A/N : AKHIRNYA THE NEWS MENYENTUH CHAPTER FINAL, KAWAN-KAWAN! XD Gruaaaah! #jeritmacho Gak nyangka pada akhirnya bisa namatin fic petualangan ini jugaa! Ini kecipratan rejeki dari manaaah?! Setelah sebulan lebih otak berkali-kali hangover, cliff-hanger, jatlag atau apapun istilahnya yang bikin saya mendekam seharian di kamar, pusing mikirin masa depan (hoek), akhirnya saya berhasil menyelesaikan fic ini, guys! Bodo amat minggu depan mau ospek dan belum beli barang-barang yang dipesen untuk dibawa ke kampus, yang penting The NEWS berakhir dengan indah dan tenteram! Hahaha! Saatnya ngubek-ubek fandom Free! Heii, RinHaru shipper! Saya dataaang! Haruka sekseh, broh! XD

Eniwei, seneng deh rasanya kalo para reporter aneh bin ajaib ini bisa punya penggemar :'D Terima kasih atas segala review penuh cinta kalian, fave-nya yang tulus dari hati, dan alert-nya yang bikin saya terharu setengah mati! RAPUH CINTA KALIAN! #kecupbanjirsatu-satu Ini saya kasih hadiah ikan karnivora bertanduk punyanya Gilbert!

Disclaimer : Hetalia Axis Powers punyanya Hidekazu Himaruya! Hyaaaah! Papah! XD Makasih karena saya diijinkan untuk mencomot karaktermu satu-satu! Tapi saya nggak ngambil keuntungan dari cerita ini kok, Pah! Tenang aja! #slapped

Warn : Bunny-Plot. Death, death everywhere! Peluru nyungsep dan darah muncrat, OH, YEAH! Dan nggak semua reporter sesarap ini, kok, guys! Muahahah! Words yang kebanyakan. Sedikiiit hint sho-Ai. Dikit aja kok, ah! XD Epilog yang kepanjangan! Gruuaaah! #jeritmacho

Listening to : Natasha Bedingfield – Neon Lights! XD Kalo ada yang tau lagu ini, kalian awesome! Atau minimal pernah dengar di ending What's Your Number. Graaaah! #jeritmacholagi Chris Evans! Dan dan, lagu ini cucok banget di denger pas ending, loh! Anggap aja fic ini punya credit di ending dan dihiasi musiknya. Hahaha! Asoy, broh!


PS : Selamat Hari Raya Idul Fitri bagi yang merayakan! :D


"The NEWS"

By:

RapuTopu

.

Hetalia: Axis Powers

Disclaimer : Hidekazu Himaruya


London, England

Di tengah hiruk pikuk bunyi lesingan senjata layaknya gembor peperangan hebat antar dua negara, Elizaveta Hedervary sang kepala perusahaan senjata ilegal terkemuka di Eropa, berteriak pada anak buahnya yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Sadik! Cepat kejar Gupta!"

Gadis itu tak ingin kehilangan jejaknya.

Sadik mendongak. Di atas sana, sekelompok reporter yang terjebak perang baru saja menjauhkan diri dari suasana tembak-tembakan panas. Terlihat jelas memasuki sebuah pintu paling pojok, terburu-buru. Terkecuali untuk seorang pria albino yang terlihat ogah meninggalkan tempatnya.

Sadik menyipitkan matanya ketika mendapati Gupta juga berada di atas sana. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Sadik tak tinggal diam. Ditinggalkan selama setahun adalah waktu yang lama dan menyesakkan. Baru saja menemukan sosok Gupta setelah sekian lama, Sadik tak mau kehilangan sosoknya lagi. Mumpung bocah itu masih hidup.

Mengabaikan kawanannya yang sibuk menembak, Sadik berlari cepat menuju tangga, menghindari segala seliweran peluru di atas kepalanya. Mengabaikan teriakan kawanannya karena Sadik meninggalkan ajang peperangan. Membiarkan mereka berjuang sendiri sementara ia punya tujuan lain.

Heracles tercengang karena Sadik tiba-tiba melintas tepat di hadapannya. Berlari meninggalkan area kubu Elizaveta. Tanpa banyak bicara, Heracles turut mengejarnya.

.


.

"The NEWS"

Chapter XII

FINAL

Natalia Arlovskaya : Reporter of 'The NEWS'

Gilbert Beilschmidt : Leader of 'The NEWS'

Antonio Fernandez Carriedo : Camera-man of 'The NEWS'

Francis Bonnefoy : Driver of 'The NEWS'

Airlangga Putra Brawijaya : Observator of 'The NEWS'

.


London, England

Bunyi derap kaki yang bergema konstan di dinding-dinding beludru merah tua, menjadi saksi bisu ajang pelarian keempat kru reporter yang berusaha menyelamatkan diri masing-masing.

Lorong yang sepi. Tempat yang tepat untuk beristirahat.

"Pemirsa—haah," Gilbert menunduk sambil memegangi perutnya yang sakit karena dipaksakan berlari. "Akhirnya… kami berhasil menghindar dari suasana tadi." Albino itu menyeka keringatnya. "Ya. Beruntung saja."

"Sekarang kita mau kemana?" Francis bertanya, memecahkan sesi liputan itu dengan wajah gusar dan suara panik.

"Entahlah, aku juga bingung. Aku belum pernah ke sini sebelumnya." sergah Natalia, terlihat sama kelelahannya dengan yang lain. "Ngomong-ngomong toiletnya di mana?"

Dan tepat setelah Natalia mengucapkan sebaris kalimat itu, dari ujung lorong tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki yang ramai. Mengindikasikan sekumpulan orang tengah berlarian di balik dinding ini.

Sebelum mereka sempat mengira, di ujung sana sudah berdiri lima serdadu yang sudah siap dengan pedang mereka masing-masing. Terlihat terkejut karena ternyata masih ada penyusup yang berkeliaran di rumah ini dalam keadaan baik-baik saja. Terlebih di sana ada Gupta, tahanan utama milik Scott Kirkland. Tanpa diperintahkan oleh sang jenderal yang tengah ikut bertarung di luar sana, mereka langsung berlari mengejar keempat reporter itu sambil mengangkat pedang masing-masing.

"Kembali! Kembali!" teriak Gilbert, mengomando teman-temannya.

Setelah beberapa detik menatap kaki tangan Scott Kirkland itu dengan keterkejutan, mereka langsung balik badan. Tapi kali ini lebih parah. Kaki mereka bahkan belum sempat berlari, untuk kedua kalinya mereka terperangah. Tak jauh di depan mereka, enam serdadu lain sudah memblokade jalan dengan senjata yang siap siaga.

Keempat reporter itu mundur perlahan.

"Kenapa mereka ada di mana-mana?" desah Gilbert, kelewat pusing dengan kemunculan pria-pria ini.

Belum sempat dia memikirkan kalimat selanjutnya, seseorang dari kawanan musuh menyerang. Menyadari aksi penyerangan yang dilakukan ditambah gerakan refleks atas insting yang menyala, Antonio dan Francis sempat menghindar. Mundur menghindari terjangan serdadu itu. Alih-alih menghindari, pria berdarah Jerman itu langsung menundukkan tubuhnya, tepat ketika sisi pedang tajam itu akan menebas kepalanya. Tanpa membiarkan serdadu Inggris itu terbingung-bingung akan lenyapnya target utamanya terlebih dahulu, Gilbert langsung menyandung kaki sang prajurit dengan keras.

Tubuh berseragam itu jatuh berdebam ke lantai marmer.

Gilbert buru-buru menyambar pedangnya sebelum serdadu yang mengaduh kesakitan itu keburu bangun.

