HELLO MINNA-SAMA. YO. MAAFKAN, SAYA INI MASIH SEBAGAI WRITER FANFICTION YANG AMATIR.

Dan ya... apa yang ane publis disini. Couple langka yang jarang ditemukan oleh para manusia-manusia fujoshi sekitar fandom Kurobas. Apalagi kalo nemu sekalipun... pasti nemunya adalah KagaKise.

Iya Kagami emang maskulin, Kise emang cantik.

Tapi apa jadinya kalo tsundere ketemu deredere. Lagian... tau kan kalo Kagami itu gak mesum orangnya? /woi

*jadi curhat*

Ah udahlah... baca dulu aja ya bro. Sekian dan terimakasih X"3

Between The Two Yellows

1

Tadinya liburan musim dingin selama seminggu dari sekolah SMA ini akan dilewati di Los Angeles oleh cowok bongsor setinggi seratus sembilan puluh sentimeter berambut merah tua ini. Namun apa yang bisa ia lakukan ketika seorang temannya dari luar kota sana, tepatnya dari Kanagawa menitipkan manusia kecil yang tingginya hanya sebatas betisnya—bahkan kurang. Seketika rumahnya dikuasai oleh seorang anak laki-laki berumur dua tahun berambut kuning dan mata cantik yang berwarna kuning madu yang lembut—sampa seperti si saudaranya.

Hari itu, ketika si cowok bongsor berambut dan bermata merah itu bertemu dengan cowok dari Kanagawa tersebut, dia melihat si anak berumur dua tahun ini. Mereka bertemu di sebuah restoran bernama Maji Burger, saling duduk berhadapan di sebuah bangku.

"Ya, dia memiliki marga yang sama denganku. Tapi biasa kupanggil Kicchi." Si cowok berparas cantik namun tampan itu tertawa kecil ketika cowok berambut merah itu bertanya dengan tatapan agak terusik dengannya.

"Jadi dia memiliki sifat yang sama denganmu, Kise?" Tanyanya sambil mendengus dan memijat keningnya.

"Ah... bagaimana cara menjelaskannya ya... kan seharusnya itu pendapat orang. Bagaimana menurutmu Kicchi? Apa aku terlihat mirip sepertimu?" Kise memiringkan kepalanya untuk mengintip wajah Kicchi yang benar-benar mirip sepertinya.

Kicchi hanya bergerak malu dan semakin bersandar pada Kise, rambutnya sedikit membuat leher Kise tergelitik, "um, aku tidak tahu." Jawabnya malu-malu.

Kemudian si cowok berambut merah membungkukkan badannya, menyandarkan lengan kanannya pada meja, "sepertinya dia lebih baik darimu, Kise." Dia tersenyum licik ketika melihat reaksi dari Kicchi yang manis itu.

Karena senyumnya yang baru saja terlontarkan, Kicchi langsung bergerak lagi untuk memeluk lengan Kise dengan kencang, "kakak itu memiliki senyum yang aneh, Ryouta nii-san."

Si cowok di hadapan Kise itu langsung terdiam.

"Hahaha dengar itu Kagamicchi? Aku berpesan jangan sekali-kali mengeluarkan senyum itu di depan Kicchi atau dia akan menghajarmu!" Kise tertawa terbahak-bahak melihat kejadian tersebut, sedangan orang yang dipanggil Kagamicchi itu langsung bersandar kembali pada kursinya. Untuk sekian kalinya dia mendengus kesal.

"Oh, dan jangan panggil aku dengan –cchi terus menerus! Sama sekali tidak bagus!" Bentaknya sambil memberi tatapan seram.

"Bukan bagus atau tidak, tapi imut atau tidak! Ha!" Kise pun masih tidak bisa memberhentikan tawanya.

"Cih, namaku Kagami! Bukan Kagamicchi!"

Si Kise mini itu memiringkan kepalanya dengan bingung, dengan senyum manis merekah, dia memanggil Kagami... "Kagamicchi nii-san!"

Sangat jelas. Kagami melihat senyum manis itu dengan jelas. Seketika mukanya sedikit memanas—apa? Dia memang tidak pernah menyukai anak kecil, namun si Kise mini yang ada di depannya ini baru saja membuat hatinya terguncang.

Sambil menghilangkan serak di leher, Kagami melihat ke arah lain, "baiklah. Aku batal pulang ke Los Angeles. Aku akan merawat Kicchi—tapi ingat!" ketika Kagami mengatakan tapi ingat, dia langsung memberi tatapan ganas pada Kise yang mengerjap agak terkejut (masih dalam senyum menahan tawanya), "harus ada satu hari kau mengunjungi apartemenku, atau Kicchi akan benar-benar aku buang!"

