3

Waktu memang akhirnya cepat berlalu, tapi apa yang dilihat Kagami bukanlah sesuatu yang menenangkan. Ketika ia melihat si manusia bunga matahari itu tertidur masih lelap, menghadap ke arahnya. Tidurnya benar-benar tenang, seperti pangeran tidur. Poninya sebagian menutupi matanya yang terpejam, badannya dibalut selimut putih sehingga hanya memperlihatkan kepalanya. Pipinya sedikit terdesak dengan bantal yang membuatnya terlihat imut—

Cukup. Jangan melihatnya terlalu lama.

Kemudian ia terduduk, tangannya beralih pada ponselnya. Jam menunjukkan pukul enam pagi. Pantas saja sang pangeran tidur belum bangun. Jadi, Kagami memutuskan untuk mandi, kemudian keluar dari kabin.

Ia membuka pintu menuju keluar dan bertemu pada geladak itu lagi. Mendadak ia berhenti, terus berdiri di depan pintu sambil menahan daun pintunya. Ia kembali teringat pada kejadian tadi malam, dimana dia tidak bisa menahan bibirnya sendiri untuk mencium cowok tersebut.

Tidak bagus. Pikirkan hal lain. Misalnya rencana meminta maaf padanya atau apapun itu...

"Maaf, permisi." Tiba-tiba seorang wanita berbicara pelan di belakangnya, yang tidak lain adalah sang pelayan di kapal. Sesegera mungkin Kagami menyingkir darisana, memberikan jalan untuk wanita itu. Namun dibalik wanita itu ternyata masih ada wanita lain yang memiliki wajah familiar baginya... tak sadar ia kerutkan keningnya untuk menatapnya lekat-lekat.

"Aah... Kagami Taiga, kan?" Bahkan senyum manisnya itu benar-benar khas. Kalau tidak salah, Kise ataupun Kicchi pernah bercerita soal...

"Kakaknya Kise?" Tanya Kagami.

"Bingo!" Senyum wanita manis itu semakin merekah.

"Ah... iya. Aku Kagami." Dia mengusap-usap tengkuknya dengan ragu selagi mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Rambut kuning lagi ya...

Wanita di hadapan si rambut merah itu menyingkir dari pintu, begitupun dengan Kagami. Wanita itu tampak mirip seperti Kise, hanya saja rambutnya sedikit ikal pada bagian bawah—mungkin dikarenakan curling di salon. Rambutnya panjang sepunggung, angin sepoi-sepoi dingin juga sejuk mengibaskannya, sehingga tampak terlihat lebih cantik dan luar biasa. Matanya juga memiliki warna mata yang sama dengan Kise, hanya saja lebih tajam atau tepatnya anggun namun memiliki sifat keangkuhan dibalik itu. Hanya saja angkuh dalam hal positif...

"Mm-hmm. Panggil saja aku Kise nee-san," dia tertawa kecil, "terdengar seperti kamu memanggil adikku dengan akhiran nee-san ya?" Dia letakkan sisi tangan kanannya di depan mulutnya sambil tertawa anggun tetapi geli.

Kagami hanya mengangguk pelan, "oh ya. Kise nee-san," katanya. "Err..." Lalu dia berpikir keras untuk membicarakan suatu hal, agar kakaknya tidak merasa bosan mungkin? Sejujurnya saat ini dia butuh sendiri, tapi... mau bagaimana lagi?

"Hmm, bagaimana dengan tidurmu?" Tanyanya masih dengan mimik muka ramahnya.

"Baik." Balas Kagami dengan singkat.

Seketika mata kakaknya Kise berkilat seperti tertarik dengan cowok satu ini—dingin, cuek, simpel, apalagi? "Kau tidak menanyakan bagaimana dengan tidurku tadi malam?" Tanyaya dengan usil.

Si alis bercabang itu mengangkat sebelah alisnya, "o-oh, kalau begitu bagaimana dengan tidurmu tadi malam?"

Mendadak kakaknya Kise tertawa puas sekaligus geli mendengarnya. Tambah satu poin untuknya: polos. "Ya, tidurku sangaaat baik. Kamu tahu kenapa?"

Sejujurnya Kagami sudah biasa menghadapi orang yang berlebihan memiliki rasa percaya diri ini—ya, Kise juga begitu. Bahkan ketika sedang diejek pun, orang-orang seperti Kise tetap tidak merasa. Jadi bersikap dingin pun, para anggota keluarga Kise mungkin tidak akan merasa?

"Apa itu?" Tanya Kagami dengan nada datar.

"Karena baru saja tadi malam aku memimpikan soal dirimu, Taiga-chan!" Lalu tatapan usil pun tersiratkan di mata kakaknya Kise. Dia tertawa kecil karena godaannya sendiri pada Kagami. Apalagi ketika melihat ekspresi kaget bercampur bingung Kagami. Dia terlihat semakin imut tentunya.

"O-oh... begitu ya..." Kagami memaksakan dirinya untuk tertawa juga. Kalau boleh jujur lagi, sebenarnya Kagami tidak terlalu memikirkan hal itu.

"Ih, kenapa tidak tanya isi mimpinya tentang apa sih, Taiga-chan?"

