Disclaimer: Ngga! Jangan paksa aku! Sumfeehhh ... bukan Mei. Apa sih? Oke-oke, punya Mei deh *ababil* *dibantai*

Warning: AU | Fantasy | Romance | Little bit-Harem | Flashback (perpindahan waktu dan tempat, harap diperhatikan) | Maybe-OOC | misstype | etc

Terima kasih dan selamat membaca kembali ^_^

'...' seseorang yang memasuki pikiran Hinata/telepati.

Italic: Batin.


Previous Chapter:

"Kau tidak tahu apa yang kau hadapi saat kau melihat wujud asliku."

"A-apa?"

"Aku akan mengawasimu, Hyuuga."

Matanya tiba-tiba membelalak saat orang itu menarik kerah seragam sekolahnya hingga mereka sangat dekat. Hidung mereka hampir bersentuhan, bahkan napas orang itu terasa olehnya saat orang itu berkata padanya, "Jangan-mengatakan-apapun-yang-pernah-kau-lihat-pa da-siapapun!"

Ia hanya bisa mengangguk bisu bagai burung hantu yang menyingsing pagi.

.

.

.

Kediaman Hyuuga, Friday, July 6th 2012 6.50 pm.

Hinata memasuki ruang tengah—

"Mungkin kau tidak mengerti arti kata-kataku tempo hari."

Ia menghela napas berat. Ayah sudah menunggunya saat asap dupa di depan figura kakaknya mengudara di rumah, sepertinya Ayah baru saja pulang. Hyuuga Hiashi pulang lebih awal dari perkiraannya. Ia akan menjelaskan kenapa bisa telat seperti ini—

"Sudahlah. Kau lebih baik membersihkan diri dan kita akan bersiap untuk makan malam." Kata Ayah tanpa melihatnya, masih khusyuk berdoa di depan foto Kakaknya.

Ia tahu, orang yang paling sedih akan kepergian Neji bukan hanya dia, Ayah lebih daripada itu. Walau ia tidak pernah melihat Ayah menangis atau terlihat lemah, ia tahu tiga hari lalu Ayah tidak sampai sepuluh menit berada di acara pemakaman Neji untuk menyingkir dari keramaian—mungkin berduka sendiri disuatu tempat. Ayah sangat tertutup.

Ia segera melangkah pada anak tangga kayu menuju lantai dua, saat tiba ia melihat kamar Neji tertutup dan lampunya dimatikan. Bila ia tidak ingat Neji sudah tiada karena Ayah tadi berdoa di depan figura Neji, maka itu terlihat biasa baginya seperti Neji masih hidup. Kakaknya itu tidak terlalu suka kamarnya dinyalakan, paling hanya lampu tidur atau belajar yang dinyalakan. Kebiasaan aneh yang akan membekas selamanya. Ia ingin menyalakan lampu kamar itu sekarang untuk kakaknya. Saat menyentuh gagang pintu kamar itu ternyata terkunci.

Siapa yang menguncinya?

Ayah 'kah? Apa benar barang-barang Kakaknya akan segera dipindahkan ke gudang?

Ia menyerah dan berjalan kembali ke kamarnya yang ada dua kamar dari kamar Neji, kamar disebelah Neji adalah kamar Hanabi; anak bungsu juga adiknya. Ia tidak akan mengatakan apapun tentang Hanabi, adiknya itu—ia tidak tahu adiknya karena mereka begitu berbeda. Mereka seperti orang lain dan akan semakin canggung setelah kematian Neji; ia tidak akan kenal siapapun di rumahnya sendiri.

Segera ia ke kamarnya untuk mandi dan bergantian pakaian karena mereka akan makan malam. Dan kakinya terhenti diambang pintu kamarnya. Ini atau hanya perasaannya, ia melihat bayangan melintas di depan kamar Neji.

Apa ini pengaruh hal aneh tentang orang yang mengancamnya itu dan manusia-bisa-berubah-jadi-anjing-serigala? Atau hanya ilusi? Ha-ha-hantu?

