Naruto © Masashi Kishimoto

Story By BellaYosintaL

Warning: AU, OOC, OC (mungkin), Typo bertebaran Abal, Gajje

M Kata-kata kasar, Lemon.. Nextime.

.

.

My Trauma

.

Chapter 1

Buagh.. Bukk..

"Akh.. Ugh.."

Suara pukulan dan erangan memenuhi gang gelap itu, yang diisi empat orang disana. Dua diantara sibuk memukuli pemuda berusia 13tahun dibawah mereka. Sedangkan yang satu lagi hanya bersandar pada tembok, memejamkan mata seperti menikmati setiap erangan kesakitan pemuda yang sedang dipukuli tersebut.

Darah mengucur pada setiap wajah dan tubuhnya, biru lebam mewarnai kulit tan itu. Sungguh, pemandangan tragis bagi pemuda yang baru berumur 13 tahun. Dipukuli tanpa belas kasihan dari seniornya itu yang masih setia tuk memberikan warna biru dan merah disekujur tubuhnya, mengakibatkan rasa sakit yang teramat.

Keadaan sepi mendukung berlangsungnya kegiatan itu, tak ada seorang pun lewat tuk menolong pemuda malang tersebut. Gelap dan hanya ada ke empat orang itu.

"Cukup." Gumaman pemuda yang tadi bersandar menghentikan kegiatan kedua pemuda lainnya. Mata itu, yang menyorotkan kebencian menatap iris mata dibawahnya. Menyeringai, tangan itupun mengangkat sedikit tubuh yang telah babak belur. "Kau tahukan? Inilah rasanya jika kau berani melakukan hal yang tidak seharusnya kau lakukan. Tuan muda.."

Sekali lagi, seringan itu terkembang. Dan matanya. Iris mata terakhir yang dia lihat setelah kesakitan lebih dia rasakan dari yang tadi. Mata yang tak akan pernah pemuda itu lupakan seumur hidupnya. Ia bersumpah tak akan pernah melupakan hal ini seumur hidup.

"Narutoo.. Bangun.. Sore-sore tidur, hari ini kita kan sudah ada janji"

"Aku gak ikut.." Teriakan sang ibu pun tak pernah ia dengarkan dan lebih memilih untuk kembali menenggelamkan kepalanya ke bantal. Sudah berniat untuk melanjutkan tidurnya sebelum tarikan membangunkannya. Mengangkat kepala, menatap violet ibunya. "Apa sih bu?. Aku kan sudah bulang tidak ikut.."

"Ikut? Atau uang jajanmu berhenti dari sekarang juga"

Tanpa ulangan kalimat ibu pemuda bernama Naruto itu, ia segera mengobrak abrik isi lemari besarnya. Mencari setelan baju yang mungkin sedikit pantas untuk pertemuan yang entah formal atau tidak itu. Yang penting pakai baju bukan?

Sambil mencari-cari baju yang masih ditunggu ibunya-Kushina, Naruto berpikir. Untuk apa dia dipaksa ikut? Sepenting itu kah pertemuannya? Atau pertemuan itu berhubungan dengannya? Persetan. Sungguh kalau boleh dia ingin memukul orang yang berani membuat acara pertemuan yang mengikut sertakan dirinya, mengganggu acara tidur tenangnya saja.

"Sudah?." Tanya Kushina bersedekap memandang style anaknya yang lumayan dibilang tampan ini. Jas hitam yang tidak dikancing, kemeja biru tua, celana hitam dan sepatu kets putih. Bisa dibilang penampilannya sungguh sangat acak-acakan, tapi itulah specialnya seorang Naruto.

"Kalau boleh aku ingin menjawab 'belum'." Bergumam dan mendengus kesal, Naruto berjalan mengikuti ibunya yang dibalut long dress berwarna merah senada dengan rambutnya yang disanggul keatas. Menampakan sosok wanita yang sangat Naruto sayangi ini terlihat cantik.

