

Dhea Kim: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Iya, misi utama Jaejoong ialah untuk membalas perbuatan jahat keluarga Go, sekaligus membersihkan nama keluarga Park dalam catatan sejarah kerajaan. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan.

Jaejae: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Salam kenal untukmu. Jaejoong, menurut surat peninggalan dari ibunya, dikatakan sebagai satu-satunya keturunan keluarga Park, karena jika ditarik garis keturunan dari pihak ibu yang bermarga Park, maka di dalam darahnya memang terdapat darah keluarga Park. Sementara, sang ayah sendiri (yang kehilangan ingatannya), sesungguhnya adalah putera dari Bangsawan Kim. Karena itulah dapat dikatakan juga bahwa Jaejoong adalah keturunan keluarga Kim, jika kita menarik garis keturunan dari pihak sang ayah. Nah, singkatnya, Jaejoong itu sebenarnya adalah keturunan dari keluarga Park sekaligus keluarga Kim. Apakah penjelasan Puan cukup jelas untukmu, Sayang?

Zehera Iona: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Wah, wah, wah…, terima kasih banyak ya untuk sarannya mengenai hukuman yang pantas untuk Perdana Menteri Go. Puan sampai merinding sendiri membayangkan hal itu terjadi pada sang perdana menteri. Akan Puan pertimbangkan kembali. Sekali lagi, terima kasih.

Sani: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungan, dorongan semangat, serta sarannya. Puan akui, salah satu kelemahan Puan adalah membangun dialog di antara tokoh-tokohnya. Puan akan lebih banyak belajar lagi dan mencoba untuk melebihkan porsi dialog dalam cerita ini. Sekali lagi, terima kasih banyak untuk sarannya. Big hug for you too, Dear.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah kiranya menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan senang sekali seandainya bisa berkenalan denganmu. Nah, Jaejoongie, bertambah seorang lagi pendukungmu. Kau tak akan sendirian ketika berhadapan dengan Perdana Menteri Go dan puterinya yang kejam itu.

CaesiaLover: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Bukan maksud hati Puan untuk tidak melanjutkan cerita ini, tapi memang pada kenyataannya ada beberapa kendala yang menghambat dalam perjalanan waktu, sehingga akhirnya setelah kurang lebih satu tahun satu bulan, baru sekarang Puan bisa mempublikasikan kelanjutan cerita ini. Semoga kamu masih berkenan membacanya dan tidak geram lagi. Ah, tidak, bukan karena sedang tidak musim hujan makanya Puan tidak melanjutkan ceritanya, Sayang. Ada hal-hal lain yang tidak bisa juga Puan ceritakan satu per satu yang menjadi permasalahan utamanya.

Yj040686: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Sebenarnya Puan tidak bermaksud untuk update setahun sekali, tetapi apa daya ketika pada kenyataannya memang seperti itulah yang terjadi. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Besar harapan Puan kamu masih berkenan membaca kelanjutan cerita ini dan tidak merasa kecewa dengan hasilnya.

My jeje: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan.

Hyejinpark: Terima kasih banyak karena sudah mampir dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Chapter berikutnya sudah Puan update. Selamat membaca dan semoga hasilnya tidak mengecewakan.

Firaamalia25: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Benar sekali, Putera Mahkota ketika itu ialah yang sekarang menjadi raja dengan gelar Raja Sukjong. Seharusnya beliau menikah dengan eomma-nya Jaejoong, hanya saja karena adanya peristiwa pemusnahan keluarga Park itu, pada akhirnya beliau menikah dengan puteri bungsu Perdana Menteri Go, yaitu Go Ahra.

Balasan review untuk chapter 2:

Boo Bear Love Chwang: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Hehehe, tidak mengapa. Puan tidak mewajibkan kalian untuk meninggalkan jejak di setiap chapter, Sayang. Jika memang tidak bisa tidak apa-apa, jangan sampai memaksakan diri, ya? Dibaca saja Puan sudah senang sekali. Ah iya, di chapter ini Yang Mulia Raja meminta Jaejoong untuk menikah dengannya. Untung saja Jaejoong tidak berkata seperti ini: Terus Joongie harus bilang wow gitu? Kekeke….

.7: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Aha, itu benar sekali. Memang pesona Jaejoong sukar untuk ditolak, hehehe.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah kiranya menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan sangat senang seandainya kita bisa saling mengenal. Setahu Puan, pakaian atasan tradisional Korea untuk lelaki namanya juga jeogori, hanya saja bentuknya yang berbeda dengan jeogori yang dikenakan oleh wanita. Sepengetahuan Puan seperti itu. Tapi jika ternyata Puan salah, harap dimaklumi, dan Puan tidak akan keberatan seandainya diberikan referensi tentang penyebutan nama pakaian atasan untuk lelaki yang benar itu seperti apa.

My jeje: Terima kasih banyak karena sudah kembali berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pujiannya. Chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga kamu masih berkenan untuk mengikuti jalan cerita ini, dan maafkan Puan untuk segala keterlambatannya dalam hal update.

Balasan review untuk chapter 3:

Dhea Kim: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk kembali berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Jaejoong di sini mulai merasakan perasaan yang aneh saat berdekatan dengan Yang Mulia Raja Yi Yunho, namun masih belum menyadari perasaannya yang sesungguhnya.

Boo Bear Love Chwang: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Hehehe, silakan dilanjutkan acara membacanya, ya?

Egggyeolk: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan kembali menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya, ya? Ah, tidak apa-apa. Puan tidak mengharuskan teman-teman pembaca untuk meninggalkan jejak di cerita Puan ini, jadi jangan menganggap hal tersebut adalah suatu keharusan, ya?

Firaamalia25: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Haha, Jaejoong masih dilindungi dari niat jahat sang permaisuri.

Balasan review untuk chapter 4:

ShinJiWoo920202: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Puan ucapkan selamat datang dan salam kenal. Hehehe, Jaejoong memang mengagumkan. Sedangkan Yang Mulia Raja, ehem, beliau memang seorang lelaki yang sangat perkasa di atas ranjang, hehehe. Di luar ranjang juga tidak kalah perkasa.

Boo Bear Love Chwang: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Setelah chapter 6 dan chapter 7 di-publish, sepertinya gelar chapter terpanjang tak lagi dipegang oleh chapter 4, kekeke.

.7: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Puan ingin sedikit meluruskan, tujuan balas dendam Jaejoong adalah Perdana Menteri Go, karena dialah otak di balik semua kejadian yang menimpa keluarganya. Sedangkan kepada sang suami, Jaejoong hanya bingung dengan perasaannya. Sanggupkah dirinya mencintai sang suami secara penuh tanpa dendam, sementara perintah eksekusi mati untuk seluruh keluarga Park datang dari ayah lelaki yang menjadi suaminya, dan saat itu raja terdahulu juga berada dalam salah satu pengaruh ramuan penakhluk yang diberikan Perdana Menteri Go.

Rizky2568: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk dorongan semangatnya, karena pada akhirnya Puan bisa juga untuk mempublikasikan kelanjutan cerita ini. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya.

Balasan review untuk chapter 5:

Maylinda 925: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih banyak juga untuk pujiannya. Maaf sudah membuatmu menunggu begitu lama untuk membaca kelanjutan fanfic ini. Ini sudah Puan lanjutkan chapter selanjutnya. Semoga berkenan dan tidak mengecewakan, ya?

Dhea Kim: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Tidak seluruh adegan peperangan pada chapter ini merupakan ide Puan murni, karena sebagian besar justru terinspirasi dari salah satu cerita silat yang Puan baca, dipadukan dengan salah satu drama silat Mandarin klasik yang pernah Puan tonton semasa SD. Hanya saja, sebisa mungkin Puan mencoba menggambarkan suasana perangnya agar sesuai dengan jaman Joseon, meski belum sepenuhnya berhasil. Di dalam adegan khusus pertempuran itu, yang menjadi ide murni Puan antara lain ialah di bagian kupu-kupu beracun Selir Hwan, dan idenya menggunakan batu-batu kecil yang sudah dicelupkan ke dalam air berisi racun.

ShinJiWoo920202: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Untuk adegan peperangannya, itu bukan murni hasil pemikiran Puan. Sebagian besar adegannya terinspirasi dari salah satu cersil favorit Puan yang dipadukan dengan salah satu drama silat klasik Mandarin, yang Puan coba untuk disesuaikan dengan kondisi Joseon pada masa itu. Sementara adegan tentang kupu-kupu beracun serta batu-batu kecil beracun dalam peperangan tersebut, merupakan buah pemikiran Puan sendiri.

Boo Bear Love Chwang: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Iya, akhirnya pasukan Kerajaan Joseon berhasil memenangkan pertempuran melawan Ming.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah kiranya menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan senang sekali seandainya bisa berkenalan denganmu. Ah iya, terima kasih juga untuk sanjungannya. Semoga Puan tidak besar kepala dan jadi lupa diri karena pujian dan sanjungan.

Balasan review untuk chapter 6:

Vic89: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak di cerita sederhana Puan ini, Sayang. Haha, Joongie memang cerdas, dan kecerdasannya itulah yang akan menjadi penyelamat dirinya dari musuh-musuhnya. Kita sama-sama tunggu saja ya, apa yang akan ia lakukan untuk keluarga Go dan antek-anteknya. Mengenai Putera Mahkota, hahaha, ingatkan Puan untuk menyampaikan padanya agar mendengarkan pelajaran saat Guru-guru Suci sedang mengajar, jadi kejadian seperti kemarin tidak kembali terulang.

Boo Bear Love Chwang: Terima kasih karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Iya nih, akhirnya bisa Puan lanjutkan juga chapter berikutnya.

Apalah arti sebuah nama: Terima kasih karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Jongwookie Sayang. Aduh, kasihan sekali kamu, Nak, sampai harus berganti akun. Semoga password untuk akun yang ini tidak kelupaan lagi ya?

Eeeh, apa-apaan itu minta disandingkan dengan Putera Mahkota? Tidak bisa. Putera Mahkota Changmin sudah Eomma persiapkan siapa pendampingnya, hohoho. Lagipula, kamu akan rugi banyak kalau jadi pendamping Putera Mahkota, Sayang. Makannya melebihi porsi normal, bisa-bisa kamu tidak kebagian jatah makan lagi. Hahaha. By the way, nama Korea-mu indah sekali. Marganya Jung pula.

Mengenai syair-syair lagu itu, Eomma mendapatkannya dari menelusuri Mbah Google. Kalau tidak salah Eomma mendapat sumbernya dari Wikipedia berbahasa Inggris. Itu juga kalau tidak salah, karena semua bahan referensi untuk fanfic Eomma adanya di laptop lama yang sudah rusak. Dan Eomma sudah lupa darimana saja sumber-sumber referensi Eomma itu.

Mengenai siapa keluarga Park yang dimaksud, sebaiknya dilanjutkan dengan membaca chapter 7 yang kebetulan sudah Eomma publish. Tidak usah khawatir, Eomma sudah memperkirakan kalau fanfic ini akan sele sai pada chapter ke-13. Jadi masih cukup lama perjalanan untuk menuju akhir. Tapi yang jelas, keluarga Park yang dimaksud memang memiliki posisi kunci juga dalam membongkar kebusukan keluarga Go.

