Kalau saja Uchiha Sasuke tahu lebih cepat bahwa berbaikan dengan Sakura adalah satu hal paling membahagiakan, tentunya dia akan melakukannya lebih cepat. Nah, beberapa minggu belakangan ini Sasuke begitu terkonsumsi oleh keegoisannya sendiri. Sekarang, rasanya Sasuke ingin menebusnya dengan apa pun yang bisa dia lakukan. Satu langkah pertama, seperti mengantar jemput Sakura ke kampusnya.

"Kau tidak perlu repot-repot seperti ini. Aku bisa pulang bersama temanku," elak Sakura yang berusaha menolak tawaran Sasuke menjemputnya sore nanti. Tas coklatnya di sampirkan di bahu. Rambutnya diikat berantakan, dengan beberapa helai jatuh di sekitar telinga. Celana jeans dan kaus atau kemeja yang biasa dia kenakan kini lebih sering digantikan lusinan dress manis yang dipilihkan ibu mereka.

"Tidak ada salahnya 'kan aku menjemputmu."

"Kau bilang kelasmu berakhir siang nanti. Aku tidak ingin kau menunggu selama itu."

Sasuke menghela napas. Kalau saja mereka tidak sedang berada di tempat parkir yang ramai, mungkin Sasuke sudah memeluk atau menc—ah, tunggu dulu. Dari mana datangnya pikiran semacam itu, Sasuke? Pemuda itu merutuk dalam hati.

"Apartemen Naruto ada di dekat sini. Aku bisa menunggu di sana."

"Tapi–"

"Kau sebegitu tidak sukanya padaku? Apa kau masih marah karena aku melupakanmu dan kau ingin menghindariku terus?" tantang Sasuke memotong apa pun sanggahan Sakura.

Wajah gadis itu memucat. Mata hijaunya membulat. "Ke–kenapa kau bicara seperti itu…?" desahnya lirih.

Raut wajah Sasuke melunak, begitu juga dengan sorot mata hitamnya. "Kalau begitu kau tidak punya alasan untuk menolakku seperti itu."

"Kau benar-benar tidak keberatan?"

"Tidak," jawabnya mantap. "Kenapa harus keberatan? Satu-satunya tugas suami yang bisa kulakukan saat ini hanya mengantar-jemputmu ke mana pun kau mau. Bukan berarti aku tidak suka. Aku menikmatinya. Aku bisa bersamamu."

Masih dengan menatap Sasuke dengan mata bulatnya yang melebar, wajah gadis itu memerah. "E–eh?" geragapnya.

Sasuke memajukan kepalanya dan mengecup bibir Sakura cepat, dengan mata terus memandang manik kehijauan itu.

"Kutebak yang itu bukan ciuman pertama kita," gumamnya menggoda. Bukannya dia tidak grogi atau apa, justru sekarang jantungnya berdebar tidak karuan. Dadanya mengembang dengan euforia dan mati-matian berusaha dia cegah rona kemerahan di wajahnya. Kapan kau akan berhenti berdebar seperti ini… desahnya dalam benak. Tapi kalau benar-benar berhenti gawat juga.

Sakura menunduk dengan tangan menutupi wajah. Rona merahnya menjalar hingga cuping telinganya. Dengan pelan dia menggeleng menjawab ucapan Sasuke sebelumnya.

"Kalau begitu kita sepakat aku akan mengantar-jemputmu," tandas Sasuke dengan nada final. Kalau sudah begini, tidak akan ada hal yang bisa membuat Sasuke mengurungkan niatnya.

Tanpa ragu, Sasuke menarik tangan Sakura dan menggenggamnya. Mereka berdua berjalan dalam diam dengan Sakura yang wajahnya merah. Perjalanan menuju gedung perkuliahan Sakura terasa lebih lambat dari biasanya, tetapi gadis itu menikmatinya. Sangat menikmatinya. Tangannya terasa hangat dalam genggaman kuat Sasuke.

Gedung empat lantai itu terlihat di depan mata dan entah kenapa Sakura merasa kecewa. Mereka berhenti di halaman depannya.

"Kurasa yang itu temanmu," ujar Sasuke rendah. Dengan pandangan matanya, Sasuke menunjuk seorang gadis yang sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu masuk gedung.

Sakura yang mengikuti pandangan Sasuke hanya bisa terkejut. Sebelah tangannya yang bebas refleks bergerak menutup mulut.

"Oh, tidak," erangnya yang berhasil membuat Sasuke mengangkat alis bingung.

"Ada apa?"

Gadis itu menggeleng kuat, membuat rambut panjangnya yang hanya dikuncir kuda bergoyang. Mereka belum melepaskan pegangan tangan masing-masing. Gerakan-gerakan kecil mereka saling menunjukkan keduanya enggan melepaskannya. Mereka mengambil beberapa langkah ke depan hingga gadis pirang yang sudah menunggu di depan pintu itu terlihat.

