WARNING: Perhatikan Alur Maju-Mundurnya, Sinetron wanna be (?), little bit time travel, mistype, maybe OOC, etc.

"Kau bisa bawa kopermu sendiri kan?"

Sasuke mendengus dan segera menutup bagasi belakang dengan keras setelah mengambil kopernya. Ia tidak butuh bantuan karena ini hanya beberapa lembar pakaian karena ia tidak akan lama tinggal di rumah Itachi. Mana sudi dia!

Lalu Itachi membuka pintu yang langsung disambut kakak iparnya dan Sano, keponakannya. Wajah mereka tegang dan cemas, khususnya Sano kecil yang langsung berlari menghadangnya dan bertanya , "Apa Paman Sasuke baik-baik saja?" aneh, harusnya bocah itu takut padanya setelah kejadian ia menerobos masuk.

Karena suasana hatinya sedang buruk, jadi ia hanya menyeringai tidak peduli dan menggeser bahu anak itu agar ia bisa lewat. Kiranya sopan satun tidak diperlukan karena ia benar-benar lelah, toh Itachi sudah tahu apa yang terjadi; Sasuke yang frustrasi ditinggal mati istrinya.

"Dimana kamarnya?" tanya Sasuke dengan tampang lurus.

"Sebenarnya gudang atas belum dibereskan—"

Sasuke melotot. Apa? Serius Itachi ingin menempatkannya di ruangan seperti itu?

Itachi tiba-tiba nyengir. Rasanya ia ingin memukul kakaknya sekali lagi karena berusaha menggodanya—ia tidak sedang mood! Ia masih benci Itachi karena meninggalkannya demi kebahagian sendiri!

"Sudah kau siapkan, Sayang?" Itachi bicara dengan Hana yang ditanggapi dengan anggukan.

Lalu Sasuke dibawa ke kamar barunya dipimpin Itachi yang membawa serta Sano. Ia kira itu benar-benar di loteng lantai dua, namun ternyata melewati dapur dan ke halaman belakang. Ia melihat sebuah rumah (kalau bisa dikatakan seperti itu) kecil. Sebenarnya dinding dan tataminya masih bagus, hanya pintu geser itu saja yang agak mengkhawatirkan. Setelah dibuka, sudah tersiap ranjang single, lemari dua pintu, meja nakas yang terdapat lampu tidur, pemanas ruangan dan sebuah kotatsu di tengah ruangan.

"Disini."

Sasuke meletakan kopernya di atas ranjang.

"Sebenarnya ini gudang milik Kiba, kau tahu adik Hana? Apa kalian berteman? Karena kudengar dari Hana, Hinata temanmu juga."

Sasuke menegang, namun gesture tubuhnya kembali normal beberapa saat, "Bukan. Tapi Kiba memang temanku."

Itachi hanya mengangguk dengan dahi mengkerut, Sasuke lega.

"Makan malam pukul tujuh, siang pukul satu dan sarapan pukul tujuh. Kau telat maka kuseret,"Itachi bergurau lagi, tapi tidak ampuh bagi Sasuke. Jadi ia berdehem dan menatap anaknya, "Oke, Sano. Kita harus meninggalkan pamanmu ini sebentar. Dia bukan bunglon, jadi butuh penyesuaian lebih lama."

Sano tersenyum renyah dan memberi 'Da-dah' pada Sasuke sebelum Itachi menutup pintu dan menyisakan Sasuke sendiri lagi.

Menyisakan satu pertanyaan.

Kenapa aku mau dibawa ke tempat ini?

.

.

.

Reason

.

.

.

Sasuke tidak tahu alasan pasti Itachi tiga tahun ini tidak pernah lama tinggal di rumah. Sasuke hanya baru menyadarinya ketika ulang tahunnya yang baru lewat seminggu. Itu dimulai saat makan malam berlangsung dimana hanya ada dirinya dan kakeknya. Ia menggunakan arloji yang Hinata hadiahkan padanya. Rencananya setelah makan malam ini, ia ingin mengajak Hinata ke sebuah karaoke. Tentu tidak hanya berdua, mana ia berani! Ia hanya ingin mengenalkan Hinata pada anggota-anggota klub baseballnya.

