My Black Cat My Prince

Little Blue Rhythm

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Chapter 1: Sacchi the Black Cat

Kucing hitam itu berlari dengan cepat, menggerakkan keempat kakinya, berharap agar langkahnya semakin cepat. Ia tau bahwa ia sudah sangat lelah. Tenaganya banyak terbuang. Namun ia harus terus berlari, menghindari monster-monster yang mengejar di belakangnya.

'Aku tidak mau mati konyol di tempat ini,' batinnya.

Walaupun begitu, tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Ia juga kekurangan cukup banyak darah akibat luka-luka yang ia dapatkan. Salahkan dirinya sendiri yang merasa seekor kucing hitam menang melawan sekelompok monster bertubuh lebih besar darinya itu.

BRUUK!

Ia terjatuh. Kakinya lemas. Walaupun ia berusaha bangkit kembali, ia akan kembali terjatuh. Ia sudah kehabisan tenaga. Pandangannya mulai kabur. Namun, ia masih bisa melihat monster-monster yang mengejarnya tadi semakin mendekat.

Ia menggeram dalam hati. Apakah ini akhir dari hidupnya?

Tiba-tiba saja sang kucing merasa hawa di sekitarnya menjadi dingin. Dengan tenaga yang tersisa, ia paksa matanya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Betapa terkejutnya ia melihat monster-monster yang mengejarnya membeku seketika.

"Kau tidak apa-apa, Neko-san?"

Suara lembut menyapa indra pendengarannya.

Siapa? Mau apa?

Berbagai pertanyaan muncul di pikiran sang kucing. Namun ia terlalu lelah. Ia sudah cukup bersyukur bahwa ada yang menyelamatkannya dari monster-monster itu.

'Setidaknya aku bisa memejamkan mataku,' batinnya.

Hingga saat kesadarannya belum sepenuhnya menghilang, ia merasakan sentuhan lembut dan hangat.

Dan sang kucing menyukainya.

. . .

Telinganya bergerak perlahan. Kesadarannya sudah mulai kembali. Dapat ia rasakan aroma menenangkan di hidungnya. Sang kucing membuka matanya perlahan dan ia mendapati dirinya berbalut perban, terbaring di sebuah kasur putih yang nyaman.

'Ini di mana?'

"Ah, kau sudah sadar?"

Sang kucing melirik ke sumber suara. Ia dapati seorang gadis berambut midnight blue panjang sepunggung tersenyum lembut ke arahnya.

'Penyihir ya,'

Jelas saja sang kucing menyimpulkan seperti itu jika melihat pakaian yang sang gadis kenakan. Walau tidak menggunakan topi seperti kebanyakan penyihir, tetapi emblem di baju bagian atas dekat leher sang gadislah yang mencirikan bahwa ia seorang penyihir.

Begitu sang kucing sadar dari lamunannya, ia mendapati sang gadis sudah berada di hadapannya. Iris sang gadis yang ia tidak tau warna apa kini dapat ia lihat. Entah mengapa, sang kucing menyukainya.

"Aku Hinata. Selamat datang di rumahku," ucap sang gadis.

Sang kucing masih terdiam. Ia berusaha mengingat sesuatu.

"Kau tidak apa-apa?"

"MEOOONG!"

Sang kucing langsung mengeong keras begitu tangan gadis bernama Hinata itu mencoba menyentuhnya. Ia tidak suka disentuh perempuan selain ibunya. Ia dapat melihat Hinata dengan jelas ekspresi terkejutnya, lalu kembali tersenyum lembut.

"Jangan banyak bergerak dulu. Nanti lukanya terbuka lagi," ucap Hinata lalu beranjak pergi meninggalkan sang kucing hitam.

Sang kucing hanya terdiam. Melihat sang gadis yang menghilang di balik pintu.

"Ah, jika kau lapar, ini, ada makanan untukmu," ucap sang gadis beberapa saat kemudian sambil membawa sepiring makanan.

Sang kucing masih terdiam. Ia tidak berniat untuk memakan makanan yang sudah disiapkan. Ia tidak ingin makan walaupun perutnya berkata lain.

. . .

Sudah tiga hari sang kucing berdiam diri di kamar sang gadis. Tidak menyentuh makanan yang Hinata berikan. Sang kucing hanya diam menatap langit dari jendela kamar.

"Kau ini sebetulnya kenapa?"

Pertanyaan Hinata membuyarkan lamunan sang kucing yang sedari tadi menatap ke luar jendela. Sang kucing juga dapat melihat Hinata yang menatapnya sendu.

Sang kucing hanya terdiam menatap Hinata dengan iris merahnya.

"Apa kau rindu rumahmu?"

Lagi-lagi sang kucing hanya terdiam.

'Sebenarnya apa yang kuinginkan?'

Tiba-tiba sang kucing merasakan sentuhan lembut dan hangat seperti waktu itu. Ia melihat Hinata yang perlahan membuka balutan perbannya perlahan.

"Kau boleh pergi,"

Sang kucing masih terdiam. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Tubuhnya serasa membeku, tidak dapat ia gerakkan sama sekali.

"Astaga, aku hampir lupa dengan supnya,"

Sang kucing masih terdiam. Ia sedang berpikir.

Dengan sekali hembusan napas berat, ia beranjak menuruni ranjang, menuju ke arah dapur, ke tempat Hinata berada.

Ia mencium aroma sedap dari dapur yang membuat perutnya semakin lapar. Sepertinya ia lupa ia belum makan (tidak ingin makan) selama tiga hari. Ia berjalan mendekati meja makan dan melompat ke atas meja makan.

"A-ah. Apa yang kau lakukan di sini?" ucap Hinata heran.

Sang kucing hanya menatap Hinata.

'Kurasa dia tidak apa-apa,'

"Kurasa kau berbeda,"

"..."

"..."

Sang kucing terkaget-kaget. Ia bisa bicara? Seingatnya ia hanya bisa mengeong. Ada apa ini? Apa ia melupakan sesuatu?

"A-ano, apa maksudmu?"

"...dengan tubuh seperti itu, perempuan akan menjauhimu. Mereka akan menghinamu. Yang dapat mengembalikan wujudmu hanyalah seorang perempuan yang tidak takut padamu, yang mau menerimamu..."

Ah! Sepertinya sang kucing sudah mulai mengingat apa yang sebenarnya terjadi.

"Lupakan,"

"Lalu, namamu siapa?"

"Sa-"

Sang kucing terdiam.

"Sa?"

"Sesukamu saja," ucap sang kucing pada akhirnya.

"Ummm... Sacchi!" ucap Hinata riang.

'Sepertinya dia menganggap serius dua huruf yang kusebut tadi,' batin sang kucing.

"Hn,"

"Hihi, aku senang akhirnya kau mau bicara," ucap Hinata sambul menuangkan supnya yang sudah jadi ke sebuah mangkok.

"Kau bisa memakan ini tidak?" tanya Hinata sambil menunjuk mangkok berisi sup.

"Ya,"

Hinata hanya tersenyum lembut lalu meletakkan mangkok tersebut ke hadapan sang kucing yang sekarang bernama Sacchi. Hinata mengambil mangkok yang lain dan menuang supnya. Kali ini untuk dirinya. Setelah selesai, Hinata beranak ke meja makan dan memakan makanannya bersama si kucing hitam.

"Jadi, kau sebenarnya dari mana?" tanya Hinata.

"Aku tidak ingat," balas Sacchi.

"Amnesia?"

"Tidak. Seseorang menyegel ingatanku,"

"Maksudmu?"

"..."

"..."

"Kalau tidak mau cerita tidak apa-apa," kata Hinata sambil tersenyum lembut.

Sacchi menatap Hinata dalam, lalu menghembuskan nafasnya.

"Saat waktunya tiba akan kuceritakan,"

"Baiklah,"

"Jadi, apa untuk sementara waktu aku boleh... di sini?" ucap Sacchi ragu sambil membuang mukanya karena malu.

"Tentu. Selamat datang di rumahku, Sacchi," kata Hinata sambil tersenyum riang.

"Terima... kasih,"

Hinata hanya tersenyum. Senyum yang membuat hati sang kucing terasa hangat.

'Maaf, untuk saat ini aku tidak bisa menyebutkan namaku yang sebenarnya, Hinata,'

.

.

.

Setelah sekian lama, saya akhirnya kembali menulis. Nyahaha...

Maaf ya kalo ceritanya agak-agak. Maklum, udah lama gak nulis cerita.

Yap, saya tunggu reviewnya ya...

Terima kasih.