Title: Blinded

Rate: R (for now)

Genre: Family, Tragedy, Hurt/Comfort, Crime, Angst

Warning: This chapter contains some implicit criminal contents and dirty words that may not appropriate for children. In the future chapters, there will be more dark contents such as gay sex, incest, murder, and so on. You've been warned :)

Disclaimers: Kuroko no Basuke and its kawaii charas are not mine. They belong to Tadatoshi-sensei.


Blinded


Chapter 1. New, Mysterious Roommate


Aku memainkan serpihan roti yang sudah kering di antara jari telunjuk dan jempolku, sembari tersenyum mengenang masa lalu. Suara pipa bocor, tes... tes... tes... bagaikan musik di latar belakang. Aku beringsut di spon tipis yang kusebut tempat tidur, meringkuk.

Dingin.

Tembok di belakangku terasa dingin dan lembab, kasurku pun dingin dan lembab, dan udara di sekitarku merupakan perpaduan sempurna antara bau jamur, lumut, serta keringat. Bukan bau yang menyenangkan, memang, tetapi aku sudah sangat terbiasa dengan semua itu hingga syaraf-syarafku nyaris menyambut mereka dengan senang hati.

Aku melirik jendela kecil berterali di atas, tahu bahwa saat ini mungkin matahari akan tenggelam... atau sudah? Ah, waktu tak berarti apapun bagiku. Tidak, karena aku telah terkurung dalam kotak kecil gelap ini selama bertahun-tahun, dan tidak, karena aku akan tetap terkurung dalam kotak kecil gelap ini untuk tahun-tahun yang akan datang.

Aku nyaris kehilangan waktuku, pikiranku, dan perasaanku di sini. Di sini, di tempat kecil berterali, di suatu pulau khusus bagi para kriminal kelas berat menghabiskan sisa hidup mereka dengan meratap dan menangis, menyesali hari ketika kematian menyongsong mereka dengan cepat.

...atau mereka hanya akan mati rasa, sama sepertiku.

Aku memerhatikan serpihan roti kecil di tanganku nyaris dengan penuh kelembutan. Aku tahu (aku hanya tahu, itu saja) bahwa roti kecil ini adalah benda keberuntunganku hari ini, dan selama aku memegangnya, aku akan baik-baik saja. Tidak, jangan menertawaiku. Aku seratus persen waras. Mungkin.

Kudengar beberapa langkah kaki menghampiri selku; mungkin petugas-petugas yang biasa, sedang berpatroli.

Tap, tap, tap, tap...

Langkah-langkah mereka nyaring, menggema di seluruh koridor yang kosong dan gelap di depan selku. Aku memelintir serpihan roti di tanganku, tidak memedulikan mereka, namun mendengarkan melodi sepatu mereka yang menghantam ubin dengan khidmat, seraya bersenandung sendiri dalam hati:

Alas, my love, ye do me wrong,

To cast me off discourteously...

For I have loved you well and long,

Delighting in your company...*

Tap tap.

Aku mendongak dari rotiku, nyaris tanpa minat, ketika dua petugas berseragam menghentikan langkah mereka tepat di depan selku, mengapit seseorang berbaju navy blue yang tampak sedikit terlalu kecil baginya. Kedua tangannya yang besar dan berotot menyatu dalam dua lingkaran berwarna keperakan yang kontras dengan warna kulitnya yang gelap.

Pria yang suram sekali, adalah kesan pertamaku terhadapnya.

Aku tetap memelintir serpihan rotiku, namun tidak lagi dengan intens ー sebagian dari pikiranku sedang melayang ke pria berkulit gelap di depan selku, bertanya-tanya apa yang akan terjadi padaku, atau padanya.

Salah seorang petugas berkulit pucat mengeluarkan kunci perak yang tergantung dalam satu lingkaran besar, lalu mencocokkannya dengan gembok selku. Tak beberapa lama kemudian, bunyi gembok yang terbuka terdengar.

Aku berpura-pura tidak memerhatikan semua ini, dan tetap memelintir serpihan rotiku.

Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam selku, si pria berkulit gelap duluan, diikuti oleh petugas satunya yang bertubuh gempal. Si petugas akhirnya melepaskan borgol yang melingkari kedua pergelangan tangan pria berkulit gelap tersebut. Bunyi cklik pelan terdengar di seluruh ruangan.

"Oi kau," si petugas berseru padaku, yang masih berpura-pura tak peduli. Aku mengeluarkan desahan dramatis, akhirnya mengalihkan pandang dari rotiku ke pria yang tampak tidak terkesan dengan sikapku tersebut. "Mulai hari ini, kau se-sel dengannya. Selama kalian tidak saling bunuh, aku tak peduli. Dan jangan coba-coba cari masalah."

Aku memutar bola mataku, "Tentu, kapten," sindirku.

Si petugas mengeluarkan suara seperti 'tch!' sebelum keluar dari sel bersama temannya, menguncinya rapat-rapat, dan berjalan dengan arogan menjauh dari sel, meninggalkanku berdua dengan pria berkulit gelap tersebut.

Aku melirik pria tersebut, yang hanya terdiam di tempatnya berada. Pria itu memiliki tinggi paling tidak 190 cm, dengan mata dan rambut berwarna gelap yang cocok untuk kulitnya. Aku menduga ia paling tidak sepuluh tahun lebih tua dariku, yang berarti kemungkinan ia berada di akhir usia empat puluh tahunannya. Meskipun demikian harus kuakui, bahwa untuk ukuran pria berusia setengah abad, ia tampak sangat sehat.

"Kasurmu yang itu," aku menunjuk spon tepat di seberang tempatku berbaring. Aku harus menegaskannya, kau tahu. Aku lebih dulu berada di sel ini, dan tak ada seorang pun yang boleh mengambil apa-apa yang telah lebih dulu kuklaim.

Si pria bongsor tampak mengerti, dan perlahan menyeret kakinya yang panjang ke arah spon di seberangku. Di pinggir spon ia terduduk, melipat kakinya, dan menatap ubin semen.

Hening lama, hanya terdengar tetesan-tetesan air dari pipa yang bocor, serta tarikan dan hembusan napas dari dua orang yang berbeda. Bosan, aku kembali mengalihkan perhatian pada rotiku.


Berjam-jam pastilah telah berlalu (atau baru beberapa menit? Aku tidak begitu yakin) ketika akhirnya si pria berkulit gelap tersebut terbangun dari transnya, dan mengeluarkan desahan pelan.

"Yo, makan malam sudah lewat, kau tahu," aku melenggang masuk ke dalam sel, memperhatikan bahwa pria tersebut belum beranjak dari tempatnya duduk di tepi tempat tidur.

Si pria menggerakkan kepalanya, pelan, dan mendesah. "Aku tidak lapar," gumamnya.

Aku memutar bola mata. "Tentu, tentu. Ini hari pertamamu, yeah? Well, aku hanya bisa bilang... semoga betah!" Dengan santai, aku duduk di tempat tidurku, mengeluarkan buku tipis dari kolong tempat tidurku, dan mulai membaca.

Ah, Charles Dickens. Aku menyukai karya-karyanya. Tersenyum, aku mulai membaca ulang paragraf pertama dari Three Ghost Stories** entah untuk yang keberapa juta kalinya.

'Halloa! Below there!' When he heard a voice thus calling to him, he was standing at the door of his box, with a flag in his hand, furled round its shortー

"Ehm," dehaman si pria baru tersebut memecah konsentrasiku.

Mengangkat sebelah alis, aku memandangnya dari balik bukuku. Pria itu tampak kikuk sejenak, lalu berdeham sekali lagi.

"Aomine Daiki. Namaku," gumamnya pelan, ragu-ragu. "Halo."

Aku menahan desahan kesal yang memaksa keluar dari mulutku, lalu mulai memperkenalkan diri juga. Yah, aku tidak ingin mencari masalah dengan tetangga barukuーhidupku sudah cukup berat tanpa itu. "Midorima Shintarou," gumamku nyaris tak acuh, lalu kembali ke bukuku.

short pole. One would have thought, considering the nature of the groundー

"Kamar mandi. Di sana kan?" teman sekamarku kembali menggangguku.

"Ya," jawabku, tanpa mengalihkan pandang dari bukuku. "Oh, omong-omong, Aomine-san, berapa lama masa tahananmu?"

Pria berkulit gelap itu memandangiku sejenak, seakan menimbang apakah pertanyaan tersebut dimaksudkan sebagai sindiran atau bukan, sebelum menjawab, nyaris ragu-ragu, "Dua puluh lima tahun. Mungkin."

Aku mengeluarkan gumam pelan, pertanda mengerti, sebelum kembali membaca.

Pria itu berdiri dengan kikuk di tempatnya sejenak, seolah ingin mengklarifikasi sesuatu, sebelum akhirnya menyeret kakinya ke kamar mandi, meninggalkanku sendirian.

Aku berpura-pura membalik halaman bukuku dengan cuek, namun tetap saja dalam hati mengeluh kecil.

Oh hebat, kini tak hanya aku menghabiskan sisa hidupku di sini, tetapi juga ditemani oleh seorang kriminal yang canggung. Selama dua puluh lima tahun, pikirku dramatis.

Menghela napas berat, akhirnya kututup bukuku dan menengadah, menatap langit-langit. Tuhan Tahu ketenangan lah satu-satunya teman yang kuharapkan, dan karena Dia Membenciku, Dia Memberikanku persis yang tak kuinginkan.


...atau, begitulah awalnya. Kukira aku takkan pernah terbiasa mendapatkan teman sekamar. Hey, jangan salahkan aku, aku telah menghabiskan lima tahun hidup di sel kecil ini, sendirian, dan cukup puas dengan itu... Namun, satu bulan yang lalu tiba-tiba saja ketenanganku terganggu oleh sesosok pria misterius bernama Aomine Daiki, yang bertampang menyeramkan dan berkulit gelap, namun tak disangka ternyata cukup pendiam dan tenang.

Hidupku tak mengalami perubahan yang berartiーkecuali kalau kau menganggap terbangun di tengah malam buta gara-gara teman satu selmu berteriak-teriak dalam tidurnya karena mimpi buruk sebagai salah satu 'perubahan'. Ya, hal tersebut hanyalah salah satu rutinitas baruku, karena nampaknya si teman satu selku tersebut sangat gemar bermimpi buruk. Pernah bahkan, di suatu malam, aku terbangun karena mendengar Aomine merintih, seolah-olah ia sedang sekarat, di tempat tidurnya. Aku nyaris panik waktu ituーbersiap memanggil petugas dan lain sebagainyaーketika kulihat air mata menetes di kedua pipinya, dan akhirnya kedua matanya yang beriris gelap terbuka.

"Jangan... Aku tak apa-apa," ia merintih, memandangiku dari tempatnya meringkuk, seolah mengancam. Melihatnya, dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya dan mata yang bengkak karena tangisan, membuat jiwaku yang telah lama mati terbangun oleh rasa kasihan.

Mengangkat bahu, aku menyeletuk, "Kalau itu maumu," lalu kembali ke tempat tidurku.

Malam-malamku selanjutnya tak jauh berbeda dari itu, meskipun karena terbiasa, aku mulai belajar untuk tidak mengacuhkannya. Aku memiliki bakat untuk tertidur dengan cepat, dan bersyukur karena itu.


Dua bulan nyaris berlalu sebelum akhirnya kami memiliki kesempatan untuk mengobrol singkat. Hari itu adalah hari kerja bakti. Kami dikumpulkan di lapangan, dan selama berjam-jam yang membosankan kami harus membersihkan taman, memotong rumput, menanam bunga, memperbaiki dapur... hal-hal semacam itu.

Aomine bekerja dengan tangkas di sampingku, dalam diam. Aku menyeka keringat di dahiku dengan lengan baju, menyadari betapa panasnya hari ini, dan berkomentar keras-keras.

"Tidakkah hari ini cuaca panas sekali?" Aku memotong rumput dengan tambahan tenaga yang seharusnya tidak diperlukan. Kagami Taiga, rekan sesama tahanan yang lebih senior daripadaku, menghentikan kegiatannya dan menengadah menatap langit.

"Ya," gumam pria berambut merah tersebut, "Padahal ini belum bulan Juli, astaga."

Aomine, tak disangka-sangka, ikut menyeletuk, "Benar sekali. Tampaknya bumi makin panas."

Kagami mengeluarkan desahan panjang. "Ah, seandainya pun neraka akan tumpah tak lama lagi, aku tak peduli. Sudah lama aku tahu aku akan berada di dalamnya."

Kami bertiga tertawa.

Kagami meletakkan gunting tanamannya, lalu duduk di rerumputan. "Delapan belas tahun lagi," ia meringis, "Delapan-brengsek-belas tahun lagi."

Aku memutar bola mata. "Jangan membawaku ke dalam mood-mu yang gelap, Kagami-san. Dan oh, kau mengingatkanku bahwa masa penahananku juga masih saaaaaangat lama. Aku yakin ketika keluar nanti para wanita yang dulu kutaksir telah berubah keriput semua."

Kami berdua tertawa miris, meskipun tak ada satupun dari kami yang menganggapnya lucu.

"Setidaknya, aku bersyukur aku lajang sekarang. Keluar nanti, akan kurayu setiap wanita yang kutemui di pojok jalan. Hahaha," Kagami mulai mengangkat guntingnya lagi, kembali kerja sambil bersiul-siul.

Aomine, yang selama ini memotong rumput dengan tekun, menghentikannya sejenak. "Aku kangen anakku," gumamnya lirih. Tatapannya menerawang jauh, menembus dinding-dinding tebal yang menghalangi kami dengan dunia luar.

Aku dan Kagami bersiul serempak.

"Anak, eh?" Kagami kembali bersiul. "Dulu aku pernah punya satu, bersama wanita jalanan yang aku tidak ingat namanya. Jalang itu mengambilnya dariku ketika tahu aku bermain-main bersama wanita lainーhah! Hingga kini aku belum pernah melihatnya lagi," ceritanya tanpa rasa sesal.

Aomine memberinya pandangan tak setuju, namun tak berkomentar lebih jauh. Ia kembali memotong rumput, meskipun bisa kulihat pikirannya terganggu.

"Jadi," aku melanjutkan, memecah keheningan yang tak enak di antara kami, "Bagaimana kabar anakmu? Sudahkah anakmu mengunjungimu?"

Kali ini Aomine benar-benar membatu, kedua tangannya terhenti di udara. Aku menggigit bibir, tak yakin apakah telah menanyakan hal yang benar.

"Ahー tak usah dijawab kalau memang itu memberatkanmu. Maafkan aku," aku berkata cepat-cepat.

Aomine menggelengkan kepalanya, pelan. "Tidak. Tidak apa-apa," ia tampak ragu sejenak, lalu menghela napas. "Dia tidak akan pernah mengunjungiku lagi."

Aku dan Kagami menahan napas, tidak berani berkomentar.

Detik-detik berlalu bagaikan berjam-jam, sebelum pria berkulit gelap itu berkata lirih, "Anakku sudah meninggal."


Malam itu, kami berdua tidur dengan perasaan kalut. Aku, karena merasa bersalah menanyakan hal yang tampaknya sangat sensitif bagi pria itu, dan Aomine, karena seperti biasa, ia tertidur dalam pelukan mimpi buruk.

Terkadang, sembari menatap langit-langit yang gelap dan mendengarkan rintihan tanpa sadar dari orang di sebelahku, aku bertanya-tanya sendiri, kesalahan seperti apa yang dilakukannya hingga mendapatkan mimpi buruk seperti itu? Di setiap rintihannya dan gumaman-gumaman minta maafnya, aku tahu ia sedang menyesali perbuatannya... namun untuk apa? Pada siapa?

Aku mendesah, diam-diam mensyukuri keadaanku.

Setidaknya, bukan aku yang setiap malam merintih dan menangis dalam tidurku.

.to be continued.


A/N:

1. (*) merupakan paragraf pertama dari lirik lagu Greensleeves, lagu Inggris Kuno yang ditulis sendiri oleh Henry VIII pada tahun 1500-an untuk (demikian menurut kepercayaan orang-orang) Anne Boleyn. Saya menggunakan lagu itu sebagai lagu nina bobo, hahaha.

2. (**) Three Ghost Stories merupakan buku kompilasi dari cerpen-cerpen horor yang ditulis oleh Charles Dickens. Kalimat yang saya gunakan berasal dari cerpen The Signal Man (1866), paragraf pertama.

Thanks for reading! Comments, critics, and suggestions are highly appreciated. It is a booster for me, you know :)


Spoiler for Chapter Two!

Aomine gets a visitor, but who is the mysterious man?

Meanwhile, Kagami, Takao, and Midorimicchi read an old article in the local newspaper about... the dark side of Aomine. What kind of news do they read? Why do they look so disgusted?

And that night, Midorimicchi finally reveals his dark secrets to Aomine...


See you in the next chapters! ;D