"Sepertinya temanmu sudah tidak sabar membawamu," gumam Sasuke. Tatapannya berpindah dari Sakura ke arah Ino, lalu kembali lagi ke Sakura. Dia menyeringai kecil. "Masuklah."

Gadis itu mengangguk, tetapi tidak lekas beranjak pergi. Dengan malu-malu dia intip Sasuke dari balik poni rambutnya yang sudah panjang. Dia berjinjit, kemudian memberikan kecupan singkat di pipi Sasuke, membuat pemuda itu terhenyak.

"Istri tidak mencium suaminya di pipi," Sasuke berujar lirih, lalu sebelum Sakura bergerak menjauh pemuda itu mendekatkan bibirnya dan memberinya ciuman singkat dan cepat di bibir. "Kujemput nanti jam empat."

Dengan wajahnya yang luar biasa panas, Sakura mengangguk. "Sampai nanti," pamitnya malu-malu.

Sasuke mengangguk sekali, lalu melepaskan genggamannya dengan sedikit berat hati. Dipandanginya punggung Sakura menjauh hingga menghilang di dalam gedung, sebelum berbalik dan melangkah menuju gedung perkuliahannya sendiri.

.

Sasuke sama sekali tidak punya masalah dengan belajar, atau menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar. Dia suka momen-momen saat dia mengetahui hal-hal baru yang sebelumnya tidak dia ketahui. Sayangnya, pemikiran tersebut tidak lagi berlaku. Paling tidak, untuk saat ini. Sekarang, belajar tidak lagi menjadi kegiatan yang begitu menarik baginya. Waktu belajarnya seharian tadi tidak membuahkan hasil, mengingat pemuda itu hanya menghabiskan waktu dengan melamun atau memandangi jam tangannya.

Kelasnya berakhir begitu saja dan sekarang dia sedang duduk di kafetaria yang ramai. Pikirannya kembali melayang, tidak lagi terfokus pada kegiatannya. Tanpa dia sadari, dia mengamati pergerakan jarum panjang jam tangannya, menghitung setiap menit yang tersisa sebelum pukul empat.

Dua jam dua puluh puluh tiga menit lima detik.

Kira-kira selama itu dia harus menunggu.

Dia menghela napas, mengalihkan pandangan dari jam tangannya, dan langsung disuguhi tatapan heran Naruto yang duduk di depannya di kafetaria.

"Kau kenapa, teme?"

Sasuke hanya menggeleng, kemudian mengambil sumpit dan mulai menyantap makan siangnya. Rupanya dia terlalu lama melamun. Makan siangnya nyaris dingin.

"Kau dari tadi memandangi jam tanganmu. Ada apa?" tanya Naruto di sela-sela kunyahannya.

Sasuke mengerutkan kening tidak suka. "Bicara atau makan. Pilih satu," gerutunya.

"Beristri atau tidak, kau sama menyebalkannya," Naruto balas menggerutu. "Ah, bicara tentang istri. Bagaimana kabar Sakura-chan? Kalian masih bertengkar?"

"Kami tidak bertengkar," sanggah Sasuke. "Dan Sakura baik-baik saja."

"Jadi, kalian sudah berbaikan?"

Sasuke melirik sahabatnya tajam. "Kami tidak pernah bertengkar," bantahnya dengan nada final.

"Keras kepala seperti biasa."

Pemuda pendiam itu berdecak, tetapi memilih untuk tidak berkomentar.

"Sepertinya kalian sudah berbaikan. Pasti menyenangkan rasanya punya istri, iya 'kan, teme?" Pemuda pirang itu terkekeh. Sumpitnya digigit selagi dia tersenyum lebar.

"Cari tahu saja sendiri," balas pemuda itu sengit.

Uchiha Sasuke memang tidak menampakkan banyak emosi di wajahnya. Namun, setelah mengenal Sasuke hampir seumur hidupnya, bukan hal yang begitu sulit bagi seorang Naruto untuk mengenali tanda-tanda tertentu di wajahnya. Rasa bahagia, misalnya. Hanya dengan menatap sepasang mata kelam itu, Naruto sudah tahu bahwa tebakannya benar. Sahabatnya itu sudah berbaikan dan kini sedang bahagia dengan pernikahannya.

"Tapi aku masih belum paham mengenai masa lalu kalian, dan kenapa kau sama sekali tidak ingat."

Percayalah, bukan hanya Naruto yang masih bingung dengan hal itu. Kebingungan yang sama, ah tidak, justru lebih besar sedang menimbun dalam dirinya. Rasa bersalah, bingung, marah atas ketidaktahuannya itu begitu besar hingga terkadang dia tidak bisa menatap Sakura.

