Epilogue

Waktu adalah salah satu misteri dan hadiah yang begitu luar biasa. Satu jam bisa terasa seperti satu tahun, sedangkan satu tahun bisa terasa seperti satu hari. Entah kenapa, bagi Sakura, lima tahun telah berlalu dengan cepat. Seakan-akan kemarin Itachi baru saja menjabat menjadi penerus Perusahaan Uchiha.

Uchiha Sakura memandang Ibukota Jepang dari ketinggian 634 m. Tokyo Skytree yang terdiri dari kaca-kaca besar memperlihatkan pemandangan gedung-gedung kota yang indah. Sakura telah lahir di sini, hidup di sini dan melewati banyak pergumulan di sini. Tentu saja, ia juga sempat berkeliling dunia dan melewati banyak rintangan, tapi Tokyo tetap memiliki tempat kecil di hati Sakura.

Jujur saja, berjalan-jalan bersama keluarga adalah salah satu impian setiap wanita. Namun, pagi itu, Sakura tersenyum tipis. Ia sedang berada di tempat ini sendirian, jauh dari suami, ayah, ibu dan mertuanya. Ia hanya menikmati waktunya sendirian dan untuk sejenak ia bersyukur... bahwa ia masih memiliki waktu untuk berdiam sendiri dan memikirkan tentang kehidupannya.

Ada banyak hal yang terjadi lima tahun ini. Ia berjuang untuk mengandung dan gagal berkali-kali. Ia berangkat ke luar negeri dan masih terus gagal untuk mendapatkan anak. Kemudian ia belajar untuk mensyukuri proses berat ini, berusaha untuk bersabar dan menghargai hidup. Sasuke dan dirinya akhirnya menyerah untuk memiliki anak di tahun kedua. Sakura sempat stress luar biasa dan berangkat ke Korea untuk mengambil jurusan Operasi Plastik lagi. Awalnya ia mengambil ini karena sejak lama, ia memang ingin berguru dengan pakar-pakar Korea. Untungnya, suaminya itu berangkat bersamanya dan mereka sempat menetap dua tahun di Korea. Jika ia berpikir-pikir lagi, ia bersyukur belum memiliki anak saat itu. Ia jadi bisa memiliki pengalaman yang tidak pernah ia bayangkan, bersekolah lagi di Korea.

Jepang tidak banyak berubah. Namun, keluarga mereka berubah banyak. Mikoto tidak sedingin dulu, Fugaku sudah sering mengajak keluarganya makan malam dan berlibur bersama. Ayah Sakura sudah berani berbicara soal Konan. Ternyata selama ini ayahnya malu dan menyesal karena telah mencintai wanita yang lebih muda. Namun, pada akhirnya Sakura tetap menghargai keputusan ayahnya. Paling tidak sekarang ayahnya dan Konan hidup bahagia. Bersama dengan Konan, ayahnya menjadi lebih bersemangat dan memulai bisnis dengan lebih bekerja keras dan jujur. Oh ya, Ino sudah tidak lagi bersama dengan Kisame dan kembali berteman dengan Sakura. Wanita bermarga Yamanaka itu berkata, lebih baik single daripada berada di hubungan yang merusak dirinya.

Apa lagi yang berubah? Ah, Hinata dan Naruto telah memiliki dua anak. Sakura sempat mengajarkan anak Hinata yang pertama melipat origami dan menulis kaligrafi. Ya, sekarang anak mereka yang pertama sudah bersekolah. Luar biasa bukan?

Walau ada banyak yang berubah, ada banyak hal yang tetap sama. Itachi tetap sibuk dan ambisius. Kisame tetap melakukan bisnis ilegal dan mengejar Konan. Sayangnya, Konan selalu menolak cinta Kisame. Kelihatannya wanita itu memang benar-benar mencintai ayah Sakura.

Lalu bagaimana dengan Sakura dan Sasuke? Mungkin ini masuk ke kategori berubah dan tidak berubah. Yang berubah adalah komunikasi mereka. Sakura merasa mereka menjadi lebih dekat, lebih erat dan lebih dewasa secara emosional. Sekarang mereka bisa membicarakan masalah dengan lebih tenang. Mencari titik tengah dan saling mengerti satu sama lain. Mereka berdua memang melewati banyak masalah, tapi dalam setiap cobaan, mereka saling belajar dan membangun satu sama lain.