Besshh...

Bulu kuduknya terbangun. Ia segara masuk dan membanting pintu.


London, Inggris, Gang - Red Cloud, Monday, July 1th 2012 8.40 pm [Flashback]

Matanya yang cerah beradaptasi dengan gang sempit serta langit malam di atasnya. Sepatunya sudah berlumpur, jebol dan itu membuatnya agak kesal, ia harus membeli sepatu baru. Ayah baptisnya pasti tidak akan memberinya uang. Kasihan sekali dirinya.

Apa mungkin ia melakukan kerja paruh waktu?

Karena terlalu serius berpikir—yang bukan kebiasaannya—ia pun berhenti di depan bar tua Si Tua Kikir, Kakuzu. Plampang dari kayu yang bertuliskan "Red Cloud" itu sudah lapuk termakan usia dan ditumpuk debu serta sarang laba-laba. Dulu ia pernah berjanji tidak akan masuk ketempat aneh dan menjijikan itu, soalnya banyak berita yang berhembus kalau di sana tempat makhluk yang terbuang—dimana para penjahat terbentuk. Tapi, hanya ini tempat yang mungkin menerima dia yang hanya kaum rendahan dan tidak mungkin kaum bangsawan murni menemukannya. Apalagi baunya ini—Uhh ... pizza basi.

Ah ... orang sepertinya tidak bisa memilih 'kan? Ayolah!

Segera ia melangkah ke bar itu. Lantai kayunya berderit hingga ia berpikir itu akan patah saat ia injak. Ia mendorong pintu bar perlahan dan sisi dalam bar terlihat redup dengan lampu oranye ditengah ruangan. Kau tahu apa yang ia pikirkan tentang bar itu? Itu lebih terlihat seperti Saloon pada jaman koboi. Sangat tua desain-nya.

Saat ia melangkah masuk untuk menuju meja bartender, semua pengunjung bar itu menatapnya seolah dia adalah sarapan lezat Darah Beku. Ia tidak suka ditatap seperti itu, apalagi orang-orang disana begitu menyeramkan. Ia menghampiri bartender tua yang juga pemilik bar itu, ciri khasnya tentu cadar yang menutupi sebagian wajah itu. Kakuzu sedang mangelap botol white wine 1978 ketika ia bertanya, "Benar kau Kakuzu?"

"Mau apa, Nak?"

Apa ia terlihat seperti anak tersesat? Yah, pakaiannya memang lusuh dan wajahnya sedikit kena lumpur saat ia melompat dari pagar di gang sempit tadi, rambutnya yang pirang juga agak tertutup debu saat ia menatap refleksi dirinya di lemari kaca yang memajang beberapa botol anggur.

"Bisakah aku bekerja di sini? Namaku Naruto dan sangat membutuhkan pekerjaan," ia memohon dengan mata birunya. "Aku bisa melakukan apapun. Melayani pengunjung, mengantar minuman, mencuci piring—Apapun!" tambahnya agak memaksa.

Naruto melihat orang itu meletakan kembali botol anggur ke lemari di belakang meja bartender. Ia menunggu dengan kaki kesemutan dan sepertinya ia butuh ke toilet. Semoga toilet disini tidak seburuk pikirannya tentang bar ini. "Tuan Kakuzu—

"Bagaimana kalau pekerjaan lain?"

Ia berkedip beberapa kali. Serius? "Te-tentu!" Apapun itu, untuk sementara ia harus mendapatkan uang. "Apa itu?"

Saat Kakuzu akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya, namun seseorang datang menginterupsi mereka. Orang itu begitu tertutup—secara harfiah. Tidak banyak yang bisa ia lihat dari orang itu kecuali misterius dan mencurigakan, seperti seorang stalker, mungkin memang begitu. Lagipula Naruto tidak ingin menyinggung orang itu, tapi ia sempat beberapa kali melirik dan mencuri dengar percakapan orang itu dengan Kakuzu.