Dan untuk menjawab pertanyaan tentang kemungkinan jati diri Jaejoong, apakah akan terbongkar, maka jawabannya tentu saja mendekati akhir nanti akan ketahuan, kalau tidak ceritanya tidak akan selesai-selesai, Sayang. Kalau rencana makar, hemmm, bisa jadi ada, bisa juga tidak. Nanti kita lihat saja pada chapter-chapter selanjutnya ya? Ah iya, terima kasih juga sudah setia menantikan kelanjutan cerita sederhana Eomma ini. Maaf jika lama sekali baru bisa update. I love you, too, Baby, hehehe.

Gothiclolita89: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan membaca serta meninggalkan jejak, Sayang. Aha, apakah Putera Mahkota akan mem-bully Ibundanya? Kita lihat saja bersama-sama ya? Oh iya, terima kasih atas sarannya mengenai flashback untuk kejahatan ratu, atau sebenarnya kejahatan Perdana Menteri Go terhadap keluarga Park. Sesungguhnya Puan sudah sedikit menjelaskannya di surat peninggalan ibunya Jaejoong yang memang sudah Puan revisi, akan tetapi Puan tetap dengan senang hati menerima sarannya. Akan Puan pertimbangkan kembali, karena sejujurnya Puan memang tidak ada pemikiran untuk memasukkan kilas balik kejadian itu, di ke-13 chapter yang sudah Puan buat coretan-coretan singkat mengenai plotnya. Sedangkan mengenai silsilah keluarga Jaejoong, benar, ia memang merupakan keluarga bangsawan.

PURPLE-KIMlee: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pujiannya. Maaf jika istilah-istilah itu membuatmu terganggu ataupun menjadi sedikit kurang paham. Puan sebenarnya berencana untuk memberikan penjelasan mengenai istilah-istilah itu langsung di dalam cerita, tetapi justru Puan yang merasa terganggu, sehingga akhirnya penjelasannya Puan tempatkan di catatan kaki. Sekali lagi Puan minta maaf untuk ketidaknyamanannya.

Hyejinpark: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga sudah menempatkan karya sederhana ini ke dalam list favorit. Suatu kehormatan untuk Puan. Puan hanya berusaha menulis sebaik-baiknya, mengikuti ide yang bermunculan di benak Puan. Dan memang, Puan sendiri menyadari, masih banyak sekali sebenarnya terdapat kekurangan di sana-sini yang pelan-pelan berusaha Puan perbaiki. Mengenai usia Jaejoong, entah kenapa Puan suka saja menggambarkannya sebagai remaja berusia lima belas tahun yang memiliki kecerdasan luar biasa. Bukan karena Puan suka daun muda, lho, hahaha. Chapter selanjutnya sudah Puan publish. Selamat membaca dan mohon maaf sekali untuk keterlambatannya. Semoga chapter 7 yang Puan sajikan, isinya tidak mengecewakan, meski mungkin tidak setimpal dengan penantian selama setahun lebih untuk menunggu update. Sekali lagi maafkan Puan.

Oeat: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Ah iya, akhirnya Eonnie juga bisa menarik napas lega karena berhasil untuk update. Dan Eonnie ikut jingkrak-jingkrak dengan semangat 28, karena pada saat Eonnie menulis review ini, bertepatan dengan tanggal 28 Oktober (Hari Sumpah Pemuda). Sungguh, Eonnie sangat berterima kasih sekali atas pengertianmu yang luar biasa, yang memahami sepenuhnya akan kesibukan Eonnie di dunia nyata sehingga tidak mendesak untuk update secepat kilat, Sayang. Terutama untuk chapter 7 ini. Bukannya Eonnie tidak berusaha untuk menulis secepat mungkin, tapi memang ada beberapa hal yang menghambat Eonnie. Hal paling utama ialah laptop Eonnie yang rusak, sehingga Eonnie terhenti sementara untuk berkarya. Makanya ketika mendapatkan laptop pengganti, Eonnie ingin rasanya ngebut sepanjang malam untuk mengetik, agar teman-teman yang menantikan kelanjutan cerita sederhana ini tidak harus menunggu lebih lama untuk membaca kelanjutannya.

Mengenai Jaejoong, Eonnie juga sama berharap ia akan berhasil menghadapi tipu muslihat keluarga Go dengan cerdik. Sedangkan mengenai Putera Mahkota, sejujurnya Eonnie tidak tahu, apakah dalam realitanya pada masa Joseon, kejadian seperti itu benar-benar pernah terjadi. Maksud Eonnie, selir yang berusia sebaya dengan Putera Mahkota, dan mereka bisa melakukan interaksi selayaknya dua orang sahabat, tanpa sekat. Bisa jadi semua itu hanya terjadi dalam cerita Eonnie saja, hehehe. Errr, kalau mengenai hukuman raja di atas ranjang itu, sepertinya itu karena sang raja saja yang tidak mampu menahan hasrat kelelakiannya kalau sudah berdekatan dengan selir terkasih, kekeke. Terima kasih juga Eonnie ucapkan karena sudah terpuaskan dengan chapter 6 yang lalu. Peluk dan cium juga untukmu, Sayang. Oh iya, untuk dorongan semangatnya, Eonnie juga mengucapkan terima kasih. Chapter 7 sudah Eonnie publish, Eonnie harap hasilnya tidak mengecewakan. Dan sekadar pengingat, mulai chapter ini sampai chapter-chapter ke depan, cerita ini tidak sepenuhnya lagi akan terfokus pada Jaejoong, karena Eonnie merasa perlu menjelaskan dari sudut yang lain agar rahasia-rahasia yang ada di dalamnya sedikit demi sedikit terungkap. Meskipun begitu, Eonnie tetap berusaha melebihkan porsi keberadaan Jaejoong di sini, karena bagaimanapun, ialah yang merupakan tokoh sentral dalam cerita ini.

0706: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Hai juga. Ya, memang begitulah karakter Jaejoong dalam cerita Puan ini. Puan usahakan untuk tetap konsisten dengan rencana awal, dimana fanfic ini akan selesai dalam 13 chapter, dan Puan juga berharap tidak akan membuat cerita ini seperti jalan cerita sinetron yang terkadang sengaja dipanjang-panjangkan demi mengejar rating. Tolong juga untuk mengingatkan Puan seandainya di tengah-tengah perjalanan cerita Puan justru keluar jalur. Mengenai konflik, Puan juga berusaha untuk membuatnya tidak terlalu berat, tapi ya kita lihat saja bagaimana nanti. Puan belum memiliki bayangan yang detil mengenai konflik yang akan terjadi. Ah iya, chapter selanjutnya sudah Puan update. Semoga hasilnya tidak mengecewakan, dan kamu masih berkenan untuk membacanya.

Subarashihito: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pujiannya. Puan juga ingin meminta maaf karena setelah sekian lama, baru sekarang Puan memiliki kesempatan untuk mem-publish chapter 7. Semoga kamu masih tetap berkenan untuk membaca kelanjutan cerita ini. Ada banyak hal yang menjadi kendala, akan tetapi, Puan tetap bersyukur karena pada akhirnya bisa melewati semua kendala yang ada.

Mickeyrang: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga sudah menyukai fanfic ini, dan Puan sungguh minta maaf dikarenakan ketidakmampuan Puan untuk update secepat yang diinginkan. Apa daya, sebagai manusia terkadang Puan tak bisa menentang kehendak takdir berupa kendala-kendala yang Puan hadapi dalam upaya Puan untuk terus mengetik kelanjutan cerita ini. Akan tetapi, sungguh, Puan pun tak ingin berlindung di balik alasan-alasan itu dan malah membuat Puan sengaja berlama-lama untuk vakum. Karena itulah, ketika mendapatkan laptop pengganti, Puan berupaya secepat yang Puan bisa untuk meneruskan kelanjutan cerita ini di tengah-tengah kesibukan Puan. Terima kasih lagi untuk pengertiannya yang luar biasa. Ah iya, chapter selanjutnya sudah Puan update. Namun, lagi-lagi Puan harus menghaturkan maaf apabila request tentang YunJae moment yang diperbanyak, tak bisa Puan penuhi. Karena, pada chapter 7 dan chapter-chapter selanjutnya, Jaejoong tidak lagi menjadi fokus utama 100 persen, karena alasan yang sudah Puan cantumkan di bagian atas cuap-cuap Puan. Semoga hal ini justru tidak mengganggu kenyamanan pembaca.

Redevil9095: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak yang luar biasa ini, Sayang. Karena Puan membalas review ini saat dini hari, maka Puan ucapkan selamat dini hari, hehehe. Untuk pertama-tama, mari kita mengulik kembali awal jumpa kita. Seingatku, sebelum mem-publish chapter 6 yang lalu, salah satu kendalaku yang membuat update-nya terlambat juga dikarenakan laptopku sempat rusak, namun pada akhirnya masih bisa sembuh. Sebelum akhirnya benar-benar mati total yang mengakibatkan diriku terpaksa berhenti sementara menulis fanfic dan lainnya. Nah, saat itu, selain laptop yang rusak, handphone-ku juga bermasalah, sehingga otomatis diriku jadi susah sekali untuk online, sekadar memajang status tidak jelas di facebook juga susah. Satu-satunya komunikasi yang Puan lakukan saat itu ialah melalui pesan singkat. Dan memang sih, biasanya soulmate Puan yang pemilik akun Lluvia itu akan menyampaikan hal apapun yang terjadi seputar perkembangan terkini di facebook melalui sms. Dia sempat protes dan mengatakan dengan bercanda, supaya Puan cepat-cepat bisa online lagi karena dia lagi-lagi disangka sebagai Puan, hahaha. Dan pada saat itulah, ia menyampaikan salam darimu. Sampai akhirnya diriku berkesempatan untuk online, dan kita saling bertukar sapa di inbox. Itulah sekelumit kenangan tentang perkenalan kita, kekeke.

Untuk menjawab pertanyaanmu mengenai kemunculan si Jidat Jenong, jawabannya untuk saat ini belum akan muncul. Desas-desus menyebutkan mengenai keberadaan keluarga Park yang terdiri dari sepasang suami istri dan dua anak lelakinya. Salah satu di antara mereka memang Park Yoochun, tapi ia belum akan muncul sepenuhnya sampai saatnya tiba. Untuk sementara, namanya saja yang berseliweran, dan nanti akan disusul dengan penampakan jidatnya, barulah diikuti dengan kemunculan seluruh wujudnya. Sedangkan mengenai kental atau tidaknya hubungan Kang Jidat dengan Yunho dan Junsu, akan ketahuan di chapter-chapter berikutnya. Karena Puan memang membuat cerita ini dengan model begini: chapter berikut sedikit banyak akan menguak jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan pada chapter sebelumnya.

Ini nih, bagian review yang Puan paling suka, saat dirimu menyebutkan tentang Jaejoong yang meleleh karena dirayu dengan puisi oleh sang suami, sementara Yang Mulia Permaisuri justru malah membara karena dibakar cemburu buta, hahaha. Ehem, kalau mengenai kemampuan Jaejoong menari, itu karena dia diajari oleh Selir Suk. Ingat kan adegan ketika Jaejoong cemburu, dan sama Selir Suk dibisiki sesuatu itu? Nah, pada saat itulah Selir Suk mengatakan pada Jaejoong untuk memikat Yang Mulia Raja menggunakan keahliannya dalam menari, yang diajarkan langsung oleh Selir Suk.