Yang tidak berubah dari hubungan mereka? Ah. Sasuke masih tidak bisa bernyanyi dengan indah. Suara pria itu tetap sangat sumbang. Mungkin jika anak Naruto mendengar suaranya, anak itu akan segera menangis dan lari ketakutan. Entah kenapa Sakura hanya bisa tertawa jika membayangkan hal itu. Satu lagi yang tidak berubah adalah kesabaran Sasuke. Walaupun Sakura masih belum bisa memiliki anak, pria itu masih saja terus mengajarkan Sakura untuk bersyukur bersama.

"Apakah Anda tidak apa-apa?"

Suara seorang wanita paruh baya di sampingnya membuat Sakura menoleh ke samping.

Wajah ibu itu tampak khawatir. Sakura hanya bisa tersenyum tipis dan mengangguk.

"Wajahmu terlihat pucat," ibu itu melanjutkan.

Sebenarnya Sakura merasa tidak enak badan dan agak mual. Tiga minggu ini Sakura terus mual dan muntah-muntah. Jika ini terjadi padanya dua tahun yang lalu, mungkin ia akan berpikir bahwa ini adalah gejala kehamilan. Sekarang ia tidak ingin berharap banyak. Mungkin ia hanya stress atau maag. Lima tahun menunggu kehamilan membuat Sakura terbiasa dengan harapan palsu.

"Aku tidak apa-apa." Sakura tersenyum lagi, "Sungguh."

Sakura akhirnya berjalan menuju ke lift Skytree Tokyo. Ia menekan tombol lift dan termenung sebentar sambil menunggu lift itu sampai ke lantai paling atas.

"Bagaimana kalau aku benar-benar hamil?"

Sakura kali ini menatap lift itu dengan semakin bingung. Mungkin tidak ada salahnya ia pergi ke rumah sakit setelah ini. Walaupun jawabannya tidak hamil, Sakura merasa ia sudah cukup kuat untuk menerimanya. Ia sudah bersikeras apapun jawabannya, ia akan mengucap syukur. Ia masih hidup, masih memiliki ayah dan ibu. Suaminya sayang padanya, mertuanya juga baik padanya. Kurang apa lagi? Ya. Ia akan bersyukur, apapun jawabannya.

XXX

Uchiha Sasuke melangkah masuk ke lantai sepuluh Armani Store di Ginza. Di lantai itu, terletak restoran mewah berbintang yang bernama Armani Ristorante. Restoran bergaya modern kontemporer itu memiliki unsur-unsur emas dan hitam. Ruangan itu terkesan mewah, tapi masih ada garis-garis kehangatan di setiap desainnya.

Hangat seperti senyuman ayahnya dari kejauhan. Dengan sopan, Sasuke melambai ke meja di dekat jendela. Ayah dan ibunya sedang duduk berbincang-bincang di sana. Namun, Sasuke hanya bisa menatap ponselnya dan memikirkan istrinya. Sebenarnya Sasuke sudah setuju ingin mengantar Sakura ke rumah sakit, tapi wanita itu bersikeras tidak ingin membatalkan acara makan keluarga Sasuke.

Jujur saja, ia agak khawatir. Bagaimana jika Sakura kecewa lagi? Wanita itu sempat berkali-kali menahan tangis setiap kali dokter berkata bahwa tidak ada bayi di kandungannya. Kalau saja wanita itu mendengar kabar buruk lagi— Entah apa yang harus Sasuke lakukan. Mungkin malam ini, Sasuke akan membeli Apel Fuji favorit Sakura beserta Pocky rasa stroberi. Istrinya mungkin akan merasa lebih baik. Kekanak-kanakkan mungkin, tapi terkadang hal-hal simple bisa membawa senyuman di wajah istrinya.

"Sasuke, apa kabar?" Ayahnya bangkit dari tempat duduk dan menjabat tangan Sasuke, "Itachi tidak bisa datang hari ini, tapi ia menitipkan salam lewat telepon. Oh ya dimana Sakura?"

"Sakura ada urusan penting, tapi ia juga menitipkan salam. Aku baik, bagaimana dengan ayah?" Sasuke merasakan kehangatan dari sikap Fugaku.

"I'm good, Son," Ayahnya tersenyum hangat, "Ibumu dan aku akan berjalan-jalan ke Machu Picchu besok."

"Sounds like an adventure." Sasuke langsung menatap ibunya dengan heran, "Sejak kapan Ibu suka mendaki gunung?"

"Ayahmu memaksaku berolahraga bersama setiap pagi," Mikoto menghela napasnya, "Mungkin ia sudah lupa umur kita berapa."

"Olahraga itu baik untuk kesehatanmu Ibu." Sasuke akhirnya duduk dan merapihkan kemejanya, "Oh ya, apakah kalian sudah memesan makanan?"

"The usual degustation," Mikoto berbicara dengan singkat dan sopan.