"Hmm," Kise berdehem usil, "aku tahu kamu memang selalu bertingkah ganas dan galak tapi sebenarnya kamu memiliki rasa tanggung jawab dan hati yang lembut, Kagamicchi." Si rambut kuning itu memberi cengiran secerah matahari pada Kagami.

"Kau..." Namun Kagami yang tadinya ingin protes malah tidak melanjutkan perkataannya. Sejenak dia lirik Kicchi; menemukan bahwa ada perubahan raut ekspresi pada anak manis itu. Ketika mendengar perkataan Kise, Kicchi malah tersenyum semakin lebar dan terlihat tertarik dengan cowok seram dan besar yang ada di hadapannya.

"Seminggu, maaf karena mengganggu liburanmu. Tapi hanya bisa kamu yang kuandalkan, Kagamicchi. Pekerjaan modelku malah semakin padat, di rumah tidak ada yang bisa menjaga Kicchi, karena semuanya sibuk. Ya, aku tahu ini memang aneh, tapi kumohon... ya?" Kise memberi senyum memelas yang diam-diam menampar pipi Kagami. Karena caranya yang memohon itu memang selalu membuat Kagami menyerah untuk memprotesi dia.

Helaan nafas yang berat telah Kagami keluarkan, "kudengar Kuroko lebih handal mengatasi anak-anak."

"Kurokocchi sedang sibuk dengan Aominecchi!"

Perkataan itu sudah memberi jawaban yang jelas.

"Teman sekelasmu? Teman tim basketmu? Teman sekolah?" Tanya Kagami, berusaha tidak mendapatkan tugas untuk merawat Kicchi (walaupun tadi dia sudah memutuskan.)

"Kagamicchi," mendadak, Kise mengeluarkan suara yang serius dan itu membuat Kagami agak terkejut.

"Ya?"

"Kau yang kupercaya. Karena aku yakin Kicchi akan suka bermain denganmu." Dia tersenyum memberikan sebuah keyakinan.

Malam itu, sudah cukup membuat Kagami lelah berpikir.

Selimut yang membalut badan Kagami yang tidur pulas di atas kasurnya ditarik oleh anak manis berambut kuning itu. Sambil menyebut nama panggilannya, yaitu Kagamicchi nii-san, dia terus merengek dengan suara yang ditahan-tahan karena masih merasa malu dengan Kagami, yang tingginya satu sentimeter di atas Kise.

"Aah berisik. Ini kan liburan." Keluh Kagami sambil terus menahan selimutnya.

"Tapi aku lapar, nii-san. Aku tidak bisa masak. Lagipula masakan nii-san yang kemarin itu enak sekali lho." Dia berhenti menarik selimut tetapi masih menggenggamnya dengan sedih.

Sesaat Kagami melirik ke arahnya. Lagi-lagi raut muka memelas itu. Cih.

"Baiklah, tunggu dulu sebentar. Mau kumasakkan apa untuk sarapan hari ini?" Akhirnya Kagami mengeluarkan tubuhnya dari selimut, perlahan mengubah posisinya menjadi duduk di pinggir kasur. Betapa dia merasakan dinginnya lantai yang dia injak.

"Apapun! Yang kemarin juga boleh!" Seketika Kicchi berubah menjadi ceria.

Kagami mengambil nafas perlahan, merasa lega untuk tidak jadi membuat anak itu merengek. Suara langkah berat dan diseret darinya timbul. Sebenarnya rasa malasnya bukan main. Tapi apa jadinya kalau dia ketahuan tidak memberi makan anak kecil, membunuh anak kecil itu hanya karena malas untuk merawatnya? Ya, mau dibawa kemana harga dirinya sebagai cowok yang sudah dipuji memiliki tanggung jawab yang besar?

Mulailah dia memasak. Menu hari itu adalah krim sup. Katanya—ah bukan. Memang sudah terbukti, Kagami adalah cowok yang handal masak. Hal itu disebabkan karena dia tinggal sendiri di apartemennya ini. SMA-nya memang ada di Tokyo, namun keluarganya tinggal di Los Angeles.

