Catatan : Ini fic SasoSaku pertama Hani loh! O3O Peringatan, ini AU dan kemungkinan OOC. Tapi Hani tetep berusaha bikin ini IC. O3O

.

.

.

Sakura menopang dagunya dengan tangan kanan, ia terlihat bosan dengan sesuatu. Jemari lentik pada tangan kirinya memutar smartphone yang tergeletak di depannya, menunggu datangnya sebuah email dari sang kekasih. Lelah memutar benda mahal itu, kini Sakura mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan meja belajarnya.

Emeraldnya bergulir pada jam weker di sudut kanan meja belajarnya. Sudah jam sembilan malam, itu berarti Akasuna no Sasori sudah mengabaikan emailnya selama dua jam. Ah, padahal lelaki itu sudah berjanji pada Sakura bahwa ia akan membalas email dan kalau perlu akan menelepon Sakura malam ini demi menanyakan tugas Matematika.

Sakura menghela nafas, sudah ia duga bahwa Sasori akan terlarut dalam game onlinenya seperti hari-hari yang lalu. Ingin sekali ia beranjak untuk tidur, namun segenap hatinya masih sangat ingin menunggu balasan Sasori. Sakura kembali menopang dagunya, ia bertekad akan menunggu kedatangan email Sasori atau telepon dari lelaki itu selama lima belas menit lagi. Lewat dari batas waktu, maka gadis itu memutuskan untuk tidur.

Jam weker di dekatnya terus berdetak, membuat alunan dengan volume suara yang terdengar keras karena tidak ada suara lain di ruangan merah muda ini. Mata Sakura kini telah hampir tertutup, padahal waktu yang berjalan baru lima menit. Pegal dengan posisi duduknya, Sakura akhirnya beranjak menuju kasur besarnya.

Masa bodoh dengan email atau apapun yang datang pada smartphonenya, yang jelas ia sudah mengantuk dan kecewa pada Sasori.

Baru beberapa menit Sakura terlelap dalam tidurnya, benda yang sejak tadi selalu diharapkan olehnya kini bergetar dan menunjukkan sebuah email masuk. Ah, telat sekali datangnya.

Maaf, tadi aku sedang bermain game online terbaru. :D Rumus permukaan balok apa ya, Sakura-chan? Aku lupa :'(

From : Sasori-kun

.

.

.

.

Naruto by Masashi Kishimoto

Aku atau Game? by Iwahashi Hani

.

.

.

.

"Selamat pagi, Sakura-chan!" Sakura tersenyum kecil saat teman lelakinya, Namikaze Naruto, menyapanya dengan senyum lebar. Meski Sakura tersenyum, dalam hatinya ia sedikit risih karena Naruto terus tersenyum dengan aneh saat bertemu dengannya. Ah, andai Naruto bukanlah anak dari kepala sekolah, Sakura tidak akan mau tersenyum bahkan memandang wajah Naruto yang menurutnya menyeramkan karena bisa tersenyum hingga telinga. Gila sekali.

Berhasil melewati Naruto di pintu kelas, Sakura berjalan menuju kursinya di deretan kedua dari depan. Ia melepaskan tas merah maroonnya dan meletakkannya di meja. Tangan kanannya merogoh bagian depan tasnya, berharap menemukan benda elektronik yang belum sempat ia periksa tadi pagi. Siapa tahu ada email dari Sasori.

Dan gotcha! Beberapa email langsung tersaji di smartphonenya. Ia tersenyum senang, sepertinya Sasori mengkhawatirkannya hingga mengiriminya pesan sebanyak ini. Jemari lentiknya bergerak dengan lincah demi memeriksa isi email itu, dan ternyata hanya ada satu dari Sasori dan sisanya hanyalah promosi yang Sakura tahu merupakan penipuan. Jadi, seorang penipu lebih mengkhawatirkan Sakura daripada Sasori yang merupakan pacarnya.

Ini mengenaskan.

