Our Fault

Naruto By Masashi Kishimoto

Pair : SAKURA HINATA, SASUKE HINATA, NARUTO SAKURA

Hurt/Comfort, Romance

AU, Typo, Rate T, Etc.

WARNING : YURI...SLIGHT

"IDE CERITA INI MURNI PUNYA SAYA. MOHON DIMAKLUMI KALAU ADA KESAMAAN IDE DENGAN CERITA LAIN."

CHAPTER 1

Semua berawal dari seorang laki-laki yang disebut dengan Ayah. Membuat mereka menjadi membenci laki-laki.

Sesosok gadis tengah duduk manis di meja makan menunggu anggota keluarganya untuk sarapan bersama ditemani beberapa orang berseragam maid yang berada di belakangnya. Tak lama berselang, beberapa langkah kaki pun terdengar, seorang pria paruh baya berambut coklat dan mempunyai mata lavender tengah berjalan memasuki ruang makan di temani seseorang gadis yang berseragam SMA yang mempunyai wajah, dan warna rambut yang sama seperti pria paruh baya yang berada disampingnya.

"O-ohayou To-tousan...O-ohayou Ha-Hanabi-Chan.." Sapa gadis itu yang diketahui bernama Hyuuga Hinata. Hyuuga Hiashi selaku ayah dari Hyuuga Hinata hanya berjalan menuju kursi dan menghiraukan sapaan yang diucapkan putri sulungnya. Hanya Hyuuga Hanabilah yang menjawab sapaan sang kakak dengan nada datar namun tersimpan nada kasih sayang terhadap kakaknya," Ohayou Nee-san."

Hinata tersenyum kecil menerima jawaban sang adik, ia pun menundukkan kepalanya dan meremas ujung kemejanya erat-erat dan sesekali melirik sang ayah dari balik poninya. Gadis berusia 19tahun itu memang sudah biasa merasakan diabaikan oleh ayahnya sedari kecil, yah memang ia sudah sering diabaikan tapi rasanya tetap sakit jika diabaikan oleh seseorang yang seharusnya melimpahi kita kasih sayang seorang ayah.

Para maid pun segera menyiapkan sarapan setelah semua anggota inti keluarga Hyuuga hadir di meja makan, mereka pun memulai sarapan yang telah di siapkan para maid.

Sarapan pun telah selesai, Hiashi melihat putri sulungnya," Hinata, setelah urusan yang ada dikantor selesai kau akan aku uji untuk memastikkan apakah kau pantas sebagai seorang Heiress atau tidak." Tanpa menunggu jawaban dari Hinata, Hiashi membalikkan badannya dan meninggalkan ruang makan di ikuti oleh kepala pelayan dan beberapa pelayan.

Hinata hanya diam tak bergerak, tanpa ia sadari tubuhnya bergetar. Melihat raut wajah kakaknya menjadi pucat pasi setelah mendengar ucapan sang ayah membuat Hanabi sebagai adik berinisiatif menenangkan Hinata, gadis berseragam SMA itu pun berdiri dari kursinya dan berjalan memutari meja makan menuju kakaknya dan memeluknya, berharap pelukan yang ia berikan dapat memberikan kekuatan pada Hinata," Tenanglah Neesan, aku akan selalu menemanimu. Ayo semangat." Tubuh Hinata pun rileks, ia membalas pelukan sang adik,' seandainya aku sekuat kau, Hanabi.' Batin Hinata sedih.

.

.

.

.

.

"Aku pulang." Seorang gadis berambut merah muda memasuki sebuah rumah sederhana dan melepaskan sepatu yang ia pakai dan meletakkannya di rak sepatu di sampingnya. Ia hanya dapat menghela nafas saat melihat keadaan ruang tamu yang berantakkan. Banyak kaleng bir yang berserakkan di atas meja, rokok-rokok yang memenuhi asbak, beserta kulit kacang yang berserakkan juga di atas meja dan di lantai. Ia memijit pelan keningnya, ia benar-benar lelah pagi ini setelah bekerja di klub malam sebagai pelayan, belum lagi nanti siang ia kembali bekerja di cafe milik sahabatnya Ino tapi ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan untuk membeli obat ibunya.