"— ... ya, berikan sekarang."

"Bersabarlah..."

Dan segera ia mengalihkan perhatian pada sloki ditangannya yang ia ambil karena terletak begitu saja disana. Lagipula ia masih dibawah umur untuk meneguk cairan yang katanya dapat membakar leher dengan rasa sepahit obat—benarkah? Ia belum pernah mencobanya, itu kata Ayah Baptisnya saja.

"Hei, Nak?"

"Eh? I-iya?" dimana orang yang misterius tadi?

"Apa yang kau perlukan untuk imbalan?"

Tunggu! Ia benar-benar diterima bekerja? Tapi apa?

Tiba-tiba Kakuzu menarik sesuatu dibawah meja bartender, sebuah kantung berwarna coklat yang berbunyi agak gemerincing saat dilempar dan mendarat pada tangannya yang menangkap dengan mudah. Ini—apa ini uang? Emas?

[End Flashback]


Jepang, Kediaman Hyuuga – Supermarket, Saturday, July 7th 2012 9.20 am

Akhir pekan datang tanpa ia tunggu. Ia sudah tidak menunggunya lagi kali ini. Ayah sudah pergi entah kemana, Hanabi masih mendekam di kamar sejak semalam. Beberapa hari ini Hanabi jarang terlihat atau bahkan makan malam pun jarang muncul, sudah tiga hari kalau tidak salah. Saat sarapan juga. Ayah selalu bilang Hanabi sudah terlebih dahulu sarapan karena ada tugas sekolah dan saat makan malam seperti semalam katanya Hanabi sudah makan di luar lalu langsung tidur.

Ia jadi khawatir. Walaupun hubungan mereka tidaklah dekat seperti hubungannya dengan Neji, bagaimanapun mereka tetap sedarah. Kemungkinan Hanabi sakit membuatnya makin resah, mendekam dikamar seperti ini pun tidak berguna. Biar tidak canggung, mungkin ia akan pura-pura menanyakan arloji peninggalan ibu mereka yang diwariskan kepada Hinata dan sudah hampir seminggu dipinjam Hanabi.

Hinata beringsut turun dari ranjangnya dan meninggalkan kemalasannya diakhir pekan. Mungkin setelah melihat keadaan Hanabi, ia akan ke supermarket membeli persediaan daging yang akhir-akhir ini sering sekali habis.

Setelah keluar dari kamar dengan pakaian hangat karena musim sekarang mudah sekali berubah. Padahal musim panas belum berakhir tapi udara mulai menunjukan gejala musim gugur tiba. Ia mengetuk daun pintu mahoni berwarna merah marun tiga kali.

"Hanabi? Hanabi? Kau di dalam?"

Tidak ada sahutan. Ia mencoba mengetuk lagi.

"Hanabi, kau lihat arloji Ibu? Aku ingin memakainya sebentar." Dan tidak ada sahutan lagi. Ia memutuskan untuk memutar kenop pintu karena khawatir, namun suara gemerisik seperti orang beringsut turun dari ranjang terdengar dari dalam.

"Nanti aku letakan dikamarmu. Aku ngantuk."

"Baiklah." Hinata kasian mendengar suara mengantuk adiknya dari dalam jadi segera saja ia berjalan pergi.

Baru memijaki dua anak tangga untuk turun, ia lupa dengan dompetnya yang ada dikamar. Duh, bagaimana ia bisa membeli sesuatu bila uang tidak bawa?

Segera ia berjalan kembali ke kamarnya dan melihat dompetnya ada di atas meja nakas di samping ranjangnya. Ia tersenyum dan berjalan mendekat untuk meraihnya, namun senyum itu luntur seketika digantikan dengan wajah ketidakpercayaan menemukan arloji berwarna perak warisan ibunya ada disana.

Bagaimana—

Ia menoleh pada dinding pembatas antara kamarnya dan adiknya.