Kicchi melihat ke sekitar sambil duduk manis di sofa, memainkan kakinya ke atas dan ke bawah secara berselingan. Dia mendehemkan sebuah lagu yang berjudul Twinkle Twinkle Little Star, dan semakin menikmati suasana ketika aroma krim sup merambat ke dalam penciumannya. Beberapa menit kemudian, sup itu telah selesai dimasak. Kagami membawakan sebuah mangkuk, dia pegang mangkuk itu, sedangkan mangkuk miliknya, dia letakkan di meja kecil di depan sofa.

"Karena kemarin kamu sudah memberantaki, sekarang aku akan menyuapimu." Lalu dia duduk di lantai, menghadap pada Kicchi yang duduk di sofa.

Anak itu memberengut manja, "aku bisa sendiri. Aku sudah besar, nii-san!"

"Itu hanya anggapanmu. Anggapanku tidak," paksa Kagami dengan kesal, "nah ayo buka mulutmu." Suruhnya dengan suara agak kasar.

Respon dari Kicchi tetap saja menyebalkan. "Aku mau makan sendiri!" Serunya.

"Kicchi!" Bentak Kagami tiba-tiba.

Hal berikutnya yang dipelajari oleh Kagami: jangan pernah membentak anak kecil. Yang terjadi adalah, Kicchi menendang mangkuknya, membuat sebagian supnya keluar dari mangkuk, mengenai mata kiri Kagami. Tanpa disadari Kagami mengeluarkan erangan keras ketika menerima sup yang memanasi matanya itu. Kicchi yang terkejut melihatnya langsung terdiam—lebih tepatnya terpaku.

Cepat-cepat Kagami menaruh mangkuk itu di meja, dia berlari ke arah dapur, membersihkan mata kirinya secepat mungkin. Setelah itu, dia masih terdiam di sana, menopangkan badannya pada kedua tangan yang menopang di sisi wastafel.

Langkah kecil dan ragu pun datang ke arah Kagami, "n-nii-san, tidak apa-apa?"

Kagami tadinya benar-benar akan memberi tatapan benci pada anak itu, kalau saja dia tidak melihat Kicchi menitikkan air mata dan memaparkan wajah sedih sekaligus merasa bersalah padanya. Diam, terpaku melihat anak itu terisak sedih. Mata merah tajam yang dimiliki Kagami pun berubah menjadi lembut dan iba, dia jongkok di depan Kicchi lalu menghapus air matanya dengan lembut. "Iya, iya. Aku tidak apa-apa. Maaf karena aku tidak mendengar kemauanmu tadi."

Tiba-tiba air mata semakin bergulir banyak di pipi lembut dan gembulnya, namun Kicchi berusaha menghapusnya sendiri dengan kedua telapak tangan mungilnya, "salahku karena tidak menuruti perkataan nii-san..."

Sebuah getaran hati telah dirasakan cowok bermata merah itu. Seumur hidup dia tidak pernah mendengar kalimat merasa bersalah yang dilontarkan dari seorang anak kecil yang polos. Hal itu tiba-tiba membuat Kagami tertawa kecil, juga mengusap kepalanya, "sebut saja kalau dua-duanya bersalah. Ya?"

"Eh?"

"Jangan tanya. Sekarang cepat habiskan sup itu sebelum menjadi dingin. Musim dingin bukannya enak untuk makan makanan yang hangat?" Kagami tercengir.

Di luar dugaan, Kagami kembali mendapatkan senyum indah seperti bunga matahari dari anak itu, walaupun air matanya masih membasahi pipinya, tapi dia sudah bisa menghentikan air mata yang mengalir, "tentu! Tapi boleh aku minta satu permintaan?"

"Ya, makan sendiri kan?"

"Tidak..." katanya pelan. Kagami yang bingung hanya memutuskan untuk menunggu perkataan selanjutnya, "boleh kan kalau aku disuap sambil duduk di pangkuan Kagamicchi nii-san?" Dia menundukkan kepalanya malu-malu.

Cukup dengan semua tindakan seorang anak kecil ini. Dia hampir mengubah Kagami yang terkenal sangar menjadi sangat lembut dengan anak kecil, sekalipun dia tidak pernah senang dengan anak kecil. "Tiba-tiba kamu berubah manja," keluh Kagami, "seperti Kise. Apalagi ketika memanggil namaku dengan –cchi itu."

Kicchi semakin menundukkan kepalanya.

"Tapi bukan berarti aku tidak mau memenuhi kemauanmu." Kagami terlihat tersipu untuk mengatakan hal tersebut, refleks dia menggaruk pipinya dengan ragu sambil melihat ke arah lain.

"B-benarkah?!"

"Jangan banyak tanya! Sebelum aku berubah pikiran, dasar anak kecil." Dia memberengut kesal.

"Ah! Iya! Baiklah!" Kicchi memeluk Kagami dengan tiba-tiba, hampir membuat Kagami terlonjak dari tempatnya.

"Eh Kicchi! Jangan peluk!"

"Kagamicchi nii-san memang kakak yang baik. Aku sayang Kagamicchi nii-san!" Dengan gemas, Kicchi mencium pipi Kagami dan menyundulkan kepalanya pada sisi leher Kagami.

Masih merasa kaget dengan hal itu, Kagami berusaha menenangkan dirinya dengan tarikan nafas yang cukup dalam. "Iya, iya. Aku juga sayang Kicchi." Katanya pelan.

Sejenak dia terlarut pada lamunan. Pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang familiar baginya. Kepalanya tertunduk, tiba-tiba mengeluarkan senyum kecil. Dasar, Kicchi terlalu mirip denganmu.

Hari keempat menjaga Kicchi. Kagami mendapat kabar bahawa Kise akan datang ke apartemennya hari itu, sekaligus untuk jalan bertiga bersama. Musim dingin bukan berarti waktunya untuk diam di rumah kan? Walau dinginnya bukan main, tapi salju juga memiliki keindahan tersendiri.

"Kagamicchi nii-san! Aku mendengar bel pintu dibunyikan!" Seru Kicchi sambil menarik-narik baju Kagami yang sedang jongkok, membereskan tas ranselnya untuk dibawa pergi.

"Oh, itu pasti Kise."

"Ryouta nii-san!" Serunya sambil melompat kegirangan.

Kagami mengambil langkah cepat menuju pintu, dan benar apa dugaannya. Kise sudah berdiri di sana dengan pakaian modis model, yang tidak terlalu risih dan tidak juga terlalu simpel, yang pasti tetap nyaman dipakai untuk jalan-jalan di musim dingin.

"Kagamicchi! Bagaimana kabarmu dan Kicchi?" Dia mengangkat tangannya rendah-rendah, tetapi wajah riangnya terlihat seperti berbeda dari suasana suram musim dingin.

"Hmm... baik. Ayo masuk dulu—"

"Eits!" cegah Kise dengan cara menarik bahu Kagami ketika si mata merah itu akan berbalik, "kurasa lebih baik aku menunggu di luar, agar kamu bisa lebih cepat untuk bersiap-siap. Hmm, jangan lupa panggil Kicchi." Katanya.

Kagami mengeluh, namun dia tetap menjalankan apa yang diinginkan Kise. Setelah memberitahu Kicchi untuk keluar duluan dari apartemen, dia kembali membereskan barang-barang. Beberapa menit berlalu, mereka sudah mulai berangkat dari tempat.

Waktu liburan memang waktu dimana orang-orang melakukan kegiatan bebas di luar sekolah maupun dunia kerja. Banyak sekali orang yang hilir mudik menikmati kota Tokyo, bersenda gurau, mengunjungi toko, malah bermain ice skating pada kolam kecil yang telah membeku.

Kicchi dengan semangatnya melihat sekeliling sambil menggandeng tangan Kagami yang ada di sisi kirinya dan Kise yang ada di sisi kanannya. Mereka berjalan di trotoar sebelah kiri. Sehingga menemukan sebuah taman kota yang berada dua puluh meter lagi di depan mereka. Tanpa disadari ternyata Kicchi dan Kise memiliki ide yang sama untuk mengunjungi tempat itu, mereka saling memberi tatapan dan tersenyum setuju. Tiba-tiba mereka berlari seperti sekencang angin hingga hampir menyeret Kagami ketika dia hampir terpeleset karena licinnya trotoar.

Sesampainya di sana, Kicchi benar-benar takjub dengan pemandangan patung yang dikelilingi oleh bunga-bunga es yang terus turun dari langit. Tanpa basa-basi dia berlari ke sana untuk mengamati patung tersebut, ditambah lagi airnya yang membeku, sehingga dia bisa melihat pantulan bayangan wajahnya di sana. Senyum cerianya tidak pernah bisa lepas dari bibirnya, dan hal itu membuat Kagami terus memandanginya. Tiba-tiba merasakan kelegaan dalam hatinya karena melihat anak itu terus tersenyum.

Lamunannya dengan dadakan dipecahkan oleh Kise yang menyikut lengannya, dan itu membuatnya refleks menatapnya, "a-apa?"

Kise tertawa kecil, "Kagamicchi terlihat seperti ingin memiliki adik." Godanya, kembali memasukkan kedua tangannya pada saku jas cokelatnya.

"A-apa sih. Bukan itu kok!" Bantah Kagami dengan suara pelan, mengalihkan pandangannya dari Kise, "aku tidak pernah suka anak kecil." Tambahnya.

Namun perkataannya malah membuat Kise melontarkan senyum jahil, "kalau begitu bagaimana dengan ingin memiliki anak?"

Refleks Kagami kembali menoleh ke arah Kise dengan air muka marah besar tetapi menyembunyikan sesuatu di balik itu, "Kise! Bukan seperti itu!" Amukannya hampir menggelegar seluruh bagian taman yang sedang dalam suasana tenang.

"K-Kagamicchi! Kecilkan suaramu...!" Kise meninju pelan mulut Kagami yang setelah berteriak menjadi mengatup rapat. "Jangan bohong Kagamicchi. Semakin kamu berbohong, semakin terlihat kebenaran yang terlihat. Aku tahu banyak tentangmu."

Perkataan cowok model itu membuatnya terdiam, kembali melihat ke arah lain, "itu..."

"Hmm?"

Lagi-lagi Kagami terdiam agak lama, "itu... aku hanya senang menjaga Kicchi. Dia memiliki karakter yang manis walaupun polos."

"Oh! Jadi kamu memujiku, Kagamicchi? Aku dan dia ini sebenarnya dijuluki kembaran oleh keluargaku lho!" Seru Kise dengan bangga (tentunya masih bisa mengontrol volum suaranya.)

"K-katanya tidak punya pendapat tentang kemiripan...?!" bantah si rambut merah dengan cepat, "lagipula bukan itu, bodoh!" Lanjutnya

"Lalu?"

"Kenapa kamu bertanya lagi?"

"Hmm, tidak."

Dari suaranya, Kagami menganggap Kise telah menyembunyikan sesuatu—apalagi dibalik senyum jahilnya itu. Tapi Kagami berusaha untuk tidak merisaukannya.

"Oh ya, Kagamicchi." Kata Kise dengan pelan, tapi dia tidak menunggu apa balasan kata dari Kagami, langsung melanjutkan perkataannya, "besok Kicchi akan kubawa pulang. Pada sore hari setelah pulang sekolah, dan setelah aku tiba di Tokyo. Karena jadwal pemotretanku diganti."

"A-apa?" Tanya Kagami, sedikit kaget.

"Kenapa kamu kaget? Bukannya kamu tidak suka anak kecil?"

"E-eh iya kok," kesekian kalinya Kagami mengalihkan pandangan, "baguslah. Kukira dia benar-benar akan seminggu di sini."

Tetapi lagi-lagi sang model berambut kuning itu tersenyum, tetapi dengan senyum hangat dan penuh pengertian, "ya... hal itu dibatalkan. Oh, jangan pasang raut muka seperti itu. Tersenyumlah. Nanti aku akan membawa Kicchi ke sini lagi."

Tidak ada respon dari Kagami.

"Ah... dasar, Kagamicchi." Kise memukul bahunya perlahan. Saat itu juga Kicchi datang dengan langkah kecilnya namun cepat.

"Nii-san, nii-san! Ayo pergi ke tempat selanjutnya!" Dia melompat-lompat kecil.

Kise mengacak-acak kupluk yang dikenakan Kicchi, namun tidak membuat anak itu marah, "ya ayo. Kemana selanjutnya?"

"Ke toko roti! Aku mau roti di pagi hari ini!" lalu dia melirik ke arah Kagami, "Kagamicchi nii-san, ada apa?" Dia memiringkan kepalanya.

"Hah? Tidak. Hanya murung karena belum mengerjakan tugas." Dengan kikuk, dia mengusap-usap tengkuknya.

"Nanti akan Kicchi bantu kok. Ayo pergi!"

Sekali lagi Kagami berusaha menenangkan dirinya. Pikirnya, ada apa dengannya? Teori soal dia benci anak kecil itu memang benar kok. Tapi kenapa dia begitu terpukul ketika mendengar Kicchi akan pulang besok? Lagipula, Kicchi bukan siapa-siapanya. Dia hanyalah saudaranya Kise. Hanyalah seorang Kise mini. Lalu, kenapa?

Tanpa disadari, ketika Kicchi kembali menggenggam tangannya, dia merasakan hangat tangan kecil itu, kembali dia balas genggaman tangan itu. Lebih kencang. Lebih... kencang.