Sejenak Kagami baru menyadari bahwa dirinya telah dipanggil Taiga-chan oleh wanita di hadapannya ini, "maaf... Taiga... -chan ?" Tanya Kagami berusaha untuk tetap bersikap sopan walaupun sebenarnya dia tidak menyukai nama itu. Mendengar namanya yang diubah-ubah menjadi lebih imut sebenarnya sudah membuatnya agak jijik untuk didengar. Tapi sekali lagi, untung dia sudah terbiasa dengan Kise, jadi tidak terlalu menjadi masalah untuknya.

"Ya! Terdengar imut kan?" Sambil berkata, wanita itu mengeluarkan ekspresi mata berbinar-binar sehingga berhasil melumpuhkan Kagami. Siapapun itu, orang yang ada di hadapannya, jika ia merasa senang atau puas, Kagami tidak pernah bisa mengelak dari mereka.

"Hmm..." dia mengangguk pelan lagi, "kalau begitu mimpi soal apa itu?" Nada suaranya masih sama; cuek dan datar.

Tetapi entah kenapa semakin dingin sikap Kagami walau tak dibuat-buat, kakaknya Kise malah semakin tertarik untuk berbicara banyak dengannya. Seperti ketika dia sedang menceritakan mimpinya mengenai bertemu Kagami di Paris, berjalan-jalan bersama dengannya dan ia anggap itu sebagai kencan, hal lain dan sebagainya; dia terlalu antusias untuk berbincang dengan Kagami. Bahkan tanpa disadari Kagami sendiri, wanita itu mendekatkan jaraknya dengan Kagami. Tetapi...

"Nee-chan!? Ah, selamat pagi!" Seru seseorang dari belakang Kagami dan kakaknya Kise.

Sesaat Kagami melihat ekspresi kakaknya Kise berubah menjadi agak terganggu, sambil memutar bola mata, ia berbalik ke belakang, diikuti oleh Kagami. Sepasang mata mereka bertemu dengan si cowok model yang baru saja selesai mandi. Dia tampak terlihat lebih segar, apalagi ketika bertemu mata dengan Kagami, "oh ya, pagi juga Kagamicchi!"

Kenapa... dia bisa bersikap normal? Kemarin, dia sadar tentang hal itu tidak sih?

"Yo. Pagi." Kagami berusaha untuk bersikap normal pada Kise—selagi di depan kakaknya Kise sepertinya.

"Ryouta! Bagaimana dengan tidurmu semalam?" Pelukan manja pada leher dari kakaknya Kise telah ia berikan pada adiknya. Yang membuat Kagami sedikit heran dengan kemiripan mereka. Seperti melihat Kise versi perempuan, yang memiliki sisi cantik sebenarnya dari seorang wanita. Bukan sisi cantik dari seorang pria.

"Ugh, tentu saja baik seperti biasa," Kise mengecup pipi kakanya, "bagaimana dengan nee-chan sendiri?"

"Aku mendapatkan mimpi tentang kencan bersama Taiga-chan di Paris lho." Kakaknya mengeluarkan senyum bangga sekaligus jahil.

Senyum yang sama; yaitu senyum jahil juga dikeluarkan oleh Kise, "jangan nee-chan. Kagamicchi sudah memiliki orang yang disuka lho." Tatapannya beralih pada Kagami, dan dia memberikan tatapan jahil itu... lebih menyipitkan matanya.

Jangan mata itu lagi, batin Kagami. Berulang-ulang kali karena mata itu, dia teringat pada mimpinya dua hari yang lalu.

"Begitukah? Uh, sayang sekali ya!" Kakaknya Kise memanyunkan bibir dengan manja, "hmm, ya sudah. Kakak mau bersiap-siap untuk keluar dari kapal nanti ya. Jangan lupa kamu juga harus melakukan hal yang sama—juga Taiga-chan." Wanita itu memberikan senyum dan sebuah kedipan; yang biasa diberikan Kise padanya. Hal yang sudah menjadi biasa...

"Ya Kise nee-san. Sampai nanti lagi." Sapa Kagami sambil mengangkat tangannya rendah-rendah.

"Tentu!" Kemudian wanita itu pergi dari tempatnya, kembali masuk ke dalam kapal.

Hening sesaat.

"Ah... Kagami—"

"Ya?" Tampa sadar Kagami keburu merespon duluan panggilan Kise, padahal belum tuntas. Saat ini Kagami sudah merasa sangat panik. Dia pun bertanya-tanya apakah Kise panik—bahkan jijik untuk dekat dengannya lagi.

"Tidak sarapan...?" Tanyanya sambil tersenyum tipis.

"Hmm... boleh. Jadi kita harus ke ruang makan lagi?"

"Tentu saja. Kalau begitu ayo ke sana." Kise membalikkan badannya, melangkah pergi.

Tetapi langkahnya terhenti ketika Kagami memanggilnya dengan suara agak lantang, masih dengan kepanikannya, "tunggu sebentar. Aku mau bertanya sesuatu."

Tanpa membalikkan badan, Kise bertanya padanya, "apa?"

Deru angin sedikit mendramatisir keadaan. Kagami menyempatkan dirinya untuk terdiam sesaat, menyusun kata-kata apa yang harus ia keluarkan... tapi pada akhirnya tak menentu. Dia hanya berbicara semenurut mulutnya saja, "soal tadi malam. Apa kamu... tidak merasa aku aneh?"

Deru angin semakin kencang, Kise masih terdiam di sana selagi poninya yang panjang mengganggu pandangannya. "Tidak juga..."

Jawaban itu membuat Kagami benar-benar kaget, "k-kenapa?" dan dia melontarkan sebuah pertanyaan, ingin mendapatkan alasan lengkap.

"Karena dalam dunia artis, hal itu sudah biasa sebenarnya. Iya kok. Terutama pada para cowok yang memiliki muka cantik—ah sebut saja sebagai pretty. Seperti yang kamu katakan dulu padaku, sewaktu pertama kali bertemu." Lalu dia menggaruk kepala bagian belakangnya, "s-sudah cukup kah jawabannya? Aku lapar nih."

Pertama kalinya Kagami mendengar Kise berbicara canggung dengannya. Dia semakin down ketika menduga-duga bahwa Kise pasti menyembunyikan sesuatu hingga suaranya terdengar canggung seperti itu. Masih ada memang keinginan untuk makan, tapi dia ingin menjauhkan dirinya dari Kise. Karena dia tahu, dia sudah membuat Kise malu besar...

"Ya... kamu duluan saja. Aku..."

"Kagamicchi." Kise berbalik, menunjukkan air matanya baru saja jatuh dari mata kirinya.

Heran. Tentu saja, heran. "Kise...?"

Dia menghapus air matanya secepat mungkin, "jangan ejek dirimu seperti itu. Aku tidak suka... kalau kamu memang merasa aneh, ya sudah diam saja. Kamu sendiri pasti sakit kan ketika berkata seperti itu? Aku tahu... Sial. Aku tidak perlu menangis kan?!" Pada akhirnya dia malah membentak dirinya sendiri.

Kata-katanya menyentuh Kagami. Sesaat Kagami memang ingin menghapus air mata itu, tapi kalau itu ia lakukan, dia akan semakin terlihat aneh. Tanpa sadar dia mengeluarkan senyum tipis namun sudah cukup puas. "Terimakasih Kise. Aku hargai itu. Ya, dan seharusnya kamu tidak perlu menangis karena kamu akan terlihat semakin cantik." Lalu dia tertawa kecil, berusaha menahan gelak tawanya.

"Idiot! Dasar Kagamicchi!" Sentuhan indah—atau tepatnya tinju indah mendarat pada perut Kagami, seperti mengocok isinya hingga akan keluar, tapi Kagami masih tertawa karena hal itu. Sekaligus, ia mendapatkan kembali tawa Kise. Itu sudah membuatnya cukup lega... apalagi perkataan Kise yang mengatakan bahwa dia tidak suka kalau Kagami menjelek-jelekkan dirinya sendiri.

Sahabat macam itu... ya ampun. Apa yang harus ia berikan kembali pada kebaikannya nanti?

Perjalanan dalam kapal pun berakhir. Kagami dan Kise pulang berdua menggunakan taksi tanpa ada kakaknya Kise. Soalnya, kakaknya menjelaskan setelah dia sampai di dermaga, dia harus kembali bekerja ke luar Kanagawa. Bagi Kise itu sudah menjadi hal yang wajar. Dia hanya memberi perpisahan singkat pada kakaknya, dan jelas kakaknya memberikan perpisahan berlebihan pada Kagami; dia mendapatkan kecupan di pipinya. Ah, bagi Kagami itu sudah menjadi hal yang normal, seperti bagaimana dulu kehidupannya di tanah adikuasa.

"Maaf ya, karena aku Kagamicchi hari ini tidak sekolah dan ingkar janji pada pelatih Seirin." Kise menatap ke bawah, memanyunkan bibirnya sedikit. Penyesalan besar dari dirinya benar-benar besar sampai Kagami bisa merasakannya, walau hanya dari ekspresinya.

Si rambut merah menyandarkan dirinya pada jok, memindahkan kedua tangannya di belakang kepala, "sudahlah. Santai saja. Aku juga sebenarnya malas sekolah setelah mendapatkan liburan spesial. Oh ya, terimakasih atas kapal ferinya. Benar-benar menggantikan lima hari waktu liburku." Kagami mengangguk puas.

Seketika Kise berubah menjadi bersemangat kembali, "tentu!" matanya pun berbinar-binar. "Bagaimana kalau hari ini Kagamicchi menginap di rumahku? Kakak-kakakku juga orangtuaku sedang tidak ada di rumah kok. Lagipula, di sana ada Kicchi lho."

Mendengar nama Kicchi, Kagami langsung terlonjak, menatap Kise dengan antusias, "Kicchi?!"

Sejenak Kise tertawa puas melihat reaksi Kagami. Gelak tawanya membuat Kagami malu besar pada dirinya sendiri. Seketika telinganya berubah menjadi merah, diikuti dengan pipinya yang juga ikut memanas. Lalu dia kembali pada posisi normal duduk, sambil melihat keluar jendela. "Sial. Jangan tertawa, bodoh!"