"Mundur! Aku punya senjata sekarang!"

Gilbert cepat-cepat bangkit sambil mengacungkan pedangnya. Mengancam. Padahal kenyataannya Gilbert sama sekali tak tahu cara menggunakan pedang. Ini hanya kamuflase untuk membuat hati musuh mereka ketar-ketir karena tarnyata—BLAS—target mereka juga tahu cara menggunakan pedang!

"Gil, kelihatannya mereka tak terpengaruh." Antonio berbisik lirih, sementara tangannya sibuk mengarahkan kamera untuk merekam wajah-wajah marah para serdadu itu.

Gilbert balik badan ke arah Antonio dengan wajah lelah. "Tidak terpengaruh apanya?"

"AWAS DI BELAKANGMU!"

Teriakan Francis mengejutkan Gilbert yang sepersekian detik kemudian tersentak kaget karena mendengar bunyi hantaman keras pada dinding di belakangnya yang membuat permukaan itu bergetar pelan. Di belakangnya, wanita Belarus yang ia kenal bernama Natalia Arlovskaya, reporter gila yang kelewat brutal untuk ukuran seorang perempuan, baru saja menubruk keras tubuh seorang serdadu, membuatnya menghantam kuat dinding kemudian tersungkur tak sadarkan diri. Diduga serdadu itu hendak menyerangnya, namun Natalia keburu menyadarinya dan menyerang orang itu duluan sebelum sempat melukai Gilbert.

Gilbert menganga dalam keterperangahan hebat.

"Nat," bisiknya lirih. "Kau ini wanita atau bukan?"

Namun tak ada jawaban dari pertanyaan itu selain geraman marah. Natalia mengontrol napasnya yang emosi sambil menatap sekitarnya dengan kilat mata berapi-api.

"SIAPA LAGI YANG MAU TERLUKA?"


.

Ned melompat ketika pipa air sepanjang dua meter itu menghujam dalam kecepatan jet, nyaris menghancurkan tempurung kepalanya dalam sekali pukulan. Kehancuran yang disebabkan pipa itu mampu membuat dinding rumah Kirkland berlubang besar.

Mata Ned melebar melihat pipa besi karatan yang melintang di depannya, kini ditarik dalam gerakan lambat.

"Sayang sekali, da."

Ivan Braginski kembali tersenyum ceria, sambil mengangkat pipa itu tinggi-tinggi ke udara setelah benda itu tercabut sepenuhnya. Satu pukulan lagi saja untuk sang pria Belanda. Lalu darah akan muncrat ke mana-mana. Indahnya.

Ned cepat-cepat meraih senapannya, mengokangnya, dan mengarahkannya tepat ke jidat sang pria Uni Soviet dengan mata berkilat-kilat marah. "Jangan. Berani-berani. Melakukan itu." ucapnya penuh penekanan.

Ivan seolah-olah menulikan telinganya. Pipa seberat potongan kaki jerapah itu lagi menebas cepat, nyaris memotong leher Ned untuk kedua kalinya, jika Ned tidak buru-buru menunduk.

"Jadi pemuda Indonesia itu menolong adiknya, da?" tanya Ivan, menghentikan gerakannya karena lagi-lagi pipa itu menggerus dinding, tersangkut amat dalam disana.

Ned berusaha mengontrol napasnya sesaat karena beberapa detik yang lalu kepalanya nyaris terpisah dari tubuh. Beruntung ia dianugerahi kepekaan yang kuat.

Ned menggeram. "Ya! Dan aku takkan membiarkanmu menghalanginya!"

Ya. Saat ini di belakangnya, di balik pintu kayu besar yang kini terbuka setengah karena beberapa saat yang lalu Ned memaksa Airlangga untuk masuk ke sana, terdapat seorang pemuda Indonesia yang berusaha menemukan adiknya di tengah gelapnya ruangan.

"Rayan!" panggil Airlangga, berteriak di tengah kegelapan. Tangannya meraba-raba permukaan dinding kemudian menemukan saklar lampu dan langsung menyalakannya.

Airlangga terperangah karena sedetik kemudian yang ia dapati adalah, ruangan itu kosong.

Belum sempat keterpanaan Airlangga berlanjut, selanjutnya terdengar bunyi gemeretak kayu dari arah pintu disusul tubuh Ned yang terlempar ke dalam ruangan. Kepanikan seketika menyelimuti Airlangga ketika mendapati darah segar mengalir dari kening orang itu. Panik luar biasa, Airlangga menghampiri orang tersebut.

"Ned!" jerit Airlangga.

Ned mengusir debu-debu yang berterbangan di wajahnya sambil terbatuk-batuk. Dipandanginya Airlangga kemudian berkata dengan suara serak. "Pergilah. Cari adikmu."

Airlangga terpengerah beberapa detik, sebelum mendengar bunyi teriakan yang panjang dari dinding kosong di sebelahnya.

"Airlanggaa!"

Orang yang disebut namanya menoleh cepat. Airlangga terdiam beberapa saat. Dia hapal benar suara itu. Itu suara Rayan! Tapi, di mana dia?

Bunyi pintu yang diterjang, bersamaan dengan terbangnya kayu—yang semula berfungsi sebagai sekat dua ruangan sepanjang dua meter—itu terlempar dalam ruangan, menabrak meja kayu yang berada di dalamnya, hancur lebur seketika dalam wujud berkeping-keping, menghadirkan sosok Ivan yang tengah berdiri di sana dengan senyum bahagia yang misterius.

"Ternyata ada satu orang lagi, da."

Matanya menatap ramah pada sosok Airlangga yang berdiri ketakutan di sebelah perapian kecil yang padam. Memangku punggung Ned dengan tangannya sendiri. Rasanya pasti menyenangkan sekali ketika menancapkan ujung pipa ini ke tempurungnya. Melihat dagingnya terkorek amat dalam kemudian mengucurkan darah merah pekat yang indah. Melihatnya mati perlahan-lahan dengan raut wajah yang belum siap menerima kematian.

Rasanya pasti menyenangkan sekali...

Otot-otot Airlangga terasa kaku ketika tubuh besar itu perlahan-lahan berjalan ke arahnya. Sementara di tengah-tengah ruangan Ned bahkan kesulitan untuk berdiri. Ia mengerang memegangi kepalanya yang kian terasa sakit.

Ivan benar-benar terlihat tak sabar ingin menyiksanya lagi.

Namun, baru saja Ivan hendak melangkah, Ned kemudian mengangkat tangannya, mengacungkan sebilah senapan usang ke wajah sang pria Russia.

Ketika langkah pertama tercipta, sebuah tembakan telak di kepala berhasil menjatuhkan sosok bertubuh besar. Bekas luka kecil menganga jelas di bagian jidat, masih mengucurkan darah. Sementara matanya masih terbuka lebar. Tubuhnya limbung, kemudian terjerembab ke lantai. Tak berkedip. Tak bergerak. Pipanya jatuh berdenting, terlepas dari genggamannya, bergulir pelan ke samping.

Ivan tertembak. Dia sudah mati.

Segalanya terjadi begitu cepat hingga Airlangga rasanya baru saja berpindah ke dunia lain. Tahu-tahu orang itu sudah mati tak bernyawa. Airlangga bertanya-tanya darimana asalnya peluru itu, tepat ketika matanya tertuju pada ujung senapan Ned yang berasap.

Ned memandanginya dengan tatapan lelah. Diturunkan perlahan shotgun itu. Membiarkannya terjatuh ke lantai. Ia mendudukkan tubuhnya untuk mengistirahatkan sendi-sendinya yang lelah.