Waktunya pun tiba. Sore hari dimana Kise mengatakan dia sudah ada di jalan menuju apartemen Kagami. Satu hal yang membuat Kagami bingung: kenapa Kicchi tidak keluar dari kamar, dari pagi hingga saat itu juga? Kagami benar-benar khawatir karena anak itu belum mengambil makan sama sekali. Dia hafal benar posisi makanan maupun camilan ataupun makanan ringan. Makanan itu masih ada di posisinya dari awal pagi hingga pulang sekolah. Kicchi pun tidak terlihat keluar dari kamar sama sekali karena bukan hanya makanan, tetapi tidak ada benda manapun yang berubah tempat. Dia juga masih belum membereskan barang-barang yang berserakan di ruang televisi.

Kagami duduk santai di sofanya, mengingat kejadian kemarin malam yang membuatnya sedikit menduga-duga, kenapa Kicchi tidak keluar dari kamarnya. Itulah sebabnya dia tidak memaksa Kicchi untuk keluar dari kamar.

Karena apartemen Kagami hanya memiliki satu kamar, dia memang selalu tidur bersama Kicchi di kasur yang sama, dan itu bukan masalah baginya, karena dia sama sekali tidak memakan tempat. Tapi bukan itu masalah yang mengganggu pikiran Kagami. Melainkan dari apa yang disampaikan Kicchi tadi malam.

"Kagamicchi... Kagamicchi... Kagamicchi..." Kicchi terus memanggil sebutan nama itu pada Kagami yang sedang berbaring memunggunginya ke arah lantai.

"Kenapa tiba-tiba kamu memanggilku tidak menggunakan kata nii-san?" Tanya Kagami, tidak bergerak sama sekali.

Kicchi hanya menggeleng dan mendehem sedih. Membuat Kagami memutuskan untuk membalikkan badannya, menghadap Kicchi yang tidur di dekat sisi tembok, "ada apa denganmu?" Tanya Kagami dengan lembut.

"Kagamicchi sayang Ryouta nii-san ya?" Tanyanya dengan polos sambil membenamkan kepalanya ke dalam selimut.

Mendengar perkataannya, Kagami sedikit terusik dan menggelitik juga. Dia diam sejenak untuk mencari kata-kata yang benar untuk disampaikan padanya, "Kise? Ya, kamu tahu kan sayang memiliki banyak arti? Aku sayang Kise karena aku sahabatnya... err, pertanyaanmu agak aneh." Tanpa sadar Kagami mengerutkan alisnya, mendekatkan dirinya pada Kicchi.

"Begitu ya... Ryouta nii-san juga sayang Kagamicchi." Katanya dengan suara bergetar.

Apa yang sebenarnya dia pikirkan ya? Kagami tak habis pikir untuk terus menggali apa maksud dari semua perkataan Kicchi. "Hmm, ya aku tahu."

"Lantas," tiba-tiba suaranya pecah, membuat cowok di depan Kicchi ini menatapnya khawatir, "apa Kagamicchi juga sayang dengan Kicchi?"

Pertanyaannya itu membuat Kagami jantungan. Dia sangat kaget mendengar pertanyaan sekaligus suaranya yang pecah. Sambil tetap berusaha tenang, Kagami berkata, "Kicchi, jangan tutup mukamu dengan selimut."

Perlahan Kicchi menuruti perkataan Kagami, membuatnya melihat air mata berlinang deras di pipinya, membasahi bantal sekaligus selimut.

"Kau ini laki-laki Kicchi. Jangan menangis karena hal yang tidak perlu. Ah, tentu saja aku sayang padamu. Ya walaupun aku, ehem—" tiba-tiba Kagami merasa perkataannya tersangkut di tenggorokannya, "—aku tidak tahu apa aku sudah menjadi kakak yang baik."

Kicchi menggeleng pelan, "Kicchi ingin disayang Kagamicchi. Seperti Kagamicchi menyayangi Ryouta nii-san. Dan Kicchi ingin menyayangi Kagamicchi, seperti Ryouta nii-san menyayangi Kagamicchi. Kagamicchi adalah kakak yang baik. Aku sayang... aku sayang..."

Tanpa perlu disampaikan, Kagami menangkap kenapa Kicchi tiba-tiba memanggilnya tanpa menggunakan tanda kakak atau sebutlah nii-san. Dia hanya ingin terdengar seperti Kise. "Sssh..." Kagami menepuk-nepuk kepala bagian belakangnya, menariknya lebih dekat padanya. Membenamkan kepala kecil itu pada dada Kagami. Ada bagian jendela yang tidak tertutup oleh tirai, sedikit. Membuat terlihat salju turun, dan Kagami mengeratkan pelukannya pada Kicchi, merasakan kehangatan mereka berdua di dalam kamar gelap. "Sudah dengar kan barusan, aku juga sayang padamu. Jangan khawatir."