"Menu itu lagi?" Sasuke menghela napasnya, "Ibu tidak bosan?"

"Ibumu tidak suka mencoba hal-hal baru." Fugaku tersenyum hangat, "Mungkin ini salahku juga, karena saat kami muda dulu, aku terlalu sibuk bekerja."

"Aku saja kaget ayah berhasil mengajak ibu pergi mendaki gunung."

"Ia sudah menolak berkali-kali." Fugaku meneguk air putihnya, "Untungnya aku tidak menyerah."

"Kalian berhati-hati di Machu Picchu ya." Sasuke tampak khawatir, "Ingat, jangan lupa stand by helikopter dan security. Ayah, kau memang sudah sehat sekali sekarang, tapi ingat kau pernah punya sejarah stroke. Ibu, kau juga hati-hati, kau tidak pernah mendaki gunung sebelumnya."

"Sejak menikah dengan Sakura, kau jadi sangat perhatian dan cerewet." Fugaku menjahili anaknya.

"Aku berlatih lebih bersuara agar tidak ada kesalahpahaman," Sasuke melanjutkan.

"Well, that helps a lot," Fugaku mengangguk, "Now, we know you care about us."

"Hn."

Kali ini Sasuke terdiam sejenak. Walau ia sudah dewasa tapi agak malu juga mengakui bahwa ia semakin menyayangi orangtuanya. Yah, mau diapakan lagi, mungkin ini harga diri pria.

Kali ini ponsel Sasuke berdering. Ia tidak menggunakan silent mode karena ia khawatir akan ada sesuatu yang terjadi dengan istrinya. Benar saja, ternyata Sakura menelponnya saat ia dan keluarganya masih menunggu makanan.

"Ayah, ibu, sebentar ya, aku mengangkat telepon ini dulu."

Setelah Sasuke ke luar restoran, ia langsung mengangkat teleponnya. Hatinya berdetak luar biasa keras. Entah kenapa ia khawatir, bercampur penasaran. Kenapa Sakura menelponnya?

"Halo? Sakura?"

"Sasuke, tadinya... aku ingin memberi tahu kabar ini sampai kita bertemu secara langsung, tapi—"

"Tapi?"

"Well, jadi aku ternyata sudah hamil hampir satu bulan."

Kali ini Sasuke dapat merasakan kebahagiaan luar biasa meliputi seluruh jiwanya. Mungkin jika ia dapat melayang, ia sudah melayang sekarang. Ia akan menjadi ayah! Penantiannya selama lima tahun akhirnya datang. Ternyata memang benar, semuanya terjadi tepat pada waktunya. Jika ia bersabar dan bersyukur— penantian itu pasti akan datang sendiri.

"Sakura, aku sangat senang mendengarnya—"

"Jangan senang dulu."

"Kenapa?"

Kali ini Sasuke dapat merasakan rasa khawatir di dadanya. Firasat buruk mulai menghiasi pikirannya.

"Ada kemungkinan aku bisa keguguran."

"Apa ini karena usia?"

"Bukan soal itu sih—" Sakura terdengar agak percaya diri, "Aku sudah menjaga kesehatanku dan aku sudah mengikuti program agar janinku kuat... tapi—"

"Tapi?"

"Saat aku pulang dari rumah sakit. Aku menemukan Kisame pingsan di tengah jalan."

"Lalu?"

"Aku berlari mengangkat Kisame yang pingsan ke dalam mobilku. Saat aku sampai di rumah sakit, aku khawatir janinku mungkin akan terganggu karena kontraksi yang berlebihan. Perutku terasa agak sakit."

Kali ini Sasuke hanya bisa mendengar Kisame dan janin yang terganggu. Kenapa ada dua kombinasi aneh ini di satu kalimat yang sama? Pada tahun ketiga pernikahan mereka, Sakura bercerita soal kegugurannya yang dikarenakan oleh Kisame. Sebenarnya, Sasuke sudah memaafkan dan merelakan kejadian itu. Namun, kenapa Sakura harus bertemu dengan Kisame di saat penting seperti ini? Menyelamatkannya lagi. Bagaimana jika bayi mereka—

"Tapi, jangan khawatir." Sakura terdengar lebih lembut dari biasanya, "Kau sendiri yang bilang, apapun yang terjadi kita harus bersyukur."

"Sakura..."

"Aku akan tinggal di rumah sakit lebih lama lagi untuk pemeriksaan ulang. Kalau kau sudah selesai makan, boleh temui aku di rumah sakit?"

"Ya, tentu saja." Sasuke menarik napasnya dalam-dalam, "Oh ya, Sakura..."

"Hm?"