Untung saja, benar-benar untung, Sakura tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Seperti kata gadis itu, yang terpenting adalah apa yang kini ada di hadapan mereka. Mungkin tidak bisa dimulai dari awal, tetapi toh jalan mereka belum akan berakhir. Mereka masih punya cukup waktu untuk membenahi segalanya. Dan Sasuke optimis mereka bisa bahagia.

"Sepertinya, hal itu sudah tidak jadi masalah besar buat kalian, ya?" tebak Naruto.

Sasuke memberinya sebuah anggukan kecil dan Naruto tidak lagi meminta penjelasan. Dia tidak perlu tahu detail setiap hal. Toh, persahabatan mereka tidak dimulai dari sesi curhat sesama pria. Setelah dia mengetahui semuanya baik-baik saja, Naruto sudah merasa cukup.

"Jadi…" Naruto berdehem dan memasang raut wajah serius. "bagaimana malam pertama kalian?"

Nah, menggoda Sasuke adalah lain soal.

Kejengkelan jelas terlihat pada Sasuke. Apalagi kalau bukan karena mata hitamnya yang menatap Naruto seolah-olah ingin membunuhnya.

"Belum, ya?" Naruto sepertinya selalu punya nyawa cadangan di sakunya atau apa, karena pemuda itu begitu berani menggoda singa yang marah. "Atau…" dia menggantung kalimatnya. Mata biru kristalnya berbinar. "kau yang tidak mampu?" Tawanya meledak keras, mengagetkan orang-orang di sekitar mereka. Wajahnya merah dan bahunya gemetar oleh tawa.

Di depannya, Sasuke begitu murka hingga tidak bisa bicara. Sumpit kayu tipis yang dipegangnya patah menjadi dua. Sama sekali bukan pertanda baik. Namun, pemuda pirang yang sudah dikenalnya hampir dua puluh tahun belakangan ini terus saja tertawa seolah tak ada waktu tertawa untuk esok.

.

Uchiha Sakura mengedarkan pandangannya ke area parkir yang sepi. Hanya ada segelintir mobil yang tersisa di sana karena hari sudah sore. Seharusnya mudah mencari sosok Sasuke di sana, tetapi yang ada hanya mobil hitam mereka yang diparkir di tempat yang sama semenjak pagi sedangkan Sasuke tidak terlihat di mana pun.

Ini sudah hari kesekian mereka pulang bersama setelah berbaikan. Namun, Sakura belum juga terbiasa dengan kebersamaan mereka yang begitu menyenangkan. Sasuke selalu bersikap manis padanya. Menunggunya dengan sabar di mobil jika Sakura terlalu lama bersiap-siap, atau membuka pintu mobil untuknya sebelum naik atau turun, atau memutarkan lagu-lagu kesukaan Sakura selama mereka berkendara padahal pemuda itu tidak begitu suka musik saat berkendara, atau menyambutnya dengan senyum kecil di sudut bibir ketika Sakura selesai kuliah. Namun untuk sore ini, dia tidak menemukan Sasuke yang sedang bersandar di mobilnya dengan tangan terlipat di dada seperti biasa. Pemuda itu justru tidak terlihat di tempat itu.

Sakura mengerutkan kening dan mengeluarkan ponselnya yang jarang dia gunakan. Haruskah dia menelpon Sasuke? Ah, pemuda itu yang selalu menunggunya setiap hari. Tidak ada salahnya jika kali ini dia yang menunggu. Dia putuskan untuk memasukkan ponselnya ke tasnya kembali. Sembari bersandar pada mobil dan bersedekap, gadis itu menunggu dengan sabar.

Keadaan sore ini begitu sepi. Sedari tadi belum dia jumpai seorang pun lewat. Beginikah Sasuke menunggunya setiap hari? Bagaimana jika Sakura terlambat datang karena terlalu asyik mengobrol dengan Ino setelah kuliah? Pasti membosankan. Sasuke tidak memiliki hobi yang bisa membantunya mengusir rasa bosan untuk menunggu. Sasuke bukan tipe pemuda kutu buku. Walaupun dia banyak membaca, tetapi buku-bukunya lebih banyak berada di rumah. Dia juga tidak begitu menikmati kegiatan mendengarkan musik. Kira-kira apa yang selalu pemuda itu lakukan? Dia juga tidak setiap hari mengungsi di tempat Naruto selagi menunggunya. Barangkali dia hanya diam mematung di sini.

Seperti patung Adonis, batin Sakura. Tanpa dia sadari seulas senyum muncul di bibirnya.

Pikirannya terusik oleh suara sorakan, mayoritas gadis-gadis, dari arah lapangan basket.

"Ramai sekali," gumamnya.

Lapangan basket itu letaknya tidak bisa dibilang dekat sekali dengan lapangan parkir. Mendengar suara sorakan seperti itu, pasti banyak orang berkumpul di sana.