Mengenai Perdana Menteri Go, justru sepertinya Puan yang punya sentimen pribadi padanya, karena itulah tercipta adegan bersahut kata antara beliau dengan Jaejoong itu, hahaha. Sedangkan untuk hubungan Putera Mahkota Changmin dengan Jaejoong, sejujurnya Puan juga pada awalnya bingung hubungan mereka ini mau dibawa kemana, halah. Dan karena menurut pendapat pribadi Puan akan jauh lebih mudah jika kedua karakter ini digambarkan memiliki usia sebaya, jadilah hubungan mereka akhirnya lebih seperti sepasang sahabat, ketimbang 'ibu tiri' dengan anak tirinya, hehehe. Puan sendiri saat membaca kembali apa yang sudah Puan tulis ikut ketawa ngakak ngebayangin interaksi keduanya. Dan lucunya, Puan baru menyadari betapa karakter Changmin di sini juga tukang makan setelah chapter 6 itu selesai Puan tulis, hahaha.

Kalau untuk Yang Mulia Raja, uhuk, Puan juga hampir keselek kesemek ketika membuatnya menjadi super duper romantis begitu. Ahahahaha. Sedikit rahasia kenapa beliau memiliki istri dan selir tak hanya satu akan diungkap oleh Yang Mulia Ibu Suri pada chapter 7. Ah iya, terima kasih juga untuk dorongan semangatnya, ya? Chapter berikutnya sudah Puan publish. Semoga hasilnya tidak mengecewakan, dan dirimu tetap berkenan untuk membacanya. Salam kecupnya sudah disampaikan. Akhir kata, selamat bekerja dan wo ai ni juga, hehehe.

Zhe: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan berkenan meninggalkan jejak, Sayang. Aduh, Eonnie dapat hadiah kecupan pas dini hari, hahaha. Mengenai jumlah word-nya, kalau ditanya apakah capek atau tidak, maka tentu saja capek kalau mengetiknya tanpa henti. Tapi capeknya memang tidak terlalu dirasa, karena Eonnie kan tidak mengetik setiap saat. Disambi dengan tugas utama sebagai Ibu Rumah Tangga juga, jadi kalau ada waktu luang baru Eonnie lanjutkan proses penulisannya, Sayang. Karena itulah Eonnie sendiri tidak tahu berapa jumlah hari yang pasti yang telah Eonnie gunakan untuk menulis. Terkadang, kalau memang ide sedang lancar, Eonnie bisa menulis sekitar 5000 kata dalam beberapa jam. Kadang juga sepatah kata pun tidak kalau ide mampet. Dan kenapa hasilnya jadi sepanjang itu, karena Eonnie memang berusaha untuk membuat ceritanya sejelas mungkin.

Oh, untuk menjawab pertanyaanmu tentang kalimat yang mungkin agak rancu itu, kalau dalam kalimat sederhana ala Eonnie kurang lebihnya seperti ini, "Sudah beberapa waktu matahari menghilang dari pandangan." Ya, seperti itulah kira-kira. Maafkan Eonnie kalau sudah membuatmu sedikit kebingungan, Sayang.

Terima kasih banyak juga untuk dorongan semangatnya, ya? Mungkin di fanfic Eonnie yang akan datang, kalau The Great Revenge ini sudah tamat, Eonnie akan membuat Changmin menjadi anak YunJae. Untuk sementara ini, terima saja kenyataan kalau dia adalah anak Yang Mulia Raja dengan Yang Mulia Permaisuri, wkwkwk. Hohoho, tentu saja Jaejoong sudah berisi (makanan). Jaejoong belum akan hamil dalam waktu dekat, Sayang. Eonnie ingin memfokuskan cerita ini pada proses pembalasan dendam Jaejoong, bukan pada proses kehamilannya. Kalau pun terjadi kehamilan, itu nanti hanyalah bumbu penyedap cerita saja #plaaakkk. Mengenai Perdana Menteri Go, hemmm, adakah saran, kira-kira bentuk hukuman yang setimpal untuk beliau dan antek-anteknya apa ya? Ah, iya, chapter selanjutnya sudah Eonnie publish, ya? Sekali lagi maaf karena update-nya sebegini terlambat. Sudah setahun lebih dan baru sekarang Eonnie berhasil melanjutkannya. Selamat membaca, semoga hasilnya tidak mengecewakan.

Shanzec: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Persahabatan di antara Putera Mahkota Changmin dengan selir terkasih sang ayah memang kocak. Aha, tenang saja, Putera Mahkota Changmin tidak akan ikut-ikutan jahat seperti kakeknya (Perdana Menteri Go). Kalau Puan jadikan dirinya tokoh antagonis juga, nanti Puan yang bingung mengembangkan jalan ceritanya. Jadi sebaiknya yang jadi antagonis Perdana Menteri Go bersama keluarganya dan antek-anteknya saja. Biar lebih mudah dalam proses penulisannya, hehehe. Park yang dimaksud memang Park Yoochun. Mengenai hubungannya dengan Junsu apa, akan kita ketahui di chapter-chapter berikutnya. Bisa jadi, memang akan ada yang patah hati (lirik Panglima Shin), tapi tak mengapa, Puan siap menampungnya kok, hahaha. Pada chapter 7 akan sedikit dijelaskan tentang kedudukan Yang Mulia Raja Sukjong ini, sehingga akan ada alasan yang cukup kuat mengapa ia bisa mencurigai sang ayah mertua sendiri.

: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Rasanya, rasa lelah, letih, lesu ketika proses penulisan fanfic ini langsung menguap saat para pembaca begitu antusias merespon karya tak seberapa ini. Puan jadi terharu. Sekali lagi, terima kasih banyak. Terutama untuk pengertiannya yang luar biasa akan tugas utama Puan yang merupakan seorang ibu dengan dua orang anak yang memang sangat enerjik, sehingga Puan harus pandai-pandai mencuri waktu untuk menulis. Puan berusaha semampunya untuk bisa melanjutkan fanfic ini secepat yang Puan bisa, namun dalam perjalanannya tak sedikit kendala menghadang, sehingga pada akhirnya Puan harus terlambat untuk mem-publish chapter demi chapter. Untuk mengobati rasa kangen, Puan sudah mem-publish chapter 7. Semoga hasilnya tidak mengecewakan untuk teman-teman yang sudah begitu setia menantikan kelanjutan fanfic ini. Dan untuk dorongan semangatnya, Puan juga mengucapkan banyak terima kasih. Puan akan berusaha lebih keras agar bisa update cepat.

Kim anna shinotsuke: Terima kasih banyak karena telah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Sejak Puan tidak bisa lagi membuka ffn dari laptop karena masalah kartu untuk modem, Puan sudah tidak pernah lagi membaca karya-karya teman sesama author. Padahal rasanya kangen sekali. Begitu juga dengan karya-karyamu. Puan sudah lama sekali tidak membacanya. Dirimu masih aktif menulis, kan? Puan ucapkan selamat berkarya kepadamu. Ah iya, chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga dirimu masih berkenan untuk membaca kelanjutannya, dan tidak merasa kecewa dengan chapter yang sudah Puan tulis itu.

Aismamangkona: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga karena sudah suka dengan karakter Jaejoong di cerita sederhana Puan ini. Mungkin Puan mau mengoreksi sedikit, untuk menghadapi Perdana Menteri Go yang licik, bukan dengan kelicikan juga, melainkan dengan kecerdikan, hehehe. Dan untuk menjawab pertanyaanmu mengenai Jaejoong, kedua jawabannya benar. Jadi begini, marga ibunya Jaejoong sebelum menikah adalah Park, jadi jika ditarik garis keturunan dari pihak ibu, maka bisa dikatakan Jaejoong adalah keturunan keluarga Park. Sedangkan marga ayahnya adalah Kim. Karena itulah bila kita tarik garis keturunan dari pihak ayah, maka Jaejoong juga bisa disebut keturunan keluarga Bangsawan Kim. Nah, apakah penjelasan Puan sudah cukup jelas dan bisa mengurangi kebingunganmu? Puan harap penjelasan singkat Puan cukup bisa dimengerti, hehehe. Kalau memang ada hal-hal yang membuat bingung, jangan sungkan untuk bertanya, ya? Puan akan dengan senang hati menjawab.

Jeremmy Kim: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak di karya yang tak seberapa ini, Sayang. Puan merasa tersanjung untuk jejak yang kamu tinggalkan. Sekali lagi terima kasih banyak. Membaca jejak-jejak yang kalian tinggalkan, juga membuat Puan bersemangat untuk terus menulis, meski memang tidak bisa untuk update secepat mungkin. Akan tetapi, Puan akan berusaha semampu Puan untuk terus melanjutkan fanfic Puan ini.

: Terima kasih banyak sebab telah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Jaejae Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Iya, akhirnya Puan bisa juga update lagi. Setelah sekian lama terkendala, akhirnya Puan bisa juga melewati satu demi satu rintangan untuk menghadirkan fanfic ini ke tengah-tengah kalian semua, hehehe. Hohoho, mari kita saksikan bersama, kira-kira bentuk siksaan seperti apa yang akan diterima oleh keluarga Go ini?

Clein cassie: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Puan juga turut senang jika chapter lalu berhasil memuaskanmu, meskipun Puan sangat terlambat dalam hal update. Mohon maafkan keterlambatan Puan. Ahahaha, karakter Yang Mulia Permaisuri di sini memang bikin geregetan dan pengen banget rasanya nyakar-nyakar wajahnya, ya? Hahaha, untung saja itu hanya karakternya dalam cerita Puan, bukan dalam kehidupan nyata. Sedangkan mengenai kehamilan Jaejoong, sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat, karena memang fokus utamanya adalah bagaimana caranya Jaejoong mengumpulkan bukti demi bukti untuk membongkar kejahatan keluarga Go, bukan kehamilannya, hehehe.

Chantycassie: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pengertiannya yang luar biasa akan tugas utama Puan sebagai ibu, sehingga tidak bisa untuk update sesering mungkin. Aha, peribahasa itu tepat sekali untuk menggambarkan tentang Perdana Menteri Go dan puterinya yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Kita tunggu saja detik-detik kehancuran keluarga mereka. Sedangkan mengenai Jaejoong, hehehe, melihat dia yang mengemaskan rasanya ingin diculik untuk dibawa pulang. Emmm, pada chapter 7, Putera Mahkota Changmin secara tidak sengaja justru mengetahui bagaimana 'wajah asli' sang ibu. Kita lihat saja, apa yang akan dilakukan sang pewaris tahta itu selanjutnya, ya? Sedangkan untuk Yang Mulia Permaisuri, hemmm, kita tunggu saja apa yang akan ia tuai dari benih yang ia tanam. Bukankah setiap orang memang akan memetik hasil dari perbuatannya sendiri?

doctorCho YunJae: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya dan rasa sukanya pada karya sederhana Puan ini. Ah, tidak, kamu tidak melewatkan sesuatu. Memang benar jika eomma-nya Jaejoong dulu merupakan calon istri dari Yang Mulia Raja Sukjong yang saat itu masih menjadi Putera Mahkota. Tenang saja, Puan memang berencana untuk membuat akhir yang bahagia dalam cerita ini. Tentunya bahagia bagi pihak-pihak yang pantas mendapatkannya. Karena sepertinya sudah terlalu banyak juga cerita dengan ending yang membuat kita berurai airmata luka, tak ada salahnya Puan membuat sesuatu yang kebalikannya, bukan? Hehehe. Sedangkan mengenai kehamilan Jaejoong, karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang menjadi inti utama dari cerita ini, maka dalam waktu dekat belum akan ada kemungkinan tentang kehamilannya. Karena jika sekarang-sekarang ia sudah hamil, maka itu akan membahayakan dirinya sendiri. Alasan utamanya, hanya namja keturunan keluarga Park yang memiliki keistimewaan untuk bisa hamil selayaknya yeoja, jadi jika Jaejoong keburu ketahuan hamil, maka sudah dipastikan jati dirinya sebagai keturunan keluarga Park akan terbongkar. Dan itu sangat membahayakan posisinya, terutama karena nama keluarga Park sendiri dalam catatan sejarah belum dibersihkan. Puan lebih suka saat nantinya Jaejoong hamil, keadaan sudah kondusif, sehingga ia bisa menikmati kehamilannya dengan tenang, hehehe.