"Stay strong. I'll be there soon."

Entah kenapa Sasuke bisa membayangkan senyuman wanita itu dari kejauhan.

XXX

Uchiha Sakura dapat merasakan air mata turun dari wajahnya. Biasanya ia selalu menahan tangis, tapi kali ini ia tidak bisa menahannya. Sebenarnya ia sempat ragu ingin menyelamatkan Kisame. Pria itu telah melakukan banyak hal jahat padanya dan pada banyak orang. Namun, pria itu tergeletak di tepi jalan yang sepi dan wajahnya pucat. Jika Sakura tidak menolongnya, ia tidak tahu kapan orang lain akan segera menolongnya.

Sebagai seorang dokter, ia tahu tenaga medis harus bekerja dengan cepat... Jika tidak, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada pasien. Mungkin saja Kisame bisa meninggal dunia dan itu akan menjadi salah Sakura. Jika sudah melihat dan tidak menolong, apa bedanya Sakura dengan seorang pembunuh?

"Kenapa kau menangis?"

Kali ini suara suaminya membuat Sakura menghapus air matanya dengan cepat.

"Sasuke..."

"Apakah kau tidak apa-apa? Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi."

"Aku menangis terharu."

"Terharu?"

Sebenarnya Sakura tahu kemungkinan janinnya keguguran tidak sebesar Kisame meninggal. Masalahnya adalah apakah ia akan memilih kepentingannya sendiri atau kepentingan orang lain.

Ia bersyukur ia akhirnya memilih untuk benar-benar memaafkan dan melakukan apa yang benar.

"Kisame hampir meninggal... Jika aku tidak datang tepat waktu, mungkin ia tidak akan ada di sini."

"Bagaimana dengan anak kita?"

"Anak kita sehat. Dokter sudah melakukan pemeriksaan ulang dan janinku benar-benar masih kuat. Kata dokter, perasaan tidak enak di perut tadi, hanyalah faktor psikologis saja."

"Sakura, that's really good to hear."

Kali ini suaminya memberikan sapu tangan dan menghapus air mata Sakura. Pria itu tampak lega dan turut berbahagia mendengar kabar dari istrinya. Akhirnya setelah sekian lama Sasuke dan Sakura akan menjadi orangtua. Penantian mereka, pengorbanan mereka, semuanya membuahkan hasil yang luar biasa.

"Aku bersyukur, aku tidak meninggalkan Kisame." Sakura tersenyum tulus, "Kau tau apa kata-kata Kisame di ranjang rumah sakit tadi?"

"Apa?"

"Kisame berkata ia menyesal. Ia mengejar kekayaan, Konan, kekuasaan, tapi tidak merasa puas sampai sekarang. Aku dapat merasakan luka batin yang luar biasa di hati Kisame... Kemudian ia menangis, meminta maaf dan berterimakasih padaku."

Kali ini Sakura menangis lagi. Ia tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut Kisame. Ekspresi Kisame yang biasanya percaya diri berubah menjadi lemah dan tidak berdaya. Pria itu telah melewati begitu banyak hal di dalam kehidupannya.

"Kau tahu bahwa itu alasan ketiga aku menyukaimu bukan?"

"Eh?"

"Alasan ketiga adalah kau mau memaafkan."

"Tapi waktu pertama kali menikah, aku masih belum memaafkanmu bukan?"

"Ya." Sasuke mengangguk, "Tapi sebagian dari hatiku berpikir, kalau orang ini bisa memaafkan perbuatanku. Aku pasti akan mencintainya dengan segenap hatiku."

Kali ini Sakura ikut mengangguk, "Semoga kita bisa mengajarkan itu pada anak kita, untuk saling memaafkan."

Sakura mengelus perutnya dan berpikir sejenak. Sebenarnya selain bersyukur, ia belajar untuk memaafkan. Ia memaafkan ayahnya, Kisame dan Sasuke. Terlebih lagi, Sakura memaafkan dirinya sendiri dan masa lalunya yang penuh dengan kesalahan. Ia ingin bersyukur, menjalani hidupnya yang baru dengan penuh semangat.

Sebenarnya hidup ini seperti sebuah lomba lari, estafet. Kita hanya bisa berlari dengan sekuat tenaga dan memberikan baton kepada pelari berikutnya. Untuk saat ini, Sakura tahu pelari berikutnya adalah anaknya. Ia tidak lagi hidup untuk dirinya, tapi untuk masa depan sebuah generasi baru. Tidak hanya anaknya, tapi juga anak Naruto dan anak-anak negeri ini.