Perlahan Kicchi meremas baju Kagami yang membuatnya basah karena air mata. Tetapi Kagami bisa merasa bahwa Kicchi senang berada dalam pelukannya itu.

"Terimakasih, Kagamicchi..." Katanya dengan pelan hampir tidak terdengar oleh Kagami. Setelah beberapa menit, tidak lagi terdengar isakan dan sedot ingus dari Kicchi. Kagami sadar bahwa dia sudah terlelap, kemudian dia memejamkan mata, ikut terbawa nyamannya tidur di malam itu.

Tak lama waktu telah berlalu, akhirnya Kicchi keluar dari kamar—sudah berada di pangkuan Kagami yang tadinya merentangkan tangannya di atas sofa, menatap langit-langit ruangan. Sekali lagi Kagami hampir terlonjak kaget karena Kicchi. Tetapi anak itu masih terlihat murung. Kelopak matanya bengkak, hidungnya merah, pipinya sedikit menggembung karena kesal. Sepasang mata merah menatapnya dalam-dalam, berusaha menangkap apa yang terjadi. Tapi Kicchi sudah memberi jawaban—

"Aku tidak mau pulang." Kicchi melihat ke bawah, benar-benar kesal, "ayo kita main lagi, nii-san."

"Eh...? Tapi mungkin orangtuamu akan rindu padamu."

"Mereka tidak pernah bangun lagi, dan tidak pernah berusaha keluar dari tanah ketika dikubur." Dia makin memberengut.

Sepasang mata merah itu melotot, kaget mendengar hal itu, jadi dia putuskan untuk alihkan topik, "Kise akan rindu padamu."

"Aku tahu Ryouta nii-san sering main ke sini."

"Err..."

Tiba-tiba pintu menjeblak yang membuat Kagami lagi-lagi harus terkena serangan jantung, tapi tidak ada serangan jantung sama sekali untuk Kicchi. Kagami menatap ke arah pintu dengan panik, menemukan sesosok Kicchi besar di sana, "yo! Kagamicchi!"

"Permisi atau apa dulu dong, jangan asal buka pintu. Apalagi sekeras itu." Kagami terdengar terusik dengan Kise.

"Ah, habisnya tidak dikunci. Apa boleh buat?" Lalu dia mendekat, "Kicchi, ingat hari ini hari apa? Pasti kamu ingin segera pulang kan?"

"Aku tidak mau!" Kicchi tiba-tiba berteriak, membuat Kise kaget.

Si Kicchi besar itu duduk di sebelah Kagami dan menatap Kicchi kebingungan, "kenapa?"

"Ryouta nii-san bisa tinggal di sini kan?! Kita tinggal sama-sama di sini bersama Kagamicchi!"

"Eh...?"

"Pokoknya aku tidak mau pulang!" Bentaknya lagi, dengan cepat dia membalikkan badannya, menarik baju Kagami lalu menangis.

"K-Kicchi..."

"A-ah Kise... aku tidak pernah bermaksud untuk membuatnya tidak mau pulang darisini, tapi..."

"Tidak mau pulang! Tidak mau pulang!" Kicchi menggelengkan kepalanya keras-keras.

Sepasang mata madu itu menatap sepasang mata merah, berusaha berpikir bersama-sama dengan hanya lewat kontak mata. Tetapi mereka sama-sama tidak memiliki ide untuk membujuk Kicchi.

"Ki—"

"Kicchi," panggil Kagami dengan serius, dia menghela nafas untuk berusaha tenang, "aku tidak sayang padamu kalau begini caranya."

Satu detik setelah mendengar itu, Kicchi mengangkat kepalanya, menatap Kagami yang balas menatapnya dengan tajam.

"Laki-laki tidak boleh menangis, ingat? Mereka hanya boleh menangis kalau memang itulah saatnya mereka terlihat lemah. Mengerti tidak?"

"Err Kagamicchi..."

Kagami menatap Kise dengan tajam, memberi tanda untuk diam dulu sebentar.

"Tapi aku tersinggung dengan kata-kata itu." Dia menggaruk kepalanya dengan kikuk, sebenarnya Kise pun adalah cowok cengeng, tapi sekalinya dia marah, dia bisa lebih sangar daripada Kagami. Hanya saja: jarang.