Depdeph: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Mengenai selir-selir Yang Mulia Raja, pada awal-awal mereka sebenarnya memang termakan adu domba yang dilakukan oleh Yang Mulia Permaisuri melalui dayang-dayang kepercayaan mereka. Namun, pada akhirnya diam-diam tanpa sepengetahuan dayang masing-masing, atas prakarsa Selir Suk, mereka mengadakan pertemuan dan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka, sehingga akhirnya mereka menjadi akrab. Dan keakraban yang mereka tunjukkan saat mereka bersama-sama di depan Yang Mulia Raja, itu adalah keakraban yang sesungguhnya. Namun, karena Yang Mulia Permaisuri tidak mengetahui adanya pembicaraan di antara para selir, beliau menganggap keakraban itu hanyalah pura-pura. Di antara para selir, memang Selir Suk yang secara nyata menunjukkan ketidaksukaannya akan sikap sang permaisuri. Pada chapter 7, akan sedikit dijelaskan mengenai selir-selir ini. Semoga itu bisa menjawab rasa penasaranmu, ya? Sedangkan mengenai Perdana Menteri Go, entah kenapa Puan pribadi tak rela jika di dalam cerita ini ia cepat-cepat mati sebelum mempertanggungjawabkan segala perbuatannya yang sudah selangit tembus itu. Kekeke, alasan utama kenapa Jaejoong tidak dibuat hamil sekarang-sekarang ini sebenarnya bukan karena khawatir dia keburu mau ngelahirin kalau nanti ada konfrontasi dengan Perdana Menteri Go, hehehe. alasan utamanya justru agar jati dirinya tidak terbongkar lebih cepat sebelum ia membersihkan nama keluarganya dalam catatan sejarah kerajaan. Aih, aih, itu imajinasinya kemana-mana sepertinya. Karena Puan juga tidak suka dengan sinetron, sebisa mungkin cerita Puan tidak akan seperti jalan cerita sinetron-sinetron itu. Jangan ragu untuk mengingatkan Puan ya seandainya dalam perjalanannya nanti sudah mulai keluar jalur. Akhir kata, chapter berikutnya sudah Puan update. Mohon maaf untuk segala keterlambatan yang tidak bisa Puan hindari. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya dan hasilnya tidak mengecewakan.

NaraYuuki: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Yuuki Sayang. Terima kasih banyak juga untuk penjelasannya mengenai alur dan penceritaan itu, Sayang. Unnie jadi memiliki pengetahuan tambahan. Ah, Unnie sudah lama sekali rasanya tidak membaca karya-karyamu di ffn. Masalahnya karena kartu yang dipakai untuk modem Unnie ini tidak bisa mengakses ffn. Huft, mungkin sudah waktunya untuk ganti provider atau bagaimana agar tidak lagi menemukan kendala saat hendak membuka ffn. Entah mengapa, rasanya lebih nyaman membaca cerita yang dipublish di sana. Hehehe, Kepala Pengawal Kim, ini ada seseorang yang bersedia membantumu. Maukah kau menerima bantuan yang ia tawarkan? Kamu juga jaga kesehatan ya, Sayang. Dan teruslah berkarya.

YunJae24: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Maaf karena sudah membuatmu khawatir akan kelanjutan fanfic ini. Selagi masih bernyawa, Puan akan berusaha sebisanya untuk menyelesaikan fanfic ini di chapter 13. Akan tetapi, mungkin pada perjalanannya, memang Puan tidak bisa untuk update secepat yang diharapkan. Mohon pengertiannya ya, Sayang. Aha, kalau Puan ada di posisinya Jaejoong, mungkin sedikit bingung juga untuk langsung jujur tentang perasaan Puan, terlebih jika mengingat bahwa seluruh keluarga musnah justru karena satu perintah dari ayah sang lelaki yang statusnya adalah suami sendiri. Kekeke, sepertinya sampai beberapa chapter ke depan masih harus bersabar untuk menunggu Yang Mulia Permaisuri menuai hasil dari benih yang telah ia tanam. Sekali lagi, terima kasih karena masih berkenan menunggu fanfic ini update, meski jangka waktu penantiannya lama sekali. Oh iya, terima kasih juga untuk dorongan semangatnya, Sayang.

Triloveyunjae: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Semoga Puan tidak lekas besar kepala karena sanjungan dan pujian. Chapter selanjutnya sudah Puan update. Mohon maaf untuk segala keterlambatan Puan dalam hal mempublikasikan chapter demi chapter. Dan semoga saja chapter 7 ini hasilnya tidak mengecewakan para pembacanya, meski mungkin tidak setimpal dengan penantian panjang yang telah kalian lakukan.

Guest: Terima kasih banyak karena telah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Keberatankan untuk menyebutkan namamu, Sayang. Puan sangat berterima kasih untuk pertanyaan sekaligus koreksi yang telah kamu berikan. Pertanyaanmu tidak salah, justru kesalahan itu ada pada Puan, dan Puan menyadari sekaligus mengakuinya. Seperti yang sudah Puan katakan di awal, cerita ini terinspirasi dari salah satu drama silat kolosal Mandarin yang berjudul The Great Conspiracy. Dan seingat Puan, ada beberapa adegan dalam drama tersebut yang setting-nya di atas sebuah ranjang, lengkap dengan kelambu, yang khas drama-drama Mandarin klasik itu. Yang bantalnya bentuknya kayak batu bata. Nah, setelah menulis beberapa chapter, Puan justru baru sadar bahwa Dinasti Joseon jelas berbeda dengan dinasti-dinasti China. Namun, karena sudah terlanjur di tulis akhirnya Puan memang tidak merubah cerita di bagian mengenai ranjang itu. Pada chapter 7 yang telah dipublish, pada akhirnya Puan selipkan sedikit keterangan bahwa tempat tidur berbentuk ranjang hanya untuk selir dan permaisuri. Karena ada juga di salah satu chapter, justru tokohnya diceritakan tidur di kasur lipat. Mungkin terlihat seperti kesalahan kecil, namun sebenarnya Puan merasa terbebani juga. Hendak dirombak total berarti Puan harus merubah sebagian besar cerita dalam satu chapter, tidak diubah juga jadi semacam beban batin. Akan tetapi pada akhirnya Puan mengambil kesimpulan untuk meneruskan saja jalan cerita yang sudah terlanjur dipublikasikan, sambil mengambil pelajaran penting dari kejadian yang sudah terjadi akan betapa pentingnya observasi sebelum menulis. Sekali lagi terima kasih banyak, Sayang. Puan senang sekali mendapat pertanyaan sekaligus koreksi seperti ini. Jangan bosan-bosan untuk memberikan pengetahuan-pengetahuan baru untuk Puan, ya?

Jaena: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Aish, anak Mommy sepertinya memang sedang bermimpi saat menulis review ini, makanya judul fanfic Mommy yang harusnya The Great Revenge ditulisnya jadi The Gerat Revenge. Gerat apaan atuh artinya, Sayang? Hahaha, Mommy-mu ini sering dibilang cenayang, mungkin karena Mommy cucu dukun kali, ya? Halah. Eeeh, malah minta Mommy menebak-nebak lagi. Tarifnya mahal, Sayang. Maklumlah, sekarang apa-apa harganya melambung. Mommy kudu letak harga tinggi biar ada penghasilan lebih, hahahaha. Upst, becandaaa. Apakah dirimu berkulit putih? Mata bulat dengan bulu mata lentik dan bola mata berwarna cokelat? Rambutmu lebat berwarna hitam? Hush, Mommy jadi beneran nebak-nebak, deh.

Omong-omong, maaf sekali harus mengecewakanmu, Nak. Jaejoongnya memang belum hamil di chapter berikutnya. Karena memang inti ceritanya bukan mengenai kehamilan Jaejoong, maka Mommy tidak akan menuliskan tentang kehamilan Jaejoong dalam waktu dekat. Sabar saja, ada waktunya Jaejoong hamil, kekeke. Dirimu tak rela Changmin menjadi anaknya Yang Mulia Permaisuri? Ahahaha, kita lihat saja nanti kejutannya, ya? Kamu juga pernah membaca cersil Pendekar Rajawali Sakti? Dulu Mommy pertama sekali membacanya pas kelas 3 SD kalau tidak salah, itu pun dari hasil meminjam tanpa ijin dari Paman, hahaha. Sampai sekarang masih saja doyan membacanya. (Mommy baru sadar kalau review-mu ada dua, namun karena isinya secara garis besar sama, Mommy tulis balasannya sekali saja tidak apa-apa, ya?). Aaah, tidak usah khawatir jika komentarnya kepanjangan. Mommy senang membaca review-review dari para pembaca. Mau panjang atau pendek Mommy tetap suka dan tetap menghargainya. Mengenai 'dia' yang dimaksud oleh Yang Mulia Raja, memang mengarah pada Park Yoochun. Sedangkan orang yang dicintai Junsu yang jelas bukan Park Young Woon alias eomma-nya Jaejoong. Pada chapter-chapter selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab. Kita tunggu saja bersama-sama kelanjutannya. Terima kasih juga untuk dorongan semangatnya ya, Sayang? Sukses selalu juga untukmu. See you.

Raayra putria: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga karena sudah menyukai karya sederhana Puan ini. Chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga hasilnya tidak mengecewakan kamu sebagai pembaca, meski mungkin tidak setimpal dengan penantian panjang selama setahun lebih untuk membaca kelanjutannya. Karena itu pada kesempatan ini Puan juga ingin meminta maaf atas keterlambatan Puan dalam mem-publish chapter 7. Semoga ke depannya, Puan bisa mem-publish cerita lebih cepat sehingga tidak membuat teman-teman harus menunggu lama untuk membaca kelanjutan dari karya sederhana ini.

Elzha luv changminnie: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk kekagumannya #sodorin Teh Obenk (kalau di tempat Puan itu adalah sebutan untuk es teh). Jiah, akhirnya mengaku kalau doyan yang 'enceh'. Sudah cukup umurkah dirimu, Nak? Kekeke. By the way, kepintaran Jaejoong dalam hal racun itu diperlukan dalam chapter 7 saat Putera Mahkota terkena racun yang sebenarnya ditujukan untuk selir terkasih raja itu. Ecieee, ketahuan nih diam-diam memerhatikan pemuda desa itu, ya? Mengenai jati diri Jaejoong, memang benar kalau dia adalah cucu dari Bangsawan Kim. Hohoho, kalau kata pepatah itu, buku bertemu ruas, yang kalau diartikan adalah menemukan lawan sepadan. Sedangkan mengenai kemungkinan cerita sederhana ini dibukukan, bisa jadi setelah tamat 13 chapter akan Puan bukukan. Niat utama Puan membukukan sebenarnya untuk koleksi pribadi saja, sebagai bukti nyata ini loh fanfic YunJae pertama Puan, hehehe. Sedangkan untuk karya one shoot Puan, Puan merasa beruntung sekali karena ada satu karya Puan yang akhirnya dibukukan bersama teman-teman author yang lain. (Puan menulis one shoot ini juga di sela-sela Puan menulis kelanjutan The Great Revenge, karena pada awalnya ingin menantang diri sendiri, apakah sanggup menulis one shoot yang dibatasi hanya boleh 5000 kata, meski hasil akhirnya justru lebih dari 10.000 kata, kekeke). Yang membuat Puan sangat bahagia itu, karena di dalam buku tersebut juga ada beberapa penulis idola Puan, salah satunya adalah Mbak Mano yang penname-nya ialah My beauty jeje. Walaupun bukunya cuma beredar di kalangan YJS, tapi itu tidak mengurasi rasa senang Puan karena karya Puan yang masih jauh dari kata sempurna bisa disandingkan dengan author-author yang sudah lebih dahulu terjun dalam dunia kepenulisan. Yaelah, jadi ngelantur kemana-mana ini mah. Yang jelas, terima kasih banyak sudah mem-favoritkan, juga sudah memberikan dukungan semangat. Kamu juga semangat ya dalam melakukan apapun aktivitasmu saat ini, Sayang #peyuk gak kayah eyat #plaaak.