Sudah menunggu dua jam hingga ketiduran, Sang Pujaan Hati ternyata tidak sama sekali mengkhawatirkannya. Terlebih, isi dari email itu hanya permintaan maaf dan pertanyaan tentang rumus luas permukaan balok.

Sakura mengepalkan tangannya. Awas kau, Akasuna no Sasori!

"Selamat pagi..." Suara yang terdengar malas itu membuat Sakura menolehkan kepalanya. Tepat sekali, Si Pangeran Merah telah datang rupanya. Sakura menyipitkan matanya saat dirasa ada hal yang aneh di wajah Sasori.

Kenapa ada lingkar hitam di sekitar matanya?

Jangan bilang kalau Sasori begadang untuk menamatkan game onlinenya lagi. Sakura berdecak kecil, menunggu Sasori berjalan ke arahnya karena sudah kebiasaan yang wajib bahwa Akasuna Sasori akan menyapanya tiap masuk kelas. Ia memutar bola matanya dengan kesal, padahal Sasori adalah pria, tetapi gerakannya terlalu lemah gemulai dan cenderung lamban. Jika saja Sakura tidak mencintai lelaki itu, pasti Sakura tidak akan segan-segan menghinanya dengan kalimat-kalimat kasar.

Sasori tersenyum kecil saat jaraknya hanya tinggal beberapa langkah lagi dari Sakura. Namun, "Sasori-senpai!" Suara menggemaskan memanggil namanya dari pintu kelas. Baiklah, apa lagi kali ini?

Berulang kali Sakura berdecak kesal. Sudah membuatnya menunggu lama kemarin malam, kini ada seorang gadis yang menyebut nama Sasori dengan nama kecilnya. Oh, Sakura ingat bahwa ia baru memanggil lelaki itu dengan sebutan 'Sasori-kun' setelah hubungan mereka berjalan dua bulan. Bagus, semakin besar saja amarah yang akan Sakura tumpahkan pada Sasori.

Sasori berjalan menuju gadis pirang yang diikat tinggi itu dengan senyumnya. Sakura makin panas. Dulu, saat ia dalam masa pendekatan dengan Sasori, lelaki itu tidak pernah tersenyum padanya seperti ia tersenyum dengan Si Pirang itu. Sepertinya ia kalah telak dengan Adik Kelas Pirang itu.

"Ada apa, Ino-chan?"

Oh, sangat bagus. Sudah memanggil dengan suffiks 'chan' rupanya. Sakura mengangguk-anggukkan kepalanya. Raut wajahnya kini berubah masam seiring dengan fakta-fakta yang ia dapatkan.

Mata Sakura menyipit saat melihat Ino menjinjit dan membisikkan sesuatu pada Sasori. Ya ampun, ini namanya dikasih hati minta jantung! Sudah bagus Sakura tidak langsung melabrak keduanya, sekarang malah berbisik-bisik mesra begitu.

Sakura beranjak dari kursinya dan berjalan menuju Sasori dan Ino. Tatapannya menajam saat bertemu pandang dengan Ino. Biarkan saja, siapa suruh mendekati pacar orang. "Tch." Sakura mendecih kecil, kebiasaan yang ditirunya dari idola sekolah bernama Uchiha Sasuke yang juga merupakan mantan kekasih Sakura. Kalau diingat-ingat, Sakura selalu salah dalam memilih pacar, ya?

Masih dengan wajah masamnya, Sakura menghentikan perjalanannya di depan sebuah jendela yang menyajikan pemandangan indah lapangan sekolahnya. Ia menggeser kaca jendela itu dan membuat udara dingin langsung menyapa wajah cantiknya. Sakura menghirup nafasnya dengan perlahan, membiarkan emosinya meluap terbawa angin. Setidaknya, ia tidak ingin jadi pendendam, terlebih hanya karena cemburu. Itu sangat tidak Haruno Sakura namanya.

"Sakura-chan!"

Nafasnya tertahan dan hampir saja sesak nafas saat mendengar suara baritone itu menyebut namanya. Sakura menolehkan kepalanya dan mendapati Sasori tersenyum manis padanya. Ah, senyumnya basi! Buktinya, adik kelasnya yang bernama Ino itu juga diberi senyum serupa oleh Sasori.