"Tapi raut ekspresimu langsung berubah begitu cepat. Aku geli melihatnya—" Kemudian dia semakin terbahak-bahak. Sedangkan Kagami hanya diam saja. "Tapi itu memang benar kok. Kicchi ada di sana. Jadi bagaimana?"

"Hmm, terserah padamu. Aku takut merepotkan... sebenarnya." Kagami menggaruk-garuk pipinya dengan ragu.

"Kalau begitu di sana kamu harus masak yang banyak ya!"

"Memangnya kamu bisa makan banyak?"

"Selama itu masakan Kagamicchi, aku sih tak masalah. Masakanmu tidak pernah bisa membuatku berhenti makan." Kise memberi kedipan mata lagi padanya.

Pikirannya melayang. Kagami memang tahu maskud Kise apa, tapi hal itu terdengar seperti ambigu. Selama itu masakannya ya? Hey, seperti istri yang memasakkan masakan untuk suaminya saja...

"Aku terima tantangannya. Asal kamu memiliki banyak bahan di rumah." Dia mengangguk pelan.

"Sayangnya... dirumah hanya ada jenis kacang-kacangan, susu, dan beberapa hal. A-aku minta sepuluh jenis makanan. Bisakah?" Kise tersenyum memelas.

Sungguh itu mustahil.

Tapi karena tidak ingin mengecewakan, Kagami berusaha meyakinkan Kise. Dia menarik nafas pelan-pelan dan mengeluarkannya melalui perkataan, "nanti kalau aku sudah di dapur, biasanya aku akan mendapatkan ide. Dengan kata lain, lihat saja nanti."

Itu sudah cukup jelas, sehingga mereka tak sengaja berpindah topik selama perjalanan.

Sesampainya di rumah, mereka disambut oleh si kepala kuning mini itu. Tanpa diduga-duga Kicchi tiba-tiba meledakkan sebuah tangisan ketika melihat Kagami ada di sana. Dengan erat ia peluk betis Kagami sampai membuat celananya basah karena air mata. Kagami tertawa hambar karena melihat reaksinya sedangkan Kise tertawa kecil melihat kejadian itu.

"Tiba-tiba Kagamicchi nii-san ke sini, aku belum menyiapkan apapun untuk menyambutmu." Kicchi semakin memeluk manja kaki Kagami, sedangkan Kagami masih berusaha untuk menenangkannya agar tidak menangis.

"Err ya, aku tidak butuh sambutan lebih kok. Bahkan kamu menangis pun tidak perlu, Kicchi." Jelasnya.

Namun perkataannya tidak mempengaruhi hal apapun, Kicchi tetap saja tidak bisa berhenti menangis. Tetapi akhirnya ia melepaskan pelukannya pada Kagami, dan itu membuat Kagami sedikit lega karena khawatir mungkin akan menendangnya secara tidak sengaja.

Kise mini itu mengulaskan sebuah senyum lebar, "kalau begitu kemarilah, Kagamicchi nii-san, Ryouta nii-san! Aku baru saja menyelesaikan suatu gambar!" Lalu dia menarik tangan Kagami dan Kise sambil berlari dengan rusuh, membuat mereka hampir terpeleset selain karena mereka harus membungkuk, dan harus mengikuti langkahnya yang kecil namun cepat.

Sebuah kertas tergeletak di atas lantai, krayon pun berserakan dimana-mana. Tetapi mereka berdua tidak peduli soal krayon yang berserakan dimana-mana itu semenjak menatap pada satu titik fokus: yaitu pada gambarnya. Gambar itu memang masih berantakan, layaknya anak kecil yang asal orat-oret tetapi memiliki makna. Tiga orang sedang berdiri di sana—tentu saja, siapa lagi kalau bukan mereka bertiga? Gambar ini telah menggambarkan saat dimana Kicchi menggandeng tangan Kagami dan Kise sewaktu berjalan pergi menuju taman kota di Tokyo.

Hati Kagami tersentuh, tetapi ia masih menunjukkan ekspresi datarnya—lebih tepatnya sedang tertegun. Pikirnya, anak kecil hanya asal berbicara mengenai "kata sayang." Namun apa yang Kagami lihat saat ini, anak ini tidak melupakan momen di saat mereka bersama walaupun hanya sehari.

Kise sudah bereaksi duluan. Ia langsung memeluk Kicchi dengan gemas sambil menggendongnya, dan Kicchi merasa senang akan hal itu. Sedangkan Kagami masih terdiam, tetapi tanpa sadar ia menyunggingkan seulas senyum kecil.

"Kagamicchi nii-san tersenyum!" Seru Kicchi tiba-tiba sambil menunjuk pada muka Kagami.

"Oh iya, dia tersenyum!" Kise tertawa kecil melihatnya.

"D-diam! Aku... sedang senang, bodoh!" Kagami langsung mengalihkan pandangannya dari mereka, tetapi masih tidak bisa menahan senyumnya yang semakin lama semakin merekah karena ingin tertawa.

"Kagamicchi nii-san tersenyum ssu yo!" Kicchi tertawa semakin kencang.

Kise langsung menoleh ke arah Kicchi, "K-Kicchi menggunakan kata khas milikku ssu!" Lalu ia mencubit pipi anak tersebut.

"Memangnya kenapa? Itu terdengar lucu, nii-san." Kicchi membalas cubitan dengan mencubit kedua pipi Kise.

Ya ampun apa itu. Mereka terlihat tidak ada bedanya. Alis bercabang itu ia kerutkan, lebih mendetailkan tatapannya pada mereka berdua.

"Omong-omong nii-san, aku belum makan. Aku lapar." Tatapan polos ia berikan pada Kise setelah ia melepaskan tangannya untuk mencubit pipi cowok yang menggendongnya. Kise menatap Kicchi agak khawatir lalu memberi pandangan memohon pada Kagami secara tiba-tiba.

"Kagamicchi...?"

Sudah bisa ditebak bagi Kagami tentunya. Ia meminta Kagami memasakkan sesuatu untuk Kise, jadi dia mengangkat bahunya, "apa yang mau kamu makan sekarang?"

"Apapun juga boleh!" Seru Kicchi dengan senang hati.

Tanpa basa-basi lagi, Kagami mulai melangkah ke dapur. Tetapi ia merasakan seseorang mengikuti di belakangnya; yang tak lain adalah Kise. Dia telah menurunkan Kicchi kembali, lalu anak itu segera mengambil kertas baru untuk membuat gambar baru. Kagami kira Kise pergi ke dapur juga karena ia ingin mengambil sesuatu di sana. Tapi dia ternyata malah menanyakan suatu hal yang membuat Kagami agak kaget.

"Bisakah aku ikut membantu masak?" Tanyanya sambil memohon.

"K-Kenapa tiba-tiba?" Tanpa sadar Kagami mengeluarkan gerakan aneh seperti mengambil satu langkah untuk menjauh dari Kise.

"Ya... karena aku mau. Bagaimana? Boleh tidak?" Tanyanya dengan menggunakan tatapan memohonnya.

"Bisa..." Si rambut merah melangkah ke wastafel untuk mencuci tangannya dahulu, begitupula dengan Kise, yang saat ini sedang berdiri di sebelahnya.

Entah kenapa lagi-lagi jantung Kagami tidak bisa terkontrol. Mereka saat ini sedang berdua, di ruangan yang terpisah dari ruang keluarga tempat Kicchi berada. Lagipula di sini benar-benar hening, tidak ada suara apapun kecuali gemericik air dari wastafel yang saat ini ia nyalakan.

Sial, rasa ini... seperti rasa sedang suka pada seseorang...

"Kagamicchi, kenapa? Jangan hanya membasahi tanganmu. Aku juga butuh cuci tangan kan?" Si mata kuning madu polos itu menatap Kagami kebingungan.

"O-oh iya. Silakan." Buru-buru ia pergi menjauh dari Kise, menelusuri isi dapur dengan kikuk. Tingkahnya saat ini seolah menjadi salah. Seperti mencari-cari perhatian tapi bukan itu maksudnya. Kini ia merasa bodoh.

Tetapi perasaannya yang menganggap dirinya bodoh teralihkan oleh dirinya yang hanya menemukan kacang-kacangan dan beberapa bahan untuk membuat makanan oat.

"...serius hanya ini saja yang tersisa?" Ia bergumam.

Tetapi Kise mendengar jelas gumaman itu, "iya hanya itu saja. Aku sudah bilang kan? Sekalian mau membuat sepuluh jenis makanan?" Ia mengeringkan tangannya.

"Hmm baiklah."

Beberapa menit kemudian dalam keheningan, Kagami mulai memasak, sedangkan Kise masih memperhatikannya lekat-lekat. Hal itu justru mengusiknya, karena dipandang oleh Kise saat ini membuatnya semakin tidak bisa mengontrol detak jantungnya. Kadang ia mulai menyuruh Kise untuk melakukan beberapa hal seperti mengambilkan alat yang diperlukan, memasak air, dan sebagainya. Kadang mereka pun bertukar tugas memasak kalau Kise tidak bisa melakukan apa yang diinstruksikan Kagami. Darisanalah percakapan mulai tumbuh, terkadang gelak tawa juga timbul saat Kise melakukan kesalahan konyol.

Tetapi sesaat keadaan mulai serius setelah mereka kembali hening. "Kagamicchi." Panggil Kise tiba-tiba.

Kagami langsung menoleh, "ya?"

"Kamu tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini? E-eh bukan... sebetulnya sudah dari lama." Kise melamun, melihat pada sebuah mangkuk bubur oat yang sudah jadi.

"Mana kutahu." Jawab Kagami singkat selagi menunggu hidangan lain matang.

"Kalau aku berpikir bahwa Kagamicchi seperti seorang istri." Barulah Kise tertawa kecil, tetapi terdengar seperti serius dengan kata-katanya. "Kurang lebih seperti istri idola."

Sesaat Kagami terdiam, mencerna perkataan Kise pelan-pelan. Seorang istri katanya. Dia yakin bahwa dia adalah cowok yang sudah sangat matang dikatakan sebagai cowok, dan sebentar lagi akan menjadi seorang pria. Tapi... apa? Kise mengatainya sebagai istri sedangkan Kise sendirilah yang memiliki paras muka yang begitu cantik?

"Kise... sadarkah kau dari segi muka siapakah yang pantas disebut sebagai istri?" Suara Kagami terdengar rendah dan dalam.

"Jangan soal muka! Aku juga tidak tahu kenapa mukaku seperti ini!" dia memberengut kesal, memanyunkan bibirnya, "tapi kalau dari segi kemampuan, aku dulu tidak bisa lho dekat dengan Kicchi hanya dalam empat sampai lima hari. Lagipula, masakanmu enak-enak. Hatimu juga lembut." Godanya sambil menyenggol lengan Kagami dengan sikutnya.

"Berisik..." Dia mencuci beberapa alat yang sudah dipakai selagi menunggu makanan terakhir matang.

Tetapi jarinya tergores pada sebuah pisau cukup dalam saat mencuci. Namun dia hanya meringis diam-diam, cepat-cepat ia bersihkan darah tersebut dengan air. Sayangnya Kise mendengar ringisan itu, segera ia dekatkan dirinya pada Kagami sambil menatapnya khawatir. "Ada apa Kagamicchi?"

"Hanya tergores." Jawabnya singkat.

"Yang benar? Kemarikan tanganmu."

"Bukan apa-apa. Serius!"

Kise menatapnya dengan kesal, tanpa aba-aba ia tarik lengan Kagami untuk menghisap darahnya yang mengalir deras.

Tertegun melihatnya, Kagami berfokus pada jarinya yang telah dihisap—memiliki sensasi aneh sekaligus merasakan tekstur bibir Kise. Wajahnya kembali memanas seiring dengan detak jantungnya yang tidak mau memelankan ketukannya. Kise sadar akan sepasang mata merah yang menatapnya terkejut, tetapi dia malah tetap melanjutkan hal itu sampai akhirnya Kagami menggerakkan sedikit jarinya.

"K-Kise, berhenti. Kubilang ini tidak apa-apa." Entah mengapa tangan Kagami yang masih dipegang itu terasa berkeringat; mungkin karena grogi.

Akhirnya Kise menurut, ia berhenti menghisap jari Kagami, membawanya kembali ke wastafel untuk dibasuh dengan air, "sehabis ini aku akan memberimu plester."

"Kise..."

"Menurut saja." Sekilas Kagami melihat gerak-gerik mata Kise agak aneh. Dia menjadi lebih dingin tetapi bermaksud menyembunyikan sesuatu... apa itu hanya perasaan Kagami saja?

"Nah, ayo kita bawa piring-piringnya ke meja." Seselesai mereka berdua mencuci tangan, mereka membawa makanan-makanan ke meja satu per satu, sekaligus dengan alat makannya.

Kicchi tiba-tiba bersorak senang ketika melihat mereka berdua kembali dengan beberapa makanan. Dia langsung berlari ke arah kursi, duduk di sana dengan manis. "Menunya banyak sekali!" Matanya berbinar-binar ketika melihat meja.

"Bersoraklah untuk Kagamicchi yang memasak!" Kise tersenyum antusias sambil berjalan ke sebuah laci, mengeluarkan sebuah plester.

Kagami melirik pada Kise agak terganggu ketika melihat dia mengambil plester, tapi akhirnya ia memutuskan untuk duduk di sebelah Kicchi, "suka menu kedelai? Anggap saja menu sehat." Dia mengangguk pada dirinya sendiri.

Anak kecil di sebelah Kagami itu mengangguk dengan senang, "menu sehat sudah diajarkan dari dulu. Semua makanan itu enak kok." Kemudian ia melihat Kagami yang mengambilkan makanan untuknya. Dia memberikan sepiring nasi dan lauk khas Jepang yang disebut sebagai campuran ayam dengan kedelai.

Tak disadari bayangan Kise menyelimuti tangan Kagami yang sedang mengambilkan makanan, "Kagamicchi, kemarikan jarimu."

Kagami menoleh ke arahnya, selesai ia mengambilkan makanan untuk Kicchi, dia menoleh ke arah Kise sambil memberikan jarinya secara ragu. Setelah itu Kise balutkan plester pada jarinya. Kicchi menatapnya dengan penasaran, mengerjap dua kali, "ada apa dengan jarinya nii-san?"

"Oh, hanya tergores," jawab Kagami sambil tersenyum tipis, "tenang saja."

"Oh begitu ya... ayo cepat kita makan!"

"Aku juga diambilkan dong makanannya." Kise mengerucutkan bibirnya, bertingkah manja pada Kagami.

"Apa? Kamu kan sudah besar, masa masih harus diambilkan?" Protes Kagami dengan ekspresi jijik deh.

Tiba-tiba Kise menepuk kepala Kagami dengan keras, "jangan berkespresi seperti itu!"

"Aduh! Sakit, bodoh!"

"Ambilkan! Ayolah... Kagamicchi sekarang pilih kasih rupanya." Kise pun masih memberengut manja.

