Cast :

Kikwang Beast as Kim Kikwang

Jang Hyunseung Beast as yoeja

Dojoon Beast as Kim Dojoon

Kim Jaejoong TVXQ as yoeja

Genre : Romance dan Humor (gagal)

Rate : T

Author : Ayy88fish

Warning : Gender bender

Disclaimer : Cast semua milik Tuhan. Beast milik CUBE Ent dan Beauty. Cerita punya saya.

Selamat menikmati ^^

.

.

.

.

Kediaman keluarga Kim terlihat lengang. Hanya ada dua kakak beradik yang masih setia di depan televisi. Kedua teman mereka sudah pulang sore tadi. Meninggalkan 'sedikit' dongkol di hati Kikwang. Bagaimana tidak, namja yang mengaku sebagai teman anak perempuan satu-satunya keluarga Kim dengan santainya 'memuji' Kikwang yang berakhir dengan hadiah deathglare gratis si bungsu pada si sulung. Wajar saja, karena itu lebih tetap disebut mencela ketimbang memuji. Dan yang membuat Kikwang heran, bisa-bisanya sang noona mengatainya begitu pada namja berwajah bodoh tadi –selain keheranan Kikwang karena ternyata Jaejoong bisa punya teman selain Changmin, tetangga sebelah rumah mereka, teman Kikwang yang hobby 'menjarah' bahan makanan di rumah mereka-.

"Noona, kenapa Junnie hyung belum pulang ya? Apa terjadi sesuatu padanya?"

"Dia baik-baik saja kok." Jaejoong merenggangkan badan karena sedari tadi berdiam pada posisi yang sama. Tengkurap sambil membaca novel.

"Tapi Junnie hyung sudah pergi sejak sore, dan ini sudah jam sepuluh noona. Hyung itu tidak pernah pulang malam, ya... kecuali kalau lembur sih. "

"Tidak usah mengkhawatirkannya. Dia baik-baik saja. Masih ada sedikit urusan mungkin. Lagipula hyung mu itu kan sudah dewasa Kwangie. Kau sendiri saja sering pulang jadi seperti ibu-ibu yang mengkhawatirkan anak gadisnya saja."

Diputarnya tubuh langsingnya ke kanan dan ke kiri. Mengurangi pegal yang masih terasa di pinggangnya. Tak lupa juga kepalanya, sambil memejamkan mata. Menikmati sensasi rileks yang terasa.

"Aku hanya khawatir noona."

"Kau bukan mengkhawatirkan Junnie, tapi cake itu kan? Kau takut hyung mu datang setelah kau tidur dan dia menghabiskan semuanya. Huh. Dasar anak kecil."

Kikwang terdiam mendengar kata-kata noona-nya. Dia tak bisa menjawab ataupun mengelak, sebab semua itu benar. Sudah lama dia merindukan bisa melahap cake favoritnya itu. Dengan gratis tentunya. Pelit? Mungkin. Padahal kalau memang ingin kan bisa minta pada Jaejoong. Toh Jaejoong ahli dalam membuat blackforest.

"Benar kan?"

"A-apanya?" tanya Kikwang gagap.

"Kata-kata noona barusan."

"T-tidak. Aku tidak kekanakan begitu."

"Hihihi.." Jaejoong terkikik.

Kikwang bergidik takut melihat kelakuan noona-nya yang semakin lama semakin aneh di matanya. Apa ini karena si pemuda bermata bodoh itu?

"Ya! Noona, jangan menakutiku." Teriak Kikwang panik. Segera dipalingkannya kembali wajahnya menghadap televisi.