Sasori berdiri di samping Sakura, ikut menikmati hembusan angin yang lembut. "Rasanya menyenangkan ya, Sakura-chan?" Tanya Sasori dengan mata tertutup, menikmati suasana.

"Biasa saja." Jawab Sakura dengan ketus. "Sudah sana Sasori-kun dengan Ino saja! Aku nggak butuh Sasori-kun!" Ujarnya dengan kedua tangan yang mendorong Sasori dengan sekuat tenaga dan membuat lelaki itu terjatuh di lantai.

Lelaki Merah itu meringis kecil. Sadar akan kesalahannya, Sakura mengulurkan tangan kanannya, memberi bantuan pada Sasori agar bisa berdiri. Merasa bersalah juga ternyata. Hazel milik Sasori menatap heran tangan Sakura sebelum menyambar uluran tangan itu dengan seringai nakal di wajahnya.

Ia menyambut uluran tangan itu bukan untuk berdiri.

BRUK!

Tapi untuk membuat gadis itu jatuh bersamanya dan terduduk di lantai. Sakura segera menutupi roknya yang sedikit tersibak. "Sasori-kun kenapa narik aku, sih?" Bentaknya, kesal karena ia juga harus merasakan rasa sakit di bokongnya.

Sasori terkikik kecil, melihat gadisnya merajuk seperti itu membuatnya sangat senang. Ah, andai setiap hari ia dapat mengganggu Sakura seperti ini. "Sakura-chan jangan marah, nanti cantiknya hilang." Rayunya dengan jari telunjuknya yang menusuk-nusuk pipi Sakura.

"Gombal," Desis Sakura. Wah, tokoh utama kita sedang dalam keadaan yang buruk. "Sudah, aku ingin ke kelas." Sakura beranjak dan meninggalkan Sasori yang masih terduduk di lantai.

Sasori mengusap pelan dagunya dengan tangan kanan, memikirkan apa kesalahannya hingga Tuan Putrinya itu sampai marah. Tidak kunjung menemukan alasannya, Sasori memutuskan untuk berdiri dan mengejar Sakura yang kini sudah berada di dalam kelas. Ah, lelaki tampan yang satu ini memang selalu tidak peka dengan perasaan wanita.

Ino menghela nafasnya pelan, memikirkan nasib Senior Merahnya itu. Ia menyatukan tangannya di depan dada dan memejamkan matanya. "Semoga berhasil, Sasori-senpai..."

Sasori terus berlari hingga membuat gaya gesek tidak bisa menghentikannya saat ia sudah dekat dengan Sakura dan BRUKK! Lagi-lagi gadis itu harus terjatuh di lantai. Sakura meringis kesakitan, tubrukkan Sasori tadi membuatnya jatuh dengan mencium lantai hingga rasa sakit menghujani hidungnya. Belum lagi lututnya yang kini ngilu karena terantuk lantai dengan keras.

Gadis itu baru saja ingin berdiri saat merasakan sesuatu tengah menimpa punggungnya. Hangat. Wangi parfum yang sangat ia kenal. "SASORI-KUN, CEPAT MENYINGKIR! BADANMU BERAT SEKALI!" Teriaknya dengan geram. Sudah sakit, ditimpa badan Sasori yang sangat berat pula. Remuk lah tubuh mungilnya.

"Ma-maaf, aku tidak sengaja, Sakura-chan." Sasori segera duduk di samping Sakura yang masih berusaha bergerak. Tangan kanan Sasori menyentuh lengan Sakura untuk membantu gadis itu bangun dari posisinya. "Kau baik-baik saja, Sakura-chan?"

Sakura mendengus keras. "Yang namanya jatuh itu tidak mungkin baik-baik saja, Sasori-kun!" Protesnya dengan wajah garang. Ingin sekali Ia menghajar Sasori, namun saat setetes cairan merah turun dari hidung mancungnya, wajah itu berubah menjadi pucat. "Da-darah..." Desisnya pelan. Rasa takutnya pada darah ternyata masih belum hilang.