"Kau akan pergi, Sasuke?"

Sasuke mengangguk dalam diam karena sedang memasukan potongan terakhir tenderloin dengan black paper. Ia segera meraih air minumnya dan lekas pergi setelah pamit.

Sasuke langsung berlari ke tempat Hinata dan mengetuk pintu. Tangannya tiba-tiba dingin, padahal ini masih musim panas. Mungkinkah ia gugup?

Entahlah. Ia hanya tidak bisa diam, jadi ia mengetuk sekali lagi yang selanjutnya dibuka oleh Hinata. Ia heran melihat Hinata belum siap-siap, masih memakai baju rumahan biasa dan sendal bulu motif Hello Kitty.

"Kenapa belum siap-siap?"

Saat itu Sasuke melihat kecemasan dimata Hinata. Entah kenapa, akhir-akhir ini Hinata berubah. Sasuke tahu Hinata sudah berhenti kerja part-time itu, tapi tampang lelahnya masih tetap ada. Hinata juga jarang tersenyum sekarang.

"Sasuke, sepertinya … aku tidak bisa ikut," Hinata berkata pelan sekali.

Sasuke tentu yang saat itu masih remaja tanggung berkerut tidak mengerti. Ia yang masih egois, jadi ia menuntut, "Kenapa? Kenapa mendadak sekali? Kau tahu kan aku tidak bisa membatalkan ini!" Sebenarnya hal ini tidak perlu dibatalkan, pasalnya ada atau tidaknya Hinata tidak jadi masalah. Tapi memang Sasuke sudah terlanjur mengumbar pada teman-temannya, tentu akan malu bila datang seorang diri. Yang lain berpasangan disana, tentu ia juga ingin; terlepas dari rasa cinta terpendamnya.

"Aku aku menunggu disini, kau ganti baju saja sana!" katanya tidak menyerah.

"Sasuke—"

Lalu muncul Kepala Keluarga Hyuuga dari belakang Hinata. Sudah lama Sasuke tidak melihat ayah Hinata, kini wajah itu amat lelah dan tua. Ia tiba-tiba merasa firasat tidak enak dari kehadiran Hiashi diantara mereka. Ayah Hinata itu jarang mencampuri urusan anak-anaknya, sibuk bekerja untuk menghidupi dua anak dan satu keponakan juga dirinya sendiri. Seorang diri.

Lalu kenapa tiba-tiba seperti ini?

Sasuke segera memberi salam yang dibalas anggukan juga tampang lurus-lurus saja itu. Tiba-tiba hati Sasuke berbisik cemas.

"Maaf Sasuke, Hinata tidak bisa pergi kali ini. Kau bisa kan pergi sendiri?" ujar Hiashi. Dari nada suara yang tenang itu, Sasuke tahu ada makna pengusiran.

Sungguh, saat itu ia ingin meneriakan "Kenapa?" tapi urung terucap lantaran sudah ditimpali.

"Lain kali saja ya." itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan dari Hiashi.

Lalu hening mengisi karena tidak ada yang ingin memberi penjelasan pada Sasuke remaja saat itu. Akhirnya Hiashi dan Hinata mengucapkan selamat malam padanya dan menutup pintu.

Dan firasat buruk itu terjadi keesokannya, kata "Lain kali" yang diucapkan ayah Hinata tidak menjadi kenyataan. Itu hanya menjadi perhiasan kata atau alasan untuk menghindar. Sasuke menjadi sulit menemui Hinata, mau di sekolah atau di rumah tetap sama. Katanya Hinata sibuk inilah – sibuk itulah.

Lalu, dengan nekat yang didorong rasa rindu (apa dia gila? Tidak bertemu tiga hari saja sudah seperti ini), Sasuke akan meloncati pagar di samping rumahnya yang akan membawanya langsung pada halaman belakang Hyuuga yang sempit; mengecek Hinata. Tapi nanti, kini ia harus makan malam yang (lagi-lagi) hanya berdua saja. Ingin sekali ia menyeret Itachi pulang.

Apa yang Si Bodoh itu kerjakan sih?

