Satu Jam Saja...

Semua tidak tahu bagaimana ini berawal. Di umur ke 27, Sasuke kehilangan istrinya, Sakura yang seorang dokter, yang sedang melakukan perjalanan kemanusian ke Palestine dan surat kabar seminggu yang lalu mengabarkan kalau pesawat yang mengangkut istrinya serta beberapa tenaga medis lain di tembak oleh sebuah jet yang tidak terdeteksi. Daftar korban yang di laporkan menunjukan nama istrinya ada di sana.

Dan malam ini ia harus menghadiri reoni akbar angkatanya yang dimana surat undangan tertera nama istrinya juga. Biasanya ia tidak pernah melewatkan reoni yang diadakan setahun sekali ini karena istrinya selalu mengingatkannya, tapi semua berubah kan. Hari kemarin dan hari esok tidaklah sama. Ia memilih untuk membanting stir mobilnya menjauh dari acara reoni sekolahnya dan menuju sebuah klub malam di pinggir kota.

Semalaman Sasuke menghabiskan uangnya untuk meneguk bersloki-sloki cairan alkohol. Segala macam cara ia lakukan agar tidak sadarkan diri dan melihat bayangan istrinya—di sudut ruangan, di tengah lantai dansa, di sampingnya lalu berbisik—

'Harimu tidak baik ya? Mau kutemani?'

Sekarang ia berhalusinasi kalau Sakura yang telah mati memesan sebuah Tequila dan menengguknya perlahan. Ia memperhatikan wanita yang telah menemaninya selama tiga tahun dalam biduk rumah tangga itu—Kenapa enak sekali dia pergi dan muncul seenaknya? Kenapa, Sakura?

"Kenapa?"

Akhirnya ia bersuara, tidak peduli Sakura saat ini nyata atau hanya ilusi seperti hari-hari lalu. Ia tidak suka, tidak suka bila Sakura mempermainkan hatinya seperti ini.

Dan sekarang Sakura membalas tatapannya sambil tersenyum sendu, membelai pipinya dengan tangan dingin itu.

'Kau pasti kesulitan. Tapi kukira kau bahagia,' Sakura menunduk.

Ia mengerut kening dan kepalanya amat pusing. Ia tahu Tuhan sangat membenci dirinya hingga selalu mempertemukan Sakura saat ia sedang dalam kondisi menyedihkan seperti ini. Matanya setengah terbuka dan bayangan Sakura makin pudar.

"Kenapa—kenapa kau selalu berpikir aku tidak mencintaimu—

'Terima kasih, Sasuke—

Tidak! Suara Sasuke tercekat di tenggorokan dan matanya makin tertutup rapat. Sebelum keningnya menghantam meja bartender, Sakura bersuara amat lirih.

'Tolonglah bahagia. Kalian harus bahagia...'

.

.

.

Arigatou...

Mei Anna's Fanfiction

NARUTO © Masashi Kishimoto

AU | Alur Maju-Mundur | Little bit-Time travel | Typos | etc

Inspired: Thank You Drama

Happy Read ^^

.

.

.

Masih setengah sadar tubuh Sasuke di goncang-goncangkan perlahan. Ia baru tersadar kalau ia tertidur semalaman di klub malam yang untungnya berbaik hati membiarkan tertidur dan tidak mengusirnya dalam keadaan mabuk berat. Ia segera mengendarai mobilnya ke apartemennya dengan Sakura, tapi setelah dipikir-pikir mungkin kali ini ia akan pergi kerumah kakaknya saja.

Hangover membuat jalannya sedikit melayang. Setelah tiba di depan sebuah rumah berukuran minimalis dengan sebuah toko hewan di depannya, ia memencet bel berulang kali seperti orang gila. Ia sudah sangat tidak tahan untuk muntah—dan kemana sih orang-orang di rumah itu?

"Kak! Kakak!"—DUK-DUK-DUK!—"ITACHI!"

Srakk...

"Sasuk—

Sasuke langung menerobos masuk dan meninggalkan seorang wanita yang lebih tua darinya termenung sejenak di depan pintu.