Pandangannya pun jatuh pada sebuah sofa yang tengah ditiduri oleh seorang pria paruh baya berambut merah muda yang sama dengannya sedang tertidur memegang sebotol bir yang berada ditangannya. Tanpa berpikir lagi, Sakura membereskan ruang tamunya yang bagai diterpa badai angin ini. Ia memunguti kaleng-kaleng bir dan memasukkannya kedalam kantong plastik hitam besar yang selalu ia simpan di laci ruang tamu jika ayahnya mabuk-mabukkan seperti ini. Setelah semua yang berada di meja dan lantai telah ia bereskan kini ia pun berjalan ke sofa tempat ayahnya yang tertidur, ia mengambil botol bir yang berada ditangannya ayahnya, tapi sebelum ia bisa melepaskan botol itu ayahnya terbangun dari tidurnya, Haruno Kizashi menatap anak gadisnya.

"A-ayah," Sakura menatap ayahnya takut.

"Kau! Pergi dari sini!" Kizashi berdiri di hadapan Sakura," Gara-gara kau usahaku hancur! Gara-gara kau lahir semuanya hilang!" Laki-laki paruh baya itu melemparkan botol yang berada di tangannya ke Sakura, namun untunglah botol itu tak mengenai Sakura dan hanya menghantam lantai yang berada di sebelah Sakura.

PRANG

Sakura mundur selangkah, ia benar-benar takut menghadapi ayahnya yang sedang mabuk seperti ini. Pandangan mata Kizashi semakin gelap, ia pun berjalan mendekati Sakura.

"KAU ANAK TIDAK BERGUNA SAKURA!"

PLAK!

Kizashi menampar pipi kiri Sakura, tak puas dengan itu dia mengambil tongkat yang terbuat dari rotan yang berada di sofa tempat ia tidur sebelumnya dan memukulnya ke arah Sakura.

BRUK!

"Aww... Sakit Tousan..." Rintih Sakura, ia jatuh dan menyerengitkan kedua alisnya saat merasakan rasa nyeri di sekujur tubuhnya yang terus dipukuli oleh ayahnya.

"DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!"

BRUK!

"SEMUANYA GARA-GARA KAU!"

BRUK!

Sakura hanya diam menahan tangis menerima perlakuan ayahnya yang tanpa henti memukulinya, sekencang apapun ia menangis tidak ada gunanya. Ia sudah berlajar untuk tak menangis, lebih tepatnya ia lelah untuk menangis. Sekalipun ia menangis itu akan menambah beban pikiran sang ibu yang tengah sakit-sakitan terbaring di tempat tidur.

"KAU! ANAK PEMBAWA SIAL!"

Setelah pukulan terakhirnya pada Sakura, Kizashi pun ambruk dan kembali tertidur di sofa meninggalkan anak gadisnya yang saat ini jika dilihat dari sudut manapun nampak mengenaskan serta menyedihkan. Merasa kalau ayahnya kembali tidur, Sakura bangkit dari lantai dan duduk. Ia menatap ayahnya yang ada di atas sofa dengan pandangan yang tak dapat dijabarkan.

Tak berapa lama kemudian ia mencoba berdiri dan membersihkan pecahan kaca dari botol bir yang berserakan setelah botol itu dilempar oleh ayahnya. Sesekali ia menyerengit merasakan sakit saat ia bergerak. Akhirnya setelah semua sudah beres, ia berjalan ke kamar kedua orang tuanya dan membuka pintu. Sakura melihat ibunya yang tengah tertidur pulas, rupanya ibunya masih tertidur pulas di pagi ini, ia takut sang ibu terbangun saat mendengar suara gaduh yang disebabkan ayahnya yang memukulnya tadi. Ia tak mau sakit ibunya bertambah parah dengan memikirkan dirinya. Dia tersenyum lembut menatap sang ibu dan kembali menutup pintu, gadis berambut merah muda tersebut berjalan ke kamarnya dan menghembaskan tubuhnya ke atas ranjang.