SimviR: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Hahahaha, mengenai istana bawah tanah seluas aslinya itu, sepertinya imajinasi Puan saja yang terlalu meluber kemana-mana. Mengenai adakah keluarga Park yang masih tersisa, jawabannya masih. Kenapa masih ada, jawabannya bisa ditemukan di chapter-chapter selanjutnya, karena mereka juga memegang peranan cukup penting di dalam cerita ini. Yang Mulia Raja masih menyelidiki kemungkinan tentang keterlibatan Perdana Menteri Go yang merupakan ayah mertuanya, dengan satu kasus yang sedang beliau pelajari. Pada akhirnya benang merah ceritanya akan kelihatan. Hohoho, Puan juga suka cerita tentang mata-mata di atas mata-mata. Ah iya, terima kasih juga untuk dorongan semangatnya. Puan sudah mem-publish chapter berikutnya. Mohon maaf untuk keterlambatannya, Sayang. Ada hal-hal yang tidak bisa Puan ungkap satu per satu yang menjadi kendala, hingga setelah setahun lebih, cerita ini baru berhasil Puan update. Semoga hasilnya tidak mengecewakan, meski mungkin belum setimpal dengan lamanya waktu yang harus kalian habiskan untuk membaca kelanjutan cerita ini. Sekali lagi Puan minta maaf.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah dirimu menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan sangat senang jika bisa menyapamu dengan menyebutkan nama aslimu, atau mungkin juga nama panggilanmu. Ah, iya, sepertinya hal-hal yang berhubungan dengan fanfic Puan ini memang membutuhkan kesabaran lebih. Mulai dari membacanya, sampai menantikan kelanjutan ceritanya. Puan minta maaf sekali harus membuat kalian, para pembaca sekalian, harus menunggu dan terus menunggu kelanjutan cerita ini. Setelah setahun sebulan kalau tidak salah, akhirnya Puan bisa juga mem-publish chapter 7. Semoga hasilnya tidak mengecewakan dan kamu masih berkenan untuk membacanya. Terima kasih juga untuk dorongan semangatnya, Sayang.

Vivi: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Vivi Sayang. Hehehe, Puan sengaja membuat Jaejoong di sini memiliki banyak keahlian, untuk mengalihkan dunia sang raja. Ah, senang rasanya jika kamu menyukai interaksi antara Putera Mahkota dengan selir terkasih ayahnya. Hemmm, mengenai Yang Mulia raja sendiri, beliau sedang menyelidiki kemungkinan adanya keterlibatan antara sang ayah mertua dengan salah satu kasus yang sedang beliau pelajari. Kalau rencana jahat Go sekeluarga, kita saksikan saja bersama-sama apalagi yang mereka rencanakan untuk mencelakakan Jaejoong, ya? Oh iya, terima kasih untuk dorongan semangatnya.

TymaghT: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Haha, iya, meski belum yakin dengan perasaannya, tapi Jaejoong pada akhirnya mulai merasa cemburu saat sang suami malah bermesraan dengan Yang Mulia Permaisuri di depan matanya. Mengenai Seungri, Kepala Pengawal Kim belum mengetahui bahwa dialah yang menyerang Jaejoong. Hanya saja, kecurigaan itu sempat terlintas di benaknya, namun ia cepat-cepat menyanggahnya. Pada akhirnya nanti akan ketahuan juga sih, kekeke. Oh tidak, Putera Mahkota tidak akan jadi jahat seperti sang ibu. Sepertinya tokoh-tokoh yang mengisi peran antagonis sudah cukup banyak, tidak perlu ditambah lagi. Puan yang puyeng sendiri nantinya, hahaha. Sekali lagi, terima kasih, Sayang. Untuk jejak yang ditinggalkan, juga untuk dorongan semangatnya.

TyYJs: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Puan harap kalian tidak keberatan jika dalam satu chapter Puan menulis sepanjang jalan kenangan. Di dalam cerita ini, adik tiri raja alias Pangeran Besar Yi An Soo bukan tokoh antagonis. Puan merasa tokoh antagonisnya sudah cukup banyak, tidak perlu ditambah lagi, agar Puan juga tidak puyeng dalam proses penulisannya, hehehe.

Yunjae Lover: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungan dan dorongan semangatnya. Semoga Puan tidak lantas menjadi besar kepala karena mabuk oleh pujian dan sanjungan.

Zehera Iona: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Maafkan Puan yang baru sekarang bisa menjawab pertanyaanmu. Sejujurnya, pertanyaan yang kamu ajukan merupakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Butuh waktu sangat lama untuk Puan memikirkan jawaban dari pertanyaan itu. Tapi akhirnya, Puan dengan tegas bisa mengatakan, bahwa meski sangat mencintai sang suami, namun porsi rasa cinta sang permaisuri pada kekuasaannya jauh lebih besar. Bisa dikatakan, rasa cinta sang permaisuri pada sang suami adalah cinta buta, hingga ia tidak segan-segan melakukan segala cara untuk menyingkirkan orang-orang yang menurutnya merupakan batu sandungan dalam mendapatkan perhatian penuh sang suami. Jika ditanya sebesar apa rasa cintanya pada sang suami, tentunya sangat besar. Dan mengenai apa yang akan dilakukannya, seandainya sang anak melawannya, kita lihat saja nanti di dalam chapter berikutnya. Ah, tenang saja. Puan tidak menganggapmu cerewet karena telah bertanya. Justru Puan merasa senang jika teman-teman yang membaca mengajukan pertanyaan seandainya memang ada hal-hal yang ingin ditanyakan. Chapter berikutnya sudah Puan publish. Mohon dimaafkan karena Puan tidak bisa mem-publishnya secepat yang kamu inginkan, Sayang. Semoga hasilnya tidak mengecewakan, dan kamu masih tetap berkenan untuk membacanya.

Alby: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Salah satu namja yang menyandang marga Park itu, memiliki kisah masa lalu dengan Kepala Pengawal Kim, tapi kedua orang tersebut tidak memiliki hubungan keluarga sama sekali.

Ai: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Puan harap, banyaknya jumlah kata dalam satu chapter tidak membuat teman-teman pembaca menjadi bosan. Jika ternyata membosankan, Puan akan mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah kata dalam satu chapter.

Yena Jung: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk mampir dan meninggalkan jejak, Sayang. Untuk masalah kehamilan, Jaejoong tidak akan hamil dalam waktu dekat. Salah satu alasannya ya supaya jati dirinya tidak terbongkar lebih awal. Di jaman itu, satu-satunya namja yang bisa mengandung selayaknya yeoja hanyalah namja dari keluarga Park. Nah, bayangkan seandainya sebelum misinya untuk membersihkan nama keluarganya dalam sejarah kesampaian, jati diri Jaejoong sebagai keturunan keluarga Park malah ketahuan duluan. Jelas sangat membahayakan posisinya, bukan? Karena itulah Puan tidak akan menempatkan kehamilan Jaejoong di pertengahan cerita. Jaejoong pasti akan hamil, tapi kemungkinannya akan Puan tempatkan di bagian akhir cerita, sebagai penutup yang indah setelah kesulitan demi kesulitan yang selama ini mewarnai perjalanan hidupnya. Mengenai Yang Mulia Permaisuri, jika setelah semua kebusukannya terbongkar beliau masih tetap dipertahankan sebagai permaisuri, maka itu jelas akan menimbulkan pertanyaan, dan akan membuat buruk citra kerajaan. Oleh karena itu sudah sepantasnya beliau diturunkan dari kedudukannya sebagai Ratu Joseon. Oh iya, terima kasih banyak untuk dorongan semangatnya. Chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga hasilnya tidak mengecewakan dan mohon maaf untuk segala keterlambatan dalam mempublikasikannya.

Miele4yu: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Puan sangat senang jika kamu menyukainya. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.

Akiramia44: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Aduh, semoga kamu tidak membaca fanfic ini sambil jalan. Karena bagaimanapun, utamakan keselamatan di jalan raya. Bacalah di tempat yang aman, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Emmm, sebenarnya, salah satu namja yang menyandang marga Park itu memiliki kisah masa lalu dengan Kepala Pengawal Kim. Kisahnya seperti apa, pada chapter-chapter selanjutnya sedikit demi sedikit akan ketahuan juga. Mohon bersabar lebih lama untuk menguak semua rahasia yang terjalin di antara tokoh-tokohnya, ya? Oh iya, terima kasih banyak untuk sanjungan dan dorongan semangatnya, juga pengertiannya yang luar biasa. Chapter selanjutnya sudah Puan update. Selamat membaca dan semoga hasilnya tidak mengecewakan.

Dhea Kim: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Hahaha, pada awalnya Puan sempat berpikiran serupa, akan adanya kisah cinta segitiga antara Yang Mulia Raja – Selir Hwan – Putera Mahkota Changmin. Akan tetapi cepat-cepat Puan mengenyahkan pikiran itu karena ingin fokus pada cara Jaejoong membalas dendam keluarganya sekaligus membersihkan nama mereka dalam catatan sejarah kerajaan. Karakter Yang Mulia Permaisuri dalam cerita ini memang merupakan seorang perempuan yang licik, picik, dan tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Karakter yang bikin kita pengen nyakar-nyakar mukanya, hahaha. Iya, benar, jadi dulu eomma-nya Jaejoong ialah calon istri Raja Yi Yunho yang saat itu masih jadi Putera Mahkota. Sedang identitas ayah kandung Jaejoong yang sebenarnya memang Kim Hyun Joong, yang kehilangan ingatannya. Kim Hyun Joong ini sendiri merupakan putera dari Bangsawan Kim. Jadi, memang di dalam darah Jaejoong ini mengalir darah kaum bangsawan. Oh iya, bukankah hari ini hari ulang tahunmu? (Puan menulis review ini saat Hari Sumpah Pemuda). Kalau begitu, Puan ucapkan selamat ulang tahun. Do'anya tentu saja agar kamu semakin dewasa, semakin bijak dalam menyikapi kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup, selalu diberikan kesehatan baik lahir maupun batin, dilancarkan rejekinya, dan apapun yang kamu cita-citakan akan dikabulkan oleh Tuhan. Pokoknya wish you all the best, Dear.

WineMing: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk mampir dan meninggalkan jejak yang luar biasa ini, Sayang. Puan jadi senyum-senyum tak enak hati setelah menyadari jarak update antara chapter 5 ke chapter 6 itu ternyata selama 6 bulan lebih. Sementara jarak antara chapter 6 ke chapter 7 itu selama setahun sebulan. Bukannya makin cepat update, malah lebih lama dua kali lipat. Puan benar-benar minta maaf dengan segala keterbatasan Puan yang tidak bisa untuk update secepat kilat. Mungkin kalian bosan dengan alasan-alasan mengenai keterlambatan yang kedengarannya klise, tapi memang begitulah keadaannya. Kalau tidak salah, di awal-awal tahun 2015, laptop Puan mulai bermasalah hingga akhirnya mati total, sementara saat itu Puan sudah menulis chapter 7 kira-kira hampir 7000 kata. Dan di saat kebutuhan untuk keluarga juga banyak, rasanya sungguh egois jika Puan meminta laptop baru pada suami, sehingga pada akhirnya Puan memang terpaksa berhenti menulis sementara. Ketika pada akhirnya dapat laptop pengganti, Puan langsung ngebut untuk menulis chapter 7 dari awal. Bukan hanya menulis, tapi juga kembali mengumpulkan satu per satu referensi yang Puan perlukan. Yah, itulah sekelumit gambaran mengapa Puan lama sekali baru bisa update chapter 7 ini. Semoga bisa dimaklumi.

Aduh, maafkan Puan karena lagi-lagi harus mengecewakanmu dan teman-teman pembaca sekalian yang mengharapkan Jaejoong cepat hamil. Karena inti dari cerita ini adalah perjuangan Jaejoong untuk membalas dendam sekaligus membersihkan nama keluarga Park dalam catatan sejarah kerajaan, maka kehamilan Jaejoong justru akan Puan letakkan di bagian akhir. Puan tidak ingin identitas diri Jaejoong sebagai keturunan keluarga Park ketahuan lebih awal dari yang sudah Puan rencanakan. Karena pada masa itu, namja yang bisa hamil hanyalah namja yang berasal dari keluarga Park. Kehamilan Jaejoong di awal sama saja dengan membuka kedok mengenai jati dirinya yang sebenarnya. Dan hal itu justru sangat membahayakan. Karena itulah sekali lagi Puan katakan, bahwa Jaejoong tidak akan hamil dalam waktu dekat, Sayang.

Ah iya, terima kasih banyak untuk dorongan semangat dan juga salamnya. Salamnya sudah Puan sampaikan untuk Puteri Hujan-nya Puan. Saranghae, Sayang. Bye bye

.9: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk mampir dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga karena sudah menyukai karya Puan yang tidak seberapa ini. Maafkan Puan jika tidak berhasil membuatmu puas ketika membacanya, hehehe. Chapter 7 sudah Puan update. Sekali lagi maafkan Puan karena tidak bisa untuk update cepat seperti yang kamu inginkan, Sayang. Ke depannya, Puan hanya bisa berharap semoga tidak ada lagi kendala-kendala yang berarti, yang membuat Puan terlambat untuk update chapter selanjutnya.

Misschokyulate2: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Aduuuh, Puan benar-benar minta maaf karena justru permintaan itu yang tidak bisa Puan kabulkan. Seandainya bisa, Puan juga ingin sekali bisa update secepatnya. Namun apa daya, sebagai manusia Puan hanya bisa berencana, Sayang. Sekali lagi Puan hanya bisa mengaturkan maaf. Maaf karena telah membuatmu harus menunggu Jaejoong berdandan. Eeeh?

Dewi15: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk mampir dan meninggalkan jejak, Sayang. Benar sekali. Park yang dimaksud memang Park Yoochun. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Selamat membaca, dan semoga hasilnya tidak mengecewakan serta mampu mengobati rasa penasaranmu.

ShinJiWoo920202: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Puan juga berterima kasih untuk pujian dan sanjungannya. Puan belum pernah ke Korea, bahkan di dalam mimpi sekalipun, Puan belum pernah mengunjungi Negeri Ginseng itu, hehehe. Padahal ingin sekali suatu saat menjejakkan kaki ke sana, terutama ketika musim semi. Untuk saat ini, yang bisa Puan beritahukan hanyalah salah satu namja bermarga Park itu memiliki kisah masa lalu dengan Kepala Pengawal Kim. Mengenai apa kisahnya, akan kita temukan jawabannya di chapter-chapter selanjutnya. Oh iya, chapter 7 sudah Puan publish. Selamat membaca dan semoga hasilnya tidak mengecewakan, ya?

My beauty jeje: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Mbak. Wkwkwk, omong-omong, brewoknya sudah dicukur apa belum, Mbak? Hahaha, entah kenapa Puan ini suka sekali menggambarkan Jaejoong sebagai remaja berusia 15 tahun yang otaknya cemerlang, didukung keahlian-keahlian lain yang membuatnya pantas menjadi pusat perhatian. Haaah, efek masa remaja yang kurang bahagia mungkin, kekeke. Iya, Mbak, terima kasih untuk petuahnya. Untungnya Puan tidak pernah mengambil hati karena beberapa di antara teman-teman pembaca menginginkan Puan untuk bisa update secepatnya. Puan yakin mereka adalah para pembaca yang pengertian, sehingga ketika diberikan penjelasan secara baik, mereka akan memakluminya. Dan Puan sangat berterima kasih untuk pengertian mereka yang luar biasa. Hohoho, terima kasih juga buat do'anya, Mbak. Iya nih, Puan juga mulai merasakan keram pada jemari, keriting pada otak, dan sebangsanya. Aamiin, aamiin, semoga dijauhkan dari penyakit dan ide terus-menerus mengalir sampai jauh seperti lagu Bengawan Solo. Untuk pertanyaan terakhir mengenai akun facebook Puan, tidak Puan jawab ya, Mbak, karena itu juga pertanyaan setahun sebulan yang lalu. Karena pada kenyataannya saat ini kan kita sudah cukup kenal juga di inbox, kekeke.

Apriel: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Maafkan Puan karena tidak bisa update sesering dan secepat mungkin. Jika sesuai dengan rencana awal, maka fanfic ini akan selesai pada chapter ke-13.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah dikau menyebutkan siapa gerangan namamu, Sayang? Eonnie akan senang sekali jika bisa menyapamu dengan menyebutkan namamu. Mengenai syair lagunya, itu memang syair asli yang Eonnie dapatkan setelah menelusuri Mbah Google. Sayang sekali Eonnie juga tidak menemukan artinya. Sedangkan mengenai puisinya, itu adalah hasil corat-coret Eonnie, hehehe. Yup, semua memang tentang Jaejoong alias Joongie. Jaejoong yang serba bisa. Tapi kayaknya tidak bakalan ada deh acara jambak-jambakan atau nempokin sandal kayu ke pipi Yang Mulia Permaisuri, kekeke.

RaizelYJ: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga karena sudah menyukai karya Puan yang tidak seberapa ini. Karakter permaisuri di sini memang licik dan begitu piawai bersandiwara. Sedangkan Yang Mulia Raja sendiri mencurigai bahwa sang mertua memiliki keterlibatan dengan salah satu kasus yang sedang beliau selidiki. Aha, untuk menghadapi manusia-manusia licik seperti itu bukan dengan kelicikan juga, tapi dengan kecerdikan, Sayang.

Kyoarashi57: Terima kasih banyak karena telah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Hahaha, tebakanmu benar sekali. Tentu saja berkaitan dengan Kang Mas Jidat Jenong. Mengenai pemegang kunci apa mereka, yang pasti sih bukan kunci Inggris, ya? Ehem, sang raja yang tak kuasa menahan diri kalau di dekat selir terkasih, makanya sampai dibikin mabuk selirnya itu. Huhuhu, sampai tepar kan akhirnya Jaejoong melayani gairah sang suami yang perkasa itu. Mengenai Putera Mahkota, tenang saja. Puan tidak akan membuat ia menjadi tokoh antagonis seperti ibu dan kakeknya. Changmin kan anak baik yang doyan makan, kekeke. Sekali lagi terima kasih karena sudah membacanya, ya? Oh iya, chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga hasilnya memuaskan, dan maafkan Puan untuk keterlambatannya dalam mem-publish chapter 7 ini.

Snow'Queen BabyBoo: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Hahaha, kelihatan ya kalau Eonnie suka yang panjang-panjang, BabyBoo? Kamu juga, kan? Eeeh? Mengenai Perdana Menteri Go, hemmm, belum ketahuan sebenarnya. Yang Mulia Raja sebenarnya mencurigai keterlibatan sang mertua dengan salah satu kasus yang sedang diselidikinya. Kalau Yuchun, makhluk satu ini spesial banget memang. Penampakannya juga perlahan-lahan sekali. Dimulai dari kemunculan namanya, diikuti penampakan jidatnya, baru akhirnya tampak keseluruhan. Sedangkan mengenai kehamilan Jaejoong, yang pasti sih tidak akan dalam waktu dekat, kekeke. Kan inti cerita Eonnie bukan terletak pada kehamilan Jaejoong? By the way, Eonnie panggil BabyBoo saja, lebih imut rasanya. Oh iya, terima kasih banyak juga untuk dorongan semangatnya. Chapter selanjutnya sudah Eonnie lanjutkan.

Mami Fate Kamikaze: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Sebenarnya, Yang Mulia Raja menyelidiki latar belakang selir terkasihnya itu bukan dengan maksud jahat. Dalam pikirannya, sang selir ini justru memang tidak tahu apa-apa tentang asal-usul orangtuanya. Yang Mulia Raja justru tidak tahu kalau sang selir sudah mengetahui asal-usul keluarga ibunya dan menyimpan bara dendam di dalam hatinya. Mengenai Yoochun, benar jika dialah 'dia' yang dimaksud oleh Yang Mulia Raja dengan Kepala Pengawal Kim. Yoochun memang salah seorang anggota keluarga Park yang masih tersisa. Mengenai apa yang terjadi padanya, akan kita ketahui bersama di chapter-chapter selanjutnya. Begitu juga dengan kemungkinan apakah ia memiliki ikatan darah dengan Jaejoong atau tidak. Tapi kalau dilihat dari marganya, jelas kemungkinan itu sangat besar. Meski tidak sedikit orang bermarga sama tapi justru tidak memiliki hubungan keluarga. Oh iya, chapter selanjutnya sudah Puan lanjutkan. Selamat membaca dan semoga hasilnya tidak mengecewakan.

GaemCloud347: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Benar, Park yang dimaksud memang Park Yoochun. Suatu hari nanti, tentu saja kejahatan demi kejahatan yang dilakukan oleh Perdana Menteri Go akan ketahuan. Ibarat kata, apa yang ia semai, itulah yang akan ia tuai. Chapter selanjutnya sudah Puan update, akan tetapi maafkan Puan yang memang tidak bisa untuk update secepat yang diharapkan. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya, dan hasilnya tidak mengecewakan.

ChwangKyuh EviLBerry: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Ya ampun, sekali lagi rasanya Puan ingin menjedotkan kening ke bantal. Puan benar-benar minta maaf karena tidak bisa mengabulkan keinginanmu dan juga teman-teman pembaca yang lain untuk update secepat mungkin, Sayang. Nyatanya, setelah setahun satu bulan, baru sekarang Puan bisa mempublikasikan chapter 7. Sama sekali tidak ada niat di hati Puan untuk membuat kalian menunggu, sekali lagi, apa daya Puan sebagai manusia untuk menghindar dari kendala-kendala yang memang harus terjadi dalam kehidupan? Puan sungguh minta maaf untuk segala keterlambatan, juga ktidaknyamanannya. Berarti nuansa yang tertangkap masih dominan khas cerita silat klasik perpaduan Jawa-China, ya? Itu artinya Puan harus lebih banyak belajar lagi untuk mendeskripsikan keadaan agar lebih terasa Korea-nya ketimbang Jawa-nya. Terima kasih banyak untuk masukannya, Sayang. Jangan bosan-bosan ya memberi saran untuk Puan. Tebakanmu benar, sampai tahun depan cerita ini juga belum tamat. Kecuali Puan update sebulan sekali, maka pas pertengahan tahun ceritanya akan selesai. Semoga Puan bisa mewujudkan impian Puan pribadi untuk segera menamatkan cerita ini. Oh iya, chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga kamu masih berkenan membacanya, dan hasilnya tidak mengecewakan. Terima kasih juga untuk dorongan semangatnya, Sayang.

