Haruno Sakura bermimpi di tengah tidurnya yang nyenyak.

Ah, mimpi yang aneh.

Di mimpi tersebut, Sakura terbangun di dunia yang hanya berisi warna putih—bersih tanpa ada warna lain sama sekali. Seakan gadis bermahkota soft pink tersebut sedang terbang, dia tidak merasa sedang menginjak dasar apapun. Dia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri. Memasang ekspresi wajah takut, cemas, dan khawatir bercampur menjadi satu.

"Dimana... aku?" bisiknya pelan.

Namun, mengabaikan semua rasa tak tenang di dalam hatinya, Sakura mulai melangkah. Dia bisa melihat kaki jenjangnya sendiri berjalan tidak terlalu cepat namun juga tidak terlalu lambat. Awalnya begitu, sampai akhirnya keringat mengalir di pelipisnya. Rasa takut yang luar biasa mulai mengikat tubuhnya perlahan tapi pasti. Sakura mulai berlari, melebarkan langkahnya. Terus dan terus. Hingga tiba-tiba cahaya yang sangat terang muncul di hadapannya. Memaksa gadis itu untuk segera memejamkan kedua matanya dan refleks berteriak kencang.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!" Teriakannya membahana, bahkan Sakura bisa merasakan telinganya berdengung karena teriakannya sendiri. Kedua tangan kecilnya meremas rambut soft pink miliknya. Sakit. Sakit. Seluruh tubuhnya sakit.

Siapa saja tolong.

Tolong keluarkan dia dari rasa sakit ini.

Entah bagaimana caranya, Sakura akhirnya berhasil membuka matanya perlahan. Namun, yang dia lihat bukan lagi dunia putih tempat sebelumnya dia berada. Tubuh gadis itu melayang, kedua matanya menatap lurus ke depan. Di depannya kini... seperti ada gasing yang terus berputar dan enggan untuk berhenti meskipun hanya sesaat. Gasing itu mungkin adalah putaran waktu. Selama berputar, Sakura bisa melihat dirinya sendiri di dalam gasing itu, dari semenjak dia masih kecil hingga sekarang dia telah beranjak menjadi gadis remaja. Semua kejadian di gasing tersebut muncul dan hilang dalam sekejap.

Walau begitu, ada yang aneh.

Gasing di depannya telah berputar sampai ketika Sakura memasuki umur lima belas tahun. Gadis itu meremas lengannya sendiri saat gasing tersebut menunjukkan dirinya sendiri yang sedang menangis kencang di depan peti mati ayahnya. Tak lama, sang gasing kembali berputar dengan cepat kemudian menampilkan dirinya yang sedang berjalan sembari menangis di bawah hujan. Sakura berumur lima belas tahun tersebut berjalan pelan lalu berhenti kemudian mendekati kardus di pinggir jalan.

Apa yang ada di dalam kardus itu hingga membuat Sakura kecil yang tadinya menangis kini tersenyum?

NGIIIIIIIIING

"AAAKH!" Sakura berteriak lagi ketika kepalanya serasa ditusuk dengan pisau tajam. Namun, mungkin karena sudah terbiasa dengan rasa sakit itu, Sakura menahannya sekuat mungkin hingga akhirnya dia berhasil membuka sebelah matanya. Dan saat itulah dia berhasil melihat adegan di gasing itu... ketika dia mengambil sesuatu dari dalam kardus tersebut...

Tidak ada.

Tidak ada yang terlihat.

Hanya warna hitam yang terlihat, namun kemudian hilang begitu saja seperti dihapus dengan tiupan angin.

Sakura tidak mengerti. Dia bisa melihat dirinya di gasing itu sedang tertawa dan menggendong sesuatu, namun apa yang digendong olehnya itu sama sekali tidak terlihat. Gasing itu kembali berputar memperlihatkan dia yang sedang bermain sembari tertawa-tawa, dia mandi dan masih tertawa, bahkan ketika makan di ruang makan pun, Sakura berumur lima belas tahun itu tetap tertawa sembari melihat ke sampingnya yang tidak terlihat ada sesuatu apapun.

Apa?

Apa yang membuat dirinya tertawa begitu bahagia dua tahun yang lalu itu... hingga sekarang?

Kini kedua mata Sakura telah terbuka sepenuhnya, melihat dengan heran gasing di depannya yang terus berputar. Sungguh aneh. Sejak umurnya lima belas tahun, sampai sekarang gasing itu berputar memperlihatkan dirinya yang ulang tahun di umur ke tujuh belas, dia terus terlihat senang dan bahagia di gasing itu. Dia selalu ditemani oleh sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh matanya sendiri. Sakura mengernyitkan kedua alisnya, mencoba menajamkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas. Namun nihil, dia tetap tidak bisa melihat apapun.

Anak tunggal keluarga Haruno tersebut memajukan sebelah tangannya. Ingin menyentuh layar gasing tersebut. Begitu ujung jari telunjuknya menyentuh layar gasing tersebut, gasing itu langsung berhenti sepenuhnya. Ternyata Sakura tepat menyentuhkan jarinya pada benda atau apapun yang berwarna hitam di layar itu. Tanpa pertahanan, Sakura langsung mendekatkan wajahnya pada layar gasing di depannya, mencoba meneliti atau mengingat bentuk pasti pemilik warna hitam itu.

Apa? Apa? Apa?

Sakura mulai kesal, dia tidak bisa mengingat apapun. Dipukulnya layar gasing tersebut dengan penuh emosi tak tersampaikan. Dia kesal. Kesal sekali. Namun, dia tidak tahu mengapa dia begitu kesal karena tidak bisa mengingatnya.

Aah, ini sungguh tidak lucu.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

KRAK

Suara retakan membuat Sakura langsung mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk untuk beberapa saat. Layar gasing itu tiba-tiba menunjukkan retakan kecil, retakan yang kemudian bertambah semakin panjang dari ujung atas hingga ujung bawah layar gasing tersebut. Sementara Sakura sedang menerka tentang apa yang akan terjadi sekarang, cahaya keluar pada lubang yang berada tepat di tengah retakan. Secercah cahaya itu terus keluar semakin banyak seiring dengan retakan yang terus bertambah lebar.

Ah, gasing itu akan hancur. Sakura reflek menutupi wajahnya dengan kedua lengannya. Dunia di sekitarnya bergoyang bagaikan gempa bumi yang sangat kencang. Sakura berteriak lagi dan di saat bersamaan tubuhnya limbung, terjatuh tak tentu arah. Kedua matanya berkaca-kaca. Gadis malang itu sangat ketakutan, dimana ibunya? Dimana? Apa yang terjadi sampai dia bisa berada di tempat aneh ini? Apa maksud semua ini? Lebih dari itu, kenapa dia sendirian?

...Sendirian?

Tidak. Dia tidak sendirian.

Sakura membuka kedua matanya. Air mata sudah mengalir di kedua pipinya yang putih bersih. Di hadapannya, gasing besar yang tadi memutar rekaman pertumbuhan hidupnya kini hancur menjadi serpihan-serpihan kecil tak terbentuk. Tidak. Jangan hancur dulu. Belum. Sakura masih belum bisa mengingat siapa itu yang selalu ada untuknya, yang selalu ada bersamanya, dan selalu ada untuk membuatnya tersenyum di dunia yang fana ini.

Gadis itu menggeleng pelan sementara air matanya terus mengalir deras dan tangan kanannya menjulur ke depan. Mencoba menggapai apa saja yang bisa dia gapai. Hentikan. Sakura menolak untuk terus tenggelam di dalam ingatan yang salah ini.

Dan saat itulah, sekelebat bayangan melewati kepalanya.

Ada bibir yang terbuka dan tertutup—sepertinya dia berbicara, namun suaranya tidak terdengar.

Lalu mulut itu... seperti membentuk senyuman.

Sakura memejamkan kedua matanya erat, mencoba melihat bayangan itu lebih jelas. Bayangan itu bergerak ke atas kemudian berhenti. Betapa terkejutnya Sakura saat menyadari apa yang dia lihat sekarang.

Tanpa alasan yang jelas Haruno Sakura menangis lebih deras...

...saat melihat kedua mata seekor kucing yang menatapnya dengan penuh arti. Kedua mata itu menatapnya dalam diam, sebelum kembali terpejam dan menghilang.