Pada akhirnya (agar cepat), Kagami menurut, dia mengambilkan makanan untuk Kise dan anak itu benar-benar sangat bahagia. Buru-buru ia ambil posisi kursinya; berada di depan Kagami, kemudian makanannya hanya dalam waktu detik, sudah disiapkan oleh Kagami.

"Ah, selamat mak—"

"Kicchi sudah bisa makan sendiri?" Tanya Kagami agak kaget.

"Aku sering memperhatikan cara Kagamicchi nii-san makan, tentu saja aku bisa cepat mengerti cara yang baik untuk makan. Ada pertanyaan lain?"

Kise tertawa, "benar-benar seperti ibu." Dia sunggingkan senyum jahilnya itu.

"D-dia hanya memperhatikan, tidak kuajari!"

"Biasanya kan anak kecil mengikuti apa yang berada di dekatnya, tentunya berawal dari ibunya." Jawab Kise dengan mudah.

Kicchi hanya menatap mereka berdua dengan polos—tepatnya tidak mengerti dengan pembicaraan mereka.

"Berisik Kise! Ayo makan! Selamat makan."

"Selamat makan!" Seru Kise dan Kicchi bersamaan. Hanya saja Kise masih tidak bisa menahan tawanya barusan.

Acara makan pun akhirnya dimulai. Sekilas memang terlihat seperti adik kakak yang sedang makan bersama. Tetapi karena Kicchi ternyata masih makan berantakan, seringkali Kagami membantunya untuk makan yang benar dan membersihkan meja. Kise terdiam melihatnya, tetapi diam-diam menyunggingkan sebuah senyum kecil. Di hadapannya, seperti ada seorang istri yang sedang merawat anaknya—karena kemiripan mereka. Tetapi di lain hal, Kise juga tidak mau beranggapan seperti itu. Tentu saja, Kagami pasti tidak akan suka dianggap seperti itu. Dia memang cowok, benar-benar cowok. Hanya saja... bentuk rasa kepeduliannya itu...

Sejenak Kise berpikir... kenapa dia baru menyadari banyak hal? Apa karena sebuah ciuman...? Tampaknya bukan. Tanpa berpikir panjang pun dia sepertinya mengetahui beberapa hal...

Malam hari pun tiba, dengan paksaan Kicchi, mereka bertiga tidur di kasur yang sama. Hanya saja, Kise memang memiliki kasur yang besar pada kamar tamunya (walaupun ini adalah sebuah apartemen—namanya juga orang kaya.) Kicchi mengambil posisi di tengah, di antara Kagami yang berada di sebelah kanan dan Kise yang berada di sebelah kiri. Kini ia sudah tertidur pulas, tepatnya pada pukul sembilan malam. Mungkin dia sudah kelelahan karena sehabis makan, mereka bertiga bermain berbagai macam permainan dalam rumah (dengan kata lain, Kise juga memboloskan dirinya.) Ide cemerlang milik Kise tidak pernah membuat mereka bertiga bosan, walaupun Kagami terkadang harus menahan malu beberapa kali karena disuruh menyanyi, atau berjoget tidak jelas ketika kalah dalam permain, dan lain-lain.

Saat ini Kagami berusaha tidur, tetapi dia tidak bisa melekatkan kelopak matanya ketika menyadari Kise tidur di dekatnya, walaupun sebenarnya terpisakanh dengan Kicchi. Apalagi ketika Kise membalikkan badannya, tidur dengan posisi miring dan menghadap pada Kagami.

Sejujurnya Kagami sadar bahwa sikap Kise hari itu memang agak aneh. Entah itu hanya harapannya atau memang kenyataan... entahlah.

"Aku... tidak bisa tidur, Kagamicchi." Katanya dengan pelan.

"Aku juga." Kagami masih dalam posisinya, berbaring sambil menatap langit-langit dengan kosong.

"Buat aku tidur, bisakah?" Kise tersenyum usil.

"Kubenamkan mukamu pakai bantal, mau?" Tanya Kagami dengan nada datar.

"Itu bukan membuatku tidur, Kagamicchi. Aku serius!" Lagi-lagi Kise mengerucutkan bibirnya dengan manja, berharap Kagami melakukan sesuatu untuknya—apapun itu.

"Pejamkan mata saja apa susahnya sih?" Protes Kagami sambil mendengus kesal, dia balikkan badannya, memunggungi Kise dan Kicchi.

Sebetulnya Kise sedikit kesal, dia setengah mengangkat badannya, bertumpu pada lengannya... bergerak lebih dekat pada Kagami. "Kagamicchi, dengar."

"Apa?"

"Berbaliklah ke sini. Ini satu-satunya jalan agar aku bisa tidur—mungkin. Tapi aku sembilan puluh persen yakin."

Mendengar perkataannya itu, Kagami akhirnya membalikkan badannya, menghadap pada Kise. Dengan usaha besar ia berusaha tetap menatap mata kuning madu di hadapannya, tapi sekalinya ia melihat ke arah matanya itu, ia merasa lemas. Seperti ada pelemas dari mata itu untuk sekujur tubuhnya, tetapi malah membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Posisimu... tiba-tiba lebih dekat."