Tidak heran kenapa ayahnya mau denga wanita didepannya walau galak. Dengan dandanan sederhana, pancaran kecantikannya tidak kalah dengan model-model di televisi.

.

.

.

.

Sudah berapa kali Naruto menguap di dalam mobil yang disupiri pria yang ia panggil ayah. Membuat Kushina risih dan melemparinya dengan tissue, tidak lupa omelan keluar dari bibir berlipstik pink pudarnya.

"Jangan sampai nanti disana kau bersikap seperti itu ya,"

"Aa." Tetap hanya gumaman saja yang menjadi jawaban Naruto setiap kata ibunya.

Minato menahan tawa melihat anak semata wayangnya, ingat dulu juga dia pernah seperti Naruto yang malasnya mirip dengan Minato.

Kenapa keluarga Namikaze ini memilih untuk membawa mobil sendiri dibanding menyuruh supir untuk mengantar ke acara mereka? Jawabannya adalah karena memang Minato dasarnya suka membawa mobil sendiri dan itu lebih baik. Dari pada ia harus menahan cara mengendarai supirnya yang mungkin tidak sesuai dengan keinginnannya. Dan masih banyak alasan pribadi yang Minato punya. Sangat sederhana bukan untuk keluarga kaya tingkat negara ini? Itulah keluarga Namikaze.

30 menit sudah mereka lewati dalam perjalanan ini. Akhirnya do'a Naruto untuk cepat-cepat sampai terkabul juga.

Setelah menyerahkan kunci mobil pada pelayan untuk diparkirkan. Keluarga Namikaze itupun memasuki gedung hotel yang di lantai atas terdapat restoran. Disanalah orang yang akan mereka temui menunggu.

"Dimana mereka, bu?," Tanya Naruto diperjalanan mereka mencari orang janjian mereka.

"Itu," Telunjuk Kushina mengarah pada meja yang hanya berisi dua orang. Mata sapphier Naruto pun mengikuti dan setelahnya mata itu membulat. Tidak salahkah ia dengan penglihatannya?. "Ayo."

Bisa dirasakan tubuhnya mendadak melemas, pasrah dengan tarikan ibunya menyusul ayahnya yang sudah mendahului mereka. Duduk dimeja itu dengan posisi Kushina ditengah dan Naruto disamping gadis yang mungkin anak dari pria samping Minato.

Duduk Naruto tampak gelisah, tak tenang dan rasanya ia ingin cepat pergi. Tidak tahan dengan keadan sekarang ia pun ijin untuk ke toilet. Menenangkan diri sejenak. Menghiraukan panggilan ibunya yang menyuruhnya kembali.

Kenapa? Kenapa dia tak tenang seperti ini? Gelisah. Keringat dingin pun mengalir di dahinya. Padahal 'dia' bukan orang itu, tapi matanya.

"Kuso!," Menjedukan jidat ke tembok Naruto mengumpat dalam bilik kamar mandi. Tidak peduli dengan tempatnya sekarang.

Setelah mencuci muka ia kembali menuju meja tadi, tidak memperdulikan rasa kegelisahannya. Dan tepat ia baru saja menempatkan tubuhnya kekursi, Kushina langsung bertanya mengapa dia tadi buru-buru pergi.

"Gomen kaa-san."

"Yakin kau tak apa? Kau pucat," Tangan Kushina terulur untuk menyentuh wajah anaknya yang seidikit basah karena keringat dan air tadi sebelum tangan tan menghentikan.

"Daijoubu ka, mungkin kebiasaan buruk. Hehehe.." Kushina tahu betul bagaimana watak anak tujuh belasannya itu. Senyum lebar itu sedikit ada paksaan disana. Yakinkah ia kalau ia tak apa?

"Ne.. Naruto, kenalkan. Ini putri dari Hiashi Hyuuga, Hinata Hyuuga." Jelas Minato pada anak duplikatnya. Yang di tanggapi dengan dua anggukan untuk gadis indigo dan ayahnya itu.

"Kalian satu sekolah kan? Di Konoha Gakuen?." Tanya Kushina. Anggukan gadis yang menurut Kushina dan Minato manis ini menjawab pertanyaannya.

"Kau kenapa?," Berbisik, Kushina menoleh pada anaknya yang menunduk. Mencoba mencari tahu kenapa anaknya berubah muram. Ya ia tahu kalau Naruto sudah muram dari awal. Tapi ini terlihat berbeda.

"Aku tidak apa-apa bu.. Tenang saja."

"Hi-hinata Hyuuga, yoroshikune." Gadis bersurai indigo disebelah Naruto menunduk memberi salam.

Melihat hal itu membuat Naruto mendengus menahan tawa. Tingkah gadis didepannya itu terlihat sangat lucu, dengan kegugupan yang tidak wajar bagi Naruto. Kenapa harus gugup?

Ketika kepala gadis bernama Hinata terangkat, menampakan iris amesthynya, tubuh Naruto kembali menegang.

Sapphiernya menunduk, menatap tangannya yang bergetar. Keringat dingin pun keluar lagi. Ketakutan itu datang kembali, setelah 4 tahun berlalu.

"Emm.. Gomen, daijoubu? Kau tampak tak sehat Naruto-kun?" Suara sapaan Hinata membuyarkan lamunan singkat Naruto.

"Aa.. Iie, aku tak apa.." Ungkapnya tersenyum, yang dibalas dengan senyum pula oleh Hinata. Naruto berpikir, kenapa manusia berjenis kelamin perempuan disini terlihat sangat mengkhawatirkan dia seakan dia akan mati saja. Oh hell.

Tunggu, Naruto barus sadar. Hyuuga? Hyuuga Hi..Nata? Gadis itu. Bukannya dia. Kepala Naruto terangkat, menatap gadis disampingnya.

Tentu, mata semua keluarga Hyuuga sama. Dan pasti kalau mata Hinata juga sama dengan 'dia'. Tidak salah lagi. 'Dia' lah orangnya.

"Baiklah.. Tujuan kami kemari sudah jelaskan, Hiashi-san?," Tanya Minato yang dijawab anggukan oleh pria bernama Hiashi. "Perjodohan.."

Tubuh Naruto menegang. Apa kata ayahnya itu? Perjodohan? Maksudnya?

"Ya, Naruto akan dijodohkan dengan Hinata. Ini demi berlangsungnya hubungan kerja antara Namikaze dan Hyuuga, bukan?,"

"Jadi bagaimana?."

Seterusnya Naruto tak ingin mendengarkan obrolan itu. Ia hanya diam memainkan makanan yang sudah terhidang didepannya. Yang ada hanya suara Minato dan Hiashi sedang merencanakan hal yang tak ingin Naruto ketahui, diselingi suara Kushina yang ikut berbicara memberikan pendapat.

1 jam yang panjang bagi Naruto yang notabene nya seseorang yang hyperaktife, harus berdiam diri tanpa sedikitpun adanya obrolan dengan orang tuanya maupun gadis bernama Hinata.

"Nah bagaimana kalau sebagai ikatan, kalian memakai ini?," Tawar Minato memecahkan diaman Naruto.

"Hah?," Cengo Naruto menarik ujung salah satu alisnya.

"Pakaikan ini ke Hinata dan kau akan memakainya juga." Jelas Minato lagi tersenyum. Menyodorkan kotak beludru merah yang berisi dua cicin berukuran beda, dengan batu berlian berwarna biru dan ungu yang berdampingan ditengahnya. Batu permata yang mirip dengan warna mata Naruto dan Hinata.

Tanpa bertanya-tanya lagi, Naruto menyambar salah satu cincin yang masih menancap di beludru merah di depannya yang paling kecil. Memasangkannya ke jari manis Hinata. Dan Hinata pun melakukan hal yang sama seperti Naruto.

"Nah dengan ini, kalian resmi bertunangan."

Walau otaknya pas-pasan, tentu ia tahu maksud dari pertukaran cicin ini. Tanpa penjelesan sekalipun. Ia sudah resmi bertunangan dengan gadis bernama Hinata ini.

Entah mengapa, hatinya sedikit tak menyukai pertunangannya. Tentu saja. Semua ini karena trauma setannya.

Pagi pun tiba, asal Naruto memasang dasi ke sela kemeja putih Konoha Gakuen. Seperti biasa, ia bersiap menuju sekolahnya menimba ilmu yang sama sekali tak pernah masuk ke otaknya sedikit pun.

Setelah bersiap, sarapan, pamit pada ayah dan ibunya, Naruto melesat menuju sekolahnya menaiki mobil Ferrari Enzonya yang menjadi hadiah ulang tahun yang ke 17, 3 bulan yang lalu.

Ckiitt..

Baru 1km mobilnya melaju tiba-tiba tanpa sengaja, Naruto hampir atau sudah menabrak seseorang. Berterima kasih lah engkau korban tabrakan Naruto, Kushina mengajarkan putranya ini untuk menjadi gentleman.

Segera saja ia turun dari mobil, menilik ke depan mobil. Melihat keadaan korban tabraknya yang nampak baik-baik saja tapi terlihat kesakitan sambil memegang pergelangan kakinya.

"Kau tau apa?," Tanya Naruto, orang itu mengangkat kepalanya. Dan yang pertama kali Naruto lihat adalah iris mata amesthy yang menjadi hal ketakutan dikehidupannya.

Tanpa kendali, tubuhnya mundur sampai terjatuh. Keringat dingin lagi-lagi keluar.

Gadis yang ternyata tunangannya itu mendekati Naruto, menghiraukan rasa sakit di lutut dan tangan. "Kau kenapa?,"

Tangan yang ingin menyentuh wajah tan itu tertepis karena ulah pemuda beriris saphier.

"Kau terluka, ayo bersama saja kesekolahnya. Aku tak ingin ibuku tahu kalau aku menabrak tunangan ku sendiri dan meninggalkannya." Masih menunduk Naruto melangkah ke mobilnya, Hinata yang ingin bilang kalau dia tidak apa-apa segera ia urungkan.

Mungkin putre tunggal Namikaze ini tidak ingin berbicara banyak. Tapi sungguh di pertemuan awal mereka, Hinata entah mengapa merasa nyaman jika disamping pemuda yang baginya dingin itu. Tapi ia tahu bagaimana Naruto yang sebenarnya karena dia satu sekolah. Tapi tak pernah satu kelas. Mungkin Naruto tak mengenalnya, walau mereka satu kelas sekalipun. Hinata memang cenderung berdiam diri.

Mengikuti Naruto, Hinata melangkah menuju bangku penumpang samping supir. Sedikit canggung karena ini pertama kalinya ia menaiki mobil yang bukan dari kalangan keluarganya.

"Ma-maafkan aku Naruto-kun, gara-ga.."

"Bukan salahmu." Ujar Naruto memotong ucapan Hinata.

Hinata menunduk, memainkan jarinya menahan gugup dan sedikit takut.

Disepanjang perjalanan Naruto tidak banyak bicara. Sesampainya di halaman Konoha Gakuen ia langsung turun menuju gedung sekolah tanpa menengok kebelakang untuk sekedar melirik Hinata yang tertatih karena kesakitan dibagian pergelangan dan sikutnya karena gesekan dengan mobil Naruto dan jalan beraspal.

"Ch-chotto.. Naruto-kun,"

Terotomatis Naruto yang terpanggil menghentikan langkahnya tanpa berbalik. "Ayo. Keruang UKS."

Hanya mengangguk dan mengikuti Naruto dibelakang menuju ruang kesehatan.

.

.

.

Seusainya membersihkan luka dan mengobatinya dengan dibantu seorang perawat ruang kesehatan-Shizune. Hinata segera berlari ke kelasnya yang akan dimulai 5 menit lagi, dan ia tak ingin tertinggal pelajaran pertamanya.

Dia berlari sendiri tanpa Naruto, tentu. Pemuda blonde itu sudah pergi ke kelasnya sendiri.

Sedikit ada rasa kecewa yang menyelimutinya tanpa adanya Naruto saat dia terluka. Luka ini juga karena dia bukan? Tapi seperti tak ada rasa perhatian dan khawatir seperti hubungan tunangan pada umunya. Tak butuh pertanggung jawaban aapun, hanya pemuda itu yang Hinata inginkan. Sekarang

Bruk

"Aww.."

Tubuh Hinata langsung terpental kebelakang ketika sesuatu menabraknya. Jika saja dua buah tangan kekar tak menahannya, mungkin Hinata sudah terjatuh karena kurangnya keseimbangan gara-gara sakit di kakinya.

Mendongkak dan hal yang dilihat adalah mata jade milik orang yang menahannya agar tak terjatuh kelantai dan sekaligus pelaku penabrakan.

"Kau tak apa?," Terpakunya mata amesthy Hinata tak mengalihkan tatapannya dari jade yang terasa tenang itu jika ia pandang, sampai tak mendengar teguran orang pemilik mata jade itu. "Hei," Kali ini Hinat bergeming, gugup segera saja ia berdiri, melepaskan pegangan orang yang ternyata seorang lelaki berambut merah bata.

"Aa.. Go-gomene.." Membungkuk Hinata meminta maaf sedalam-dalamnya, menjatuhkan helaian panjang rambut indigonya.

"Aku yang menabrakmu, aku yang minta maaf." Ujar lelaki itu bernada datar tanpa emosi apapun.

Berdiri tegap dengan berani walau sedikit takut Hinata berhadapan dengan lelaki itu. Saat tersadar, ternyata ia kenal dengan lelaki ini. Tentu saja.

"Sabaku-san.." Gumam Hinata menyadari lelaki yang ada didepannya ini adalah teman sekelasnya.

"Hn?." Sabaku Gaara menautkan alisnya bingung.

"Kau mau kemana? Bukannya sebentar lagi pelajaran Asuma-sensei akan dimulai?." Tanya Hinata memainkan jarinya.

"Aku mau mengambil tugas Asuma-sensei, karena dia tidak datang hari ini. Lalu kau dari mana?."

"Umm.. Ruang kesehatan." Tidak mendapatkan alibi lain akhirnya Hinata jujur saja.

Wajah daerah alis Gaara yang tak beralis itu mengkerut, "Ngapain?. Kamu sakit?,"

"Tidak tidak. Hanya sedikit luka saja, sudah diobati kok.." Cepat tangan Hinata yang dilingkari jam rolex terkibas.

"Luka? Luka gara-gara apa?."

Sangat menyesal dalam hati, kenapa harus jujur dan menjelaskan kejujurannya semua. Seharusnya ia tahu dampaknya, akan terus ditanya oleh pemuda berambut dark red didepannya yang juga merupakan teman dekatnya di kelas. "Ayo aku temani ke ruang guru, Gaara-kun. Jangan khawatirkan aku."

Cukup yakin dengan kata gadis Hyuuga itu, Gaara tak banyak tanya dan mengikuti tarikan tangannya menuju ruang guru.

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang berdiri dibelakang setiap kata dalam pembicaraan pemuda Sabaku dan gadis Hyuuga itu barusan. Dan dia mengira bahwa hubungan keduanya begitu special mengakibatkan hatinya sedikit tercubit, sakit.

Setidaknya rasa masa lalunya masih tersisa.

TBC

A/N:

Ini fic isengan saya.. Sela liburan dan jadilah fic gaje ini :v.

Saya harap bisa menghibur anda sekalian para pembaca. Saya gak bisa bikin kata-kata. Jadi saya cuman pengen minta kritik, saran, bahkan flame :3 dari para senior sekalian. Dari segi tulisan, gaya bahasa, typo bla bla bla. Hehehe..

Terima kasih ^^

Words: 2.173