Season I


SI KELABU SENJA © Hepta Py

BLEACH © Tite Kubo

Warning: Incest, Dramatisasi, OOC

Main Characters : Kuchiki Byakuya, Kuchiki Rukia, Kurosaki Ichigo


XXXXXXX


Punggung pria itu rela terekspos demi merengkuh pasangan seranjangnya. Punggung yang terlalu jelita dimiliki oleh pria angkuh nan kuat sepertinya. Tembok bidang itu tengah menutupi seorang dara yang masih terlelap dalam alam bawah sadarnya. Bermimpi indah setelah menuai kenikmatan bercinta.

Pemandangan yang terlalu menyilaukan mata—kedua sejoli yang amat mesra. Seakan tak ada seekor nyamuk pun yang berani mengusik ketentraman mereka.

Sayang, si dara yang sedari tadi meringkuk di balik bahu kokok sang pria kini mulai bergerak gelisah. Ia merasa tergelitik oleh iringan napas hangat yang membentur langsung hidungnya—menandakan bahwa ada seseorang yang kini berkedudukan tepat di depan wajahnya.

Kelopak dari indigo terbuka perlahan. Pandangan wanita itu samar-samar menampakkan secercah citra seorang pria yang amat dikenalnya. Hanya menggerakkan kedua lensa, wanita itu menyusuri objek di depannya dengan seksama.

Dagu yang tirus, bibir yang elok, rahang yang tegas dan mata—kelopak itu menyembunyikan si kelabu yang mampu meluluhkannya.

Tiba-tiba saja, jelita bernama Kuchiki Rukia itu menampakkan wajah lapuk. Kedua sklera matanya berkaca-kaca. Ia raih wajah dihadapannya dengan sebelah tangan yang beringsut menyela di balik kurungan pria itu—menautkan sela-sela jemari dengan surai panjang pemilik singgasana hatinya—Kuchiki Byakuya.

Ia mengelus untaian rambut panjang yang membingkai wajah setengah ayu kekasihnya. Membelai mesra. Berharap si kelabu akan menampakkan pesonanya kembali.

"Nii-sama…," ia lantas membatin, memanggilnya berulang kali bak kalimat sihir.

Mantra yang terucap dari lubuk hati itu seakan benar-benar mujarab memanggil jiwa si pria yang sempat berkelana. Sepasang pupil kelabu tajam kini membuka secara perlahan, menelisik cepat—siapa gerangan yang kini menyentuh dirinya dengan penuh sayang.

"Ru…kia," ucapnya lemah hampir mengerang.

Rukia meneteskan air mata bahkan sebelum ia sempat menyadarinya. Saat didengar namanya benar-benar terlisan di balik bibir pasangannya itu—yang semula ia anggap sebagai delusi. Dia nyata. Kebenaran bahwa aktivitas menggairahkan semalam benar-benar ia lakukan dengan seseorang yang diharapkannya, membuat Rukia tak mampu menahan tangis.

Byakuya meraih tangan Rukia yang sejak lalu bertengger di pipinya. Menggenggam tangan itu seperti menguatkan kekasihnya. Byakuya kembali memejamkan mata, mengingat-ingat kehangatan yang sempat diberikan Rukia kepadanya.

"Terima kasih, Rukia—" pangeran yang telah luluh itu berkata dengan suara rendah.

Rukia terhanyut dalam buaian konsonan yang dilantunkan Byakuya untuknya. Pria yang angkuh, dingin, dan kaku itu kini turut memujanya.

Byakuya membuka kembali jendela matanya. Menatap kedua ametrin yang kini bersinar hanya untuknya. Gadis itu telah resmi menjadi miliknya.

Pria itu mengusap pipi Rukia. "Jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu," gurat keraguan tak tampak di wajahnya.

Kalimat itu bagai heroin yang dengan seketika mampu membuat angan Rukia melayang. Membuat Rukia terdiam. Byakuya yang mungkin terlalu lelah menunggu si wanita yang tak juga merespon dirinya, kini mengambil inisiatif untuk memeluk erat kekasih terlarangnya. Sengaja menempelkan polos dengan polos hingga menciptakan gesekan gairah yang menghangatkan seluruh asa dalam tubuh mereka.

"Katakan sesuatu, Rukia," Byakuya yang mulai khawatir hanya ingin mencumbu pundak kekasihnya.

Ketika sadar, Rukia merayapkan telapak tangannya untuk meraih punggung tegap Byakuya. Sejujurnya, ia menginginkan kehangatan lebih untuk debaran di seluruh tubuhnya. Wanita kecil itu ingin tenggelam dalam tubuh besar kakaknya, yang hangat dan mempesona.

"Nii-sama, tetaplah memelukku seperti ini," pintanya sembari mengecup dada Byakuya. "Nii-sama sangat hangat."

Byakuya mengguratkan dahi. "Seharusnya kau tidak mengatakan hal itu, Rukia. Saat ini kau tidak memiliki pertahanan sama sekali," ia menasehati, permintaan adiknya itu bisa saja membuat gairahnya kembali terbangun.

Rukia yang mungkin terlalu polos menangkap maksud Byakuya malah semakin kukuh akan permintaannya. "Kumohon, Nii-sama. Kali ini—jangan menasehatiku."

Antara yakin dan tak yakin. Byakuya membiarkan saja bagian yang kini mulai hangat di antara pahanya. Ini adalah hal wajar, berpelukan dengan tubuh telanjang—dengan sesuatu yang diminatinya—tentu akan menggugah gairah yang mungkin masih mampu ia kendalikan saat ini.

Rukia terperanjat kecil merasakan bagian panas itu. Ia mulai menginginkan hal semalam terjadi kembali.

Byakuya masih terdiam, berusaha mengabaikan hasrat bercintanya yang mulai tergugah kembali. Lain halnya dengan si jelita kecilnya—wanita itu resah.

Rukia mengangkat wajah, bertatapan. "Nii-sama, ku-kurasa nasehat itu cukup benar, dan sekarang…,"

Belum sempat Rukia menyelesaikan kalimatnya, pria dengan perbedaan tinggi yang fantastis dengan pasanganya itu kini mengambil posisi berbahaya—tiba-tiba saja ia berada di atas kekasihnya.

Tentu Rukia sangat terkejut.

"Kau yang memulainya."

Kalimat itu diakhiri dengan binar kelabu yang sudah menghitam oleh nafsu. Pria itu langsung menggunakan bibirnya untuk melahap bibir Rukia. Melakukan ciuman dalam menggunakan lidahnya. Sebelah tangan besarnya meraba lutut Rukia, terus turun ke paha dan berakhir di pangkal.

Basah.

"Mungkin sejak awal kau ingin memintanya lagi dariku, Rukia. Kau hanya perlu mengatakannya."

Rukia merona menanggapi cemoohan itu. Jangan salahkan Rukia jika perbuatan Byakuya semalam telah membuatnya kecanduan. Ini adalah keadaan yang membuat Rukia tak bisa menolaknya. Kebutuhan biologis yang diperkenalkan duda itu sudah tertanam kuat di otaknya.

Ia menginginkan rasa bercinta.

Byakuya menajamkan matanya hingga kilat terlihat menembus ke pupilnya. Hal itu seolah meyakinkan Rukia bahwa Byakuya pasti mampu membawa wanitanya itu menuju kenikmatan yang tiada tara. Mantan gadis itu hanya meneguk ludah. Keseriusan Byakuya membuatnya cukup takut.

Mungkin untuk mempercepat persiapan mereka. Byakuya tak ragu ataupun malu menggesek-gesekkan miliknya dengan milik kekasihnya.

Bermain di sana. Dengan nakalnya.

"A-apa… yang… ah… kau lakukan, Nii-sama?" Rukia tidak menduga kakaknya bisa melakukan hal seperti ini.

Jika di atas ranjang, Rukia rupanya masih belum cukup mengenal sosok kakaknya sebagai seorang pria yang sudah matang. Ini membuat Rukia semakin tergila-gila pada kakaknya.

Byakuya mengecup kelopak mata Rukia yang terpejam. Menginginkan wanita itu tidak mengabaikannya.

"Jangan tutup matamu."

Pria itu merasa tidak dihargai jikalau pasangan bercintanya meraup kenikamtan sendiri dalam kegelapan. Ia ingin Rukia terus menatapnya, melihatnya yang kini berusaha memberikan kenikmatan birahi padanya.

Akhirnya Rukia menahan dan menikmati sensasi itu dengan terus memandang Byakuya. Ia benar-benar malu menunjukkan wajah-ingin-nya. Ia malu bahwa apa yang dilakukan Byakuya sekarang memang sangat disukainya. Ia merasa tak sabar lagi.

"Rukia… Rukia…," panggil Byakuya seperti memberi peringatan.

Rukia mencari bahu Byakuya. Menjadikan bahu itu sebagai penangguh rasa yang mungkin akan mengaliri seluruh tubuhnya.