Ingat dengan perkataan Sakura bahwa ia takut dengan darah, Sasori segera mencari saputangannya dalam saku celana. Sasori segera menempelkan saputangan hitamnya pada hidung Sakura, menghentikan darah yang mengalir. "Dongakkan kepalamu, Sakura-chan." Ucapnya dengan lembut.

Sakura mengangguk dan segera menghadap langit-langit, dapat ia rasakan jemari Sasori membelai rambutnya dengan sayang, menenangkannya. Andai Sasori bisa seperti ini setiap saat.

"Sasori-kun," Sakura mencicit kecil, masih merasa bersalah karena tadi ia membentak Sasori hanya karena menubruknya. Ah, mendapatkan perhatian lebih dari Sasori membuat Sakura melupakan semua hal yang sempat membuatnya marah. "Terima kasih, ya..." Gumamnya pelan, nyaris tidak dapat didengar bahkan oleh Sasori yang terduduk di sampingnya.

Bibir tipis milik Lelaki Akasuna itu melengkung, "Dasar, tidak perlu berterima kasih. Sakura-chan 'kan pacarku, jadi wajar kalau aku menolongmu. Bukan begitu, Hime?"

Sakura terdiam. Tidak, ia tidak marah. Hanya saja ia sedang berusaha agar tidak kembali mimisan karena perkataan Sasori. Sakura sedikit bersyukur karena kini setengah wajahnya tertutupi saputangan, jika tidak, ia pasti akan kabur saat ini juga karena tidak ingin Sasori melihat wajahnya memerah.

Beberapa saat keduanya terdiam dalam posisi mesranya hingga suara bel terdengar di seluruh penjuru sekolah. Sakura menghela nafas, padahal ia ingin lebih lama seperti ini dengan Sasori.

"Ah, sudah bel." Desis Sasori. Sekilas, Sakura dapat mendengar nada kecewa dalam desisan itu. Apa mungkin Sasori juga ingin bersamanya lebih lama? "Sini ku bantu biar Hime bisa duduk di kursi." Lengan kanan Sasori segera melingkari bahu Sakura.

Perlahan, Lelaki Tampan itu memapah Sakura hingga berhasil duduk di kursinya. Sakura melepaskan saputangan yang sejak tadi menempel di hidungnya, "Nanti setelah ku cuci, akan ku kembalikan."

Sasori mengacak pelan poni Sakura, "Tidak perlu, itu untukmu saja, Hime..."

Untuk kesekian kalinya Sakura harus menahan mimisannya karena suara Sasori yang terdengak sexy menyebutnya dengan panggilan 'Hime'. Rasanya seperti ia benar-benar seorang putri. Dan lagi, Akasuna no Sasori memang pemegang jabatan Pangeran Game Online. Bukan hanya karena keterampilannya dalam bidang itu, namun karena ketampanannya yang hampir tidak ada tandingannya jika saja Si Bungsu Uchiha tidak bersekolah di sini.

.

.

.

.

Sasori mengacak rambut merahnya dengan kesal, ia benci pelajaran matematika. Kenapa tidak ada pelajaran teori mengecheat game online? Padahal jika ada, Sasori yakin bahwa ia akan berada di peringkat teratas pelajaran itu. Jari pucat Sasori kini membuka lembar demi lembar buku pelajarannya. Materi luas permukaan kubus.

Ah, seingat Sasori, materi ini sudah ia pelajari saat kelas enam Sekolah Dasar, kenapa ia harus mengulanginya lagi?

Sasori menolehkan kepalanya pada Sakura, gadis itu dengan semangat mengerjakan tugas yang diberikan Guru Kurenai. Lelaki itu tersenyum kecil, wajah serius Sakura sangat menggemaskan. Terkadang bibir gadis itu mengerucut, Sasori menebak bahwa Sakura sedang kebingungan mencari jawaban. Ah, manisnya.

