Posisi sepakat; keduanya berbagi tempat tidur yang sama karena Jack bersikeras supaya Jamie tidak usah memaksakan diri untuk menghabiskan malam di kasur bawah. Lagipula mana mungkin sang winter spirit tega membiarkan sahabatnya semalaman di area yang suhunya lebih rendah sementara cuaca sedang tidak bersahabat.

Setelah memadamkan lampu kamar, mereka mulai melewati menit-menit terlama dalam hidup—setidaknya masing-masing merasakan demikian. Karena walaupun menolak bergerak, tidak satupun dari mereka berhasil terhanyut ke alam mimpi.

"Hei, Jack." Jamie angkat suara akhirnya.

"Nnh?" Jack merespon lemah.

"Aku penasaran, ayo lakukan denganku!"

Pelupuk yang rapat seketika terbuka lebar, kepalanya membalik cepat untuk bertemu Iris kecoklatan, "APA?!"

Rasanya Jack ingat pernah berteriak hal senada di hari yang sama.

"Seperti yang ada di... film tadi? Yang kalian sebut dengan seks!?"

"Ok, Kau benar-benar gila, Jamie!"

"Yep," ucapan setuju, disertai angguk antusias,

"—Dan kau suka ide gila..."


To Our Shooting Star

Rise of the Guardians (c) Dreamworks
Warning: Boy x boy. Smut! #singkat

.
by Ratu Obeng (id: 1658345)

.

.

.


Posisi sekarang; Jack terperangkap di bawah Jamie.

"Jack..."

Sebelum partnernya menginterupsi, Jamie melancarkan ciuman sangat perlahan melalui ujung mulutnya, menelusuri bagian mungil dan lembut di wajah Jack dengan miliknya sendiri. Tidak puas, refleksnya kemudian adalah mengigit pelan bibir bawah Jack, permintaan tersirat agar yang bersangkutan membuka mulutnya.

Jack tidak nyaman dan tidak paham sama sekali, terutama karena Jamie serius ingin melakukannya—sementara sebaliknya—Jack sama sekali tidak siap melayani permintaan yang bersangkutan.

Namun kepalang berada di pihak resesif, Jack pasrah membiarkan Jamie menyusupkan lidahnya untuk menghubungkan kedua rongga mulut. Menautkan lidah mereka.

"Hhh... b-bagaimana kau sudah bisa paham hal seperti... ini!?" minim oksigen, Jack mengalihkan pandangan gugup.

yang ditanya mengerutkan alis sejenak, berpikir, "Tidak tahu. Aku hanya merasa nyaman kalau melakukannya dan ternyata memang benar."

Ah, insting sialan! Jack memaki dalam hati. Tidak hanya tubuh, bahkan pemikiran Jamie disesuaikan dengan usianya saat ini.

"Kalau kau sudah puas, kita bisa segera berhenti lalu tidur." saran itu diiringi seringai menuntut.

"Tapi aku belum memasukkan penisku ke dalam lubang analmu, Jack."

"JAMIEEEEEE!"

Sebuah kalimat yang jauh dari kata polos sukses merebus wajah yang seputih salju. Jack merasa bersalah sudah membiarkan sahabat kecilnya melanjutkan tontonan tadi walau hanya sebentar, ada sesal yang teramat sangat sekarang walau faktanya remaja immortal itu juga terlanjur dirubung rasa penasaran. Dilema.

"Jadi bagaimana?"

"KIta lakukan pelan-pelan... Oke?" Jack geram sendiri, "Pertama, kau membutuhkan sesuatu agar tidak membuatku kesakitan."

"Apa itu?"

Kemudian desah panjang. Rona pipi Jack hampir menyerupai kulit apel, "Sudah malam Jamie... ikan bobo." Jack pasrah dengan lawakan garing yang lolos terucap.

"J a c k,"

"Oke, OKE! Aku akan membantumu... tapi asal kau tahu, aku juga tidak pernah melakukan ini sebelumnya bahkan selama aku hidup. Jadi kuharap kau bersabar karena kita sama-sama amatir!"