Entah kenapa kecanggungan tidak berkurang pada setiap makan malam mereka. Selain Sasuke yang tidak ingin membuka diri, kakeknya juga tertutup. Dari pagi sampai sore kakek selalu kerja, apa tidak ada hal menarik yang ingin diceritakan? Padahal Sasuke bisa saja terbuka, asal kakeknya juga. Tapi sepertinya itu masih sulit untuk mereka.

"Apa yang terjadi di sekolah?" kakek bertanya seperti biasa, jadi Sasuke jawab seadanya.

"Tidak ada apa-apa," tapi kalau dipikir, Sasuke juga orangnya tidak peduli. Jadi, mungkin itu harus sedikit diubah. Karena jujur, ia kesepian, "Bagaimana dengan kakek?" tanya Sasuke sembari menyuap sup krimnya.

"Tidak ada apa-apa juga," jawab kakek yang buat Sasuke bete. Kalau kayak gini, Sasuke bakal males tanya lagi.

Sasuke segera menghabiskan sup krimnya, siap melancarkan rencana tadi, tapi ia ditahan kakeknya yang bertanya sesuatu.

"Bagaimana kabar Itachi?"

Sasuke terperanjat, belum pernah kakek bertanya perihal Itachi. Perang dingin yang ia tidak tahu apa sebabnya sejak tiga tahun kedatangan kakeknya sudah membuat Itachi berubah. Lagipula Itachi sudah jarang menghubungi setelah memberinya hadiah waktu itu. Bukannya ia tidak pernah mencoba menelepon, sering malah.

Sasuke menggeleng.

Lalu telepon rumah berdering. Deringnya terasa kencang, tapi anehnya tidak ada yang bergerak untuk menjawab, jadi Sasuke putuskan ia yang akan mengangkat. Awalnya suara dalam telepon sunyi, ia berniat menutup tapi terdengar suara isakan wanita berkata dengan suara bergetar. Wanita itu bertanya apa dia Sasuke dan ia mengiyakan. Lalu dengan penuh perhatian Sasuke mendengarkan. Lirih, pelan, lama-lama menusuk jantungnya.

Tanpa berpikir panjang, Sasuke segera mengambil jaketnya dan ingat untuk mengabarkan kakeknya tentang hal ini.

"I-Itachi … Itachi kecelakaan! Kita harus kesana, Kek! Kita kesana!" Ia kalap, khawatir, bahkan hampir menangis. Di dunia ini, hanya sedikit orang yang ia sayangi, termaksud kakaknya, Itachi.

Kakek diam sejenak lalu mengatakan dirinya akan menyusul. Sasuke mengiyakan dengan gelisah, bahkan tidak melihat keganjilan itu. Ia segera ke stasiun dan naik shinkansen menuju Nagoya. Perjalan hanya butuh waktu setengah jam. Ketika sampai ia segera menghentikan taksi dan menyuruhnya membawa ke rumah sakit yang wanita itu katakan padanya di telepon.

Tepat pukul delapan lewat lima belas saat Sasuke memaksa seorang perawat jaga untuk membiarkannya masuk. Mereka sempat berdebat, tapi karena iba melihat anak muda itu datang dari jauh (Sasuke menjelaskan tadi) dengan berkeringat dan airmata menggenang, Si Perawat mengatakan pasien bernama Uchiha Itachi ada Instalasi Gawat Darurat di ujung lorong.

"Terima kasih!" seru Sasuke lalu berlari walau ia harus memelankan larinya karena ditegur.

Di depan ruang IGD, Sasuke membeku. Kakaknya masih dalam penanganan medis, itu yang dikatakan seorang kolega wanita yang menunggui kakaknya. Sasuke pun jatuh terduduk di bangku panjang bersama teman kakaknya. Teman kakaknya itu bercerita tentang kronologi kejadian sedang ia merenung.

Si Bodoh itu menyeberang jalanan untuk mengambil seekor anjing malang yang meringkuk di jalanan lalu tidak di sangka, lampu merah berlalu. Jalanan yang tadinya lengang tiba-tiba diisi sebuah truk ikan yang melintas ugal-ugalan. Kakaknya tertabrak dan anjing yang ditolong baik-baik saja.

Apa sih yang Bodoh itu pikirkan? Itachi bodoh! Itachi Konyol!

Sasuke diam-diam menangis tanpa suara.

Lalu dokter yang menangani Itachi keluar. Sasuke bertanya keadaan Itachi dan dokter menjelaskan.

"Untungnya daerah vital baik-baik saja, sedikit luka ringan di lengan dan kaki. Tapi yang membuat saya khawatir, gegar otaknya. Semoga besok baik-baik saja," jelas dokter.

Sasuke tenang sekaligus was-was. Malam itu berdoa semoga masa kritis Itachi lewat. Ia pun lupa kealpaan kakeknya, padahal sudah berjanji akan menyusul.

Baru dua hari Itachi sadar lalu lupa apa yang telah terjadi padanya. Sasuke kontan khawatir dan dokter menyimpulkan kalau Itachi mengalami sedikit gangguan diotak yang mengakibatkan sering lupa atau amnesia jangka pendek atau melupakan hal-hal kecil. Tapi untung tidak melupakan Sasuke adalah adiknya, bahkan masih sempat meledek Sasuke yang hampir menangis saat Itachi (ternyata) pura-pura lupa tentang dirinya.

Akhirnya, Sasuke (baca: memaksa) membawa Itachi ke rumah setelah diijinkan dokter. Itachi nurut, tidak mau membuat Sasuke makin khawatir. Meski ia mengalami gegar otak, ia tidak lupa apa yang terjadi dengan keadaan rumah. Sebab keengganannya kembali kesana.

Dan Sasuke mulai bertanya-tanya juga dengan sikap kakeknya pada Itachi.

.

.

.

.

"Dimana aku meletakannya sih?" gumamnya pada diri sendiri.

Hana yang ada di dapur menoleh ke ruang tamu dan bertanya pada suaminya, "Apa yang kau cari, Sayang?"

Itachi menoleh ke sana kemari, semoga mendapat peruntungan dengan benda yang ia cari, "Album foto kita. Aku lupa."

Hana pun menghampiri suaminya setelah melepas celemek motif bunga krisan, "Sudah dicari ke kamar? Kau selalu meletakannya di sana, tidak akan berpindah kalau tidak ada yang mengambil."

Itachi berpikir, "Benar juga!" ia pun berlari ke lantai dua.

Hana berniat kembali ke dapur dan menyiapkan makanan, tapi terkejut mendapati Sasuke di sana, sepertinya baru masuk dari pintu belakang. Biarpun dulu ia jarang berbicara dengan adik iparnya itu, ia tahu Sasuke itu baik seperti yang dikatakan suaminya. Hanya … sesuatu terjadi dan ditambah kematian istri adik iparnya, semua jadi runyam.

"Kau membutuhkan sesuatu, Sasuke?"

Sasuke tidak menjawab. Ia hanya melewati Hana dan berkata akan pergi sebentar.

"Bisa tolong ambil jepitannya?"

"Ini," jawab suara mungil sembari mengulurkan sebuah jepitan baju yang diterima dengan senyum hangat.

Pagi ini memang tugas mencuci. Setelah menjemput Ryuu, Hinata harusnya pergi ke laundry yang tidak jauh dari sekolah SD anaknya, tapi karena lupa membawa kupon cuci gratis dan ia juga tidak membawa pakaian kotor jadi terpaksa ia cuci sendiri.

"Bu?"

"Hm?" kini ia sedang menggelar selimut yang ia cuci karena diompoli anaknya. Ia juga bingung, padahal sudah berumur tujuh tahun, tapi Ryuu masih ngompol.

"Minggu depan ada Hari Kunjungan Orangtua. Apakah … apakah ibu bisa datang?"

Minggu depan ya? Kalau tidak salah ia tidak ada libur, semoga saja bos-nya berbaik hati. Bagaimanapun ia tidak ingin mengecewakan anaknya, "Ibu akan usahakan ya."

Lalu Hinata mengibaskan seprai untuk meniriskan airnya, ketika ia menggelarnya digantungan, tidak disangka ia menemukan mata hitam itu melihat kearahanya. Sekuat tenaga senyum ia sungging, namun berakhir sia-sia karena orang itu tidak mengacuhkannya dan berjalan pergi.

Hinata menghela napas, ternyata orang itu belum lupa. Kenangan mereka. Dan ia tersenyum sedih.

.

.

.

.

"Ada apa sih denganmu?" ia tidak menyangka reaksi Hinata akan berlebihan hingga menjatuhkan pakaian yang baru saja dicuci sebelum digantung.

Sebuah keberuntungan menemukan Hinata setelah pulang sekolah, karena di sekolah sangat sulit. Jadi ia terpaksa meninggalkan latihan baseball sehabis pulang sekolah untuk sampai cepat rumah dan menemui Hinata, ternyata benar. Kalau jam-jam segini ia akan bisa menemui sosok itu. Diam-diam rindunya tersembuhi walau hanya dengan melihat wajah itu.

"Kau tahu, kau menghilang selama seminggu. Kau tidak tahu aku cemas?" Sasuke merengut sebal. Ia tidak akan menyembunyikan kepeduliannya kali ini. Rindunya terlalu besar dibanding rasa takutnya; takut pada terungkapnya perasaan atau takut dengan ketidaksukaan yang sangat ketara ditunjukan ayah Hinata padanya akhir-akhir ini.

Hinata melanjutkan pekerjaan itu sedang Sasuke duduk di atas lantai tatami dan memperhatikan punggung itu bergerak. Karena Hinata tetap diam, ia bertanya lagi, "Ada apa?"

"Aku tidak bisa lagi main-main, Sasuke," ucap Hinata tanpa menoleh, membuat Sasuke bingung. Main-main? Apa maksudnya main-main?

"Ayah baru dipecat, jadi aku harus membantu ayah," lanjut Hinata lagi-lagi tidak menatap kearahnya.

Mendengar itu, tentu Sasuke menyesali kenapa Hinata tidak bilang dari awal, jadi ia tidak asal menebak-nebak dan khawatir, "Ada yang bisa aku bantu?"

"Memang apa yang bisa kau lakukan?"

Entah ini perasaannya saja atau tadi Hinata memang meremehkannya? Sontak ia berdiri dan menghampiri Hinata dengan berjalan ke sisi lain jemuran. Dengan pandangan menyelidiknya ia bertanya, "Apa maksudmu?"

Hinata menghentikan gerakannya saat ia bertanya tadi dan menatapnya. Hinata menunduk lalu menghela napas, "Lebih baik … kau pulang."

"Memang apa yang bisa kau lakukan?"

Hinata tidak bermaksud dengan perkataanya. Ada kalanya ia ingin mengungkapkan kenyataan itu, tapi ia ingat janjinya. Kata ayah, ada janji yang harus dipenuhi dan ada yang tidak. Mungkin selama ini ia selalu ingkar pada ayahnya, kali ini saja ia ingin menepatinya.

"Apa maksudmu?"

Ia tahu nada tersinggung itu, ia yakin ia akan sanggup pandangan menyelidik yang diarahkan padanya. Tapi ia tahu, ia harus merasakan itu lagi ketika menatap mata itu, jadi ia tundukan kepalanya. Mata adalah jendela hati dan ia melakukan itu agar hatinya tetap aman disana.

"Lebih baik … kau pulang," ucapnya setengah hati. Ia sempat ragu tentang apa ia sungguh-sungguh ingin Sasuke pergi atau tidak, apalagi Sasuke diam. Andai ini tidak sulit, batinnya.

"Apa ada sesuatu? Ceritakanlah! Kau tahu, aku lelah bertanya-tanya "Kenapa kau begini-begitu"—kita sudah lama saling mengenal!"

Hinata benar-benar ragu; apa ia harus cerita atau tidak, jadi ia pun jatuh pada keraguan. Apalagi ketika Sasuke menambahkan, "Please?" yang berindikasi permohonan.

Hinata menggigit bibirnya dan membuka suara, "Itu…," namun saat sampai diujung lidah, ia sadar apa yang salah bila ia katakan, "Tutup matamu…."

"Apa?"