"Akasuna, cepat kerjakan tugasmu!"

"Baik, Kurenai-sensei." Gumam Sasori dengan malas. Ia lupa bahwa guru wanitanya yang satu itu memang sangat terkenal dalam kedisiplinan dan tidak akan membiarkan satu murid pun mengobrol dalam pelajarannya. Padahal ia ingin lebih lama memandangi Sakura. Tapi sudahlah, ia tidak ingin masuk ke dalam daftar nama siswa nakal yang menentang guru. Bisa-bisa ia didamprat oleh neneknya.

Sakura menolehkan kepalanya dan tersenyum.

Lelaki Merah itu menundukkan kepalanya dan berpura-pura fokus pada tugasnya, padahal ia juga mencuri-curi pandang pada Sakura.

"Akasuna, kerjakan dengan baik!"

"Iya, Sensei."

Dasar guru yang kejam! Sasori meringis dalam hatinya, bagaimana ia bisa menyukai pelajaran ini jika gurunya saja sudah sentimen pada dirinya?

Kurenai melirik jam tangan di pergelangan kirinya, "Anak-anak, Sensei harus keluar karena rapat. Kalian kerjakan soal itu sebisa kalian, besok kita bahas bersama-sama." Jelasnya. Kaki jenjang berlapis high heels itu melangkah keluar dari ruang kelas.

Semua yang berada di dalam kelas menghela nafas, entah karena kecewa Kurenai-sensei tidak melanjutkan pelajaran, atau karena merasa lega karena tidak harus belajar matematika. Yang jelas, Akasuna Sasori memilih alasan yang kedua.

Sasori segera mengeluarkan laptopnya. Dengan lihai ia menerobos kata kunci wifi sekolah dan membuka game online yang sejak kemarin malam belum ia tamatkan karena sudah kepagian. Kepagian? Ya, karena Sasori memainkannya hingga pukul tiga pagi.

Tanpa memperdulikan sekelilingnya, termasuk Sakura, ia memainkan game peperangan itu dengan beberapa kali mengecheat atau dengan kata lain disebut jalan curang.

Sakura menggembungkan pipinya. Selalu saja Sasori terlarut dalam dunianya sendiri. Padahal Sakura baru saja merasakan adanya peningkatan dalam hal perhatian dari Sasori, namun pendapatnya itu runtuh karena Sasori kembali mengabaikannya dan berkutat dengan laptop hitamnya.

Merasa tidak diindahkan sama sekali, Sakura berjalan menuju kursi Sasori dan menggebraknya dengan pelan. "Sasori-kun!"

"Ada apa, Sakura-chan?" Tanya Sasori, namun hazelnya tetap terpaku pada layar benda elektronik itu dan tidak ada niat sedikit pun untuk menatap Sakura. Ah, kecantikan Haruno Sakura terkalahkan oleh laptop Sasori.

Sakura mendengus kesal. Ia menahan nafsunya yang sangat ingin membanting benda jelek itu dan menginjaknya. "Tatap aku, Sasori-kun!"

"Jangan ganggu aku! Sebentar lagi aku akan berhasil menamatkan game online terbaru ini!" Sahut Sasori dengan mata yang berbinar saat melihat musuh utamanya dalam game peperangan ini telah muncul. Itu artinya, ia semakin dekat dengan hadiahnya!

"Pilih, kita putus atau kau berhenti main game?"

To Be Continued!

.

.

.

Hani di sini! O3O

Biasanya Hani selalu bikin SasuSaku, tapi entah kenapa hati(?) Hani pengen banget bikin Sasori dapet kesempatan di samping Sakura. /dibunuh Sasuke/

Baiklah, Hani cuma mau bilang kalau kalian punya saran atau kritik, silakan masukkan di kolom review. O3O

Dan dengan berat hati, Hani bersedia untuk di flame. Pokoknya segala jenis tanggapan Hani terima. Usahakan login ya, soalnya Hani gak bisa muatin jawaban reviewnya di fic. O3O

Sign,

Iwahashi Hani. O3O