Bagaimana bisa secepat itu? Dan tanpa suara?

.

.

.

.

Ia menyerahkan beberapa lembar uang pada kasir setelah membeli beberapa bahan untuk membuat spaghetti dan makaroni dengan meatball untuk makan siang. Antrian terlihat sepi dibelakangnya, hanya ada satu-dua orang yang berbelanja membuat sang kasir disana menguap beberapa kali dengan wajah malas. Ia memeriksa lagi kantung belanjaannya dan ingat bila ia melupakan keju.

"Sebentar." Ia menitip barang belanjaannya dimeja kasir dan berjalan menuju deks yang berjejer jenis-jenis keju dengan produk yang berbeda-beda setiap barisnya. Ia segera mengambil yang terdekat dan isi kepalanya berdenging lagi.

'Kembali ke meja kasir!'

Itu sakit! Sakuke sepertinya mencoba memasuki pikirannya lagi dengan paksa.

Sial...

'Kau menggerutu?' suara dikepalanya terdengar kesal.

I-itu sakit ... please...

'Cepat pergi atau aku menyeretmu!'

"Pe-pergi..."

"Hah?"

Ia merasa tubuhnya limbung dan siap untuk rasa sakit menghantam lantai, namun ada yang menahannya. Matanya melihat sebuah bahu yang menahannya dan merasakan kedua tangan yang melindunginya.

"Woow ... kau tidak apa-apa?"

"Ti-tidak. Tidak apa-apa." Ia mencoba bangkit dan orang baik hati itu membantunya. "Terima ... ka ... sih?" yah, ia menemukan mata indah biru yang memukau di hadapannya.

"Are you oke?"

"A-aa ... ya."

'Memalukan.'

Berhenti berbicara di kepalaku, Uchiha-san.

"Apa kau yakin?" orang itu sangat menghawatirkannya. Ia saja sampai lupa dengan kejunya yang tergeletak di lantai sampai orang berambut pirang itu mengambilkan untuknya dan mengulurkan itu padanya.

"Terima kasih, tapi aku sudah baik." Ia harus mengakui kalau pria di hadapannya ini tampan, baik lagi.

"Baiklah. Kalau begitu aku duluan," orang itu berbalik dan melambai tanpa melihatnya lagi. Ia penasaran siapa orang itu, sepertinya orang baru disini. Ia berharap bisa mengenalnya bila takdir menemukan mereka kembali.

Dan saat itu juga ia lupa dengan suara Sasuke di kepalanya.

Kemana Sasuke? Pria itu seperti hantu; mudah datang, mudah pergi. Dan memang apa yang perlu dikhawatirkan hingga Sasuke menyuruhnya pergi?

Ia berjalan kembali ke meja kasir dan membayar barang belanjaannya lalu pergi dari tempat itu tanpa menyadari seseorang memperhatikannya dari kejauhan.


Lantai 5, Apartement di tengah kota Konoha, Monday, July 2nd 2012 6.25 am [Flashback]

Sasuke ingat kapan terakhir kali ia mengunjungi apartemen yang kumuh ini; well, ia tidak akan pernah lupa untuk kehidupan panjangnya. Bel sudah ia tekan beberapa kali dan ia sangat tahu bagaimana pemilik apartemen dengan nomor pintu 55 adalah pria pemalas yang pernah ia temui.

Sasuke harus ingat bagaimana wajah malas itu nanti menggerutu atas kedatangannya. Dan prediksinya tidak pernah salah, saat pintu terbuka pria yang ia kenali sebagai Hatake Kakashi menggaruk-garuk kepala yang melawan gravitasi dengan wajah malas yang tak urung pergi.

"Ternyata ledakan energi waktu itu tidak salah lagi; kau ternyata. Sial." Hatake terakhir tidak cukup terkejut, malah mengusap rambut perak itu dan membawanya masuk. Cukup aneh. Bayangkan, teman sekelasmu yang dulu berdiri dihadapanmu dengan wajah yang sama dan tidak berubah. Ia akan berpikir dua kali bila jadi Hatake untuk bersikap sesantai itu.