Lipminnie: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Hehehe, benar sekali. Joseon sangat beruntung jika yang menjadi pemaisuri ialah Jaejoong. Terima kasih juga karena sudah menyukai chapter ini. Yang Mulia Raja sih memang begitu, susah mengendalikan diri kalau sudah berdekatan sama selir terkasih. Tak jarang jadi lupa diri juga. Untunglah ada Kepala Pengawal Kim yang selalu mendampingi dan mengingatkan kalau Yang Mulia Raja sudah mulai tidak sadar situasi, kekeke.

Shim JaeCho: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Annyeong…. Sengaja Jaejoongnya dibikin pintar, biar Yang Mulia Raja semakin susah berpaling, hehehe. Chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya, dan hasilnya tidak mengecewakan. Oh iya, terima kasih juga untuk dorongan semangatnya.

Dex indra: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk mampir dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya, dan hasilnya tidak mengecewakan.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah kiranya menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan senang sekali seandainya bisa berkenalan denganmu dan menyapamu. Terima kasih juga untuk sanjunganmu. Maafkan Puan karena sudah membuatmu menunggu lama untuk bisa membaca kelanjutan ceritanya. Chapter selanjutnya sudah Puan publikasikan, semoga hasilnya tidak mengecewakan dan kamu masih berkenan untuk membacanya.

Maylinda 925: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya, semoga Puan tidak lekas besar kepala dengan segala pujian dan sanjungan. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Maafkan Puan karena setelah setahun sebulan, baru kali ini Puan bisa update. Semoga kamu masih berkenan untuk membaca kelanjutannya, dan tidak kecewa dengan hasilnya.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Ina Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Maafkan Puan karena kembali terlambat untuk melanjutkan cerita ini. Jika dikatakan apakah cerita yang Puan tulis merupakan perpaduan antara Jang Geum dengan Dong Yi, Puan sendiri bingung menjawabnya. Cerita ini memang terinspirasi dengan drama Jewel in the Palace itu, tapi Puan sama sekali belum pernah menyaksikan drama Dong Yi, dan tidak tahu jalan ceritanya seperti apa. Pernah sih, sekali sepertinya, membaca sekilas tentang selir raja bernama Dong Yi, pada saat Puan mencari-cari nama-nama untuk selir sang raja yang berjumlah 5 saat itu, karena itulah di sini karakter itu Puan berikan pada Selir Suk. Kan nama asli Selir Suk dalam cerita ini adalah Choi Dong Yi. Jika karakter Jaejoong di sini pada kenyataannya mirip dengan karakter dalam drama Dong Yi, mungkin kebetulan yang tidak disengaja. Ah, sepertinya Puan memang harus menyaksikan drama itu, biar tahu jalan cerita dan karakter tokoh-tokohnya seperti apa. Biar tidak penasaran juga. Apakah memang mirip sekali karakternya? Oh iya, chapter selanjutnya sudah Puan publikasikan. Selamat membaca, semoga berkenan dengan hasilnya, dan sekali lagi mohon maaf untuk keterlambatan Puan dalam hal update.

Zen Ikkika: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Salam kenal juga untukmu. Terima kasih karena sudah menyukai cerita sederhana Puan ini. Ah, tidak, Kepala Pengawal Kim tidak memiliki hubungan saudara dengan Jaejoong, dan keduanya juga tidak merubah marga mereka. Marga Jaejoong dan Junsu sama-sama Kim, karena ayah mereka juga bermarga Kim. Jika Jaejoong dikatakan sebagai keturunan keluarga Park, itu karena jika ditarik garis keturunan dari pihak ibu, memang ada darah keluarga Park yang mengalir di dalam tubuhnya. Akan tetapi, karena ibunya (Park Young Woon yang saat itu menyamar sebagai Han Young Woon) menikah dengan lelaki bermarga Kim, jadilah Jaejoong menyandang marga Kim. Ehem, meski sudah melakukan hubungan suami-istri lebih dari sekali, tanda-tanda kehamilan Jaejoong belum akan tampak. Jangan lupakan juga satu kenyataan bahwa Jaejoong cukup ahli dalam bidang ramuan, hingga akan sangat mudah baginya untuk membuat ramuan yang bisa mencegah kehamilan untuk saat-saat ini. Inti cerita ini terletak pada perjuangan Jaejoong untuk membalaskan dendam sekaligus membersihkan nama keluarga Park dalam catatan sejarah kerajaan. Karena itulah kehamilannya akan Puan letakkan di bagian akhir, saat suasana sudah aman terkendali, sehingga ia bisa menikmati masa-masa kehamilannya dengan tenang. Terlalu banyak pikiran justru tidak baik untuk kehamilan, itu juga salah satu alasan kenapa Puan tidak membuat Jaejoong cepat hamil. Eeeh, maksudnya kenapa meski sudah dibuahi berkali-kali oleh sang raja, Jaejoong masih belum hamil juga. Oh iya, chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga dirimu masih berkenan untuk membacanya, dan hasilnya tidak mengecewakan.

Himawari23: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk mampir dan meninggalkan jejak, Sayang. Semoga chapter-chapter yang panjang ini tidak membuatmu bosan sekaligus kesal, karena harus menambah pengeluaran untuk kopi dan camilan. Aish, Puan jadi terharu dan ingin menangis. Terima kasih juga, Sayang, sudah begitu menyayangi Puan, hingga masih tetap setia menunggu kelanjutan fanfic ini meski update-nya tidak bisa cepat. Untuk pengertian kalian, teman-teman pembaca sekalian, Puan sangat sangat berterima kasih. Itu sangat berarti untuk Puan. Oh iya, salam hangat kembali untukmu.

Anah Purwanti: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Padahal Puan sempat khawatir akan membuat bosan jika setiap chapter terlalu banyak jumlah kata-nya. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya, dan merasa kecewa jika hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oh iya, maafkan Puan juga karena memang dengan segala keterbatasan Puan, Puan tidak bisa untuk update secepat mungkin. Sekali lagi Puan minta maaf.

MyBabyWonKyu: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Waaah, semoga pekerjaan utamamu tidak terganggu karena membaca cerita Puan ini, ya? Terima kasih juga untuk sanjungan dan pujian serta dorongan semangat darimu, Sayang. Puan sudah berusaha sebisanya untuk bisa update secepatnya, namun apa daya, karena ada beberapa kendala dalam perjalanan kehidupan Puan, akhirnya baru sekarang Puan bisa mem-publish chapter 7. Semoga saja kamu masih berminat untuk membaca kelanjutannya, dan tidak merasa kecewa dengan hasilnya. Aha, iya, kata-kata itu memang paling mudah untuk diingat sepertinya. Apalagi dalam cerita-cerita silat, kata-kata itu sering sekali kita jumpai.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah dirimu menyebutkan siapa namamu, Sayang? Puan akan sangat senang jika kita bisa berkenalan. Dan, apakah Puan yang terlalu gede rasa jika Puan berpikir bahwa sepatah kata yang kamu tinggalkan itu ialah 'seru'? Sebenarnya yang tertulis di sana adalah 'seu', karena itulah Puan menanyakannya kembali. Barangkali saja Puan yang salah menangkap maksudnya.

Aini: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Namamu indah sekali. Artinya mata, bukan? Terima kasih banyak untuk usul yang kamu berikan, Sayang. Usul yang luar biasa dan Puan suka sekali dengan usulmu itu. Akan Puan pertimbangkan kembali. Sekaligus Puan minta ijin di sini seandainya pada akhir cerita nanti usulmu Puan masukkan ke dalam cerita. Sekali lagi terima kasih. Jika kamu memiliki usul-usul yang lain, jangan ragu untuk mengutarakannya kepada Puan, ya?

Oktavian: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungan dan dorongan semangatnya. Iya benar, yang dimaksud memang Park Yoochun. Oh iya, chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Semoga kamu masih berminat untuk membacanya dan tidak kecewa dengan hasilnya.

Ami Yuzu: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Iya, akhirnya berhasil juga Puan update. Semoga saking panjangnya tidak membuatmu bosan ya untuk terus membaca kelanjutannya. Ah, tidaaak. Puan sama sekali tidak ahli dalam hal memasak. Paling-paling masak untuk sehari-hari saja, dan lebih banyak ber-eksperimen sih dengan bahan makanan. Hanya saja, Puan suka menyaksikan acara memasak di televisi. Kalau mengenai kenapa bisa detil menceritakannya, biasanya Puan searching dulu mengenai salah satu jenis masakan, setelah itu ya berimajinasi sendiri kira-kira hal apa yang membuat makanan ini tampak lebih menarik dan sejenisnya. Setelah itu tinggal ditulis saja langkah-langkah pembuatannya. Kecuali Sup 12 Rasa yang asli mengarang indah itu, hahaha. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya dan tidak merasa kecewa dengan hasilnya. Selain itu, Puan juga minta maaf untuk keterlambatan Puan dalam meng-update cerita ini. Ternyata, setelah setahun sebulan, baru sekarang Puan bisa mempublikasikan chapter 7.

Kaihun70: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Mengenai Go Ahra, aduh, bagaimana ya Puan menjelaskannya. Sejujurnya sampai saat ini Puan tidak tahu yang namanya Go Ahra ini yang mana. Alasan memilihnya pun simple, karena marganya Go, jadi sesuai dengan Perdana Menteri Go yang jadi ayahnya dalam cerita Puan ini. Tapi Puan tetap berterima kasih dengan sarannya. Apakah kamu memiliki usul nama-nama yang bagus yang bisa Puan jadikan pemeran pembantu untuk calon fanfic Puan selanjutnya? Puan tidak banyak tahu nama-nama aktris Korea. Bagian manakah yang membingungkanmu? Jangan ragu untuk menanyakannya pada Puan, Puan akan dengan senang hati menjelaskannya seandainya memang ada bagian-bagian yang tidak dimengerti. Maafkan Puan karena cerita ini terlalu banyak deskripsinya ketimbang dialognya. Puan akan berusaha untuk semakin memperbaikinya dari waktu ke waktu. Sekali lagi terima kasih banyak untuk sarannya, juga dorongan semangatnya. Ah iya, Puan juga minta maaf karena tidak bisa update secepat yang diinginkan. Karena satu dan banyak hal, alhasil setelah setahun sebulan, baru hari ini Puan berhasil melanjutkan cerita ini.