Jaejoong menyeringai melihat sang adik ketakutan. Tak disia-siakannya kesempatan itu untuk mengerjai Kikwang yang terkadang sifat penakutnya sering hilang datang. Rambutnya yang panjang digerainya ke depan, menutupi sebagian wajahnya. Dengan perlahan, dia merangkak menuju Kikwang, sebisa mungkin meminimalisir suara yang bisa timbul mengingat lantai rumah mereka terbuat dari kayu. Ditiupnya tengkuk Kikwang. Memancing mangsanya untuk sekedar menoleh ke belakang. Kikwang masih belum sadar akan keberadaan Jaejoong di belakangnya mengelus tengkuknya yang terasa dingin. Tak lam berselang, tangannya yang masih memegangi tengkuknya juga turut merasakan sejuk akibat udara yang ditiupkan oleh Jaejoong. Karena penasaran, Kikwang pun menoleh ke samping dan mendapati sebuah kepala yang tertuduk.

"HUUUWWAAAAAAAAAA" teriaknya heboh. Remot di tangannya pun terlempar entah kemana. Nafasnya memburu karena ketakutan.

Sedangkan orang yang bertanggung jawab malah tertawa terpingkal-pingkal karena puas mengerjai adik kesayangannya itu. Berkali-kali dipukulnya lantai menandakan betapa dia sangat menikmati ekspresi yang dikeluarkan Kikwang. Sebelah tangannya memegangi perutnya yang terasa kram.

Kikwang mempoutkan bibirnya. Kesal karena terkena jebakan yang dibuat oleh Jaejoong. Ingin rasanya ia marah. Jantungnya benar-benar nyaris berhenti berdetak tadi saking terkejutnya. Juga tangan dan kakinya yang masih terasa lemas akibat keisengan Jaejoong. Ingin rasanya ia marah, tapi melihat noona-nya tertawa begitu lepas, hatinya mendadak hangat. Mungkin ini pertama kalinya dalam hidup ia melihat Jaejoong begitu manusiawi. Tidak seperti hari-hari biasanya yang selalu saja menguarkan aura gelap. Membuat siapa pun enggan berteman dengannya.

'Setelah dipikir-pikir, rasanya noona memang mulai berubah sedikit demi sedikit.' Batin Kikwang.

Meskipun keluarga mereka berisi banyak pelawak, tapi Jaejoong tak pernah menanggapi lelucon mereka dengan senyum, apalagi tawa. Tapi hari ini, dia bahkan bisa mengerjai Kikwang dan membuat dirinya tertawa puas. Selain itu, hal lain yang baru Kikwang sadari adalah pakaian yang dikenakan Jaejoong tidak berwarna hitam seperti yang biasa digunakannya. Justru dress baby blue dengan bordiran biru gelap di bagian dadanya. Juga ada jepit rambut berhiaskan gajah di rambut hitamnya. Kikwang tahu, noona-nya sangat menyukai hewan darat terbesar di dunia itu, tapi tak pernah sekalipun dia melihat Jaejoong menggunakan aksesoris lucu seperti itu.

Tanpa sadar, Kikwang tersenyum. Dalam hati dia sedikit berterima kasih pada namja Jung seusia Jaejoong yang telah membuatnya terlihat bodoh di depan Hyunseung dan membuat moodnya buruk sejak kedatangannya sepanjang hari tadi. Setidaknya sekarang dia sedikit memaafkan sikap menyebalkan namja tampan itu padanya.

Jaejoong sudah berhenti tertawa. Ditepuk-tepuk pipinya dengan kedua tangannya. Pipinya kram karena terlalu banyak tertawa. Ada setitik air mata di sudut matanya. Kikwang merangkak menuju noona-nya lalu tersenyum padanya. Diusapnya air mata 'kebahagiaan' itu dari mata cantik Jaejoong.

"Sudah puas tertawa, noona?"

"Ne. Hihihi.." Jaejoong masih saja terkikik.

"Noona, kalau pun Jung Yunho itu namjachingu mu, aku tak akan keberatan asal dia mencintai noona ku yang cantik ini dengan sepenuh hatinya. Meskipun dia sedikit menyebalkan, tapi aku tahu dia namja yang baik. Buktinya noona terlihat semakin cantik tiap harinya."

PLAK

Tangan Jaejoong mendarat mulus di atas kepala Kikwang. Tidak sakit, karena Jaejoong tidak menggunakan tenaganya. Kikwang tahu, Jaejoong berusaha mengalihkan perhatiannya. Buktinya, wajah putih Jaejoong bersemburat merah setelah mendengar pengakuan Kikwang barusan.

"Jangan menutupinya noona. Aku tahu. Kau menyukainya kan? Kali ini, biar aku yang menjadi peramalnya. Oke?"

"Hah?"

"Ani. Abaikan saja. Kalau noona berpacaran dengannya, aku yang akan menjadi orang pertama yang mendukung kalian sampai jenjang pernikahan. Percayalah." Ucap Kikwang mantap. Kedua tangannya berada di bahu Jaejoong.

"Gaya mu seperti orang kampanye walikota saja." ucapnya sambil berlalu dari hadapan Kikwang yang melongo.

"Jadi, akting ku tadi kurang menyentuh ya. Oke. Besok akan ku coba lagi."

"Kwangie, kau mau coklat tidak?" teriak Jaejoong dari dapur.

"Susu hangat saja, noona."

"Ne."

Kikwang kembali memusatkan perhatiannya pada televisi yang sudah berganti acara.

'Drama ahjumma-ahjumma. Tidak menarik.'

Kikwang mengganti channel.

'Berita malam. Bosan.'

Ditekannya lagi beberapa kali sampai dia menemukan acara yang sesuai dengan keinginannya.

'Daftar selebriti dengan orang tua selebriti juga. Hm.. Boleh.'

KRIIIIING.. KRIIIIING...

"Kwangie, angkat teleponnya."

"Ne, noona."

Kikwang berjalan menuju meja telepon yang terletak di sebelah kanan ruangan. Bersebrangan dengan tempatnya kini berada. Mengabaikan acara televisi yang menayangkan seorang namja dengan tinggi berlebih yang sukses menjadi aktor dan model. Tinggal dengan ayahnya yang seorang pengusaha furnitur dan ibu tirinya yang sukses sebagai designer, serta seorang kakak tiri laki-laki yang terkenal dengan kemenangannya dalam beberapa Olimpiade Sains semasa sekolah.

"Yoboseo.."

"Kwangie.. kau di rumah?" suara umma terdengar dari seberang line telepon.

"Tidak umma. Hanya ragaku saja yang di sini. Tubuhku sedang jalan-jalan keluar."

"Aigoo.. Aigoo... Anak umma yang tampan merajuk oeh?"

"Sudah tahu aku yang mengangkat, umma malah bertanya seperti itu."

"Ne... Mianhae. Tapi apa kau tidak tahu kalau raga itu sama dengan tubuh?"

"Oeh? Ne, aku lupa. Hehe.."

"Dasar kau ini. Oh, ya, sedang apa sekarang?"

"Menonton saja umma."

"Tumben sekali. Biasanya jam sebelas lewat baru pulang."

"Iya, kan mumpung tidak ada umma di rumah. Jadinya tidak akan ada yang memukuli ku di rumah." Kikwang mulai mencandai ummanya.

"Mwo?" Kikwang yakin, saat ini di kepala ummanya pasti sudah tumbuh dua buah tanduk. Terasa dari nada suaranya yang meninggi.

"Ani. Ani. Umma, bagaimana hyung. Sebenarnya hyung sakit apa?" Kikwang berusaha mengalihkan pembicaraan sebelum ummanya memantapkan dalam hati untuk menghukumnya begitu pulang.

"Ah, iya. Hampir saja umma lupa. Tolong kau bereskan kamar Chunnie. Besok kami semua pulang."

"Kenapa aku harus membereskan kamar hyung?" lagi-lagi, Kikwang mulai lambat mencerna informasi. Jaejoong meletakkan dua cangkir berisi minuman hangat ke atasmeja segi empat di depan televisi yang biasa mereka gunakan sebagai meja makan.