"Mungkin aku akan melihat-lihat,"

Gadis itu mulai melangkah menuju lapangan. Semakin dia mendekat, semakin riuh suara sorakan itu. Di pinggir lapangan yang tidak terlalu luas, terlihat gerombolan gadis yang bersorak riuh. Sakura kira jumlah penontonnya banyak, mengingat betapa riuhnya sorakan mereka. Namun, penonton yang ada di pinggir lapangan tidak lebih dari dua puluh—lima di antaranya pemuda. Mereka tampak begitu berkonsentrasi dengan permainan yang ada di depan mereka.

"Seperti pertandingan betulan saja,"

Sakura mengulum senyum. Dia ambil posisi di pinggir lapangan, agak jauh dari kerumunan gadis-gadis seusianya yang sedang berteriak riuh. Matanya menjelajahi lapangan, melihat enam pemuda sedang bermain basket three-on-three.

"Sasuke?"

Satu dari enam pemain di sana tak lain adalah suaminya. Hanya dengan kaus tanpa lengan berwarna gelap, celana khaki selutut, dan sepatu biasa, Sasuke berdiri di tengah lapangan dengan postur siap menembak. Rambutnya basah, membuat beberapa helai menempel di keningnya. Sekujur tubuhnya berkeringat dan sinar senja matahari membuat tetes-tetes keringatnya berkilau.

Sakura hanya bisa diam terpana memandang Sasuke yang sedang melempar bola di tangan. Tak ayal gadis-gadis ini berteriak histeris. Adonisnya sedang berlaga. Kalau saja sinar matahari tidak sedang merah, Sakura tidak bisa menjamin seperti apa wajahnya sekarang. Untungnya rona merah di wajahnya bisa tersamarkan.

Secara kebetulan Sasuke menoleh, tepat ke arah Sakura. Gadis itu sedikit tersentak, kemudian berusaha memberikan senyum terbaiknya.

Oh, oh, batinnya. Pemuda yang sekian lama telah merebut hatinya itu kini beringsut mendekatinya setelah menyambar tasnya dari bangku di pinggir lapangan. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Dan tentu saja gadis-gadis di dekat Sakura berteriak semakin histeris, mengira Sasuke mendekati mereka. Namun, tak sekali pun Sasuke mengalihkan tatapan matanya dari Sakura yang berdiri canggung.

"Kau di sini?"

Sakura hanya mampu mengangguk. "Sepertinya kau sangat menikmatinya. Kau mandi keringat."

Tangan besar dan kekar itu seolah punya refleks sendiri yang selalu membuatnya menemukan pinggang kecil Sakura. Lengan itu melingkar di sana dan menarik Sakura mendekat.

"Kau bau," ujar Sakura penuh canda.

"Aa. Jangan protes," Sasuke mendekatkan diri dan mencium kening Sakura lama.

Rasanya Sakura bisa melayang sekarang juga, kalau saja lengan Sasuke tidak melingkari pinggangnya. Dia memejamkan mata dan menikmati setiap momen jantungnya berdetak tidak karuan. Samar-samar dalam pendengarannya dia bisa mendengar teriakan histeris gadis-gadis itu berubah menjadi gerutuan. Entah berapa lama mereka berada di posisi itu, yang jelas Sakura tidak peduli.

Sasuke mengakhiri kecupan panjangnya, kemudian menoleh ke arah lapangan lagi. Dia melambaikan tangan ke arah Naruto yang kini sedang memandangi mereka dengan seringai luar biasa lebar.

"Kenapa tidak meneruskannya?"

"Dan meninggalkanmu? Kedengarannya bukan ide bagus," ujar Sasuke seraya mengajak Sakura meninggalkan lapangan.

Nah, nah. Sepertinya panas dan debaran jantung seperti ini tidak akan baik untuk kesehatan. Sakura menggumam dalam benak.

.

Satu lagi malam yang damai.

Uchiha Sakura mencari posisi bersandar yang nyaman pada kepala ranjang. Uchiha Sasuke duduk di sebelahnya. Tangannya melingkari pinggang Sakura. Keduanya tidak ada yang bicara. Mereka membiarkan keheningan menyelimuti, mendengar suara detik jarum jam di kamar mereka dalam diam.

"Tentang perceraian," Sasuke buka suara. Ucapannya membuat Sakura mengernyitkan kening. "Kau benar-benar mengurusnya?"

"Perceraian apa?" Kentara sekali gadis itu bingung setengah mati.

"Ibu bilang kau ingin bercerai."

Dua bola mata hijau itu terbelalak. Mulutnya menganga dengan ekspresi kaget luar biasa. "Tentu saja aku tidak ingin!"

Uchiha Sasuke mencoba mengulas senyum di bibirnya. Kalau istrinya saja tidak tahu menahu, kemungkinan besar apa yang dikatakan ibunya waktu itu hanya bualan belaka, tetapi mungkin kalau tidak begitu, Sasuke tidak akan cepat-cepat sadar. Diam-diam Sasuke bersyukur juga karena kebohongan ibunya. Wanita itu pasti tahu kalau cara itu adalah cara cepat untuk memaksa Sasuke, tanpa pemuda itu sadari. "Aa," hanya itu yang dia katakan.