Ia tetap diam walau Sasuke menunjukan wajah tidak percaya itu. Andai kata Sasuke menolak, maka ia tidak akan berbicara sedikitpun. Itulah pilihan yang ia berikan, karena sejujurnya ia pun tidak pernah diberi pilihan; keadaan, kemiskinan dan bahkan … cinta.

"Baiklah," Sasuke setuju.

Ketika mata hitam itu terpejam, raut sedih memancar dari Hinata. Ia bahkan tidak sanggup menahan air matanya, tapi ia tidak khawatir lagi karena Sasuke tidak akan melihatnya. Jadi, tanpa suara ia mengambil langkah mundur—ia akan meninggalkan Sasuke sendiri seperti seharusnya.

.

.

.

Sasuke tahu ini, bayangan masa lalunya seperti reka adegan yang amat nyata di sana. Tiga langkah di depannya, ia akan melihat dirinya di masa lalu akan di abaikan Hinata. Ia benar-benar kesal sekarang. Kenapa dalam halusinasinya saja ia tidak bisa bahagia!

Ia ingin ini berbeda. Ia ingin dirinya tidak begitu saja mempercayai Hinata. Ia ingin dirinya yang dulu di sana membuka mata lebih cepat! Tuhan!

Buka matamu, Bodoh!

Buka matamu, Sasuke!

Buka!

Buka…

Please….

.

.

.

Set!

Hinata terperangah dan kakinya berhenti melangkah kebelakang. Sasuke menahan tangannya dengan erat. Amat erat.

"Jangan pergi sebelum mengatakan alasanmu," bisik Sasuke masih menutup mata.

"Sasuke—"

Sasuke langsung membuka mata dan menatapnya, "Setelah kupikir, aku tidak ingin dengar lagi alasanmu," dan menariknya mendekat lalu menarik wajahnya untuk menciumnya.

Tadi, dalam angan Sasuke, ia seperti bermimpi seseorang berteriak padanya tadi. Ia tidak tahu siapa, tapi ia berterima kasih pada apapun itu sehingga ia bisa mengungkapkan isyarat cintanya.

Matanya terpejam.

Arigatou…

.

.

.

.

"Ibu, supnya gosong!"

Ia mengerjapkan matanya ketika Hinata berpaling dan menoleh ke arah pintu masuk rumah itu.

"Apa! Ryuu, tunggu ibu!" ia lihat Hinata berlari ke dalam rumah dengan meninggalkan beberapa pakaian basah yang belum dijemur.

Tatapan Sasuke pun beralih ke arah jendela rumah itu yang terbuka dan mengeluarkan asap juga teriakan terkejut yang saling bersahutan. Sasuke penasaran juga sedikit khawatir; bisa saja itu kebakaran. Dengan keyakinan itu, ia melangkah masuk ke pekarangan rumah yang kecil dan melongok ke dalam pintu.

"Ryuu, pergi ke halaman belakang! Ibu akan—"

Sasuke mundur selangkah karena refleks dengan Hinata yang hampir menabraknya. Mereka bersitatap, tapi dibatalkan oleh mata lavender Hinata yang menatap kearah lain sambil berbisik permisi yang selanjutnya Sasuke beri jalan karena ia tidak punya alasan untuk mencegah atau apapun.

Sial!

Tiba-tiba Sasuke kesal sekali. Ia berniat akan pergi, tapi Hinata yang ia pikir pergi ke halaman samping ternyata berbalik dan memanggilnya. Wajah Hinata terlihat sendu. Ada dua kemungkinan; antara tentang dirinya atau hal lain. Tapi ia tidak benar-benar berharap Hinata sedih karenanya— mustahil.

Orang itu kelihatan bahagia dengan keluarga kecil itu.

Hinata membungkuk dalam, "Aku turut berduka atas Sakura. Maaf aku tidak datang ke rumah duka."

Sasuke tetap diam sampai Hinata bangkit dan berjalan pergi ke samping rumah. Sasuke menghela napas. Ia harus berterima kasih pada Hinata yang mengingatkannya tentang Sakura, jadi ia ingat kembali tujuannya.