"Tentu saja karena Chunnie juga ikut. Kau ini bagaimana sih?"

"Oh, begitu. Baiklah. Ongkosnya 3000 won." Ucap Kikwang santai. Jaejoong mengerutkan kening karena dia tidak tahu apa yang tengah dibicarakan Kikwang dengan umma mereka.

"Mwo?" Gendang telinga Kikwang terasa mau pecah akibat teriakan sang umma di telinganya. Wajar. Jaejoong yang berada tak jauh dari Kikwang saja masih bisa mendengarnya, membuat yoeja cantik itu semakin penasaran dibuatnya.

"Oke. Tapi selama seminggu, uang jajanmu umma tahan. Deal?" Kikwang membulatkan matanya. Tidak bisa. Dia tidak boleh kehilangan uang saku lagi. Masa iya, dia harus minta bekal Hyunseung lagi seperti kemarin. Itu memalukan. Sungguh.

"A-ani. Araso. Akan ku bereskan." Kikwang masih bisa berpikiran rasional dengan mengalah. Dia tidak mau mempertaruhkan nyawa cacing di dalam perutnya karena kerja 'dipaksa' selama beberapa jam itu.

"Good boy. Ngomong-ngomong dimana hyung dan noona mu. Kedengarannya sepi sekali."

"Hyung pergi sejak sore tadi. Kalau noona ada di sebelahku. Umma mau bicara?"

"Ne. Berikan pada Jae."

"Okey. Mommy... Umma." Kikwang menyerahkan telepon di genggamannya pada Jaejoong kemudian mulai menikmati susu yang disediakan Jaejoong untuknya.

"Gomawo, noona."

.

.

.

.

Sepasang anak manusia masih asik di depan sebuah rumah berpagar putih. Rumah yang terdapat dibaliknya terlihat menjulang bahkan dari luar pagar. Rumah yang sangat besar. Pemandangan yang sama juga terlihat pada rumah-rumah lain yang ada di kompleks perumahan mewah itu. Rumah Junhyung terletak di daerah datar, jadi mereka tidak khawatir motor yang menjadi alas duduknya akan mundur karena lokasi miring daerah tersebut.

"Junnie, aku harus pulang. Ini sudah malam."

Sedikit tidak rela Junhyung melepas pelukannya dari pinggang Dojoon. Namja manis itu pun turun dari motor Dojoon. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket.

"Gomawo sudah menemaniku."

"Harusnya aku yang bicara begitu." Dojoon ikut turun dari motornya.

"Gomawo, Junnie."

"Ne. Cheonmaneyo."

"Ini." Dojoon mengeluarkan sebuah topi dari saku jaket bagian dalamnya dan memakaikannya ke kepala Junhyung.

"Pas sekali. Cocok denganmu. Kau terlihat tampan, Junnie." Junhyung tersenyum getir mendengar kalimat terakhir Dojoon.

"Bukankah ini yang ada di pameran tadi?"

"Ne. Itu ungkapan terima kasih ku untukmu."

"Gomawo. Apa kau mau singgah dulu?"

"Ah, sudah terlalu malam. Lain kali saja ne."

KRIEEET

Pintu di belakang Junhyung membuka sempurna. Dua namja dengan perbedaan tinggi yang sangat kontras keluar dari baliknya. Sang namja imut dengan kaos bergambar mickey mouse dilapisi sebuah cardigan menutupi tubuh mungilnya berjalan di sebelah motor yang sedang di keluarkan oleh seorang namja berwajah timur tengah. Tampan dan maskulin. Di punggung namja mungil terdapat ransel yang bisa Junhyung tebak isinya. Pakaian ganti.

"Oh, hyung sudah pulang?" tanya namja mungil itu ramah. Tidak kaget mendapati hyungnya berada di depan gerbang rumah mereka. Junhyung sudah mengiriminya pesan akan segera pulang tadi.