Airlangga tak mampu berkata-kata.

Ned terkekeh pelan. "Yah... Ini pertama kalinya bagiku untuk benar-benar membunuh orang sesuai keinginanku sendiri."

Suasana canggung tercipta karena ia melihat Airlangga diam saja. Menatapnya terperangah tanpa sepatahkatapun keluar dari dua bibirnya. Ned menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf membiarkanmu untuk melihat—"

Kalimat penyesalan itu terpotong karena detik berikutnya Airlangga menerjang Ned dalam sebuah pelukan erat. Ned dapat merasakan kepala Airlangga yang dibenamkan di dadanya, menciptakan efek kehangatan yang menyenangkan. Ia dapat merasakan rambut berantakan Airlangga—yang selalu terlihat berantakan semenjak mereka pertama kali bertemu—menggelitik dagunya. Bersamaan dengan sepuluh jari yang mencengkeram kuat jas di bagian punggungnya.

"Terima kasih..." Suara Airlangga terdengar bergetar. Ia tak sanggup mengutarakan kalimat selanjutnya yang mungkin akan terdengar memalukan jika disampaikan langsung. Ia benar-benar mengucapkan kalimat ini sungguh-sungguh, tulus dari hati.

Jujur, beberapa saat yang lalu ia benar-benar takut. Ia takut tak bisa menyelamatkan adiknya. Dia sudah lelah luar biasa. Dia takut tak bisa menyelamatkan adiknya seorang diri.

Untuk pertama kali seumur hidupnya, Airlangga merasa amat sangat bersyukur karena Ned berada di dekatnya.


.

"Tunduk, Francis!"

Bersamaan dengan merunduknya kepala Francis, Natalia memukul wajah seorang serdadu yang hendak menyerang Francis dari belakang.

Sementara di sebelahnya, Gilbert tengah beradu pedang dengan beberapa serdadu lain. "Pemirsa!" Gilbert langsung melintangkan pedang itu di atas kepalanya ketika sebuah pedang lain hendak menggilas habis rambutnya. "Faktanya adalah, rumah Kirkland ini benar-benar ramai. Sebanding dengan kemegahan rumahnya yang luar biasa luas!"

Cting!

Gilbert terdiam ketika pedang itu kemudian terlempar ke sampingnya, terjatuh ke lantai, ketika sebuah pedang lain berhasil menyabetnya dengan lihai. Ia menatap tangannya yang kosong. Terbengong-bengong.

Kini ia tak punya senjata lagi.

"Oh, tidak. Kelihatannya ini adalah hal yang buruk, pemirsa."desis Gilbert dengan wajah yang sengaja dibuat horor, pada Antonio yang kini berdiri diam di dinding, menghindari adegan pukul-memukul, malah sibuk merekam kedatangan serdadu-serdadu yang terus menyerang mereka, dengan Gupta tepat di sebelahnya.

"Di belakangmu, Nat!"

Gilbert memegang pinggang Natalia dengan kedua tangannya, kemudian mengangkat gadis itu tinggi-tinggi, melayangkan tubuhnya ke udara agar Natalia bisa menendang dua pria di belakangnya dalam tendangan telak.

Natalia mengeratkan pegangannya pada bahu Gilbert ketika pria itu kemudian menurunkan tubuhnya ke lantai. "Terima kasih!" sahutnya.

"Selalu!"

Antonio tersenyum ceria pada Gupta yang masih terlihat syok. "Tenang saja. Kami sudah biasa menghadapi ini setiap hari."

Belum sempat menanggapi perkataan Antonio, Gupta tersentak ketika mendapati seorang serdadu hendak menyerangnya dari samping, namun—bahkan sebelum Gupta sempat berteriak—tiba-tiba tubuh itu tersungkur jatuh karena sebuah belati menancap di pahanya, yang seketika mengucurkan darah segar. Serdadu berseragam hijau gelap itu terduduk di lantai, berteriak kesakitan.

Suara Natalia yang berbicara tiba-tiba mengagetkan Gupta. Melihatnya wanita itu kini tengah berbicara dengan seorang serdadu yang baru saja menjadi target pisaunya. Dengan mata berkilat marah dan suara berdesis tajam, dia berkata, "Itu adalah pisau kesayanganku. Kau beruntung mendapatkannya." ujarnya ketus pada serdadu itu.

"Mereka makin banyak, Gil! Kita takkan bisa melawan semuanya!" jerit Francis, yang kini sibuk mengambil vas-vas bunga kecil, memecahkan benda itu ke kepala serdadu-serdadu yang berada di sekitarnya.

"Tak bisa? Ha! Jangan bercanda!" pekik Gilbert.

Detik berikutnya, jumlah serdadu yang datang kian banyak. Pedang-pedang besi mengkilat yang teracung tegas kian mengepung mereka. Keempat reporter itu seketika terkurung dalam satu area kecil di mana hanya ada mereka dan Gupta.

Puluhan pedang itu mengacung lurus tepat di depan wajah-wajah mereka. Memberi kesan ancaman yang kuat.

Gilbert mundur perlahan sambil mengira-ngira jarak langkahnya ke belakang, ketika ujung pedang di depannya nyaris menyentuh hidungnya. Tubuhnya menabrak Antonio yang berdiri di balik punggung.

"Nah, sekarang, apa rencanamu, Gil?" tanya Francis sangsi.

"Aku—"

DOR! DOR!

Dua tembakan yang tak diketahui asalnya, menumbangkan dua serdadu yang berdiri di depan Natalia dan Gilbert. Membuat kedua reporter itu bertanya-tanya darimana asalnya.

Sementara para serdadu itu juga sama bingungnya ketika mendapati dua anggota mereka tumbang dengan bekas luka kecil di dada kiri, mengucurkan darah segar. Mati tiba-tiba begitu saja dengan luka tembakan di dada kiri.

DOR! DOR! DOR!

Kali ini tembakan-tembakan lain kembali terdengar dan menumbangkan sejumlah serdadu lain. Yang seketika membuat para serdadu-serdadu lain yang masih hidup menyebar meninggalkan titik kumpul sebelumnya, berpencar. Namun, hal itu justru mempermudah sang penembak yang terbantu karena target mereka kini terlihat jelas. Tak bergerombol lagi.

Gilbert berseru penuh semangat, "Oooh! Ternyata kita kedatangan tamu baru, pemirsa! Lihatlah dua orang pemuda itu! Datang tak diundang dan tahu-tahu menolong kami! Awesome!"

Sadik Annan membuang Barettanya yang kehabisan stok peluru. Mengisi ulang jelas membutuhkan waktu yang lama. Lagipula ia masih menyimpan pistol lain di saku kirinya. Masih tersisa dua puluh orang lagi.

"Hei, mas-mas yang di sana! Bisa kemari sebentar untuk diwawancarai?"

Sadik tak menanggapi pertanyaan aneh Gilbert. Ia kembali menembaki beberapa serdadu yang berlarian, hendak menerjang mereka.

Tembakan-tembakan lain kembali terdengar, berikut berasal dari pistol Heracles. Terdengar lebih ramai dari sebelumnya. Gilbert bahkan terpaksa menundukkan kepala Natalia sebelum gadis itu terkena peluru nyasar.

"Ap-apa-apaan ini?" jerit Natalia frustasi.

Gilbert tak sempat menjawab karena berikutnya bunyi tembakan yang panjang tanpa jeda terdengar jelas, berkumandang nyaring di koridor, nyaris menulikan pendengarannya, memecahkan setiap vas bunga dan meruntuhkan lukisan-lukisan yang semula melekat di dinding. Hempasan angin terasa amat kencang menerpa wajah keempat reporter itu ketika setiap butiran peluru melesat cepat di depan mereka.