Aku harus melupakanmu…

'Tapi kau tidak bisa melupakan itu, 'kan, Sasuke?'

Sasuke kembali berjalan saat bisikan di kepalanya yang mirip suara Sakura merancaukan hal tidak koheren lagi. Tapi ia tidak bisa menyingkirkan bayangan ciuman itu, bayangan Hinata yang ia cium waktu itu. Ia menghentikan langkahnya tiba-tiba—

Apa hal itu benar-benar terjadi?

Ia menyentuh bibirnya dan mengingat bagaimana matanya terpejam untuk meresapi ciuman yang awalnya hanya kecupan lalu membuka mata perlahan.

.

.

.

Jantungnya berdebar-debar.

Sasuke menatap Hinata yang memejamkan mata. Apakah ia bahagia karena ini? Jawabannya adalah ya. Ia bahagia karena bisa berharap kalau Hinata juga merasakan apa yang ia rasakan. Rasanya ia ingin remas dadanya yang tidak bisa diam bergemuruh sangking—ya Tuhan! Ia tidak bisa mengatakannya bagaimana.

Aku mencintaimu … apa kau merasakannya Hinata?

Ia kembali memejamkan mata saat ia menginginkan ciuman yang lebih diciuman pertama mereka. Ia merasakan hangat di pipinya, tapi ia tidak malu-malu dengan ini. Kepalanya ia sedikit miringkan untuk mendapat akses lebih di bibir Hinata, meraih bibir mungil itu. Merasakan bagaimana pagutannya sendiri di bibir bawah Hinata.

Seketika saja ia tersenyum dalam ciuman itu saat ia merasakan kedua tangan Hinata menyentuh bagian depan kemejanya. Bersamaan itu pula ia memeluk pinggang ramping Hinata.

Ia, dengan perasaan terpendamnya, mulai memagut bibir Hinata bergantian. Memiringkan kepala ke arah lain. Menggerakan sebelah tangannya untuk menekan leher Hinata yang terasa hangat di tangannya, tapi ia tidak peduli. Bahkan tangan Hinata yang mulai melingkari garis lehernya tidak membantu menurunkan keinginannya untuk ciuman ini. Dan sialnya, ia merasakan bagaimana dengan malu-malu bibir Hinata mencoba membalas ciumannya—Hinata benar-benar tidak bisa membantunya untuk berhenti.

So damn…, ia melebarkan senyumnya diciuman itu. Bagaimana menggemaskannya Hinata mencoba menyeimbangkan ciumannya. Dan ia tidak bisa melupakan wajah tersipu Hinata ketika ia kembali membuka mata untuk menatap Hinata.

Mereka sama-sama tersipu, tapi ia tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya sendiri saat ini.

Namun sayang, ciuman mereka harus terhenti. Bukan karena kebutuhan bernapas, tapi samar-samar ia dengar suara seseorang memanggil Hinata. Maka, sebelum ia melepas ciuman mereka, ia beri satu ciuman penuh dan kecupan di kedua bibir Hinata.

Memberi kesan pada Hinata agar tidak melupakan ciuman pertama mereka.

"Hinata?"

Sebenarnya Sasuke sedih ketika Hinata menghindari tatapannya begitu saja ketika suara ayah Hinata terdengar, tapi di sisi lain ia ingin tertawa dengan sikap Hinata; mulai dari merona dan menunduk. Apa malu?

Ini benar-benar ciuman pertama bagi Hinata maupun dirinya sendiri.

Karena memikirkan itu, Sasuke tidak sadar kehadiran kepala keluarga Hyuuga sampai Hiashi berdehem. "Sedang apa kalian?"

Hinata berpaling pada ayahnya dengan gugup, terihat sekali menampakan senyum aku-baik-baik-saja yang dipaksakan, "Ha-hanya berbicara."

Tapi sepertinya Hyuuga Hiashi ini tidak langsung percaya, ia pun menatap Sasuke dengan selidiknya, "Sasuke, kenapa kau ada disini?"

Belum sempat Sasuke berbicara, Hinata memotong jawabannya dengan tergesa-gesa, "Di-dia menunjukan catatannya—aku 'kan tidak masuk beberapa hari, jadi … banyak yang harus kukejar."

