Am I Wrong to Love You?

(Part 1)

By:: Anita Lee Del Vongola a.k.a Anita Prayuningtiyas

Rate:: T

Genre:: Romance, Angst *I don't think this story can be called Angst*

Warning:: Shounen-ai (Boys Love), AU, OOC, Incest, Genderswitch, Misstypo(s)

Pairing:: ChenMin (JongMin) slight YeFem!Wook and EXO pairings

Disclaimer:: I don't own them.


"Saengil chukha hamnida, Jongie-chagi."

"Ne.. Gomawo, eomma."

"Jadi? Bisa kita mulai makan? Aku sudah lapar~"

"Minseok, biarkan adikmu mengucap permohonan dulu. Kau itu.. kalau kebanyakan makan, bisa tambah gemuk nanti."

Namja bernama Minseok itu mengerucutkan bibirnya, pipinya menjadi beberapa kali lebih tembem ketika appa-nya menyangkut-pautkan makanan dengan ukuran tubuhnya. Baik, ia akui dia memang sedikit "berisi" dan berat badannya mudah sekali naik. Tapi ia tak bisa menghilangkan kebiasaan makannya dengan mudah tahu.

"Pfft..!"

"Ya! Eomma, Jongdae-ah, jangan tertawa."

Jongdae dan eomma-nya tertawa tertahan melihat kelakuan childish Minseok. Tapi itulah yang membuat sulung dua bersaudara itu terlihat lebih cute. Bahkan banyak yang mengira Minseok adalah dongsaeng Jongdae. Aigoo..

"Ne, hyung. Kalau begitu aku akan meminta permohonan dulu, setelah itu hyung bisa makan sepuasnya," ujar Jongdae yang membuat Minseok berbinar-binar senang. Sedangkan kedua orang tua mereka hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan kedua putra mereka.

"….."

Keadaan menjadi hening ketika Jongdae memejamkan matanya. Tak ada yang tahu apa permohonan Jongdae. Yang jelas, ketika Jongdae membuka matanya dan meniup lilin di hadapannya, yang dilihatnya adalah wajah ceria seluruh anggota keluarganya.

"Ayo makan~!"


"Jongdae-ah, hyung punya sesuatu untukmu!"

Jongdae mengalihkan perhatiannya pada Minseok yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Ia sedang asyik membaca buku-bukunya ketika Minseok datang ke kamarnya. Segera saja ia bangun dari tempat tidurnya dan menghampiri Minseok.

"Ada apa, hyung?" tanya Jongdae melihat wajah hyung-nya yang selalu ceria itu.

"Kajja, kita ke bawah!" ajak Minseok sembari menggandeng Jongdae dengan semangat. Mau tak mau Jongdae mengikuti Minseok ke tempat tujuannya.

Tap.. tap.. tap..

Tinggal satu anak tangga lagi dan ia melihat kedua orang tuanya sedang membelakangi sesuatu. Ia tak tahu apa itu.

"Appa, eomma, kita bisa buka hadiahnya sekarang~!" seru Minseok membuat Jongdae bingung.

'Hadiah?' batin Jongdae.

"Hana, dul, set! Jajaa~ang!"

Sebuah piano berwarna putih sudah ada di depannya. Piano yang selama ini diinginkannya sudah ada di hadapannya. Ia menatap appa, eomma, dan Minseok secara bergantian. Ia tak percaya kalau mereka membelikan piano itu untuknya.

"Appa.. Eomma.. ini…"

Jongdae berjalan perlahan mendekati piano putih itu. Menyentuh tuts itu satu persatu. Kemudian memandang kedua orang tuanya.

"Itu hadiah kami untukmu Jongdae-chagi. Selamat ulang tahun ya," ucap eomma-nya sembari tersenyum lembut. Appa-nya merangkul pundak eomma-nya seraya mengangguk, mengerti arti pandangan Jongdae bahwa ia ingin segera memainkan jari-jarinya di atas tuts pianonya.

"Kalau begitu appa dan eomma ke kamar dulu ya. Ayo, Wookie-chagi."

"Ne, Yesungie."

Sosok kedua orang yang dihormati Jongdae itu segera pergi ke kamar mereka. Meninggalkan Jongdae dan Minseok yang masih terdiam di dekat hadiah yang mereka berikan.

"Hyung, apakah hadiah ini sebenarnya darimu?" tanya Jongdae memecah keheningan di antara mereka. Minseok menggaruk belakang kepalanya, dongsaeng-nya memang cerdas.

"Y-yah.. bisa dibilang begitu, tapi uangku tidak cukup jadi.. appa dan eomma membantuku," ucap Minseok masih dengan mengusap tengkuknya dan memandang lantai agar tak bertatapan dengan mata elang dongsaeng-nya.

"Gomawo, hyung…."

Grep!

"J-Jongdae-ah?"