"Auhh." Rasa sakit pun segera menghantamnya. Ia lupa kalau tubuhnya baru saja dipukuli lagi oleh ayahnya. Sakura menatap langit-langit kamarnya, " Aku membenci laki-laki..." Ujar Sakura sebelum ia terlelap dalam tidurnya.

.

.

.

.

.

Hinata merasakan amat sangat gugup serta takut secara bersamaan. Waktunya pun telah tiba, ia kini berada di Dojo keluarga Hyuuga bersama ayah dan adik perempuannya. Gadis berambut ungu itu melihat pertandingan ayahnya dan Hanabi. Berulang kali serangan yang dilancarkan Hanabi mengenai ayahnya. Hinata menggenggam kuat baju latihannya, gadis berusia 19 tahun tersebut nampak pesimis bisa seperti Hanabi,' Ha-Hanabi kuat.' Pikirnya.

Akhirnya selama 10 menit pertandingan pun usai, Hanabi memberi hormat pada ayahnya dan berjalan menuju Hinata," Hinata giliranmu." Panggil Hiashi, ia menatap tajam Hinata melalui kedua bola lavendernya memberikan pandangan untuk cepat berdiri dan bertanding dengannya. Hinata semakin takut, tubuhnya bergetar hebat. Yah, memang sedari kecil ia seperti tidak di akui sang ayah namun sang ayah tetap mengajarinya bela diri untuk menjadi Heiress Hyuuga, mempertahankan tempat Dojo itu secara turun temurun serta perusahaan warisan dari keluarga Hyuuga.

Tapi, Hinata tetaplah Hinata. Dia menurunkan semua sifat serta sikap dari sang ibu. Dia bukanlah Hanabi yang seluruh sikap dan sifatnya menurun dari ayahnya. "Ayo semangat, Neesan." Suara Hanabi mengembalikkan lamunan Hinata tentang ayahnya. Ia menatap Hanabi lalu tersenyum kecil.

Dengan ragu-ragu Hinata berdiri dan berjalan mendekat kearah Hiashi. "Siapkan kuda-kudamu dan serangan terbaikmu agar pantas menjadi Heiress." Perintah Hiashi, Hinata mengikuti perintahnya dan mulai menyiapkan kuda-kuda, dan pertandingan dimulai. Lain Hanabi lain juga Hinata, jika Hanabi berulang kali berhasil melancarkan serangan yang mengenai Hiashi maka Hinata sebaliknya. Serangan Hinata yang dilancarkan tak sekalipun mengenai Hiashi, justru serangan dari Hiashi lah yang sering mengenai Hinata.

Hingga puncaknya Hinata terjatuh setelah menerima serangan Hiashi di dadanya. "Apa kau selemah ini Hinata?" Ujar Hiashi dingin. Hinata hanya menundukkan kepalanya tak berani menatap mata ayahnya yang sama dengan matanya.

Sementara itu, Hanabi menatap kakaknya khawatir. Ia takut ayahnya bertindak berlebihan untuk melatih Hinata seperti saat mereka masih kecil. Ayahnya yang memberikan latihan tambahan yang gila pada Hinata hingga berimbas pada kesehatan Hinata yang mengharuskan Hinata terbaring di atas tempat tidur selama seminggu dibantu selang infus.

"Go-gomen Tousan..." Lamunan Hanabi buyar mendengar suara lembut dari kakaknya, Hanabi melihat ayahnya tak mempedulikan permintamaafan Hinata. Hiashi memandang Hinata sebagai produk gagal, Hiashi mengakui kalau semua yang dimiliki Hinata adalah copy dari sang istri. Tapi, di keluarga Hyuuga tidak ada yang menjadi produk gagal. Maka dari itu ia amat sangat keras dalam mendidik Hinata.

"Kita akhiri ini, dan kita akan lanjut ke tahap selanjutnya, Bisnis." Tanpa menoleh kembali Hiashi meninggalkan Dojo dan kedua putrinya. Hanabi membantu kakaknya untuk berdiri, "Ayo kak kita mandi dan bersiap-siap." Hinata menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan Hanabi. Kini Hinata dan Hanabi duduk di ruang kerja Hiashi, mereka berdua sedang berpresentasi tentang langkah-langkah apa yang akan dilakukan untuk memajukan perusahaan Hyuuga. Hiashi nampak sangat bangga dan puas mendengar presentasi dari Hanabi, sedangkan saat giliran Hinata presentasi Hiashi menganggap bahwa langkah-langkah yang Hinata kemukakan terlalu lemah dan masih bergantung pada kebaikan hati. Bagi Hiashi, dunia bisnis sangatlah keras, seperti hutan rimba dan hukum alam. Siapa yang kuat dialah yang berada di puncak kejayaan dan kuat.

"CUKUP!" Teriak Hiashi, Hinata menghentikan presentasinya dan memandang takut ayahnnya.

"Apa kau pikir langkah yang kau kemukakan itu akan memajukan bisnis keluarga kita Hinata?" Ujar Hiashi dingin. Hinata kembali meremas ujung dress biru yang ia pakai saat ini. "Ya-ya.." Jawab Hinata gagap.

"Lihatlah, bahkan untuk berbicara saja kau gagap." Hiashi menekankan "gagap" di akhir kalimatnya.

"Kau gadis lemah, Hinata! Kau tak pantas menjadi Heiress Hyuuga!"

"TOUSAN!" Teriak Hanabi, ia merasa kalau ayahnya sudah keterlaluan. Lihatlah bahkan kini tubuh Hinata semakin terlihat mengecil dan bergetar menahan tangis dibawah tatapan tajam sang ayah.

"Hiks...Hiks...Hiks...Gomen Tousan.." Butir-butir air mata jatuh dari kedua bola mata Hinata mengalir pada kedua pipi Hinata.

"Aku akan menjadikan Hanabi sebagai Heiress Hyuuga, karena dia lebih pantas dari pada kau Hinata."

Hiashi meninggalkan ruang kerjanya, Hanabi terlihat bingung ingin mengejar ayahnya untuk mengubah keputusannya ataukah menenangkan Hinata yang kini tengah sedih. Akhirnya Hanabi memutuskan untuk mengejar ayahnya, ia menoleh sedikit pada Hinata dan berujar," Aku akan membujuk Tousan, tunggu aku ya Neesan."

Air mata Hinata semakin mengalir deras ketika ia hanya sendiri di ruangan kerja ayahnya, ia tau kalau ia lemah, ia tau kalau ia tak sekuat Hanabi, dan demi Kami-sama ia juga tau kalau ia selalu membuat ayahnya kecewa tak sesuai dengan keinginan ayahnya. Tapi, sebegitu bencinya kah ayahnya pada dirinya hingga mengatakan seperti itu? Pikiran Hinata semakin tak menentu, ia menguatkan diri untuk berjalan pelan kembali ke dalam kamarnya.

"Aku membenci laki-laki..." Kata-kata itu adalah kata-kata terakhir yang Hinata ucapkan sebelum ia keluar meninggalkan ruang kerja Hiashi.

To Be Continue

A/N : Halo... kembali lagi bersama saya, moku-chan #kedip-kedip. Ada yang inget ma fic ini? Readers : Gak.. #pundung. Sebenarnya fic ini mau aku buat 2k+ tapi berhubung waktu dah malam dan saya harus kerja besok pagi jadinya aku cut dulu. Tapi tenang aja, chap berikutnya udah aku ketik setengahnya. Jadi tinggal nerusin setengahnya lagi. Btw jangan lupa review yah... karena review dari readers adalah semangat buat author untuk ngelanjutn fic nya... Jaa Nee...