Mereka kembali terdiam.

"Inggris." Sasuke kembali bicara, membuyarkan keheningan mereka. "Kau suka?"

"Ya. Di sana indah."

"Apa yang biasanya kau lakukan?"

"Hmm…" Sakura mendongak menatap langit-langit kamar, mencoba mengurutkan kenangannya di Inggris. "Berdiam diri, kurasa. Di kamar, di atap gedung."

Sasuke mengerutkan kening. "Kau suka tempat tinggi?"—Sakura mengangguk membenarkan sebagai jawaban. Seingatnya apartemen Sakura berada di lantai tertinggi di gedung tersebut. "Kenapa?" lanjut Sasuke bertanya.

Sakura merentangkan tangan ke depan, berusaha memvisualisasikan pikirannya. "Aku merasa bisa melakukan apa pun di sana. Apa yang kumau terasa begitu kecil, begitu mudah untuk digenggam oleh aku yang lemah sekalipun."

Pemuda itu mengamati kedua tangan Sakura. Jemarinya direntangkan, bergerak seolah hendak meraih benda tak kasat mata di udara. "Apa itu membuatmu senang?"

"Hm, kurasa optimis lebih tepat untuk menggambarkannya. Ketika aku masih kecil, aku selalu merasa berada di tempat tertinggi yang bisa kucapai adalah satu-satunya tempat yang membuatku bisa dekat denganmu," suara gadis itu berubah lirih. "Aku seringkali merindukanmu dan tidak tahu bagaimana cara mengatasinya."

Ekspresi tenang di wajah Sasuke digantikan kemuraman. Rasa bersalah mulai menyusup dalam dadanya. Dia tidak pernah tahu, tidak pernah ingat akan keberadaan gadis yang merindukannya—yang jauh darinya.

"Lalu di sana kau jadi tidak merindukanku lagi?"

Sakura yang menyadari nada pahit dalam suara suaminya segera bergerak gelisah. Dia tegakkan punggungnya dan menatap Sasuke sepenuhnya. Matanya yang bersinar emas oleh pantulan lampu menatap sendu kepada Sasuke.

"Tidak. Rinduku tidak terobati, tapi di sana aku merasa di suatu tempat kau bisa melihatku. Dengan pikiran sederhana itu, aku bisa kembali tersenyum. Sekarang kedengarannya agak konyol." Dia tunjukkan senyum bahagia terbaiknya, membuat Sasuke luluh dan ekspresi muram di wajahnya tak berbekas.

"Aku tidak tahu bagaimana menebusnya," Sasuke berujar lirih. Kepedihan kembali mewarnai wajahnya.

"Sshh," Dengan tangan kecilnya, Sakura memegang kedua sisi wajah Sasuke. Matanya bersinar dengan keteguhan yang tak tergoyahkan. "Kita sudah sepakat tidak akan memperumit masalah ini, 'kan? Aku sama sekali tidak keberatan kau tidak ingat. Jangan menyalahkan dirimu. Yang bersalah sebenarnya aku. Kalau kau melupakanku, aku hanya perlu membuat kenangan tentang diriku sekarang."

Pemuda itu terhenyak melihat kesungguhan dalam dua bola mata emas itu. Perlahan, senyumnya terbentuk.

"Kita sepakat, bukan?" tuntut Sakura lagi.

"Aa."

Sekali lagi Sakura menunjukkan senyum cerianya. "Bagus." Entah datang dari mana keberanian itu, tiba-tiba Sakura mendekatkan wajahnya ke wajah Sasuke, kemudian memberinya kecupan cepat di bibir. "Sudah kuduga, kau jauh lebih tampan dengan wajah tersenyum!"

.

"Kau benar-benar akan pergi?" Suara bocah lelaki itu serak. Dia berteriak dan nyaris tersedak suaranya sendiri. Dia tidak penah terbiasa bicara dengan suara keras, justru dia tergolong pelit bicara.

Bocah perempuan yang berdiri di depannya mengerut. Wajahnya ditundukkan dalam-dalam. Dengan suara kecilnya yang gemetar, dia berusaha bicara. "Gomen ne, Sasuke-kun."

"Memang selalu mudah meminta maaf dan bersikap seolah maaf saja sudah cukup!" bocah lelaki itu membentak. Kalau saja dia bisa melihat, wajahnya sudah merah padam oleh emosinya. "Kau akan pergi dan meninggalkanku! Kau kira yang seperti itu bisa dibayar dengan meminta maaf saja?" Napasnya putus-putus.

"Gomenasai…" Gadis kecil itu terisak. Tangisnya tersedu-sedu, hingga pilu rasanya mendengar tangis itu.