Sepuluh puluh detik yang bergemuruh riuh mendadak sirna menjadi keheningan.

Gilbert membuka matanya perlahan, seketika terperangah ketika mendapati seluruh serdadu itu sudah tumbang di lantai dengan luka tembak di mana-mana. Ada yang memang sudah tewas. Ada juga yang menderita luka di tembak di bagian vital, memohon untuk tak dibunuh. Namun kelihatannya dua penembak itu tak ingin lagi melakukan penyerangan lebih lanjut.

Sedetik kemudian, senyum sumringah perlahan-lahan terlukis di wajah sang leader. Detik kemudian, tawa Gilbert meledak di ruangan penuh darah dengan tubuh-tubuh anak buah Kirkland yang bergelimpangan di lantai.

"Luar biasa! Detik-detik yang hebat! Kami baru saja diselamatkan oleh dua pria itu! Bisa kalian lihat? Yang itu!" Gilbert mengarahkan kamera Antonio agar tertuju pada dua sosok pria di ambang lorong. Di mana terdapat pemandangan seorang Sadik dan Heracles yang kembali memasukan pistol ke masing-masing saku mereka.

"Ya. Harus kuakui, sebenarnya ini benar-benar tidak awesome karena…" Gilbert menghentikan kalimatnya sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada ragu-ragu. "biasanya kami yang menyelesaikannya sendiri."

Sadik mengatur napasnya yang terengah. Matanya tak teralihkan dari sosok pemuda Mesir yang meringkuk dalam di antara Francis dan Antonio. Yang mengunci pandangannya seketika dengan raut wajahnya yang memelas; yang selalu terpartri jelas di otaknya ketika mereka bertiga masih berkumpul bersama.

Dengan suara lirih, Sadik menyebutkan namanya, "Gupta…"


.

Airlangga membongkar-bongkar bekas batu bara di perapian dengan panik, menyingkirkan timbunan batu itu, mencari-cari celah—yang dikatakan oleh Ned—tembus menuju ruang disekapnya Rayan.

"Teruslah mencari. Dia pasti ada disana." Ned memerintahkan dengan malas, sementara ia mengusap keningnya yang berdarah dengan sapu tangan Airlangga. "Aku tahu seluk-beluk Kirkland lebih dari yang kau kira."

Airlangga mendengus. Dirinya sudah mencari sejak tadi. Tetapi tak ada yang ia dapatkan selain bau asap perapian yang menyengat dan tangannya yang menghitam. "Kau yakin di sini?"

Tangannya seketika terhenti ketika menjatuhkan sebuah batu yang semula berada di pojok kanan atas, yang seketika memancarkan seberkas cahaya dari dalamnya. Airlangga terdiam sejenak. Mungkinkah?

Entah insting dari mana, tangannya menarik potongan bata yang terlihat aneh sendiri bentuknya. Mencuat ke mana-mana. Ia ragu-ragu. Ia hendak memanggil Ned lagi tapi takut jika pria Belanda itu lagi-lagi akan mengatainya 'bodoh', 'tak punya otak', atau kalimat sindiran sebangsanya yang lain.

Sedetik setelah bata itu bergeser, lemari buku di dinding sebelah kirinya bergetar, menghasilkan bunyi gemuruh yang samar di ruangan itu.

Airlangga keluar dari perapian kemudian memandangi sekitarnya dengan pandangan bingung. Apa tadi ia melakukan hal yang salah?

Tetapi sedetik kemudian ia mendapati rak buku itu bergerak, tepatnya berputar perlahan, membuka sebuah jalan menuju jalan menuju ruangan lain.

Matanya mengerut bingung, namun kakinya tergoda untuk berjalan perlahan ke ruangan yang terang benderang di sebelah sana.

Ia berdiri mematung memandangi pintu yang kini tercipta tepat di depan wajahnya.

Dengan keragu-raguan yang memuncak, Airlangga berjalan perlahan masuk ke dalamnya.

Tepat ketika kakinya menapak di permukaan lantai kayu yang dipoles di ruangan baru itu, tubuhnya menegang ketika mendapati sesosok pemuda lain. Yang berambut hitam sama sepertinya, dengan mata hitam yang sama sepertinya, duduk terikat dengan darah tercetak jelas di bajunya, dengan bekas bulir-bulir air mata di wajahnya.

Airlangga bahkan tak ingat lagi ketika kemudian kakinya berlari mengejar sosok itu. Melepaskan ikatan demi ikatan begitu cepat. Dengan wajah panik luar biasa.

Beberapa saat kemudian lilitan tali itu terjatuh ke lantai, membebaskan sandera yang semula terikat disana. Tangannya berusaha menyingkirkan tali-tali yang masih menempel dengan cepat, ingin cepat-cepat mengalungkan tangan di leher saudara kandungnya.

Sesaat setelah Rayan terbebas dari ikatannya, Airlangga langsung menerjang pemuda itu dalam pelukan erat. Begitu kencang sampai-sampai Rayan kesulitan bernapas. Airlangga tak peduli saat ini ia hampir menangis bahkan menjeritkan rasa kesenangan.

Dia tak peduli nantinya Rayan akan mencemoohnya. Tak peduli jika Rayan akan menceritakan ekspersi kelegaannya ini dengan nada meledek pada adik-adiknya yang lain, seperti biasanya. Ia bahkan tak peduli jika saat ini Rayan akan merasa terganggu dengan tingkahnya yang berlebihan.

Ia tak peduli apapun yang terjadi, asalkan Rayan selamat.

Di belakang sana, Ned berdiri di ambang pintu rahasia. Berdiri tanpa suara dengan bahu yang ia sandarkan pada bingkai pintu. Merasa ikut bahagia dengan berhasil ditemukannya Rayan. Kini Airlangga pasti lega luar biasa. Misinya berhasil. Ned bisa merasakan hal yang sama. Rasanya pasti bahagia sekali jika berhasil menemukan adik yang diculik seperti ini. Terlebih menemukannya dalam keadaan cukup baik. Tidak terlalu parah juga.

Sejenak ia terdiam.

Tak terasa sudah sejauh ini waktu yang ia habiskan bersama Airlangga. Jam demi jam. Hari demi hari. Pertengkaran demi pertengkaran. Hinaan. Cemoohan. Sindiran. Makian.

Kini, sekarang ia harus pergi.

Pergi dan membiarkan pemuda Asia itu kembali ke kehidupannya yang normal.

Ya.

Tapi setelah pemuda berambut berantakan itu membantunya dalam misi terakhirnya, alasan utamanya yang membuat Ned terpaksa menculik pemuda itu.

Ned terdiam sejenak. Memandangi pemandangan dua pemuda Asia yang sibuk mengencangkan pelukan sambil menyerukan nama masing-masing dengan kebahagiaan tak terkira.

Kakak yang bertemu dengan adiknya.

Saat ini hanya satu sosok wanita yang melintas di otaknya.


.

Gedung Kirkland riuh dengan bunyi tembakan dan teriakan. Rumah megah yang berdiri kokoh di tengah-tengah hutan itu menjadi ajang gladiator dalam ruang tertutup. Tak akan ada yang menyadari kejadian yang sebenarnya terjadi di rumah itu, kecuali mereka yang terlibat di dalamnya.

Beberapa pelayan seperti tukang kebun dan koki berlarian panik keluar melalui pintu belakang. Merasa tak aman jika terus-terusan berada di rumah itu.

Mereka sembunyi di balik semak-semak untuk menunggu waktu yang aman.

Semula kelima pelayan itu merasa aman dengan menyembunyikan diri di balik dedaunan, sebelum sebuah materi yang keras dan dingin menempel di batok kepala mereka, diiringi dengan bunyi pelatuk yang ditarik, bersamaan dengan hembusan napas di sebelah telinga mereka, sebuah suara yang berat dan penuh peringatan.

"Tunjukkan kami di mana Allistor Kirkland berada."

Lovino, sang petugas kepolisian, memberi ancaman dengan pistolnya. Sebetulnya ancaman seperti ini memang tak perlu dilakukan. Tetapi ia terpaksa.

Jika memang informasi yang disampaikan Antonio tadi benar, pencariannya selama ini akhirnya berhasil menemukan titik cerah.

Inilah saatnya.

Penyergapan.


.

Elizaveta sibuk menembaki puluhan serdadu yang berbaris itu dalam wujud tembakan beringas.

Ia ingin menghabisi semuanya. Habis tak bersisa. Terutama menewaskan pria Inggris yang kini tengah berdiri anggun di pojok sana, dengan mata hijau tajam bagai elang.

Tak sabar rasanya ia ingin melubangi tempurung pria itu.

Senapan diarahkan tepat di kepala anak sulung Kirkland. Dibidik dengan begitu tepat. Mumpung saat ini Scott tidak menyadari serangannya. Elizaveta sudah menyiapkan jarinya untuk menarik pelatuk.

Tinggal sedikit lagi kepala pewaris keluarga Kirkland itu tewas dengan bekas luka tembakan di kepala.

Tinggal satu tembakan saja lalu musuh besarnya ini tumbang seketika.

Butuh sedetik saja untuk menarik pelatuk ini dan memusnahkan Kirkland untuk selama-lamanya.

Ya, sedikit lagi—

tepat sebelum tubuh Scott tiba-tiba ditarik ke belakang oleh seseorang berseragam hitam. Menguncinya dalam gerakan kuncian tangan yang rumit sehingga Scott tak bisa kabur. Menyergapnya dengan borgol dan ancaman senapan laras panjang di sekitarnya.

Elizaveta mengerjapkan matanya.

Itu bukan anak buahnya ataupun anak buah Kirkland. Ia memakai topi pengaman. Kacamata hitam. Seragam panjang beserta sarung tangan hitam, bahkan sepatu boot berwarna serupa. Tetapi ada satu materi yang menempel di tubuh orang itu, yang membuat Elizaveta seketika terperangah.

Rompi anti peluru.

Tubuh Elizaveta menegang.

Sedetik kemudian terdengar seru-seruan menggema, bersama bunyi derap kaki yang ramai dan senjata yang dikokang. Elizaveta tergagap melihat kini ruangan itu dipenuhi para polisi, lengkap dengan berbagai materi untuk mengamankan diri dan senjata untuk melumpuhkan lawan.

Elizaveta tak bisa mengelak ketika para polisi itu kemudian mengepung sekelilingnya dengan senjata laras panjang yang sudah siap sedia.

Lovino berdiri di baris depan dengan senapan hitam.

"POLISI! ANGKAT TANGAN SEMUANYA! GEDUNG INI TELAH DIKEPUNG!"


.

Bunyi pintu yang berderak, seketika mengalihkan perhatian Ned. Pandangannya terarah pada sekumpulan polisi berseragam rompi anti peluru yang berdiri berjejer di depan pintu. Lengkap dengan senjata laras panjang yang tertuju lurus pada seisi ruangan, termasuk Ned.

"Polisi! Angkat tangan!"

Berkebalikan dengan para polisi itu, Ned tidak terkejut atau memberikan ekspresi yang berarti, hanya tercengang sesaat. Kenapa bisa ada polisi di tempat seperti ini?

Namun seketika dirinya teringat pada subjek yang ditelepon kameramen The NEWS itu, kemarin. Ah, benar juga. Ditelepon penuh semangat dan dijejali gombalan-gombalan aneh. Tak salah lagi. Orang yang dihubungi sang camera-man berdarah Spanyol itu adalah sang kepala kepolisian. Seorang pemuda Italia yang selalu dibangga-banggakan itu.

Ternyata mereka datang tepat waktu dan di lokasi yang tepat. Hebat juga untuk ukuran polisi muda.

Ned menghela napas. Tak ada lagi gunanya melawan. Toh, ia tak punya alasan untuk membela diri.

"Jadi…" kata Ned malas-malasan. "Kalian mau menangkapku terlebih dahulu... atau menolong dua pemuda yang sedang terluka di dalam sini?"


.

Francis hanya bisa termenung ketika Gupta mengekspresikan kerinduannya pada dua pria tinggi tegap yang barusan menolong mereka, dalam pelukan erat. Jadi, kedua orang itu adalah sahabat Gupta? Orang yang menculik Airlangga?

Natalia tercengang ketika untuk kesekian kalinya kembali bertemu dengan dua sosok pria itu. "Apa kita berjodoh? Kenapa kita selalu bertemu di tempat-tempat tak terduga?"

Antonio sibuk merekam kejadian itu dengan kameranya, sementara Gilbert sibuk berbicara di sebelahnya. "Yah… Beginilah, pemirsa. Pertemuan dua sahabat yang terpisah sekian lama. Mengharukan memang. Tapi tidak awesome rasanya jika saya menitikkan air mata."

Gilbert menoleh ketika mendengar bunyi derap kaki dari ujung lorong bersama bunyi seru-seruan peringatan.

Sedetik kemudian puluhan polisi bersenjata laras panjang, lengkap dengan rompi anti peluru untuk melindungi diri masing-masing, berdiri di ujung koridor, memandangi Gilbert dan kawanannya sejenak.

Jeritan bahagia Antonio membuyarkan lamunan orang disekitarnya.

"Lovinoo~!"

"Bagaimana keadaan kalian? Pasukanku sudah mengepung gedung ini. Kami berhasil menangkap sekelompok—"

Camera-man itu berlari menuju ke arah seorang petugas polisi yang berdiri paling depan, terlihat paling gagah berani dari antara petugas lainnya. Menerjangnya dalam pelukan super erat. Memotong perkataan sang petugas polisi dalam dekapan, menimbun wajah manisnya di dada si pria Spanyol.

"Kau benar-benar datang!" Raut kebahagiaan benar-benar terlukis jelas di wajahnya. Merasa senang karena orang yang dihubunginya tadi benar-benar datang.

Namun jeritan kebahagiaan itu hanya direspon oleh jeritan dan makian oleh subjek yang bersangkutan. "Heh, brengsek! Singkirkan tanganmu dari wajahku! Hei! Menjauh!"

Momen itu diabadikan oleh lensa kamera usang, yang kini tergeletak begitu saja di lantai. Sementara para kru lainnya tak bisa berkata apa-apa selain menatap orang-orang di sekitarnya yang sibuk melepas rindu.

Tepat pada malam bulan purnama itu, sekelompok gembong mafia berhasil ditangkap dengan tuduhan penjualan senjata ilegal dan aksi pembunuhan, juga penculikan. Lengkap dengan sang pemimpin organisasi beserta seluruh anak buahnya, tak terkecuali. Seluruh senjata disita kepolisian dan mereka siap dilemparkan ke meja pengadilan

Di samping itu pula, setiap putra Kirkland yang tersisa, menerima tuduhan penculikan dan tuduhan pemerasan, yang semakin diperkuat dengan penuturan langsung dari Gupta selaku korban penculikan, dijerat pasal berlapis dan mendapat ancaman penjara.

Kini semuanya sudah beres sekarang.