Apapun yang Sakura pelajari dan alami, akan menjadi elemen dalam hidup baru generasi berikutnya. Karena itulah ia hanya bisa terus belajar, bersyukur dan berlari sekuat tenaga.

Mungkin ini adalah alasan ia lama memiliki seorang anak. Ia harus dibuat dewasa dan matang terlebih dahulu. Ia juga dibuat lebih mudah berkomunikasi dengan Sasuke dan tidak lagi marah karena hal-hal kecil. Suaminya juga telah berubah menjadi lebih dewasa dan tidak lagi dingin dan jauh darinya. Sekarang Sasuke jauh lebih perhatian, tidak takut memberikan pendapatnya dan lebih hangat. Ia telah belajar untuk memaafkan dan bersyukur. Bahkan ia sudah menjadi lebih dekat dengan keluarganya dan mertuanya. Sekarang, jika anaknya lahir di kondisi seperti ini. Alangkah baiknya.

Ia sadar sekarang...

Kita semua adalah bibit masa depan seseorang di luar sana.

We are building someone else's future.

XXX

EPILOGUE END

XXX

A/N:

Thank you for reading this story until the end. Aku sangat senang kalian membaca cerita ini sampai epilog. Sebenarnya epilog ini terinspirasi dari kisah nyata. Temanku memiliki tante yang sangat sulit punya anak, kemudian saat punya anak, ia harus menyelamatkan temannya dan menggendong temannya ke rumah sakit. Ini bisa membahayakan kandungannya, tapi ia berdoa dan berserah pada Tuhan. Ia tahu bahwa meninggalkan temannya memang bisa membuat kandungannya aman, tapi itu adalah tindakan yang egois dan temannya bisa sekarat. Namun, ia akhirnya memilih tindakan yang benar. Ia mengedepankan kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri dan menggendong temannya ke rumah sakit.

Tuhan baik dan mujizat sungguh nyata, tante ini sekarang punya dua anak kembar. Ia bersyukur juga lama baru bisa memiliki anak karena ia jadi lebih dewasa dan lebih bisa menghargai anaknya yang merupakan hadiah dari Tuhan.

Soal waktu, aku belajar banyak dari quotes orang bijak ini:

"New York memiliki perbedaan waktu 3 jam di depan California tetapi tidak berarti bahwa California lambat, atau bahwa New York lebih cepat. Keduanya bekerja berdasarkan waktu mereka sendiri "Time Zone."

Seseorang masih single. Seseorang menikah dan menunggu 10 tahun sebelum memiliki anak. Ada lagi yang punya bayi dalam waktu satu tahun pernikahan.

Seseorang lulus pada usia 22, namun menunggu 5 tahun sebelum mengamankan pekerjaan yang baik. Ada lagi yang lulus di 27 dan sudah bekerja di tempat impiannya. Seseorang menjadi CEO pada 25 dan meninggal pada 50, sementara yang lain menjadi CEO pada 50 dan hidup sampai 90 tahun.

Semua orang bekerja berdasarkan adanya 'Time Zone', Kolegamu, teman-temanmu, yang lebih muda mungkin "tampak" untuk mendahului kamu. Beberapa orang lain mungkin "tampak" di belakangmu. Ini hanyalah 'Time Zone'

.

Kamu tidak terlambat ... Kamu tidak terlalu awal ... kau tepat waktu!

You are in your Time Zone."

Dan aku juga jadi selalu belajar, aku sendiri juga tidak tahu hidupku akan menjadi seperti apa. Masa depan siapa yang akan terpengaruh oleh keputusan-keputusan hidupku. Aku hanya bisa terus berlari dan berusaha memilih yang tepat.

"He has made everything appropriate in its time. He has also set eternity in their heart, yet so that man will not find out the work which God has done from the beginning even to the end." - Ecclesiastes 3:11 –

Sekali lagi terima kasih sudah membaca ini, aku belajar banyak dari menulis ini. Saat aku awal menulis cerita ini aku masih SMA, masih banyak melakukan kesalahan dan harus banyak belajar. Aku merasa bertambah dewasa bersama dengan kalian. I can't believe we're already at the end of the story guys. Sungguh, kalian sangatlah berharga dan akan menaruh bibit dalam masa depan seseorang. Semua tindakan dan keputusan kalian bisa berpengaruh dalam kehidupan seseorang karena kalian penting, berharga dan luar biasa. You are loved, precious and gifted.

Special thanks to my beloved best friend and beta reader: bitterchoco23.

Without her, I wouldn't have made it this far. She is lovely, brave, an aspiring doctor-to-be and a life coach. Thank you for being my real life best friend, beta, I love you.

Once again thank you for your support dear readers and my beautiful beta reader! God bless!