"Jangan menangis!" bentaknya lagi. "Kau yang akan pergi, tapi kenapa kau yang menangis?"

Gadis cilik itu terus diam, berusaha menahan isak tangisnya.

"Baiklah. Pergi saja sesukamu! Kemana pun itu aku tidak peduli. Asal kau tahu, aku yang akan meninggalkanmu lebih dulu. Aku akan pergi sekarang dan melupakanmu. Aku akan melupakanmu sepenuhnya sampai kau menyesalinya karena kau telah pergi hari ini!"

"Sasuke-kun! Jangan pergi! Maafkan aku…" Gadis itu jatuh terduduk memegangi wajah dan tersedu-sedu di sana. "Aku sebenarnya tidak ingin pergi…" gumamnya pilu.

.

Uchiha Sasuke tersentak bangun dari tidurnya. Mimpi apa barusan dia? Tubuhnya sekarang dipenuhi keringat. Napasnya sedikit tak beraturan, begitu juga dengan jantungnya yang berdebar menggila—menghentak-hentak keras di rongga dadanya sampai ke tahap nyeri.

"Sasuke?"

Suara lembut itu membuyarkan pikiran Sasuke. Pemuda itu menoleh ke ranjang di sebelahnya. "Aku membangunkanmu?" tanyanya. Suaranya sedikit tersendat di tenggorokan.

Sakura bangkit dan menggeleng. "Ada apa? Kau berkeringat banyak sekali," gumamnya mengamati Sasuke.

Mata hitamnya bersinar redup oleh cahaya lampu taman yang masuk lewat tirai. "Hanya bermimpi." Sepasang mata itu bergerak-gerak gelisah mencari sosok Sakura dalam keremangan.

"Mimpi buruk?" Sakura mengulurkan tangannya mencari milik Sasuke. Digenggamnya tangan Sasuke yang berkeringat.

Sasuke menggeleng. "Mimpi yang menyedihkan," jawabnya. Dia pandangi Sakura tepat di bola mata hijaunya. Tangannya menggenggam balik tangan Sakura yang jauh lebih kecil dari miliknya.

"Mimpi apa?" tanya gadis itu. Suaranya lembut dan hati-hati, tidak ingin melukai Sasuke dengan menanyakan mimpi yang membuat pemuda itu segugup ini.

Sasuke terdiam sejenak, menimbang-nimbang dalam benaknya yang rumit. Dia bingung bagaimana harus menyuarakan pikirannya yang rumit. Saat ini, pikirannya begitu rumit dan kusut. Dia takut jika dia bicara sekarang, ucapannya akan menyakiti Sakura tanpa dia sadari. Setelah beberapa saat termenung, hanya kata "memimpikanmu," lah yang mampu dia ucapkan untuk sekarang.

Ekspresi wajah Sakura muram seketika, membuat Sasuke merutuk dalam hati karena kecerobohannya memilih kata-kata yang tidak tepat. Tadi pemuda itu berkata dia baru saja bermimpi menyedihkan dan sekarang berkata mimpi itu tentang Sakura. Jadi, Sakura menyedihkan atau Sakura membuat mimpi itu menyedihkan? "Aa." Gadis itu tertunduk, memandangi jemarinya yang bertaut gugup dengan jemari panjang Sasuke.

"Hei," panggil Sasuke. "Kenapa begitu muram?"

Gadis itu menggeleng. Ekspresinya jelas bertambah muram. "Pasti itu mimpi yang buruk. Maaf."

Pemuda itu menampilkan senyumnya, berharap Sakura mau mendongakkan kepala dan memandangnya. "Apa yang harus dimaafkan?"

"Semuanya. Masa lalu kita yang sebagian besar adalah kesalahanku, bahkan keberadaanku."

"Jadi, aku yang dulu maupun yang sekarang menyayangimu…itu juga salah?"

Gadis itu mendongak tiba-tiba. Bola matanya melebar dengan keterkejutan yang tidak bisa ditutupi. "A–apa maksudmu?"

"Kurasa maksudku sudah jelas," ujar Sasuke dengan wajah kalemnya.

"A–aku…" Sakura mencoba bicara di tengah kegugupannya. Suaranya tersendat-sendat. Pernyataan Sasuke barusan membuat lidahnya kelu. Dia hanya bisa merutuk dalam hati.

Sasuke berusaha tersenyum memaklumi. "Aku masih agak mengantuk. Mau tidur?" tanyanya. Suaranya yang dingin kali ini terkesan lebih lembut.

Sakura yang masih gugup segera mengangguk cepat, kemudian kembali berbaring. Kali ini posisi mereka lebih dekat dari sebelumnya. Sasuke bisa dengan mudah merentangkan tangan dan merangkum Sakura ke dalam dekapannya.

"Tidak keberatan?"

