Am I Wrong to Love You?

(Part 2 - End)

By:: Anita Lee Del Vongola

Rate:: T

Genre:: Romance, Angst *I don't think this story can be called Angst*

Warning:: Shounen-ai (Boys Love), AU, OOC, Incest, Genderswitch, Misstypo(s), Chara Death.

Pairing:: ChenMin (JongMin) slight YeFem!Wook and EXO pairings

Disclaimer:: I don't own them.


Review's reply:

StringKyu893-ssi: Ini sudah dilanjut~ :) Gomawo atas review-nya..

putriii-ssi: Humm.. Gimana ya? Semuanya bakal terjawab di last chap ini.. Btw, gomawo review-nya~ :)

ajib4ff-ssi: Minhae kalo genre-nya Angst, lain kali nggak bikin yang Angst deh.. (especially ChenMin). Gomawo review-nya~ :)

Akita Fisayu-ssi: Ini udah update~ Eh.. Mianhae kalo kali ini saya menyiksa our cutest couple in EXO.. T_T. Tapi lain kali nggak deh.. Gomawo atas review-nya~ :)

Then, terima kasih untuk yang sudah me-review dan membaca chap sebelumnya~ :)

Saya sangat berterimakasih sekali~ #bow

Now, let's continue the story~ :)


"Eomma, appa, aku ingin meminta sesuatu."

Minseok kini sedang makan malam bersama dengan kedua orang tuanya dan tidak lupa juga Jongdae. Tapi sejak kemarin malam setelah kejadian "itu", Jongdae memilih diam tidak menggubris Minseok. Ia bahkan menghindari Minseok meskipun hyung-nya itu telah berusaha mendekatinya serta menganggap kejadian "itu" hanya angin lalu. Namun tidak untuk Kim Jongdae.

"Ne, kau mau minta apa Minnie-chagi?" tanya eomma Minseok, atau bisa dipanggil Ryeowook jika ingin tahu namanya yang sebenarnya.

"Aku ingin tinggal di flat, eomma," jawab Minseok. Ryeowook dan suaminya, Yesung terdiam, Jongdae yang sejak kemarin tidak menganggap Minseok pun ikut teralihkan perhatiannya. Hyung-nya ingin tinggal sendirian?

"Wae Minseok? Kenapa tiba-tiba kau ingin tinggal di flat?" tanya Yesung kemudian.

"Aku ingin hidup mandiri, appa. Dan selama itu aku akan mencari penghasilan sendiri," terang Minseok. Yesung mengangguk mengerti, tapi tidak bagi Ryeowook.

"Tapi chagi, eomma khawatir padamu. Apa kau tidak bisa tinggal bersama kami saja?" pinta Ryeowook pada putra sulungnya itu yang dibalas gelengan dari Minseok.

"Tidak eomma, aku sudah dewasa. Aku hanya ingin belajar mandiri, itu saja. Jika kuliahku sudah selesai, aku akan kembali. Eomma juga bisa mengunjungiku sesekali kan?" rajuk Minseok pada Ryeowook yang tak rela jika harus berpisah sementara dengan putranya.

"Tapi chagi–"

"Sudahlah Wookie, sudah waktunya Minseok untuk mandiri. Biarkan dia memilih jalannya sendiri, dan kita yang mendukungnya," nasehat Yesung. Ryeowook mengangguk, meski agak tak rela dengan keputusan Yesung yang juga mendukung Minseok.

"Baiklah..Jika kau butuh sesuatu, eomma akan segera mengirimnya, arasseo Minnie-chagi?"

"Ne, eomma."

"Ngomong-ngomong kenapa kau diam saja Jongie-chagi?" Ryeowook yang menyadari ada yang tidak beres dengan Jongdae segera bertanya. Jongdae hanya menggeleng.

"Gwaenchana eomma, mungkin Jongdae sedang banyak pikiran. Ya kan, Jongdae-ah?" ucap Minseok meminta persetujuan. Jongdae melirik sedikit ke arah Minseok.

"Hn.."

Ryeowook merasa ada yang tidak beres dengan Jongdae, ia berbisik kepada Minseok.

"Chagi.. Apa Jongie sedang ada masalah? Kalian bertengkar?" Minseok agak terkejut mendengar pertanyaan Ryeowook, namun dengan cepat ia mengelak.

"Ani eomma. Mungkin Jongdae kelelahan, kami tidak bertengkar kok."

Ryeowook menghembuskan napasnya lega. "Eomma kira kalian sedang bertengkar karena suatu hal. Kami kan kemarin sedang pergi, jadi kami tidak tahu apa yang terjadi."

Minseok terdiam. Bohong jika ia mengatakan tidak hal yang terjadi antara dia dan Jongdae. Namun semua itu sudah dikatakannya kepada eomma-nya, dan ia tak bisa menarik kata-katanya kembali. Itu semua demi kedua orang tuanya dan Jongdae.