"Ne. Kalian mau kesana lagi?"

"Ne, hyung. Jarang-jarang kami bisa pergi. Hyung mengijinkan kami kan?" kali ini si namja jangkung berwajah arab yang bertanya.

Junhyung menghela nafasnya. Bagaimana dia akan melarang sedangkan keduanya saja sudah membawa perlengkapan mereka. Sejahat-jahatnya Junhyung, dia tidak akan tega melihat adik satu-satunya itu menangis karena permintaannya tidak dipenuhi. Junhyung pernah kalang-kabut karena adiknya itu menghilang tiba-tiba karena marah padanya yang lupa menjemput sepulang sekolah. Dan harus rela diabaikan selama tiga hari karena kecerobohannya itu. Belum lagi omelan panjang dari ummanya. Oh, dia tidak mau mengalami hal itu untuk kedua kalinya.

"Oh, Doojoon hyung! Kalian habis kencan ya?" teriak namja mungil itu heboh. Dojoon menyeringai nakal dan memberikan jawaban ambigu. Membuat Junhyung gemas untuk menjitak kepalanya.

"Menurutmu?"

TAK

"Yah, Junnie. Appayo.." keluh Dojoon sambil memegangi pucuk kepalanya. Tentu saja sakit, bunyinya saja terdengar jelas begitu.

"Hihihi.. Hyung lucu sekali. Kalian ini pasangan serasi loh."

"YA! Jangan menggoda ku!"

"Kalian memang cocok hyung." Timpal Dongwoon, si namja berwajah arab.

"Sudah. Berhenti. Kka.. Pulang besok pagi atau siang saja. Menginap di rumah Dongwoon juga tidak apa-apa. Aku khawatir kalau kalian pulang subuh, Lee ahjumma akan melaporkan yang macam-macam pada umma dan aboji."

"Jinja, hyung. Woaaaah... Hyung is the best!" teriak sang adik sambil memeluk hyungnya. Hatinya senang bukan main. Untuk pertama kalinya hyung yang over protektif padanya itu mengijinkannya menginap diluar tanpa pengawasannya.

"Jinja, hyung." Dongwoon meminta kepastian.

"Ne. Dan kau Dongwoon, jangan sekali-kali kau menggoda adikku dan menularkan virus Y mu padanya. Adikku masih polos."

"Hyuuuuung... Jangan begitu pada Dongwoon. Lagipula Sobie yang lebih tua darinya, jadi Woonie pasti lebih polos daripada Sobie. Kan Wonnie?"

"Darimana hyung tahu kalau aku pembawa virus Y?"

"Dari wajahmu yang mesum itu! Awas kalau kau macam-macam dengannya."

"Aigo hyung.. Wajah tampan begini.." ucapan Dongwoon terhenti begitu melihat mata Junhyung yang hampir keluar dari asalnya.

"Ne. Ne. Hyung. Arraso. Aku akan menjagnya dengan baik."

"Hyung, jangan terlalu keras dengan Woonie, nanti dia pergi."

"Haaah.. Terserah kalian saja."

"Ahaha.. Kalian lucu sekali." Seorang penonton sejati akhirnya buka suara.

"YA!" protes Junhyung dan Dongwoon bersamaan. Sedangkan Yoseob tersenyum malu-malu. Menggemaskan. Tangan Dojoon pun mendarat di atas rambut hitam Yoseob. Mengacaknya sedikit.

"Hey, hyung baru tahu kalau kau mengubah warna rambut mu lagi. Hitam ya?" tebak Dojoon.

"Ne. Bagus tidak hyung?" Yoseob menaik beberapa helai rambutnya. Memamerkan warna yang digantinya dua hari lalu.

"Sangat. Lebih baik hitam daripada warna apa pun. Karena itu warna asli rambutmu."

"Baiklah. Kami pergi dulu hyung. Sobie tidak mau terlambat, nanti didiskualifikasi." Yoseob sudah siap-siap duduk di belakang Dongwoon, lengkap dengan helm di kepalanya.