Lalu, bagaimana dengan The NEWS?

Mungkin rekaman terakhir Gilbert di mobil kepolisian Lovino Vargas, yang terpacu laju di sepanjang jalanan London, bersama puluhan mobil polisi lain di belakang yang sibuk menyalakan sirine, menjadi liputan sekaligus penutup dari acara 'Mengejar Penjahat' mereka yang terjadi seminggu belakangan terakhir.

Tujuh hari yang sempurna untuk menangkap dua penjahat sekaligus.

Dan mendapat berita yang tak kalah awesome pula!

Mengabaikan Antonio yang sibuk mengganggu sang polisi muda yang tengah menyetir di sebelahnya, sampai membuat wajah pemuda Italia itu memerah namun disertai marah-marah, Gilbert memegang kamera Antonio kemudian merekam wajahnya sendiri disana, lengkap dengan senyuman cerah dan mata berbinar.

"Inilah akhir dari perjalanan kami, pemirsa! Airlangga berhasil ditemukan dan dua kelompok kriminal berhasil ditangkap! Terimakasih sudah mengikuti aksi-aksi kami selama tujuh hari penuh. Juga bagi siapapun yang terlibat, entah dia penjahat, pelayan, penjual tomat, atau warga lokal, yang menyertai kami berempat dalam misi pengejaran kami hingga saat ini, saya ucapkan terima kasih banyak! Kalian semua awesome! Maaf, aku tak sanggup berkata-kata..." Gilbert tersedak isakan tangis yang ia buat-buat.

"Hanya saja, aku tak percaya bisa mengatakan kalimat ini juga akhirnya."

Gilbert menarik napas sebelum kemudian memantapkan hatinya.

"Demikianlah berita kami, langsung dari London, Inggris! Kami berhasil membawa kru kami yang hilang untuk pulang kembali ke Inggris dalam keadaan selamat! Saya Gilbert Beilshcmidt selaku leader, Natalia Arlovskaya selaku reporter, Antonio Fernandez Carriedo sebagai camera-man, Francis Bonnefoy sang pengemudi, dan observator kami—yang membawa kami hingga ke perjalanan sejauh ini, Airlangga Putra Brawijaya, melaporkan dari tempat kejadian! Terima kasih dan selamat menikmati akhir pekan kalian!"

Blitz.

"GIL! BERHENTI MENGAMBIL BAGIANKU SEBAGAI REPORTER!"

.

.


I—One Month Later

.

Mainz, Germany

"Sekelompok reporter asal Jerman yang tergabung dalam suatu organisasi kecil yang berisikan seorang leader—Gilbert Beilschmidt, reporter—Natalia Arlovskaya, camera-man—Antonio F. Carriedo, seorang supir—Francis Bonnefoy dan seorang pengamat berdarah Indonesia—Airlangga Putra Brawijaya, berhasil menangkap sebuah organisasi penjualan senjata illegal se-Eropa yang dipimpin oleh mantan kepala Hotel de Paris, Elizaveta Hedervary dalam aksi penyergapan pada malam 9 Januari 2013. Bersama dengan itu pula, bangsawan Kirkland sekeluarga juga turut menjadi tersangka atas aksi penculikkan seorang anak saudagar Mesir atas tujuan pemerasan.

Berawal dari pengejaran seorang kru yang diculik oleh segelintir orang tak dikenal, sekelompok kru reporter ini terjebak dalam aksi pengejaran penjahat selama tujuh hari. Berkali-kali terlibat dalam aksi pengerusakan dan vandalisme di sekitar Austria dan Monte-Carlo, yang kemudian diabadikan oleh sang camera-man.

Kini mereka pulang kembali ke Jerman bersama tim kepolisian Italia beserta para kriminal yang tertangkap basah. Pulang dalam rasa bangga dan mendapat penghargaan dari tim kepolisian."

Kamera menyorot ke arah pintu masuk kantor The NEWS, dimana Gilbert adalah orang yang pertama kali keluar dari mobil kepolisian kemudian menerjang adiknya, Ludwig, dalam pelukan erat dan tawa membahana.

Kamera kembali menyorot sang wajah reporter berkacamata.

"Saya, Alfred F. Jones selaku HERO beserta kru yang bertugas, Yao Wang dan Vash Zwingli, dengan bangga, melaporkan langsung dari Jerman dalam liputan eksklusif kami! Selamat siang dan selamat menikmati akhir pekan! Sampai jumpa!"

.

Mainz, Germany

(The NEWS's Office)

Suara sang MC yang membacakan nominasi membuat tiap jantung para peserta berdegup kencang. Semuanya berebut-rebut mengajukan berita terbaik tahun ini. Para reporter yang diketuai oleh Alfred F. Jones itu juga tidak mau kalah. Mereka termasuk kelompok yang mengajukan berita paling banyak. Namun, semua orang tahu, hanya berita terbaiklah yang akan menang. Berita yang alami, murni dari tempat kejadian, tanpa embel-embel pemanis atau fakta-fakta menyimpang. Disajikan lugas lewat kamera dan penuturan sang pembawa berita. Yang benar-benar dialami langsung oleh sang reporter yang terjun langsung ke area kriminal.

"Dan, penghargaan sebagai 'Berita Terbaik' tahun ini jatuh kepada… sekelompok reporter dari The NEWS!"

Gemuruh gegap gempita membahana di ruangan ketika presenter yang kini tengah berdiri di panggung megah berwarna abu-abu cerah dan lantai stainless hitam mengkilat. Mengguncang para tamu hadirin lewat pembacaan hasil pemenang. Tak menjadi kejutan karena semua orang yang pernah melihat rekaman adegan demi adegan lewat kamera Antonio hanya bisa berdecak kagum. Bukan kejutan lagi jika kru reporter itu yang memang pantas memenangkan penghargaan.

"Yang sudah mengguncang dunia lewat berita-berita mereka yang luar biasa!"

Layar lebar seukuran dinding aula sudah terpasang. Proyektor juga sudah dipasang. Lima mic sudah tersedia di depan, cukup untuk masing-masing orang. Menunggu kehadiran kelima reporter yang menggerebek dunia dengan liputan hebat mereka. Sekaligus kriminal dadakan yang kini menjadi pahlawan besar dengan penangkapan dua gembong kriminal besar di Eropa. Sekali mendayung dua-tiga problematika terselesaikan.

Natalia sudah berdiri di depan. Sangat cantik dengan gaun abu-abu gelap beraksen hitam dengan warna putih di ujung gaunnya yang mengembang. Rambutnya tertata rapi. Tak acak-acakan seperti biasanya. Dipermanis dengan hiasan bunga-bunga putih di rambut abu-abunya yang ditata bergelombang.

"Ya. Sayalah yang pertama kali melihat pelaku penculikan Airlangga untuk pertama kali di Hotel Tautermann, Austria. Kemudian saya memanggil Gilbert untuk ikut melihat."

Mic yang berada di depannya memperbesar suara Natalia agar terdengar hingga ke seluruh aula. Membuat beberapa orang terpukau dengan penuturannya. "Dan, maaf untuk beberapa kalimat-kalimat kasar saya di rekaman."

Di belakang gadis itu, tepatnya di selembar layar yang sangat besar, kini tengah memutar beberapa adegan yang direkam langsung oleh kamera Antonio, lengkap dengan Gilbert yang meliput di dekatnya.

Para penonton menarik napas terkejut ketika melihat adegan di mana Gilbert berdiri di atas mobil yang kini tengah melaju kencang, terlihat hendak menjatuhkannya. Anehnya pria itu sama sekali tak menghentikan liputannya di tengah situasi gawat seperti itu.