Ia mengikuti Hatake masuk dan tidak terkejut betapa berantakannya ruangan itu. Ia tidak repot-repot untuk duduk di sofa penuh majalah playboy dan cup ramen, berdiri lebih sehat dibanding duduk di kandang tikus itu.

"Sorry sedikit berantakan."

"Itu tidak pernah jadi masalahmu, 'kan. Sudahlah."

"Hanya berusaha sopan." Hatake menarik dua kursi di dekat counter dapur untuk mereka. "Duduklah."

"Mau minum?"

"Hatake."

"Oke-oke, kau tidak mau basa-basi padahal aku sudah cukup baik menerima tamu di pagi-pagi seperti ini. Kau masih sama, bahkan masih bocah."

"Kau tahu aku, Hatake."

"Well, apa yang ingin kau tahu, Sasuke?" Hatake menumpu sebelah kakinya pada kaki yang lain dan bersandar disandaran kursi.

"Katakan apa yang kau dengar waktu itu."

"Yah, itu sudah sangat lama dan aku lupa."

"Liar."

"Sasuke, aku sudah tua."

"Kau hanya 30."

Hatake tergelak dengan ucapannya, "37 tepatnya."

"Aku tidak membayar untuk itu, Brengsek!" tingkat menyebalkan Hatake meningkat dari yang ia tahu dulu, apalagi tawa Hatake lebih keras sekarang.

"Ini lucu ... kau kembali menjadi si Pemarah. Kukira kau akan memakai wajah sombong itu terus. Hahaha..."

"Tertidur bertahun-tahun tidak akan menyenangkan, Bodoh!" Ia melipat tangan di dadanya. "Jadi katakan apa yang—

"Tunggu, kau bilang kau tertidur? Katakan apa yang terjadi!"

"Lain kali."

"Ceritakan dan aku akan mencoba mengingat sebisaku."

Penawaran, heh?

"Licik."

"Coba kita lihat," Hatake mempersiapkan diri untuk mendengarkan apa yang akan keluar dari mulutnya.

"Kau yang memaksa kalau begitu," ia menceritakan apa yang terjadi 20 tahun yang lalu, tepatnya terakhir kali mereka bertemu. Ia melewatkan beberapa bagian riskan dan melompat pada bagian dimana ia tertangkap, "Mereka menangkapku saat mencari-'nya' di daerah Suna, mengambil darahku dan yang aku ingat sudah terbangun disebuah peti batu tertimbun pasir, di tengah gurun. Dan aku tidak akan lupa bagaimana kau lari." Ia mengejek Hatake sekarang.

"Aku manusia, Sasuke." Suara itu amat pelan.

"Dan kau membicarakan jenis," ia melihat jauh kebelakang Hatake. Sunyi mendadak ini tidak menyenangkan secara keseluruhan.

"Oke," Hatake memecah kesunyian dengan suara malas itu dan kembali bersandar pada kursi, "Aku akan memberitahumu. Bahwa kau adalah—

Sasuke tidak bisa menghentikan ekspresi yang bergerak diwajahnya saat Hatake mengatakan apa dia dan bagaimana hal ini bisa terjadi. Mereka 17 tahun dulu (hanya Hatake) dan pergi ke Suna untuk mencari 'orang itu' namun semuanya berakhir untuk mereka. Mereka diserang, ia menghadapi mereka sendirian dan Hatake berlari menjauh meninggalkannya dengan 10 orang makhluk aneh berjubah abu-abu kasar dengan sorban yang menutupi kepala mereka. Mereka bukan manusia dan ia berakhir dengan dipendam dalam piramid bagai mumi. Lalu Hatake—

Apa yang terjadi padanya?

"Hanya itu yang aku dengar, Sasuke." Tatapan Hatake berubah gelap mendekati akhir cerita, "Karena setelahnya,

—aku bukan Hatake lagi."