Tersenyum puas, Jamie mengangguk bersemangat. Juga ketika Jack menyuruhnya untuk duduk tenang bersandarkan bantal sementara Jack menurunkan sedikit celana Jamie, memperlihatkan alat vital yang sudah kokoh di depan hidungnya. Jack menelan ludah sebelum memutuskan untuk menjilat glans yang terlanjur menggenang.

"Nhh... Ja-aack..!"

Lidah Jack bergerak naik dan turun di seluruh batang kemaluan Jamie, menyesap pelan kemudian melahap semuanya perlahan. Jack merasa ingin muntah di tempat karena rongga mulutnya penuh dan remaja itu merasa tersedak saat pucuknya menyapu langit-langit hingga menyentuh pangkal tenggorokan.

Lain pihak, pijatan di dalam mulut Jack menenggelamkan Jamie dalam kenikmatan yang begitu candu. refleks jemarinya menggenggam rambut sahabatnya, mendesak untuk memasukkan ereksinya lebih dalam.

"—nhh... Jack... panas... rasanya ada yang aneh..."

TIdak tahan, Jamie membiarkan cairan alaminya tumpah membanjiri isi mulut Jack—yang langsung melepaskan diri, membiarkan tetesan lengket jatuh melewati bibir dan dagunya dengan sengaja.

"Ahh... uhuk... fuaahhh... leherku seperti mau patah!" gerutunya sembari mencari tissue yang untung saja memang terletak tidak jauh dari tempat tidur, memuntahkan seluruh isi mulutnya, "Sebaiknya kita menyerah saja..."

"Aku melihat cukup banyak tadi, ijinkan aku mencobanya,"

"TIDAK, kau tidak melihat apapun, Jamie!" Jack bersikeras.

Ada yang mengernyit kesal "OK. Aku masuk sekarang,"

"TUNGGU! JANGAAAN!"

Usaha Jack untuk membuat mood Jamie turun ternyata gagal total. Tanpa ragu Jamie segera membenamkan salah satu jarinya ke dalam lubang Jack mentah-mentah. Pinggul Jack refleks terangkat tatkala benda asing memaksa masuk.

Belum melancarkan aksi protes, Jamie sudah memasukkan jari selanjutnya. Menjadikan tubuh Jack bergetar menahan nyeri luar biasa.

"Hnnn... ahh... Jamie!" mendengar desahan merdu, Jamie malah senang dan menyisipkan jemarinya semakin dalam. Dia bahkan menambah satu jari lagi sehingga sang pelindung berjengit semakin hebat. Jamie cukup dibuat kagum pada ekspresi yang tengah diperlihatkan Jack.

"Wow, Jack seperti apa rasanya?"

"Menyenangkan. Kau, ngghhh... mau kita bertukar posisi, bocah...?" semprot Jack sinis dengan nafas tersengal.

Jamie yang sepertinya tidak senang digoda dalam keadaannya saat ini, meneruskan permainan jarinya di dalam tubuh Jack. Menggerakkannya liar, berharap mendengarkan lenguhan Jack yang semakin erotis di telinga.

"Jam..ie... stop... nnnhh, AAHHH!"

"Aku suka suaramu saat memohon seperti ini, Jack."

"Berhenti bermain-main...oh MiM!"

"Siapa itu MiM?"

"Hnn… perlu kujelaskan lagi tentang Man in the Moon? Hgghh... kurasa dia tidak senang kalau anak di bawah umur sepertimu sudah... berbuat nakal seperti ini..."

"Kau menyebut nama orang lain saat kita bersama? Itu menyakitkan."

Tentu saja dia tahu mengenai Man in the Moon, Jack sering bercerita padanya. Tapi saat ini Jamie benar-benar menikmati mengerjai Jack seperti sekarang.

"Jamie...?"

"Aku tidak tahan... boleh aku menggunakan... ini?" tanyanya polos sambil menunjuk kemaluannya yang sudah menegang diantara pangkal paha dalam.

"Berhenti bertanya dan lakukan saja!" jerit Jack frustasi.

"Kau cepat darah tinggi, Jack. Tidak baik untuk kesehatanmu..." ucap yang dominan sok menasehati. Dia membuka kaki Jack lebih lebar ke dua sisi berbeda, memudahkan akses untuk menyalurkan hasrat yang tertahan.

"Aaannnnnh!" Jack tidak bisa menyimpan teriakan ketika ereksi Jamie mulai memasuki lubang sempit miliknya, "Pelan-pelan Jamie... nnnhh... sa..kitt... AHHH SAKIIITTTT!"

Jamie tampaknya terlalu bersemangat dan tidak mendengar rintihan Jack. Dia terus mendorong masuk sehingga air mata Jack meleleh deras melalui ujung-ujung matanya.

"—OY, JAMIE!"

"Ah, err... maaf... kau tidak apa-apa?" Jamie baru tersadar selang beberapa detik. Merasa bersalah, dia segera memagut daerah bibir Jack perlahan untuk menenangkannya.

"Sakittt, dasar bodoh! Aku tahu kau penasaran, tapi lakukan perlahan!" Jack cemberut. Dan Jamie tertawa kecil sambil kembali menghujani Jack dengan ciuman. Merasakan partnernya sudah sedikit rileks, Jamie menerobos lagi semakin dalam, membuat guardian termuda itu berbalik merintih ketika semua sudah tertanam penuh.

"Jack, ini... ahhh… menakjubkan..."

"Ja...ngan diam saja... Jami...e... lakukan sesuatu..." Jack merasa sekujur tubuhnya panas seperti lahar yang siap meleleh. Kepalanya pusing dan tubuhnya tidak berhenti memproduksi keringat.

Sesuai komando, Jamie menarik sedikit miliknya dan memasukkannya kembali dalam tubuh Jack, dilakukan terus berkali-kali hingga membentuk sebuah ritme. Libido sudah menguasainya, Jamie hanya menyerahkan semuanya pada insting alaminya yang berjalan.

Seiring dengan ritme yang berjalan, tangan jack melingkar di leher sang sahabat untuk memberikan sokongan lebih apda tubuhnya. Serangan-serangan Jamie membuat Jack mendesah hebat. Tubuhnya bereaksi pada beberapa tusukan yang diberikan, rasanya dia bisa melihat bintang di sejurus pandangannya.

Entah bagaimana Jamie melakukannya, tapi rasa nikmatnya tidak bisa diungkap dengan kata-kata.

"Jamie...lebih cepat...ahhn... God!"

"Tuhan seperti apa yang ada di kalangan para pelindung?"

Lagi-lagi Jamie menggoda Jack. Tapi dia segera mengabulkan permintaannya Jack dan memompa semakin kuat.

Seiring meneriakkan nama satu sama lain, Jack akhirnya memuntahkan sperma miliknya, sementara Jamie masih memberikan gerakan penghujung sebelum mengeluarkan cairan yang sama. Tubuh Jack seketika terasa hangat dan penuh.

Melepaskan diri dari partnernya, Jamie merebah di sebelah Jack. Hanya ada desah memburu dan detak konstan dari jam di ruangan yang terdengar menit-menit ke depan.

"Apa itu... tadi...?" Jack bergumam lirih pada diri sendiri sambil menatap langit-langit. Deru napasnya perlahan surut seiring menarik oksigen dalam tempo lambat.

"Itu tadi... asik."

Kalau ada tenaga, Jack ingin sekali menepuk dahi keras karena kosakata Jamie sama sekali tidak cocok dengan situasi yang ada sekarang. Sayangnya dia tidak bisa protes karena komentar itu memang benar adanya.

"Yeah," ujung-ujung mulutnya terangkat kontras, "...kuakui, tadi itu... asik."

"Menjadi orang dewasa ternyata cukup menyenangkan. Aku tidak mengerti kenapa mereka selalu mengeluh."

Jack menyunggingkan seringai khasnya, "Menjadi anak kecil juga menyenangkan. Aku tidak mengerti kenapa mereka sering protes."

Yang ada, Jamie tertawa mendengar sindiran Jack—mungkin untuk terakhir kali. Terlihat dari pelupuk Jack yang sepertinya siap menutup kapan saja karena kelelahan.

Sebagai resolusi terakhir, Jamie berjanji suatu saat akan menjadi orang dewasa yang menyenangkan. Selanjutnya tangan hangatnya membawa kulit mereka ke dalam sebuah pelukan erat, "I love you, Jack."