Kicchi hanya mengangguk pelan, "maaf."

"Tidak hanya dengan kata maaf."

Kicchi semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Kamu harus pulang. Banyak yang menunggumu di sana. Lain kali kamu bisa main ke sini lagi kan? Atau aku yang berkunjung ke sana. Ini bukan perpisahan selamanya kok." Kagami menyentil keningnya perlahan, membuat gerakan kedipan mata yang refleks timbul dari Kicchi. "Ya? Ini bagian dari bagaimana laki-laki akan menjadi kuat suatu saat nanti."

Anak itu terdiam, hanya suara isakan seperti cegukan yang ia timbulkan. Dia termenung agak lama, berusaha mengerti apa yang dikatakan Kagami.

"Apa dia bisa mudah mengerti, Kise?" Tanya Kagami sambil berbisik pada orang yang bersangkutan.

"Dia memiliki sedikit bakat cepat mengerti, sama sepertiku." Kise mengangguk bangga soal itu. Kalau saja keadaannya bukan seperti ini, seperti biasa Kagami akan menghajarnya karena kenarsisan tersebut.

Beberapa detik setelah itu Kicchi mengangguk perlahan, "kalau begitu, aku akan pulang."

Bukannya senang bisa dimengerti, sekarang giliran Kagami yang terpukul. Bukannya tadi dia yang bilang Kicchi harus pulang? Banyak yang menunggunya di sana? Dan dia harus kuat dengan perpisahan walaupun hanya sementara? Kenapa dia menjadi banyak bertanya-tanya pada dirinya sendiri?

"Kagamicchi...?" Kise menyadarkan Kagami dengan cara menjentikkan jarinya di depan muka Kagami, dan dia pun langsung mendapatkan kesadaran, "terimakasih ya. Dia akhirnya menjadi mengerti." Kise memindahkan Kicchi dari pangkuan Kagami untuk berdiri di lantai.

"T-tunggu!"

"Beri senyum untuk Kagamicchi, Kicchi." Sayangnya cegahan Kagami tidak terdengar oleh mereka berdua dan keburu terpotong. Kicchi memberi senyum kecil pada Kagami, dan Kise memberi senyum puas pada hal itu. "Ayo kita keluar sekarang. Terimakasih ya Kagamicchi sudah mau merawat dan memberinya banyak pelajaran." Kemudian dia memberi kedipan mata khas model tampan padanya—bukan, itu bukan menggoda, tapi memang sudah kebiasaan Kise pada semua orang.

"Tung... ya. Ayo, kuantarkan..." Tanpa disadari Kagami terdengar sangat kecewa. Dan memang di dalam hatinya, hati itu menggebu-gebu merasa kecewa dengan perkataannya sendiri. Berapa lama dia tidak akan bertemu Kicchi? Seminggu? Sebulan? Dua bulan? ...setahun?

Sesampainya di depan lobi apartemen, Kise berjalan duluan dan tidak sadar bahwa Kicchi masih ada di sebelah Kagami untuk memberikan perpisahan terakhir. Dia menarik celana Kagami dengan pelan, namun sudah cukup menyadari Kagami bahwa dia disuruh untuk mensejajarkan badannya pada Kicchi.

"Kagamicchi, terimakasih atas semuanya ya." Kicchi memberi kecupan lagi pada pipi Kagami setelah membisikkan kalimat tersebut padanya.

Kagami merasa puas dengan hal itu. Entah dia merasa berhasil menjadi seorang kakak atau seorang ayah. Tapi tetap saja, sekarang dia baru menyadari bahwa sesal untuk melepas Kicchi tidak ada gunanya lagi. Dia memang harus lepas dari Kagami. Sebuah pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan.

"Bye bye Kagamicchi!" Dia berlari mengejar Kise yang menunggu di pinggir jalan sambil menyuruhnya untuk cepat.

"See ya, Kicchi." Balas Kagami agak pelan. Tak henti matanya terus mengamati mereka yang mulai berjalan jauh. Jauh... terus menjauh hingga hilang di sebuah belokan jalan. Entah karena apa Kagami hanya terus menatap jalanan kosong di depannya. Berusaha menyadarkan dirinya dari sebuah lamunan—beranggapan tidak akan pernah bertemu anak itu lagi. Tapi ya apa boleh buat lagi kan? Sudah ditegaskan beberapa kali bahwa dia bukanlah siapa-siapanya Kicchi. Akhirnya dia putuskan dirinya untuk kembali masuk ke apartemennya dengan langkah lunglai.