"Ne. Baik-baiklah di sana. Semoga berhasil. Dan kau, jaga adikku baik-baik. Arraso."

"Ne, hyung."

"Oke. Aku juga harus pulang. Semoga berhasil juga." Ucap Dojoon tanpa tahu apa yang sedang dibicarakan Junhyung dan adiknya. Perlombaan mungkin, pikirnya.

"Gomawo hyung. Kami pergi."

BRUUM

"Aku pulang dulu, gomawo untuk semuanya."

"Ne. Hati-hati di jalan."Tangan Junhyung melambai ke arah Dojoon yang semakin menjauh, tangannya memegang sebelah dadanya. Hati Junhyung berdenyut sakit.

"Sampai kapan akan begini?" lirihnya.

.

.

.

.

"Jaejae noona! Aku datang. Prince Shim Changmin yang tampan sudah tiba." Aku berdecak sebal dari balik selimut.

'Pagi-pagi begini sudah minta makan ke sini. Katanya orang kaya tapi kenapa kalau makan harus kemari sih?' runtuk ku. Karena sudah terlanjur terbangun dengan cara yang sama setiap harinya, aku pun duduk di tepi rajang. Mengembalikan nyawa yang belum terkumpul semua. Melanjutkan tidur hanya akan membuat kepala ku pusing. Belum lagi kalau si Tuan Muda itu berulah kalau melihatku belum bangkit dari tidur ku. Karena dia tidak akan berhenti menggelitiki tubuhku.

"Kwangie, bangun. Temani aku hari ini."

"..."

" Ya! Kim Kikwang. Bangun! Aku traktir kau es krim nanti." Seorang namja yang terlampau jangkung untuk anak seusianya menggedor-gedor pintu kamar ku dengan brutal. Padahal biasanya dia langsung masuk saja tanpa permisi.

"Kim Kikwang ayo main. Aku merindukanmu. Mumumumu..."

Aku bergidig ngeri. Bisa-bisanya aku punya tetangga dan berteman dengan orang yang seperti ini. Aish.. dan anehnya kenapa tidak ada seorang pun di rumah ini merasa keberatan dengan tingkah Changmin yang luar biasa manja itu. Atau mungkin, orang-orang di rumah ini yang terlampau baik.

"Arra.. Arra.." jawab ku malas. Aku membuka pintu kamar dan mendapati wajah tak berdosanya di depan pintu. Mataku masih mengantuk, jadi untuk menahan tubuhku agar tidak jatuh, aku pun menumpu tubuhku ke dinding bagian dalam.

"Hoammmmm.. Memangnya mau kemana sih?"

Ku lihat wajahnya berbinar senang. Bibirnya yang lebar melengkungkan senyum, membuatnya semakin lebar. Duh, kalau sudah begini pasti ada maksud tersembunyi. Aku malas memikirkannya.

"Ada game keluaran baru. Aku mau membelinya. Kau temani aku ya. Please..."

Sebulan yang lalu aku menemaninya mencari kaset game, dan hasilnya, kami harus mengelilingi kota Seoul karena apa yang dicarinya itu tidak ada dimana-mana. Usut punya usut, ternyata game itu baru akan dipasarkan bulan depannya. 'Mianhae, aku salah lihat tanggal.' Jawabnya santai. Aku jadi meragukan IQ-nya yang menurut lembar hasil tes bertuliskan 135.

"Ani. Nanti aku harus keliling Seoul lagi."

"Mwo? Ah, itu ya. Kali ini ku jamin tidak akan salah lagi. Aku sudah mencatat tanggalnya. Diangkatnya ponselnya yang bertuliskan 'NOTE' ke depan wajahku. Oke, dia memang mencatatnya. Tapi kalau sekedar memastikan, kan bisa browsing saja. Dasar.

"Baiklah, aku siap-siap dulu."