Antonio, dengan jasnya yang licin dan rambut yang tertata rapi, menyenggol bahu Gilbert ketika adegan itu ditayangkan. "Lihat siapa pahlawan kita."

Bisikannya menggoda Francis yang berada di sebelahnya, tertawa. Ketiganya kini tengah duduk di kursi penonton paling depan, menyaksikan penuturan Natalia yang tengah menceritakan kronologi kejadian.

"Sudahlah! Jelas-jelas aku memang awesome!"

Ludwig yang duduk di sebelahnya berdehem, mengejutkan Gilbert. Seketika membuatnya tersadar jika sedari tadi, adik sekaligus pemimpin perusahaan itu duduk tepat di sebelahnya.

"Hei, kau tahu. Awalnya aku tak percaya kau bisa pulang." gumam Ludwig pelan. Mata biru pemilik kantor The NEWS itu tak henti-hentinya memandangi layar yang menayangkan sejumlah liputan. "Tapi aku lebih tak percaya lagi jika kau bisa membawa berita sehebat ini. Elizaveta adalah dalang semua ini. Aku tak percaya."

Gilbert tertawa keras.

"Hahahaha! Sudah kubilang, kan? Aku pasti pulang! Dan sebagai hadiah karena selama ini kami selalu gagal, aku membawakan sebuah berita untukmu!" sahutnya bersemangat, lengkap dengan bunyi tawanya yang aneh itu. "Dan untuk soal Elizaveta itu. Tenanglah, aku tidak benar-benar membencinya karena kejadian ini. Aku selalu mengunjunginya ke penjara untuk berbincang-bincang. Dia masih sama seperti dulu, kau tahu? Dia bahkan ingin meliput kembali bersamaku setelah bebas nanti!"

Ludwig hanya bisa tersenyum menyaksikan tingkah kakaknya itu.

"Lalu, bagaimana dengan para Kirkland itu?"

Gilbert seperti teringat sesuatu. "Ah, mereka. Kabar terakhir, kudengar Allistor dan Dylan berhasil tertangkap ketika berusaha melarikan diri. Tetapi…" Gilbert memberikan jeda yang cukup lama. "Seseorang yang bernama Connor belum ditemukan hingga sekarang."

Ludwig menangguk-angguk. "Pasti dia berhasil melarikan diri. Mungkin dia akan balas dendam pada kalian."

Gilbert tertawa keras. Benar-benar meremehkan. "Ayolah! Tidak mungkin! Dia tidak punya apa-apa sekarang!"

Ludwig berdesis, merasa terganggu dengan tingkah berlebihan kakaknya. "Kau masih sama seperti dulu..."

"Ah, dengan begini tandanya…" Gilbert menggantungkan kalimatnya, nyengir sesaat pada sang adik. Merangkul pundak Ludwig dengan erat dan hangat. Membagi cinta dengan sang adik tersayang. "... aku bisa mengambil stok beer-ku kembali, kan?" Gilbert tertawa keras.

Wawancara live tersebut berlangsung dari Natalia, hingga Antonio yang mengaku kerepotan membawa-bawa kamera besar itu tiap kali terjebak di situasi sulit, terlebih dengan Gilbert yang selalu narsis minta diliput.

"Ya. Leader kami ini seorang narsis. Di mana-mana minta diliput. Padahal dia bukan yang bertugas sebagai reporter."

Juga Francis yang berhasil membuat seluruh penonton tertawa terbahak-bahak dengan penuturannya yang mengaku tak bisa menyaksikan sebagian liputan karena mabuk.

"Aku tak suka diskriminasi. Tapi teman-temanku selalu melakukannya padaku. Apa karena tugasku hanya sebagai supir makanya mereka bertindak demikian? Entahlah."

Hingga tiba pada giliran Gilbert, yang menceritakan seluruh kronologi aksi penculikan dari awal hingga mereka berhasil pulang. Tentunya dengan sedikit‚ bumbu-bumbu' pemanis di setiap kalimatnya.

"Kemudian, ketika seseorang man in black itu datang padaku—aku langsung memukul wajah mereka! Telak di hidung! Kemudian aku, menunduk, berlari, menerjang siapapun ketika menghindari peluru! Aku benar-benar awesome! Oh! Dan tak lupa adegan dimana kami terjun dari pesawat hanya berbekal sebuah parasut! Kami sama sekali tidak takut karena kami awesome! Kemudian—"

Hingga berakhir pada Airlangga yang menjadi inti utama, atau penyebab, atau—sopannya—penggerak hingga berita-berita ini tercipta akibat penculikan yang ia alami.

"Aku mencatat seluruh kejadian yang kualami dengan jurnal ini." Airlangga menunjukkan jurnal cokelat lusuh yang selalu terselip di balik bajunya, kepada seluruh hadirin.

"Ya, akulah kru yang diculik itu. Bermula dengan rasa penasaran ketika mendengar bunyi ribut-ribut di hotel. Kemudian aku menemukan sebuah kasus pembunuhan. Dan," Airlangga menarik napas sejenak. "—itulah pertama kalinya aku bertemu dengan dia, penculikku. Dan dari sana pula, kami mengikat janji."

Kesuksesan The NEWS menggoda seorang produsen film, Matthew William untuk memfilmkan hasil rekaman mereka menjadi sebuah film dokumenter.

Dan siapa sangka pada akhirnya film itu meraup keuntungan yang sangat besar pada awal pemutaran.

.

The End


Epilogue

.

Two Weeks Later

Monte Carlo, Monaco

"WOOHOO!"

Gilbert berdiri di atas selancar dengan ketinggian gelombang yang mampu membawanya menyusuri terowongan air. Teriakan penuh semangat terdengar dari mulutnya yang terbuka lebar, tertawa bangga. Sementara di belakangnya ada Antonio yang sibuk merekamnya dengan handycam, berdiri di atas papan seluncur berwarna merah dengan aksen kuning, seperti warna benderanya, sibuk merekam aksi Gilbert. Sementara di balik punggungnya ada Francis yang berkali-kali berteriak ketakutan minta untuk diturunkan.

Di bibir pantai, duduk di sebuah kursi santai dengan payung pantai yang lebar, melindungi kulitnya dari sinar matahari, Natalia sibuk mengasah belatinya, kembali ke kebiasaan lama.

Sementara di sebelahnya ada Lovino Vargas, sang polisi muda, yang meminta cuti dari kantornya untuk libur beberapa hari, kini tengah berteriak-teriak ke arah pantai, meminta ketiga orang itu untuk berhenti karena matahari hampir tenggelam.

Natalia berjalan ke arah Lovino kemudian menepuk bahu pemuda itu.

"Sudahlah. Biarkan saja mereka menghibur diri. Lagipula selama seminggu penuh kami tak punya waktu untuk bersenang-senang."

Lovino mengerang. "Tapi—"

"Terlebih dari itu." Natalia buru-buru memotong kalimat Lovino dengan tangan diangkat. "Aku mau bertanya padamu tentang satu hal."

"Apa itu?" tanya Lovino, heran.

Natalia menghela napas. "Darimana kau tahu rumah Kirkland? Padahal keberadaan mansion itu dirahasiakan, tak ada satupun penduduk lokal yang tahu. Dan Antonio juga tak memberitahukan alamatnya, kan?"

Lovino menarik napas. "Benar. Awalnya aku juga tidak tahu di mana tempatnya. Tapi seorang imigran asing yang kami tahan di kantor kepolisian kala itu, kebetulan mendengar percakapan kami dan mengatakan tahu di mana tempatnya. Dia yang menunjukkan kami alamat menuju rumah itu."

