A/N: Siapkan makan terlebih dahulu! Kalau mau buat mi rebus silakan bikin sebelum baca fict ini yang kemungkinan bakalan panjang kayak kereta. Kalau ada yang kebelet, silakan ke kamar mandi sekarang, kalau ada yang ngantuk, ya udah bobo aja dulu sana! Hehe~ Tapi, meskipun cerita ini udah lapuk, saya sangat senang kalau kalian berkenan dan betah baca sampai selesai... mau, kan?

Warning: Typo(s), language, genre, OOC, STORY—! Honestly, everything about my fiction is warning! QAQ

Read and Review please~

.

Their Love

(Chapter 3)

By Retatsu Namikaze

Kuroko no Basuke and Main Characters © Fujimaki Tadatoshi

Cover from Google

.

Thanks to:

Kamusku tercinta

Seracchi, terima kasih untuk segala bantuanmu!

Xavierre, dee-mocchan, jesper.s, OchiCassiJump, aster-bunny-bee, Tyaa, Haruna Tachikawa, Xavierre, ai selai strawberry, Network Error, Ryuukaze Hikari, dee-mocchan, OchiCassiJump, mimiko x as sakura, sellarosella (aka Seracchi~!), Calico Neko, Faicentt, AkuNoMeshitsukai, fuyu no yukishiro, Hyorikazu, LalaNur Aprilia, RI Ryu-nyan, RI Ryu-nyan, sukikawai-chan, Aoi-Umay, Baby Panda Zi TaoRis EXOtics, followers/fav-ers(?), and YOU!

Berkat semangat kalian saya mau menyelesaikan fanfiction ini.


Cinta tentang mereka adalah sebuah kecupan selamat pagi, rasa asin air mata, tragedi, penyesalan, dan satu awal baru.


Lima menit, dua belas deringan. Dan semua tidak Kagami pedulikan. Hatinya sudah bertekad benar-benar tidak mau mengangkat telepon itu, siapa pun yang menelepon dan seberapa pun tinggi jabatannya. Tidakkah dia mengerti keadaannya sekarang yang sungguh tidak ingin diganggu?

Bahkan Kagami tidak jadi bersyukur ketika telepon itu berhenti meraung. Karena kini, giliran ponsel di saku celana yang bergetar. Mau tidak mau dia harus menerima panggilannya. Karena kalau panggilan ini memang ditujukan untuknya.

"Halo—"

"BAKAGAMI! Kau ini memang bodoh atau apa? Ada di mana kau, hah?! Kenapa tidak kau angkat teleponnya?!"

"Heh?" Kagami menegakkan punggung. Tidak percaya kalau yang membentak dari seberang sana adalah laki-laki paling murah senyum yang pernah ia temui.

"Cepat kemari sekarang juga, Idiot!"

"Tunggu, memang apa yang—"

"Kalau kau tidak segera berangkat, maka aku janji akan membunuhmu!"

"Tatsuya! Berhenti berteriak! Aku tidak mengerti maksudmu, jadi tolong jelaskan dengan benar apa yang terjadi!" Kagami balas membentak.

"Jelaskan apa yang terjadi, katamu?" Terdengar suara desisan dari seberang telepon. "RUMAHMU TERBAKAR, BODOH! Dan Kuroko terjebak di dalam sana, itulah yang sedang terjadi!"

Kalimat itu adalah hal terakhir yang Kagami dengar di atas kesadarannya. Rumahnya. Api. Kuroko. Kuroko terjebak dalam api.

Semua menjadi sunyi seketika. Hampa.

"Te...tsuya, ka?"

Hanya sepersekian detik setelah ia mendengar berita itu dari Himuro, setalah sempat mematung shock dan memberikan kesempatan pada otaknya untuk mencerna, Kagami langsung menghambur ke luar kantor. Membiarkan ponselnya yang terlempar ke sudut ruangan juga sakit di tulang kering karena terantuk sisi meja. Dia menabrak semua yang menghalangi jalannya. Terus berlari keluar stasiun pemadam menuju jalan raya. Mengabaikan petugas jaga yang menegur, yang memperingatkannya untuk menunggu lampu pejalan berubah hijau. Menunggu? Tidak ada menunggu untuk Kagami. Kuroko dalam bahaya. Dan ini semua salahnya karena tidak mengacuhkan lebih awal. Bagaimana mungkin Kuroko bisa bertahan lebih lama lagi setelah—

—tidak.

"Tetsuya..."

Klakson mobil bergantian melengking, seolah berlomba-lomba merebut perhatian Kagami. Salah satu taksi yang lewat nyaris menyerempet lengannya, beruntung ia berhasil menghindar tepat waktu.

Setibanya di seberang jalan, ia segera menggapai sepeda gunung yang terparkir di depan toserba. Mengetahui sepedanya dibawa kabur, si pemilik pun tergopoh ke luar dan meneriakinya pencuri. Tapi sia-sia, karena Kagami telah melesat begitu cepat, melawan laju arus kendaraan menuju ke… kemana lagi kah tujuannya kalau bukan ke rumahnya. Menuju Kuroko.

Satu, dua, dan terus, semua mobil yang ia jumpai meneriakkan klakson ke arahnya. Sebuah mini bus rem mendadak dan yang satu lagi terpaksa berbelok menghindari Kagami. Ia sungguh tidak peduli lagi. Atau mungkin lebih tepatnya, ia tidak bisa peduli. Pandangan itu sekarang mati. Tidak ada pantulan apa-apa di sana selain segaris lurus jalanan yang terlihat melompong. Satu suara yang bisa didengarnya kini hanya degup jantung yang kian bertalu dengan selingan hembusan napasnya yang memburu. Sisanya hanya kesunyian. Dia tidak melihat kepada apa pun, mendengar pada apa pun, dan memikirkan tentang apa pun. Tentu, selain satu nama dan keharusannya tiba sesegera mungkin untuk menyelamatkannya.

"Tetsuya."

Lagi-lagi suara klakson berbunyi. Mobil itu menabrakkan diri ke trotoar, masih akibat ulah serampangan Kagami.

"Tetsuya!"

Detik berikutnya klakson dari sebuah motor yang oleng. Beruntung, karena si pengemudi cepat kembali mendapat keseimbangannya.

"Tetsuya..." Kagami terus bergumam. Dia harus cepat sampai, itu saja pikirnya.

.

Kuroko berlari dengan Nigou, si Siberian Husky hitam kesayangan dalam pangkuan.

"Kagami-kun, dia lucu kan?"

"Jauhkan dia dariku, Kuroko! Jauhkan makhluk itu atau aku akan membunuhmu!"

.

"Tidak. Hah—aku tidak akan membunuhmu."

.

"Kagami-kun, boleh aku menginap di rumahmu?"

"Hn? Tentu!"

"Boleh aku membawa Nigou?"

"...Mati sana."

.

"Tidak boleh mati. Tidak boleh! Tidak—"

.

"Kagami-kun..."

"Hah?"

"Suka."

"Kenapa?"

"Aku suka Kagami-kun."

"Ah ya, boleh. Terserah kau saja."

.

"...Bertahanlah! Sedikit lagi. Kumohon sedikit lagi! Tetsuya—KUROKOOO...!"

Dia terus mengayuh. Putaran pedal itu terasa semakin ringan di kakinya. Kalau saja Kagami mau berandai, dia kini bagai mengambang di udara. Ah, tapi tentu hal semacam itu tidak pernah terlintas di benaknya. Bahkan keselamatan sendiri tak sedetik pun terpikirkan. Inilah 'kebodohan', karena kemungkinan terburuk bisa kapan saja terjadi.

Satu Bus JR melaju tak kalah cepat dengan si pengendara sepeda. Bus biru itu datang dari arah berlawanan dan hampir berada tepat di hadapannya ketika insting yang mengendalikan Kagami membuatnya berbelok dan justru berpapasan dengan sebuah sepeda motor yang muncul dari belakang bus. Pandangan Kagami tetap kosong, tapi dia bisa merasakan cahaya yang datang begitu menyilaukan mata—

.

.

.

—lalu segera tertutup tirai gelap.


"Pa...nas."

Kuroko menyandarkan kepala pada salah satu sudut di ruang sempit tempat ia berada. Lewat kisi-kisi pintu, dia bisa mengintip pada api yang telah membakar habis mejanya. Kamarnya terang benderang, menimbulkan pola bergaris di atas tubuhnya dan memberikan seberkas penerangan di dalam sana.

Sesekali dia terbatuk, lalu dengan cepat tangan Kuroko mendekatkan gumpalan kain yang digenggamnya pada hidung, menghirup napas lewat baju itu.

"Taiga-kun..." bisik Kuroko parau. Ia hirup lagi aroma maskulin yang tertinggal di kaos hitam tersebut, lantas mendekapnya semakin dalam. Menerka-nerka kembali lekuk tubuh yang pernah berada di baliknya.

"...Di mana?" Dadanya sesak, bukan lagi salah kepulan asap, sebab titik air mata itu kini ikut luluh berjatuhan.

Dia rindu. Begitu merindukan orang itu ada di sampingnya.

"Taiga-kun," Kuroko mulai terisak, "Maaf... sungguh, aku—" ia semakin membenamkan wajah ke dalam baju Kagami, "Maaf..." lirihnya, "...Maaf."

Gemeletuk kerikil terdengar ribut disusul sebuah gedebuk keras. Serpihan asbes dan kayu-kayu penyangga jatuh bersusulan. Lagi.


"Angin terlalu kencang! Kita sama sekali tidak bisa menjangkau atap!"

"Sial!" Himuro melirik seorang pemadam yang diangkut ke dalam ambulans. Tubuhnya cedera berat setelah terjatuh karena tali pengamannya yang terputus terbakar api.

"Kalau begitu kembali pada rencana awal, kita tembus jalan depan! Kerahkan seluruh kemampuan kalian! Masih ada orang terjebak di dalam, kita harus pertaruhkan hidup kita saat ini juga untuk menyelamatkannya!"

"OOOSSHH..!" Serempak awak-awak berseru lalu kembali berusaha menaklukkan api.

"Kalian!" Tunjuk Himuro pada para pemadam yang mulai menaiki tangga branwir, "Tetap arahkan air pada atap!"

"Baik!"

"Komandan," Seorang awak bertubuh bongsor menginterupsi Himuro yang tengah memutar keran besi pompa, memastikan aliran air keluar lebih deras. Urat-urat tangannya sampai menonjol, terlihat sedikit kewalahan. Padahal sebelumnya Himuro telah ditawarkan bantuan tapi bersikeras menolak, "Sebenarnya di mana posisi korban? Akan sangat terbantu kalau kita mengetahui lokasinya."

"Karena itulah!" Himuro mendesis, "Aku pun tidak tahu. Tapi aku sangat yakin Kuroko masih ada di dalam," Matanya menerawang pada bangunan itu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Kecil sekali. Sangat kecil kemungkinan dia masih hidup.

Dia lalu berlari meninggalkan awak itu, bergabung dengan tim yang akhirnya berhasil menjebol pintu dan bergerak masuk ke dalam bangunan.

Bahkan, api lebih besar lagi di dalam sana.


"Kagami-kun, dia lucu kan?"

"Jauhkan dia dariku, Kuroko! Jauhkan makhluk itu atau aku akan membunuhmu!"

"Aku juga akan membunuhmu. Nigou, kejar dia!"

"Arf!"

"Kurokoo aku menyayangimuu...!" Kagami berputar arah dan bersembunyi di belakang tubuh mungil Kuroko, memeluk kakinya—minta ampun.

.

"Apa kau ingat kau pernah berkata begitu padaku?" bisiknya pada udara.

.

"Kagami-kun, boleh aku menginap di rumahmu?"

"Hn? Tentu!"

"Boleh aku membawa Nigou?"

"...Mati sana."

"..."

"..."

"..."

"Ah! Sudahlah... terserah! Tapi kau yang urus dia! Hiiy...!"

.

"Pada akhirnya kau selalu mengalah, membiarkanku berbuat semauku—hm," ia tersenyum, dan terus menatap kegelapan di depan matanya, "Aku suka kau yang seperti itu, selalu memahami setiap keinginanku, Taiga-kun."

.

"Kagami-kun..."

"Hah?"

"Suka."

"Kenapa?"

"Aku suka Kagami-kun."

"Ah ya, boleh. Terserah kau saja."

"...Mukamu merah."

"Ap−b-berisik!"

"Kau juga menyukaiku, syukurlah."

"DIAM, BODOH!"

.

"Kenapa kau tidak pernah jujur tentang perasaanmu? Kalau terus begitu, kalau bukan aku yang mulai duluan, kau mungkin bisa menyesal lho, membiarkan perasaanmu itu tidak tersampaikan," si pemuda bersurai langit tersenyum pahit.

"Tapi, terima kasih. Karena kita sudah bertemu, karena aku bisa mengenalmu, dan karena kau sudah mengizinkanku untuk merasakan kehangatanmu." Lewat dinding kayu di depannya dia menerawang jauh, "Aku pernah dengar, sesaat sebelum mati kita bisa melihat rekaman kehidupan... dan kurasa aku sedang menontonnya sekarang." Kelopak matanya tak berkedip, meskipun tidak juga terbuka lebar. Ia seakan memang bisa melihat gambaran kenangan dengan sang terkasih. "Kita bertemu saat musim semi di Seirin... ah, bahkan jauh sebelum itu. Saat itu kau terlihat sangat menyeramkan, tapi aku justru mengekormu. Kau tahu? Kemana pun kau pergi aku selalu mengikutimu di belakang, tapi kau tidak pernah sadar. Hebat, kan?" Matanya menyipit, membentuk senyuman bagai bulan sabit di tengah gelap malam.

'PRANK..!'

Kaca jendela akhirnya pecah, mempersilakan api untuk masuk dan leluasa menjilat isi kamar.

"...Bukankah aku semacam stalker?" Kuroko mengabaikan suara itu dan kembali melanjutkan kisahnya sembari tertawa kecil mengingat kebodohan sendiri.

Dia memejamkan mata perlahan. Menghirup napas, masih dalam baju Kagami.

"Sebenarnya... meski aku tahu aku akan mati, aku sedikit berharap, sebentar saja, aku ingin melihatmu. Bisa, kah? Taiga-kun? Kau mau kan kalau kau kemari sebentar, membiarkanku menyingkap ponimu lalu mengecup dahimu, agar setelah itu aku bisa segera melupakan semuanya—"

Dia kembali teringat dengan pertengkaran-pertengkaran mereka yang... bukankah itu tak perlu terjadi? Kuroko menengadah menatap juntaian baju-baju di atas kepalanya.

"Maaf kalau aku tidak bisa membuatmu bahagia," Matanya menyipit, membuat air mata yang tergenang akhirnya jatuh menggantung di ujung dagunya. "Kau ingin aku menghilang, bukan? Aku akan lakukan itu kalau memang bisa membuatmu senang," Dia kembali menunduk, menempelkan dahi pada lututnya, "...Karena tidak adil kalau cuma aku yang merasa bahagia. Aku bahagia kita tinggal bersama, bahagia karena kau ada, ...dan kalau kau bahagia jika aku tidak ada, maka dengan senang hati—hei..." Kuroko memeluk baju Kagami makin erat, "Kenapa untuk membuatmu bahagia susah sekali, ya? Rasanya aku ingin tertawa karena air mataku ini tidak bisa berhenti..."

Sesaat dia membiarkan dirinya tersedu. Membiarkan baju itu semakin basah dengan air matanya.

"...Benarkah kau bahagia kalau aku menghilang? Tolong jawab, apa kau benar-benar senang kalau aku tidak ada, Taiga-kun?!" Kuroko menggigit bibirnya. Dia tahu dia memang egois, dan bukankah memang selalu demikian? Lalu, bukankah selanjutnya Kagami akan selalu mengalah lantas membiarkan Kuroko mendapat apa yang ia inginkan? Dan keinginan itu adalah tetap bersamanya.

"Kagami Taiga-kun jawab a−HA!" Tenggorokan Kuroko tercekat.

Bunyi gemuruh mengahampiri pendengaran. Tapi bukan dari reruntuhan atap. Bukan pula balok-balok kayu. Layaknya gemuruh badai dan deburan ombak lalu disusul bunyi derap kaki yang mengentak-entak ke tanah. Bunyi yang seharusnya tak ada di tempat itu.

Kuroko mencengkeram dadanya. Dia menggeliat mendapati udara yang tak kunjung masuk ke rongga hidung. Paru-parunya seperti terbakar. Mungkinkah api masuk ke dalam sana? Begitu sesak. Kuroko menendang-nendangkan kaki, meronta hebat. Tapi sekuat apa pun dia berusaha menghirup tetap tak ada udara yang sampai.

'Tidak! Mungkinkah!?' Angin datang berhembus menampar-nampar wajahnya, tapi Kuroko tetap meronta kesakitan. Angin itu bukan angin yang bisa ia hirup.

Kuroko akhirnya menyerah. Dia memilih diam ketika merasakan sepasang tangan mengelus pipinya pelan, membelainya sampai ke tengkuk, kemudian menariknya kuat. Bulu romanya ikut bergetar, tapi ia merasa nyaman. Sebuah sentuhan dari tangan asing yang begitu ia rindukan. Sebuah ilusi yang datang menyambutnya.

'Taiga-kun... maaf. Kalau saja aku bisa lebih lama—' Otaknya berputar, mendadak dipenuhi sekelebat pikiran tentang si Nigou, anjingnya yang tewas tertabrak mobil beberapa tahun silam.

Bagai terjatuh ke dalam lubang gelap nan kelam, ia tak bisa menolak dan memilih melepaskan diri. Ia hanya diperkenankan untuk diam, lalu menunggu sampai tiba di dasar.

.

.

.


"Wah... menyeramkan!"

"Orang ini tertabrak motor."

"Hei, ada apa?"

"Dia memang tidak menggunakan jalur sepeda."

"Lukanya parah sekali!" Para pejalan mengerubungi sosok yang terkapar di trotoar. Darah merembes kaosnya yang koyak terseret aspal, membuat bagian lengan dan pungungnya menggelap. Tapi peduli apa orang itu dengan pedih di lukanya. Perlahan dia bangkit lalu berjalan pincang menuju sepedanya—sepeda curiannya—tak jauh dari sana.

"Tuan, kau terluka!"

"Bersabarlah, ambulans sedang menuju kemari."

"Hei, Tuan!"

"BERISIK!" Mendengar gertakannya orang-orang terpaku. Kagami memburu napas. Peduli amat. Itu hanya luka kecil.

Dia menyeka asal darah yang mengalir di pelipis kanannya. Otaknya terasa nanar dan pandangannya memburam, tapi dia tetap kayuh sepeda rusak itu secepat yang ia bisa dengan susah payah. Rumahnya tidak jauh lagi dari sana. Bahkan kepulan hitam yang menutupi lembayung senja sudah terlihat. Jadi, mana mungkin dia sempat untuk bermanja-manja dengan goresan luka yang menganga di sekujur lengan dan kaki kanannya.

'Bertahanlah Tetsuya... kumohon!'

.

Sepeda itu ia biarkan tergeletak. Kagami mematung. Bukan hal asing kalau ia melihat kobaran api yang melalap habis rumah bertingkat, gedung pencakar langit, atau auditorium yang besar, tapi itu rumahnya... rumah miliknya. Seberapa besar kemungkinan seorang dokter sakit keras atau pemadam mendapati rumahnya sendiri terbakar? Kagami tidak pernah memperhitungkan itu.

Kagami Taiga memang terkejut, tapi orang-orang lebih terkejut lagi melihat kehadirannya, tubuh kotor penuh luka dan darah berjalan mendekati api. Seorang perawat lantas berlari mendekat, menepuk punggungnya pelan, "Kagami, jangan masuk! Akan kuantar kau ke ambulans!"

"Minggir!" Dia menyingkirkan tangan yang berusaha menuntunnya.

"Berhentilah bersikap bodoh! Kau terluka!"

"Kubilang minggir! Ini rumahku! Kau sama sekali tidak bisa menghalangiku!" Untuk kali pertama dia mau melihat pada lawan bicaranya. Matanya merah berkilat, sungguh menyeramkan. Sekuat tenaga dia dorong tubuh kecil si perawat dengan tangannya yang tidak terluka, hingga ia menabrak sekelompok orang di belakangnya.

.

Panas api membuat lukanya terbuka lagi. Darah yang mengering kembali mengalir bersama keringatnya. Tapi sampai kapan pun dia tidak akan peduli, termasuk pada rekan-rekan yang kini datang menghalanginya.

"Kau tidak perlu menyusul kemari. Ayo keluarlah! Kami juga bisa mengatasi ini!" Beberapa di antara mereka memang sudah lama kurang suka dengan sikap 'sok' Kagami sebagai seorang yang pernah dinobatkan menjadi pemadam teladan karena selalu turut ambil bagian dalam tiap tugas meskipun kala itu bukan shift-nya. Ditambah, sang komandang seperti menganakemaskannya. Semacam ketidakadilan, menurut mereka.

"Biar kuantar kau keluar," imbuh seorang lagi.

Kagami menolak semua bantuan mereka. "TETSUYAA!" Ia berteriak sekencang mungkin, memberitahukan kalau ia sudah datang—sudah datang dan akan segera menemuinya.

"Apa kau tidak mendengarku? Sebaiknya tunggu di luar. Ini berbahaya!"

"Tsugawa, lepaskan dia!" Himuro datang dengan seember besar air. Semua sempat tercengang ketika si komandan menyiramkannya ke sekujur tubuh Kagami. "Naiklah ke atas! Biar kami yang mengurus lantai bawah!"

Tanpa menunda lagi Kagami berlari menuju tangga sambil tetap waspada pada reruntuhan yang sewaktu-waktu dapat roboh menimpanya. Beruntung, perlindungan darurat yang diberikan Himuro sedikit membantunya bertahan di tengah api. Dan terutama, membuat ia tersadar dari pikiran kalutnya.

"TETSUYA!" Kagami akhirnya tiba di lantai dua setelah berjuang melepaskan kaki yang terperlus anak tangga. Dari sana dia bisa mendengar suara dobrakan pintu di bawah, disusul dobrakan lainnya, lalu langkah kaki terburu-buru yang mendekat. Himuro muncul.

"Aku berubah pikiran. Kau masih bisa bertahan?"

Kagami mengangguk sekali.

Memang mestinya pertanyaan itu tak perlu dilontarkan. Himuro menghampiri ruang terdekat—kamar baca—dan mendobrak pintu yang terkunci. Sementara tanpa sepengetahuannya Kagami masih berdiam di tempat. Ia terbungkuk lemas. Air dingin pemberian Himuro tidak berefek lama karena kepalanya terasa kembali berputar. Sambil menahan bobot tubuhnya pada tembok, Kagami mengatur napas. Belum saatnya untuk menyerah. Dia harus menemukan Kuroko. Segera menyelamatkannya.

"Tetsuya—" Kagami terhuyung ketika sebuah balok kayu jatuh di dekat sana, membuat lubang besar di lantai.

"Taiga!"

"Aku masih bisa, Bodoh!"

Himuro tahu Kagami sudah mencapai batas. Salahnya karena membuat dia babak belur begitu, tapi dia tahu dia harus tetap mempercayainya. "Kalau begitu jangan diam saja, cepat bergerak! Ini perintah!"

"Y-Ya." Kagami kembali berjalan dengan napas tersenggal. Dia mendorong pintu kamar mandi, masuk ke dalam ruang yang gelap dan berasap itu, memeriksa bak, menyingkap tirai-tirai, tapi tidak menemukan kehadiran Kuroko di sana.

"ARGH! TETSUYA!" Kagami perlu mendengar suaranya, rintihan pun tak mengapa, "JAWAB AKU TETSUYAA...!" Karena dia tidak tahu di mana Kuroko berada. Selalu begitu dari dahulu. Kenapa dia tidak bisa merasakannya? Dia kecewa. Itu membuatnya sakit. Menyalahkan diri sendiri dan mempertanyakan apakah ketulusan cintanya memang belum cukup untuk demikian.

Langkah membawa ia pada pintu kamarnya yang terkunci. Dia paham kenapa ruang baca terkunci, tapi kalau kamarnya... Kagami memejamkan mata. Amerika memang telah mendarah daging, tapi Kagami tetap percaya adanya Tuhan. Dan dia berharap Kami-sama mau mengabulkan harapannya, Tetsuya ada di dalam.

"TETSUYA! KAU DENGAR AKU?!" Dengan semua tenaga tersisa Kagami menghempaskan bahunya, sama seperti yang dilakukan Himuro di ujung sana. Meski kaki kanannya pincang, bahu kanannya mati rasa, dan tulangnya benar-benar nyeri untuk digerakkan, dia tetap memaksakan diri mendobrak pintu itu. Hatinya bertambah kuat. Kuroko ada di dalam. Dia pasti ada di dalam. "TERBUKALAH BODOH−Argh!"

'Brak!'

Pintu itu terjatuh bersama Kagami.

"Khh...!" Sungguh tersiksa, tubuhnya sekarang benar-benar di ambang batas. Dia menjangkau bangku yang hampir menjadi abu dan mendorongnya ke kolong meja. Memastikan apa di dalam kobaran itu terdapat tubuh Kuroko.

'Tubuhnya pun tak masalah...'

Benarkah? Air mata Kagami luluh. "Tidak. Tidak boleh tubuhnya saja. Harus Kuroko Tetsuya—!"

Kursi itu hancur membentur tembok. Serpihan-serpihan abu berterbangan dan membuat Kagami sedikit terbatuk. Tetapi itu berarti ada harapan, setidaknya Kuroko ternyata tidak berada di sana.

Kagami lalu mengampiri kasur, menyibak selimutnya, dan masih belum menemukan Kuroko. "Ha—hah... hah... Tetsu...ya." Dia nyaris menyerah saat melewati kobaran api di sekitar kakinya. Darah di tubuhnya seakan ikut mendidih kepanasan. Matanya berkunang-kunang. Tapi ketika ia tiba di depan lemari baju—

—mata itu terbuka lebar. Terbelalak pada sosok yang tertekuk di dalam sana, tubuh mungil berambut biru lembut yang mendekap... bajunya.

"Tetsuya...? TETSUYA!" Kagami berlutut, merengkuh Kuroko, menarik kepalanya mendekat, "TETSUYA...!"

Tubuh itu sama sekali tak mau bergerak.

"Bangunlah! Hei! Ini aku Tetsuya! Tetsuya! TETSUYAA...!" Kagami mengguncang tubuhnya yang terkulai lemas, "Hu—Tetsuya, ba...ngunlah, bangunlah...!" Kagami mencium kelopak mata Kuroko yang terpejam. "Bangunlah! Kumohon! Tetsuya... Tidak. Tidak. Tidak. Buka matamu, Sayang! Tolong buka matamu! Aku mohon! Kau mendengarku, kan?! Tetsuya, kau pasti dengar aku!" Kagami terus mendekap tubuh Kuroko, menepuk-nepuk pipinya. "Hu... huu... Tetsuya! Tetsuya... tidak, tidak! Tetsuyaaa...!"

.

.

.

Dia mungkin terlambat.

.

"ARAHKAN AIR KEMARI!" Himuro muncul di ambang pintu bersama seorang awak, "Taiga!" Segera ia menghampiri keduanya dan meraih tangan Kuroko. Sudah menjadi kewajiban seorang pemadam untuk berbekal keahlian medis darurat. Kagami membiarkan Himuro memeriksa denyut nadi Kuroko sementara ia terus memeluknya. Awak barusan pun tak tinggal diam, meraih selimut yang telah lebih dahulu ia guyur air, lalu membungkus tubuh Kuroko dengannya.

"M-Masih ada... walaupun sangat lemah," ia membelalak sedikit tak percaya, "Cepat bawa dia!" Perintahnya pada si awak, "Taiga, kita juga harus segera keluar dari sini!" Himuro melingkarkan lengan kiri Kagami di lehernya, menuntunnya berjalan.

"Ha−hah... hah..."

"Tahan sebentar lagi!"

"Tetsuya—"

"Dia masih hidup," Himuro tersenyum simpul, "Kau sudah menyelamatkannya!"

"A−hah... tidak. Tetsuya—"

"Bertahanlah Taiga!"

Di luar, beberapa orang susul-menyusul bertepuk tangan menyambut keempatnya, dan lebih banyak lagi di antara mereka yang berlinang air mata haru.

Seorang pemuda berpakaian serba putih dengan cekatan menghampiri, "Cepat bawa masuk ke dalam ambulans!" Beberapa pemadam ikut membantu merebahkan Kuroko di atas tempat tidur sementara ia sendiri menuntun Kagami yang kali ini tidak melawan. "Himuro, kau ikut?"

"Bicara apa kau, aku masih punya urusan! Bagaimana dengan anak buahku?"

"Dia sudah lebih dahulu diangkut ke rumah sakit dengan ambulans yang tadinya dipanggil untuk korban kecelakaan lalu lintas. Mm, kau tahu siapa korbannya?" Perawat itu mengarahkan ibu jari pada Kagami di belakangnya yang masih sibuk mengatur napas lewat masker oksigen.

"Hah! Si Bodoh itu..."

"Aku harus berangkat sekarang."

"Ya. Titip mereka Takao! Setelah selesai aku akan langsung ke rumah sakit." Himuro berlari kembali ke arah bangunan.

"Kau tahu di rumah sakit mana aku bekerja!"

Himuro hanya mengangkat sebelah tangan menanggapi seruan Takao.

.

Pendar lampu sirene-sirene itu masih tampak di tengah kelabu langit malam yang tak berbintang. Takao mengalihkan pandangan dari jendela ketika telepon genggam di dalam tasnya bergetar. Merasa tidak enak, dia menoleh pada rekannya.

"Tidak apa, mungkin itu penting."

"Ah ya, maaf." Takao meraih ponsel hitamnya dan membaca pesan yang masuk.

From: (o^3^) Shin-chan

Subject: [none]

Apa mereka baik-baik saja?

Takao menoleh pada Kagami di sampingnya yang tetap menggenggam erat tangan kiri Kuroko dan menyandarkan kepala pada perpotongan lehernya. Dia terus membisikkan—yang Takao tebak dari gerakan bibirnya—nama Kuroko dan 'Sayang bangunlah,' atau semacam itu sambil berurai air mata.

To: (o^3^) Shin-chan

Subject: Re: [none]

Tidak baik. Tapi mereka sedang berjuang.

Karena hari ini klinik libur, kau bisa datang

ke rumah sakit bersama mereka, kan?

Sampai ketemu nanti,Suiitohaato~ (sweetheart)

Chu!

Takao tersenyum tipis sebelum beralih kembali pada Kagami dan Kuroko, mengabaikan ancaman dari pesan balasan yang diterimanya: Akan kubunuh kau nanti!.

'Ya, mereka berdua sedang berjuang,' batin Takao.


Kagami masih menautkan jemari, membungkukkan punggung, dan terus merapal nama Kuroko, berharap itu bisa menjadi mantra agar dirinya mau terbangun dan balas memanggil namanya. Himuro duduk di dekat Kagami—terpisah satu kursi—di kursi tunggu lorong Unit Gawat Darurat bersama Murasakibara di samping kirinya.

Aomine mendampingi Kise dan Momoi yang berdiri tepat di depan jendela ruang tempat Kuroko ditangani. Sesekali dia melirik pada Kagami, memastikan kondisinya. Orang itu terlalu keras kepala—sama seperti dirinya kalau dia tidak tahu—sampai menolak suster berdada besar yang berbaik hati mau mengobati lukanya. Untung Takao dan Midorima mau menggantikan dan mengobatinya di tempat, meski sekadar memberikan antiseptik dan membalutkan perban. Setelah selesai, perawat itu, Takao, ikut menunggu di dekat pintu, sedikit-banyak mungkin bermaksud menghalangi kalau-kalau Kagami ingin menghambur masuk ke sana.

Aida Riko bersama kedua kawan dekatnya, Hyuuga dan Kiyoshi, memilih untuk duduk di bangku di seberang tempat Kagami berada. Dia masih bisa melihat jendela kamar Kuroko dari tempatnya meskipun terhalang si Blonde. Agak sedikit canggung sebenarnya, ketika dia mendapat kabar dari Himuro kalau Kuroko dilarikan ke rumah sakit. Dia ingin datang, bagaimanapun Kuroko adik kelasnya dahulu, tapi dia tahu teman-teman dekat Kuroko dan dia tidak begitu mengenal mereka selain sebagai 'Kiseki no Sedai', dunia mereka berbeda. Jadi dia terpaksa menarik Hyuuga dan Kiyoshi untuk ikut. Toh, mereka pun tidak keberatan. Aida lebih banyak diam walau terkadang dia juga mencuri pandang pada Midorima dan Akashi yang berdiri di dekatnya. Jarang sekali dia bisa melihat orang-orang itu—Generasi Keajaiban—tanpa jersey mereka, apalagi itu pun sudah berlalu sejak beberapa tahun ke belakang. Rasanya sedikit asing.

Kise menatap cemas pada tim dokter yang menangani Kuroko. Dia bisa melihat selang-selang dan kabel dipasangkan pada tubuh mungil itu. Infus, alat bantu pernapasan, alat monitor detak jantung, pengatur tekanan darah, dan entah apalagi namanya. Tidak pernah terbayang Kuroko kecilnya akan mengalami hal tragis seperti di adegan dorama-dorama yang pernah ia lakoni—yang ternyata jauh lebih menyeramkan bila disaksikan secara langsung. Dan penyebab semua ini... ia melirik pemuda berambut merah gelap dengan ekor matanya, lalu mendecih pelan.

"Tetsu-kun..." Momoi menyapukan jemari lentiknya pada permukaan kaca. Dia beralih pada Takao, "Takao-kun, Tetsu-kun baik-baik saja, kan?"

"Eh..." Takao gelagapan.

"Iya, kan?!" desaknya. Dia tetap tidak mau menerima kenyataan. Kuroko cuma pingsan, semua pasti berlebihan membawa Kuroko ke Unit Gawat Darurat, itu yang sering diulang dalam hatinya.

"Kondisi Kuroko memang kritis, tapi mereka pasti akan melakukan yang terbaik," jelas Takao sekenanya.