.

.

.

.

Konoha High School, Friday, July 6th 2012 4.30 pm

Ini sudah lewat setengah jam dari jam pulang siswa namun ia masih melangkah di lorong sepi di lantai 3 sekolah itu. Ia sudah menunggu cukup lama untuk menunggu semua pulang (yah mungkin hanya tersisa beberapa guru) untuk memasuki ruang staff guru. Menemui orang bodoh yang berkata ini tidak akan lama. Tapi ketika ia membuka pintu, betapa tidak senonohnya gambaran dihadapannya.

"Kau bisa mengetuk agar aku membereskan ini," Hatake mengelap cairan merah di wajah yang sudah tidak tertutup masker dengan sapu tangan. Hatake juga dengan baik hati membersihkan korban itu.

Ia mendesah, "Bukan urusanku. Tapi ... apa yang kau lakukan?" Sasuke penasaran juga.

"Apa yang kau lakukan selama ini Sasuke? Tidur?" ledekan garing Hatake membuatnya jengkel. "Ini prosedur." Hatake menyelipkan tangannya dibawah leher dan tumit wanita itu untuk dibawa kesebuah sofa dipojokan.

"Prosedur?"

Hatake menatap sejenak wanita yang berada ditangannya sendiri; seorang wanita cantik yang lebih cantik bila wanita itu lebih sopan saat terbangun. "Memanipulasi ingatannya (wanita itu) untuk tujuanmu, 'kan?"

"Apa ia akan menjadi sepertimu bila kau gigit?"

"Hm, aku tidak sehebat itu, aku bukan kalangan alfa. Aku masih punya rasa manusiawi untuk mati."

Sasuke terdiam.

"Memberi sedikit pertolongan untuk rasa bersalah." Hatake masih membelakanginya setelah meletakan wanita dengan rambut pendek gelap itu. Cahaya sore datang dari jendela sedang disamping mereka. Kesunyian menghanyutkan mereka.

"Jadi," Hatake menoleh dan ia melihat seringai meledek Hatake, "Bersenang-senanglah dengan kelas barumu senin nanti dan ... gadismu?"

"Bodoh."

"Bukankah benar? Aku selalu berpikir kau gay sebelumnya, tapi melihat apa yang kau minta kemarin padaku untuk masuk ke sekolah ini, aku berubah pikiran."

Sasuke tidak menanggapinya kali ini, pikirannya teralih dengan penglihatannya akan seorang gadis yang tidak henti-hentinya melanggar apa yang ia peringati. Ia bingung, apa gadis ini bodoh atau memang sangat pembangkang?

"Ada apa?" Hatake menyadari kernyitan yang terjadi padanya.

"Aku harus pergi dan sepertinya wanita disana sudah terjaga."

"Baiklah."

Ia pergi secepat yang ia bisa dengan meninggalkan dua orang di belakangnya.

"Sudah baikan, Anko-sensei?"

"A-apa yang terjadi?"

[End Flashback]


Gang – Jalan – Depan Kediaman Hyuuga, Saturday, July 7th 2012 11.30 am

Entah bakat atau ini sejak awal memang kesialannya untuk terjebak pada situasi yang sama seperti beberapa hari belakangan ini. Tapi bukan maksud hati juga menjerit dan memanggil nama Uchiha Sasuke serta berharap muncul seperti kemarin untuk menolongnya. Bukan, ia hanya TAKUT!

"Hei Nona, tidak perlu menangis seperti itu. Pacarmu tidak akan datang, pula."

Hinata tidak punya waktu untuk meralat bajingan pertama yang mencoba menyentuhnya tentang Sasuke adalah pacarnya. Mereka hanya kebetulan terperangkap dalam masalah yang tidak ia mengerti. Ia akan sangat berharap untuk tidak memiliki kepedulian waktu itu untuk mengejar Sasuke kedalam rumah sakit bila akhir-akhirnya ia harus menghadapi masalah seperti ini.

Ini tengah hari dan pemikirannya tadi untuk memutar jalan yang lebih jauh, karena tidak ingin bertemu atau melewati tempat mandor pembangunan kemarin, ternyata salah. Niatannya salah karena jalan yang ia lewati ternyata lebih rawan perampokan dan pemerkosaan. Sial, bukan?

"Bi-biarkan aku ... pergi...," ia tidak bisa menghilangkan nada ketakutannya.

"Dan melewatkan kesenangan bersama kami? Jangan bercanda, Sayang!" bajingan lain mencoba mendekat.

Tawa jahat mereka membuatnya makin menangis dalam ketakutan, melupakan barang-barangnya yang terhampar di aspal dan terinjak tidak berbentuk lagi. Ia memejamkan mata dan makin erat ketika tawa serta kata-kata kotor dari para bajingan mengisi telingannya. Ia bisa merasakan salah satu dari mereka menyetuh lengannya sampai bajingan yang menyentuhnya terdengar mengutuk akan sesuatu yang tidak menyenangkan yang baru terjadi, hingga suara-suara menyakitkan terdengar dan suara 'bag-buk-krak' mengakhiri suara-suara yang lain.

Hinata tidak mendapatkan serangan memberanikan membuka mata dan betapa terkejutnya para bajingan yang mencoba merenggut kesuciannya terbaring di lantai dengan satu orang terakhir berdiri di sana. Satu orang yang ia sebut namanya.

.

.

.

.

Dipikiran Hinata hanya keinginan untuk mengucapkan terima kasih, namun rasanya sulit sekali apalagi Sasuke yang berjalan di depannya—membuatnya hanya bisa menatap punggung lebar itu. Sudah terhitung tiga kali Sasuke menyelamatkannya dan itu semakin membuatnya takut, tapi disisi lain menyesal.

Kami, apa yang harus ia lakukan?

Dia bukan manusia yang sangat baik, pula. Terkadang ia takut, tidak, dia memang penakut, tapi ia tidak diajarkan untuk menjadi orang yang tidak tahu diri. Maka ia berjalan agak cepat, bayangan bangunan disekitar mereka menghalangi panasnya matahari. Ia memberanikan diri meraih ujung kaus strip Sasuke dengan pandangan menatap sepatu.

Mereka berhenti di tengah jalan yang sepi.

Ia merasakan Sasuke bergerak dan berbalik kearahnya, mengambil tangannya untuk lepas dari tarikan di kaus itu. "Aku tidak sedang memasuki pikiranmu. Jadi, katakan apa yang ingin kau sampaikan."

Ia mengangkat wajahnya dan menatap wajah itu lagi ketika suara dingin itu berbicara. Wajah ketidakpedulian, dingin dan ... kosong, memang benar di hadapannya ini bukan manusia. Tapi...

"A-arigatou ... Uchiha-san."

"Bukan urusanku. Ayo!"

Sasuke sudah berbalik dan mendahuluinya lagi. Ia berlari-lari kecil untuk menyusul Sasuke dan tersenyum diam-diam; ia lega.

Ternyata...

Sasuke itu baik.

.

.

.

.

Mereka sudah dekat dengan rumahnya. Ia akan mengajak Sasuke masuk untuk ucapan terima kasih, namun mereka terhenti beberapa meter dari gerbang rumahnya karena seseorang berdiri di sana. Hinata tampak terkejut dengan hal itu. Orang disana tidak asing—setidaknya setelah insiden di supermarket tadi.

"Hei! Kau yang tadi, kan?" sepertinya sapaan Hinata terlalu mengejutkan bagi orang itu hingga tersentak.

"Oh! Ya!"

"Maaf mengejutkanmu."

"Tidak, tidak masalah." Orang itu tersenyum lalu melirik pada orang disampingnya.

Tuhan, dia hampir melupakan Sasuke!