Kise mengangguk pelan, "aku kedinginan, brr!" Dia berpura-pura kedinginan sambil terkekeh jahil.

"Tidak, di dalam sini tidak mungkin dingin." Sangkal Kagami dengan santai.

Kise hanya membalasnya dengan senyum sekilas, "omong-omong..."

Kagami hanya mengangkat sebelah alisnya.

"Kalau pipi Kagami terjepit seperti itu, aku baru menyadari kalau pipi Kagami itu gembul ya." Kise tiba-tiba meletakkan tangan kanannya di atas pipi Kagami yang satunya, kemudian mencubitnya secara pelan.

"J-jangan dicubit, bodoh!" Bentak Kagami tiba-tiba. Sebenarnya bentakan itu asal mulanya datang dari dirinya yang kaget karena pipinya disentuh oleh tangan hangat Kise, seketika ia merasakan bahwa pipinya memanas.

"Tapi ekspresimu lucu sekali, Kagamicchi." Cowok di depan Kagami itu masih tersenyum, bahkan melebar semenjak ia merasa antusias dengan ekspresi Kagami; yang entah Kagami tak tahu mengapa.

"Ung..." Kicchi bergerak agak tak nyaman semenjak keributan terjadi.

"Ah, sial," Kagami meletakkan tangan Kise ke tempat lain, lalu dia menepuk-nepuk kepala Kicchi dengan penuh kasih sayang, "jangan banyak mengganggu, nanti dia bangun."

"Eeh? Itu kan karena suaramu yang kebesaran." Keluh Kise.

"Kamu pikir darimana datangnya suaraku yang kebesaran itu? Lagipula kamu bilang kamu akan tidur setelah aku berbalik ke arah sini kan?"

"Iya, iya... aku akan tidur, tapi sebelumnya..." si rambut kuning mendekatkan kepalanya pada kepala Kagami, yang membuat Kagami tiba-tiba terpaku, "aku mau memberikan ini dulu..."

Kemudian Kise mengecup kening Kagami dengan lembut, membuat Kagami tidak bisa berkutik sedikitpun entah mengapa. Sekujur tubuhnya seolah kaku, matanya melotot, jantungnya mengisyaratkan akan lompat dari tempatnya, juga... masih banyak lagi reaksi-reaksi grogi Kagami ketika menerima kecupan itu.

"Kise—"

Satu lagi. Ketika Kise melepaskan kecupannya, Kagami mengangkat kepalanya dan... dia mendapatkan ciuman balik pada bibir oleh Kise. Dia melihat Kise sempat memejamkan matanya perlahan. Baginya, ia baru saja melihat seorang pria dewasa sedang mencium pacarnya dengan mata itu... tetapi siapa yang mendapatkan ciumannya?

Perlahan tangan Kise yang barusan mencubit pipi Kagami bergerak lagi menelusuri leher, dagu, kemudian pada pipinya. Setiap sentuhan itu Kagami merasakannya. Ia ingin menolak—maksudnya, dia teralalu grogi berat! Tapi jauh dilubuk hatinya, hati kecilnya itu memerintahkan Kagami untuk tidak bergerak sama sekali, merasakan setiap sentuhan tangan, merasakan tekstur bibir Kise, merasakan nafas mereka saling bertabrakan namun terasa nyaman, membiarkan jantungnya berdetak sesuai irama cepat yang jantung inginkan, juga merasakan kepalanya yang semakin memanas. Semua itu bersatu dalam perpaduan waktu selama semenit. Kenapa bisa tercampur aduk seperti itu...?

Perlahan Kise melepaskan ciumannya itu, "aku... ingin membalas ciuman sewaktu itu. Makanya, jangan marah ya? Selamat tidur Kagamicchi." Sentuhan terakhir, Kagami mendapat kecupan pada pipi dari Kise.

Kagami masih terdiam selagi melihat Kise berbalik memunggunginya, benar-benar mengusahakan dirinya untuk terlelap. Sesudah ia sadar, dia langsung membalikkan badannya juga ke arah berlawanan, sehingga mereka saling memunggungi.

Apa maksudnya?! Dia terlalu bodoh! Bodoh! K-kenapa...? Kalau... kalau mau mencium seharusnya bukan atas dasar ingin membalas! Seharusnya... aku tidak di sini dari awal...

Lekat-lekat Kagami memejamkan matanya, berharap dia bisa tertidur tenang dan sesegera mungkin. Sayangnya... hal itu sangat sulit. Ia menarik selimutnya, sampai menutupi pipinya. Pikirannya melayang kemana-mana. Dia merasakan antara kebencian sekaligus rasa senang. Tetapi ia cepat-cepat alihkan rasa senangnya itu sebelum tertuju pada sebuah harapan... Lambat laun karena ia terus memejamkan matanya, ia mulai kehilangan kesadaran, tertidur tenang... sayangnya jatuh pada mimpi berkelanjutan mengenai dirinya dan Kise yang berada di ladang bunga matahari.

Artinya apa? Dia mendapatkan kelanjutan mimpi mengenai Kise yang akan menciumnya dengan penuh nafsu dan keinginan.