Aku membalikkan badan, hendak mengambil handuk dari dalam lemari. Changmin melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Seperti mencari sesuatu. Membuatku mengerenyit heran.

"Ada apa?"

"Tidak ada bau yoeja." Ucapnya santai.

"Mwoya?"

"Minggu lalu waktu aku menelpon, umma bilang kalau kau membawa pacarmu kemari. Tapi berhubung aku baru pulang dari Jepang semalam, mau tak mau aku baru bisa memasstikannya hari ini. jadi, mana gadis mu itu? Cantik tidak?"

Aku menganga selebar mungkin. Umma keterlaluan. Bukankah sudah ku bilang kalau Hyunseung bukan kekasihku. Jangan-jangan umma juga bergosip dengan ahjumma-ahjumma tetangga dan mengatakan hal yang sama. Aigo... mau taruh dimana wajahku yang tampan ini. Kalau Hyunseung memang kekasih ku sih, aku juga dengan senang hati menerimanya. Masalahnya dia hanya menganggap ku sebagai teman sekelasnya, tidak lebih.

"Umma bilang begitu?" Changmin menganggukkan kepalanya.

"Halmoni juga tahu." Tambahnya.

"Mati aku!"

.

.

.

.

Sudah dua jam Kikwang melangkahkan kaki keluar rumah. Tadi pagi ketika akan berpamitan dia tidak mendapati kedua saudaranya. Pintu kamar Dojoon belum terbuka. Mungkin penghuninya masih tidur. Semalam jam sebelas Dojoon baru sampai rumah. Dia tidak mendapati Jaejoong dimana pun. Beruntung sarapan sudah tersedia di meja makan. Setidaknya Kikwang tidak pergi dalam keadaan lapar. Ralat, Kikwang dan Changmin tidak pergi dalam keadaan lapar. Sebab jatah sarapan pagi itu dihabiskan oleh keduanya tanpa mengingat satu penghuni yang masih terlelap dalam mimpinya.

"Habis ini kemana lagi?" tanya Kikwang.

Changmin menepati janjinya untuk mentraktir Kikwang. Kini mereka sudah berada di sebuah kedai es krim. Di hadapan Changmin sudah ada dua wadah kosong yang sebelumnya berisi es krim ukuran jumbo dan sekarang tengah menghabiskan gelas pesanan ketiganya. Sedangkan Kikwang baru menghabiskan setengahnya. Itu karena dia sangat menikmati makanan berbahan susu tersebut. Menghabiskannya sedikit demi sedikit sambil merasakan sensasi dingin yang berubah menjadi hangat ketika masuk ke dalam mulutnya. Inilah kesenangan para pecinta es krim.

"Hahu hahih hau halang hehengkang."

"Ck. Pantas saja lidahmu beku. Lihat saja, entah sudah berapa liter yang kau habiskan." Tunjuk Kikwang pada wadah di depannya.

"Aish... Ini nikmat Kwangie."

"Memang nikmat. Tapi kau memakannya seperti orang yang tidak makan selama tiga hari saja. Laju."

"Ehehe... Makanan ada dan dibuat untuk memenuhi nafsu duniawi berupa pengisian lambung."

"Sok bijak."

"Aku memang bijak. Tanpa sok." Ujar Changmin mantap. Kikwang memutar bola matanya malas dan memilih diam sebelum percakapan mereka berubah menjadi debat kusir yang panjang dan tak berguna.

"Aku mau cari beberapa baju."

"Jangan lama-lama ya. Rasanya aku melupakan sesuatu di rumah. Dadaku berdebar kencang dari tadi."

"Biasanya setelah itu kau akan bertemu kesialan."

"Justru karena itu aku mau cepat pulang, menghindarinya."

"Um.."

Andaikan Kikwang sadar, bahwa si 'kesialan' itu tengah menunggunya di rumah.

.

.

.

.

TBC

29/05/13 "R"