Apa … Hinata mencoba melindunginya?—Oh sial! Sulit sekali menahan sudut bibirnya yang terangkat.

"Ya sudah," Hiashi menghela napas, "Kalau sudah selesai, cepat masuk Hinata."

Hinata mengangguk kecil, lalu Hiashi pergi setelah mengangguk pada Sasuke. Setidaknya ayah Hinata itu masih mencoba bersikap baik padanya.

Jadi, tinggal lah mereka berdua di sana. Kepergian Hiashi membuat bahu Hinata terkulai lemas dari yang tadi menegang. Efek berbohong memang selalu membuat Hinata gelisah, maka Sasuke sentuh bahu itu untuk menenangkan seperti kebiasaan mereka.

Tapi efeknya pada Hinata sekarang berbeda. Bukannya menenangkan, Hinata langsung menoleh dengan tampang terkejut. Apa keadaan berubah canggung sekarang?

"Kenapa terkejut seperti itu?" Sasuke ingin tertawa dengan sikap Hinata, tapi takut menyinggung akhirnya ia hanya tersenyum dan ia tidak sadar senyumnya sekarang sangat aneh.

Hinata kembali gugup, "A-aku harus kedalam."

Tapi sebelum Hinata beranjak pergi, tangan mungil itu dicegat genggaman Sasuke dan Hinata tidak melawan apalagi dengan tatapan Sasuke yang kembali memohon, "Kita harus berbicara."

"Ti-tidak bisa."

Tapi Hinata tidak mencoba menjauh atau memutus tatapan mereka, membuat Sasuke percaya kalau ini tidak akan berakhir. Belum.

Jadi ia membuatkan janji untuk mereka, "Besok kita harus ketemu di tempat biasa. Kau harus datang," lalu ia menatap Hinata dengan lamat dan menambahkan "Janji?" karena ia begitu takut Hinata akan berubah pikiran.

Hinata tidak menjawab secara langsung, tapi mengangguk pelan dan cukup bagi Sasuke untuk saat ini. Cukup untuk membuatnya tidak gelisah lagi.

.

.

.

"Apa yang terjadi?" tanpa sadar Sasuke mengungkapkan apa yang dipikirkannya dan bayangan Sakura nampak jelas berdiri di hadapannya dengan senyum yang sendu.

Kau masih mencintainya

Sasuke menatap Sakura tajam dan menggeram. Ia pun berjalan menembus Sakura yang langsung hilang seperti asap. Jalannya cepat dan tegas. Dalam kekesalan, kemarahan, ketidakmengertian, kesedihan, ia berbisik, "Itu tidak akan terjadi lagi."

Janji, tambah Sasuke dalam hati.

To Be Continued…

A/N: Ada yang nanya kenapa Itachi seperti ngga kenal Hinata alasannya udah ada kan di atas, yah walau klise bingitz. ^^v

Serius, aku agak lupa sama plot ini, jadi mungkin berubah dari rencana awal. Maaaaaf… Dan maaf juga ya soal ketelatan yang amat sangat ini (_ _) setahun lebih ya? Aku agak sakau (?) sama Bangtan Boys jadi keenakan dengar lagu, bikin dan baca ff mereka deh terus sibuk sekolah waktu itu, tapi sekarang sibuk kerja #yaelah sok sibuk nih :p

Dan ini aku agak terinspirasi sama konsep The Chaos Theory dari ff Bullwinkle's Lady soal time travel-nya, tapi kalau disini jadi kayak miracle atau harapan terwujud ya? Haha … wateper (?) lah. Yang pasti, kalo masa lalu diubah sama Sasuke, otomatis akan ada tambahan memori dan ada sesuatu yang berubah nantinya, tapi ngga banyak kok, entar ribet.

Thanks to: pipit nadi, abrakadabrak, nuarin, Syura Azhurasyuchi, ayunsoraya, Malfoy1409, SasuHina, FP GUDANG FANFIC SasuHina-Indo, azzahra, tomo-chan s, Riz Riz 21, Guest. Yang udah baca juga. Makasih :)

mei anna aihina