Ia menoleh pada Sasuke dan menawarkan untuk mampir tapi Sasuke hanya menyerngit tidak suka. Seperti dia mencium sesuatu yang dapat merusak inderanya.

"Ada apa?"

"Busuk..."

Hinata hanya meng-"Hah?" kan karena tidak yakin suara bisikan Sasuke. Apa? Apa yang salah?

"Aku harus pergi."

Sasuke tidak menunggu persetujuannya dan langsung berlalu dari mereka.

Haruskah seperti itu? Sasuke selalu pergi sebelum ia bisa berbuat sedikit kebaikan untuk membalasnya. Ia hanya bisa melihat dia pergi dengan langkah lebar dan pasti. Berpikir bahwa Sasuke sama seperti anak laki-laki pada umunya, bukan sesuatu yang ia takutkan—gelap, hitam dan menghantui mimpinya.

"Hallo~"

"Eh? Euumm ... maaf."

"Pacarmu? Apa aku mengganggu?"

"Bukan. Tidak sebenarnya." Lalu Hinata ingat sesuatu, "Oh iya, sedang apa di depan rumahku?"

"Serious?" orang berlogat british itu mendekatkan wajah padanya dengan mata berbinar-binar.

"A-apa?"

"Akhirnya aku menemukanmu!"

Hinata bertanya-tanya. Sebenarnya, siapa orang ini.

To be Continued...

Next chapter:

"Jadi, kau dari London?"

"Hum!"

.

"Hanabi, kau sakit?"

"Kini kau peduli?! Ceh, pikirkan saja Neji!"

Brak!

.

"Hanya berpikir apa yang kau lakukan. Orang-orang bodoh sepertimu—"

"Kembalilah kepada realitas!"

"Persetan!"

"S-Sasuke!"

.

Oke, segitu aja spoil-nya. Sorry banget lama, dan aku harap ini cukup jelas.

Tentang Kakashi, kalian bisa menebak apa dia. Dan kenapa ia juga tua setelah menjadi "sesuatu" itu, karena dia berkata "Aku masih punya rasa manusiawi untuk mati" jadi dia tetap menua. Dan aku masih memikirkan apa Sasuke, jadi jangan menarik kesimpulan kalau Sasuke sama seperti apa Kakashi. Hehe ... itu aja.

Thanks to:arisa. iwakura .7 (Fans Big Bang? Wah ... ternyata banyak juga. Haha. Kau belum tahu siapa dia sih #tunjukSiAlgojo. Umm sorry ngga bisa memenuhi harapanmu dan yg lain :")), vita (Haha kau boleh istrinya, aku gulingnya #evillaugh #whatthe :p), keiKo-buu89 (Me too. Kalo deskrip lalu sih iya, tapi kedepannya ngga janji :p), lavenderchia (Yes! Yes! Easy, right? Haha. Thanks), n (Haha iya sama. What? Zetsu? -_-a Hah ... pikirkan yang lebih cakep lagi #dibantaiZetsu), Nyanmaru (Naruto ada kan tadi diatas. Iya, Sasuke kayak di canon. Makasih dan Neji tentu tokoh yang penting juga di fic ini #setidaknyananti), VitaNovita26 (Yo! MV itu keren sampe sekarang. Thanks ya), FP GUDANG FANFIC SasuHina-Indo (Silahkan bila tidak melanggar apapun :)), misha (Udah lanjut :)), saerusa (Makasih, dan aku udah semangat nih :p), nurul. wn (Udah update nih :D), Azalea Ryuzaki (Makasih. Iya, semoga kali ini deskrip-nya lebih bisa dinikmati #alwayshope), RisufuyaYUI (Thanks. Tapi aku masih belajar. Haha... absolutely :D) dan ksatriabawangmerah (Bukan, kakaknya tetap Neji kok).

I have written and you must review my fic, oke? :p #kidding

Apapun, karena aku senang sekarang. Moodku baik lagi :D

See ya...

Mei Anna