Natalia mengangguk-angguk. "Hm. Beruntung sekali. Dan sepertinya dia harus mendapat bayaran akan jasanya."

"Ya. Dan aku mengangkatnya sebagai petugas kepolisian. Dia handal dalam menembak namun suka mendadak menghilang dari tempatnya."

Natalia tertawa. "Oh, ya? Dia pasti hebat sekali."

Lovino tersenyum "Ya. Katanya dia mantan penjahat. Dan memilih untuk menjadi polisi. Cukup bijak. Aku bahkan membawanya ke tempat ini untuk berlibur."

Mata Natalia melebar. "Sungguh? Dia berada di sini? Di mana dia sekarang?"

"… Tepat di belakangmu."

Natalia berbalik. Tak sabar melihat pahlawan yang membantu para polisi itu menemukan rumah Kirkland. Mantan penjahat yang handal dalam menembak, kini memilih jalur kehidupan sebagai polisi. Sungguh pilihan yang tak main-main.

Baru saja Natalia berbalik, wanita itu seketika terdiam mendapati siapa sosok pahlawan itu.

Lovino berkata, "Perkenalkan, polisi ini bernama—"

Dan seumur hidup, Natalia takkan pernah melupakan cengiran itu seumur hidupnya. Dari pria yang pernah menjadi sahabat terbaiknya dulu.

Matanya melebar tak percaya. Seakan-akan visual sosok seorang manusia di hadapannya hanyalah ilusi semata.

"—Mathias?"

"Nat." sahutnya dengan senyuman hangat. Persis seperti dulu.


.

Brussel, Belgium

"Jadi, kau menculikku karena pernah melihatku bekerja di sini?" tanya Airlangga sangsi.

"Hm. Begitulah. Selain pembunuh bayaran, aku juga punya kerja sampingan sebagai mata-mata."

"… Menjijikan."

Ned tertawa.

"Hei. Kudengar saat saat ini Rayan sibuk dengan para polisi untuk mengurus masalahnya dengan Dylan Kirkland. Intinya Dylan meminta Rayan untuk mengembalikan seluruh uangnya. Hm. Hebat juga adikmu bisa mencuri uang sebanyak itu." Ned terkekeh.

Airlangga mendengus. "Hebat apanya? Itu memalukan, tahu. Tapi kabarnya Rayan meminta maaf pada Dylan atas perbuatannya. Dia jadi sering kali menjenguk Dylan ke penjara. Kirkland itu memang pantas di penjara karena menculik Gupta."

"Ya. Dan pemimpin kami juga, putri Tuan Hedervary. Beruntung masa tahanan kami tak selama dia. Kalau tidak kau pasti kangen denganku." Ned tertawa.

Airlangga mendengus jijik.

Ned kembali berkata, "Kabarnya Gupta, Heracles dan Sadik tengah menghabiskan liburan di Mesir. Mereka baru saja mengirimkan foto-foto mereka yang berdiri di patung Sphinx."

Airlangga tertawa pelan. "Ya. Kalau begitu sama dengan Antonio dan yang lain. Mereka berlibur. Sedangkan aku malah di sini untuk menemanimu."

Ned tertawa. Namun perlahan tawa itu mereda, berganti dengan ekspresi gundah. "Maaf sudah melibatkanmu sejauh ini. Tapi ini akan menjadi yang terakhir aku menganggu hidupmu. Aku janji."

Airlangga tersenyum. "Tak masalah. Aku juga tak keberatan kalau kau terus-terusan ada di dekatku."

Ned tercengang.

"Terlebih dari itu," Airlangga menarik napas. "Kau siap masuk ke dalam sana?"

Airlangga menunjuk ke arah sebuah pintu mungil berwarna cream lembut, dengan bunga-bunga pink di sekitarnya dan tulisan bertekstur indah yang menggoda untuk dibuka. Sebuah pintu bertekstur manis untuk ukuran kafe kecil.

"Jangan lupa atas dasar apa kau menculikku waktu itu." Airlangga mengingatkan.

Ned menarik napas dalam-dalam, menyiapkan diri. Semula dirinya ragu-ragu untuk membuka, namun kebulatan tekad hatinya sudah memaksanya untuk ke tempat ini.

"Ya. Aku siap."

"Baiklah."

Pintu cafe itu terbuka. Membunyikan bell yang terletak di atas pintu, menandakan ada pembeli yang datang.

Bella berlari dari dalam dapur, lengkap dengan bekas cokelat di celemeknya dan rambutnya yang dipenuhi tepung.

"Ah, maaf. Selamat siang. Dan selamat datang di Café Belgium Spri—"

Mata Bella berbinar menatap sosok tinggi tegap yang berdiri di depan pintu kafenya.

"... Kakak?"

Ned memberi senyuman canggung. "Hei, Bella."

Dan senyuman lebar yang berlanjut menjadi jeritan bahagia tak henti-hentinya menguap dari wajah gadis itu, yang berlari mengejar kakaknya dan menghadiahi saudara kandungnya dengan sebuah pelukan erat dan hangat. Memeluknya kencang dengan air mata berlinang.

Sebuah senyum kecil terukir di bibir Airlangga.

Misinya dengan Ned berhasil.

.


A/N : Akhirnya tamat juga! Chapter ini nggak seperti chapter-chapter sebelumnya, loh! Soalnya action saya minimalisir biar nggak kepanjangan kalo digabungin sama epilog. Nah, intinya happy ending, kan? XD The NEWS pulang, Kirkland-Elizaveta ketangkep, Rayan ganti rugi, Ned ketemu Bella, dan Mathias jadi baek! Happy ending bangeettt! #gubrak Dan bagi yang bertanya-tanya gimana nasib Connor (untung-untung kalo ada yang nanya), tenanglah, dia aman di sana. Di suatu tempat terpencil. Muahahaha. Jangan tanya lagi!

Dan untuk yang ngerasa aneh kenapa saya berkali-kali ngepair Gil-Nat dalam bentuk hints kecil. Tenanglah, saya bukan PrusBel shipper kok. Hanya saja wujudnya Belarus bikin saya teringat sama sosok fem!Prussia melulu! Grah! Mereka mirip banget, kan? Warna rambutnya sama, cantik, nggak kalem. Jadi tiap kali ngetik adegan Belarus yang ada dipikiran saya cuman fem!Prussia #plak Saya gak yuri!

Luciano Fyro : Caranya jadi author? Ya nulis, dong! XD Nulis di mana aja. Selama dirimu seneng dengan ceritamu, tulis aja sampai selesai. Kan bisa dijadiin konsumsi pribadi :) Ditunggu debut fic pertamanya, ya! Daan, makasih atas reviewnya selama ini! #hug

Naida Michaelis : Nih, saya kasih chapter terakhir. Masih hangat, baru keluar dari oven. Hahaha. Makasih reviewnya, ya!

Trivia :

Airlangga Putra Brawijaya : Nama depan dan belakangnya saya dapat dari dua nama sekolah di sebuah novel Indonesia yang fenomenal. Dan untuk nama Putra sendiri, sudah jelas karena dia laki-laki. Eh, APB laki-laki? #plak

Akhir kata, makasih banget bagi yang membaca fic ini, mulai dari pertama kali debut hingga sekarang! Percayalah, The NEWS nggak bakal bisa ke Monte-Carlo, ketemu penjahat, terjun dari pesawat, naek helikopter, terbang ke Inggris, tanpa dukungan kalian! Makasih banget atas dukungan review, alert dan fave-nya! Saya cinta kalian! Saya nggak rapuh lagi!

Regards, raputopu