Keberatan? Yang benar saja! "Tidak, sama sekali tidak," gadis itu berujar. Suaranya teredam dada Sasuke.

"Aku memimpikanmu yang menangis pilu. Kesalahanku," gumam Sasuke. Dua lengannya erat merengkuh Sakura. Napasnya menggelitik kening Sakura.

"Kapan aku pernah menangis? Kalau pun iya, itu bukan salahmu. Kujamin itu."

Sasuke tersenyum mendengus. "Jelas-jelas kau menangis karena ulahku. Saat itu kita masih kecil. Benar, 'kan?"

Uchiha Sakura yang merasa bingung mendongakkan kepala, memberanikan diri menatap Sasuke dari jarak sedekat itu. "Aku tidak mengerti. Kejadian mana yang kau bicarakan?"

Sasuke balik menatapnya. "Terakhir kali kita bertemu dan saat itu aku benar-benar mengatakan hal yang buruk kepadamu."

Mulanya Sakura masih belum paham. Setelah beberapa saat membiarkan pikirannya bekerja, gadis itu segera terkesiap kaget. "Ka–kau ingat?" pekiknya dengan wajah ketakutan. Tiba-tiba tubuhnya kaku, tidak lagi merasa nyaman dalam pelukan besar Sasuke. Dia bahkan berusaha melepaskan diri, tetapi lengan Sasuke menahannya kuat. Posisinya justru semakin menempel Sasuke, kali ini tanpa jarak yang memisahkan.

Sasuke memandangnya dengan mata tajam. Namun, tidak ada sorot mata dingin atau marah di sana. Mata itu hanya bermaksud membuat Sakura diam dalam pelukannya.

"Aku tidak ingat. Aku hanya memimpikannya," jawabnya tegas. Ucapannya untuk sejenak menghentikan gerakan Sakura.

"Te–tetap saja… Sekarang kau tahu kenapa kita berpisah dan mungkin kau sudah menyadari kenapa kau melupakan semuanya," Suara Sakura kini tak ubahnya seperti cicitan hewan tercekik. Suaranya tersendat di tenggorokan akibat dorongan kuat untuk menangis. Hidung dan matanya sudah basah sekarang.

"Husssh," Tidak tahu harus melakukan apa untuk mencegah pecahnya tangis Sakura, Sasuke hanya mengelus punggung Sakura lembut. Gadis itu sudah banyak menangis untuk dirinya. Dia tidak ingin istri yang baru dia ketahui tidak lama itu kembali menangis. "Kau marah karena aku melupakanmu?"

Sakura menggeleng kuat disertai isakan tertahannya. "Aku pantas…dilupakan. Aku…aku sudah jahat kepadamu. Aku meninggalkanmu…" Dari sela-sela isakannya, Sakura berusaha bicara.

"Bagaimana mungkin kau mengatakan dirimu jahat, hm? Justru aku yang jahat. Semudah itu aku melupakanmu, semua tentangmu," sela Sasuke dengan suara bergetar samar. Dia memang tidak mengingat semuanya, tetapi mimpi tentang perpisahan itu begitu menyedihkan. Bagaimana mungkin di usia sekecil itu Sasuke bisa mengucapkan hal-hal yang menyakitkan?

"Tidak… Aku yang jahat. Aku!" bantah Sakura. Isakannya bertambah keras, tidak lagi bisa ditahan.

"Jangan salahkan dirimu, Sakura."

"Tapi–tapi, ini memang salahku…"

Sekarang gadis rapuh itu bergetar hebat. Melihatnya menangis begitu…memilukan benar-benar membuat Sasuke sakit. Jantungnya berdetak nyeri, seolah nyaris lepas dari genggaman tangan besar yang meremasnya.

"Tidak, Sakura. Tidak." Dia menghela napas panjang, berharap kedekatan mereka bisa mengurangi sakit di dadanya. "Berhenti menyalahkan dirimu. Berhenti, kumohon…" pintanya. Alisnya nyaris saling bertaut, perih. Ditariknya napas kuat-kuat, menyesap aroma rambut Sakura. "Kalau begitu, kita sama-sama bersalah. Kau bersalah karena meninggalkanku, dan…aku juga bersalah karena berani-beraninya melupakanmu."

Sakura kembali menggeleng kuat dalam dekapan Sasuke.

"Kalau kau membantah, aku akan menganggap semua ini kesalahanku. Aku akan menyalahkan diriku, menghukum diriku sendiri dengan keras," ujar Sasuke setengah mengancam. Tangannya masih terus mengelus punggung Sakura.

Mendengarnya, gadis itu akhirnya terdiam. Isakannya berangsur-angsur mereda, hingga hanya tersisa cegukan kecilnya. Sasuke menunggunya dengan sabar sampai Sakura benar-benar berhenti menangis.

"Jangan meninggalkanku lagi. Kau dengar?" bisiknya penuh permohonan di telinga Sakura. "Aku bisa jadi gila kalau kau meninggalkanku sekarang," Sasuke tersenyum di kening Sakura. "Sekecil itu aku bisa bicara begitu jahat kepadamu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang mungkin akan kuucapkan kalau kau pergi lagi."

"Aku–" Suaranya nyaris hilang tertelan isakan. "Aku tidak akan pergi lagi. Aku akan di sini bersamamu, tidak akan pergi jauh darimu, tidak akan lepas dari pandanganmu bahkan kalau kau nanti bilang bosan atau aku menyebalkan," janji Sakura setengah menggerutu.

Ucapan manis istrinya kali ini berhasil membawa seulas senyum di bibirnya. "Pegang janjimu kuat-kuat karena aku akan memeluk erat, tidak akan melepaskanmu."

Dengan beban berat yang telah terangkat, keduanya akhirnya jatuh tertidur di pelukan masing-masing dengan seulas senyum bahagia. Ingat atau tidak, hal itu tidak lagi menjadi masalah bagi mereka. Jika ada satu kenangan yang terlupakan, mereka hanya harus membuat satu kenangan baru yang bisa mereka ingat seterusnya.

Malam itu, mereka memimpikan hal yang sama. Tentang padang lavender yang terhampar sejauh mata memandang, dan tangan kecil mereka yang saling berpegangan tangan erat, bersama-sama mencari jalan pulang, di bawah rembulan purnama yang bersinar emas. [ ]

.

.

.

A/N : Omataseshimashita, minna-san! Sorry for the long long wait. Penantian kalian harus berakhir di sini. Terima kasih banyak sudah merelakan waktunya untuk membaca fiksi ini, atau mungkin tertawa, atau tersenyum, atau tersipu-sipu. Apa pun itu bentuknya, saya sangat menghargai dukungan kalian dari awal hingga akhir.

Fiksi ini berakhir. Final. Tamat.

Ceritanya begini saja? Yap.

Nggak ada konflik-konfliknya yang berbumbu asam manis nih? Nggak. Dari awal saya memang nggak berniat bikin fiksi yang konfliknya njlimet dan bikin pusing, apalagi tentang pihak ketiga, kecemburuan, kesalahpahaman, atau hal-hal sengsara lain. Yang ingin saya tampilkan di sini hanyalah satu sisi seseorang yang dibikin galau oleh pasangannya, juga sedikit tentang patah hati dan penerimaan. Karena satu dari penyusun cinta adalah rasa menerima satu sama lain lol. Jadi kalau terkesan garing dan flat, well…terima saja lah hehe.

Kok nggak diceritain proses Sasuke dapat ingatannya lagi? Nope. Saya merasa hal tersebut bukan poin terpenting di sini. Akhir sebuah cerita nggak perlu harus tuntas tas tas tas, 'kan? Saya membebaskan kalian untuk mereka-reka, mengkhayalkan hal-hal kecil yang nggak saya bahas di sepanjang jalannya cerita. Unleash your imagination as freely as possible. Melenceng juga nggak apa-apa. Namanya juga imajinasi :)

Yang sudah capek-capek review, favorite, atau follow, saya berterima kasih sekali! Yang silent reader, saya lebih berterima kasih lagi karena kalian membebaskan saya dari tanggungan balas review, yang sampai sekarang belum saya lakukan #headshot. Intinya saya cuma mau bilang makasih! Karena sebagus apa pun sebuah cerita, nggak akan berharga tanpa pembacanya. Iya, nggak? ;)

Yang ngerasa bete karena reviewnya saya cuekin, mohon maaf #sembahsujud. Yang udah karatan nungguin update, saya juga minta maaaaaf. Saya bukan penulis profesional, jadi masih kebawa mood terus #alesan. Yang kecewa karena jalan ceritanya berakhir dengan nggak elit, well… #sweatdrop nggak tahu deh mesti gimana. Saya nggak bisa membahagiakan kalian satu per satu, yang semuanya berbeda selera dan keinginan, dengan ending mengesankan. Saya cuma bisa usahain satu hal, saya menulis chapter terakhir ini dengan sungguh-sungguh dan saya menikmati setiap momennya. Saya harap kalian nggak ngatain saya alay kalau saya ngaku saya sendiri tersipu-sipu selama ngetik chapter ini—sekaligus mengharap-harap juga ada cowok idaman seperti itu di sisi saya #curcol lol.

Kalau masih ada pertanyaan mengenai fiksi satu ini dan pingin cepet-cepet dibales, monggo langsung kirimi saya PM. Kalau tanya direview, entar saya cuekin lama soalnya jarang buka kotak review. Notifikasi emailnya juga dimatikan.

Semoga kalian menikmati proses membaca dan menunggu fiksi ini seperti saya menikmati setiap momen pembuatannya. Nah, sampai jumpa di lain waktu!

Cheers!