Tidak. Jangan pergi.

Tolong jelaskan semuanya.

"Tidak... tunggu..." Pandangan Sakura semakin menghitam, seiring dengan dunia mimpinya yang terus hancur lebur dan batu-batu berjatuhan di sekeliling tubuhnya. Tidak mau. Sakura tidak mau tertinggal di sini begitu saja. Gadis bermahkota soft pink tersebut mengisak. Dunia semakin hitam. Dia tidak bisa melihat lebih jelas lagi. Semuanya memburam.

"Jangan pergi..."

Waktu itu, Sakura masih belum mengerti...

"...SASU!"

...nama siapa yang dia sebut di tengah kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul itu.

.

.

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Story © Kira Desuke

Warnings : AU, OOC (Sasu-cat)

Genres : Fantasy/Angst/Romance/Supernatural

Main Pair : SasuSaku

.

.

.

FRIST

.

.

.

~ KAPITEL FÜNF – SCHLUSSKAPITEL ~

So, ist dies das ende?

.

.

.

Gadis bermahkota soft pink itu terengah di atas tempat tidurnya. Wajahnya—tidak, seluruh tubuhnya berkeringat. Dia masih dalam posisi berbaring, namun sebelah tangan kanannya terjulur ke atas seolah ingin menggapai sesuatu. Sepertinya efek dari mimpi sebelumnya itu yang membuatnya tanpa sadar mengangkat tangan kanannya sendiri. Tangan kanan yang terangkat itu kemudian diturunkannya lalu digunakannya untuk mengusap wajahnya.

Sakura menutup kedua matanya yang terpejam dengan tangan kanannya itu, "...Mimpi," bisiknya berulang kali. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Degup jantungnya berdetak tak karuan dan terdengar sangat keras. Gadis itu memutar tubuhnya menghadap ke samping sebelum meringkukkan tubuhnya sendiri.

"...Apa itu tadi..." Dia mulai bergumam. Tanpa mengharapkan jawaban apapun, dia kembali melanjutkan seraya menutup kedua matanya erat, "...kenapa terasa begitu nyata?" lanjutnya setengah bertanya.

Sakura mengisak lirih. Menakutkan. Itu mimpi buruk paling menakutkan yang terasa begitu nyata baginya. Sakura ingat rasa takut akan mimpi ini sama seperti sebelum dia bermimpi buruk sebelum ayahnya meninggalkan dirinya dan ibunya. Lalu kenapa? Kenapa dia bermimpi seperti ini lagi? Apa ada artinya?

Jika memang ada artinya... apa?

Gadis bermarga Haruno tersebut menggelengkan kepalanya cepat. Tidak, jangan dipikirkan. Ini hanya mimpi. Dengan keyakinan seperti itu, Sakura bangkit dari posisi tidurnya hingga kini dia duduk di atas kasur. Sakura membuka selimut yang menutupi sebagian tubuh bawahnya, lalu menggeser tubuhnya sampai ke tepi kasur. Namun, sebelum ujung jari kakinya menyentuh lantai kamarnya, Sakura teringat akan sesuatu...

"Tadi, rasanya aku menyebut sesuatu..." Gadis itu menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mencoba berpikir atau mengingat apa yang tadi baru saja diucapkannya, "...ngg, Sa—Sa—"

NGIIING

"UKH!" Secara reflek Sakura langsung menutup kedua telinganya dengan dua tangan kanan dan kirinya. Sembari menekan kepalanya yang mendadak merasa sakit lagi luar biasa. Sakura menjambak rambutnya sendiri. Kenapa? Kenapa? Apa maksudnya ini? Tidak mungkin dia merasa sakit tanpa alasan yang jelas.

Kedua matanya yang terpejam erat mulai terbuka perlahan, suara decitan yang memekakan telinga dan membuat kepalanya pusing itu mulai mereda perlahan tapi pasti. Genangan air mata berkumpul di ujung kedua mata gadis berumur tujuh belas tahun tersebut. Sakura mengambil napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Kedua tangannya telah turun ke samping tubuhnya. Kedua matanya menerawang jauh.

"Ini tidak lucu," gumamnya sembari mengelus kepalanya lagi. Sakura mengernyitkan kedua alisnya dan giginya bergeletuk kesal. Tidak mengetahui ujung dari rasa sakit ini sama sekali tidak membuatnya merasa lebih baik. Kedua tangannya mengepal menahan amarah. Saat dia berpikir kemana sebaiknya kemarahan ini dilampiaskan, tiba-tiba tubuhnya menegang—

"Apa kau sangat ingin tahu?"

Mendengar suara berat yang tiba-tiba muncul di kepalanya membuat Sakura tersentak. Gadis itu mengangkat kepalanya dengan cepat lalu menoleh ke kanan dan kiri. Mencari kemungkinan adanya orang yang tiba-tiba berada di dalam kamar pribadinya. Nihil.

"Padahal lebih baik kau tidak tahu... demi kebaikanmu dan juga dirinya."

"SIAPA!?" teriak Sakura dengan panik. Gadis itu langsung berdiri di atas lantai kamarnya. Berkali-kali dia memutar tubuhnya sementara kepalanya terus menatap ke atas. Sakura menggigit bibir bawahnya yang bergetar, kedua tangannya mengepal semakin keras, "TUNJUKKAN DIRIMU DAN JELASKAN PADAKU APA MAKSUDMU? KAU TAHU SESUATU, 'KAN?" teriaknya entah pada siapa. Terlihat jelas bagaimana Haruno Sakura begitu putus asa dengan keberadaannya sekarang, "HEI—"

"Sudah terlambat jika kau ingin mengetahuinya sekarang."

Sakura menggeram kesal, "AKU TIDAK PEDULI! CEPAT BERI TAHU AKU! LEBIH BAIK TERLAMBAT ATAU TIDAK SAMA SEKALI!" Sakura mengatur napasnya yang memburu. Kedua matanya berlinang tidak terima. "Aku... Aku tidak mau hidup tanpa mengetahui sesuatu yang begitu penting bagi hidupku!"

Gadis bermarga Haruno tersebut menundukkan kepalanya beberapa saat sebelum mengangkat kepalanya lagi. Memasang ekspresi kuat—mengabaikan air matanya yang telah mengalir, "Setiap aku ingin mengingat sesuatu... entah kenapa selalu ada rasa sakit yang menyerang kepalaku. Seakan enggan membiarkan aku untuk mengingat hal itu. Kenapa?" Sakura mengusap air matanya dengan lengannya sebelum melanjutkan, "Aku tidak tahu kenapa... tapi aku merasa hangat setiap memikirkan hal itu walau aku tidak bisa mengingat atau melihatnya. Aku ingin tahu... sangat ingin tahu."

Sakura meremas lengannya sendiri. Mencoba tersenyum walau rasanya begitu menyakitkan, "Meskipun terlambat... aku ingin tahu... siapa itu yang selalu berada di sampingku, yang selalu menemaniku, dan selalu membuatku tersenyum di tengah tangisanku." Dia tertawa kecil dengan suara seraknya setelah menangis, "Kumohon..." pintanya.

Setelah perkataan Sakura yang cukup panjang itu, suara aneh tersebut tidak muncul lagi di kepalanya. Sakura berulang kali mencoba memanggil, namun tetap tak ada sahutan. Merasa dirinya telah diabaikan untuk yang ke sekian kalinya, Sakura tersenyum kecut. Hidup memang kejam—meskipun Sakura benci mengakuinya. Kedua matanya terlihat kosong, tak ada gairah hidup yang benar-benar berarti di sana. Dan di tengah ke-putus asa-annya itu, suara berat tersebut kembali muncul.

"Kuncinya selalu berada di sekitarmu selama ini. Tanyakan sendiri padanya."

Kedua iris hijau emerald milik Sakura membulat kaget. Kepalanya kembali terangkat dengan ekspresi yang antusias. Untuk sesaat dia berpikir... siapa yang dimaksud dengan kunci itu? Sakura memegang dagunya sendiri, memasang pose berpikirnya yang khas.

Tunggu, tunggu.

Kalau diingat lagi, sejak tadi Sakura belum melihat laki-laki mesum yang aneh itu.

"Sasuke..." Sakura memasang senyum lebarnya kemudian menoleh ke sembarang arah. "Sasuke... Sasuke adalah kuncinya, 'kan? Dia... Dia tahu tentang ingatanku, 'kan?" tanyanya bertubi-tubi dengan nada senang dan ekspresi bahagia. Kedua tangannya mengepal di depan dadanya yang terasa bergejolak. "Syukurlah, semoga benar dia kunci yang kau maksud! Aku tak sabar untuk segera bertanya padanya!" ucapnya ceria sebelum berlari untuk menyentuh kenop pintu kamarnya tanpa harus menghilangkan senyum manisnya.

Aah.

Kasihan sekali gadis itu... sangat ceria untuk menantikan kenyataannya yang menyedihkan.

"Tapi sebelum kau mengetahui semuanya, ingatlah satu hal—"

Sakura menghentikan gerakannya yang hendak memutar kenop pintu kamarnya tersebut. Gadis itu memasang ekspresi jengkel pada suara yang membuatnya harus menahan diri lagi untuk segera mengetahui kenyataan yang sangat ingin diketahuinya. Sakura menunggu dengan sabar saat suara itu memberi jeda.

Sungguh kata-kata yang ambigu namun dalam, begitu pikir Sakura.

"—semua makhluk hidup di dunia ini pasti akan mati."

Gadis itu mengernyitkan kedua alisnya kesal sebelum mengacuhkannya. Kenop pintu dia putar lalu pintu pun terbuka. Sakura berjalan cepat keluar dari kamarnya, mencari satu-satunya pemuda di rumahnya ini. Senyum masih belum lepas dari wajah cantiknya yang menawan.

"Tanpa terkecuali."

#

.

.

.

.

.

#

Beberapa waktu sebelumnya, kembali pada malam setelah Sasuke meletakkan Sakura dengan nyaman di atas kasur pribadinya.

Laki-laki itu hanya bisa diam. Tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Kedua matanya membulat, setetes keringat mengalir di samping wajahnya sebelum jatuh ke bawah dari ujung dagunya. Sasuke menelan ludahnya sendiri begitu dia melihat jempol kakinya kini sudah terkikis nyaris seluruhnya.

"Kenapa—" Sasuke hendak menurunkan tubuhnya untuk sekedar menyentuh jempol kakinya itu, namun gerakannya terhenti ketika dia melihat abu yang terbang dari arah lain. Sasuke menghentikan gerakan tubuhnya dan melihat jari tangannya yang ternyata mulai ikut terkikis sebagaimana pula jari kakinya.

Apa ini?

Tidak ada yang terpikirkan di kepala Sasuke selain... mengerikan.

Sasuke mengepal kedua tangannya dan segera berlari keluar dari kamar Sakura. Pikiran dan tatapan kedua matanya sama sekali tidak fokus. Dia tidak tahu harus melihat atau berpikir apa. Menakutkan. Rasa takut menguasai mutlak seluruh tubuhnya. Seakan rasa takut itulah yang kini mengendalikan bagaimana tubuhnya yang sebentar lagi akan hancur itu bergerak. Dia seperti boneka tali dan sedang dikendalikan oleh pemiliknya yang mungkin sekarang sedang tertawa melihatnya ketakutan entah dimana.

Kedua matanya mulai berlinang, air berkumpul di ujung matanya. Sasuke mencoba berpikir fokus namun tetap tidak mendapat petunjuk. Dengan putus asa, laki-laki itu berlari menuju pegangan tangga di depannya.

DEG!

"Agh! Aaaargh!" Tangannya belum sempat meraih ujung pegangan tangga itu saat rasa sakit yang menusuk itu menguasai dadanya. Sakit. Sakit. Tangan kiri Sasuke meremas baju hitam yang menutupi dada bidangnya. Aneh. Padahal tangan dan kakinya yang mulai terkikis tidak merasakan sakit apapun. Lalu kenapa hanya dadanya yang sakit? Terlebih rasanya seperti ditusuk oleh sesuatu benda yang berujung tajam—

—eh?

Sesuatu yang berujung tajam?

Iris onyx Sasuke membulat begitu mengingat sesuatu yang terjadi di saat-saat terakhir ketika dia masih menjadi kucing. Tangan kanan Sasuke mencakar lantai di bawahnya sementara tangan kirinya mengangkat baju hitamnya dengan bergetar. Sasuke menundukkan kepalanya untuk memastikan. Ternyata benar apa yang ditakutkannya. Bersamaan dengan saat dia melihat luka di dadanya itu, darah mengalir keluar dari sudut

bibirnya.

"Menghidupkannya kembali berarti..."

Dadanya berlubang dengan darah yang mengalir lancar keluar dari lubang itu.

Sama seperti waktu itu.

Sama ketika dia melihat perampok-perampok itu menusuk dada Sakura-nya dengan benda yang berujung sangat tajam.

"...memindahkan luka fatal yang membuatnya kehilangan nyawanya padamu."

Sasuke mengernyitkan kedua alisnya kesal. Rasa sakit luar biasa di dadanya itu tidak lagi dia pikirkan. Kedua tangannya secara bersama membantu tubuhnya untuk bangkit. Sementara tubuhnya bangkit dengan bergetar, Sasuke dapat melihat darah dari dadanya terus menerus menetes di atas lantai di bawahnya. Membentuk cipratan-cipratan darah menjijikkan yang tak pernah dia pikirkan akan keluar dari tubuh manusianya.

"Ugh... sakit..." bisik Sasuke berulang-ulang sembari mulai berjalan tertatih menuruni tangga. Laki-laki itu menangis. Dia bisa membayangkan seandainya dia masih menjadi kucing sekarang, dia pasti akan mengeong keras—memaksa Sakura untuk bangun. Lalu setelah Sakura bangun, dia akan merengek manja sembari menunjukkan apa yang membuatnya kesakitan dan meminta Sakura untuk mengobatinya.

Tapi sekarang, dia tidak ingin Sakura bangun.

Apapun yang terjadi, Sakura tidak boleh tahu tentang hal ini.

"Kau sungguh aneh."

Walau suara yang selalu terdengar di kepalanya itu kembali terdengar, Sasuke tidak mempedulikannya. Laki-laki malang tersebut tetap berjalan pelan menuruni tangga. Sisi kanan tubuhnya menyandar pada pegangan tangga. Selama tangan kanannya memegang erat pegangan tangga tersebut, tangan kirinya terus meremas baju hitam yang menutupi dadanya. Mulut Sasuke terbuka untuk mengatur napasnya yang mulai semakin tak teratur. Dia memilih untuk mengabaikan suara yang kembali muncul di kepalanya setelah sekian lama mereka terdiam dan Sasuke telah sampai di lantai dasar.

"Padahal jika kau memberi tahu padanya semuanya secara langsung, kau tidak akan menderita seperti ini."

Mendengar itu, Sasuke memejamkan kedua matanya. Keringat menahan sakit mulai terlihat di sisi-sisi wajahnya. Pemuda berambut raven tersebut tersenyum penuh arti, "Tapi, kau juga tidak akan membiarkan semuanya berjalan mulus. Aku menyadarinya, rasa sakit di kepala Sakura tadi pagi dan malam ini..."

"...semuanya adalah perbuatanmu untuk mencegahnya mengingatku, 'kan?"

Suara itu tidak langsung menjawab, membuat Sasuke yakin jawaban atas pertanyaannya adalah 'iya'. Dia tertawa kecil, "Aku tidak tahu kenapa," Kepalanya menunduk, menatap dadanya sendiri, "tapi rasa sakit yang saat ini kurasakan tidak sebanding saat aku melihat Sakura menutup matanya sebelum dia meninggalkanku selamanya atau merasakan sakit. Aku tidak ingin dia merasakan sakit sekecil apapun."

Sasuke terdiam sesaat sebelum melanjutkan, "Mungkin lebih baik seperti ini," Kakinya berjalan lagi, kini menuju kamar ibu Sakura yang dibiarkan terbuka. Sasuke memasuki kamar itu lalu menutupnya. Menguncinya dari dalam. "Aku tidak mau melihat Sakura tersiksa lagi. Aku tidak mau," Kedua tangannya mengepal keras sementara dia menggigit bibir bawahnya sendiri.

"Karena itu, ini adalah permintaan terakhirku. Biarkan aku mati dan jangan sekalipun membiarkan Sakura mengingat apapun tentang diriku lagi. Tolong hilangkan aku dari kehidupannya."

Tidak ada jawaban.

"Kumohon..."

Masih tidak ada jawaban. Sasuke melangkah menjauhi pintu kamar ibu Sakura, berjalan menuju ujung kamar itu lalu duduk meringkuk di sana. Rambut biru dongkernya menutupi pandangan kedua matanya saat dia melihat jari-jari tangan dan kakinya kini hampir terkikis semuanya. Meskipun dia berkata seperti itu, Sasuke tidak bisa menampik kenyataan bahwa dia sangat ketakutan sekarang. Rasa takut akan kematian yang kini menunggu di depan matanya.

Dia mencoba tersenyum... walau pada akhirnya dia tetap harus menangis.

"Kau kucing hitam yang spesial. Aku tidak pernah menyangka akan ada kucing yang sangat mempedulikan majikannya sepertimu."

Sasuke terdiam. Kedua matanya melirik di tengah tangisannya sementara kedua tangannya semakin erat memeluk kedua kakinya yang terlipat. "Peduli... ya," Sasuke tersenyum kecil, "mungkin benar itu adalah perasaan awalku padanya tapi... apa benar yang sekarang kurasakan juga peduli?" tanyanya entah pada siapa.

Pemuda berambut biru dongker itu menengadahkan kepalanya hingga belakang kepalanya menyentuh tembok. Pandangan Sasuke menerawang

ke atas, "Hei, kau yang di sana... bisakah kau menjawab pertanyaanku?" tanyanya. Sasuke mulai tersenyum lagi, lalu mulai menjelaskan.

"Aku senang melihat dia tersenyum dan tertawa. Aku takut melihat dia marah dan khawatir. Aku sedih melihat dia murung dan menangis. Aku ingin selalu bersamanya apapun yang terjadi. Tapi jika memang tidak mungkin, maka setidaknya aku ingin dia hidup bahagia selamanya, meskipun aku tidak boleh berada di sisinya."

Tangan kirinya yang sedari tadi meremas baju hitamnya karena rasa sakit di dadanya kini terlepas. Sasuke menatap tangan kirinya yang mulai terkena bercak-bercak darah yang berhasil menembus keluar bajunya. Laki-laki itu tersenyum sedih.

"Ini perasaan apa? Apa benar aku hanya sekedar menyukai Sakura?"

Tangan kiri itu mengepal lalu Sasuke memejamkan kedua matanya erat. Tangisannya mengalir lagi namun jauh lebih deras dari sebelumnya. Tangan kiri yang dikepal itu menekan pertengahan kedua matanya sementara Sasuke menggertakkan giginya.

"Padahal tadi aku begitu yakin bahwa lebih baik Sakura tidak mengingatku apapun yang terjadi. Tapi... kenapa sekarang rasanya sesakit ini?" bisiknya kesal. Tangan kiri yang mengepal itu kini terbuka lalu turun, menyentuh bibirnya sendiri dan membelainya pelan. Masih terasa. Sangat terasa. Bagaimana lembutnya bibir Sakura waktu itu.

Ah, dia ingin merasakannya lagi.

Lebih. Lebih lama lagi.

Tangannya kembali terkepal di depan bibirnya sendiri. Waktu terus berjalan, namun suara berat itu tidak lagi muncul. Entah tidak peduli atau tidak tahu jawaban atas pertanyaan Sasuke itu. Baiklah, terserah saja. Toh meskipun suara itu menjawab, tetap tidak akan merubah kenyataan bahwa manusia yang dulunya kucing itu kemungkinan besar akan menemui ajalnya sebentar lagi. Menggantikan majikannya pergi ke tempat yang seharusnya. Setidaknya... untuk sementara. Biarkan gadis bernama Haruno Sakura itu hidup lebih lama lagi, mencari kebahagiaan lain selain bersama dirinya.

Itu permintaan utamanya yang terakhir.

Sasuke menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang. Dia melirik kakinya, semua jari kakinya sudah menghilang. Kikisan abu tersebut mulai merambat ke batang kakinya mendekati mata kakinya. Tak hanya itu, ujung jempol kaki kanannya pun ikut menjadi abu juga. Sasuke membuang wajahnya, semakin menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut kakinya lalu memejamkan kedua matanya. Sekarang dia tinggal menunggu waktunya tiba.

"Kau mencintainya."

Kedua mata Sasuke terbuka saat suara berat tersebut terdengar lagi. Di saat yang bersamaan, dia kembali teringat saat dulu dia melihat Sakura tersenyum untuk yang pertama kalinya ketika dia masih menjadi anak kucing dulu. Senyum itu begitu hangat. Sasuke ingin menjaga senyum itu. Senyum yang memberinya kekuatan untuk terus hidup.

"Kau bukan mencintainya sebagai kucing yang mencintai majikan. Kau mencintainya sebagai laki-laki yang mencintai dia sebagai perempuan."

Oh, begitu. Sasuke mengerti sekarang. Kedua matanya kembali menutup perlahan. Di hadapannya sekarang, abu-abu dari tubuhnya sendiri berterbangan seperti titik-titik kecil pasir lalu menghilang di udara. Seperti mengejeknya. Walau begitu, entah kenapa Sasuke tidak bisa menghilangkan senyum lembut di wajahnya.

Mungkin dia bisa pergi meninggalkan dunia ini dengan tenang.

"Kau benar-benar kucing yang sangat menarik, Sasu."

#

.

.

.

.

.

#

"Sasuke! Kau dimana?" Sakura berjalan mengelilingi lantai dua rumahnya untuk mencari pemuda misterius yang telah tinggal di rumahnya beberapa hari belakangan ini. Gadis itu merasa heran. Padahal biasanya setelah Sakura bangun dari tidurnya, Sasuke ada di luar kamarnya sedang tidur di atas lantai sembari memeluk bantal kesayangannya—yang entah bagaimana Sasuke mau memilih bantal bau seperti itu.

Sakura mendengus kesal, "Kemana sih dia?" gerutunya sembari berdecak sesekali. "Sasukeeeeeee!" teriaknya lagi.

Menyerah mencari di lantai dua, akhirnya Sakura menuruni tangga bermaksud mencari Sasuke di lantai dasar. Sakura berulang kali memanggil nama Sasuke namun tidak ada sahutan sama sekali. Apa dia pergi dari rumah ini tanpa seizinnya?—pertanyaan itu terjawab ketika Sakura melihat kunci rumahnya yang masih berada di atas meja. Tidak mungkin Sasuke bisa keluar sementara pintu keluar terkunci dan kunci rumahnya ada di atas meja, 'kan?

"Sasukeee! Kau dimana? Jawablah!" teriak Sakura lagi untuk yang ke sekian kalinya. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, memasang wajah kesal bukan main. "Hei, cepat keluar! Aku tidak akan memaksamu mandi lagi, aku hanya ingin bertanya sesuatu!" ucapnya sembari menghentakkan kakinya berkali-kali.

Masih tidak ada jawaban. Sakura menghela napas, kedua alisnya mengernyit kesal. Saat dia membalikkan tubuhnya, dia melihat pintu kamar ibunya yang tertutup. "Jangan-jangan..." Sembari mengatakan itu, Sakura berjalan mendekati pintu kamar ibunya lalu mencoba memutar kenop pintunya. Benar saja, terkunci dari dalam.

"Hei, Sasuke! Kau di dalam, 'kan? Apa yang sedang kau lakukan di kamar ibuku!?" Sakura menggedor pintu ibunya. Gadis beriris hijau emerald tersebut menggeram kesal tidak mendapat jawaban sama sekali. "SASUKE! AKU TAHU KAU MENDENGARKU! JAWABLAH!" teriaknya mulai marah dan menggedor pintu jauh lebih keras.

Sementara itu, Sasuke di dalam langsung terbangun dari tidurnya dan mengangkat kepalanya dengan panik, "Sakura!?" Laki-laki itu segera melihat keadaan dirinya sekarang. Oh tidak, pengikisan sudah sampai pada betis dan lengannya. Tidak. Tidak. Sakura tidak boleh melihat ini!

"JANGAN BUKA PINTUNYA!" teriak Sasuke marah. Meredam teriakan Sakura yang hampir saja akan keluar. Anak Haruno itu tersentak kaget mendengar bentakan Sasuke yang belum pernah didengarnya sebelumnya. "JANGAN PERNAH BUKA PINTUNYA ATAU AKU AKAN MARAH PADAMU!" teriak Sasuke.

Sakura menggertakkan giginya marah, "APA-APAAN KAU!? INI RUMAHKU, BODOH! KENAPA JADI KAU YANG HARUS MARAH PADAKU?" balas Sakura lebih keras. "KELUAR SEKARANG JUGA!"

"TIDAK!" Sasuke langsung mencoba untuk berdiri. Bagus, sepertinya meskipun kedua kakinya sudah terkikis sampai betis, Sasuke masih bisa berdiri walau sedikit limbung. Sementara lengannya menahan rasa sakit lubang di dadanya, pemuda beriris batu obsidian itu mengernyitkan kedua alisnya marah lalu berusaha berjalan mendekati pintu, "APAPUN YANG TERJADI, JANGAN BUKA PINTUNYA!" teriaknya lagi dan kini dia berhasil menekan tubuhnya sendiri pada pintu.

"KAU TIDAK BERHAK MEMBERIKU PERINTAH, DASAR BODOH!" teriak Sakura, jauh lebih marah dari sebelumnya. Apa-apaan sih? Kenapa tiba-tiba Sasuke yang sedari kemarin menurut saja padanya itu sekarang jadi membentaknya seperti ini? Mana mungkin Sakura terima begitu saja.

Keduanya terdiam cukup lama, tanpa ada yang mau memulai. Sasuke mengatur napasnya yang kembali terasa sesak. Laki-laki itu memejamkan kedua alisnya keras, "Kumohon... Sakura..." Mendengar Sasuke kembali berbicara dengan sangat pelan membuat Sakura merubah ekspresi keras di wajahnya lalu mendekati pintu, ingin mendengar suara Sasuke lebih jelas.

"Kumohon sekali... jangan pernah buka pintu ini." Kepala Sakura terangkat, menatap pintu di depannya sementara Sasuke di dalam sana juga melakukan hal yang sama. Keduanya terhalang pintu yang entah kenapa terasa begitu besar. "Sakura... aku tidak mau kau melihatku sekarang apapun yang terjadi," lanjut Sasuke lagi.

Permohonan Sasuke membuat Sakura terdiam seribu bahasa. Tapi, tetap saja terdengar ambigu. Kenapa Sasuke tidak ingin Sakura melihatnya sekarang? Tidak. Sakura menolak tertinggal lagi untuk yang ke sekian kalinya. Perasaan khawatir melewati dada Sakura. Gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri lalu berbisik di depan pintu, "Sasuke... mundur dari pintu sekarang juga."

"Eh?" Menyadari Sakura akan melakukan sesuatu, justru membuat Sasuke panik dan semakin berusaha menekan pintu. "Jangan! Saku—"

"HYAAAA!"

DHUAAAK

Sasuke yang berada di tengah pintu, harus ngeri melihat kenop pintunya yang dirusak Sakura dalam sekali tendangan. Dan gara-gara itu, pertahanannya melemah. Sakura mendorong pintunya dengan kuat hingga Sasuke terpaksa mundur jika tidak ingin dirinya terluka lebih. Sakura membanting pintu kamar ibunya dengan keras. Mulutnya terbuka, hendak memarahi Sasuke seperti yang biasa dia lakukan. Namun suaranya teredam seketika melihat pemandangan di hadapannya.

Sasuke kini duduk di depannya sembari menahan sakit di dadanya. Sepertinya rasa sakitnya semakin menjadi perlahan tapi pasti. Jangankan itu, Sakura harus melihat abu-abu aneh yang berterbangan di sekeliling kamar. Awalnya rintihan-rintihan pelan sampai Sakura duduk di sampingnya dan mencoba mendekatinya, "Sasuke! Kau kena—"

"UWAAAAAAAAAAAAAAAAAAGH!" Teriakan Sasuke melengking di tengah kamar yang cukup sempit tersebut. Walau sangat memekakan telinga, Sakura mencoba bertahan. Gadis itu menyentuh bahu Sasuke yang bergetar hebat, mencoba mengangkat tubuh laki-laki itu dan memindahkannya pada sandaran tangannya. Sasuke terus berteriak tak terkendali. Melihat itu, Sakura ingin memegang tangan laki-laki itu dan mengaitnya dengan tangannya sendiri, mencoba membantunya bertahan akan rasa sakit.

Saat itulah Sakura tersadar.

Tidak ada lagi tangan Sasuke yang bisa dia raih.

Yang ada hanyalah kedua lengan yang tinggal menunggu waktu untuk terkikis sampai habis.

Kedua iris hijau emerald milik Sakura membulat, "Apa... yang terjadi?" tanyanya pada dirinya sendiri. Nada suaranya terdengar ketakutan, apalagi begitu melihat Sasuke yang berhenti berteriak namun semakin terlihat menahan sakit yang luar biasa, "Sasuke! Kau kenapa? Tangan dan kakimu, kau—"

"Da-Dadaku..." Bisikan Sasuke yang terbata membuat Sakura tersentak kaget dan segera menarik baju Sasuke ke atas. Kedua matanya menatap ngeri lubang di dada Sasuke yang telah mengalirkan darah jauh lebih banyak dari sebelumnya, "...sakit."

Kedua bola mata Sakura berkaca-kaca. Melihat Sasuke kesakitan di depannya mencubit bagian terdalam hatinya. Gadis itu mengernyitkan kedua alisnya, "Bertahanlah, Sasuke! Aku akan menelepon ambulance!" ucap Sakura yang hendak menaruh Sasuke ke atas lantai terlebih dahulu.

"Tidak perlu, jangan pergi..." bisik Sasuke pelan. Sakura menahan gerakan tangannya dan menatap Sasuke yang balas menatapnya dengan tatapan lemah. Tadinya Sakura ingin membantah permintaan Sasuke, namun lanjutan kata-kata pemuda itu membuatnya tidak bisa berkutik lebih jauh, "...maaf. Kau sudah terlanjur berada di sini, karena itu... maukah kau menemaniku sedikit lebih lama?" tanya Sasuke dengan kedua mata setengah terpejam dan senyum tipis di bibirnya.

Sasuke kembali terengah, Sakura bisa mendengar suara detak jantung laki-laki itu yang semakin melemah. Sakura meremas rambut Sasuke yang mengenai tangannya. Kini Sasuke memejamkan kedua matanya, keringat mengalir di beberapa bagian tubuhnya, mulutnya terbuka memperlihatkan uap napas di atasnya, namun yang paling aneh...

...dadanya yang berlubang seperti baru ditusuk sesuatu dan kedua tangan juga kedua kaki Sasuke yang telah hilang sebagian.

Sungguh, apa yang sedang terjadi? Semua ini terlalu sulit dan hampir tidak mungkin dijelaskan dengan logika!

"Sasuke, jawab aku! Apa yang terjadi?" Tidak ada jawaban, Sasuke hanya membuka sedikit kedua matanya dan melirik ke arah Sakura yang menatapnya dengan sangat khawatir. "Kenapa kau terluka? Kenapa dadamu berlubang seperti ini!? Siapa yang menusukmu? Bukankah yang seharusnya tertusuk itu..." Tiba-tiba Sakura tidak melanjutkan kata-katanya. Kedua bola matanya membulat seperti menyadari sesuatu.

"...aku?"

Sasuke langsung menatap Sakura kaget. Namun, Sakura tidak balas menatapnya. Justru dia menatap lurus ke depan, mencoba berpikir ulang dan tatapannya tidak jauh berbeda dari Sasuke yang terkejut. Apa... tadi? Untuk sesaat, Sakura melihat ingatan dimana ada sosok dirinya yang akan menghampiri seekor kucing namun seseorang yang jahat langsung menusuknya dari belakang.

Tunggu, tunggu.

Ada apa ini? Kenapa ada ingatan seperti ini?

"Sa...kura?" Tangan kiri Sakura yang tidak menahan kepala Sasuke langsung reflek memegang kepalanya sendiri. Kenapa? Padahal dia baru saja mengingat suatu ingatan yang asing, namun kepalanya tidak terasa sakit lagi seperti sebelumnya. Sakura meremas rambut soft pink miliknya yang jatuh mengenai wajahnya. Kedua bola matanya yang membulat kini bergetar.

Iya, Sakura ingat pernah merasakannya.

Bagaimana sakitnya ditusuk dengan ujung belati yang sangat tajam dan dia dapat merasakan detak jantungnya berhenti seketika.

Tapi, kalau dia memang mempunyai ingatan seperti itu...

...kenapa dia berada di sini sekarang?

"Sasuke," Mendengar namanya dipanggil, Sasuke menoleh. Menatap Sakura dalam diam sementara gadis itu menatapnya serius. "Maukah kau menjawab pertanyaanku?" tanya Sakura. Dia menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan.

"Siapa kau sebenarnya?"

Pertanyaan Sakura membuat Sasuke lupa sepenuhnya dengan rasa sakit. Sekarang dia takut. Bagaimana dia harus menjawab Sakura? Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia menjawab? Atau diam saja? Yang mana yang benar?

Sakura terlihat menunggu apa yang akan Sasuke katakan untuk menjawabnya. Ditatapnya wajah tampan laki-laki itu. Kalau diingat lagi, pertemuan pertama mereka sebagai sesama manusia terasa begitu menyebalkan. Sasuke terus menerus mengejarnya, memaksanya untuk tinggal bersama dengannya. Dia lak-laki teraneh yang pernah Sakura temui. Dia terlalu polos—atau bodoh—saat melakukan hal-hal yang menurut Sakura mesum sementara bagi dia itu hal yang tergolong sangat biasa.

Memang sebentar... tapi menyenangkan.

"Kau datang tiba-tiba tanpa mengatakan apapun padaku," Sakura menundukkan wajahnya dan mulai menangis. Isakannya terdengar lemah, "Tak akan kuuizinkan kau juga pergi tiba-tiba tanpa menjelaskan apapun padaku, bodoh."

Sasuke membulatkan kedua bola matanya kaget melihat Sakura menangis di atasnya. Air mata Sakura jatuh mengenai wajahnya. Kenapa? Kenapa Sakura menangis meskipun dia tidak melakukan atau mengatakan apa-apa? Apa diam juga salah? Sasuke menggertakkan giginya tidak mengerti.

Ada yang sakit di hati ini dan Sakura tidak tahu mengapa bisa begitu. Di saat itu, ingatan lain kembali datang. Setelah Sakura tertusuk, gadis itu langsung jatuh dan mengalirkan darah dari sudut bibirnya seperti Sasuke sekarang. Oh ya, waktu itu ada yang menghampirinya. Ada sesuatu... yang menghampirinya di tengah napasnya yang sudah sekarat.

Siapa?

Sasuke hanya bisa diam melihat Sakura yang terus memasang ekspresi berbeda setiap akan mengingat sesuatu. Mungkin ada baiknya jika Sasuke cukup diam menunggu. Sampai tiba-tiba Sakura kembali menatap matanya dalam. Sasuke memasang tatapan bertanya. Apalagi ketika Sakura semakin membulatkan kedua iris hijau emerald miliknya.

"Kapan-kapan... kita main lagi, ya."

Sakura terlihat menelan ludahnya sendiri. Telinganya kembali mendengung, namun tidak sesakit sebelumnya. Lebih dari itu, dia kembali teringat dengan mimpinya sebelumnya. Mimpi tentang gasing itu, saat gasing tersebut menampilkan dirinya dari umur lima belas sampai tujuh belas tahun. Dan juga saat dimana dia seharusnya mati waktu itu...

...benar, Haruno Sakura tidak pernah sendiri sejak awal.

"Ha. Haha... ini tidak mungkin... 'kan?" Sakura tertawa kaku. Namun kedua matanya terus mengeluarkan air mata. Tubuhnya bergetar hebat, apalagi tangannya yang menahan kepala Sasuke. Laki-laki itu menatap Sakura khawatir dengan darah yang mengalir semakin banyak keluar dari dada dan sudut mulutnya.

Waktu itu, Sakura menemukan...

Waktu itu, Sakura bermain bersama...

Waktu itu, Sakura berjalan bersama...

Waktu itu, Sakura menangis bersama...

Waktu itu, Sakura tertawa bersama...

Waktu itu, Sakura memarahi...

Dan waktu itu, yang bersama Sakura sebelum dia melupakan semuanya adalah...

...seekor kucing berwarna hitam.

"Sasu," Sakura berbisik, namun Sasuke dapat mendengarnya dengan baik. Kedua bola mata laki-laki itu membulat kaget... mendengar nama lamanya disebut dengan jelas oleh majikan yang dicintainya. "benarkah... ini kau?" tanya Sakura terbata. Jelas sekali dia tidak mau mempercayai apa yang baru saja disadarinya.

Tangan Sakura menyentuh wajah Sasuke tanpa menghentikan tangisannya. "Jika kau tidak menjawab, apa boleh aku menganggap itu artinya adalah 'iya'?" Sasuke tahu dia bisa menangis kapan saja, namun ditahannya air matanya itu. "Bodohnya aku... bagaimana bisa aku melupakanmu. Tak pernah kusangka kucing hitam yang selalu kurawat selama ini ternyata adalah laki-laki setampan ini, haha," lanjutnya mencoba tertawa yang akhirnya hanya dijawab Sasuke dengan senyum tipis.

Cukup dengan mengetahui bahwa laki-laki di sandaran tangannya ini adalah kucing yang bersamanya ketika dia meregang nyawa...

...maka Sakura langsung tahu apa yang sedang terjadi sekarang.

"Bodoh, kau bodoh sekali. Bodoh, bodoh, bodoh!" Mengabaikan dirinya yang cukup takut dengan darah, Sakura menyentuh lubang di dada Sasuke, "Ini milikku! Ini lukaku! Aku yang seharusnya berada di posisimu! Berani-beraninya kau mencuri dariku! Dasar kucing pencuri!" teriak Sakura marah.

"Eh, ma-maaf," Insting kucing miliknya menuntut Sasuke untuk segera minta maaf pada Sakura sekarang. Oh, sudah berapa lama mereka berbicara? Sasuke segera menyadari kedua kakinya yang sudah hilang sepenuhnya. Pengikisan kini telah sampai pada pinggangnya.

Sakura menundukkan kepalanya dan menangis lebih keras, "Tidak bisakah... kita menghentikannya?" Tangan kirinya meremas baju Sasuke, "Aku masih ingin bersamamu, Sasu... banyak... masih banyak sekali yang ingin kulakukan denganmu. Kumohon jangan tinggalkan aku, beri tahu aku apa yang harus kulakukan. Aku akan—"

"Sakura," Perkataan Sakura terpotong oleh panggilan Sasuke. Gadis itu mengangkat kepalanya. Dia menatap kaget Sasuke yang tersenyum polos padanya. Persis sekali seperti pertemuan pertama mereka waktu itu, hanya saja... sekarang Sakura bisa melihat... wajah kucing yang selalu menatapnya dari dulu sampai sekarang di balik senyum polos itu.

"Aku mencintaimu."

Tubuh Sakura menegang mendengar itu, dia kembali mengisak, "Hu... hiks... aaaaa... aaaaa!" Isakannya terdengar lebih keras dari sebelumnya. Sementara itu, Sasuke tetap tersenyum lembut melihat perempuan yang disayanginya menangis sembari memeluknya lebih erat.

"Ne, Sakura," Gadis itu menoleh, "Maukah kau mencium bibirku lagi? Seperti di biang lala waktu itu?"

Tidak ada jawaban kata-kata, Sakura hanya mengangguk pelan dan mencoba tersenyum membalas senyuman Sasuke yang terlihat merekah. Mereka saling mendekatkan kepala mereka masing-masing, mendekatkan kedua bibir mereka dan menghilangkan jarak. Kedua bibir tipis itu saling memagut lama, enggan melepaskan satu sama lain.

Bodohnya. Seandainya saja Sakura dapat mengingat sedikit lebih cepat. Kini tangan kiri Sakura ikut berpindah ke belakang kepala Sasuke, menekan ciuman mereka lebih dalam. Lebih dan lebih. Gadis itu sedikit mengerang begitu lidah Sasuke menerobos masuk ke dalam mulutnya. Menjilat langit-langit mulutnya, mengabsen gigi-giginya, menghisap lidah Sakura di dalam sana. Sementara air mata mereka sendiri tercampur menjadi satu dan mengalir ke bawah bersama.

Sasuke yang lebih dulu melepaskan ciuman di antara mereka. Apapun yang terjadi, takkan Sasuke biarkan perpisahan ini berakhir hanya dengan air mata saja—seperti kematian Sakura sebelumnya. Setidaknya dia ingin tersenyum... dan melihat gadis yang dicintainya tersenyum bersamanya.

"Meong."

"Aku pulang, Sakura."

Setelah ciuman itu, yang dilihat Sakura bukan lagi sepasang mata manusia.

Tapi, sepasang mata kucing yang tajam.

#

.

.

.

.

.

#

"Ibu pulang," Haruno Mebuki berulang kali mengetuk pintu rumahnya, namun tidak kunjung ada suara siapapun dari dalam yang akan membukakan pintu rumahnya. "Hm, apa Sakura dan Sasuke masih tidur?" tanyanya pada dirinya sendiri. Setelah menunggu lagi untuk beberapa saat, akhirnya Mebuki memutuskan untuk mengambil kunci duplikat miliknya lalu membuka pintu rumahnya.

"Sakura, Sasuke? Ibu bawa oleh-oleh nih. Ternyata ibu pulang lebih cepat dari perkiraan, jadi—" Mebuki yang baru saja akan berjalan menuju tangga, langsung kaget melihat anak semata wayangnya kini duduk setengah bersimpuh di atas lantai kamarnya. Namun, bukan itu yang membuatnya panik. Melainkan suara isakan yang terdengar keluar dari mulut anaknya.

Mebuki langsung mendekati anaknya tersebut dan ikut berjongkok, "Sakura!? Ada apa sayang? Kenapa kau mena—" Kata-katanya tidak bisa lagi dilanjutkan. Kedua matanya menatap kaget apa yang kini ada di pangkuan anaknya itu. Apalagi saat sang anak menangis lebih keras dengan tubuh yang bergetar. Mebuki tidak punya pilihan lain selain memeluk anak perempuannya itu dari belakang. Mengelus kepala Sakura dengan lembut sembari mencoba memberi kekuatan untuk bersabar. Tanpa sadar, Mebuki sendiri ikut menangis, mengerti kepedihan yang dirasakan oleh anaknya sendiri.

"Aku juga sangat... sangat mencintaimu, Sasu... Sasuke..." bisik Sakura.

Di pelukan anaknya itu, seekor kucing hitam meringkuk dengan kedua mata tertutup.

Kucing hitam yang telah kehilangan nyawanya.

#

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

#

"Sakura! Kau ini mau bertemu bos perusahaan tempatmu bekerja! Jaga sikapmu!" bentak Haruno Mebuki untuk yang ke sekian kalinya. Dia menatap kesal pada anaknya yang telah memakai baju kerja khas wanita karir pada umumnya, namun masih juga memakan roti isi telur dengan berantakan hingga jatuh-jatuh ke atas lantai.

Haruno Sakura—sang anak terlalu sibuk untuk membalas perkataan ibunya. Dia berlari ke sana kemari, mengambil barang-barang dari dalam kamarnya yang berkali-kali kelupaan setiap dia akan mencapai pintu depan. Dengan tidak elit, dia memaksa sisa roti telur masuk ke dalam mulutnya hingga kedua pipinya mengembung karena isi mulutnya penuh. Sakura mengambil kedua high heels miliknya dari dalam kotak sepatu lalu memakainya sembari menelan masuk makanan di dalam mulutnya.

Setelah merasa bisa bicara sekarang, Sakura pun menjawab perkataan ibunya, "Iya bu, tenang saja! Aku ini lagi buru-buru, karena itu aku tidak sempat memikirkan sikap!" balas Sakura tak kalah kesal. Dia membuka pintu rumahnya bersama sang ibu yang mengiringinya.

Namun, sebelum ke pagar rumahnya, Sakura menyempatkan diri berbelok ke halaman depannya. Dia memasang senyum tercantiknya dan menghampiri gundukan tanah kecil di bawah pohon besar. Sakura menyatukan telapak kedua tangannya, memasang pose berdoa lalu berjongkok di depan gundukan itu. Kedua pipinya memerah selama dia berdoa itu sementara Mebuki hanya tersenyum melihatnya dari kejauhan.

"Yosh! Doakan aku berhasil, Sasu!" Sakura mengepal kedua tangannya dengan semangat lalu berdiri dan mendekati ibunya. Setelah bersalaman dengan sang ibu, Sakura berpamitan lalu berlari keluar pagar.

Dari sini, Mebuki tetap memasang senyum lembutnya melihat anaknya yang terlihat semangat seperti biasanya. Tak lama setelah itu, Mebuki menoleh melihat gundukan tanah yang tadi dihampiri Sakura, "Sudah lima tahun, Sasu..." Rasanya kejadian kemarin terasa seperti mimpi, berlalu begitu cepat tanpa ada yang bisa menahannya. Dia masih mengingat bagaimana dia menemukan kucing kesayangan anaknya telah mati lalu Sakura menceritakan semuanya apa yang terjadi.

Mebuki berjalan menghampiri gundukan tanah kecil yang sebenarnya adalah kuburan itu, sama seperti Sakura, Mebuki ikut mendoakan Sasu dari sini. Ibu itu tersenyum lembut, "Terima kasih, Sasu... terima kasih telah memberi anakku kesempatan, terima kasih mencintai anakku, terima kasih telah menjaga anakku jauh lebih baik bahkan dari diriku sendiri," Mebuki kembali berdiri lalu menatap langit dengan awan-awan di atasnya.

"Berapa kalipun terima kasih yang akan kuucapkan padamu, tak akan pernah cukup."

Di luar, Sakura kini telah sampai di depan pintu kantor perusahaan tempat dia bekerja sekarang. Gadis berumur dua puluh dua tahun itu menarik napas panjang lalu mengeluarkannya keras-keras. Dia menepuk kedua pipinya demi mengurangi rasa tegang. Sakura berjalan memasuki halaman kantor yang telah menjadi tempat bekerjanya beberapa minggu belakangan ini.

Tep

Langkah Sakura terhenti. Jauh di sana, di atas tangga sebelum pintu masuk, seekor kucing hitam berekor panjang duduk dengan tenangnya di salah satu anak tangga. Kucing itu diam menatap Sakura yang berada beberapa meter di depannya. Melihat itu, mendadak tangan Sakura melemas sampai-sampai... dia menjatuhkan semua barang yang kini sedang dipegangnya.

"Tidak... mungkin," Sakura berjalan pelan, mencoba mendekati kucing hitam yang masih duduk dengan tenang tersebut. "Sa-Sasu?"

Setelah Sakura mengatakan itu, tiba-tiba sang kucing hitam berdiri lalu berbalik sebelum berlari cepat masuk ke dalam kantor. Sakura tersentak kaget. "Tu-Tunggu! Jangan lari!" Mengabaikan apa yang baru saja tadi dijatuhkannya, Sakura langsung berlari mengejar kucing hitam yang masuk ke dalam kantor tempatnya bekerja tersebut.

Di dalam kantor itu, anehnya orang-orang justru terlihat biasa saja mendapati kucing hitam tersebut. Sementara mereka malah menatap heran Sakura yang berusaha mengejarnya. Sakura berulang kali berteriak tunggu namun sang kucing tetap berlari. Sesekali kucing hitam itu terlihat sengaja menunggu Sakura dengan berhenti sembari melihat ke belakang. Begitu Sakura sudah dekat, dia akan kembali berlari lagi. Terus begitu, sampai tanpa sadar Sakura telah sampai di lantai empat... melalui tangga.

Gadis beriris hijau emerald itu terengah-engah. Dia terlihat sangat lelah dan akhirnya memilih untuk beristirahat di salah satu anak tangga. Sakura melihat ke atas, kucing hitam itu kembali menunggunya dengan duduk di anak tangga teratas. Setelah mengatur napas beberapa saat, Sakura kembali berdiri dan mendekati kucing hitam yang pada akhirnya akan berlari lagi. Namun, sekarang berbeda. Kucing hitam itu berlari sedikit lebih lambat dari sebelumnya. Sakura terus fokus dengan kucing hitam itu, bahkan sampai tanpa sadar dia telah masuk ke dalam suatu ruangan bersamanya.

Sakura baru sadar dia masuk ruangan orang lain begitu kucing hitam itu berlari cepat lagi lalu tiba-tiba naik ke atas satu-satunya meja kerja di sana. Kucing hitam itu mengeong kemudian melompat ke pangkuan seseorang yang sedang duduk di kursi hitam besar namun membelakangi posisi Sakura.

"Ah, Kuro," Begitu kata suara seseorang di bangku tersebut. Mendengar itu, Sakura mendesah kecewa. Ah iya, benar juga. Sasu sudah mati. Tidak mungkin dia bisa hidup lagi atau bangkit sendiri dari dalam tanah. Sakura tersenyum sedih lalu bermaksud pergi diam-diam tanpa harus melihat pemilik kucing hitam bernama Kuro itu.

"Meong!" Suara khas kucing yang keras tersebut menghentikan gerakan Sakura, tiba-tiba kucing itu melompat dari pangkuan majikannya lalu kembali naik ke atas meja. Hal itu tentu saja membuat seseorang yang duduk di kursi harus memutar kursinya.

Kemudian, Sakura dan sang pemilik ruangan tempatnya berada yang ternyata adalah laki-laki itu saling bertatapan.

Sakura membulatkan kedua bola matanya kaget. Yang duduk di kursi itu manusia—tentu saja, tapi yang membuatnya tegang adalah... bagaimana dia sangat amat mirip dengan Sasu saat menjadi manusia. Hati Sakura tercubit keras ketika laki-laki itu berdiri dari kursinya dan menatapnya heran, "Siapa kau?"

Laki-laki itu terlihat lebih dewasa dari Sakura. Rambutnya bergaya raven, berwarna biru dongker, kulitnya putih, dan kedua matanya beriris onyx. Mirip... mirip sekali. Tanpa sadar, kedua bola mata Sakura berkaca-kaca, "Sasu... Sasuke..." Tidak. Sakura tidak dapat menahannya. Tidak peduli siapa orang itu dan siapa dirinya, Sakura langsung berlari kencang mendekati laki-laki yang jelas masih kebingungan dengan keberadaan dirinya, "SASUKEEEEEEEEEEEEE!"

"Eh? A-Apa!?" Siapa yang tidak panik mendapati seorang perempuan yang tidak dikenal tiba-tiba menangis lalu memeluk dirinya begitu erat? Pemuda yang dipanggil Sasuke itu ingin mendorong Sakura, namun... rasanya tak tega. Apalagi melihat air mata yang mengalir deras dari kedua matanya. Sakura memeluk laki-laki itu kencang sampai memojokkannya dengan tembok di belakangnya. Tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya sang pemuda memilih membiarkan Sakura memeluknya sampai puas... setidaknya untuk saat ini saja.

Dia mendengus melihat gadis cengeng yang menangis di dadanya. Setelah ini, ingatkan dia untuk memaksa gadis cengeng itu agar membersihkan kemeja kerja kesayangannya.

Dari kejauhan, kucing hitam bernama Kuro itu memperhatikan gadis yang diajaknya ke ruangan ini dan pemiliknya sedang berpelukan. Kucing itu memiliki dua warna dasar mata yang berbeda, biru dan kuning. Hetero-eye. Kucing itu diam saja. Namun dia terlihat seperti tersenyum tulus. Seolah bahagia karena baru saja menyelesaikan suatu misi yang berharga—entah apa itu. Kuro turun dari meja pemiliknya lalu mengambil sesuatu dengan mulutnya sebelum kembali menaruhnya di atas meja kerja tersebut.

Apa kalian ingin tahu... apa yang ditaruh Kuro saat itu sebelum pergi menghilang dari ruang kerja pemilik pribadinya?

Sebuah papan nama bertuliskan 'Uchiha Sasuke'.

.

.

.

.

.

I don't think valuing your life is a bad thing!

Surely there will be someone who would grieve over your death

Then you wouldn't want to die for that person's sake

.

- Eren Yeager (Shingeki no Kyojin - LeviHan Doujinshi)

.

.

.

...

Ende

...

.

.

.

Kapitel Fünf – Schlusskapitel: Chapter Five – Final Chapter

So, ist dies das ende? : So, this is the end?

Ende : The End


Besonderer Dank für :

Rhennada Youichi, chezahana-chan, hamster-pink, qisvu, Ay, AN Narra, Aiko Shimazaki, Guest (2x), Azuka-nyan, AzuraCantyle, srzkun, Naru a.k.a H, Natsumo Kagerou, Kiki RyuEunTeuk, Junpo Qyu, Tomat-23, stillewolfie, Haekal Uchiha, Lhylia Kiryu, Uchiha Yui-chan (3x), Akina Kazumi, hanazono yuri, Hikari 'HongRhii, Uchiha Matsumi, Vi-chan, axcel, Hibino Miracle of Kurama, Chichoru Octobaa, Uchiha Shesura-chan, SugarlessGum99, Rin-chan, cheinnfairy, Wakana Chise, Saga desu, me, Poo, Universal Playgirl, naabaka, Kiyana Tamichie,

Uchiha Ami, cheryxsasuke, syahAruna, Citra-Chan Tomatoes Girl, MiMeNyan, iya baka-san, makkichaan, Mionio, jideragon21, Nohara Rin, Rin, Ocean Rays, Uchiharuno Rozu, Nakazawa Chidzuru, SasukeU, Himawari no AzukaYuri, kue kering lebaran, CHLAMEISNA, Nanairo Zoacha, Aoi Lia Uchiha, Tiya-chan, tataruka0588, Soraka Menashi, ryuuzaki26, Sipoy, pratiwi haruno, Ao Yuki no Kamgami, Blue Sky, IndahNs, Lilids Lilac, clariza risanti 3, Sacchan Silver FireFly, UchihaNabilla, oucha, fast4speed, Haruka Hitomi 12, Dhezty UchihAruno, Elang23, sone uchiha, dini haruno uchiha, Arizawa Yui (2x), Mutiara Fujisawa Uchiha, iQri, stefenny zamora, Kyuujou Shitashi, suzuka haruno, ysa-ca, Cherry sasusaku

And for everyone who read, fave, and even alert this fiction, thank you very much :)

Finally, selesai jugaaaaaa :"D #lapkeringet Oke langsung saja, setelah ini bakal banyak pemberitahuan. Bagi yang males baca silahkan dilewat aja =w=

Bagi yang gak puas sama ending Frist ini, bisa protes kok hahahaha. Tapi gak akan bisa ngerubah ending mutlak fic ini :)) #digebuk Bisa protes lewat media mana aja, kalau sempet pasti aku respon hahaha. Oh ya, semoga kerasa feel-nya ya. Aku buru-buru gak sempet ngecek ulang hehe.

Terus, maaf beribu maaf... dulu aku sempet bilang bakal diadain lagi event Suspense Week yang harusnya diselenggarakan pada tanggal 13 – 20 November D: Tapi ternyata, pertama... adminnya lupa semua orz Gara-gara sibuk, kita jadi lost contact untuk beberapa waktu. Tadinya beberapa hari sebelum SW, aku udah diingetin, tapi salahkan tugas-tugas dan persiapan UN, PTN, bla bla aku sampai lupa nge-promote -_- Jadi pokoknya maaaaaaaaaaf banget bagi yang nungguin event ini, semoga tahun depan event ini bisa diadain lagi. Amin :'D

Lalu terakhir, aku bakal jarang banget update fic. Karena itu, semua ide fic multichap-ku dan oneshot tentunya kutahan dulu, paling tidak setelah UN dan aku dapet PTN, baru mungkin aku bisa aktif full lagi kayak dulu. Seriusan gak nyangka bakal sesibuk ini. Tadinya kupikir, aku pasti bisa ngatur waktu, gak tahunya bener-bener gak bisa. Jadi, maaf untuk yang kangen sama aku, harap bersabar lagi '-')/ #SIAPA

Udah deh itu aja ehe. Kalau ada yang mau ditanyakan, bisa langsung tanyakan lewat PM FFn, FB, dan twitter ya :D

Review this final chapter, please? Thanks before and see you in my next fiction, jaa nee! 'v')/