Ya, demi mereka.


Namja bermata elang itu belum beranjak dari tempatnya sejak tadi. Ia tak bergerak dari posisinya yang tengah bersandar di tembok dekat pintu kamar seseorang yang ditunggunya. Sekali-kali ia menengok ke arah tangga yang menghubungkan lantai tempat ia berada dengan lantai satu rumahnya. Untuk melihat apakah sosok yang ditunggunya itu sudah kembali atau belum.

Tap.. Tap..

Ia mendengarnya. Mungkin saja "dia" sudah kembali. Segera ia menoleh menunggu sosok itu tampak dari balik tangga. Dan benar saja, "dia" sosok yang ia tunggu. Mimik serius tergambar di wajahnya, ia harus membicarakan hal penting yang menghantuinya sedari tadi.

Sosok itu semakin mendekati namja mata elang tadi. Terang saja, ia ingin pergi ke kamarnya. Tanpa melirik ke arah namja yang menunggunya, dengan cuek–atau mungkin cuma berlagak–ia melewati namja itu. Merasa tak dianggap, namja itu menangkap tangannya dan mendorongnya ke tembok. Mata mereka bertemu sebentar, namun sosok yang sedikit lebih pendek darinya itu melengos mengalihkan pandangannya ke samping, tak mau menatap sorot tajam dari namja itu.

Brak!

"Kim Jongdae, apa yang akan kau lakukan padaku, huh?"

"Aku ingin kau menatap mataku Kim Minseok. Jangan mengacuhkanku."

Jongdae menatap intens mata Minseok yang teralihkan karena pukulan Jongdae yang disarangkannya di tembok tepat di arah di mana ia menoleh untuk menghindari sorotan mata Jongdae. Minseok menyeringai meremehkan, ia mendengus kecil.

"Siapa yang mengacuhkanmu? Bukannya kau yang mengacuhkanku, hm? Sejak kemarin, bahkan ketika aku mengajakmu bicara seperti biasa. Apa kau tidak sadar, Jongdae-ah?"

Jongdae menyipitkan matanya. Hyung-nya memang benar, tapi…

"Kupikir hyung memang benar, tapi apa-apaan soal tinggal di flat itu, hn? Kau mau lari dari kenyataan hyung?" tanya Jongdae yang lebih merupakan olokan bagi Minseok. Minseok kembali menoleh untuk menghindari tatapan Jongdae, namun suara "Brak!" kembali terdengar di lorong yang sepi itu.

"Jangan. Menghindar. Tatap. Aku. Hyung," ucap Jongdae penuh penekanan dan intimidasi. Minseok tak kuasa untuk kembali menghindar, tak ada yang bisa dilakukannya. Ke mana perginya kemampuan Taekwondo-nya saat ia berada dalam situasi seperti ini?

"Kau ingin aku melakukan apa, Jongdae-ah? Membencimu? Menghindarimu? Akan kulakukan, karena itu aku memutuskan untuk tinggal di flat," jelas Minseok santai. Jongdae mempererat cengkeramannya di tangan Minseok. Minseok meringis, merasakan sakit yang menjalar dari pergelangan tangannya.

"Ukh.. Lepaskan aku, Jongdae," perintah Minseok sambil menahan sakit. Seakan tak mendengarnya, Jongdae semakin menguatkan cengkeraman itu. Ringisan Minseok menjadi rintihan kecil.

"Kenapa kau melakukan itu hyung? Kenapa?!" seru Jongdae tak puas atas jawaban Minseok.

"Arrgh.. Bukannya.. Uukh.. Aku sudah menjelaskannya, kkh.. padamu?"

Lama-kelamaan Minseok merasa tangannya mati rasa, dan mungkin setelah Jongdae melepaskan genggamannya akan terdapat bekas ungu kehitaman di sana. Menunjukkan betapa kuat dan eratnya Jongdae mencengkeram tangannya.

"Baiklah jika itu maumu, hyung." Jongdae melepaskan tangannya yang sebelumnya menggenggam erat pergelangan tangan Minseok. Minseok bersyukur dalam hatinya karena dongsaeng-nya itu segera melepaskan tangannya. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi padanya. Pingsan? Mungkin.

"Selamat malam, hyung."

Jongdae beranjak pergi ke kamarnya. Tak sekali pun dia menengok ke arah Minseok yang tengah menatapnya nanar.

Blam.

Pintu kamar Jongdae tertutup. Minseok menundukkan kepalanya, ia bersandar di tembok. Lagi-lagi ia merasakan sesak di dadanya. Bukan karena akibat dari perbuatan Jongdae tadi, tapi lebih karena ucapan Jongdae yang menyerah untuk menahannya agar tidak pergi.

"Kau sungguh sudah menyerah?"

Minseok melihat kedua tangannya yang mulai memperlihatkan tanda-tanda melebam itu. Sakit memang, tapi tak sesakit rasa yang menghujam jantungnya sekarang.

"Selamat tinggal, Jongdae-ah…."


Xi Luhan, namja Cina manis yang merupakan teman baik Minseok merasakan ada yang salah dengan teman baiknya itu. Ia sedang bersama dengan Minseok dan juga namjachingu-nya yang bernama Oh Sehun yang tengah menyesap Bubble Tea yang tadi dibelinya bersama dengan dua orang yang jarak umurnya terpisah empat tahun darinya itu. Ia terus meminum minuman favoritnya dengan cuek, Luhan menyodok tulang rusuk Sehun. Akibatnya, namja kelas 1 SMA itu menyemburkan sedikit Bubble Tea itu dari mulutnya.

"Hannie-hyung kenapa sih? Aku kan sedang minum," rengek Sehun pada Luhan yang sedang mengedipkan matanya sambil memberi isyarat agar Sehun melihat Minseok yang sepertinya sedang depresi berat.

"Minseok-hyung kenapa?" tanyanya berbisik pada Luhan. Luhan menggeleng dan mengedikkan bahunya tak tahu. Sehun yang tidak tahu harus berkata apa kembali meminum Bubble Tea miliknya, sedang Luhan menghembuskan napas pasrah melihat kelakuan kekasihnya itu. Inilah risiko jika kau mempunyai kekasih yang lebih muda darimu, kau harus tahan dengan kelakuan childish yang dimilikinya.

"Minseok, ada apa denganmu? Kau tidak suka Bubble Tea-nya?" tanya Luhan yang tak tahan dengan sikap Minseok. Minseok tersadar dan segera memasang senyumnya.

"Ani, aku suka kok Luhan-ah. Hanya sedikit bingung karena sejak aku tinggal di flat aku belum menemukan pekerjaan untukku," jelas Minseok. Luhan terlihat berpikir keras, ia ingin membantu Minseok yang merupakan teman Korea pertamanya ketika ia kuliah di Korea. Luhan merupakan mahasiswa dari Cina yang sekarang tinggal bersama kerabatnya di Korea.

"Kurasa.. aku bisa memecahkan masalahmu, Minseok."

Minseok menoleh, ada harapan besar di hatinya. Akhirnya ia bisa mendapatkan harapan untuk bekerja, dan tidak merepotkan kedua orang tuanya yang terus mengiriminya uang sejak ia pindah tiga hari yang lalu. Lagi pula dengan ia mendapatkan pekerjaan, ia akan lebih fokus pada pekerjaannya dan bisa melupakan satu lagi masalah yang selalu menghantuinya sejak ia pindah di flat.

"Sepupuku membuka café di dekat sekolah Sehun, apa kau mau mencoba bekerja di sana? Aku akan mengurus semuanya," ucap Luhan. Minseok membulatkan matanya, itu lebih dari cukup untuk sebuah pertolongan baginya.

"Gomawo Luhan-ah.. Gomawo…."

"Hannie-hyung, kita beli Bubble Tea lagi ya?" pinta Sehun yang langsung merusak suasana bahagia Minseok. Tidak, ia tidak kembali depresi seperti tadi, tapi lebih ke arah menahan tawa karena aegyo yang dibuat Sehun ketika ingin mengajak Luhan.

Luhan menghela napas. Inilah risiko jika kau punya kekasih kelas 1 SMA yang selalu melakukan aegyo agar permintaannya dituruti.


Namja bersurai coklat keemasan itu meneliti namja chubby di depannya. Kemudian melihat map yang ada di tangannya. Mengangguk-angguk kecil ketika data yang didapatnya sesuai dengan yang diharapkannya.

Tug!

"Wu Yi Fan, kalau kau hanya mengangguk-angguk seperti itu bagaimana Minseok bisa mengerti? Kau ini…."

Namja bernama Wu Yi Fan itu mengelus pelan kepalanya yang mendapat jitakan dari saudara sepupunya yang tak lain dan tak bukan adalah Luhan. Ya, dia adalah pemilik café yang juga sepupu Luhan.

"Aish.. Luhan-ge, aku cuma memeriksa data saja. Baiklah Minseok-ge, kau diterima bekerja di sini." Namja pemilik café yang umurnya masih terbilang sangat muda itu–dia bahkan lebih muda dari Luhan–kembali memasang wajah cool-nya setelah "dirusak" sesaat oleh Luhan.

"Xie xie, Kris~" Luhan memeluk Wu Yi Fan atau panggil saja Kris untuk lebih singkatnya.

"Gege, kalau Panda Tao-ku melihat ini dia bisa mengancamku putus, cepat lepaskan. Apa kau juga tak takut kalau pacarmu itu ngambek padamu?" Kris memperingatkan Luhan dengan intonasi datar.

"Ne, arasseo.."

Dengan begitu Kris sudah terbebas dari pelukan kakak sepupunya itu. Dia bisa bernapas lega sekarang, karena jika tidak, dibutuhkan hampir seluruh isi toko Gucci agar Tao–namjachingu Kris–bersedia memaafkannya.

"Nah, sekarang aku antar kau ke ruang ganti~" ucap Luhan ceria seraya menyeret Minseok yang baru pertama kali datang ke café itu. Minseok hanya pasrah ketika dirinya diseret oleh Luhan.


"Zhen de ke ai~"

Luhan memuji penampilan Minseok. Meski Minseok saat ini memakai pakaian waiter, tapi aura cute yang dimilikinya tidak hilang, bahkan dia terlihat lebih manis. Semburat merah muncul di pipinya.

"Berhenti menggodaku, Xi Luhan. Atau kau mau kuadukan pada Sehun, eoh?" ancam Minseok. Dengan seketika Luhan menggeleng dengan kecepatan tinggi.

"Shireo~! Aku bisa susah kalau dia ngambek," ucap Luhan sembari mengerucutkan bibirnya. Minseok terkekeh kecil.

"Sudah, sudah, sekarang waktunya bekerja~"

Minseok segera beranjak dari ruang ganti itu, menyusul Luhan yang sejak tadi menunggunya di luar. Luhan memilih untuk duduk di salah satu meja yang ada untuk menunggu Sehun pulang. Hal ini bisa disebut kegiatan rutin dua sejoli itu.

Di hari pertamanya itu dia berkenalan dengan seorang waiter yang juga merupakan seorang mahasiswa sepertinya, Kim Joonmyun ketika ia berkenalan dengannya. Menurut Joonmyun ia mempunyai namjachingu yang juga bekerja di sana sebagai chef, namanya Do Kyungsoo kalau Minseok tidak salah. Sayangnya Kyungsoo masih bersekolah saat Minseok menanyakannya pada Joonmyun, karena berdasarkan informasi dari Joonmyun ada dua orang chef di café itu. Lalu chef lain selain Kyungsoo adalah Zhang Yi Xing. Minseok rasa dia adalah salah seorang teman Kris yang membantu usaha café Kris.

::

Minseok sedang merapikan meja café ketika dia mendengar suara yang sudah tak asing lagi dari arah pintu. Suara namja yang sedang memanggil kekasihnya dengan panggilan "Hannie-hyung~" tanpa merasa sungkan pada pengunjung café yang lain. Mereka sudah terbiasa mungkin?

Refleks, Minseok menoleh ke arah Sehun, sumber suara itu. Dia datang bersama dua orang, yang satu namja berkulit agak tan dan yang satunya namja dengan mata yang cukup besar. Namja berkulit slightly tan itu mengikuti Sehun, sedangkan namja yang satunya segera menuju ruang ganti. Mungkinkah dia Kyungsoo?

Minseok terus memandang Sehun dan temannya yang berjalan ke meja Luhan. Ia merasa familiar dengan seragam yang dipakai Sehun, Kyungsoo, dan temannya itu. Seperti… ia pernah melihatnya.

"Minseok-hyung!"

Minseok terkesiap, bukan saatnya ia merenung. Fokus. Ia harus fokus. Ia berjalan ke meja Luhan di mana Sehun sedang mengangkat tangannya. Tak perlu waktu lama, ia sudah berada di meja dekat jendela itu. Meja yang strategis, karena kau bisa melihat jalan dari sana. Itu memudahkan Luhan untuk menunggu Sehun pulang sekolah, karena ia bisa mengawasi setiap pelanggan yang datang dari meja itu.

"Ne, Sehun-ah, kau mau pesan apa?" tanya Minseok ramah.

"Bubble Tea dan Strawberry Cake dua, dan.. Jongin-hyung, kau pesan apa?" tanya Sehun pada pemuda berkulit agak tan itu.

'Oh.. namanya Jongin,' batin Minseok mengerti.

"Chocolate Puding," jawab Jongin. "Lalu minumnya Lemon Tea," lanjutnya. Dengan cekatan Minseok mencatat pesanan Sehun dan Jongin.

"Mohon tunggu sebentar ya," ucap Minseok seraya berbalik untuk mengantarkan daftar pesanan mereka pada Yi Xing yang bertugas sebagai chef. Oh, dan juga Kyungsoo.

"Yang cepat ya, hyung!" seru Sehun cukup keras yang langsung dicubit oleh Luhan sehingga terdengar suara "Aww!" dari mulutnya. Jongin tak mengindahkan dua orang di sebelahnya dan lebih memilih memainkan handphone miliknya serta terkadang melirik ke arah jendela dapur yang terlihat dari tempatnya.

::

"Yi Xing-ah, Strawberry Cake dan Bubble Tea dua, lalu Chocolate Puding dan Lemon Tea satu!" ucap Minseok ketika ia memasuki dapur.

"Oke, Minseok-ge!" balas Yi Xing yang mulai membuatkan pesanan Minseok.

Minseok mengedarkan pandangannya dan melihat seorang lagi yang berpakaian ala chef di samping Yi Xing. Merasa perlu berkenalan–walaupun Minseok sudah tahu dia siapa–, Minseok mendekati Kyungsoo dan menepuk pundaknya perlahan. Kyungsoo terkejut karena sentuhan mendadak dari Minseok dan tidak sengaja adonan kue yang sedang dibuatnya terciprat di wajah Minseok.

"Joesonghamnida! A-aku tidak bermaksud–"

Kyungsoo terlihat gelagapan melihat Minseok, ia sibuk mencari sapu tangan yang biasa dibawanya di kantung celananya. Namun Minseok hanya tersenyum seraya membersihkan adonan kue itu dengan tangannya.

"Gwaenchana.. Kau Kyungsoo-ah kan?" sapanya ramah. Kyungsoo mengangguk malu-malu.

"Ne.. Hyung tahu dari mana?" tanya Kyungsoo penasaran. Matanya bertambah lebar saat menatap Minseok.

"Namjachingu-mu yang memberitahu," jawab Minseok yang mengakibatkan blushing di pipi Kyungsoo. "Oh ya, aku Kim Minseok. Panggil saja Minseok-hyung."

"N-ne.. Minseok-hyung…."

Minseok tersenyum senang. Namun tiba-tiba hal yang menjadi pikirannya muncul kembali. Ia ingin tahu di mana Sehun bersekolah. Dan kebetulan Kyungsoo yang ada di depannya saat ini satu sekolah dengan Sehun, mengingat seragam mereka yang sama.

"Kyungsoo-ah, apa kau satu sekolah dengan Sehun-ah? Kulihat tadi kalian datang bersamaan," tanya Minseok.

"Ne, kami memang satu sekolah hyung, tapi Sehun adalah adik kelasku. Aku sekarang ada di tingkat 2," jawab Kyungsoo. "Memangnya ada apa hyung?"

"Aniya.. hanya bertanya saja," balas Minseok.

"Kami dulu memang tidak dekat, karena aku kakak kelas dan Sehun adik kelas. Tapi karena Sehun berpacaran dengan Luhan-hyung dan sering berkunjung ke sini, kami menjadi dekat. Jongin yang datang bersama kami tadi juga begitu, dia teman satu club dance dengan Sehun. Awalnya dia hanya ikut-ikutan mampir bersama Sehun, tapi akhirnya keterusan dan sering datang sendiri. Aku juga tidak tahu kenapa Jongin selalu ke sini.." Kyungsoo memutus penjelasan panjang lebarnya dan melanjutkannya dengan berbisik pada Minseok. "Tapi kurasa dia menyukai Yi Xing-hyung," lanjutnya. Minseok membulatkan matanya kaget.

"Jinjja?" tanya Minseok memastikan, suaranya dipelankan agar Yi Xing tidak mendengarnya. "Kenapa tidak dikatakan saja?" tanya Minseok lagi.

"Jongin memang seperti itu hyung. Dari luar terlihat cool dan pendiam, tapi sebenarnya dia cukup pemalu," jelas Kyungsoo. Minseok mengangguk tanda ia mengerti.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal club, aku punya sunbae yang suaranya sangat bagus. Aku saja sampai merinding ketika mendengarnya." Kyungsoo memulai lagi ceritanya tentang kegiatannya di sekolah. Lebih baik mendengar cerita Kyungsoo daripada harus menunggu Yi Xing tanpa melakukan apa-apa, pikir Minseok.

"Sayangnya sudah beberapa hari ini dia tidak datang untuk latihan, kata Baekhyun-sunbae sih sedang ada masalah," cerita Kyungsoo.

'Baekhyun? Tunggu, sepertinya aku pernah mendengar nama itu.'

"Lalu Kyungsoo-ah, siapa nama sunbae-mu itu?" tanya Minseok penasaran.

Dengan jelas Kyungsoo menjawab, "Kim… Jongdae. Ya, Kim Jongdae!"

Deg!

Minseok membatu. Ia baru sadar kenapa ia begitu familiar dengan seragam yang dipakai Sehun. Dan kenapa ia merasa ia pernah melewati jalan menuju café ini. Jongdae, dongsaeng-nya juga bersekolah di sana!

Minseok terdiam hingga merasakan tepukan di pundaknya oleh Yi Xing. Kyungsoo menatapnya khawatir, Yi Xing juga memasang mimik cemas. Minseok segera menyunggingkan senyum.

"Gwaenchana, Gwaenchana… Yi Xing-ah, apa pesanannya sudah siap?"

Yi Xing menyerahkan nampan yang di atasnya sudah terdapat pesanan Sehun tadi. Minseok menerimanya dan segera pergi mengantarkannya pada Luhan, Sehun, dan Jongin. Tak menyadari pandangan khawatir dari dua orang chef yang sempat diperlihatkan sisi lain dirinya olehnya sendiri.


Kurang lebih sudah sekitar seminggu Minseok bekerja di café milik Kris. Selama itu dia belum pernah melihat dongsaeng-nya, Jongdae melewati jalan di dekat café juga mampir di café itu. Minseok sangat hafal sifat dongsaeng-nya yang langsung pulang ke rumah tanpa mampir-mampir, lagi pula jalan menuju rumah mereka tidak lewat café ini, jadi Minseok bisa bernapas lega karena tak perlu bertatap muka dengan Jongdae.

Hari ini dia juga bekerja seperti biasa. Mencatat pesanan, mengantarkan, lalu membersihkan meja jika pelanggan sudah pulang. Ia cukup senang bekerja di sana, selain gaji yang diberikan lumayan tinggi, orang-orang yang ada di sana juga ramah. Hanya saja… Ya, kebanyakan dari mereka adalah gay, Minseok maklum akan hal itu. Kalau dipikir-pikir dia juga, bahkan dia menyukai dongsaeng-nya sendiri. Aissh.. Minseok memukul-mukul kepalanya ketika mengingat hal itu.

"Minseok-hyung, ada pesanan di meja nomor 7. Aku akan membersihkan piring-piring ini dulu, tolong ya hyung."

"Ah, ne Joonmyun-ah."

Minseok beranjak dari meja kasir ke meja 7 yang dikatakan Joonmyun tadi. Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap salah satu sosok dari tiga orang yang duduk di situ. Rambut sehitam ebony itu, mata yang tajam layaknya elang, dan rahang tegasnya. Minseok seakan tak sanggup untuk melangkah lagi. Orang yang paling tak ingin ia lihat kini tepat di depan matanya, memandang jalanan dengan tatapan kosong.

Tidak. Ini sudah tugasnya, ia harus profesional. Ditujunya meja Jongdae dan sedikit berharap tak ada hal yang buruk setelah ini.

"Ne, ada yang bisa saya bantu?"

Jongdae mendengarnya. Ia menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Minseok yang tengah tersenyum ramah pada mereka bertiga. Tak berkata apa-apa, Jongdae hanya memperhatikan hyung-nya itu.

"Orange Jui- Minseok-hyung?" Baekhyun terkejut ketika melihat Minseok yang sudah bersiap untuk mencatat pesanan mereka. Chanyeol segera mengikuti arah pandang Baekhyun, ia juga terkejut sama seperti namjachingu-nya. Namja yang selalu tersenyum itu menyenggol lengan Jongdae serta berbisik agar Jongdae mau mengatakan sesuatu pada Minseok, tapi tak berpengaruh sama sekali. Jongdae tetap teguh dalam diamnya.

"Ne? Joesonghamnida, bisa diulangi pesanannya?"

"Ah.. Ne.. Orange Juice tiga, itu saja."

"Aegeseumnida, mohon tunggu sebentar."

Jongdae menatap punggung hyung-nya yang perlahan menjauh. Jujur, ia sangat merindukan Minseok sampai-sampai kurang lebih seminggu ini dia bagaikan mayat hidup. Serasa kehilangan semangat hidupnya. Hanya karena tak adanya seorang Kim Minseok, hidup Kim Jongdae terasa hampa.

"Jongdae-ah, apa kau tidak mau berbicara dengan Minseok-hyung?" tanya Baekhyun, sesaat setelah sosok Minseok telah menghilang dari pandangan mereka. Jongdae masih diam.

"Benar hyung, kau harus meluruskan semuanya," timpal Chanyeol. Jongdae menatap bosan pintu dapur yang dilewati Minseok tadi.

"Untuk apa aku menjelaskan semuanya kalau dia tidak jujur dengan perasaannya sendiri?" tanya Jongdae kemudian. Baekhyun dan Chanyeol hanya saling pandang.

'Mungkinkah sebenarnya Minseok-hyung juga menyukai Jongdae?'


"Hati-hati di jalan, hyung!"

"Ne, gomawo Joonmyun-ah~!"

Pekerjaan Minseok untuk hari ini sudah selesai. Yah.. Tak banyak masalah. Hanya satu, ia harus bertemu Jongdae hari ini. Untung saja Jongdae tak menanyakan apa pun padanya dan segera pulang setelah membayar pesanannya.

Berjalan di trotoar yang sepi sudah menjadi kebiasaannya ketika pulang dari café. Seperti biasa, dia harus naik bus, dan halte bus menuju flat-nya cukup jauh. Jadi beginilah dia, berjalan sendirian di jalanan yang sepi meskipun terkadang ada mobil yang melewati jalan itu. Jika sudah malam, seperti inilah keadaannya.

Halte bus yang biasa dijadikannya tempat menunggu sudah terlihat. Uap keluar dari mulutnya ketika ia mendesah lega.

"Kuharap aku tidak kemalaman dan semoga masih ada bus yang hmph–!"

Seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya ke sebuah gang sempit yang ada di dekat lokasinya saat ini. Minseok meronta agar orang itu melepaskan dirinya. Terus meronta. Ia takut jika sesuatu yang buruk terjadi padanya setelah ini. Napasnya memburu seiring rontaan yang dibuatnya.

Brak!

Minseok merasakan sakit di punggungnya ketika orang tak dikenal itu menghempaskannya ke tembok dan langsung menghimpitnya. Di gang yang gelap itu, ia merasakan sesuatu yang basah menyentuh bibirnya. Orang itu menciumnya!

Merasa tak terima, Minseok mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa lepas dari ciuman itu.

Buagh!

Minseok meninjunya di rahangnya, membuat orang itu berjalan mundur. Terhuyung-huyung setelah menerima pukulan dari seorang Kim Minseok yang juga ahli bela diri. Ia memegang pipinya yang terkena pukulan itu. Seringaian muncul di bibirnya, terlihat dari sinar bulan yang menerpa sebagian wajahnya.

"Sialan! Apa yang kau lakukan!? Dasar breng–"

Minseok membeku di tempat, tak bisa melanjutkan ucapannya ketika sosok itu maju ke arahnya dan sinar bulan semakin memperjelas siapa gerangan orang yang berani berbuat kurang ajar padanya. Dengan seringaian yang masih tersungging di bibirnya, dan setitik darah di bibir yang tercipta dari pukulan Minseok ia berjalan ke arah Minseok.

"Annyeong hyung. Aku sudah menunggumu dari tadi," sapa orang itu.

"J-Jongdae? Ba-bagaimana kau–?" Minseok tergagap melihat Jongdae yang ada di hadapannya sekarang. Badannya gemetar. Takut?

"Aku ingin kau jujur hyung."

Jongdae menginterupsi Minseok seraya menumpukan kedua tangannya di tembok dekat kepala Minseok. Minseok merasa benar-benar terintimidasi sekarang. Ia tak bisa melawan sosok Jongdae saat ini.

"Ju-jujur tentang a-pa?" Bibir Minseok sedikit bergetar saat mengucapkannya.

"Tentang perasaanmu padaku," desah Jongdae lalu mendekatkan mulutnya di telinga Minseok. Minseok merasakan rambut Jongdae menggelitik kulit lehernya yang putih. Membuatnya harus menggigit bibirnya karena sentuhan dari Jongdae.

"Hyung.. Kau juga mencintaiku kan?" bisik Jongdae. Minseok semakin tak nyaman dengan kondisinya. Tak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya pada Jongdae. Tidak mungkin dan tidak akan pernah.

"Tidak… AKU TIDAK MENCINTAIMU!"

Minseok mendorong Jongdae dan segera berlari secara membabi buta. Tak menghiraukan Jongdae yang mengejarnya dari belakang. Ia benci berlari. Ia benci lari dari perasaannya. Ia benci lari dari kenyataan bahwa ia juga mencintai Jongdae.

Ia benci.

"MINSEOK-HYUNG!"

Ckiit…! BRAK!

Minseok berhenti, membalikkan badannya untuk melihat asal suara yang didengarnya. Di sana, Jongdae, dongsaeng-nya. Tergeletak di pinggir jalan bersimbah darah tanpa ada yang menolongnya. Tabrak lari.

"JONGDAE-AH!"

Berlari sekencang-kencangnya menuju namja yang paling dicintainya. Membawanya ke dalam pangkuan dan mengusap darah yang menutupi wajah tampan namja itu. Menangis tersedu atas kesalahannya. Meratap dalam keheningan malam.

Inikah akhir dari kisah cinta kalian?


"Jongie-chagi, bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?"

Ryeowook bersama dengan suaminya mengunjungi sang putra yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Sudah sekitar dua minggu ia menjalani rawat inap. Koma yang diakibatkan kecelakaan yang menimpanya membuatnya harus menutup mata sementara selama seminggu lebih, dan baru dua hari yang lalu ia siuman.

"Ne eomma. Kurasa keadaanku sudah cukup membaik," jawab Jongdae dengan senyum manis yang terlukis di wajahnya.

"Istirahat yang cukup, kesehatanmu belum sepenuhnya pulih, ingat itu," wanti Yesung, sang appa pada Jongdae.

"Oke appa!" ucap Jongdae sembari melebarkan senyumannya hingga gigi putihnya terlihat.

"Oh ya, ngomong-ngomong Minseok-hyung kenapa belum menjengukku? Apa dia sedang sibuk eomma?"

Ryeowook dan Yesung terdiam atas pertanyaan Jongdae. Ryeowook menggenggam erat tangan Yesung. Mencari penopang agar ia bisa bertahan dari hal yang akan diucapkannya sebentar lagi. Ia mengambil sebuah kertas dari tasnya. Dengan tangan bergetar, ia menyerahkan kertas itu pada Jongdae yang menatapnya bingung.

"Ini apa eomma?" tanya Jongdae setelah menerima kertas itu. Ia belum mau membukanya.

"Bacalah, eomma dan appa akan keluar sebentar," ucap Yesung. Yesung tahu kalau mereka tetap di sini, Ryeowook akan menangis histeris. Oleh karena itu ia segera membawa istrinya keluar dan membiarkan Jongdae sendiri di kamarnya.


Jongdae-ah

Maaf karena selama ini aku tidak mau jujur akan perasaanku. Maaf sudah mengatakan kalau aku membencimu. Maaf sudah membuatmu menderita.

Maafkan aku Jongdae-ah…

Aku sudah memaafkan semua perbuatanmu padaku Jongdae-ah. Dan aku akan selalu memaafkannya karena aku tak mungkin bisa membencimu. Aku tidak akan bisa meski kau menyuruhku untuk melakukannya. Tidak bisa.

Jongdae-ah, kau memintaku untuk tidak berbohong lagi tentang perasaanku 'kan?

Karena itu aku ingin jujur padamu.

Saranghae… Jeongmal saranghae yo, Kim Jongdae

Aku memang bodoh karena tak bisa mengatakannya secara langsung padamu. Padahal aku juga mencintaimu. Aku sungguh bodoh ya?

Untuk yang terakhir kalinya, aku ingin mengatakan bahwa meskipun ada pembatas yang memisahkan kau dan aku, aku akan selalu mencintaimu Jongdae-ah.

Saranghae, yeongwonhi…

Kim Minseok.


Tes.. Tes..

Air mata jatuh membasahi kertas yang dipegang oleh Jongdae. Ia tahu, ia tahu jika hyung-nya juga mencintainya. Tapi caranya salah. Tak seharusnya ia memaksa Minseok seperti waktu itu. Seandainya ia bisa bersabar sedikit lagi, mungkin perasaannya bisa terbalaskan. Dan mereka berdua tak perlu menderita.

Tak perlu menderita karena cinta.


"Jongie-chagi.. Apa kau tak mau istirahat dulu? Kau kan bisa memainkan pianonya nanti."

"Aniya eomma. Aku ingin main sekarang." Jongdae merajuk pada eomma-nya yang cuma menghela napas.

"Arasseo.. Tapi kau harus segera istirahat, kau kan baru keluar dari rumah sakit," ucap Ryeowook kemudian pergi meninggalkan Jongdae sendiri.

Jongdae memandang piano putih hadiah ulang tahunnya beberapa waktu yang lalu. Piano pemberian seseorang yang sangat berarti untuknya. Seseorang yang sangat dicintainya.

Meski tak lagi ada di sampingnya.

"Lagu ini kupersembahkan untukmu, Min-hyung. My angel…"


As your guardian, I will block the stiff wind

Even though people turn their backs to you

If I could become the person who can wipe your tears on a tiring day

It will be paradise

Even though I lost my everlasting life

You are my eternity


Omake:

"Jangan lakukan itu Minnie-chagi. JebalEomma mohon padamu."

"Tidak eomma, ini hal yang harus kulakukan. Jika tidak, Jongdae tak akan selamat."

"Tapi hal ini juga membahayakan nyawamu, chagi. Kau tidak perlu mendonorkan darahmu, biarkan eomma yang melakukannya."

"Ani.. Aku yang menyebabkan Jongdae jadi seperti ini eomma. Aku yang harus bertanggung jawab."

"Tetapi tidak dengan mendonorkan seluruh darahmu! Eomma tak akan membiarkan–"

"Eomma, aku titip surat ini. Tolong berikan pada Jongdae, ya? Aku menyayangimu eomma…."

"Tunggu… Andwae… Kim Minseok!"

…::: FIN :::…

Author's Note:

Sad end...

Jeongmal mianhae untuk yang nggak mau ending FF ini jadi sad end.. TAT #deepbow

Sebenarnya FF ini sudah pernah saya publish di FB dan WP saya, jadi kalau readers pernah merasa membacanya di suatu tempat.. Ya, FF itu buatan saya.. :)

FF ini ada sekuelnya, tenang saja.. :)

Hanya, sebelum saya publish sekuel-nya, harus melalui satu side story yang menghubungkan FF ini dan sekuelnya. Tetapi, mungkin couple yang saya buat di side story itu adalah couple yang sangat jarang dilirik.. :(

Umm.. Bagaimana? Apakah saya harus lanjut ke sekuelnya? Tetapi harus publish side story-nya. Atau readers bisa mengunjungi WP atau FB saya untuk membacanya?

Well.. Cukup sekian dan terima kasih..

And.. mind to give me a Review?