AbangTabi's Yumm: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Annyeong…. Jang Ok Jung, kalau tidak salah, setelah update chapter 6, Puan sempat melihat beberapa episode dari drama ini (itu juga tidak berurutan), yang saat itu tayang di salah satu tv swasta, dan tayangnya dini hari. Jujur karena nontonnya lompat dan tidak berurutan, Puan tidak mengerti jalan ceritanya. Bukankah, karakter wanitanya kalau Puan tidak salah mengingat, adalah seorang tukang jahit, ya? Ah, barangkali Puan yang salah mengingat. Entahlah, memang sepertinya ingatan Puan sedikit bermasalah, hahaha. Oh iya, terima kasih banyak karena sudah menyukai karya sederhana Puan ini. Terima kasih juga untuk sarannya, Sayang. Tentu saja kamu atau siapa saja boleh memberi saran untuk Puan. Terlebih, saran-saran itu juga untuk kebaikan diri Puan sendiri. Akan tetapi, hemmm, begini, katakanlah Puan seorang author yang egois, karena saat menulis yang Puan utamakan justru kepuasan diri Puan terlebih dahulu. Mungkin itulah kelemahan Puan, karena memang sejak dulu, Puan meletakkan standar tersendiri untuk diri Puan. Dalam artian, Puan tidak akan mem-publish suatu karya, baik berupa puisi, prosa, cerpen, ataupun fanfic, jika Puan sendiri tidak merasa puas dengan hasilnya. Atau kalau seandainya Puan publish, secepatnya akan Puan edit kembali sampai merasakan kepuasan diri. Sekali lagi maafkan Puan, Sayang. Sebenarnya bisa saja, Puan mengetik 1000 kata, lalu langsung Puan publish, tapi Puan akan merasa terbebani dan tidak puas diri. Karena itulah mengapa Puan menulis sekaligus mengembangkan beberapa plot yang sudah Puan rancang, dan baru Puan publikasikan setelah setidaknya Puan merasa cukup puas dengan hasil akhirnya. Bukannya Puan tidak memikirkan teman-teman pembaca sekalian, justru sebaliknya. Karena itulah, setelah chapter 7 ini update, Puan akan berusaha sebisanya untuk bisa update lebih cepat dari biasanya. Mengenai pasangan YooSu, mereka memang ambil bagian dalam cerita ini, sedangkan pasangan MinKyu, akan Puan pertimbangkan kembali (Kyu juga ada dalam cerita ini, tapi Puan belum memikirkan kemungkinan adanya romance di antara mereka berdua). Sekali lagi terima kasih banyak untuk jejak yang telah kamu tinggalkan. Tidak mengapa, Puan justru suka jika jejak yang kalian tinggalkan panjang-panjang. Intinya, apapun bentuk jejak yang kalian tinggalkan, mau panjang atau pendek, Puan tetap menghargainya. Oh iya, chapter selanjutnya sudah Puan publish. Mohon maaf sekali untuk keterlambatannya, dan semoga kamu masih berkenan untuk membacanya serta tidak kecewa dengan hasilnya #membungkuk #melambaikantangan.

Yunjae: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk singgah dan meninggalkan jejak, Sayang. Chapter selanjutnya sudah Puan publish. Selamat membaca dan semoga hasilnya tidak mengecewakan.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah kiranya menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan sangat senang seandainya kita bisa saling mengenal. Ah iya, Puan sepertinya baru menyadari hal itu. Maksud Puan, tentang hobby makan Putera Mahkota. Kamu benar sekali, 'dia' yang dimaksud itu memang Park Yoochun.

Maylinda.925: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk mampir dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Chapter 7 sudah Puan lanjutkan. Selamat membaca dan semoga hasilnya mampu mengobati rasa penasaranmu, ya?

Beta shipper yunjae: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pujian dan sanjungannya. Puan suka, Puan suka, Puan suka.

Blueonyx Syiie: Terima kasih banyak karena sudah mampir dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya, dan tidak kecewa dengan hasilnya.

Yunsaa alamsyah: Terima kasih banyak karena sudah mampir dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Kita sama-sama melihat, apakah pada akhirnya Jaejoong berhasil membalaskan dendamnya, ya? Chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga dirimu tetap berkenan untuk membacanya dan tidak merasa kecewa dengan hasilnya.

Jema Agassi: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Hahaha, benar, keadaan memang mulai memanas. Butuh hujan untuk mendinginkannya. Kalau mengenai siapa orangnya yang ditangisi Kepala Pengawal Kim, coba tebak siapa? Hehehe.

Dims: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Salam kenal dari Puan. Terima kasih juga untuk pujian dan sanjungannya. Semoga Puan tidak lantas menjadi besar kepala dan lupa diri karena itu. Begitu pula dengan dorongan semangatnya, sehingga pada akhirnya setelah sekian lama Puan berhasil untuk update chapter berikutnya. Mohon maaf untuk segala keterlambatan, dan semoga kamu masih berkenan untuk mengikuti kelanjutan cerita ini, serta tidak kecewa dengan hasilnya.

Lee yuwi: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pujian dan sanjungannya. Di sini Puan akan mencoba menjawab beberapa hal yang kemungkinan masih membuatmu bingung. Sejujurnya, di awal-awal menulis cerita ini, Puan sama sekali tidak berpikiran untuk memasukkan pairing YooSu dalam cerita ini, karena itulah ketika ada yang menanyakan mengenai hal itu Puan menjawab bahwa kemungkinan pairing itu tidak akan dimunculkan. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, plot cerita Puan akhirnya berubah dari plot awal yang sudah Puan tetapkan, sehingga akhirnya Puan memutuskan untuk memasukkan pairing ini ke dalam cerita, agar lubang-lubang kosong di plot awal akhirnya tertutupi. Puan memang tidak mungkin menjelaskan secara rinci di sini apa yang sebenarnya terjadi pada Yoochun, apa hubungannya dengan Junsu, apa hubungannya dengan eomma-nya Jaejoong dan pertanyaan-pertanyaan serupa, karena di chapter-chapter selanjutnya pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab dengan sendirinya. Setelah menulis beberapa chapter, Puan akhirnya menyadari bahwa salah satu kunci utama dalam cerita ini terletak pada surat peninggalan eomma-nya Jaejoong, karena itulah surat tersebut Puan revisi. Maaf jika sudah membuatmu bingung dan penasaran. Dan Puan harap, kamu cukup senang karena pairing yang kamu harapkan akhirnya muncul, hehehe. Terima kasih juga untuk dorongan semangatnya, sehingga setelah setahun sebulan, baru kali ini Puan bisa mem-publish chapter berikutnya. Semoga kamu masih berkenan untuk mengikuti kelanjutannya, dan tidak kecewa dengan hasilnya, serta mau memaafkan Puan untuk segala keterbatasan dan keterlambatan dalam hal update.

Rizky2568: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan kembali meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pujian dan sanjungannya. Semoga Puan tidak lantas menjadi besar kepala dan lupa daratan karena mabuk pujian dan sanjungan. Cerita ini banyak terinspirasi dari beberapa drama yang Puan tonton, juga cerita silat yang Puan baca. Ada beberapa adegan yang bukan merupakan ide murni Puan, tapi pengembangan dari drama atau cersil itu tadi. Dan khusus untuk adegan peperangannya sendiri, sebagian besar jalan ceritanya terinspirasi oleh salah satu buku cerita silat favorit Puan yang Puan kombinasikan juga dengan adegan-adegan silat dari drama yang pernah Puan tonton, yang tentunya dikembangkan dan coba disesuaikan dengan kondisi pada masa Joseon. Oh iya, untuk dorongan semangatnya, Puan juga mengucapkan terima kasih. Mohon maaf karena belum bisa memenuhi keinginanmu agar Puan bisa update minimal tiga atau empat bulan sekali, karena pada kenyataannya, chapter 7 ini Puan publish setelah jangka waktunya setahun sebulan dari terakhir sekali Puan mempublikasikan chapter 6. Ke depannya, Puan akan berusaha untuk bisa lebih cepat lagi menulis chapter berikutnya. Do'akan saja dalam proses pengerjaannya Puan tidak menemui halangan yang berarti.

Yj040686: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Chapter selanjutnya sudah Puan publikasikan. Mohon maaf karena membuatmu menunggu lama untuk membaca kelanjutannya, ya?

Jung Sister: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Salam kenal kembali untukmu. Puan harap, setelah membaca cerita sederhana Puan ini, kalian tidak merasa terbebani dan merasa diwajibkan untuk meninggalkan jejak. Puan sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Ada yang membaca saja sudah membuat Puan senang. Ah iya, terima kasih juga untuk sanjungan serta dorongan semangatnya. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Selamat membaca, dan semoga hasilnya tidak mengecewakan.

My jeje: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk kembali meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya. Puan minta maaf sekali karena justru permintaan untuk update cepat itulah yang tidak bisa Puan penuhi. Pada kenyataannya, setelah setahun sebulan, baru sekarang Puan berkesempatan untuk mem-publish chapter 7. Puan berharap kamu masih berkenan untuk mengikuti jalan ceritanya dan tidak kecewa dengan hasilnya.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah kiranya menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan sangat senang seandainya kita bisa saling mengenal. Terima kasih juga untuk sanjungannya, Sayang. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Maafkan Puan untuk segala keterlambatannya, ya?

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah kiranya menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan sangat senang seandainya kita bisa saling mengenal. Ah iya, chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan.

Guest: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, wahai Tamu Tanpa Nama. Sudikah kiranya menyebutkan namamu, Sayang? Puan akan sangat senang seandainya kita bisa saling mengenal. Aaah, tunggu. Ewidiani itukah namamu? Nama yang indah. Terima kasih juga ya menyukai karya sederhana Puan ini. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya dan tidak merasa kecewa dengan hasilnya.

BestChunnie: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pujiannya. Chapter berikutnya baru bisa Puan publish sekarang, mohon maafkan Puan untuk segala keterbatasan dan keterlambatannya, ya? Bagian 1 dari chapter 7 ini sebenarnya sempat Puan publish di akun facebook Puan. Puan hanya mempublikasikan cerita ini di ffn. Akan tetapi, ada seorang teman yang juga mempublikasikan cerita ini di akun wattpad dan blog miliknya. Tapi tetap saja, Puan biasanya akan publish di ffn.

OhChoLee: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Benarkah balasan review-nya melebihi atau hampir melebihi panjang ceritanya? Sepengetahuan Puan tidak seperti itu. Meski ada balasan review yang Puan rangkum dari beberapa chapter sekaligus, sebisa mungkin Puan tidak melebihkan balasan review-nya daripada cerita utamanya. Akan tetapi, sekali lagi terima kasih untuk kejeliannya. Akan Puan usahakan agar kejadian seperti itu tidak terjadi di kemudian hari.

Egggyeolk: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan kembali menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk sanjungannya, ya? Aish, maaf sudah membuatmu penasaran. Karena inti cerita ini adalah perjuangan Jaejoong untuk membalas dendam sekaligus membersihkan nama keluarganya dalam catatan sejarah kerajaan, maka kehamilan Jaejoong tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Sedangkan untuk permaisuri, pada waktunya nanti ia akan menuai hasil dari benih yang sudah ia tanam. Kita tunggu saja. Oh iya, chapter selanjutnya sudah Puan publish. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya dan mengikuti kelanjutan ceritanya, ya?

Min: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk dorongan semangatnya. Silakan, silakan, baca saja. Harapanmu terkabul, chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya.

Firaamalia25: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk kembali meninggalkan jejak, Sayang. Terima kasih juga untuk pujiannya. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Selamat membaca, semoga kamu tidak kecewa dengan hasilnya.

Kikiz: Terima kasih banyak karena sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan meninggalkan jejak, Sayang. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Selamat membaca, besar harapan Puan agar kamu masih berkenan untuk mengikuti kelanjutan cerita ini. Semoga juga hasilnya tidak mengecewakan.

The Greatest Archer: Terima kasih banyak karena sudah berkunjung dan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak. Maaf sudah membuatmu menunggu dan karatan, ya? Terima kasih juga untuk pujiannya. Chapter berikutnya sudah Puan lanjutkan. Semoga kamu masih berkenan untuk membacanya dan tidak kecewa dengan hasilnya.