Byakuya mulai membungkam bibir ranum Rukia sembari memasukkan perlahan kunci kenikmatan mereka. Masih tak lancar dan kaku. Mungkin pengalaman sekali masih belum mampu membuat Rukia mahir dalam bercinta.

Byakuya mengelus rambut kekasihnya. Kemudian memindahkan area kecupan pada leher mitra seranjangnya. Memberi tanda kemerahan di sana.

"Rileks, Rukia...," ujarnya berbisik sembari mengecup berulang kali bahu kekasihnya.

Rukia masih diam seribu bahasa, berusaha tidak berteriak seperti sebelumnya. Hanya cengkraman kuat yang dirasa Byakuya cukup untuk membuktikan bahwa miliknya terlalu menyakiti pasanganya.

"Sakit seperti sebelumnya?"

Rukia menganguk, bibirnya terbuka untuk mengeluarkan sebuah erangan.

Byakuya kini beralih untuk memandang Rukia ragu. Pesona Byakuya benar-benar membuat Rukia sudah tak mampu membedakan antara sakit dan nikmat.

"Aku bisa menghentikannya jika kau yang meminta," tawarnya mencoba untuk mengerti.

Mungkin perbedaan usia merekalah yang membuat keduanya merasa saling mengisi satu sama lain. Rukia yang tersentuh oleh pengertian Byakuya dengan cepat meraih punggung pasangannya. Membelenggunya agar Byakuya tidak menyudahi aktivitas mereka.

"Jangan meninggalkanku."

Mungkin kalimat itu cukup ambigu untuk pertanyaan yang tadi dilontarkan Byakuya. Namun pria dewasa itu mengerti, bahwa sederet kalimat itu cukup mewakili bahwa Rukia ingin melanjutkan kegiatan erotis ini.

"Aku tidak pernah berkata akan meninggalkanmu, Rukia."

Setelah yakin mendapat persetujuaan wanita di bawahnya, dengan tanpa ragu lagi, pemilik tahta kebangsawanan Kuchiki itu kembali melanjutkan penetrasinya hingga tertanam sempurna dalam diri Rukia.

Wanita itu sampai mengangkat dagu maksimal saat titik dalam dirinya tertusuk oleh kenikmatan. Menghantarkannya pada klimaks pertama yang sama sekali tidak ia duga. Ternyata pengalaman kedua begitu menggairahkan sehingga membuatnya takhluk hanya dengan satu gerakan.

Byakuya tersenyum kecil seraya mengamati wajah Rukia. Wanita itu mengerang cukup kuat, bibirnya terbuka dan saliva perlahan lolos dari mulut. Rukia sudah hilang akal sepenuhnya.

Saat wanita itu melihat kembali ke wajah Byakuya yang tenang, sepasang indigo sudah menggelap. Wanita itu ingin lebih.

"Jangan terburu-buru, Rukia," tukas Byakuya sembari merasakan begitu nikmatnya rasa persatuan mereka.

Rukia menggeliat resah. Ia ingin benda membengkak dalam dirinya untuk segera bergerak. Ia gatal menunggu perpanjangan itu terayun memasukinya. Namun Byakuya tak juga menggerakkannya.

"Aaah… Nii-sama… kumohon…,"

Byakuya masih tetap memandangi wajah Rukia yang menurutnya sangat menggairahkan. Wajah wanita itu benar-benar membuat insting kelelakiannya membuncah.

"Kau terlihat menikmatinya. Aku senang," ujar Byakuya tenang.

Rukia yang mungkin sudah tak sabar lagi kini meraih wajah Byakuya. Menginisiatif pasangannya untuk segera bertindak dengan semacam isyarat. Byakuya sebenarnya tahu apa yang sedang diinginkan adiknya. Hanya saja ia ingin wanita itu bersuara. Sejak tadi wanitanya ini hanya bertindak pasif, Byakuya ingin mengajari adiknya untuk lebih mampu menggoda hasratnya.

"Nii-samh… engh… ke-kenapa kau…,"

"Hm?"

"Ti-tidak… me… melakukannya…,"

Byakuya mengecup ujung bibir Rukia, terus menjalar ke garis rahang hingga di bawah telinga. "Katakan lebih jelas, aku tidak bisa mendengarmu."

Rukia meneguk ludahnya. Napasnya kian terengah. Sensasi di bawah sana semakin membuatnya gila. Namun rasa malu jauh lebih menguasainya. Rukia pun mengurungkan diri. Melihat pria tampan kini tengah menaikinya bukanlah hal mudah untuk diterima otak warasnya. Wanita itu memilih untuk membuang wajah dan pasrah.

Byakuya mengejar wajah itu. Mengecup pipi Rukia seraya membisikkan sesuatu padanya. "Jangan memperlihatkan wajah kecewa padaku," Byakuya menarik pinggulnya. "Akan kumulai sekarang."

Mungkin sejak saat itu bibir milik Rukia tak pernah tidak untuk terus mengikrarkan simfoni kenikmatan yang menggelora, memacu derasnya keringat, memicu gairah dan menyulut laju gerakan.

Biduk persaudaraan penuh dosa itu mengais kenikmatan terlarang atas nama cinta yang telah mereka panjatkan bersama. Karena mereka yakin, persaudaraan di atas hitam dan putih bukanlah salah satu alasan untuk menolak rasa kasih dan sayang. Terlebih cinta.

Gelora asmara Rukia terhadap kakak angkatnya bukanlah suatu kesalahan.


XXXXXXX


Sang fajar sudah sejak dini menempati singgasananya sebelum Rukia mampu membuka kedua mata.

Seluruh tubuhnya terasa amat penuh dan hangat—mungkin karena aktivitas asing yang ia lakukan dua kali dalam semalam—membuat ia enggan untuk terjaga.

Belia itu mengambil posisi duduk dan menguap kecil. Ia tolehkan kepala pada sisi lain ranjang—kosong. Namun ia tahu, seprai yang tak beraturan di bawahnya sudah menjadi saksi bisu yang cukup untuk menerangkan bagaimana hebatnya aktivitas mereka semalam.

Tangan wanita itu menghinggapi dadanya yang tiba-tiba bergemuruh.

"Tu-tunggu!" pekiknya terhentak di atas kasur.

Dengan cepat Rukia menyoroti penampang tubuhnya yang kini sudah terlapisi apik oleh sepasang piama tidur. Meraba-raba hampir tak percaya. Sejurus kemudian pipinya merona hebat.

"Nii... Nii-sama memakaikan baju kepadaku? Memakaikan? I-ini tidak mungkin!"

Malu dan tak percaya. Mungkin inilah tindakan gentle yang dilakukan sang kakak padanya. Byakuya takut jikalau adiknya syok saat mendapati seluruh tubuhnya polos. Pemikiran yang bijak dan dewasa. Membuat dada Rukia menghangat.

Ia tersenyum seraya bersenandung.

Baru saja Rukia ingin beranjak dari kasur, hidungnya mencium aroma susu cokelat dan sereal yang amat ia sukai. Dan beruntungnya Rukia, benda itu sudah berdiri tegak menghiasi meja. Rukia semakin yakin, pasti kakaknya yang melakukan semua ini.

"Dia pengertian sekali. Aku memang benar-benar sangat lapar."

Baru saja Rukia akan meraih secangkir susu coklat hangat itu, ia teringat akan satu hal yang penting. Bukankah setiap pagi pelayannya selalu masuk untuk membangunkan Rukia dan membersihkan kamar?

"Tidak mungkin!"

Dengan cepat wanita itu mencari letak di mana jam dindingnya terpajang. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi, membuat keringat dingin meluncur dari dahi Rukia. Ia takut jikalau si pelayan sudah mendapati dirinya yang tengah tak berbusana lalu melaporkannya pada—

Rukia tiba-tiba dikejutkan oleh deringan handphone miliknya. Dengan cepat wanita itu menyusuri ranjang—mencari asal muasal bunyi itu terdengar. Begitu didapatinya dan tahu nama siapakah yang tertera, dengan semangat empat lima ia menjawab panggilan tersebut.

"Nii-sama!" pekiknya tak tanggung-tanggung.

"Rukia," sepertinya si kakak tetap datar seperti biasa.

"Nii-sama, sepertinya hal itu... ah! Tidak, maksudku... itu... kurasa... begini... ada—"

Byakuya tersenyum kecil di balik handphone miliknya.

"Tenanglah, Rukia. Aku lah yang memakaikan baju itu untukmu," ujarnya berusaha menahan tawa, "Dan apakah cokelat hangatmu sudah kau minum? Itu akan membuatmu merasa lebih baik."

Rukia masih tak mampu mencerna benar perkataan kakaknya. Ia terlalu kacau untuk saat ini.

"Ta-tapi Nii-sama, tidakkah pelayan yang melaku—"

"Tenanglah, Rukia. Perlahan saja."

Rukia mencoba mengambil napas pendek-pendek. Didamparkannya si punggung pada sandaran ranjang. Mencoba untuk sedikit rileks lagi dari sebelumnya.

"Jangan cemas, Rukia. Semuanya akan baik-baik saja. Apa yang kita lakukan semalam bukanlah suatu kesalahan, kau mengerti?"

Rukia baru menyadarinya. Memang benar semua ini mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun pada dasarnya Byakuya tak ingin membuat semuanya menyulitkan. Entah ada orang yang tahu ataupun tidak, bernilai sama bagi Byakuya. Pria itu pastilah bertanggung jawab.

Rukia mengangguk. "Aku mengerti, Nii-sama," ujarnya masih meragu.

"Rukia," panggil Byakuya kalem.

"Y-y-ya?" sekali lagi Rukia membata, membuat Byakuya semakin mencemaskan adiknya.

"Apakah tubuhmu baik-baik saja?"

Rukia terjingkat, diberi pertanyaan seperti itu membuatnya gelagapan kembali. "A-aku baik-baik saja! Sangat baik!"

"Benarkah?"

Rukia menanggapinya dengan berlebihan. Wanita itu hampir berteriak untuk menjawab pertanyaan normal sang kakak. Rukia menggenggam erat handphone-nya seraya mulai beringsut menuju ke sisi ranjang. Berencana untuk bangun dari aktivitas hibernasinya.

"Te-tentu saja, Nii-sama. Aku sangat tidak apa-a...,"

Bruk!

Baru saja Kuchiki itu menegakkan tubuh di atas lantai, rasa nyeri yang amat sangat membuat tubuhnya oleng dan kakinya melemas. Rukia roboh di atas lantai dengan seketika hingga handphone miliknya turut membentur lantai sampai terlempar cukup jauh darinya.

Byakuya mendengar jelas bunyi benturan itu. Ia bangun cepat dari sandaran empuk kursi panasnya.

"Rukia? Rukia!"

Tubuh kecil mantan gadis itu kini meringkuk. Menahan sakit atas hilangnya keperawanan dalam dirinya. Ia baru menyadari bahwa apa yang disebut manis pastilah berbuah pahit setelahnya.

"I-ini sakit sekali," gumamnya.

Rukia mengulurkan sebelah tangan untuk meraih handphone miliknya yang terpental. Menggapainya dengan susah payah dengan cara merayap-rayap.

Begitu handphone itu tertempel kembali pada telinganya. "Ya? Ha-halo?"

"Rukia!" Byakuya hampir berteriak panik untuk memastikan keadaan wanitanya.

Teriakan Byakuya mengejutkan Rukia yang masih sempoyongan untuk bangun dari lantai. Ia sedikit menjauhkan interval antara telinga dengan loudspeaker handphone-nya.

"Um, ya, Nii-sama. Maaf, tadi handphone milikku terjatuh."

"Kau baik-baik saja?" nada cemas itu terdengar sangat jelas.

Rukia menghela napas. "Aku baik-baik saja, Nii-sama. Tadi hanya... itu... tergelincir! Ya! Handphone-ku tergelincir!"

"Tergelincir?"

"Ma-maksudnya tanganku sangat berkeringat jadi handphone itu terlepas dari tanganku."

Jeda sejenak mengisi percakapan mereka yang tertunda. Rukia memilih untuk bungkam dan menahan rasa sakitnya dengan menarik napas pendek-pendek.

"Apakah kau berbohong padaku?"

Byakuya yakin, adiknya pasti tidak sedang baik-baik saja. Bagaimana pun juga rasa itu adalah hasil dari perbuatannya. Wajah Rukia nampak merona. Ia memang tak pernah berkata bohong pada kakak perfeksionisnya.

"Hanya se-sedikit, Nii-sama."

Byakuya benar-benar mulai beranjak dari meja kerjanya. Ia tahu bahwa ia tak seharusnya meninggalkan Rukia. Wanita itu masih terlalu gadis untuk bisa menghadapi hal sedewasa itu seorang diri. Byakuya cemas berat.

"Baiklah, aku akan segera ke sana. Aku akan menemanimu."

Rukia membulatkan mata. "A-apa? Tidak perlu Nii-sama! Aku akan baik-baik saja. Sungguh! Sebenatar lagi rasa sakitnya juga hilang."

Rukia mencengkram kuat dadanya. Keinginan untuk disambangi pria pujaannya benar-benar menggiurkan. Sejujurnya ia senang jikalau pria itu singgah di sampingnya saat ini, memeluknya dan memberi kecupan manis di dahinya.

Namun entah kenapa, rasa malu menghinggapi hati Rukia. Ia benar-benar tidak memiliki muka untuk bertemu dengan kakak angkatnya itu. Setelah apa yang mereka lakukan semalam, Rukia rasa ia harus menutup rapat kamarnya agar tak ada seorang pun bisa masuk untuk melihat keadaannya.

Byakuya menghentikan langkah di depan pintu super besar—akses keluar dari gedung pencakar langit yang amat megah. Pria itu tengah berpikir, memang benar ia kini masih berada di kantornya. Mengemban pekerjaan sebagai menteri dalam negeri tidak menganjurkannya untuk meninggalkan kantor ini begitu saja.

Kedudukannya dan tajuk dirinya sebagai bangsawan menguatkan posisi Byakuya yang amat penting di kancah negaranya. Mana mungkin ia membelot kerja hanya karena adiknya atau kekasih terlarangnya sakit setelah ia menidurinya? Ini terlalu tabu.

Byakuya selalu menjadi sorotan media sebagai pria karir tersukses yang banyak menyedot perhatian publik. Apa mungkin dengan tindakan gegabahnya ini akan berdampak besar atas masa depannya kelak?

"Nii-sama? Kau masih di sana?" suara Rukia membuat Byakuya tersadar. Byakuya menggelengkan kepala atas keraguannya.

"Kau tidak ingin aku menemanimu?"

Rukia menggingit bibirnya. Ucapan manis itu seolah merajuk Rukia untuk segera menjerit—memohon si kakak untuk secepatnya berdiri di depannya—kemudian ia akan berhambur mesra menyambut dada kokoh Byakuya yang amat hangat. Menyembunyikan pria itu di balik selimutnya.

"Bukan seperti itu, Nii-sama," ucap Rukia ragu seraya memainkan kain seprainya yang awut-awutan. "Aku tidak tahu harus berwajah seperti apa saat kau benar-benar berada di sini."

Mata Byakuya menyipit. "Kau menyesal telah melakukannya denganku?"

"Ti-tidak!" jawabnya cepat. "Aku hanya... hanya... malu."

Wajah Byakuya melunak, mencoba untuk mengerti perasaan adik tercintanya.

"Aku mengerti jika kau tak ingin bertemu denganku sekarang, tapi aku mengkhawatirkanmu."

Oh tidak, hati Rukia kembali tersentuh. Kakak angkatnya ini benar-benar pandai mempermainkan perasaannya.

"Um… baiklah, datanglah, Nii-sama," kata Rukia lirih.

Byakuya mengerutkan alis. "Kau mengatakan sesuatu, Rukia?"

"Datanglah kemari. Aku... aku juga ingin melihatmu."

Byakuya meraih gagang pintu di depan tubuhnya. Meloloskan tubuh melewati pintu kaca dan dengan segera menuju tempat parkir mobilnya.

"Aku tahu apa yang kau butuhkan. Aku akan segera sampai."


XXXXXXX


Pemuda liar berpawakan sangar itu kini memandangi bosan pintu kediaman Kuchiki yang teramat megah.

Jari telunjuk mengetuk-ngetuk kap mobil merah mentereng yang saat ini ia duduki. Sepertinya lelaki itu tetap tak ingin beranjak meskipun sepasang penjaga sudah terlalu lelah mengusirnya.

"Kalian berisik! Aku hanya ingin menemui Ginrei. Dia yang mengundangku untuk datang ke tempat membosankan ini, Brengsek!"

Kedua penjaga gerbang masih tak mempercayai perkataan bocah badung berambut oranye terang itu. Namun sayang, lelaki bernama remaja itu tidak akan beranjak sebelum ia bertemu langsung dengan Ginrei—kepala keluarga Kuchiki yang entah karena apa repot-repot mengundang anak tak berguna sepertinya kemari.

Mendengar bunyi kendaraan lain. Ichigo menoleh ke belakang. "Cih! Bangsawan? Menyusahkan!"

Sebuah mobil Mercedes hitam berhenti tepat di belakang mobil permakanIchigo. Mobil hitam mengkilap itu terpaksa memarkirkan diri di belakangnya.

Seorang pria matang berpakaian super rapi keluar dari balik pintu dan dengan cepat mendatangi lelaki yang masih juga tak menggubris dirinya. Benar-benar tak sopan dan mengganggu.

"Siapa kau? Apa keperluanmu berada di sini?" Byakuya menilai remaja itu dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Dengan malas, lelaki muda itu turun dari kap mobil dan berdiri beradapan dengan Byakuya tanpa gentar.

"Oh... kau kah si Ginrei itu? Apa yang kau mau dariku? Pembebasan atas dosa-dosamu? Ceh! Belum puaskah kalian merenggut nyawa kedua orang tuaku?"

Byakuya tersentak. Kedua matanya melebar karena terkejut. Pria matang itu tahu sekarang, siapa lelaki muda yang kini dihadapinya.

"Kau salah. Ikutlah denganku," ujar Byakuya setengah hati.

Sejujurnya Byakuya sangat enggan menggiring hama seperti Ichigo memasuki kediamannya. Penampilan pria itu sangat mengkhawatirkan, terlebih jika seandainya kelak, lelaki itu benar-benar akan tinggal serumah dengan dirinya.


XXXXXXX


Begitu Byakuya membuka pintu besar di hadapannya, sosok wanita belia menyambut pria tersebut dengan terjangan—memeluk tubuh Byakuya tanpa keraguan.

"Selamat datang, Nii-sama!"

Byakuya berjalan masuk, menepuk kepala adik angkatnya kemudian mengangkat wajah Rukia untuk memastikan.

"Kau sudah sehat?"

Rukia tersenyum ringan. "Ginrei jii-sama memaksaku untuk keluar kamar."

Byakuya membelai pipi adiknya. "Seharusnya kau tetap tidur jika memang tubuhmu tidak—"

"Oh, ayolah! Berhentilah bermanja-manja dengan istrimu itu. Cepat bawa aku ke hadapan Ginrei. Tempat ini membuatku gerah!" ujar Ichigo yang baru saja masuk melewati pintu.

Rukia merasa asing dengan suara berat itu. Ia mengintip dari balik lengan kakaknya.

"Siapa dia?" tanya Rukia amat lirih dan masih bersembunyi dibalik rangkulan sang kakak.

Byakuya masih tetap menyembunyikan Rukia-nya dari Ichigo. Ia memilih untuk menjawab kesalahpahaman Ichigo dengan nada penuh penekanan.

"Dia bukan istriku. Dia adalah adikku."

Ichigo berjalan mendahului sepasang kakak beradik itu. Memilih untuk segera duduk di sofa nyaman yang sedari tadi diincarnya—duduk sekian lama di atas kap mobil membuat pantatnya kram.

"Ah... begitu? Kurasa kalian terlalu mesra untuk disebut sebagai kakak beradik."

Byakuya mencoba untuk mengacuhkan perkataan lelaki semena-mena tersebut karena ia tahu kakeknya begitu menghormati pria Kurosaki itu. Apa pun keadaannya.

"Kau sudah tiba, Nak Ichigo."

Suara khas pria renta bernama Ginrei memecah keheningan di antara mereka bertiga. Rukia mengambil langkah seribu untuk menjauhkan tubuhnya dari Byakuya. Menghindari kesan tak lazim saat dilihat oleh kakeknya.

Kini Rukia berdiri sejajar dengan Byakuya. Kemudian mereka berdua memberi hormat pada Ginrei dengan serentak.

"Selamat pagi, Ginrei jii-sama."

Pria yang sudah termakan oleh usia itu kini mendekati Ichigo—lelaki yang telah diundangnya. Pria tua itu duduk berhadapan dengan si Kurosaki muda.

"Kau tahu, kenapa aku memanggilmu kemari, Nak Kurosaki Ichigo?" tanya Ginrei seraya menelisik penampilan lawan bicaranya.

"Tidak," jawab Ichigo malas.

Ginrei tertawa masam. Ia memberi isyarat pada Byakuya dan Rukia untuk duduk bersama dengan dirinya—di atas sofa panjang yang berhadapan langsung dengan Kurosaki Ichigo.

Byakuya duduk tepat di samping kakeknya, sedangkan Rukia duduk berjauhan dengan sofa yang sama dengan Ichigo. Wanita itu lumayan heran, karena sungguh tak biasa, Kakek Ginrei mengundang makhluk asing seperti Ichigo ke dalam istananya.

"Kau adalah bangsawan sepertiku. Tentu kau sudah mengetahuinya dari ayahmu," mulai Ginrei sebagai permulaan yang sungguh membuat Rukia harus meluruhkan caciannya, lelaki tak sopan ini adalah bangsawan.

Ichigo mendecih dan memilih untuk merogoh sesuatu di dalam kantung seragamnya. Meraih sepuntung rokok dan menyulut benda itu dengan cepat.

"Hm—Kuchiki Isshin?" ujar Ichigo seraya tertawa rendah. "Nama itu terdengar menggelikan untukku."

Ginrei menundukkan kepala.

"Aku tahu, kesalahanku di masa lalu tidak akan mengubah segalanya," tukas Ginrei kemudian beralih menatap Byakuya. "Isshin adalah putra keduaku, Byakuya. Aku lah yang mengusir pria itu dan mencoret namanya dari silsilah keluarga Kuchiki."

Byakuya tidak terkejut dengan penjelasan kakeknya. Sedikit banyak ia sudah tahu hari ini akan segera terjadi. Namun lain halnya dengan Rukia, belia itu masih juga tak mampu mencerna benar perkataan kakek angkatnya.

Wajar, karena ia hanya anggota pungutan oleh karena saudaranya—Hisana—yang pernah menikah dengan Byakuya.

Kini pandangan Ginrei bersarang pada sosok Rukia yang benar-benar dilanda kebingungan akut.

"Rukia, kuharap kau mau mengerti dan menerimanya," lanjut Ginrei perlahan. "Aku bermaksud baik, ingin menjadikanmu sebagai keluarga sah dari darah kebangsawanan Kuchiki dan mengangkat kembali nama Kurosaki Ichigo sebagai Kuchiki yang terhormat—"

Jeda dilakukan sejenak oleh Ginrei saat kedua mata tuanya mengamati benar perubahan ekspresi Rukia. Saat dirasa cukup, pria tua itu melanjutkan. "Menikahlah dengan lelaki ini."

Ketiga manusia di ruangan itu lantas terkejut hebat. Bukan hanya Rukia ataupun Ichigo—duda yang sedari tadi membisu menjadi salah satunya. Byakuya dengan cepat menatap lekat sang kakek hingga mencondongkan tubuhnya.

"Ini terlalu tiba-tiba, Jii-sama. Kenapa tiba-tiba saja Jii-sama menjodohkan Rukia dengan lelaki sepertinya?"

Pria renta itu tak menggubris perkataan Byakuya yang terlalu ngotot padanya—benar-benar tak seperti Byakuya yang biasanya. Ginrei memandang wajah Ichigo, mengamati benar ekspresi datar cucu buangannya.

"Nak Ichigo, mulai sekarang kau akan tinggal di sini sampai namamu benar-benar dipulihkan menjadi Kuchiki. Kau akan menjadi cucuku sekaligus calon menantuku."

Karena tidak ada tanggapan, Ginrei memutuskan untuk berdiri. Namun dengan cepat pula disongsong oleh Byakuya—mencegah kepergian kakeknya begitu saja. Pria dewasa yang tengah dilanda kekecewaan berat itu menghadang Ginrei, meminta penjelasan lebih masuk akal atas keputusan kakeknya.

"Jii-sama! Lelucon apa ini? Kenapa Jii-sama memutuskan hal itu hanya sepihak? Jii-sama tidak bisa menjodohkan Rukia begitu saja."

Rukia menundukkan kepala. Inilah mengapa ia membenci sebuah predikat kebangsawanan. Hal itu—Kuchiki—pasti akan menimbulkan masalah untuknya. Para bangsawan yang selalu semena-mena.

Namun mereka tidak menyadari satu hal. Sepasang mata elang milik Ichigo secara diam-diam memperhatikan gelagat Rukia dan Byakuya secara bergantian. Ichigo tahu sesuatu—sesuatu yang menarik. Dan ia ingin menggali hal itu lebih dalam.

Ichigo benar-benar ingin bermain, sekaligus membalaskan dendam keluarganya. Pancaran mata lelaki muda itu berkilat. Ia sudah memutuskan mangsanya.

Menghancurkan Kuchiki, itulah tujuannya.

"Aku terima," ucap Ichigo santai.

Rukia, Byakuya dan Ginrei lantas menoleh serentak.

"Aku akan tinggal di sini. Dan mulai sekarang," kata Ichigo seraya mendekati Rukia. "Kau," ucapnya sembari menarik bahu Rukia. "Akan menjadi milikku."

Ikrar itu terucap dan ditutup oleh sebuah ciuman. Tanpa ba-bi-bu Kurosaki Ichigo mencium bibir Rukia di depan Byakuya dan Ginrei. Dan di balik ciuman dingin itu Ichigo menyeringai tajam.

"Permainan akan segera dimulai."

Bersambung


CC :

Fiksi ini bertemakan berat dan akan menitikberatkan pada prahara keluarga bangsawan yang memiliki tradisi-tradisi aneh, pergolakan hidup yang bersifat mayor dan gejolak dendam yang terselubung. Jika bisa menambah, fiksi ini pun akan mengandung genre Crime dan Angst. Semoga bisa diterima dan terhibur ya.