Sasuke berjalan di lorong rumah dengan terpogoh-pogoh dan setelah melihat tempat tujuannya, ia segera masuk lalu membungkuk untuk membuang semua isi perutnya di water closet. Selagi ia mengeluarkan isi perutnya, sedari tadi seorang wanita berdiri di ambang pintu memperhatikannya dan muncul seorang lagi dengan tampang keras—menyuruh wanita tadi untuk pergi ke ruang makan karena anak mereka sedang menunggu.

Setelah menyiramkan air dengan tombol water closet, Sasuke mencuci mulutnya lalu beranjak pergi dari toilet, tapi di tahan di ambang pintu oleh pria tadi. Wajah pria itu memang terlihat datar, tapi matanya berkilat marah.

"Menyingkirlah!"

Dan pria itu, yang diketahui bernama Itachi, tetap berdiri di tempat dan menghalangi Sasuke.

Brengsek benar!

"Kenapa kau kesini?" kata Itachi skeptis, nampaknya kakaknya itu masih dendam lantaran masalah dulu. Padahal sudah sangat lama, kenapa masih saja diungkit?

"Tidak bolehkah aku datang? Aku aaadiiikmu, ingat! Satu-satunya!" ia segera mendorong Itachi yang lengah. Sepertinya pengaruh alkohol belum sepenuhnya hilang lantaran ia masih merasa seperti melayang.

Sasuke berjalan gontai menuju ruang makan yang sudah di huni oleh dua orang. Tanpa peduli pandangan mereka, ia mengambil tempatnya yang berlawanan dengan mereka berdua—ibu dan anak laki-lakinya yang terlihat takut dengan kehadirannya. Sasuke mengacuhkan mereka lalu mengambil segala yang bisa diraihnya, seperti orang tidak makan tiga hari.

"Hana, tutup mata Sano," suara Itachi menggema di belakangnya—memerintah istrinya untuk menutup mata anak mereka—dan Sasuke tidak peduli sedikitpun dengan Kakak yang sudah tidak peduli dengannya itu.

"Sasuke—

BUGH!

Sasuke terjatuh dari kursi dan tergeletak dilantai tak berdaya setelah menerima bogem mentah dari Itachi. Ia terlihat ingin balas memukul, namun berdiri saja sulit dan akhirnya ia tak sadarkan diri.

"Sayang—

"Tidak apa-apa. Sekali-kali ia harus diseperti itukan."

"Ayah, Paman Sasuke kenapa?"

"Dia cuma bodoh, Nak. Sudah, makan lagi sana. Aku akan mengurus Paman Sasuke," kata Itachi lembut.

oOOo

Hah ... apa aku—ada apa denganku? Kepalaku sakit.

"S-Sasuke? Kau tidak apa-apa?"

Pasti aku mimpi. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suara itu, bahkan dimimpi pun tidak. Hampir tiga tahun kalau aku tidak salah. Tapi ... kenapa sekarang aku menatap langit-langit yang terik di bawah pohon rindang ini lagi juga ... di kaki yang menjadi bantalanku.

"Masih sakit ya?"

Ini bukan mimpi kan? Ayolah, aku pernah merasakan ini; dia mengelus pipiku dan tertunduk pada wajahku sehingga menghalangi terpaan matahari langsung. Rambutnya masih sama, matanya juga dan tatapannya...

"Sasuke pada bumi?"

Aku segera mendudukan diri dan menatapnya aneh. Kupandangi sekitar yang kukenali sebagai bukit persembunyian dimana kami selalu kesana. Dan dia—aku menatapnya yang juga menatapku. Seragam sekolah itu—

"Hinata?"

"A-ada apa?"

"Kau benar Hinata?" aku benar-benar bingung.

"Apa kepalamu sakit? Kalian bertengkar hebat lagi?"

Apa maksudnya?

"Naruto baik-baik saja kan?"

Aku mengabaikannya sekarang. Apa dimimpi pun kau selalu menyebut Naruto sama seperti dulu? Ya ampun, aku ingin cepat mimpi ini berakhir. Lagipula, ia tadi ada dirumah Itachi 'kan? Kemana brengsek itu? Dia memukulnya kan?

Sial!

Aku segera bangkit dan hendak meninggalkan Hinata. Gadis itu selalu membuatnya salah. Membuatnya kesal dan jengkel. Bukankah dulu ia sudah berjanji pada Tuhan, disaksikan pastur saat pengakuan dosa, bahwa ia tidak akan bertemu atau tidak akan melihat Hinata lagi? Sebelum ia benar-benar menikah 'kan?

"Kau ingin hadiah apa di ulang tahunmu, Sasuke?"

Apa yang aku inginkan?

Aku pernah mendengarnya. Hinata pernah mengatakan ini saat ulang tahunnya ke tujuh belas dan apa yang ia jawab? Ayolah! Berpikirlah sedikit. Apa yang aku jawab waktu itu?

Otakku berputar. Kilas masa lalu dan masa depan seperti klise foto dalam pandanganku, membuatku pusing. Apa sebenarnya yang terjadi? Benarkah? Benarkah ini hanya mimpi?

'Cinta.'

Cinta. Ah ... ya, aku menjawab itu. Bodoh benar. Apa benar aku menjawab dengan begitu? Mungkinkah berharap gadis itu sadar dengan perasaanku? Tidak. Kalau perkataan itu dapat menyadarkan gadis itu mungkin sekarang akan berbeda. Sangat. Dan aku berpikir, tidak pernah bertemu dengannya adalah kebenaran sesungguhnya.

Dan aku bukan bocah laki-laki yang mencintainya lagi. Bantu aku, Sakura.

Aku menghadapi Hinata yang masih duduk di lantai rumput. Ia masih menggunakan seragam sekolah kami yang dulu. Aku tidak akan lupa dia sejak saat itu—tidak akan lupa bagaimana matanya yang bulat atau rambutnya yang perlahan tumbuh hingga bahu.

Aku tidak akan lupa aku pernah jatuh cinta padanya. Pertama kalinya, saat kami pertama kali masuk SMA dan ia berubah menjadi amat cantik. Aku suka—aku selalu jatuh cinta padanya dulu. Sial!

"Sasuke?"

Katakanlah.

"Kau."

Munafik kau, Sasuke.

"Hah?"

"Aku mau kau!"

Aku memang munafik dan pendosa paling besar. Puas kau sekarang!

oOOo

"Ibu, aku pergi dulu!"

"Iya, hati-hati Sano! Hati-hati juga Ryuu!" Hana melambai pada anaknya serta temannya yang berjalan masuk ke dalam Bus sekolah. Ia segera membuka toko peliharaannya dan membersihkannya. Ia agak kepikiran dengan kedatangan adik iparnya. Ada apa ya?

Hana terlonjak seketika kala ada yang mengetuk pintu tokonya. Ia mengelus dada lega, ia kira siapa. Ternyata hanya tetangga sebelah yang menyewa rumah adiknya di samping. Ia segera melepaskan pekerjaannya dan menghampiri tetangganya itu.

"Selamat pagi, Hana-san," sapa tetangga itu.

"Pagi. Kenapa? Kau terlihat cemas," Hana agak khawatir. Tetangga ini adalah orang tua tunggal dari teman anaknya tadi, Ryuu. Masih mudah dan cantik.

"Itu, Ryuu lupa membawa bekalnya. Mereka sudah pergi ya?"

"Sayang sekali. Iya. Baru saja."

"Hah ... aku harus segera mengantar ini. Aku tidak boleh telat lagi pagi ini."

"Kebetulan. Nanti aku mau kesekolah, biar sekalian saja—

"Ahh, tidak. Aku selalu merepotkanmu."

"Ya ampun, Hinata, aku sudah menganggap Ryuu juga anakku. Tidak perlu sungkan."

"Hah ... kalau kau memaksa," nama tetangganya adalah Hinata. Umur ibu muda itu sama seperti adiknya yang ada di Kansai. Hinata menyerahkan bekal makanan itu padanya, "Terima kasih, Hana-san."

"Sama-sama."

Lalu mata Hinata itu terpaku pada mobil yang terparkir di depan rumahnya, apalagi samar-samar terdengar suara adik iparnya yang sepertinya murka. Ah ... apa yang dilakukan suaminya?

"Ada tamu?"

"Iya," ia tidak mau menjelaskan lebih lanjut.

"Ya sudah." ia melihat Hinata menaiki sepeda tua dengan keranjang berisi barang belanjaan. Sebelum pergi, Hinata mengucapkan terima kasih lagi. Ya ampun, masih ada ya perempuan seperti dia? Aku tidak menyangka.

oOOo

Byuur!

Sasuke langsung bangun dengan gelagapan dan siap mengutuk siapapun yang membangunkannya dengan cara biadap ini. Dan siapa sangka, orang yang pernah mengaku menyayanginya adalah orang yang menyiramnya dengan seember gayung saat ia sedang tidur, kakaknya. Itachi yang sekarang mempunyai nama tambahan yaitu Brengsek!

"Brengsek, ITACHI!"

"Apa, hah?"

Sasuke menelan bulat-bulat amarahnya. Brengsek benar, kepalanya itu masih pusing. Kenapa kakaknya ini sih?

"Kau datang kerumahku dengan keadaan seperti itu. Kau kira pantas, hah? Ada keponakanmu di sana!"

Ceramahan Itachi itu tidak memberi solusi dengan kepalanya yang makin sakit, "Sudah selesai?"

"Kau ini!" Itachi nampak menahan sesuatu lalu memutuskan hanya untuk menatapnya. Tatapan antara kasihan—Oh, Sasuke benci itu!

"Aku tahu apa yang ada dipikiranmu," selanya terlebih dahulu sebelum Itachi mengetakan sesuatu yang mengingatkannya tentang Sakura. Cukup.

"Kau bukan peramal."

"Dan kau bukan Ayahku sehingga bisa menceramahiku," ia akan lekas pergi, tapi Itachi—seperti biasa—menahannya dengan alasan, mungkin, Kakak-yang-bertanggung-jawab. Hah, benarkah?

"Mau kemana?"

Sekarang Kakaknya ini meledeknya? Ia punya rumah, kalau boleh kalian tahu. Yah, apartemen, tapi mewah bila kau adalah pasangan Dokter. Ya, dia juga seorang dokter bagian dalam. Dan sekarang, tidak ada siapa-siapakan di rumah? Tidak ada yang menunggunya?

Apa itu maksud Itachi?

"Tinggallah. Masih ada kamar kosong di atas."

"Loteng? Tidak, terima kasih," ia segera turun ke lantai satu dan keluar dari rumah Kakaknya yang mungin ini.

Ia berjalan di halaman rumah dan mendengar Kakak Iparnya berbicara dengan seseorang selagi ia berjalan menuju mobilnya.

"Lho, kenapa kembali?"

"Aku lupa tasku. Oh, apa itu adik Itachi-san yang pernah kau cerita 'kan?"

"Oh, iya. Aku lupa memperkenalkanmu, Hinata."

Hinata?

Ia terhenti dari gerakan membuka pintu dan berdiri tegak tanpa berani menebak kejutan ini.

Apa Tuhan mempermainkannya?

"Sasuke?"

Dan di dunia ini nama Hinata bukan hanya dia seorang. Please, sadarlah dari sekarang.

Ia berbalik dan menghadapi kenyataan.

Kita, mereka, kembali ke umur 17 tahun mereka saat itu juga. Kenangan masa lalu yang tidak harus dilupakan.

Dunia, perkenalkan, mereka adalah orang yang pernah bertemu, berteman, bersahabat dan—

"Hinata, perkenalkan, dia adik Itachi, Sasuke."

.

.

.

To Be Continued

Author's Note: Mei emang author ngga bertanggung jawab karena udah bikin fic baru dan yang lain di terlantarkan. Huhu :"(

Abis gatel. Ini udah kepikiran sejak 2 atau 3 tahun lalu, tapi pairnya KahoLen. Tapi kukira ini lebih bagus dan aku memang selalu terinspirasi drama Korea. Haah... Moga ngga macet deh idenya.

Review kalian adalah semangat. Mind to RnR?