KATAOMOI by Ryuu Dearu

This characters belongs to Fujimaki Tadatoshi, but the storyline belongs to me


KATAOMOI [Kise ver.]

Chapter 1

Orang bilang aku adalah seorang jenius. Aku menguasai semuanya dengan cepat. Dengan sekali lihat. Tapi, kau tahu, sebenarnya itu bukan semerta-merta dapat kulakukan tanpa berpikir. Bukan sesuatu yang terjadi secara ajaib atau tiba-tiba. Memangnya kau pikir aku ini apa? Ibu peri? Bukan, aku tidak mempunyai sihir semacam itu. Aku bisa melakukan semua itu dengan mempelajarinya. Ya, hanya saja, mungkin waktu yang kubutuhkan untuk mempelajari sesuatu itu lebih cepat dari kebanyakan orang. Mungkin, itu sebabnya ada pula yang menyebutku fast learner. Tak heran jika banyak pasang mata memandang takjub atau justru memandang iri saat aku beraksi. Tapi percayalah, terlalu mudah dan terlalu sempurna, justru akan membuat hidupmu semakin tak ada artinya. Membosankan.

Sampai saat ini, aku telah memiliki segalanya. Aku cukup beruntung karena dilahirkan dari keluarga yang berlatar belakang terpandang dan berkecukupan. Wajah tampan yang diberikan Tuhan padaku pun mendatangkan berbagai keuntungan padaku. Menjadi model, salah satunya. Aku juga senang mendapat banyak cokelat dari para gadis ketika valentine tiba. Selebihnya, aku hanya harus sedikit bersabar melayani mereka yang berbondong-bondong meminta tanda tangan atau berfoto. Ya, aku memiliki segalanya. Segala sesuatu yang diinginkan kebanyakan orang. Aku selalu menerima banyak cinta dari orang-orang di sekitarku. Namun, satu cinta yang sangat kuharapkan justru tak pernah datang.

Dia adalah orang pertama yang membuatku tertarik akan sesuatu tanpa meninggalkan kesan bosan. Dia adalah alasan mengapa aku bermain basket. Sejak tanpa sengaja bola oranye itu mendarat di kepalaku, sejak pertama kali aku melihatnya mendribble bola dan memasukkannnya ke dalam ring. Gerakannya yang gesit, seolah bola itu adalah bagian dari tubuhnya. Udara panas kala itu membuat peluh membanjiri tubuhnya, namun, senyum yang terlukis di wajahnya membuat kesan bahwa itu bukan sesuatu yang pantas untuk dikeluhkan. Kau boleh menyebutku bodoh atau apapun, tapi, ya, aku mengaku aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada lelaki berkulit tan dengan surai biru itu. Aomine Daiki.

Sejak saat itu, yang bisa kulakukan hanya menantangnya adu one-on-one setiap sore sepulang sekolah, dengan hasil akhir kemenangan telak yang berpihak padanya. Hal itu terus berlanjut hingga saat ini. Dan selama ini, tak ada yang berubah dari kami. Kami tetap seperti ini. Kami hanya berteman. Kau boleh berpikir aku pengecut. Memang, aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Bukan karena aku takut dia menolakku, tapi, karena aku tahu hatinya telah menjadi milik yang lain. Seseorang yang tak sebanding untuk kugantikan. Kurokocchi. Ia adalah teman yang sangat kuhormati. Jadi, tidak mungkin aku merusak hubungan mereka. Karena jika kulakukan, aku akan kehilangan dua hal yang sangat berarti. Orang yang kucintai dan sahabat yang kusayangi. Aku tak mau mereka terluka.


Siang ini seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, aku melihatnya lagi berlari-larian di lapangan basket, menerima pass dari Kurokocchi, lalu memasukkannya ke dalam ring. Tiap istirahat siang aku jarang meninggalkan kelas untuk sekadar membeli minum di kantin. Aku lebih suka menghabiskan waktu di kelas. Duduk di bangkuku yang dekat jendela, sehingga aku dapat dengan leluasa memperhatikannya dari atas sini. Itu saja sudah membuatku senang—oh, tidak. Mungkin ada kalanya aku merasa menyesal karena melakukan ini. Saat kudapati tangan berwarna tan itu mengacak rambut Kurokocchi sambil tertawa-tawa. Dia tidak pernah tertawa-tawa seperti itu saat bermain one-on-one bersamaku. Aku beranjak dari kursiku dan meninggalkan kelas menuju toilet. Tidak tahan melihat pemandangan yang menyakitkan itu.


Begitu memasuki toilet, aku menjumpai pemandangan yang tak lazim. Anak lelaki berambut merah menyala itu, entah sejak kapan, berada di sana. Berdiri di depan kaca wastafel yang... telah retak dan ternoda cairan merah kental. Selain itu, tangannya...

"Daijoubu'ssu ka*1?!" Entah bagaimana, aku melesat menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Padahal, aku sama sekali tidak mengenalnya. Anak lelaki itu tampak terkejut. Mata heterochromenya terbelalak bersamaan dengan gerakan spontannya untuk mundur selangkah ke belakang.

"Bukan urusanmu," Jawabnya dingin sambil dengan santai membasuh punggung tangannya di bawah air keran yang mengalir. Merubah warna keramik wastafel yang putih menjadi kemerahan.

"Ayo, ikut aku!," Aku menarik sebelah tangannya yang tak terluka, memaksanya mengikutiku keluar dari toilet meski tanpa persetujuan.

"Oi! Apa yang—!,"

"Lukamu lumayan parah. Kalau tidak diobati, nanti infeksi'ssu yo," Aku masih bersikeras menyeretnya ke UKS meski aku tahu ia tampak marah karena sikapku yang seenaknya.

Sekarang, kami berdua sudah duduk berhadapan di ruang UKS yang kosong. Kebetulan dokter yang berjaga sedang keluar jadi, mau tak mau, aku yang mengobati lukanya. Anak lelaki mungil itu duduk tenang di hadapanku. Terlalu tenang. Bahkan, saat aku membersihkan kulit punggung tangannya yang robek teriris pecahan kaca dengan kapas yang kubasahi alkohol.

"Kelamaan. Siram saja semuanya,"

Aku tersentak. Saat mataku terlalu fokus pada lukanya dan isi kepalaku sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba anak lelaki itu bersuara dan—apa tadi katanya? Siram semuanya? Apanya yang—

Belum sempat aku mencerna informasi yang kudapat dari kata-katanya, ia sudah merebut botol plastik kecil bertuliskan 'ALKOHOL 70%' itu dan menuangkan isinya ke atas punggung tangannya. Untuk beberapa detik, aku hanya bisa melihat adegan itu dengan mata terbelalak sambil menahan napas.

"Oi! Jangan bercanda! Itu pasti perih sekali, kan?!" Kemudian aku menemukan suaraku sendiri yang terdengar sangat panik. Tapi, tak ada erangan. Hanya saja, seperti yang kuduga, anak lelaki itu memejamkan matanya erat-erat. Dahinya berkerut dalam, menahan rasa sakit yang bahkan tak bisa kubayangkan. Apa dia bodoh? Aku tak mengerti.

Spontan, kukeluarkan saputangan yang biasa kukantongi, kuraih tangannya yang terluka kemudian kukeringkan dengan saputangan itu. Gemetar. Tangannya memang tak sebesar tanganku, namun tetap, guratan ototnya melukiskan kekuatan. Menonjolkan sisi maskulinnya. Dan, sampai saat ini pun, tak ada tanda-tanda ia akan mengeluh kesakitan. Bahkan ketika aku menekan tangan di balik saputangan itu perlahan untuk menyerap sisa alkohol yang membasahinya.

"Kau...aku tak mengerti apa yang kau pikirkan, tapi, jangan kau ulangi lagi! Jangan menyakiti dirimu sendiri seperti ini!," Aku tak bisa menahan diriku untuk mengomelinya.

"Memangnya apa urusanmu melarangku? Aku bahkan tak mengenalmu," Lagi-lagi, ia menjawabnya dingin. Mata heterochromenya menatapku lurus. Tatapan merendahkan yang sesaat membuatku membeku. Tanpa sadar, tanganku menggantung di udara, berhenti dari aktivitasnya membalutkan kain kasa pada luka anak lelaki arogan ini.

"A-aku, namaku Kise. Kise Ryouta," Gugup. Kacau. Aku tak tahu mengapa aku harus memperkenalkan diri padanya, tapi hanya itu kata-kata yang terlintas dalam pikiranku. "Sekarang kau sudah mengenalku, bukan?" Aku mencoba tersenyum padanya. Bukan senyum komersil yang biasa kutunjukkan di depan kamera atau senyum memikat ketika para gadis menyapaku malu-malu. Aku tulus ingin membuatnya nyaman denganku.

Hening. Mata itu tetap menatapku. Meski bukan lagi tatapan merendahkan, namun aku tak menangkap ekspresi di sana. Aku kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat terhenti, membalut tangannya.

"Jadi, Ryouta, kau tak ingin menanyakan namaku?"

Aku sedikit tersentak saat suaranya kembali mengudara. Dan, dia memanggilku apa? Ryouta? Memangnya kapan aku mengizinkannya memanggil nama kecilku?! Aku mengalihkan pandanganku dari tangan yang telah terbalut kasa itu ke wajah datar di hadapanku. Kali ini ia sedikit menaikkan alisnya seolah menunggu jawaban.

"Y-ya, siapa namamu?" Walaupun agak kesal karena merasa dipermainkan, tak kupungkiri bahwa aku juga ingin tahu siapa namanya.

"Aku hanya akan mengatakannya sekali, jadi, dengar baik-baik," Nada memerintah itu keluar dari mulutnya. "Akashi Seijuurou. Jangan sampai lupa," Ia menyeringai sekilas sebelum beranjak dari duduknya dan berjalan santai keluar dari ruang UKS. Meninggalkanku dalam hening. Dalam kebingungan. Apa maksudnya dengan 'jangan sampai lupa'? Lagipula, kenapa dia harus menyeringai seperti itu? Menakutkan.


Akashi Seijuurou. Entah kenapa ia benar. Aku tidak bisa melupakan nama itu. Ya, namanya memang keren, sih. Tapi, bukan itu masalahnya. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa tangannya sudah sembuh? Apa ia bisa memegang sumpit dengan benar saat makan? Yang terluka itu tangan kanannya, kan? Pasti sulit baginya untuk beraktivitas. Ah, tidak juga, siapa tahu dia kidal... Hei, hei, tunggu dulu! Sejak kapan aku memikirkannya begini? Siapa peduli dia bisa makan atau tidak. Lagipula, aku masih kesal karena sikapnya yang angkuh dan seenaknya memanggil nama kecilku.

Aku mengubah posisi tidurku dari berbaring telentang menjadi menyamping. Melipat tanganku di samping kepala, menjadikannya bantal tumpuan. Tak sengaja, mataku menangkap sebuah frame kaca berukuran sedang yang terletak di meja kecil dekat ranjangku. Aku bangkit dan meraihnya. Kuusap debu tipis yang melapisi permukaannya kemudian kupandangi sosok yang terperangkap dalam moment yang terbingkai di sana. Seorang anak lelaki dengan tubuh atletis, berkulit tan dan bersurai biru gelap itu berdiri tegap sambil merangkul seorang anak lelaki berambut pirang yang selisih tinggi badannya tak jauh di bawahnya. Ya, itu aku dan Aominecchi. Namun, kami tidak hanya berdua menatap kamera. Di sebelah kiri Aominecchi, ada Kurokocchi yang menatap datar ke arah kamera, berbeda dengan aku dan Aominecchi yang tertawa lebar. Aominecchi menaruh sebelah tangannya di atas kepala Kurokocchi yang jauh lebih pendek darinya. Entah setan apa yang merasukiku. Aku melepas foto itu dari frame, melipat sisi yang memuat Kurokocchi ke belakang, kemudian memasangnya lagi pada frame. Hei, aku ini jahat, ya. Maafkan aku, Kurokocchi. Aku benar-benar minta maaf...

To be continued...

*1 Kau tidak apa-apa?!


A/N : Konnichiwa! Minna san, karena ini fanfic pertama saya, jadi maklum ya kalau banyak kesalahan dan nggak sesuai harapan. Yoroshiku ! Mind to review?