"I love you too, kiddo."

.

.

.

Pagi hari ketika sinar matahari berhasil menyusup, keduanya serempak terjaga.

Jamie menguap lebar seperti kebiasaannya sebelum membuka kedua mata, mendapati teman tidurnya yang masih berupaya kembali ke alam nyata. Bedanya, saat ini helai-helai gelap itu sudah kembali berwarna putih, pakaian khas-nya pun sudah lengkap dikenakan.

"Jack, apa kekuatanmu sudah kembali?" tanya Jamie lirih, berupaya membelai rambut halus tersebut dengan salah satu tangan.

"Tampaknya begitu, bocah. Kau juga harus lihat dirimu sekarang." tutur Jack setengah mengantuk.

Jamie memerhatikan Jari-jarinya yang tidak sebesar hari sebelumnya. Raganya dipastikan sudah kembali menjadi putra sulung keluarga Benneth yang masih berusia delapan tahun. Ada pancar kekecewaan tersirat, meskipun begitu dia tetap menguntai senyuman.

Jack sepenuhnya bangun begitu melihat tongkatnya sudah bersandar rapi di dinding. Walau semua tampak seperti mimpi, Jack harus mengakui kalau kejadian semalam memang nyata saat pinggang bawahnya berdenyut nyeri.

Sang winter spirit menggeliat dari permukaan tempat tidur, meraih batang kayu panjang yang menjadi sumber kekuatannya, "Kurasa aku harus pergi, liburanku sudah berakhir..."

Jamie mengangguk kecil. Setuju.

Di saat yang sama, bunyi deru mobil dari arah garasi menyita perhatian. Menyadari orang tuanya sudah kembali, Jamie segera mengambil piyama cadangan kemudian bersiap ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Hei, Jack." Jamie memanggil sahabatnya yang sudah menapakkan kaki telanjang di ambang Jendela, mengambil ancang-ancang untuk terbang.

"Kalau aku sudah dewasa, boleh kita melakukannya lagi?"

"Kau gila..."

"Aku sudah dengar itu berkali-kali kemarin."

Tidak ada yang tergelak. Sudah tidak ada yang mampu untuk berucap, sekiranya mengevaluasi kesalahan masa lalu. Sialnya semua yang ingin diutarakan hanya mampu hinggap di ujung lidah. Hanya tautan penuh arti yang mengisi sepi, selanjutnya tidak ada percakapan lagi.

"Menunduklah sedikit, Jack... sebentar saja,"

Paham, Jack menyambut dengan menurunkan tataran pandangnya, "Agak lama juga tidak masalah..."

Dua bibir itu bertemu untuk terakhir kalinya sebelum terpaksa kembali pada jalinan persahabatan yang biasanya.


END


.

.

.

Di bawah A/N-nya rada panjang. Mau di skip juga gpp kok :D

.

.

.

A/N (9): HOREEEEE! Akhirnya karya ini beres jugaaa!
3 tahun woiiii, demi apa 1 chapter 1 tahunnn? (plus sengaja upload di tanggal yang sama dengan tanggal pembuatan biar keche. Dan untunglah author cukup konsisten dalam urusan jadwal sehingga karya satu ini bisa tamat dengan lancar ;;;;w;;;; #dusta #bohongbesar

A/N (10): …dan berita terbaik, ROTG (akhirnya) NAIK KE PERINGKAT 6 DI TAHUN INI HUWEEEE~
KOKORO INI BAHAGIA! walau kayaknya bakal kesusul saudaranya (HTTYD) sih, tapi gpp lah... yang penting NAIK RANGKING! LEVEL UP!

A/N (11): Kalian penduduk ROTG pada ke mana semua? Daku kesepian... [2]
Masih banyak fic terbengkalai, weiii... kalian para PHP, cepet tamatin yang belum kelar biar ngga ada yang kepo! #pedjut

A/N (12): dan karena udah di chapter penghujung, sekalian aja deh bilang MAKASIH buat semua yang udah ngedukung sampe tamatnya fic ini, tapi terutama untuk kalian author dan reader di fandom ROTG tercinta (ノ≧∀≦)ノ

Sampai jumpa di karya anu (?) lainnya~

R&R maybe? C: