Ichigo sudah mati.

Ia berdiri di sudut ruangan asing. Posturnya meniru sosok hantu penasaran.

Ichigo mengaku sering mengalami situasi ini. Terjebak dalam ruang waktu yang pernah terhapus dalam memori. Seperti sedang bermimpi, tapi sungguh terlalu nyata.

Mungkin, ketika direhabilitasi, parapsikologi yang menanganinya sempat merumuskan pemicu keabnormalan Ichigo, seperti: gangguan jiwa, pencucian otak, alter ego hingga dugaan impresi mati suri.

Urahara pun pernah menerangkan kondisi Ichigo. Bahwa pemuda itu mengalami anomali ingatan akibat cedera batang otak. Merusak sistem saraf VRG. Menimbulkan resiko henti napas mendadak jika ia mencoba menggali ingatan penyulut syok.

Cedera itu didapatnya sebelum Ichigo ditemukan di bawah jembatan Teufelsbrucke, di pedalaman Shöllenen Gorge. Itulah mengapa Ichigo berspekulasi bahwa ia pernah mati sekali di masa lalu dan dihidupkan kembali demi menuntaskan apa yang belum sempat ia selesaikan.

Tak peduli diagnosa mana yang cocok untuknya, yang Ichigo yakini, prasangkanya mungkin benar—bahwa ia telah mati—tapi mungkin juga salah. Tidak ada yang tahu kebenarannya kecuali pria itu sendiri.

Seperti sekarang. Ichigo tahu ia tak bernapas. Jantungnya pun tidak berdetak. Ia tak merasakan apa pun kecuali kekosongan.

Selanjutnya, ia pasti mengalami fatamorgana tepat di depan mata-kepalanya. Dikelilingi dinding-dinding berwana putih. Dipaksa menghirup bau obat-obatan dan aroma pembersih lantai rumah sakit.

Seprai putih itu. Dan selang infus itu. Ichigo yakin pernah mengenal semuanya.

Apa yang Ichigo lihat sekarang menyerupai pemutaran filmis hitam-putih. Matanya menyimpul sosok wanita yang terbaring di atas single-bed ruang isolasi. Bocah laki-laki lima tahunan duduk menemani di sebelah wanita itu.

"Jadi!" ujarnya bersemangat. "Aku akan memiliki dua adik bayi sekaligus? Ibu tidak bercanda?"

Tangan lemah wanita itu membelai kepala putranya.

"Mana mungkin Ibu bercanda. Bukankah Ayahmu sudah memberitahu?" wanita berambut ikal panjang menatap pria tinggi yang berdiri di belakang anaknya.

"Dia tidak akan percaya sampai kau sendiri yang memberitahukannya, Masaki."

"Ayah sering mempermainkanku. Aku hanya percaya kepada Ibu."

Masaki menatap sayu putra sulungnya. Menggenggam lembut tangan kecil anaknya.

"Tidak baik mengatakan hal seperti itu. Jangan pernah meragukan Ayahmu—kita adalah satu keluarga."

Anak itu menatap ibunya seperti sedang berpikir. "Satu … keluarga? Apa itu keluarga?"

Masaki beralih ke suaminya. Pria itu yang menjawab. "Ibu, Ayah, kau dan calon adik kembarmu—kita adalah satu keluarga."

Bocah itu menggeleng. "Aku masih tidak mengerti."

Masaki membelai pipi putranya. Tangan pucat wanita itu begitu lembut dan hangat melebihi apa pun.

"Keluarga adalah harta yang paling berharga. Keluarga pasti akan saling memercayai, menjaga satu sama lain dan saling menyayangi. Kau harus selalu mengingatnya."

"Um … seperti aku yang sangat-sangat-sangat menyayangi Ibu?"

"Tentu. Dan suatu saat nanti kau pasti akan menemukan keluarga milikmu sendiri, Anakku. Dan jika hari itu tiba, pasti ada seseorang yang akan menggantikan posisi Ibu di sini," Masaki menunjuk letak hati anaknya.

"Seseorang? Siapa?"

Masaki tersenyum lemah. Tangannya menangkup pipi anak itu dengan penuh sayang.

"Seseorang itu akan kau temui jika kau sudah besar. Ibu tidak sabar menanti saat itu. Di mana kau tumbuh menjadi pria dewasa … Ichigo—"

Tergamang di tempat. Anak itu memiliki nama yang sama dengannya.

Itu adalah dirinya.

Ichigo membeku. Tak mampu melakukan apa pun pada sosok-sosok delusif yang begitu ia rindukan—berkelebatan bagai rekaman monochrome tak berujung.

Dada Ichigo mendadak sesak. Tenggorokan serasa disumpali batu besar. Kedua matanya pedih dan mengabur seperti bermembran.

Ketika Ichigo mencoba menutup mata, presensinya memudar. Menjadi transparan. Lalu lenyap bagai serpihan roh.

Saat Ichigo membuka mata kembali, ia melihat sosok gadis bermata violet tengah menangisinya.

Lebar tangan yang lebih kecil berusaha menyatukan diri dengan tangan Ichigo yang lebih besar. Tangkupan lembut gadis itu menghangatkan punggung tangannya yang teramat dingin.

Disorientasi. Ichigo terbangun dengan air mata menganak di kedua pipi.


XXXXXXX


SI KELABU SENJA © Agizera

BLEACH © Tite Kubo

Warning : Dramatization, Psychological, Self-Injury, Angst, Language, Dirty Parody, Complicated


XXXXXXX


Hari ini Ichigo akan bebas.

Bukannya disambut ucapan selamat, suara tawa kembali membuat gaduh seisi ruangannya. Oknum masih sama, Shiba Kūkaku—merangkul Yoruichi sembari memegangi perut yang mendadak kram di pagi hari.

"Berkali-kali aku berkunjung kemari—entah kenapa aku selalu ingin menertawaimu."

Dalam kasus ini, Kūkaku menganalogikan Ichigo dan Byakuya sebagai dua ekor pejantan—yang baru saja memperebutkan satu betina di musim kawin. Siapa pun pasti akan tertawa jika melihat dari kacamata yang sama dengan Kūkaku.

Yoruichi hanya memejamkan mata. Kali ini ia tak sejalan dengan sahabat karibnya.

Ichigo berposisi setengah duduk di atas ranjang semi fowler. Menatap tenang menjurus tak berekspresi. Seperti melihat akhir dunia, Ichigo hampir tak pernah menampakkan cahaya di kedua matanya.

Rukia; biang sengketa mereka, yang juga berstatus sebagai tunangan Ichigo—kini berkamuflase menjadi dayang dadakan. Ia masih setia duduk di samping sang majikan. Menyuapi Ichigo dengan sarapan pagi seperti hari-hari sebelumnya.

Sejak kejadian pertengkaran hebat itu, Rukia nyaris mati berdiri melihat Ichigo terapung di atas permukaan air. Semua orang yang melihatnya pun tahu, Rukia lah yang paling mengkhawatirkan pemuda itu.

Rukia tak beranjak satu kaki pun saat tahu kondisi Ichigo semakin memburuk. Bila ada kesempatan, Rukia selalu menggenggam tangannya, mengajak Ichigo berbicara meskipun sebagian besar isi percakapan Rukia adalah permintaan maaf.

Ia hampir selalu tidur terduduk di dekat Ichigo. Rukia rutin terjaga di setiap malam. Diam menatap Ichigo ditemani irama mesin pemantau jantung—mengecek bedside monitor setiap lima menit sekali.

Saat tiba di mana Ichigo membuka mata, Rukia adalah orang pertama yang melihatnya. Rukia terisak, meremas kuat tangan pria itu. Ichigo yang buta situasi hanya bisa memandang kosong. Tak berbicara sepatah kata pun.

Sejak hari itu, Ichigo tak menolak dirawat oleh tunangannya. Meskipun mereka hampir tak pernah saling bicara, Ichigo tak keberatan Rukia selalu menjaganya dari pagi hingga malam hari.

Ada saat di mana Ichigo ingin sendiri, maka ia akan menyuruh Rukia pergi beristirahat. Ichigo tak pernah mengusir Rukia. Rukia pun tak berniat pergi meninggalkan Ichigo.

Hubungan mereka menjadi semakin pelik. Jika disusuri kembali, status mereka bisa saja membentuk skema rumit yang bahkan tak pernah mereka perhitungkan sebelumnya.

Pertama, Ichigo mendeklarasikan bahwa Rukia adalah mangsanya. Kedua, Ichigo setuju Rukia menjadi lawan bermainnya. Ketiga, Ichigo mulai berpikir bahwa Rukia adalah barang miliknya. Dan sekarang keduanya pun tak tahu lebih pantas disebut apa.

Segalanya telah berubah. Baik Ichigo, Rukia, maupun pihak lainnya.

Ichigo menghentikan suapan kelima Rukia menggunakan isyarat tangan. "Aku sudah selesai."

Rukia hanya mengangguk. Tanpa menuntut banyak kata, wanita itu langsung membereskan nampan makanan. Membantu Ichigo minum sebelum duduk kembali seperti robot.

Kūkaku mendekati sang pangeran terbuang ketika mata mereka tak sengaja bertemu. Wanita sintal itu menumpu tangan di kaki ranjang dengan gaya separuh preman.

"Aku tidak tahu kau ingin mendengar ini atau tidak—tapi Byakuya lebih hancur darimu. Bisa dikatakan … kau menang telak meskipun babak belur."

Rukia mencoba bersikap tenang—seolah tidak peduli. Sayang, Ichigo menyadarinya.

"—Rukia,"

Gadis itu terlihat seperti melamun sesaat. Responnya lambat.

"Ya? Ada yang kau butuhkan—Ichigo?"

Tatapan pria itu hambar. "Sebentar lagi aku akan berkemas. Kau pulang saja."

Rukia menggeleng. "Tidak. Kita akan pulang bersama."

Ichigo beralih menatap selimut. "Begitu."

Kūkaku yang terabaikan hampir berteriak tak terima kepada pasangan muda itu. Namun suara pintu yang didorong terbuka membuat Kūkaku mengurungkan niatnya.

Dua perawat pria masuk ke dalam ruangan Ichigo. Satu mendorong troli dan yang lain menarik sketsel. Yoruichi, Kūkaku dan Rukia sudah akan beranjak pergi dari sana. Namun Ichigo menghentikan salah satu dari mereka.

"Kau tetap di sini," tangan bebas Ichigo menangkap pergelangan Rukia.

Bertatapan sejanak. Tahu tanggung jawabnya, Rukia pun urung meninggalkan pria itu. Ia hanya mundur beberapa langkah menjauhi partisi. Memberi ruang bebas untuk para perawat menyelesaikan tugasnya.

Mereka mulai melepasi seluruh alat medis yang menempel di tubuh Ichigo. Mulai dari penghubung ventilator, penjepit sensor, kabel-kabel penunjang bedside monitor di dada dan jalur infuse di punggung tangan.

Ichigo hanya menatap letih per tahapnya. Rukia mengawasi cemas dari kejauhan.

"—Sisanya akan dikerjakan tunanganku. Kalian boleh pergi setelah melepas semuanya," bilang Ichigo pada salah satu perawat.

Perawat tersebut mengangguk paham sebelum meninggalkan Ichigo dan Rukia berdua di dalam kamar. Tidak akan ada yang berani protes jika Ichigo sudah mengucap mantra tunanganku.

Ichigo masih duduk berselonjor kaki di atas ranjang pasien. Menatap Rukia yang berdiri di sana. Ia membuat gestur kepala agar Rukia mendekat.

"Apa yang kau tunggu? Kemarilah. Bantu aku mengganti pakaian."

Tak percaya dengan perintah Ichigo. Rukia menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"

"Iya. Kau. Cepatlah. Aku ingin segera keluar dari sini."

Sebelum-sebelumnya, perawat pria lah yang selalu membantu Ichigo mengganti pakaian. Tapi sekarang, pemuda itu serius meminta pertolongan Rukia. Sinyal ini. Ichigo seperti berusaha memercayai gadis itu mengambil peran untuk merawatnya.

Rukia bertolak arah dari ranjang. Seperti ingin meninggalkan Ichigo.

"Mau ke mana kau?" tanya Ichigo setengah panik.

"Menggambil bajumu?"

Ichigo menghela napas. "Kau tahu ukuranku?"

Rukia hampir lupa. Mereka sedang menempati ruang paviliun di Rumah Sakit Noches. Segala properti yang ada di dalam ruangan disediakan khusus dan bukan milik Ichigo.

Pasien kalangan atas—seperti Kuchiki—tak perlu membawa barang bawaan dalam bentuk apa pun. Di dalam sana sudah serupa dengan condominium room dengan fasilitas sehari-hari dilengkapi peralatan medis menyatu dalam satu kemewahan.

Rukia berjalan mendekati ranjang. Memerhatikan tubuh Ichigo sejenak. Lalu berakhir menggeleng.

"Tidak."

Ichigo menarik kerah piama pasiennya. "Bentuk tubuhku ideal. Bahkan jika kau menggambil kemeja body fit seharusnya muat-muat saja kupakai. Untuk celana, kau harus memilih yang paling panjang di antara semuanya."

Rukia mengangguk mengerti seperti setuju. Lalu berjalan menuju wardrobe.

Tubuh Ichigo memang serupa dengan super model pria kebanyakan. Tinggi badannya menjulang nyaris enam kaki dan torsonya kencang—Rukia belum begitu jelas melihatnya, ia hanya menduga. Bagaimanapun, Ichigo bukan pria Asia tulen, dia juga berdarah campuran Eropa.

Rukia mulai mencari setelan yang dimaksud di dalam almari besar empat pintu yang menyatu dengan dinding. Mengambil kemeja denim yang masih tersegel dan sebuah celana khaki kasual.

Tangan Rukia berhenti mencari ketika sampai di rak penyimpanan khusus pakaian dalam. Ragu. Tangan maju-mundur ketika akan memasukinya.

Ichigo mengamati melalui sudut mata. Rukia terlihat tengah menggalau di sana.

"Aku juga membutuhkan underwear. Seharusnya aku tak perlu mengatakannya 'kan?"

"A-aku tahu."

Rukia memicingkan mata. Ada berbagai macam bentuk dan ukuran. Baru kali ini Rukia frustasi memikirkan celana dalam orang.

Rukia ingin bertanya berapa ukuran Ichigo, tapi hal itu terlalu rancu untuk keluar dari mulutnya. Ini berbeda dengan ukuran-ukuran yang bisa ia gunakan. Rukia panik berat.

"Pinggulku sempit tapi milikku besar."

Tersentak kaget. Rukia menoleh cepat. "Ha-hah?"

"Pastikan kau memilih yang cukup untuk kugunakan dan tidak terlalu ketat."

Ichigo menjelaskan santai. Menatap Rukia dengan ekspresi sedatar lantai. Pria itu bermaksud memberi gambaran yang mudah dimengerti kaum wanita.

Rukia nyaris ingin melempar benda apa pun ke wajah Ichigo. "Kau tak perlu menjelaskannya sampai seperti itu!"

"Aku hanya membantumu. Kau terlihat kebingungan."

Rukia tertegun. Setelah dipikir-pikir, Ichigo ada benarnya juga. Rukia tidak peduli lagi, mungkin otaknya sudah gila.

Rukia mulai memilih dan memilah. Menganalisa dan meneliti. Setelah ia mendapatkan barang yang mungkin sesuai, akhirnya Rukia beranjak pergi menuju meja. Meletakkan tumpukan pakaian Ichigo di sana. Meniupkan napas beratnya.

Ichigo melirik pilihan Rukia. "Kau menyukai model men's trunks, huh? Akan kuingat-ingat."

"A-apanya?"

Dagu Ichigo menunjuk tumpukan box teratas.

Rukia mengikuti arah isyarat Ichigo. Panas dingin. Ia hanya tak ingin memilih model sepangkal paha. Rukia bisa gila mengira-ngiranya.

"K-kau tidak suka? Aku bisa mencari—"

"Aku tidak kebaratan jika kau menyukainya. Selera wanita tentu berbeda-beda."

"Apa kau bilang?"

"Kenapa kau memilih warna hitam?"

"A-apa itu penting?"

"Tidak. Aku hanya asal bertanya. Kau terlihat tegang sedari tadi."

"Justru pertanyaanmu yang semakin membuatku berpikir tidak-tidak, dasar bodoh!"

Setelah sekian lama, akhirnya Ichigo tersenyum tipis. "Begitu lebih baik."

"Ha-hah?"

"Kau selalu menjaga sikap di depanku—seperti tadi. Aku bisa melihat semuanya, Rukia. Kau tidak perlu merasa bersalah. Semua yang terjadi adalah murni kesalahanku dan orang itu."

Ichigo memahaminya. Tahu tentang semua yang dirasakan Rukia. Gadis itu menjeda lama hampir seperti terpana. Ichigo diam menatap tanpa menuntut respon.

Setelah semua yang dialami Ichigo, Rukia hampir-hampir ingin menangis lagi. "Maafka—."

"Aku bahkan tidak tahu kenapa kau meminta maaf."

Rukia meratap. Ichigo menggerakkan tangan kebasnya susah payah. Berusaha menggapai tangan Rukia. Menariknya lebih dekat.

"Cepat ganti bajuku. Jangan terlalu lama berpikir, Rukia."

Gadis itu tersentak sadar. Langsung meraih kancing piama Ichigo. Rukia mulai membuka satu demi satu. Pemuda itu terus memerhatikannya.

Tahu sedang diawasi, Rukia menjadi tegang kembali. Fokus pada si kancing membuyar. Rukia mulai kesulitan melepaskan kancing tanpa tersangkut terlebih dahulu. Tak tahan lagi. Ia menengadahkan kepala. Melihat Ichigo yang berposisi lebih tinggi darinya.

Mata mereka terikat. Jarak begitu dekat.

Wajah pria itu datar. Namun kedua matanya begitu hidup memandang Rukia. Bibir Ichigo sedikit terbuka, menghela napas teratur dari sana. Leher jenjang dan pectoral padat kecokelatan terpapar di depan matanya.

Jantung Rukia berdebar tak tertahankan. Ia reflek mendorong pipi Ichigo ke samping.

"Ja-jangan memandangku seperti itu!"

"Aku yang kau telanjangi. Itu seharusnya menjadi kalimatku."

"A-apa?"

Ichigo menangkap tangan Rukia. Meletakkan tangan itu kembali ke kancing piamanya.

"Aku hanya ingin melihatmu. Aku tidak akan melakukan apa pun."

Ichigo memang selalu ceplas-ceplos, berbicara vulgar. Tapi Entah karena apa. Kali ini. Rukia gagal total menghadapinya.

Rukia membuka keseluruhan baju Ichigo. Terpaku melihat tubuh sempurna pria bukan menjadi rencana awal Rukia. Wajah memanas. Waktu membeku hanya berlaku kepadanya.

"Aku tidak keberatan kau memandangi tubuhku berlama-lama. Tapi aku akan kedinginan jika kau tidak segera memberiku pakaian, Rukia."

Skor sekarang adalah tiga-kosong. Rukia mati kutu menghadapi Ichigo yang terlalu wajar seperti ini. Pria itu bahkan tidak menggoda atau mengejek seperti biasanya.

Bagaimanapun, identitas asli Ichigo adalah dua tahun lebih tua dari Rukia. Dan anehnya, ia baru bisa melihat perbedaan itu sekarang.

Rukia balik arah cepat. Berjalan kaku. Mengambil kemeja lambat-lambat. Ichigo setia menunggu dalam diam seperti memaklumi.

"Kau kurang nyaman dengan membantuku? Kau hanya perlu mengatakannya."

Rukia menggeleng meskipun ia ingin sekali mengangguk.

"Tidak. Ini juga tugasku," ujarnya tegar.

Rukia merentangkan kemeja agar Ichigo bisa memasukkan lengan. Pria itu mengerang pelan ketika mengangkat tinggi tangannya.

Rukia menatap cemas. "Masih sakit? Perlu kupanggilkan perawat? Kau tahu aku tidak terlalu pandai melakukan hal ini. Aku tidak pernah merawat seseorang sebelumnya."

Ichigo menggeleng. "Tidak. Aku ingin kau melakukannya sampai selesai."

Rukia meneguk ludah. Beralih mengancingkan kemeja baru Ichigo dari bawah ke atas. Kali ini pria itu sengaja menatap ke dinding. Rukia lebih nyaman melakukan pekerjaannya.

Ichigo menghela napas berat. Punggungnya masih terasa ngilu ketika ia mencoba duduk lebih tegak. Ichigo menurunkan kakinya perlahan dari atas ranjang. Reflek Rukia adalah membantunya.

Duduk di pinggiran kasur, Ichigo sudah siap menurunkan celana piamanya. Rukia mendadak nekat menahan tangan Ichigo.

"Tu-tunggu dulu. Kau bermaksud melakukannya di depanku?"

Ichigo hanya mengangguk. Tidak merasa ada yang salah.

"Lihat. Aku wanita. Bagaimana mungkin kau menurunkan celanamu begitu saja di depan mataku? Kau tidak mengerti apa itu batasan gender?"

Dahi Ichigo mengerut. "Apa maksudmu? Aku hanya ingin mengganti celana ini. Jika kau tak ingin melihatnya, kau boleh membalikkan badanmu."

Belia itu terbengong di tempat. Mungkin Rukia lupa, selain berlabel outsider, Ichigo juga seorang foreigner. Itulah mengapa Ichigo diberi pelajaran tata krama intensif oleh kakeknya.

Rukia balik badan cepat setelah menyerah harus menghadapi Ichigo dengan kalimat wejangan apa.

Terdengar suara kasak-kusuk dan erangan di belakang Rukia. Gadis itu ingin sekali menyumpal lubang telinga.

"—Rukia. Ambilkan itu."

Rukia tidak mau menoleh. "Mengambil apa?" nadanya ogah-ogahan.

"Yang kau ambilkan tadi."

"Yang tadi yang mana?!"

Terdengar suara decakan dari belakang punggung Rukia.

"Underwear dan celanaku. Mereka ada di atas meja. Di depanmu. Kau tidak ingin aku mengambilnya ke sana 'kan?"

Rukia terkesiap nyaris membakar wajahnya sendiri karena malu. Rukia mengambil hati-hati sisa pakaian Ichigo. Menutup mata dengan tangan lainnya lalu menyerahkan pada pria itu.

"Thanks."

Rukia balik badan lagi dan menjaga jarak lebih jauh. Mengelap keringat dingin.

Rukia berjanji, jika diminta melakukan hal yang sama di masa depan, ia akan langsung menolaknya tanpa basa-basi.


XXXXXXX


Café itu dikuasai sebelas pelajar A-LaN. Lisa membanting koran lipat di atas meja berbentuk lingkaran.

"Berita apa-apaan ini, chibi?"

Tangan Toushiro menggebrak permukaan meja. "Mana kutahu! Dan jangan mengataiku seperti itu, Lisa!" suara cemprengnya terdengar hingga seantero café.

Rubrik utama koran itu memuat judul berhuruf besar bercetak tebal.

/Kuchiki Byakuya Mengundurkan Diri Dari Kancah Kementerian/

Hinamori berdiri menjadi penengah dua pelaku A-list. Tangan merentang lebar.

"Sudah-sudah, Shiro-chan, Lisa-san. Kurasa ini hal wajar mengingat berita-berita miring yang sebelumnya beredar. Jadi, kali ini pihak Shiro-chan tak bisa berbuat banyak—setidaknya itu pendapat Ayahku."

"Aku setuju," sela Ishida masih dengan tab di tangan. "Banyak kekacauan terjadi. Dan dugaan pemukulan tempo hari menjadi kenyataan. Kulihat di sosmed, kasus ini bukan lagi pemukulan biasa, melainkan percobaan pembunuhan."

Renji mengintip layar tab yang mulai meredup. "Tak heran. Kudengar karena itu juga Kuchiki Byakuya telah diasingkan dari kediamannya."

Lisa melirik Ulquiorra yang berlagak sibuk menatap jalan raya. Satu-satunya pihak yang mungkin bisa memberikan pencerahan untuk mereka.

"Ulquiorra, apa kau tahu kasus ini? Kau tidak mungkin tidak tahu 'kan?"

Wajah sepucat mayat menoleh. Seluruh mata terpusat padanya.

"Kantor kepolisian pusat mengirim surat panggilan kepada Kuchiki Byakuya. Dia hanya diinterogasi beberapa hari. Selanjutnya bebas dengan jaminan karena pihak korban tidak menuntut lebih jauh."

Grimmjow mendengus. "Mana mungkin pihak Kuchiki saling menuntut, huh? Tentu saja dia bebas tanpa syarat."

Neliel mendatangi Grimmjow. Duduk manja di pangkuan saudara tirinya. "Kudengar Ichigo terluka serius. Dan kita pun tahu, dia membolos lagi selama dua minggu. Cederanya pasti parah."

Toushiro meletakkan gelas kaca yang sudah mengosong. "Meskipun Kuchiki Byakuya tidak dipenjara, tapi dia harus menerima konsekuensi dipecat dari kementerian. Itu sama saja."

Lisa bersandar di kursi, bersedekap. "Karirnya hancur. Seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan."

"Cih, boleh juga Kuchiki baru itu," Grimmjow memeluk perut Neliel dari belakang. "Kurasa dia berbakat menghancurkan Noches dari dalam."

Ulquiorra melirik. "Kau ingin menjadi partner-nya?"

"Hah? Mana mungkin! Aku pasti bisa lebih baik darinya!"

"Lalu sekarang bagaimana?" Renji bertumpu dagu di atas meja.

Toushiro melirik dengan dahi berkerut. "Apa maksudmu, Abarai?"

"Pewaris kedua secara tidak langsung berhasil menyingkirkan pewaris pertama," Neliel memainkan sedotan di bibirnya. "Itu 'kan yang kau pikirkan sejak tadi, Abarai-kun?"

Seluruh mata beralih menatap Neliel. Ishida melirik curiga. Neliel selalu terlalu banyak tahu tentang alur kekacauan Noches. Seakan-akan skenario itu sebagian ditulis olehnya.

"Dongeng Snow White, huh?" batin Ishida.

"Kuchiki Byakuya telah tamat. Kuchiki Ichigo akan naik tahta—begitu maksudmu?" ujar Lisa bermain kata.

Pemilik rambut toska mengangguk yakin. Kepalanya bersandar di bahu Grimmjow.

"Ichigo sudah bertunangan. Jika menikah, dia akan memiliki keturunan. Kuchiki Ichigo akan menjadi pewaris utama paling potensial. Ditambah lagi hanya Ichigo lah yang bisa meneruskan tradisi pernikahan sedar—."

"—Aku tidak setuju," Shiba Senna memotong.

"Sekarang apa lagi?" Ashido yang sejak lalu hanya mendengarkan, kini bersedekap jengah di atas kursinya.

"Jika Kuchiki Byakuya mengambil langkah cepat menikahi aniki, tentu saja posisinya akan kembali. Dia sudah mapan dan berpengalaman mengelola kekayaan Noches. Tidak akan mudah disingkirkan hanya karena hirarki buatanmu, Neliel."

Mata Senna beradu tajam dengan Neliel. Mungkin mereka akan mengibarkan bendera perang setelah ini.

"Oh, Shiba Kūkaku? Usahamu bagus juga membela Kuchiki Byakuya. Tentu saja karena margamu akan memperoleh imbasnya."

Lisa mengetok palu sidang menggunakan gelas. "Baiklah. Baiklah. Jadi sekarang, kita hanya bisa menunggu. Siapa di antara mereka yang bisa menikah lebih cepat, maka dialah yang akan menjadi pemenangnya?"

Neliel mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Setuju. Setuju. Aku bertaruh untuk Kuchiki Ichigo. Sepuluh juta dolar."

"Aku Kuchiki Byakuya. Sepuluh juta dolar," susul Senna.

"Cih, aku tidak percaya akan mengatakan ini. Sepuluh juta dolarku untuk bedebah orange."

Dan seterusnya. Dan seterusnya. Percakapan politik mereka mencapai seluruh penjuru café. Termasuk dua orang pria yang sejak lalu duduk tenang di salah satu sudut meja.

Satu di antaranya meminum kopi pesanan begitu khidmat. "Arara … aku jadi rindu masa mudaku," ujar pria berambut putih bermata sipit.

Satu yang lainnya memainkan spidol merah di atas agenda yang terbuka. "Gin, bukan saatnya kau berkata seperti itu 'kan?"

Mata sipit terbuka lebih lebar. Melirik koloni yang masih sibuk mengatur jumlah uang taruhan. Seringai licik terukir di wajah rubahnya.

"Kau benar, Kaname. Kita harus melaporkan hal ini. Mainan kecil yang dibuatnya berhasil menyingkirkan ancaman terbesar kita. Kurosaki Ichigo pantas mendapatkan reward."

Pria negro berambut gimbal hanya mengangguk. Mencoret foto Byakuya di samping foto Ichigo dalam agenda miliknya.

"Kapan kita mulai? Malam ini?"


XXXXXXX


Rukia terbangun berkali-kali.

Jam masih menunjuk angka satu dini hari.

Ini adalah hari pertamanya tidur di atas ranjang. Mengingat lebih dari setengah bulan berlalu dengan ia menjaga Ichigo, seharusnya sekarang adalah momen yang paling ia nantikan. Namun, rutinitas Rukia yang selalu terjaga di rumah sakit, justru ia jadikan kebiasaan baru ketika kembali ke kediaman.

Singkat kata, ia terserang insomnia.

Rukia menyingkap selimut dan turun dari atas queenly bed-nya. Bergerak menuju loker penyimpanan obat.

Sudah dua minggu Rukia tak teratur meminum antidotnya. Ia lupa mengkhawatirkan diri sendiri dan justru sibuk mengkhawatirkan orang lainnya. Rukia memutuskan meneguk dua kaplet sekaligus dengan bantuan air putih.

Dalam kesenyapan, terdengar suara bel tamu ditekan berulang-ulang. Mengernyit heran, Rukia berjalan malas melalui koridor panjang yang gelap. Menghidupkan tombol interphone ketika sampai di samping pintu otomatis.

"Siapa?"

Tidak ada suara balasan.

Rukia mengaktifkan monitor CCTV berinfrared. Tampak seseorang berdiri di pinggir kusen pintu. Bersandar dengan dahi menumpu pada tangan yang melintang.

"Nii-sama?"

Tak terlihat seperti tamu yang sengaja bertandang, atau pun penyusup yang siap menerjang, melainkan lebih ke gestur tubuh akan tumbang kapan pun orang itu mau.

Rukia mengenali posturnya. Gadis itu selekas mungkin membuka pintu.

"—Ichigo?"

Pria itu masih bersandar di sana. Tidak bergerak. Rukia menggoyang lengan Ichigo. Sangat dingin.

"Sejak kapan kau berdiri di sini? Cepatlah masuk."

Rukia menarik lengan berat itu. Ichigo terbawa dan hampir jatuh menimpanya.

"Ichigo!"

Pria itu menahan berat badan dengan cara berpegangan pada bingkai pintu. Mencegah tubuhnya sendiri menubruk Rukia.

Ichigo berjalan sempoyongan seperti pria mabuk. Menyelonong tanpa kata. Lalu mendamparkan diri di atas sofa.

Rukia mengikuti di belakangnya setelah menutup pintu. Berjalan penuh antisipasi. Rukia beralih mencari sakelar lampu lalu menekannya. Begitu keadaan menjadi terang, ia menoleh lagi kepada Ichigo.

Matanya terbelalak lebar. "Ichigo, kau berdarah!"

Rukia mendatangi cepat. Darah segar mengaliri sisi kanan kepala Ichigo. Dilanjut memar di siku dan lengan. Sudut bibir Ichigo terluka menyerupai bekas koyakan berulang kali.

Gadis itu panik. "Apa yang terjadi? Kenapa kau terluka seperti ini? Seseorang menyerangmu?"

Pria itu masih duduk terdiam. Rukia menggoncang bahu Ichigo. Tidak ada tanggapan.

Rukia bersimpuh di karpet lantai. Mengintip dari bawah wajah Ichigo yang tertunduk.

"Ichigo?" panggil Rukia waspada. "Apa yang terja—"

"—Aku sudah mati."

"Hah?"

"Mereka mendatangiku—untuk membawaku pergi."

Ichigo mulai berhalusinasi dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Rukia mencoba melihat ke dalam mata Ichigo. Kosong. Seolah jiwanya tak benar-benar berada di sana.

Rukia segera berdiri. Tangannya sedikit bergetar.

"Aku akan menghubungi Ryūken-dono. Tunggu aku di si—"

"Jangan pergi," bisikan Ichigo berbisa, pergelangan Rukia ditangkap dan digenggam kuat-kuat. "Jika aku pingsan. Kau tidak akan bisa membangunkanku lagi."

Ichigo menengadahkan kepala. Suaranya serupa dengan ancaman. Matanya berusaha berakomodasi untuk Rukia. Gadis itu seperti menghadapi dua pria berbeda dalam diri Ichigo.

Menjeda. Rukia berusaha meraba situasi. Ada keringat dingin di sepanjang dahi pria itu. Napasnya tersengal. Ichigo seperti sedang berusaha untuk tetap menjaga kesadaran.

Rukia pernah melihat hal ini. Jika Ichigo pingsan, maka pria itu akan berhenti bernapas dan irama jantungnya akan melemah, kemudian—berhenti.

Tangan Rukia bergetar dalam genggaman kulit dingin Ichigo. "A-aku harus bagaimana?"

Ichigo meremasi pergelangan kecil Rukia. Matanya sangat berat. Mengerjap-ngerjap. Mirip sensasi kantuk namun jauh lebih ekstrem—mengikisi kesadaran Ichigo secara total dan tidak akan berhenti sampai mata itu benar-benar terpejam.

"—Pukul aku."

"A-apa?"

Ichigo tahu, tangan kecil Rukia takkan bisa memukul kuat rahangnya. Dan mungkin akan justru menyakiti gadis itu sendiri. Di lain pihak, tangan Ichigo pun terasa kebas, tak mampu ia kepalkan dengan kuat.

Ichigo mengutuk pelan.

Tak menemukan opsi lain, Ichigo berakhir dengan menggigit bibirnya sekali lagi. Sekencang yang ia bisa menggunakan gigi taringnya.

"Apa yang kau lakukan!"

Koyakan pembuluh darah membuat cairan merah itu menetes-netes. Melewati dagu dan jatuh di atas karpet berbulu di bawah kakinya. Anyir. Rasa dan aroma darah seakan menjadi obat sempurna untuk menjaga kesadarannya.

Ichigo melanjutkan dengan menekan kepala yang terluka. Bersyukur masih merasakan denyut hebat dari sana. Setidaknya itu lebih baik daripada Ichigo sudah tidak merasakan apa pun lagi.

Pemuda itu sudah sering menangani hal ini ketika menjalani masa rehabilitasi. Namun Ichigo tidak menduga penyakitnya akan kambuh saat ia masih tertidur begitu lelap.

Ini baru pertama kali terjadi. Mungkin karena kejadian tempo hari setelah perkelahiannya, Ichigo lumayan kesulitan menangani fase yang sekarang.

Rasa sakit yang ia andalkan untuk menjaga kesadaran pun membawa resiko lain terhadap penglihatannya. Pandangan Ichigo lumayan bergelombang karena denyutan luka. Bayangan Rukia membelah menjadi dua di dalam refleksinya.

Rukia menarik dagu Ichigo. Wajah Rukia sangat cemas. Gadis itu langsung menggunakan ujung gaun tidur untuk membersihkan perdarahan.

"Ichigo. Kau mendengarku? Kita harus segera mengobatimu dan—"

"—Kau … ingin tahu kejadian sebenarnya?"

"Hah?"

"—Mereka menjebak kami … aku … dikurung di dalam sel. Setelah dibunuh … tubuhku dibua—"

Tidak tahan lagi. Rukia menepuk kedua pipi Ichigo menggunakan kedua tangan. Mengangkat wajah itu lebih menengadah.

Mata violet mengunci mata Ichigo.

"Lihat! Aku bisa menyentuhmu. Kau masih hidup. Aku tidak peduli lagi dengan masa lalumu jika kau memang tidak ingin mengingatnya. Tapi, Ichigo, kau harus melawan. Aku di sini. Kau tidak sendirian."

Tangkupan tangan gadis itu menguat di garis pipi Ichigo. Pantulan determinasi membias ke dalam bola matanya. Pria itu terpaku.

Ichigo melihat cerminan wajahnya di dalam mata Rukia yang teguh. Sentuhan tangan wanita itu memercik nostalgia yang sudah lama ia lupakan.

Suatu saat nanti kau pasti akan menemukan keluarga milikmu. Dan jika hari itu tiba, pasti ada seseorang yang akan menggantikan posisi Ibu di sini.

Jantungnya berdetak aneh. Bisikan asing mendengungi telinga Ichigo.

Ada perasaan ringan saat kata-kata Rukia sampai di telinganya. Kalimat gadis itu seolah menjadi kunci dari pintu yang selama ini tertutup—yang Ichigo cari—yang mampu menghentikan hujan abadi di dunianya sejak pria itu mengenal apa itu rasa kehilangan.

Ia ingin memiliki, karena ia pun tak ingin sendirian. Ichigo selalu kesepian. Dan Rukia bersedia untuk berdiri di sisinya seperti sekarang.

Tanda ini. Ichigo mungkin telah berada di ujung penantian panjangnya.

Rukia memelototi Ichigo seperti ingin memarahi. Ia mengajari Ichigo agar pemuda itu mengingat cara bernapas dengan benar. Mengalihkan perhatian Ichigo dengan bibir kecil yang terus bergerak-gerak.

Pria itu mulai mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa ia bisa berakhir masuk ke dalam kediaman Rukia seperti ini.

Ichigo bermimpi. Lalu ia sulit mengkoordinasikan seluruh anggota tubuh saat ia berhasil terjaga. Nyaris seperti terserang apraksia. Dan Ichigo tak tahu cara menanganinya.

Dengan pikiran yang acak, Ichigo hanya tahu ia harus mencari seseorang. Dan hanya sosok Rukia yang saat itu melintas dalam otaknya.

Ichigo cukup kesulitan ketika harus keluar dari kediamannya tanpa bantuan. Ia oleng berulang kali dan harus melukai diri untuk menjaga kesadaran.

Ichigo hampir terjun bebas ke lantai dasar saat berusaha melewati jembatan. Namun Ichigo berhasil selamat dengan membanting diri ke arah spot meja, dan berakhir dengan kepalanya yang terluka.

Sungguh ironis. Sekali lagi. Ichigo memperlihatkan sisi terlemahnya. Dan tentu, tanpa ia sadari.

Rukia yang tahu Ichigo berhasil menguasai diri lagi dengan cepat menarik tangannya. Mundur selangkah. Menyembunyikan tangan itu di belakang tubuhnya.

"Kau … sudah merasa lebih baik?" nadanya canggung.

Ichigo tidak menjawab. Ia hanya menatap.

"Aku akan mengambil kotak P3K dan menghubungi Ryūken-dono. Tetaplah di si—"

Ichigo menarik pinggang Rukia. Meletakkan gadis itu untuk duduk tepat di sampingnya. "—Kau lah yang tetap di sini."

Seperti bocah yang tak pernah berbuat dosa, Ichigo mencari salah satu tangan Rukia. Mengambilnya. Lalu membawa tangan itu kembali menepuk sebelah pipinya.

Terjadi tarik menarik tangan di sana.

"He-hey, apa yang kau lakukan? Lukamu harus segera kuobati—"

"Tidak salah," Ichigo hanya ingin memejamkan mata, menahan tangan Rukia di sana.

"Ichigo?"

Ichigo membuka mata. Menatap Rukia langsung ke lubang lensa.

"Tanganmu. Tanganmu sangat hangat seperti milik ibuku."

Mendadak melunak, Rukia termangu bingung harus menghadapi pria pesakitan ini dengan cara seperti apa. Menurut Rukia, Ichigo mungkin memiliki kepribadian ganda.

Ichigo meremas tangan kecil Rukia di pipinya.

"Jawab aku. Kau sering memegang tanganku?"

"Ha-hah?"

Ichigo menurunkan tangan itu. Menggenggam jari-jari Rukia dalam kepalan jemari besarnya. Mengamati sekaligus mengagumi.

"Aku seperti sangat mengenal tangan ini. Kau selalu menggenggam tanganku ketika di rumah sakit?"

Rukia menarik cepat tangannya. Duduk bergeser menjauhi Ichigo. Ia balik badan.

"Tidak. Itu hanya perasaanmu saja."

Pria itu ingin menarik Rukia kembali menghadapnya. Memaksa gadis itu untuk menjawab dengan benar pertanyaan seriusnya.

Tangan Ichigo sudah terjulur. Namun berhenti sebelum berhasil menyentuh bahu Rukia.

Ada sesuatu yang mengganggu Ichigo. Perasaan yang rumit dan Ichigo tidak tahu harus menyebutnya dengan apa.

Ada rasa takut saat Ichigo ingin melakukan tindakan kasar kepada Rukia. Perasaan itu semakin menguat sejak kejadian di pesta Noches—di mana Ichigo berniat mengklaim Rukia di depan umum—yang berakhir dengan ia tak sanggup mencumbu karena tak ingin melihat Rukia menangis.

Ichigo menyimpan tangannya lagi. Kalut. Berdecak resah. Mengutuk diri. Ia berakhir duduk bersandar. Menatapi langit-langit seperti sibuk dengan isi pikirannya.

Ichigo tidak mungkin mengelak jika akhir-akhir ini ia sering uring-uringan jika sudah menyangkut tentang Rukia dan kakak ipar. Ia juga memikirkan Rukia hampir sepanjang waktu. Saat bangun tidur, saat mandi, saat beraktivitas bahkan sampai tertidur lagi. Rukia selalu menggentayanginya.

Oleh sebab itu, tak seharusnya Ichigo menahan diri seperti ini. Karena, jika Ichigo melakukannya, ia akan berakhir dengan satu kehilangan lagi.

Akhirnya, Ichigo menghela napas seperti ingin memulai sesuatu. Denyutan pada luka-lukanya pun sudah tak ingin ia hiraukan. Ichigo harus mengatakannya sekarang.

"—Rukia, aku ingin bicara."

"—Hm," jawabnya tanpa menoleh.

Ichigo menatap seperti menimbang sesuatu. "Kurasa … aku membutuhkanmu."

Tak percaya dengan pendengarannya, Rukia balik badan.

Tahu gadis itu berpaling, Ichigo otomatis berusaha mematri mata Rukia—ekspresi ragu beradu dengan keseriusan.

Tak mendapat tanggapan, Ichigo bergeser maju. "—kukatakan. Aku membutuhkanmu."

Kalimat itu. Rukia pernah mendengarnya. Namun keluar dari bibir pria yang berbeda.

Sebuah kalimat sederhana yang pernah menghancurkannya sekali. Dan Rukia tak ingin dihancurkan untuk yang kedua kali.

Setelah semua yang terjadi, gadis itu tak berharap kalimat tersebut terucap dari mulut Ichigo. Pemuda itu pasti ingin menggunakannya, memanfaatkan keberadaan Rukia seperti apa yang telah Byakuya lakukan kepadanya.

Rukia yang syok hanya bisa diam menatap—ia sudah hilang fokus sepenuhnya.

Perlahan namun pasti. Jarak di antara mereka kian terpangkas tanpa mampu Rukia sadari. Wajah Ichigo semakin mendekat. Mendatanginya begitu lambat.

Bibir terluka Ichigo terus bergerak. Namun Rukia tak bisa mendengar satu kata pun keluar dari sana.

Wajah melankolis itu. Dan mata redup itu. Visual di depan Rukia seperti meniru tayangan slow motion—seakan-akan Ichigo ingin meyakinkan Rukia bahwa ia bisa berhenti kapan pun jika gadis itu tidak menginginkannya.

Tangan Ichigo mencari tangan Rukia, menggenggam lebih erat dari sebelumnya. Tangan lain meraih pipi bulat Rukia, ibu jari bermain di sana.

"Aku tidak akan mengulanginya lagi—mulai malam ini dan seterusnya, aku ingin tinggal di sini bersamamu. Aku membutuhkanmu."

Ichigo telah membuka lebar pintu hatinya. Jawaban Rukia akan menjadi penentu dari segalanya.

Bersambung


CC:

CH08 akhirnya update bulan ini sesuai trolling iseng di FB.

Makasi untuk pembaca yang telah unjuk jari mendukung kelanjutan SKS, temen2 FB tercintah, ArisanTante & non-account-readers [QRen, RukiChigo, Mamegoma, Ulvha, darries, CiElAnGeL, Hunter, Dhims].

Di chapter depan akan ada sesuatu juga. So, stay tuned yea.

Agizera