"Takao, kudengar dia tidak terluka. Apa asap yang jadi penyebabnya?"

Takao mengangguk pada Hyuuga. "Beruntung dia segera diselamatkan. Kalau satu menit saja terlambat mungkin nyawanya tidak tertolong lagi. Ini berkat kalian!" Takao tersenyum pada kedua pemadam itu. Himuro balas tersenyum kemudian menatap khawatir pada Kagami yang tetap tertunduk dan bergumam sendiri.

"Kalau saja pertengkaran bodoh itu tidak terjadi..."

"Diamlah Kise!"

"Tapi Aominecchi—"

"Aku bilang diam!"

Kise berpaling, memeluk dirinya sendiri dan memilih untuk mengalah.

"Aku tidak akan pernah memaafkan orang yang membahayakan nyawa Tetsu-kun!" Kini giliran gadis bersurai merah muda yang angkat bicara.

"Satsuki!"

"Dai-chan! Kau pikir kau pantas membelanya?! Kau ingin menjadi pahlawan, begitu?!" Momoi menatap lurus pada Aomine.

Himuro masih melihat Kagami yang sama sekali tidak bergeming, tetap menyebut-nyebut nama Kuroko. Telinganya panas mendengar apa yang sedang diperdebatkan teman-teman Kuroko, tapi ia tidak ingin menambah masalah.

"Kan bukan dia yang meniupkan api ke rumahnya sendiri. Dia juga sudah menolong Kuroko!" Takao ikut ambil bagian.

"Itu memang harus dia lakukan untuk menebus kesalahannya! Tapi tetap saja dia kan yang membuat Tetsu-kun begini—hu... membayangkan Tetsu-kun sekarat dalam api—" Momoi menutup muka dengan kedua tangannya, menampung air matanya yang luluh, "...Jahat! Dai-chan lakukan sesuatu! Tangkap orang itu! Kau kan polisi—hu... huu... Tetsu-kun!"

"Lalu apa yang bisa kau rubah kalau kau terus menyalahkannya? Kenapa tidak diam saja dan simpan makianmu untuk dirimu sendiri, hah?!"

Momoi ingin membalas, tapi ia juga menghormati Hyuuga yang lebih senior, maka ia hanya tenggelam dalam isakannya.

Keheningan yang canggung sesaat menyelimuti mereka.

Kiyoshi menelan permen tehnya yang kelima, "Maa... sebetulnya aku juga khawatir padanya."

"Dia kan sudah ditangani oleh dokter yang pengalaman."

"Maksudku Kagami, Hyuuga. Aku mengkhawatirkan Kuroko, tentu, tapi aku lebih mengkhawatirkan dia."

Semua menatap heran pada Kiyoshi.

"Aku sama sekali tidak pernah mengerti jalan pikiranmu, Hati Besi."

"Ah Hyuuga, aku keberatan dengan panggilanmu."

"Tapi Kiyoshi-san, Kurokocchi yang sedang koma, bukannya..." Kise tidak melanjutkan.

"Itu benar, Tetsu-kun yang harus kita cemaskan!"

"Memang, tapi..." Kiyoshi melihat Kagami yang masih tertunduk.

"Aku pernah melihat mata itu," gumam Aida, merasa ngeri pada Kagami yang menatap suatu tempat di dekat kakinya.

"Memang apa hubungan matanya dengan Kuro-chin?"

Himuro menempelkan telunjuk di depan bibir, mengisyaratkannya untuk tidak ikut campur dalam percakapan tegang itu. Awalnya Murasakibara keberatan, tapi setelah melihat Himuro yang tersenyum lembut dia pun menurut.

"...Dia benar." Akashi membuka mulut, entah ditujukan pada siapa ucapannya barusan. "Bukankah ini buruk, Shintarou?"

"Nodayo," Midorima membersihkan kacamata dengan ujung kemeja, lalu memastikan apakah lensanya sudah lebih jernih. Setelah kembali memasang kacamata dia baru melanjutkan, "Kalau dalam dunia basket kalian pasti mengenalnya dengan istilah 'Zone'."

Secara serempak semua pasang mata teralih pada Kagami.

"Tetsuya. Tetsuya." Kagami masih belum berhenti membisikkan nama Kuroko dan menatap hampa pada suatu titik di ubin.

"Zone sendiri datang karena pikiran yang secara tidak sadar menjadi terlalu fokus pada satu hal," Midorima meneruskan pemaparannya, "Kagami sayangnya memiliki kontrol itu, seperti yang kalian tahu. Hal seperti ini satu waktu memang bisa berdampak baik, atau sebaliknya. Seperti sekarang, nodayo."

Aomine mengerti betul bagaimana rasanya. Dia juga pernah sangat mengkhawatirkan Kise ketika pemuda itu mengalami kecelakaan—yang untungnya tidak parah—hanya beberapa saat setelah dia meninggalkannya. Perasaan bersalah dan cemas berlebihan ketika orang yang seharusnya dilindungi berada dalam bahaya. Tentu Aomine punya alasan untuk mengerti dan melindungi Kagami dalam kondisinya sekarang.

"S-Seberapa buruk dampaknya-ssu?" Kise sempat ragu ketika bertanya pada Midorima.

"Dia sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya, bahkan aku ragu suara kita sampai di telinganya. Kalau saja kemungkinan terburuk terjadi—dan kita sama-sama berharap ucapanku salah—aku khawatir dia tidak..." Midorima menghela napas, "...Tidak bisa kembali pada kesadarannya, nodayo."

"Maksudmu gila, Shin-chan?!" Takao terkejut mendengar vonis si doker muda itu.

Akashi yang mengangguk. "Dari awal pikiran si Bodoh ini sudah terperangkap oleh satu hal. Kalian bisa dengar sendiri apa yang keluar dari mulutnya. Di otaknya sekarang hanya ada Kuroko Tetsuya. Hanya dia yang bisa membangunkan Kagami. Jadi kalau sampai Tetsuya tidak bisa diselamatkan, kesadaran Kagami akan ikut dibawanya pergi. Singkat kata, Tetsuya mati, Kagami mati—dalam artian berbeda."

"Seandainya Kuroko tidak bangun dia pasti akan terus terkurung dalam rasa bersalah, penyesalan, tekanan," Midorima menambahkan, "Semacam depresi hebat."

Mereka terdiam, masih mencerna maksud Kiyoshi, Midorima, Akashi, dan Aomine yang telah sadar sedari awal seberapa buruknya keadaan Kagami.

"Ka...gamin, begitu kah?"

Aomine tidak menanggapi pertanyaan Momoi. Justru karena itulah dia menyuruhnya untuk menutup mulut.

Kise menunduk semakin dalam. Harusnya dia tahu, Kagami pasti mencintai Kuroko. Kalau tidak, lalu apalah arti dari luka dan darah yang menghiasi tubuh atletis itu. Dia juga pasti sudah berusaha.

Keadaan sempat kembali sunyi, ketika Kagami oleng dan tubuhnya tersungkur, mengahantam lantai dengan keras.

"KAGAMI...!"


Udara begitu lembut dan manis, terasa pekat dengan wangi bunga, langit biru, serta bukit-bukit hijau gemerlap di bawah cahaya matahari siang. Dia mendongak, awan-awan putih berarak perlahan. Kalau saja tangannya dapat menggapai, gumpalan itu pasti akan terasa selembut kapas. Di bawah kakinya yang telanjang, dia bisa merasakan kelembapan helaian rumput yang menggelitiknya pelan.

Angin bertiup dari belakang, mendorong punggungnya untuk bergerak maju, menapaki bukit yang melandai. Di depan sana, jauh di depan, dia melihat sesosok bayangan yang melambai tinggi, entah pada dirinya atau pada burung yang terbang beriringan di atas. Dia mulai melangkah, pelan, semakin cepat, dan akhirnya berlari. Kakinya seakan bergerak sendiri. Awalnya dia memang terganggu, namun dengan mudah memutuskan untuk menuruti. Menyenangkan—berlari seperti ini. Dengan helaan napas yang selaras alam, dengan rumpun bunga yang bergoyang mengikuti, dia bisa sepenuhnya merasakan kebahagiaan dari kekuatan yang mengaliri tubuhnya. Begitu hidup. Sampai dia bisa merasakan detak jantungnya sendiri.

Belaian angin terus memainkan rambutnya dan menuntunnya berlari ke depan, menuju sosok yang masih melambai.

Tapi di dalam hati, dia tahu ada keraguan yang perlahan muncul. Kenapa dia ada di sini? Dan saat itulah langkahnya terhenti. Ada air yang menggenang sampai mata kakinya. Dia memandang lurus, mendapati danau yang gelap membentang sampai bukit di seberang, tempat orang itu berada.

Rambutnya hitam, kulitnya putih, bening, dan seakan bersinar membiaskan matahari. Dia tersenyum cerah, memamerkan gigi-gigi kecilnya. Anak itu, anak laki-laki itu, terlihat sangat bahagia. Alis tebalnya menaungi matanya yang sejernih langit, begitu lucu dan... teduh.

Dia mengenalnya. Entah bagaimana dia mengenalnya, matanya, anak itu...

"Nigou...?" tanyanya hati-hati.

Meskipun dia di seberang sana, dia tahu suaranya akan terdengar, dan tahu suara anak itu pun akan sampai di telinganya.

"Kuroko! Lama tidak berjumpa..."

Angin bertiup lebih kencang. Menerbangkan dedaunan kering di atas air, menimbulkan riak di sekeliling kakinya. Kuroko mengangguk, tersenyum. Ah, bagaimana melukiskan perasaan rindunya ini? Dia ingat dahulu dia selalu melompat kesana-kemari dengan ceria. Tapi kenapa Nigou bisa ada di hadapannya? Dalam wujud seorang anak tampan?

"Aku tahu kau akan datang, makanya aku kemari. Tidak apa-apa Kuroko, aku baik-baik saja di sini. Hmm..." Anak itu bergumam memikirkan cara agar ucapannya terdengar lebih mudah. "Di sini menyenangkan. Semuanya menyenangkan!" Ia membentangkan tangan lebar, "Dan aku sedang menunggu giliranku..."

"Giliran?" Sesekali awan menghalangi cahaya matahari, mengaburkan bayangannya.

"Suatu hari nanti aku akan bereinkarnasi, sama seperti semuanya. Mungkin aku akan menjadi bunga, menjadi udang di laut, anemon, atau mungkin... manusia."

Ia terdiam. Manik matanya memerangkap sosok kecil itu. Dan mata yang sama balas menatap.

"Karena itu, tunggulah aku. Belum saatnya kau kemari. Kau belum boleh datang Kuroko..."

Angin berhembus makin kencang. Sangat kencang sampai membuat awan terurai karenanya, seperti asap yang ditiup. Rumput menggerisik semakin ribut, riak air berubah jadi ombak yang menghantam betisnya, mendorong tubuhnya semakin ke tengah danau. Kuroko menyipitkan mata, tidak cukup, dia menghalangi pandangan dengan lengan kirinya, tapi masih mencuri intip dari sela-sela jari pada anak yang tetap berdiri tegak itu.

Kemudian semua kembali sepi dalam sekejap. Seakan menekan tombol pause. Angin kembali menghembus lembut. Bahkan Kuroko bisa merasakan lagi matahari yang memanaskan punggung lehernya. Dia menurunkan lengan ragu-ragu.

"Nah, sudah ada yang menjemputmu."

"Apa?"

"Ah... aku juga merindukan dia," mata aquamarinenya menerawang. Ia lalu tertawa kecil, "Tapi kurasa dia tidak mau menemuiku—entahlah." Anak itu mengendikkan bahu, lalu kembali pada Kuroko, "Kembalilah sekarang Kuroko, kembalilah!"

"Tunggu dulu Nigou!"

"Kita akan segera bertemu—tidak di sini. Jadi kembalilah, kumohon." Nigou tersenyum.

"Nigou—"

Anak itu memudar... Tidak, dia tidak memudar. Dia tadinya di sana, lalu begitu saja... menghilang. Danaunya juga hilang—tepat setelah dia berkedip. Kuroko kembali menginjak rerumputan hijau yang lembap. Kemudian dia teringat pada angin itu. Kuroko menoleh kebelakang, pada dandelion yang menari, berputar di dekat sesosok yang menjulang.

.

Dia berdiri memunggungi, menengadah pada awan-awan yang seakan menggantung hanya beberapa jengkal di atas kepalanya. Kedua tangannya terkulai, sedikit terayun angin.

Kuroko sudah sepenuhnya membalikkan badan. Dia tersenyum, memantapkan hati untuk menghampiri. Semakin dekat, Kuroko merasakan air matanya semakin meleleh, sampai dia menabraknya, memeluk erat dan membenamkan muka pada punggung besarnya. Kuroko ingin menangis, dan ia terisak pun di dalam sana.

Ketika orang itu sedikit berputar, Kuroko bisa melihat bekas air mata yang mengering di kedua pipinya. Mata merah itu sayu... dan terbelalak begitu mengetahui siapa yang memeluknya.

"Ketemu," suaranya bergetar, "...Ketemu!"

"Taiga-kun..." Kuroko membiarkan orang itu mendekapnya erat. Dia menangis, Kuroko pun menangis.

"...Ketemu."

"Taiga-kun, maafkan aku...!"

"Tetsuya. Tetsuya. Tetsuya." Kagami kembali membisikkan nama Kuroko—

"Ya, ini aku..."

—yang kali ini mendapat sahutan. "Tetsuya...!"

"Taiga-kun..." Kehangatan di dada Kagami membuat Kuroko semakin terisak. Dia tidak mau lagi melepaskan orang yang dipeluknya. Biarkan waktu berhenti sampai di situ, dia tidak mau ke mana pun lagi, cukup di sana, terus berdua dengan Kagami. Kuroko merengkuh punggung Kagami semakin erat. Dia tidak mau kehilangannya lagi. "Taiga-kun..." Dia merasakan Kagami yang balas memeluknya tidak kalah erat, mengelus rambutnya, dan mencium bahunya.

"Taiga-kun...!"

"Aku di sini."

Tangis Kuroko semakin pecah. Dia akhirnya bisa mendengar suara itu, berbisik tepat di telinganya. Juga merasakan kehangatan bibirnya, saat Kagami membawa ia ke dalam ciuman lembut yang panjang. Orang di hadapannya memang Kagami, yang semua tentangnya Kuroko ridukan. "Taiga-kun! Taiga-kun...!"

Kedua pemuda itu terus menumpahkan isi hati mereka lewat air mata dan tautan hangat. Kemudian angin lagi-lagi berhembus ganas. Tapi kali ini Kuroko kuat, ada Kagami di dekatnya—

—tidak lama.

"...pulanglah."

"Apa?!" Kuroko terkejut ketika Kagami melepaskan pelukan, membuat jarak di antara mereka, lalu berjalan mundur menjauhi Kuroko. Dia bisa melihat guratan sedih di wajahnya dan gerakan bibirnya yang menggumamkan satu kata yang tak bisa ia dengar sebelum sosok itu perlahan menghilang, seperti Nigou. "Tidak! Taiga-kun!" Kuroko berlari mengejar, dia mencengkeram lengan Kagami kuat. "Taiga-kun! Taiga-kun!" Jantungnya berdegup kencang. Dia takut. Kagami tidak boleh meninggalkannya lagi. Tidak boleh! "Taiga-kun!" Kuroko tidak mau kehilangan Kagami untuk kedua kalinya.

"Pulanglah Tetsuya..." Tangan kanan Kagami membelai lembut wajah Kuroko, berusaha menariknya mendekat tapi tidak kuasa, tubuhnya kini menjadi tembus.

"Taiga...kun!" Kagami sepenuhnya menghilang.

Apa yang baru saja terjadi? Kuroko terperenyak. Lututnya lemas. "Tidak. Tidak. Tidak." Ia menjambak rambutnya keras-keras. "Hentikan. Kumohon hentikan! HENTIKAAN...!" Kuroko berusaha menggapai, namun yang digapainya hanya udara kosong. "Taiga-kun...!" Dia segera bangkit, berlari, meraba-raba udara hingga kembali terjerembap. Tetap percuma. Sosok itu memang sudah tidak ada.

"AAAAAAA...!" teriaknya putus asa pada sang langit.

Angin masih berhembus seakan memusuhi Kuroko. Tapi ia sekarang tidak peduli. Apa pun yang datang, terserah dirinya mau diterbangkan ke mana oleh angin-angin itu, Kuroko sudah tidak mau tahu. Kenapa? Baru saja dia bisa mendapatkan Kagami kembali, kemudian dia menghilang. Meninggalkannya sendiri lagi. Maka persetan dengan semuanya!

Kagami sudah tak terkejar,

.

.

.

dia menyerah.


Mereka tertunduk, berjam-jam menunggu dalam diam. Sampai Takao muncul dari tikungan lorong, menghampiri mereka dengan senyum mengembang di wajah. Orang-orang itu mendesah lega, mengerti maksud tersiratnya.

"Syukurlah~" Momoi mengelus dada lega.

"Bagaimana kondisinya?" sergah Aida.

"Terluka parah, kemungkinan mengalami pendarahan di otak. Tapi dia sudah sadar!" Takao cepat-cepat meyakinkan mereka yang kembali shock. "Dia bersama Himuro dan teman raksasanya itu sekarang. Lalu untuk memastikan, Kagami akan menjalani rontgen segera setelah kondisinya membaik."

"Aku akan melihatnya." Hyuuga bangkit dari kursi, disusul Kiyoshi.

"Maaf, tapi aku tetap di sini-ssu."

"Aku juga. Bukannya aku tidak mau menjenguk Kagamin..."

"Tidak apa-apa. Kami serahkan Kuroko pada kalian, ya!"

Aomine dan kelima orang lainnya mengangguk pada Kiyoshi yang berjalan menyusul Takao.


Kagami tidak berdaya. Tubuh penuh lilitan perban itu terbujur lemah di tempat tidur. Himuro duduk di sampingnya, menggenggam tangan Kagami. Sedang Murasakibara betah bersandar pada tembok.

"Benarkah ini Kagami?" Hyuuga segera menyikut perut Kiyoshi karena bertanya yang tidak-tidak, membuat si jangkung mengaduh pelan.

"Aku melihatnya..." Kagami bergumam tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit.

"Siapa?" Tanya Himuro lembut. Dia terus mengelus punggung tangan Kagami dengan ibu jarinya.

"Tetsuya, di bukit." Air mata perlahan mengalir, membasahi bantal. "Aku tidak bisa membawanya... dia masih di sana, dan aku dipaksa untuk kembali ke tempat ini!"

Murasakibara hanya terpejam, menggaruk kepala dengan telujuk. Bingung sih, tapi dia tetap diam. Dia sudah cukup bersabar ketika petugas rumah sakit menyita camilannya karena dia membawa semua itu ke lorong Unit Gawat Darurat. Padahal tidak ada plang yang menunjukkan tidak boleh membawa makanan—seperti di perpustakaan—tapi baiklah, dia menurut. Dan dia akan bersabar sedikit lagi untuk mengunci mulut rapat, tidak bertanya aneh-aneh. Anak baik.

"Aku harus bertemu Tetsuya."

"Tidak Kagami!" Takao menahan Kagami yang hendak bangun dari tidurnya. "Berhenti memaksakan diri! Kuroko tak lama lagi akan siuman, serahkan saja pada kami!"

"Berisik..."

"Menurutlah Taiga! Kuroko baik-baik saja."

"Dia tidak baik-baik saja! Dia masih ada di bukit itu! Aku harus segera menemuinya!"

Alis Hyuuga berkedut. Dalam kondisi seperti ini pun dia masih saja bisa membuat kesal. "Bakagami! Kau berani membantah, hah?!"

Sejenak Kagami merasa terganggu dengan tatapan sinis dari mantan kaptennya. "Aku harus bertemu dengannya."

"Kau akan segera bertemu dengan Kuroko, Taiga. Jadi tolong, bersabarlah!"


Semua tercengang saat suasana di dalam ruangan berubah sibuk. Mata mereka melebar horor pada monitor yang menggambarkan detak kehidupan Kuroko.

"Ya Tuhan, apa yang—"

Sebuah garis.

"Kuroko... cchi."

"B-Bohong... Tetsu-kun?"

Aida yang memutuskan bergabung, ikut berdiri di depan jendela, melihat pada tubuh ringkih yang tetap enggan bergerak. Kuroko adalah anak baik, lalu kenapa ia lebih memilih menyerah dan terus menutup mata, di saat semua memintanya untuk terbangun...?

Akashi menjauhkan punggungnya dari sisi tembok tempat ia bersandar. Matanya tak berkedip, memastikan penglihatannya memang benar. Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Dia cuma menggeleng tak percaya, "...Salah. Bukan begini. Seharusnya dia pasti bangun!" Akashi menengok cepat pada sosok tinggi di sampingnya, yang juga terdiam dan masih mencoba menerka keadaan itu di benaknya. "Shintarou, katakan pada mereka kalau ini salah!"

"Hentikan akitingmu Kurokocchi! Hentikaan...!" Kise tak berhenti menyeka linangan air mata, meski kain kasar jas itu sudah membuat kulitnya memerah.

.

Kakinya bisa merasakan dingin embun segar yang perlahan naik ke permukaan. Titik-titik air menguap dari tanah. Dan begitu tersadar, tubuhnya telah terendam. Dia beranjak, mendapati diri bertapak pada papan kayu yang terpasang melintang di atas gunungan kerikil.

Rel kereta.

Dadanya berdebar. Ia kembali diliputi rasa takut. Karena sejauh jangkauan pandang, di bawah lengkung langit itu cuma ada hamparan biru-kelabu air yang dalam, jauh tak berdasar. Sekali lagi ia menunduk pada riak air yang merendam sampai mata kaki, yang bergerak pelan kemudian berubah tak beraturan. Angin menderu dari balik punggungnya, menerbangkan bau manis memabukkan. Dia berbalik, namun angin lain dari belakangnya tak mau tinggal diam. Hembusan itu mendorongnya ke dua sisi.

.

Aomine tertawa sumbang, "He—hei, hei... ini sudah kelewatan, kau tahu Tetsu? Kau pikir lucu? TERUS-TERUSAN MEMPERLIHATKAN 'GARIS' SIALAN ITU PADA KAMI, HAH!? SAMPAI KAPAN KAU AKAN MEMBUAT TENGGOROKANKU SAKIT!? KUBILANG BANGUN SEKARANG JUGA, TEME...!" Ia meninjukan tangan terkepalnya pada kaca jendela sekuat tenaga.

.

Kedua maniknya nyaris terbenam. "Tolong hentikan..." Ia tak akan peduli pada tubuhnya yang terombang-ambing. Tidak akan peduli meski berkali-kali tersungkur dan merintih merasakan kepalanya menghantam sisi rel.

"Hentikan saja... semuanya."

.

"Tidak! Tetsu-kun, kumohon jangan menyerah! Kumohon jangan menyerah! Tetsu-kun, kami tetap ada di sini, jadi tolong—hiks... aku minta tolong padamu! Aku sungguh minta tolong padamu...!" Momoi tak sanggup lagi berdiri, lantas ia membiarkan dirinya ambruk di atas lantai lorong yang dingin.

.

"Mencoba pun..." Lututnya tertatih, memaksakan tubuh itu bergerak. "...Tetap tak akan bisa." Matanya menerawang jauh, pada sisi tak berujung rel, ke arah mana Kagami pergi meninggalkannya.

"Aku... mencintaimu."

"Aku, mencintaimu..." kalimat itu menggema di hatinya.

"...Taiga-kun! Kau kah itu?"

.

"...Menemuinya. Harus menolongnya...!"

"Tidak," Himuro mengeratkan pegangan pada lengan Kagami. Membenamkan kedua matanya yang berair, "Tetaplah di sini!"

"Berapa kali harus kubilang dia baik-baik saja, Idiot!?" Hyuuga terengah menghadapi makhluk keras kepala di hadapannya.

"Harus... menemuinya." Langit-langit memburam dalam pandangan, tapi ia tetap tak berkedip, enggan mengusir air itu dari pelupuk matanya. "...Tetsuya!"

.

"Kalau aku menurut, lalu mengikuti ke arah kau tadi pergi, apa aku akhirnya bisa melihatmu? Apakah aku sungguh bisa bertemu lagi denganmu?!"

Tak ada suara yang menyahut. Hanya anginlah yang tetap bertiup, mendorongnya ke arah yang saling berlawanan, memaksanya berada dalam dilema.

"...Taiga-kun?"

.

'Bisakah kau mendengarku?' Kagami menggumam dalam diam, menikmati kesendiriannya dalam kegelapan sementara air yang hangat tak berhenti mengalir dari kedua pelupuk matanya. 'Mereka melarangku untuk menemuimu. Padahal, kau hanya berjarak beberapa kamar dari tempatku sekarang. Tetsuya... meskipun aku tidak menggenggam tanganmu. Meskipun aku tidak berbisik di telingamu, maukah kau tetap berjuang? Kau bisa Tetsuya, kau pasti bisa! Aku ingin melihat matamu terbuka, jadi kumohon... kumohon maafkan aku dan bangunlah!' Kagami menggigit bibirnya, menahan teriakan yang hendak melesak keluar.

.

Langkahnya semakin panjang. Dia berlari. Terdorong angin sekaligus melawan angin. Dia memang ingin bertemu Nigou. Tapi seperti pesannya, sekarang bukanlah waktu baginya untuk menyusul sosok itu. Kalau ia ikut bereinkarnasi... belum tentu pula ia akan bertemu Kagami, apalagi bisa mengenalnya.

Masih sempat. Kalau sekarang dia mungkin masih bisa bertemu dengannya.

Permukaan air berkecipak di bawah telapak kaki. Kuroko terus berlari menyusuri rel. Kemana pun rel itu berujung, di sana pasti ada Kagami yang menunggu. Ia ingin bertemu dengannya. Kuroko masih ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya.

Entah jalur kereta itu menurun atau permukaan air yang justru bertambah tinggi. Beberapa langkah selanjutnya membuat dirinya semakin terbenam di telan air kebiruan itu. Pertama betisnya, naik ke dada, dan akhirnya dia benar-benar berada di tengah lautan air.

Tubuhnya belum siap. Kuroko meronta hebat, bergerak tak tentu arah dan berusaha mencari pegangan yang mungkin ada di dekatnya. Lalu ketika dia merasa di ambang batas, ketika matanya mulai terpejam, dari balik suara gelembung air yang memenuhi pendengaran ia bisa merasakan tangan yang terulur menggapainya.

Kemudian semua menjadi gelap, disusul seberkas cahaya menyilaukan yang datang mendekat.

Kuroko membuka mata. Semuanya buram. Tapi seiring dia berkedip, perlahan dia bisa menyadari kehadiran dua orang dengan masker hijau yang tengah menatapnya balik.

'Di mana lagi ini?' batinnya lelah. Ia pun memilih untuk menyingkir pergi, kembali memejamkan mata.


"Mereka menunggumu, Nak." Bisik seorang dokter ketika melirik pada orang-orang yang berkumpul, yang sebagian merapat pada jendela sampai seakan bisa membuat jendela besar itu terdorong dan pecah. Dokter berkacamata itu lalu mengangguk yakin pada suster di belakangnya. Si suster membalas anggukan tersebut dan segera mengatur tegangan alat pacu jantung.

Tidak bereaksi. Tubuh itu tetap tak mau bergerak ketika sang dokter menyentuhkan sepasang alat kejut itu pada dada Kuroko.

"Naikkan tegangan!" Perintah sang dokter.

Masih tak ada respon.

"Sekali lagi!"

Dada Kuroko terangkat sesaat, kemudian tubuh itu kembali diam.

"Masih belum! Naikkan tegangan!" Teriaknya.

.

Momoi menangkupkan tangannya untuk menutup mulut. Kedua matanya sudah bengkak, entah berapa liter air mata yang telah ia tumpahkan. Dia terus bertahan, menunggu sampai tubuh itu mau bergerak.

Kise menautkan jemarinya erat. Menekankan kedua ibu jarinya di depan mulutnya dan berharap cemas pada usaha tim medis di dalam sana. Dan setelah menyaksikan kedua kalinya alat pacu itu tak mempan dengan keadaan Kuroko, dia terpejam, nyaris berteriak putus asa.

Aomine menempelkan keningnya pada tembok putih rumah sakit. Tak berniat sekadar mengintip pada ruangan yang sibuk itu. Nyalinya sudah cukup ciut saat berkali-kali ia mendengar erangan dan sesenggukan Momoi, tanda bahwa Tetsu masih belum membuka mata juga.

Akashi masih bersandar pada tembok di seberang jendela, memberikan tatapan tajam pada sosok Kuroko. Giginya bergemeletuk, sementara ia terus menggigiti kuku ibu jarinya dengan beringas. Tidak peduli pada rasa asin yang terkecap lidahnya.

Midorima memejamkan mata. Alisnya bertaut. Dia yang sama sekali tak bergeming. Tetapi di dalam hatinya, justru ialah yang paling berisik, ribut memanjatkan doa bagi keselamatan Kuroko.

Aida merasa tak pernah secengeng ini sepanjang hidupnya. Dia bisa melihat hidungnya yang telah memerah dan matanya yang sembab dari pantulan kaca, tak berbeda jauh dengan kondisi Momoi di sampingnya. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat lalu mengantukkan kepalanya pada permukaan jendela.

"Tetsu-kuuun..."

"Kurokocchi,"

"...Tetsu-Teme!"

"Tetsuya, tak ada yang boleh tidak menurut padaku, kau tahu itu! Kau tahu persis itu!"

"Kami-sama..."

"...Onegai!" Lirih Aida tak mampu mengeluarkan suaranya.

.

.

.

.

"Siap! ...Sekarang!"

Doa-doa kecemasan selama sepersekian detik tersebut menghasilkan secercah harapan ketika tubuh di atas ranjang itu mengejang. Punggungnya melengkung.

Kemudian sebuah bunyi beraturan yang melegakan menyusul terdengar. Usaha keenam kalinya membuahkan hasil. Garis yang tampak di layar melompat-lompat selama beberapa detik, lalu perlahan menjadi stabil.

Detak jantung Kuroko kembali.

Perintah-perintah lalu segera diserukan. Tugas mereka belum selesai sampai di sana. Tapi orang-orang di luar ruangan punya alasan untuk sedikit bernapas lega.


Aida menyeka asal air mata dengan lengannya. Dia sedang menarik kembali air yang nyaris meluncur keluar dari hidungnya ketika sebuah pelukan erat mendadak ia terima.

"Senpai...!" Momoi memeluk leher Aida dan menangis di bahunya.

Melihat gadis itu menangis dia jadi kembali menumpahkan air mata.

"Senpai, Tetsu-kun!" Momoi mencengkeram pundak Aida. Mereka bertatapan... lalu saling menertawakan. Wajah perempuan ketika menangis memang jelek.

Aida mengangguk keras. "Iya, syukurlah!" Dia kembali sibuk menggosok-gosokkan lengan sweaternya untuk mengeringkan mata.

"Hiks..."

"Sudah selesai, Bodoh!" Aomine menepuk puncak kepala si pirang.

Kise menengok dengan mata yang masih bercucuran air mata, "Aominecchi... Aominecchi!" Dia menghambur ke dalam pelukan Aomine, menumpahkan seluruh tangis harunya di dalam sana.

"...Aku tidak pernah salah."

Pada akhirnya itulah yang terucap dari mulutnya. Midorima menghela napas, antara lega dengan kondisi Kuroko dan pasrah menanggapi sikap orang di sebelahnya. "Jarimu terluka, apa kau sadar?"

Akashi melirik ibu jari kanannya. Kukunya terpotong tak rapi dan terlalu pendek. "Ah, benar. setelah ini kau harus membalutkan perban di tanganku."

"Minta saja pada Takao!"

Lampu merah di atas pintu ruang tempat Kuroko ditangani telah dimatikan beberapa saat lalu. Midorima berjalan meninggalkan Akashi untuk bergabung dengan dokter yang keluar ruangan, yang dengan sabar menyambut setiap pertanyaan dari kawan-kawannya yang tidak bisa tenang, memaksa masuk untuk melihat Kuroko. Dokter itu menolak dan berjanji tak lama lagi memperbolehkan mereka menemui temannya.

.

"Kurokocchi!"

"Maaf, Tuan, lorong ini terbatas untuk umum, silakan lewat lorong di sebelah sana untuk menuju kamarnya." Tolak seorang suster halus ketika duet Kise dan Momoi sudah mengambil ancang-ancang menghampiri Kuroko yang dibawa keluar hendak dipindah dari Unit Gawat Darurat menuju ruang perawatan intensif.

.

"Permisi."

"Oh, Riko!" Kiyoshi-lah yang pertama menyambut kedatangan Aida bersama kabar baiknya.

"Nah, kan, apa kataku?" Takao mengatur posisi infus lalu tersenyum tipis pada Kagami. Tapi pemuda itu cuma diam, mengepalkan tangannya kuat, dan tersenyum pada langit-langit.

"Terima kasih, Tetsuya," gumamnya.


Cinta tentang mereka adalah sebuah kecupan selamat pagi, rasa asin air mata, tragedi, penyesalan, dan satu awal baru.


Pintu terbuka, menampilkan sekelompok orang yang berebut masuk terlebih dahulu.

"H-Heei! Jangan dorong-dorong doong!"

"Kau yang cepat masuk, Satsuki!"

"Jangan menghalangi jalan begitu-ssu!"

"Oi, junior... sampai kapan kalian mau membuatku menunggu, hah?"

"H-Hieee...!"

"Hidoi-ssu...!"

"Ahahaha~"

Sang penghuni kamar, Kuroko, menatap Aomine, Kise, dan Momoi yang berdiri paling depan, ingin masuk sekaligus melewati pintu yang daunnya terbuka sebelah itu. Lalu ia beralih pada kepala Murasakibara, Midorima, dan Kiyoshi yang menyembul di belakangnya. Oh, Akashi juga terlihat di belakang Momoi ketika ia meluruskan kaki kanan dan tangan kirinya, mendorong Aomine dan Kise secara bersamaan.

"UWAAA...!" Teriak mereka kompak ketika pasangan itu akhirnya jatuh tersungkur di lantai.

"Akashicchi jahat-ssu...!"

"Kenapa Satsuki tidak kau tendang juga!?" Aomine mengelus bokongnya yang sakit.

"Dia perempuan! Kau ini bodoh, ya?"

"Huh!" Aomine mendengus tak terima.

"Tetsu-kun~!"

"Kurokocchi~!" Kise yang sudah lupa dengan sakitnya ikut menghambur ke arah Kuroko yang terduduk diam menonton aksinya.

"Oi, Kise-kun! Kuroko-kun bisa mati sesak napas kalau kau peluk begitu!" ingat Aida.

"Hah? Tapi aku ingin memeluknya-ssu~"

"Jangan berulah lagi, Ryouta!"

"H-Hai..." Kise memilih mundur ketika Akashi turun tangan.

"Tetsu-kun!" Momoi menggenggam tangan kanan Kuroko, "Syukurlah kau selamaat…!"

Kise ikut menggenggam tangan kiri Kuroko, "Iya-ssu. Kita sangat cemas lho!"

Kuroko tersenyum. Dia mengamati semua kawannya satu-persatu. Kise, Momoi, Akashi yang berdiri di dekat kaki ranjang, Midorima yang membantu Himuro menata karangan-karangan bunga yang mereka bawa terlalu banyak, Murasakibara yang mengekor keduanya, Aomine yang berjalan menghampiri sambil terus mengumpat pelan, dan ketiga seniornya yang berdiri di sisi kanan tempat tidur.

"Taiga-kun...?" Tanya Kuroko pada Aida.

Seketika ruangan menjadi sunyi.

"A... i-ituu... ahaha," Aida celingak-celinguk mencari bantuan.

Mereka sebenarnya belum yakin betul apa kondisi Kuroko sudah cukup kuat untuk menerima kabar tentang Kagami yang juga berada dalam kondisi kritis. Semua mata reflek tertuju pada Midorima, dia yang dokter di antara mereka.

"Apa?!" Tanyanya ketus. Mengerti maksud dari tatapan-tatapan itu dia menghela napas, "Aku kan bukan dokter di sini. Lagipula aku tidak punya data tentang Kuroko, jadi mana kutahu, nodayo! Tunggu saja si Bakao datang!"

"Ah, aku tidak tahu resikonya sih, tapi kurasa Tetsu memang perlu tahu," komentar Aomine.

Kuroko mengernyit curiga.

"Maa, memang justru bisa saja lebih buruk kalau dia tidak tahu..." tambah Kiyoshi tanpa mengurangi kebingungan Kuroko.

Momoi menelan ludah. "Ano, Tetsu-kun. Kagamin—maksudku Kagami-kun, dia... masuk Unit Gawat Darurat sepertimu."

Mata Kuroko membulat tak percaya, "...Taiga-kun?"

"Tapi dia sudah baikan kok, Kurokocchi!" Kise buru-buru berujar menenangkan. "Kau tenang saja-ssu, hehe..." Kise tertawa canggung.

"Tapi, bagaimana bisa?"

Himuro mengelus puncak kepala Kuroko dan tersenyum lembut, "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan Kuroko. Kau tahu? Dia begitu mencintaimu."

Semua orang menatapnya dan beberapa dari mereka memberikan senyum hangat. Membuat Kuroko makin bingung saja.

"Hm, orang itu berjuang menyelamatkan nyawamu." Imbuh Akashi tak membantu memperjelas pertanyaan Kuroko.

"Kaga-chin sudah berjuang Kuro-chin. Ya kan, Mido-chin?"

"Kenapa bertanya terus padaku, nodayo!"

"Hah! Dari dulu dia memang Bakagami!" Aida menghentakkan kaki gemas.

"Yah, si Bakagami itu—"

"Kau juga baka, Dai-chan!"

"Berhenti menuduhku begitu Satsuki!"

"Aomine no baka!" Momoi tidak peduli dengan gertakan Aomine.

"HEEI...!"

"Hahaha~" tawa Kiyoshi mengakhiri omelan mereka tentang Kagami dan baka-nya yang telah melekat erat. Sementara Hyuuga mati-matian meredam amarahnya yang siap meledak.

"Aku..." Kuroko mencengkeram kain putih yang menyelimuti kakinya. "Aku ingin bertemu Taiga-kun!"

"Sebentar lagi juga dia dibawa kemari!" jawab Aida menenangkan.

Mendengar jawaban mereka Kuroko cuma bisa menunduk. Ia semakin mencengkeram selimut erat, berharap-harap cemas dengan kondisi Kagami.


Saat itu malam hari. Ketika kuroko belum memejamkan mata dan memilih untuk duduk bersandar pada kepala tempat tidurnya. Padahal lampu kamar telah dimatikan, Kuroko pun telah diingatkan untuk segera beristirahat oleh perawat yang terakhir kali datang memeriksa keadaannya. Tapi kuroko tetap enggan mematuhi. Karena alasan ini...

Pintu kamar kuroko terketuk pelan, lalu dari baliknya muncul seorang yang sudah tak asing bagi Kuroko.

"Ara~ seperti dugaanku, kau belum tidur kan, Kuroko?"

Ketika lampu dinyalakan, maka tampaklah Takao yang berdiri sambil berkacak pinggang di dekat saklar lampu.

"Selamat malam, Takao-kun."

"Hmm, kau tidak bisa tidur Kuroko?"

"Belum."

"Ah, pasti karena pangeranmu belum datang, ya?"

Kuroko mengerutkan alis samar ketika melihat teman lamanya itu menahan tawa dan berjalan kembali menuju pintu.

Dia keluar dari kamarnya. Namun tak berselang lama, Takao bersama dua perawat lain kembali masuk sambil mendorong sebuah tempat tidur dengan seseorang yang terbaring lemah di atasnya.

Kuroko membelalak pada perawat-perawat yang sedang membuka pintu selebar mungkin agar tempat tidur yang mereka bawa itu dapat masuk. Dia telah menyingkap selimut di tubuhnya dan nyaris saja melompat turun. Dia melihatnya. Sesosok pemuda berkulit kecoklatan yang dililiti perban di sekujur tubuh sedang tertidur begitu pulas.

"Taiga-kun...?" tanpa sadar air matanya meleleh dan mengalir di kedua pipi pucat Kuroko, tak percaya pada pemandangan di depan matanya.

Takao, setelah membenahi alat infus pasien yang baru diantarnya, menepuk pundak Kuroko pelan, "Kuberikan waktu untuk kalian berdua," ia tersenyum ketir, "Titip Kagami ya, Kuroko. Kadang dia terlalu nekat, sampai aku kewalahan mencegahnya."

Kuroko tak menjawab. Ia cuma mendengarkan dan tak berniat menyahut. Lalu ketika pintu telah ditutup dari luar, dengan segera ia menghambur mengahampiri sosok yang terbaring di sebelah kanannya itu sampai tak sadar ia telah menjatuhkan tiang infus miliknya sendiri.


Langit biru cerah di luar sana seperti memutar kembali memori. Selama ia terus-terusan terpaku pada awan yang berarak, perlahan ia seakan dapat mengingat lagi suatu tempat tak kalah indah yang ia rasa pernah dikunjunginya. Dengan langit rendah dan beludru hijau yang menghampar di bawah kaki.

Angin berhembus kencang melewati jendela yang daunnya terbuka lebar, mengibarkan gorden tipis itu tinggi-tinggi dan memainkan helai rambutnya.

"Kau tidak kedinginan?"

Kuroko sedikit berjengit lalu cepat menoleh pada sumber suara, si pemuda surai merah yang terbaring menyamping dan menunjukkan seulas senyum tipis.

"Pagi ini sedikit dingin memang, padahal matahari sudah tinggi," lanjutnya.

"Taiga-kun kedinginan?" Kuroko balik bertanya, alisnya bertaut cemas.

"Oi, tidak usah memasang tampang bodoh begitu! Seakan kau yang bersalah," bantah Kagami.

"Aku akan menutup jendelanya."

"Tetsuya!" Kagami menghentikan Kuroko yang telah menurunkan kakinya dari kasur, "Aku baik-baik saja, sungguh!"

Kuroko masih diam dalam posisinya.

"Berbaringlah! Lagian keadaanku ini tidak akan membunuhku, kok." Baru saja Kuroko hendak protes, Kagami melanjutkan, "Kumohon," pintanya setengah menggumam.

Dengan sedikit ragu Kuroko akhirnya menurut juga. Dia kembali berbaring di bawah selimut dan tidur menghadapkan wajahnya pada Kagami.

Manik crimson milik Kagami balik menatap. Entah kenapa, semakin Kuroko menatapnya, secara bersamaan ada sesuatu yang semakin membuat sesak di dadanya. Lalu untuk yang kesekian kalinya, kedua manik aquamarine itu berkaca-kaca. Kuroko mencengkeram ujung selimut yang menutupi sampai hidungnya lebih kuat. Lama-kelamaan, isakan pelan meluncur keluar.

"Tetsuya?" Kagami bersusah payah mengangkat sedikit kepalanya dari bantal untuk dapat melihat Kuroko lebih jelas. Tapi si surai biru muda justru makin memejamkan mata dan terlarut dalam tangisan.

"Tetsuya, kau kenapa? Ada apa denganmu!?"

Sebagai jawaban Kuroko menggeleng.

"Tetsuya!"

Sekali lagi Kuroko menggeleng, "Maafkan aku, Taiga-kun! Maaf!" isakan Kuroko menjadi lebih jelas terdengar. "Tolong jangan lagi membahayakan nyawamu! Kumohon...!"

Kagami terdiam sesaat. Ia menghela napas panjang lalu menjatuhkan kembali tubuhnya ke kasur, "Lalu membiarkan kau pergi dan membuatku kehilangan cahaya hidupku, hm?"

Kuroko mengintip dari balik matanya yang berair.

"Akulah yang harus minta maaf. Nyawamu dalam bahaya karena salahku. Hah, mungkin itu alasan kenapa orang-orang memanggilku bodoh, ya?"

Kagami mengerling ketika Kuroko kembali menggeleng dan membungkus erat tubuhnya yang bergetar. Dia lalu menjulurkan tangan kirinya yang juga terbalut perban, "Tetsuya, tolong ulurkan tanganmu!"

Yang dipanggil membuka mata, menatap tangan besar Kagami yang terlihat lemas. Tanpa ragu lagi ia pun ikut mengulurkan tangan. Tapi sial, mungkin karena tangannya yang terlalu pendek atau jarak tempat tidur mereka yang terlalu jauh, membuat ia kesusahan menjangkau Kagami.

"Ah, tidak sampai ya?" Kagami menarik kembali tangannya, "Berarti harus sedikit bersabar lebih lama. Tunggulah sampai aku bisa bangun dan berjalan ke tempat tidurmu."

"Aku bisa bangun sekarang!"

"Tetsuya—"

"Aku sudah lebih baik daripada Taiga-kun yang mirip mumi begitu! Aku bisa turun dari tempat tidur! Lagipula lukaku tidak separah Taiga-kun, kan?"

Kagami mendengus mengalah. Dengan berat hati ia mengangkat tangan, melambaikannya, meminta Kuroko untuk mendekat.

"Tolong jangan memaksakan diri."

"Aku bisa, Taiga-kun."

"Seperti Tetsuya yang selama ini kukenal, keras kepala!" komentar Kagami sambil tersenyum.

Dia mengabaikan sindiran Kagami dan turun dari sisi kanan tempat tidur. Dengan tak mempermasalahkan dirinya yang sedikit kaget saat kaki telanjangnya menyentuh dingin ubin, Kuroko tetap berkeras hati membawa tiang infusnya dan berjalan pelan menuju tempat Kagami terbaring. Tapi ia jadi sedikit ragu ketika telah berdiri di samping Kagami. Jemari kurus Kuroko menyentuh lengannya takut-takut, "Apa tidak apa-apa?"

"Hei, tadi bukannya kau yang memaksa turun?"

Kuroko mengamati balutan perban yang menyembul dari balik baju tidur Kagami, ia takut membuat pemuda itu kesakitan.

"Kemarilah! Kapan terakhir kali aku memelukmu?"

Kuroko menggigit bibir bawahnya, "...Sudah lama." Sekuat tenaga ia menahan air agar tak mengalir lagi dari matanya yang sembab.

Kagami menarik lengan Kuroko pelan. Dia tersenyum untuk meyakinkan Kuroko bahwa ia dalam keadaan baik. Ia ingin menyambut kekasihnya yang telah kembali. Maka tanpa menunggu lebih lama, Kuroko menjatuhkan kepalanya pada dada Kagami, lalu melanjutkan isakannya di dalam sana.

Kagami tersenyum simpul, "Naiklah dan berbaring sebentar di sebelahku, Tetsuya."

.

Kagami Taiga menatap langit-langit yang memayunginya. Sinar matahari menjelang siang yang bersinar menambah silau suasana putih di ruangan tempat ia kini tidur terlentang dengan tubuh seorang pemuda mungil yang memeluknya.

"Kau tidur?" Tanya Kagami pelan, berniat tak membangunkan kalau pemuda manis itu memang terlelap. Tapi Kuroko menggeleng pelan untuk merespon pertanyaannya.

"Kalau begitu tidurlah!" pintanya sembari kembali menyisiri rambut biru muda itu yang lembut selembut segala hal yang menyangkut diri seorang Kuroko Tetsuya. Sebagai bentuk kepatuhan, Kuroko semakin membenamkan wajah di bahu kiri Kagami dan menyamankan diri dengan posisi tidurnya.

Kagami kembali memandangi langit-langit itu, seperti yang dilakukannya semenjak Kuroko yang dengan keras kepala beranjak dari tempat tidur dan kini menemaninya. Saat ini pikiran Kagami mulai kembali mengembara. Mengingat-ingat lagi ketika terakhir kali ia berlari meninggalkan Kuroko, membiarkan ia seorang diri di rumah mereka, sampai saat ia kembali rumah itu telah diliputi warna merah yang menyeramkan seperti warna rambutnya. Dia tahu saat itu ia nyaris putus asa, membayangkan hal yang tidak-tidak, memikirkan apa yang akan dilakukannya jika saja ia terlambat.

Bahu Kagami tiba-tiba bergetar dengan hebat. Ia sempat merasa takut ketika terbesit di pikirannya kalau saja ia harus menyiapkan upacara pemakaman lalu berdiri di depan nisannya. Bagaimana kalau itu sampai terjadi? Bagaimana kalau nyawa Kuroko harus terenggut cuma gara-gara kebodohnya?

Tangan kanan Kagami bergerak memeluk tubuh mungil itu. Kepalanya tertunduk, membenamkan diri dalam kepala Kuroko. Entah kenapa, semakin erat ia memeluknya, semakin marah ia pada dirinya sendiri.

"...Taiga-kun?"

"Berjanjilah kau tidak akan pernah pergi! Kali ini aku akan benar-benar menjagamu! Karena itu kumohon jangan pernah pergi lagi...!" Semua salahnya, membuat Kuroko berada dalam ambang maut, "Maafkan aku, Tetsuya!"

"Tidak Taiga-kun, kau tidak salah! Justru kau yang membahayakan dirimu untuk menyelamatkanku," Kuroko tersenyum meski ia tahu Kagami tidak dapat melihatnya, "Terima kasih, karena Taiga-kun mau datang dan membawaku untuk hidup lagi. Terima kasih."


Dunia, saat itu terlihat sangat indah. Hujan yang turun semalaman menambah genangan di tengah-tengah rumpun lapang yang hijau. Wangi segar dedaunan dan bunga yang bermekaran menguap, menguar, dan membelai penciuman. Berpasang-pasang burung terbang keluar dari sarang mereka dan kembali mengangkasa lalu mengoyak awan-awan dengan kepakan sayapnya. Serangga-serangga yang menempel pada kulit pohon kembali mengerik, mengundang mangsanya yang bersembunyi di kolam di dekat mereka untuk datang semakin mendekat.

Semilir angin menerbangkan salam selamat pagi dari mentari yang terbit di sebelah timur, melewati celah ranting-ranting kering yang berayun melambai, menyusuri sungai yang diseberangi anak-anak yang berlarian dengan tas yang masing-masing mereka panggul, mendahului bocah bersepeda yang tak sengaja melempar kaleng minumannya ke mulut tempat sampah sehingga kembali terpantul, lalu berakhir di sebuah ruangan serba putih tempat dua orang pemuda itu berbaring bersisian, saling menyunggingkan senyum kehangatan.

"Selamat pagi, Tetsuya. Bagaimana rasanya tidur dipangkuanku semalaman?"

"M-Maafkan aku karena ketiduran."

"Aku tidak masalah sebenarnya. Cuma si perawat menyebalkan itu tersenyum aneh dan berkata pemeriksaan pagi ini bisa ditunda. Apa maksudnya? Bikin jengkel saja!"

"Takao-kun?"

"Siapa lagi kalau bukan si belah tengah nyentrik itu?"

Kuroko mendengus setengah tertawa, "Ano ne, Taiga-kun, tiba-tiba saja aku kepikiran, setelah ini kita akan tinggal di mana ya?"

"...Hah?" Kagami menatap Kuroko yang baru saja terbangun di sampingnya, "Maksudmu?"

Kuroko mendongak menatap Kagami, "Rumah kita kan sudah tidak ada?"

Kagami terdiam, lalu, "Pfft—" ia menutup mulutnya menahan tawa.

"Kenapa tertawa? Apa aku salah?"

"T-Tidak juga, hanya saja... ya ampun, kenapa kau menganggap semuanya seperti telah berakhir?"

Kuroko masih menatap Kagami, menunggu penjelasan.

"Maksudku... iya, aku pun tau rumah itu sudah tidak ada, tapi kau tidak usah khawatir sampai beranggapan kita akan tidur di penampungan tunawisma," ujar kagami disusul cengiran lebarnya.

"Taiga-kun, sungguh, aku tidak mengerti! Tolong jangan kebanyakan bercanda!"

"Kebanyakan bercanda, katamu?" Dua tangan Kagami menangkup kedua pipi Kuroko yang tembam, menekan-nekannya karena gemas. "Nah, lalu kau mau mendengar rencanaku? Baiklah, setelah kita diperbolehkan meninggalkan rumah sakit," Kagami mendekatkan wajah Kuroko padanya, "Selama menunggu kau bangun tadi aku sempat berpikir—meskipun rencana ini sudah pernah terbesit sejak lama—bagaimana pendapatmu kalau setelah ini aku membawamu ke Amerika?"

"A-Amerika?" Kuroko menjauhkan kepalanya untuk bisa melihat Kagami. "Aku tidak heran kalau kau berkata kau akan pulang ke Amerika, tapi... aku juga?"

Kagami memejamkan matanya, "Kan sudah kubilang aku tidak ingin kehilanganmu lagi, Tetsuya."

"Tapi Taiga-kun—"

"Tidak sebagai Kuroko Tetsuya,"

Kuroko mengerutkan alis. Jantungnya... ia tak dapat menjelaskan alasan mengapa jantungnya bertalu-talu, menggedor-gedor dadanya. Napasnya tertahan ketika Kagami membuka mata dan berubah menatapnya dengan serius. Manik crimson itu seakan menguncinya.

"...tapi sebagai Kagami Tetsuya."

.

.

.

'Apa? Apa yang baru saja ia katakan? Apa maksudnya?' Batin Kuroko mendadak merasa cemas dan khawatir secara bersamaan. Tapi, salahkah ia kalau ia sampai berandai mengawang-awang, seakan saja maksud dari ucapan pemuda itu adalah...

"Tetsuya, akhirnya aku yakin. Semakin aku mempertimbangkan keputusan ini aku semakin yakin dibuatnya. Maukah, mm..." Kagami tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Meskipun ia berniat menyampaikannya dengan serius, tapi ia tidak dapat mengelak ketika merasa darahnya seakan-akan naik semua ke kepala, membakar wajahnya. "T-Tetsuya, mulai saat ini... m-maukah," Kagami menelan ludah, menelan kegugupannya. Ini keputusannya untuk seumur hidup, jadi ia harus membuktikan pada Kuroko bahwa ia bersungguh-sungguh!

Dengan tangannya yang sedikit bergetar ia meraih tangan kanan Kuroko, membawanya untuk menyentuh dada kirinya yang berdetak ribut. "Maukah, kau menemani hidupku? Tetap berada di sisiku selamanya supaya aku bisa terus melindungimu?" Kagami mengerutkan alisnya, "Maukah," suara Kagami semakin pelan, terdengar semakin dalam dan parau, "Maukah kau menikah denganku, Tetsuya?"


Dunia, saat itu terlihat sangat indah. Dipenuhi perasaan yang meluap-luap seperti halnya relung hati Kuroko. Dipenuhi air mata seperti yang selama ini Kuroko tumpahkan. Tapi, bahkan daun-daun pohon yang bergemerisik bertepuk tangan itu pun tahu, ia kini berbahagia. Akhir perasaananya kini telah ditorehkan oleh kebahagiaan.

'tes...'

Saat itu tanpa sadar sebelah mata Kuroko mengalirkan setetes air mata. Ia masih tertegun. Ia bahkan sempat tak percaya bahwa ia sudah keluar dari lingkup bunga tidurnya. Selama sekian tahun tinggal bersamanya, dan selama separuh hidupnya ia telah bertemu dan mengenalnya, pertanyaan itu pada akhirnya terujar juga dari mulutnya, dibisikkan dengan lembut tepat di kedua telinganya.

Andai pada detik itu ia mendengar seseorang bertanya, 'Siapakah orang yang paling berbahagia di dunia seindah ini?', maka Kuroko tanpa segan akan menjawab, 'Ya Tuhan, itu pasti aku...'.

.

.

.

Berakhir dengan sebuah kebahagiaan yang indah, memang demikianlah perasaan kita berdua seharusnya.


Their Love

[Tamat]


A/N:

Ah, bertebaran sekali pairing di sini... silakan dipilih aja. Dan saya berharap semoga kehadiran Kisedai dan Seirin-senpai itu ngga ngeganggu jalannya cerita utama. Yah, ini kan emang tentang 'cinta mereka berdua', bukan kekhawatiran mereka untuk keaadaan Kuroko atau Kagami, kekeke~

Dan untuk Nigou, saya sering berandai di masa yang akan datang dia bisa bereinkarnasi jadi anak Kuroko dan Kagami! /lha, emang mereka bisa punya anak?/ Terus kalau seandainya ada yang lupa, sebelumnya Kagami-Kuroko itu cuma tinggal serumah dan belum punya ikatan apa-apa selain... pacar, mungkin?

Yosh, meski ga bisa berharap banyak, tapi saya tetap berharap semoga cerita ini seengganya sedikit melunasi keleletan saya yang tiada tara! Huft... kesel juga sih sama diri sendiri!

Maafkan Nami ya~!

Kita berjumpa lagi di lain ceritaa...! Dadaah~!

Oh, satu lagi... Review? Ya, ya?