Cast :

Kikwang Beast as Kim Kikwang

Jang Hyunseung Beast as yoeja

Dojoon Beast as Kim Dojoon

Kim Jaejoong TVXQ as yoeja

Genre : Romance dan Humor (gagal)

Rate : T

Author : Ayy88fish

Warning : Gender bender

Disclaimer : Cast semua milik Tuhan. Beast milik CUBE Ent dan Beauty. Cerita punya saya.

Selamat menikmati ^^

.

.

.

Hyunseung POV

Hujan masih menyisakan sedikit rinai di jalan yang kulalui. Mataku nanar. Tak berani memandang ke depan. Aku hanya menatap sepatuku yang basah terkena cipratan air yang tergenang. Aku tak mau dianggap cengeng olehnya. Apalagi cewek lemah. Itu akan menghancurkan image ku yang nyaris sempurna sebagai seorang gadis. Namja di hadapanku mencoba untuk meraih tanganku, tapi tanganku sudah lebih dulu ku lipat di dada. Sambil mencoba menahan air mata yang hampir menitik, aku menggigit bibir dan menundukkan wajahku semakin dalam. Aku tak akan kalah oleh pengkhianatannya! Rasanya aku sudah cukup bersabar, dan ini adalah akumulasi dari emosi yang selama ini tertahan.

"Mianhae..." ucap mu kemudian. Aku masih diam. Mencoba mencari kalimat yang tepat untuk meluncur dari bibirku.

"Eum... Bukankah kita masih bisa menjadi teman? Toh aku juga tidak pernah merugikanmu." Lanjutnya. Otakku masih berpikir keras. Aku harus tetap terlihat kuat dan sempurna di depannya meskipun itu hanya akting semata.

"Bagaimana? Aku sudah terlanjur menyukainya. Yah, bukan berarti kamu tidak menarik lagi. Hanya saja, kamu terlalu baik untukku. Dan aku tidak tega kalau harus mendua hati. Kecuali jika kamu mau membagi semua yang ada padaku berdua dengannya."

Cih, meskipun dunia terbelah aku tak akan pernah mau membagimu dengan siapapun! Tidak tahukah kau aku sangat mencintaimu? Lelaki pertama yang telah singgah dalam hidupku dan sekarang menghancurkan semuanya... Lee Joon. Tapi itu hanya menggema dalam hatiku. Tak satupun keluar dari bibir yang perih ku gigit sekuat tenaga.

Aku mengangkat kepalaku. Memandangnya lekat, setelah memastikan tak akan ada bulir bening yang mengalir. Senyum menjadi penguat, bahwa aku akan baik-baik saja tanpanya.

"Ne, gwenchana.."

"Kau benar, kita masih bisa berteman seperti sebelumnya. Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja." Masih dengan senyum yang mengembang di bibirku. Ku lihat senyuman mengembang lebar dari bibirnya. Oh, senyuman yang kuyakini hanya milikku, kini harus dimiliki oleh orang lain. Hati ini benar-benar hancur rasanya mengingat setelah ini aku bukan siapa-siapa lagi untuknya.

"Benarkah? Ah... aku senang sekali. Bukan! Maksudku, aku berterima kasih. Aku jadi tidak harus membagi hatiku pada yang lain. Dan tidak dianggap sebagai playboy yang suka menghancurkan hati wanita. Yah... begitulah.." kini tawamu berderai di telingaku.

Kau benar. Kau telah menghancurkan hatiku. Entah sudah berapa banyak wanita yang kau perlakukan sepertiku. Dengan alasan tidak ingin mendua hati, tapi tetap saja SAKIT!

"Aku mau pulang." Ucapku kemudian.

"Biar ku antar." Dia berjalan menuju motornya yang berdiri gagah di belakangnya.

"Ani. Aku pulang dengan bis saja. Lagipula aku tidak mau nanti kekasihmu mengira kita masih berhubungan. Kurasa itu bukan ide yang bagus..."

"Oh,begitu."

Oh, begitu?! Hanya itu yang bisa kau ucapkan?!

"Baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu. Kau benar tidak mau ku antar?" tawar mu lagi.

"Tidak. Terima kasih. Aku bisa pulang sendiri."

"Kalau begitu sampai jumpa besok di sekolah."

"Yah.. Bye.." hanya begitu saja? Tapi mungkin ini lebih baik. Setidaknya aku tidak perlu menangis di depanmu. Karna air mata ini tumpah begitu saja setelah kau berlalu dengan motor kesayanganmu itu. Aku ingin berteriak, tapi tak ada suara yang bisa keluar dari bibirku. Akhirnya aku hanya bisa menyandarkan badanku di dinding toko ini. Mengharapkan ada mukjizat yang akan menguatkanku dan membuatku melupakan semua kejadian buruk ini. Semoga...

Hyunseung POV end

.

.

.

.

Kikwang POV

Apa-apaan dia! Apa maksudnya sudah tidak mencintaiku lagi? Dasar wanita tak bisa dimengerti! Aku sudah tak mau tahu lagi tentangmu. Memuakkan!

Aku terus saja memakinya. Sepanjang perjalanan entah sudah berapa penghuni kebun binatang ku absen. Menunjukkan betapa kesalnya hatiku sekarang. Ah, benar-benar. Padahal aku sudah lama mengatakan padanya bahwa aku menyukainya, tapi entah kenapa dia malah memilih pria sialan seperti itu. Apalagi dengan alasan sudah tidak mencintaiku lagi. Berarti selama ini kau mencintaiku, begitu? BULLSHIT!

Omelanku terhenti ketika mataku menangkap sesosok gadis yang ku kenal. Ku lambatkan laju motorku untuk memastikannya. Benar saja. Itu memang dia. Hyunseung, teman sekelasku. Sedang apa dia di sini sendirian? Tunggu dulu. Dia menangis. Gadis sempurna itu menangis! Wah, kejadian langka..

Aku memutuskan untuk menghentikan motorku tak jauh darinya. Mungkin aku terlalu naif karena mencoba mendekatinya, tapi empatiku (sebut saja rasa penasaranku) lebih besar. Dan bukankah dia yang lebih naif karena sendirian saja di jalan sepi begini. Kalau tejadi sesuatu bagaimana?

Aku melangkah dengan pelan tapi pasti. Tak ada reaksi apapun darinya. Mungkin dia sedang terlarut dengan perasaannya dan tak ingin terganggu oleh apapun. Tapi karena (lagi-lagi) rasa penasaranku lebih besar dari rasa segan ku, aku putuskan untuk menepuk pundaknya. Yah, menurutku akan sedikit mengagetkannya tapi apa yang terjadi..

"Bruk..." badanku terhempas ke jalan. Rasanya ada tulang yang patah karena samar-samar terdengar juga bunyi "krek". Ya, dia mengempaskanku ke tanah ketika tanganku baru saja menyentuh pundaknya. Jelas aku menjadi orang yang terkejut dengan kejadian barusan. Aku sama sekali tak menyangka kalau dia ternyata bisa bela diri. Keahlian yang tertutup oleh wajah anggunnya. Kira-kira belajar dari mana, ya?

Aku berusaha bangun dengan menahan rasa sakit di pinggangku. Aigo.. mungkin ini yang dirasakan nenekku setiap pagi bila mendengar omelannya. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang membantuku berdiri. Tangan yang putih dan halus dan... wangi...

"Hah!" pekikku yang masih belum sadar sepenuhnya akan pesona gadis di depanku. Alhasil aku nyaris terjatuh lagi tapi dengan cepat dia menopang tubuhku.

"Mm... mian... Aku tidak bermaksud melukaimu. Itu, refleks. Mianhae.." ucapnya kemudian. Masih ada sisa tangis yang tergambar di wajahnya selain wajah penyesalan tentunya.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Mana mungkin aku tidak apa-apa setelah suara 'bruk' dan 'krek' yang terdengar jelas tadi.

"Oh, tenang saja. Aku tidak apa-apa." Ah... jawaban apa ini. Dasar mulut pabo!

"Hm... apa kau yakin? Sepertinya tadi aku mendengar bunyi yang tidak nyaman."

"Sudah ku bilang tenang saja. Aku masih bisa jalan sendiri. Sudah, lepaskan tanganmu." Jawabku sok kuat.

"Kau yakin?" mungkin dia mencemaskanku.

"Ne." Jawabku mantap.

"Baiklah." Dengan dinginnya dia melepaskanku begitu saja. Lagi-lagi aku mendengar bunyi itu. Dia sukses mematahkan tulang dan semangatku dalam satu genggaman. Luar biasa!

"Hm.. Kurasa aku perlu bantuan." Akhirnya aku mengalah. Dia tertawa kecil. Manis.

"Jadi sekarang kau tidak yakin kau baik-baik saja?"

"Yeah.." jawabku malas.

"Bukankah lebih baik begini dari tadi?" Dia mengangkatku dengan ringannya. Mungkin seringan kapas. Aku benar-benar menemukan pemandangan ganjil seumur hidupku. Mungkin hanya aku sendiri yang pernah melihat semua kejadian itu dari dekat –mengingat dia tidak pernah punya teman dekat-. Jangan-jangan dia bukan manusia.

Kami duduk di tempatnya tadi menangis. Aku menarik napas dalam. Mencoba mengurangi rasa sakit yang mulai menyerang tulang belakangku. Baru kali ini ada gadis yang berani membantingku. Walaupun aku jahil, tidak ada yang pernah membalasku dengan hal seperti tadi. Jujur, aku masih syok.

Dia mendekati motorku. Lalu menyalakannya. Hah, apakah dia juga akan mengambil motor kesayanganku? Umma... dosa apa aku harus menerima ini semua. Itu adalah hartaku yang paling berharga. Kubeli dengan kerja kerasku selama 2 tahun (jangan lupakan jasa Appa yang menutupi kekurangannya), sekarang harus dibawa pergi menjauhiku? Aku tak rela! Andaikan saja tadi aku tidak menghampirinya... Aku menyesal dalam hati.

Dan benar saja, tanpa ba bi bu dia langsung melarikan motorku dengan laju. Aku pasrah saja. Dengan pinggang babak belur begini mana mungkin aku sanggup mengejarnya. Biarlah besok di sekolah aku 'menyelesaikannya'. Itupun kalau aku masih mampu berjalan.

Aku menutup mata. Meratapi nasib mungkin.

Tak berselang lama, aku mendengar deru mesin yang ku kenal. Halusinasi. Tidak. Ini nyata. Dia kembali dengan motor merahku. Harta ku yang paling berharga. Ah.. rasanya aku ingin melompat saking senangnya. Dan tentu saja, aku juga ingin memukul kepalanya kalau dia laki-laki. Huft..

"Aku bisa mengendalikannya. Sekarang katakan dimana rumahmu?" dia bertanya tanpa turun dari motorku. Sekarang, dia terlihat gagah. =.=" Hilang kemana aura anggunmu?

"Ya! Aku tanya dimana rumahmu?" ulangnya lagi.

"Mwo?" tanyaku tak percaya.

"Aku akan mengantarmu dulu baru pulang."

"Hah?!" aku berusaha meyakinkan telingaku agar tak salah dengar.

"Ya! Ini motor besar. Bagaimana mungkin kau bisa mengendarainya. Mungkin kau malah baru kali ini menaikinya. Aku tidak mau mati konyol bersamamu." Tolakku.

"Kalau menaiki motor seperti ini, bukan pertama kali. Tapi mengendarainya memang baru kali ini. Ah, kau tenang saja. Aku jamin kita selamat sampai rumahmu. Aku sudah mencobanya tadi. Kau juga lihat sendiri kan?"

"Tidak. Aku tidak mau." Aku masih berkeras menolak idenya.

"Apa kau yakin bisa menyeret motormu pulang dengan kondisi seperti itu?" dia menunjukku dengan kepalanya.

"Apa maksudmu dengan 'kondisi seperti itu'? Kau meremehkanku? Aku ini punya imunitas yang kuat!"

"Puh.. Kau itu sedang memar. Ototmu terbentur. Lecet juga. Kalau terkena flu, kau boleh bicara seperti itu." dia berusaha menahan tawanya. Apa dia pikir aku sedang melucu?

"Sudahlah. Sini. Kau harus segera pulang agar lukamu bisa cepat ku obati. Katakan dimana rumahmu. Aku akan jamin hidupmu." Setelah menimbang untung ruginya, kuputuskan mengikuti sarannya.

"Baiklah. Tapi kau jangan kaget bila sudah sampai di rumahku."

"Ne."

"Dan diam saja jika ada yang bertanya padamu."

"Wae?"

"Itu syaratnya kalau kau ngotot ingin mengantarku pulang."

"Oke. Baiklah."

Brum... Motor melaju setelah aku duduk manis di belakangnya. Uh... rasanya memalukan, berada di belakang gadis yang melarikan motormu dengan kecepatan tinggi. Tapi tidak ada buruknya juga. Setidaknya aku tidak perlu susah payah membawa motorku pulang, meskipun nyawaku masih terancam.

Sesampainya di rumah aku tidak langsung turun. Jok belakang yang menungging membuat pinggangku terasa semakin nyeri. Butuh sedikit waktu untuk meluruskan pinggang yang nyaris patah ini. Oh ya, aku lupa. Sebelum pergi tadi aku bertengkar dengan umma. Jangan-jangan dia sedang menungguku dengan seember...

"Byur..." benar dugaanku. umma datang dengan seember air bekas cucian baju. Tapi itu hanya sedikit mengenaiku, sedangkan yoeja yang masih duduk di depanku sudah basah kuyup. Sempat ku dengar omelan umma sebelum kemudian dia memekik dengan keras.

"Omona... Mianhae. Mianhae. Mianhae..." berulang kali umma menundukkan kepalanya menandakan ia benar-benar menyesal.

"Gwenchana. Gwenchana. Sudahlah, Ahjumma. Aku tidak apa-apa." Jawabnya. Kurasa dia sedikit syok tadi.

"Aduh.. bagaimana ini. Bajumu basah semua. Kau ganti saja dengan baju kakaknya Kikwang. Aigo, ceroboh sekali sih aku ini..." masih terus saja mengalir keluhan panjang dari bibirnya.

"Umma... Sampai kapan umma akan membiarkan gadis ini akan kedinginan di sini?"

"Ah. Kau juga. Kenapa tidak bilang umma dulu kalau kau akan membawa temanmu kemari. Kau ini ingin mempermalukan umma ya." umma mulai lagi dengan kebiasaannya yang suka memukuliku. Meskipun tidak sakit tapi rasanya memalukan bila ada temanku yang melihatnya. Kekanak-kanakan.

"Umma. Sudahlah. Biarkan kami masuk."

"Oh iya. Masuklah. Silahkan. Tapi rumah kami kecil. Jadi mohon maaf kalau sempit." umma ku mempersilahkannya masuk.

Yoeja itu tersenyum sambil memegangiku yang mencoba turun. Umma yang hendak masuk ke rumah menghentikan langkahnya lalu berbalik.

"Kenapa kau memapahnya? Dia itu laki-laki. Biarkan dia berjalan sendiri."

"Aniyo... Ini, dia sedang terluka."

"Mwo? Berkelahi dengan siapa lagi kali ini? Kau itu selalu saja menyusahkan orang tua. Umma sudah tidak mau tahu lagi. Pulang-pulang selalu saja membawa luka. Seberapa banyak sih musuh yang kau miliki? Kapan kau akan dewasa. Sebentar lagi kau akan lulus SMA." Aduh... Kenapa aku harus punya umma yang heboh seperti ini sih.. Aku jadi benar-benar malu dengan dia.

"Maaf. Dia bukannya berkelahi. Tapi saya yang melukainya tadi. Tidak sengaja." Mungkin gadis itu merasa tak nyaman mendengar omelan umma.

"Umma. Biarkan kami masuk dulu." Aku mengajak gadis basah kuyup itu masuk ke rumah meninggalkan umma ku yang masih terngaga. Mungkin tidak mengira aku akan pulang tengah malam begini sambil membawa bidadari. Hal yang tak akan pernah terlintas dalam pikirannya. Ditambah lagi tanpa sengaja membuat bidadari ini harus menggigil kedinginan. Tapi yang lebih ku takutkan bukanlah umma. Tapi seisi rumah yang super duper heboh. Keramaianlah ini yang membuatku sulit untuk mengenalkan gadis yang ku sukai ke rumah. Tampangku memang sedikit berandalan (yah...anggap saja begitu) jadi rasanya mustahil aku akan menarik hati teman wanitaku, begitu kata nenek.

Dan benar saja, mereka sudah antri di depan kamar mereka masing-masing. Dengan cepat aku memberi kode 'jangan tanyakan apapun sebelum gadis ini pulang'! Nenek sudah beranjak dari tempatnya. Seperti tengah mengkhawatirkan cucu bungsunya ini, dia lalu ikut memapahku berjalan (padahal biasanya ikut nimbrung kalau umma tengah memarahiku).

Kurasa seisi rumah juga sudah tahu keadaanku. Mengingat kehebohan yang umma ciptakan di depan rumah tadi. Kakak ku datang dari dalam dengan air hangat dan kotak obat di tangannya. Wajahnya tetap saja tidak berubah. Dingin. Sampai-sampai aku pernah berpikir dia bukanlah kakak kandungku, ditemukan umma entah dimana lalu di besarkan bagai anak sendiri. Tapi ketika aku bertanya pada umma, aku malah mendapat omelan panjang yang intinya malah aku yang aneh karena mencurigai kakakku sebagai alien. Huft...

Aku meminjam baju kakakku. Tentu saja bukan untukku tapi untuk gadis yang tengah kedinginan ini. Yoeja manis itu awalnya berkeras menolak, tapi ketika aku menunjuk bagian dadanya, dia pun menyerah. Jelas tercetak di sana bentuk 2 buah kurva yang tertutup dress berwarna putih. Setelah yakin dia ganti baju dengan aman dan nyaman di kamar kakakku, keluarga ku mulai kelihatan aslinya. Tanpa basa-basi mereka terus saja menanyaiku tentang gadis yang ku bawa. Pinggangku, ku serahkan saja pada kakak yang lebih ahli (kuliah di kedokteran). Dan pertanyaan bejibun itu akhirnya ku jawab dengan diam.

Tapi memang dasar keluarga ku keluarga tak tahu malu, bisikan-bisikan pun lama-lama berubah menjadi makin nyaring. Malu yoeja itu mendengarnya, aku pun menjawab sekenanya. Suasana yang semakin ribut tiba-tiba sunyi. Ternyata dia sudah duduk di sebelahku.

Umma... Bidadari itu mau pakai baju putih ataupun hitam, tetap saja bidadari (tidak seperti kakakku). Aku pun sempat terpana (lagi) oleh pesonanya. Benar-benar aura yang berbeda. Hampir saja ada pertanyaan terlontar dari nenek, tapi cepat ku tahan dengan menyenggol kakinya. Dia pun urung bertanya.

Ayah yang dari tadi diam saja di depan tv, berbalik dan ikut membentuk lingkaran tak beraturan dengan anggota keluarga yang lain. Wajahnya memang sangar seperti orang mau marah, membuat orang yang tidak mengenalnya sering salah paham. Mungkin kakak perempuanku mewarisi sifatnya yang ini.

"Siapa nama mu?" masih dengan wajahnya yang ngajak berantem dan nada yang tak bersahabat.

"Hyunseung, ahjussi." Tak ada hawa takut di wajahnya.

"Apakah kau teman anakku?"

"Ya. Saya teman sekelasnya."

"Kenapa malam-malam begini kau bisa bersamanya? Bukankah ini sudah larut?"

"Mianhae ahjussi. Tadinya saya ada janji bertemu dengan teman lama. Tapi kami lupa waktu. Karena arah pulang kami berbeda, saya terpaksa pulang sendiri. Di tengah jalan saya bertemu Kikwang, karena hujan mata saya tidak terlalu jelas melihatnya. Dia terus mengikuti saya tanpa membuka helmnya. Saya kira dia berniat jahat. Ternyata dia ingin mengantar saya pulang. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah merepotkan. Maaf.."

"Ahahaha... Tindakanmu tepat sekali. Dan wajahnya itu memang tidak meyakinkan." Ayah tertawa sambil menunjuk ke arahku.

"Appa.." kataku mencoba memutus tawanya yang tak sesuai dengan wajahnya.

"Wae? Kau malu aku mengataimu di depan gadis ini? Ah, Ayah tahu. Dia gadis yang kau sukai ya?" tanya Ayahku yang tak memedulikan perasaan yeoja cantik itu.

"Appa.." cegahku lagi.

"Hah.. Dasar anak cengeng pemalu. Mau sampai kapan kau main-main dengan motormu? Memang sudah saatnya kau membawa gadis ke rumah ini. Tak ku sangka anakku pandai juga memilih. Ahahaha... Anakku memang daebak! Daebak!" tawanya semakin keras dengan jempol yang teracung di depan mukanya. Membuat wajahku mau tak mau memerah juga. Memangnya siapa yang membuatku tak ingin membawa yeojachingu ku ke rumah... Sekilas aku menoleh ke Hyunseung, wajahnya masih tanpa ekspresi. Wah, dingin sekali sikapnya itu.

"Sekarang sudah larut malam." Ucap nenek.

"Apa kau mau menginap di sini? Kami khawatir kalau kau pulang malam-malam sendirian. Lagipula si bodoh ini juga tidak bisa mengantarmu pulang." Tawar nenek.

"Aniyo.. Khamsahamnida. Tapi aku harus pulang. Aku tidak enak kalau harus merepotkan lagi." Tolaknya halus.

"Ah, tidak apa-apa. Kau bisa tidur sekamar dengan Jaejoong. Bagaimana Jae?" umma ikut-ikutan menahan Hyunseung.

"Hm? Silahkan." Jawab kakakku datar. Masih mengoleskan obat memar di pinggangku.

"Tapi.."

"Sudah. Sudah. Kau tidak ingin membuat kami tidak bisa tidur nyenyak karena mengkhawatirkanmu, kan? Itu akan lebih merepotkan kami." Nenek terlihat sedikit mengancam.

"Ya, lagipula besok libur. Biar kami nanti yang menghubungi orang tuamu." Ayah turun suara.

"Baiklah. Kalau tidak merepotkan, saya sangat merasa berterima kasih. Tapi apa benar tidak apa-apa?" kali ini dia menatapku, mencoba mendapat persetujuan dariku. Aku menarik nafas.

"Terserah sajalah. Mau ngotot, kau juga akan kalah. Karena mereka akan tetap memaksamu tinggal." Ucapku kemudian.

"Nah, kalau begitu malam ini kau menginap di sini kan? Rumah kami memang terasa sempit karena kami keluarga besar tinggal serumah. Kuharap kau bisa betah di rumah ini. Wah rasanya menyenangkan sekali ada gadis di rumah kami."

"Maksud umma kakak bukan gadis?" nadaku sedikit mengejek.

"Ah.. bukan begitu. Kau ini. Dasar nakal!" ummaku mulai lagi memukuliku. Pelan.

"Oh ya. Berapa nomor rumahmu? Biar nenek yang memberitahu orang tuamu." Nenek sudah siap dengan telepon di tangannya.

"Ah, masalah itu biar saya sendiri yang menghubungi umma. Saya permisi sebentar." Jawabnya seraya beranjak keluar.

"Oh, baiklah."

"Permisi.." Hyunseung melangkah keluar. Menuju teras rumah. Tak lama kemudian terdengar suaranya yang tengah bercakap dengan ponselnya.

"Dia tidak menghubungi rumah. Bahkan ponselnya tidak hidup." bisik kakak nyaris tak terdengar.

"Mwo?" tanyaku memastikan.

"Ani... Sudah sana tidur. Jangan paksakan pinggangmu menahan beban kalau masih ingin berjalan tegak." Nadanya sedikit mengancam.

"Aku mau menunggunya dulu. Memastikan dia baik-baik saja."

"Terserah." Jawabnya kemudian. Satu persatu anggota keluarga ku masuk ke kamar. Tidak dengan orang tuaku. Sepertinya mereka juga ingin memastikan Hyunseung diperbolehkan tinggal semalam di rumahku. Yang di tunggu akhirnya masuk juga.

"Umma membolehkan saya menginap. Saya mengatakan akan menginap dirumah teman sekelas karena kemalaman."

"Kau tidak bilang temanmu itu pria atau wanita?" tanyaku.

"Tidak. Aku hanya bilang teman sekelas. Aku juga memberikan alamat rumah ini. Jadi kalau ummaku tidak percaya, dia bisa datang sendiri ke sini."

"Yah, tidak apa-apa. Kalau ummamu meragukanmu, biar ahjumma yang menjelaskannya nanti. Sudah malam. Tidurlah dengan Jae." Ucap umma.

"Ne, ahjumma. Khamsahamnida. Saya masuk dulu."

"Hei, baik-baik dengan kakakku. Dia memang agak aneh. Tapi dia baik. Oh ya, jangan biarkan dia membaca pikiranmu. Hanya itu saja bahaya dekat dengannya."

"Ha?"

"Sudah. Sudah. Kau ini ingin menakuti kekasihmu ya? Biarkan dia tidur. Dia pasti juga sudah letih." Umma masih saja mengira Hyunseung kekasihku. Dasar ngotot.

"Kau juga. Besok kau harus mengantarnya pulang. Mengerti?"

"Ne, appa." Jawabku malas.

"Selamat tidur.." ucapku. Kami beranjak masuk ke kamar masing-masing. Umma mengantar Hyunseung ke kamar kakak. Huft... Semoga dia bisa tidur nyenyak malam ini.

Kikwang POV end

.

.

.

TBC

HOYA... Ayy dateng ama FF baru nih.. KiSeung lagi. Mana KiSeung shipper. Ayo merapat c: