Title : Gomawo, Hae..

Cast : Lee Donghae - Kim Kibum - Leeteuk

Genre : Family – angst

Summary:

Donghae bertahan, tetap memegang kukuh janjinya pada sang hyung, mengemban tanggung jawab untuk menjaga sang adik semampu yang ia bisa. Bisakah ia?

[Oneshot]

.

"Maafkan aku.."

Hanya helaan nafas dalam, dan juga raut tak percaya yang terpancar, atas tanggapan sebuah maaf yang begitu tulus, terlontar dari bibir yang bergetar menahan tangis.

"Donghae-ya, kumohon, maafkan aku! Maafkan hyung.."

Kata itu lebih jelas terdengar, dalam kalimat yang cukup lengkap bersamaan dengan nama yang terlontar, untuk siapa lontaran maaf itu ada. Untuk Donghae? Benar. Ia adalah Donghae yang kini masih enggan mengangkat wajahnya yang terus menunduk. Ia adalah Donghae yang tengah mencoba menahan tangisnya.

Selang waktu berikutnya, sosok lain di hadapan Donghae kini, mencoba menggapai lengan Donghae yang nampak beku. Ia mencoba menautkan jemarinya, berniat menghangatkan tangan Donghae yang begitu kedinginan, namun percuma.

Donghae telah menarik ke sepuluh jarinya. Menyimpannya rapat di antara saku jaketnya. Ia terlihat enggan, bahkan sekedar bersentuhan dengan sosok tersebut.

"Aku akan segera mengajukan surat pengunduran diriku," ucap Donghae. Bibirnya yang bungkam akhirnya berucap, meski nada dingin yang keluar dari sana, bahkan terlalu cepat dan singkat.

"Hae, hyung mohon.."

"Hentikan!" hardik Donghae, membentak sosok di hadapannya tersebut, yang tengah menatap dirinya dalam sebuah ratapan pedih. Donghaepun, sebenarnya tak berbeda dengan lawan bicaranya. Tangannya mengepal, dengan nafas memburu. "Jangan berkata seolah-olah kau mengenalku," bisik Donghae tajam.

"Donghae, jangan seperti itu! Hyung tahu, hyung bersalah padamu. Pada Kibumie, pada kalian.."

"Cukup! Hentikan memanggil dirimu sebagai hyungku dan juga Kibum!" teriak Donghae. Ia lalu menggeleng keras. Jejak air matapun, sudah mengumpul di kedua sudut matanya, dan siap tertumpah. "Kau bukan hyungku!" lirih Donghae, tersamarkan suara hujan yang tiba-tiba datang. Perlahan ia mengambil langkah, dan tepat setelah ia usap kasar kedua matanya dengan kain pada lengannya, ia berlari menembus hujan, tanpa sempat menolehkan lagi pandangannya.

"Donghae tunggu!"

...

Di antara banyak tetesan hujan itu kini Donghae berdiri. Ia biarkan tubuhnya basah, serta bergetar dalam dingin yang begitu menusuk tiap kulitnya. Ia bahkan menangis dalam diam.

Hingga kakinya kembali melangkah, melewati tiap anak tangga yang mengantarnya pada tempat yang lebih teduh. Sebuah terminal bis, yang akhirnya menjadi tempat bersandar baginya, bergabung dengan sedikit orang yang berteduh dari hujan di malam tersebut.

Semua tampak baik-baik saja. Donghae dengan seluruh pakaiannya yang basah. Ia melihat, memperhatikan satu persatu orang disana, pergi menyisakan dirinya seorang. Dan di saat itulah, ia mulai kembali terisak, meratapi nasibnya yang terlihat buruk.

Sesekali ia usap air mata di wajahnya. Dan menapaki berpuluh menit kemudian, suara bising mulai terdengar. Suara berisik yang ditimbulkan, dari motor yang tengah berjalan menggila.

Donghae melirik jam di tangannya yang menunjukkan waktu, tepat di pertengahan malam. Donghae tahu akhirnya bahwa, memang jalanan yang sepi tersebut akan menjadi penghuni anak-anak gila dengan hobi mereka.

Balapan liar..

Sudah hampir bertahun lamanya Donghae tinggal di kota tersebut. Ia sangat tahu, bagaimana hidup kota tersebut. Kota yang telah memberikan banyak hal padanya. Tapi untuk mengetahui dunia malam tersebut, hanya satu alasannya..

"Kibumie.." ucap Donghae pelan, mulai terlihat gusar sambil memperhatikan tiap motor yang sebenarnya berlalu dengan cepat, dan tak bisa ia lihat dengan jelas. Hingga sebuah motor dengan warna biru melintas. Bahkan jaket yang dikenakan sang pengemudi dapat ia hafal. Maka Donghae semakin gusar.

"Kibum! Kibum!" teriaknya kalap, sambil berlari ke arah motor-motor itu melaju.

...

Udara semakin dingin, di waktu menuju dini hari. Dengan nafas memburu, Donghae menapakkan kakinya tepat di atas sebuah jembatan, yang ramai karena mereka yang menanti balapan selesai, untuk melihat siapa yang akan menapaki tempat tersebut untuk pertama kalinya sebagai sang juara.

Donghae merutuk. Ia terlambat menghentikan Kibum, sang adik yang telah berbaur dalam balapan tersebut. Sekarang baginya, hanya menunggu Kibum kembali dengan selamat, meski jantungnya tak ingin berhenti berdetak lebih cepat. Dan baginya, sang organ penting tersebut, berdenyut menyisakan sakit, meski masih bisa ia tahan.

"Kya!"

Suara jeritan dari para wanita nakal dengan pakaian seksi mereka, mengejutkan Donghae yang tengah terduduk tepat di pinggiran jalan. Ia segera berdiri, mendongak untuk menyambut sang adik dengan raut cemas. Hingga tibalah, seseorang dengan jaket yang Donghae hafal, tengah membuka helmnya.

"Ya, Kibum!" Donghae segera memekik keras sambil menghampiri seorang Kibum dan tak lupa menghentakan kakinya. Dan dalam hitungan detik..

Plak!

Telapak tangan Donghae, memukul keras kulit di pipi Kibum. "Kau melanggar janjimu, Kibumie!" teriak Donghae, membuat seluruh orang disana, mengalihkan perhatian padanya dan juga Kibum. Mereka terdiam, mengatupkan mulut mereka, terlebih saat melihat sosok rapuh Donghae yang tengah sibuk menahan tangisnya.

"Hyung, kenapa kau ada di luar? Ini sudah malam!" Kibum menatap terkejut pada Donghae. Meski rasa perih pada pipinya masih terasa, tak sedikitpun memancing amarahnya. Namun Kibum, lebih terlihat hawatir.

Donghaepun tertawa miris. "Apa yang sedang kau katakan, huh?" tanyanya pada Kibum. "Harusnya aku yang berkata seperti itu!" teriak Donghae.

"Hyung.."

"Seharusnya kau tahu, setiap saat aku mencemaskanmu! Kau tahu aku rela membuang segalanya demi kau! Tak tahukah kau, bahkan setiap malam aku tak bisa tidur, hanya karena takut kau melakukan hal ini lagi? Hah?!" teriak Donghae, tanpa memberi celah bagi Kibum untuk bicara. Sedang air mata sudah mengalir deras dari kedua matanya.

"Aku.."

"Bagaimana jika kau kecelakaan dan mati!" potong Donghae kalap. "Itu artinya kau membiarkanku mati perlahan, Kibum!"

"Cukup hyung.." lirih Kibum akhirnya. Dengan segera ia melepas jaketnya, dan menyelimuti tubuh Donghae dengan jaket tersebut, namun Donghae menepisnya.

"Aku yang harus melindungimu, bukan sebaliknya!" raung Donghae.

"Kumohon, percayalah hyung, aku mempunyai alasan untuk melakukan hal ini," bela Kibum.

"Pulang," potong Donghae dalam getar suaranya. Bibirnya sudah tak mampu ia gerakkan lebih banyak.

"Dengarkan aku dulu, hyung.."

"Pulang!" desak Donghae, tak menerima ucapan Kibum.

Kibum mulai menekuk wajahnya. Ia terlihat marah, hingga berjalan meninggalkan Donghae dalam diam.

Donghae diam dan hanya menatap punggung Kibum, Kibum yang mulai menjauh. Sejenak ia perhatikan setiap orang yang menatapnya. "Apa yang kalian lihat?! Pulanglah, sebelum polisi datang," desisnya, membuat beberapa anak muda tersebut tak ingin lagi menatapnya dan pergi begitu saja.

Kembali, hanya tersisa seorang Donghae di tempat tersebut. Hujan telah berhenti namun, tubuhnya belum siap untuk mengering. Perlahan ia dongakan kepalanya, hingga mengalirlah kembali, tetesan air dari matanya. Mengalir deras di antara kulit wajahnya yang pucat.

"Maaf," gumamnya pelan, mulai memegangi bagian dadanya dan bernafas berat. "Aku gagal," ucapnya pelan. "Aku gagal menjaga dan mendidiknya dengan baik," lanjutnya entah pada siapa.

Perlahan ia remas kain di bagian dadanya. Lalu ia tepuk-tepuk perlahan bagian tersebut. Ia tarik nafasnya dalam dengan sabar, meski itu tak mengurangi rasa sakit yang tengah dirasanya.

"Hyung!" pekiknya hampir seperti bisikan, hingga ia terjatuh, menumpukan tubuhnya pada lutut yang ia tekuk, menyentuh aspal, sebelum akhirnya, seluruh tubuhnya terjatuh di atas aspal yang dingin itu. Semua tak lagi nampak dalam pandangan seorang Donghae..

"Dulu ibu bilang pada ayah, 'kau tahu, Kibum lebih kuat dari Donghae. Kenapa kau begitu mengutamakan Donghae daripada Kibum?' sambil menangis, Hae! Kau tahu apa jawaban ayah?"

Donghae diam memperhatikan tiap kata dari bibir sang hyung. Ia lalu menggeleng pelan..

"Ayah bilang, 'Donghae bisa menjaga Kibum dengan baik, meski ia sakit! Kibum pintar, namun ia tak mampu peka pada siapapun di sekitarnya. Tapi Donghae, terlalu kuat akan tanggung jawabnya. Ia adalah orang yang kuat,' begitu katanya. Aku mendengarnya sendiri!"

Donghae terkikik geli. "Leeteuk hyung kau bohong!" umpatnya sambil menggerutu.

Sang hyung, yang adalah Leeteukpun tersenyum. "Sungguh! Aku tak berbohong," balas Leeteuk dengan pelukan yang semakin erat pada tubuh Donghae.

"Benarkah?" tanya Donghae meyakinkan.

"Ya. Untuk itulah, kau harus kuat untuknya, mengerti?"

Donghae mengangguk ragu. "Masih ada kau kan hyung. Aku takut tak bisa menjaga Kibum dengan baik," sanggah Donghae.

Leeteuk menghela nafasnya. "Ibupun dulu mengatakan hal itu. Tapi ayah berkata, Donghae adalah kakak Kibum selain Leeteuk. Ia percaya, kau bisa menjaga adik kita," ucap Leeteuk.

"Kibum terlalu menutup dirinya setelah ayah dan ibu meninggal," keluh Donghae akhirnya.

Sedang Leeteuk mulai berfikir. "Yang aku takutkan adalah, dia tak mampu bertahan dengan lingkungan hidup yang baru, Hae. Sejak awal kita dilahirkan dengan segala kemewahan yang diberikan ayah dan ibu. Tapi sekarang? Kau tahu, tak ada sedikitpun yang tersisa," terang Leeteuk.

"Dia bahkan sempat menolak untuk sekolah, dan akhir-akhir ini sering berbuat onar di sekolah," adu Donghae.

"Sudah kuduga. Tapi, kita harus tetap menjaganya, mengerti?"

"Ya," balas Donghae kemudian.

"Berjanji untuk menjaganya dan mendidiknya dengan baik, Hae?"

"Tentu saja! Aku bisa!"

"Termasuk menjaga kesehatanmu sendiri.."

"Aku janji!"

Kedua saudara itupun, saling berjanji dan menautkan jemari mereka, untuk membuktikan seberapa kuat janji itu akan berlaku.

...

Di suatu pagi, Donghae menangis dengan satu kertas di tangannya yang berisi beberapa kalimat yang membuat Donghae kini menangis. "Hyung.." lirihnya dalam tangis tersebut.

Bagaimana ia tak menangis? Leeteuk tiba-tiba menghilang dan hanya meninggalkan pesan singkat dalam surat tersebut. Ia hanya berkata, jaga adik kita, tetaplah sehat, dan hyung akan kembali setelah waktunya tiba dan kembali membawa kalian dalam sebuah kebahagiaan. Hanya itu.

Donghae terus menangis dan bergumam, "kenapa kau pergi?" sambil terus mengusap matanya yang basah. "Bagaimana dengan kami?" ucapnya lagi. Hingga "kau bohong!" adalah ucapan terakhir sebelum akhirnya Kibum terbangun dan menghampirinya.

"Kau kenapa?"

Sejenak Donghae menatap Kibum. Ia menatap Kibum dengan genangan air mata di wajahnya. Lalu, ia peluk sang adik dengan erat, sambil tak henti mengelus punggung sang adik yang hanya berbeda satu tahun darinya tersebut. Ia mengusap punggung kibum dengan sayang, sambil berkata, "tenang saja! Aku akan tetap menjaga janjiku padanya," ucapnya membuat Kibum tak mengerti dan hanya membuatnya diam. "Aku akan tetap di sampingmu. Aku akan menjagamu dengan seluruh hidupku!"

"Tunggu dulu!" potong Kibum sambil menarik diri dari pelukan Donghae. "Katakan ada apa, hyung!" desaknya.

...

Kibum mengetukkan jemarinya pada permukaan bening sebuah gelas yang tengah di genggam oleh satu tangannya. "Yang benar saja dia!" rutuknya kemudian, lalu ia tatap Donghae dengan sedikit pancaran cemas. "Bagaimana bisa ia meninggalkan kita begitu saja?! Dia kemana?!" umpatnya tertahan.

Donghae hanya menundukan kepalanya. "Aku tak tahu.." balasnya.

Segera Kibum membuang nafasnya kesal. "Lalu bagaimana dengan kita? Sekolah kita? Hidup kita?"

Donghae tersenyum miris. "Kau tenang saja. Kau tetap sekolah. Aku akan mencari pekerjaan," timpal Donghae, namun segera terhenti saat Kibum malah menggebrak meja yang tengah mereka huni.

"Kerja apa? Usiamu bahkan masih 17 tahun! Kau bahkan sakit!" umpat Kibum.

Donghae segera mengangkat wajahnya. Ia menepuk-nepuk dadanya lumayan keras. "Aku tak apa-apa, Kibumie! Aku baik-baik saja. Aku bisa!" ucapnya dengan keyakinan yang penuh.

Kibum mengumpat sebal. Ia segera berdiri dengan tak sabar. "Lakukan saja apa maumu!" desisnya, lantas meninggalkan Donghae begitu saja, bersamaan dengan deraian air mata yang kembali mengalir dari mata Donghae.

...

Donghae dalam janjinya..

"Sebenarnya kau darimana, Kibumie?!" tanya Donghae, kala Kibum datang dengan sempoyongan dan bau alkohol yang pekat dari tubuhnya yang bahkan masih terbalut seragam sekolah.

Donghae tahu, Kibum tak akan mampu menjawabnya. Maka ia hanya bersusah payah membawa Kibum ke kamarnya. Membaringkan Kibum, serta mengganti seluruh pakaian sang adik, hingga Kibum dapat tertidur dengan nyaman, dalam dengkuran halus.

Hanya tarikan nafas lelah yang Donghae lakukan setelahnya. Ia pandangi Kibum dengan miris. "Sampai kapan kau begini," keluhnya, sambil menarik selimut agar menutupi tubuh Kibum.

Perlahan, ia lirik jam di kamar tersebut yang menunjukkan pukul 8 malam. Ia lalu bangkit dari posisinya, keluar dari kamar Kibum lantas memakai jaketnya. Ia mulai keluar dari kediamannya untuk menembus dinginnya malam.

Sebuah mini market 24 jam, adalah tempatnya bekerja. Bagian malam, adalah bagian tersulit. Karena selain tak mendapat jatah tidur yang sewajarnya, udara dingin benar-benar membuat tubuhnya berontak, hingga tak jarang ia mengeluh sesak nafas meski ia tetap bertahan dengan keadaan tersebut.

Satu malam ia lewati. Hingga menjelang pagi, sebagai awal kegiatannya di hari itu, ia masih sempat menyiapkan sarapan untuk sang adik serta menyiapkan seluruh keperluan sekolah Kibum. Iapun selalu menyempatkan diri, untuk memeriksa setiap catatan sekolah Kibum.

Dan ia tersenyum. Kibum pintar, meski akhir-akhir ini ia lebih sering berpoya bersama temannya, dan melakukan hal kurang baik. Tapi lihatlah, bahkan setiap lembaran di bukunya, berhiaskan angka 100 di tiap tugas. Donghae bangga akan hal tersebut, tentu saja.

Namun senyum itu, tak akan bertahan lama. Donghae mulai merasakan lelah dan kantuk menyerangnya. Maka setelah semua selesai, ia segera membersihkan diri, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya, dan segera terlelap, mengistirahatkan tubuhnya.

...

Donghae di ambang batasnya..

Kini, ia dan Kibum tengah berjalan menuju kediaman mereka. Tak sekalipun Donghae berniat mengajak Kibum bicara. Hingga pintu rumah mereka tertutup rapih, dan Kibum terduduk di meja belajar di kamarnya, barulah Donghae angkat bicara.

"Kenapa kau berkelahi, Kibumie?" tanyanya masih diliputi sebuah rasa sabar. Ia terduduk di sisi ranjang Kibum, dan menghadap pada sang adik.

"Dia yang memulai," balas Kibum.

"Tapi kau tak harus membalasnya, bukan?! Lihatlah akibatnya! Kau tak bisa masuk sekolah selama satu minggu, padahal bulan depan kau akan menghadapi ujian nasional!" omel Donghae. Ini adalah yang pertama kalinya, semenjak Leeteuk meninggalkan mereka, Donghae memarahi Kibum.

"Aku bisa meminjam catatan Kyuhyun. Kau tak usah berlebihan!" jawab Kibum.

Donghae memandang Kibum tak percaya. "Jaga bicaramu, aku hyungmu! Aku peduli padamu!" desis Donghae.

Kibum tak bergeming, hingga ia lihat Donghae mulai membungkuk, meremas erat kain pada bagian dadanya, dengan kening mengkerut menahan sakit. Kibum tahu, Donghae telah pada batasnya. Ia bukanlah adik yang kejam, dan bisa membiarkan Dongha kesakitan dengan raut wajahnya yang dingin. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, hendak menyentuh Donghae. Namun, Donghae tepis keras tangan Kibum.

"Jangan pedulikan aku! Dengar, Kibumie! Kau tak boleh keluar rumah selama satu minggu ini!" tutur Donghae dengan tajam, lalu meninggalkan Kibum, bahkan sempat mengunci pintu kamar Kibum dari luar dan menyimpan kuncinya.

Kibum masih diam. Ia lebih memilih terbaring di ranjangnya, sambil menatap langit-langit kamarnya hingga tak terasa, ia jatuh terlelap.

Hingga menjelang malam, dari jendela kamarnya Kibum melihat Donghae di halaman rumahnya. Ia tak habis fikir, bahkan Donghae masih bisa pergi bekerja dalam kondisi tubuh yang tak baik. "Kau bodoh!" umpatnya dengan kepala yang ia sandarkan pada kaca jendelanya. Satu helaan nafas, berhembus pelan dari mulutnya..

...

Donghae dalam cemasnya..

"Adakah pasien yang bernama Kibum?!"

Donghae bertanya panik, menanyakan keberadaan Kibum di sebuah rumah sakit besar yang baru saja ia datangi. Ia berlari terbirit, bahkan meninggalkan jam kerjanya hanya karena mendengar sang adik yang mengalami kecelakaan dalam sebuah balapan liar.

Sempat bingung, Donghae bertanya-tanya dalam hatinya, karena mereka bahkan tak memiliki kendaraan. Darimana Kibum mendapat motor tersebut?!

Donghae segera membuka ruangan yang ditunjukkan seorang suster. Ruangan dimana Kibum berada. Dibukanya pintu tersebut agak kasar, dan nampaklah Kyuhyun, teman Kibum yang membungkuk padanya. Ia terlihat tengah menunggui Kibum yang masih menutup matanya dengan beberapa luka di wajahnya.

"Apa dia baik-baik saja, Kyu?" tanya Donghae, menghampiri Kibum dan menggenggam tangan Kibum dengan erat. Ia elus wajah Kibum, dengan raut hawatir yang enggan menghilang.

"Sedikit retak pada pergelangan kakinya, hyung.."

Donghae menatap miris ke arah Kibum, lalu berkata "aku gagal menjaganya," dalam bisikan pelan.

Dan sejak hari itu, sejak Kibum tersadar dari tidurnya. Ia terus berusaha meminta maaf pada Donghae. Terlebih jika mengingat, ada banyak waktu yang harus Donghae korbankan untuknya, juga ada berapa banyak lembaran uang untuk membayar pengobatannya. Lembaran uang yang bahkan sulit di dapat.

"Tak perlu," tolak Kibum, saat Donghae akan membasuh kakinya.

"Tak apa-apa, Kibumie. Kakimu masih sakit. Biar hyung bantu.."

Dan untuk pertama kalinya, ia menangis di hadapan sang hyung. "Kumohon, jangan lagi melakukannya," isaknya kemudian.

Donghae tersenyum, lalu memeluk Kibum, dan mengelus punggung Kibum seperti biasa. Penuh akan rasa kasih. "Jangan menangis," ucapnya. "Aku tetap memegang janjiku untuk selalu menjadi hyung yang baik. Kau adalah tanggung jawabku.."

"Hyung.." isak Kibum semakin dalam, dan akhirnya menyerah. Ia balas pelukan Donghae dengan lebih erat. "Akan kulakukan apapun untukmu.."

"Ya. Hanya, jangan pernah lakukan hal itu lagi! Dari mana kau dapat motornya, huh? Jangan pernah membahayakan dirimu lagi, janji? Dan selesaikan sekolahmu!"

Dan Kibum hanya mengangguk, masih dalam pelukan Donghae.

...

"Aku ingin berbagi kabar baik denganmu, Kibumie.."

"Apa itu hyung?"

"Aku bekerja di sebuah perusahaan. Hanya sebatas membersihkan ruangan, dan semacamnya. Kupikir itu tak terlalu berat. Setidaknya aku bisa tidur di malam hari. Dan itu, akan dimulai hari esok."

Sesuai dengan apa yang Donghae katakan, ia bekerja di pagi hari. Dengan rajin ia bekerja, membersihkan beberapa bagian kantor, sesuai dengan tugasnya. Tak henti ia tersenyum, hingga..

Tangannya yang tengah mengelap sebuah kaca, terhenti saat mendapati sosok di balik ruangan tersebut. Ia seolah tak ingin mempercayai apa yang ia lihat, namun semua nyata adanya.

Selang waktu berikutnya, kontak matapun terjadi antara dirinya dan sosok di dalam sana yang tengah berkutat dengan kertas-kertas di tangannya. Ia yang tengah terduduk di atas kursi mewahnya. Kursi sang pemilik perusahaan tersebut.

Lap di tangan Donghaepun terjatuh begitu saja. Terlebih saat sosok di dalam sanapun, melihatnya dengan tatapan tak percaya. Namun, dengan tiba-tiba Donghae membalikkan tubuhnya. Berjalan dengan mata yang mulai berembun. Ia tarik nafasnya dalam, berusaha menyembunyikan tangisnya.

Hingga ruangan itupun terbuka, dengan langkah kaki menyusul tepat di belakang Donghae. Donghae enggan menoleh. Ia terus berjalan, menuruni tiap anak tangga hingga lengannya terasa di tarik dengan sangat keras, bersamaan dengan namanya yang ia dengar dari suara yang sudah lama tak ia dengar.

"Donghae.."

Donghae segera menunduk, tak ingin menatap wajah itu.

"Donghae, ini kau? Hae! Ini Leeteuk hyung.."

Semuanya terjadi kembali. Berputar dalam mimpi seorang Donghae dengan runtun. Bagaimana pedih hidupnya, yang terus berjalan berdampingan dengan janji yang ia embat dan terkadang membuatnya lelah dan sakit.

Ia merasa tubuhnya berat, hingga kelopak matanya terbuka dan disambut dengan rasa sakit di tubuhnya. Ia bernafas dengan cepat, diiringi bunyi bising dari alat di sampingnya.

"Donghae, kau sudah bangun?"

Donghae mengernyit. Ia mendapati Leeteuk berada di sampingnya, dan menggenggam tangannya yang terasa pegal luar biasa. Oh! Ada selang infus disana. Semua terasa tak nyaman bagi Donghae. Bahkan suara Leeteuk mendengung dalam telinganya.

Donghaepun kalap seketika. Apa yang terjadi? Terakhir kali yang ia ingat adalah, ia yang memandang Kibum yang meninggalkannya entah kemana. Kibum! Ya, Kibum. Dengan sulit, ia memutar bola matanya, mencari sosok Kibum. Ia semakin gusar, karena tubuhnya sulit bergerak.

"Tenanglah, Hae. Kau ingin apa? Katakan pada hyung.."

Samar Donghae mendengar Leeteuk. Maka, dengan sisa tenaganya, ia menggerakkan jemarinya, hingga Leeteuk lebih mendekatkan dirinya pada Donghae. Dan di antara mulutnya yang tertutup oleh alat bantu penafasan itu, dengan lirih Donghae bergumam "Kibum, Kibum.." pada Leeteuk.

Leeteuk mengerti. Dengan senyuman dalam tangisnya, ia mengusap helaian rambut Donghae. Tak lupa iapun berkata, "Hyung akan bawa Kibum kemari, hyung janji.."

...

"Kibum!"

Kibum segera membuka pintu rumahnya dengan sedikit tergesa-gesa, hingga nampaklah Kyuhyun disana, membuatnya mendengus sebal. "Ada apa Kyu? Kupikir kau Donghae hyung," ucapnya. "Masuklah.."

"Aku tak lama, memangnya Donghae hyung kemana?" tanya Kyuhyun sambil merogoh sakunya.

"Aku meninggalkannya dan tak menemukannya kembali," adu Kibum. "Dia menghilang.." ucapnya.

"Akupun tak melihatnya di sepanjang jalan menuju kemari, mungkin dia bekerja?"

"Entahlah," balas Kibum, hingga Kyuhyun menyodorkan sebuah amplop padanya.

"Kau menang lagi malam ini, selamat! Akan ku ambil motorku, boleh?"

"Tentu saja!"

Kibum menyerahkan kunci motor, yang ternyata adalah milik sahabatnya. Dan di saat itulah Kyuhyun berkata, "apakah uangnya sudah terkumpul?"

Kibum terlihat berfikir. "Mungkin sudah cukup, untuk satu kali operasi. Tapi aku takut, penyakitnya tak cukup hanya satu kali operasi saja. Mungkin, aku akan meminjam motormu lagi, untuk beberapa kali balapan saja, apa tak apa-apa?"

"Tentu saja!"

...

Masih dengan Kibum yang belum menutup matanya, padahal sudah hampir pertengahan malam. Ia masih menunggu Donghae yang belum kembali. Sedikit rasa menyesal ia rasa, karena meninggalkan Donghae begitu saja.

Hingga satu menit menuju tengah malam, Kibum mendengar suara pintu rumahnya diketuk. Satu nafas lega ia keluarkan. Dan dengan cepat ia buka pintu rumahnya. "Hyung! Kenapa kau baru dat.." ucapannya terhenti. Bukan Donghae yang datang.

"Kibumie.."

Kibum merasa seluruh tubuhnya melayang, dan rasa dingin menyerang tubuhnya, namun wajahnya terasa panas. Suara itu, bahkan sudah lama tak ia dengar.

"Kibumie, ini hyung.."

Kibum memundurkan langkahnya, kala sosok itu menghampirinya. Sosok Leeteuk yang pernah meninggalkannya dan Donghae. Begitulah, hingga menyisakan rasa benci di hatinya.

"Kibum, kemarilah.."

Kibum menggelengkan kepalanya dan enggan mendekat. "Untuk apa kau kemari?!" teriaknya tak sabar.

Leeteukpun menangis. "Maafkan hyung.."

"Tidak!"

"Kibum, Kibum kau boleh menghukumku setelah ini. Donghae membutuhkanmu sekarang," ucap Leeteuk.

Seolah tersadar, Kibum menjadi lebih tajam menatap Leeteuk, lantas menarik kerah pada baju Leeteuk. "Dimana dia sekarang? Apa yang kau lakukan padanya!" raung Kibum.

"Dengarkan hyung. Tak mungkin aku melakukan sesuatu yang buruk padanya. Tadi dia.."

Kibum ingat! Apa yang dikatakan Leeteuk mungkin saja benar. Donghae tak kuat seperti dirinya, Leeteuk, atapun orang sehat lainnya. Maka dengan segera, ia berlari menuju kamarnya, lalu kembali dengan lembaran uang yang cukup banyak di tangannya. "Dimana ia sekarang, katakan!" desak Kibum.

"Apa yang akan kau lakukan dengan uang itu, Kibumie?!" tanya Leeteuk tak mengerti, namun Kibum membalasnya dengan tatapan yang teramat tajam.

"Jangan pernah mencampuri urusan kami lagi! Kau bukan lagi keluarga kami sejak kau menghilang dari kami!"

"Kibum.."

"Lihat!" ucap Kibum, sambil menunjukkan uang di tangannya tepat pada wajah Leeteuk. "Kami bisa bertahan tanpamu! Aku bisa membawa Donghae hyung untuk mengobati jantungnya! Aku bisa!"

Leeteuk menangis seketika. Ia raih tubuh Kibum dalam pelukannya. Meski dengan susah payah, karena Kibum berontak, itu tak membuatnya kalah. Tubuhnya masih kuat di banding sang adik, hingga ia dekap tubuh Kibum dengan erat. "Maafkan aku, maaf.." ucapnya tulus, membuat kibum menyerah pada akhirnya, lantas menjatuhkan lembaran uang tersebut, hingga Kibum menangis tersedu kala merasakan usapan tangan Leeteuk pada punggungnya.

"Kau boleh menghukumku, setelah kita menemui Donghae sekarang.."

...

"Kibum, kau baik-baik saja?"

Donghae menyambut Kibum yang baru saja datang bersama Leeteuk. Ia bertanya dengan bibirnya yang kering. Sepertinya ia sudah lebih baik, meski wajahnya tak menunjukkan demikian. Hanya saja, alat dokter yang menyakitinya kini sudah bisa dilepas. "Kemarilah!" ucap Donghae, merentangkan tangannya, agar Kibum datang dan segera memeluknya.

Kibum menurut. Ia segera menubrukkan tubuhnya pada Donghae. Donghae yang seperti biasa, mengusap punggungnya penuh kasih. Donghae yang selalu menyadarkannya tentang banyak hal. "Maafkan hyung karena menamparmu kemarin malam," tutur Donghae dengan sangat pelan dan penuh penyesalan.

Kibum menggeleng. "Aku yang salah. Maafkan aku!" ucapnya.

"Aku tak pernah membencimu," bantah Donghae. "Aku menyayangimu, Kibumie.."

"Aku tahu.."

Sementara itu, Leeteuk tengah berbincang dengan seorang dokter yang tengah menangani sang adik. "Lakukan apa saja demi kesembuhannya. Akan kubayar berapapun!" ucap Leeteuk dengan tegas.

Sang dokter menggeleng pelan dan terlihat menyesal. "Dia bahkan sudah terlalu lemah untuk melakukan operasi," terangnya. "Itu akan lebih menyakitinya.."

"Berikan jantungku untuknya!" balas Leeteuk tak sabar sambil kembali mengurai air mata.

Namun hanya tepukan pada bahunya, sebagai jawaban atas desakan seorang Leeteuk. "Maafkan aku," ucapnya. "Sudah tak bisa. Ia sudah terlalu lama bertahan. Kupikir, ini sudah mencapai batasnya. Akupun merasa takjub, dia bisa bertahan hingga detik ini. Kau tahu, aku dokternya sebelum orang tua kalian meninggal.."

Leeteuk hanya mengangguk frustasi. "Lalu bagaimana?" ucapnya pasrah.

"Biarkan dia tidur dengan bahagia, Leeteuk -ah. Lepaskan dia jika kau menyayanginya. Mungkin ia bertahan, karena menunggumu.."

...

"Aku baik-baik saja! Aku tak mau!"

Donghae tetap menolak, setiap kali dokter atau suster, akan memasangkan alat bantu baginya. Termasuk infuspun, ia tolak. Ia berkata sakit, dan sakit, sehingga tak ingin menyentuh alat yang mengerikan 'baginya' tersebut.

Leeteuk dan Kibum hanya memandangnya hawatir. Bagaimana tidak? Donghae berkata, ia tak ingin infus dan berjanji akan memberikan asupan bagi tubuhnya apapun itu. Ia akan memakan apapun yang disarankan dokter, beserta setiap makanan rumah sakit yang diberikan padanya. Namun hasilnya? Makanan itupun tak jarang ia keluarkan kembali dari mulutnya.

"Kupikir kau tak akan memuntahkan buah, hyung.."

Ucap Kibum, yang tengah mengupaskan sebuah jeruk untuk Donghae. Satu senyuman ia berikan untuk Donghae, saudara terkasihnya. Jangan salah! Karena Kibum hanya akan tersenyum di hadapan Donghae saja, semenjak Leeteuk sempat menghilang dari keduanya, meski senyum itu kini ada untuk Leeteuk yang baru saja kembali.

"Sebenarnya aku tak ingin memuntahkan semua makanan itu, Kibumie! Perutku yang menolaknya.." rutuk Donghae, merasa Kibum tengah mempermainkannya.

"Iya, baiklah!" timpal Kibum, tak ingin Donghae lebih marah lagi padanya. "Aku mengerti.." ucapnya sambil menyuapkan satu jeruk pada mulut Donghae. "Manis bukan?" tanyanya.

"Hm!" balas Donghae semangat, hingga berhasil mengecap rasa pada jeruk tersebut.

Saat itulah Leeteuk datang, dan bergabung dengan keduanya. "Sudah merasa lebih baik?" tanyanya kemudian, menghampiri Donghae di sisi ranjang yang lain.

Namun Donghae menggeleng kali ini. "Apa kalian berfikir, aku akan sembuh?" lirihnya.

Kibum menghentikan kegiatannya, dan Leeteuk bungkam. Mereka pandangi Donghae, yang masih dapat tersenyum di balik wajahnya yang sudah tak lagi memancarkan warna. Bibirnyapun mengering sudah.

"Hae.."

"Tidak apa-apa," tukas Donghae kemudian. "Jangan kalian pikirkan," lanjutnya, mulai meraih tangan Leeteuk dan Kibum, dengan kedua tangan miliknya. "Aku akan bertahan untuk kalian, tenang saja.."

Leeteuk merasa lututnya lemas seketika. Begitupun Kibum yang segera membuang wajahnya ke arah lain.

"Terima kasih, Hae.." ucap Leeteuk kemudian, memeluk Donghae dengan hangat.

"Oh iya, Kibumie.." ucap Donghae tiba-tiba.

"Ya?"

"Kemarin Kyuhyun menjengukku," ucap Donghae sambil mengulum senyumnya.

"Benarkah?"

Donghae mengangguk senang. "Ia berkata tentang balapan yang sering kau ikuti, dan juga.."

"Jangan kau pikirkan," potong Kibum, namun Donghae menggeleng. "Tidak!" ucapnya. "Aku baru mengetahui, bahwa kau melakukannya untukku," ucap Donghae, meraih tangan Kibum, dan menggenggamnya lebih erat. "Terima kasih.."

Tak sanggup lagi menahan, akhirnya Kibum menangis untuk kesekian kalinya. Hingga Leeteuk menghampirinya, lantas mendekapnya. "Ia berterima kasih, kenapa kau menangis?"

Kibum hanya menggeleng bingung dan mengusap kasar wajahnya. Ia lalu beranjak pergi dalam langkah yang tergesa-gesa. Donghae dan Leeteuk hanya dapat menatapnya dalam diam.

...

Suatu malam, Kibum menjerit memanggil Leeteuk yang tengah membasuh mukanya di toilet rumah sakit. "Hyung!" panggilnya, membuka pintu dengan sedikit kasar.

"Ada apa, Kibumie?"

"Donghae hyung, dia.."

Segera keduanya menyinggahi ruang rawat Donghae. Disana sudah nampak beberapa suster dan dokter, namun tak ada yang mereka lakukan. Donghae terus berusaha bernafas, sebisa yang ia mampu. Hingga matanya menatap Leeteuk dan Kibum di ujung ruangan tersebut.

Dengan susah payah ia tersenyum, lantas mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar keduanya menghampiri dirinya. Tentu saja Leeteuk langsung menghampiri Donghae setelah sebelumnya, ia tatap dokter yang dikenalnya, yang lalu mengangguk pasti padanya.

Leeteuk mengerti. Donghae sudah benar-benar mencapai batas kekuatannya. Sementara semua tim medis keluar, Leeteuk segera mengangkat tubuh Donghae, dan mendekapnya erat di dadanya. Kibumpun bergabung, terduduk di sisi lain sambil menelungkup tangan Donghae. Ia sudah terisak disana.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan, Hae?" ucap Leeteuk mengawali.

"Bolehkah.." ucap Donghae pelan, dan terhalang oleh nafasnya yang berat. "Tidur," ucapnya agak kurang jelas. "Aku, ingin tidur.."

Leeteuk berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisnya. "Tentu saja boleh," jawab Leeteuk dengan tangan yang mulai mengelus punggung Donghae. "Tidurlah sekarang, jika kau sudah merasa lelah.." tutur Leeteuk berbisik di telinga Donghae. Bahkan tangis Kibum lebih terdengar.

"Aku tak lelah," bantah Donghae.

Leeteuk kembali mengangguk. "Aku tahu kau kuat. Aku mengerti, dengar dulu hyung sebelum kau tidur, ya?" ucapnya, dan disambut baik oleh Donghae yang mengangguk di dadanya. "Maaf, untuk meninggalkanmu dan Kibum," ucapnya tertahan. Ia ambil nafas sebanyak-banyaknya untuk menahan tangisnya. "Maaf, untuk membebani tanggung jawab yang sebesar ini.." ucapnya lagi, dan tak henti mengecupi pucuk kepala Donghae.

"Dan terima kasih, telah menjaga Kibum kita. Adik kita hingga detik ini.." ungkapnya mengundang satu tetesan air mata di matanya. "Kau tak usah cemas lagi. Ada aku yang akan menjaganya. Semua selesai, Hae. Jangan paksakan dirimu lagi, tidurlah.."

Donghae tersenyum di antara rasa sakitnya. Ia lalu berbisik, "kau benar, ada kau di sampingnya.."

"Hm,"

Leeteuk diam. Hingga ia merasakan beban tubuh Donghae seutuhnya. Ia tahu, Donghae sudah tertidur dalam damainya.. Dan akhirnya ia menangis, bersamaan dengan Kibum yang masih terisak sambil menggenggam erat jemari Donghae. Namun, saat itulah, ia bergumam "terima kasih.."

"Terima kasih, Hae.." ucap Leeteuk mengantar kepergian sang adik, dengan dekapan erat dan hangat yang hanya mampu ia beri saat itu..

END


Coment saya atas fict ini? no no no coment. Y _ Y

*gak penting. xD Maapin atas the masknya, masih mumet dan meraba-raba. Maapin atas sunshine nya. :) Terima Kasih.. ^^

Maapin atas segala typo. Ohoho..