Minseok terkejut akan posisinya saat ini. Jongdae, dongsaeng-nya, tengah memeluknya. Ia mendengar bisikan terima kasih yang terulang dari bibir Jongdae. Jantungnya berdebar-debar. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah ia sudah biasa dipeluk oleh dongsaeng-nya? Tapi… ini berbeda. Seperti ada rasa hangat yang menyusup di hatinya. Nyaman.

Entah secara sadar atau tak sadar, ia membalas pelukan Jongdae. Tak tahu, apa perasaan yang menyelimutinya saat ini adalah perasaan sayangnya pada dongsaeng-nya, ataukah…

'Mana mungkin 'kan aku menyukai Jongdae? Kami sama-sama namja, dan juga... dia dongsaeng-ku.'

Tersadar akan pikirannya, ia segera melepaskan pelukannya, membuat Jongdae mau tak mau juga melepas pelukannya. Mimik cerianya kembali terpasang.

"Oh ya, sebagai ucapan terima kasih, kau harus memainkan satu lagu untukku!" pinta Minseok seraya berlari ke arah piano putih itu, meninggalkan Jongdae yang dalam hatinya sedikit tak rela melepaskan pelukannya pada Minseok.

"Arasseo… Hyung mau kumainkan lagu apa?" Jongdae menyusul Minseok, kemudian duduk di kursi piano itu.

"Umm.. Terserah padamu saja," ucap Minseok seraya menumpukan tangannya di atas piano. Ia tersenyum dengan menutup matanya yang sipit itu.

"Bagaimana kalau.. 'What is Love'? Aku baru diajari Baekhyun-hyung tadi.." Jongdae menggaruk pipinya.

"Un! Boleh juga, ayo cepat mainkan~" Mata sipitnya membesar semangat.

Ting!

Pelan namun pasti, nada itu mengalun dari piano yang tengah dimainkan oleh Jongdae. Irama yang lambat, namun juga terkesan cepat. Minseok menikmati permainan dongsaeng-nya, ditambah lagi ketika Jongdae mulai menyanyi dengan iringan pianonya. Membuat Minseok terlarut akan bait-bait lagu yang dimainkan Jongdae.

Namun, bersama dengan nyanyian itu ia menyadari sesuatu. Apakah Jongdae tengah jatuh cinta? Dengan siapa? Mengapa.. ia merasa aneh?

Semakin lama Minseok merasa ada sesuatu yang merasuk di ulu hatinya. Menusuk perlahan, menyebabkan sakit yang bahkan ia tak tahu sebabnya. Seiring dengan pikirannya yang menyimpulkan bahwa Jongdae sedang jatuh cinta, dan itu membuatnya sakit. Ia tersenyum miris, sambil menahan perasaan mengganjal di hatinya. Perasaan mengganjal yang perih, sakit.

Mungkinkah ia benar-benar "menyukai" dongsaeng-nya?

Ah, bukan.

Mencintainya?

Menggeleng pelan. Tidak, tidak mungkin. Berulang kali diulangnya dalam diamnya. Tepatnya dalam pikirannya. Kembali menatap dongsaeng-nya yang dengan lincah memainkan jemarinya.

"Marhaejwo nege, what is love…"

Selesai. Lagu itu sudah selesai. Jongdae mengangkat jemarinya dari tuts piano dan memandang Minseok yang sedang… menahan tangis? Terlihat dari air mata yang tak kunjung menetes dari matanya. Jongdae mengerutkan dahinya. Kenapa dengan hyung-nya?

"Min-hyung? Hyung kenapa? Uljima," ucap Jongdae bermaksud menenangkan Minseok yang akhirnya menyadarkan namja yang lebih tua dua tahun darinya itu dari hal yang menghantui pikirannya.

"E-eh? S-sudah selesai? Gwaenchana, aku tidak apa-apa kok," ujar Minseok sambil menolehkan wajahnya untuk menghapus air matanya yang masih menggenang, sekaligus menghindari tatapan Jongdae. Bagaimana bisa ia menangis di depan dongsaeng-nya?

"Kau menangis, hyung." Jongdae menyadari gelagat mencurigakan dari hyung-nya. Mengalihkan pandangannya dari Jongdae dan menggerakkan tangannya di sekitar matanya, apalagi kalau bukan hyung-nya itu sedang menangis? Jangan remehkan penglihatan Jongdae.

"Ti-tidak kok. Si-siapa yang menangis? Aku hanya terharu dengan nyanyianmu, i-itu saja," elak Minseok sedikit tergagap sambil berusaha memasang senyumannya. Bersikap seolah ia memang terharu akan nyanyian Jongdae, bukan akan perkiraan yang muncul di kepalanya.

"Benarkah, hyung?" tanya Jongdae sangsi. Minseok mengangguk.

"Nah, ini sudah malam sebaiknya kau tidur, kau harus berangkat pagi kan?" Minseok berusaha mengalihkan pembicaraan, Jongdae tahu itu. Tapi ia tak protes, hanya mengangguk menuruti hyung-nya.

"Baiklah, hyung."

Jongdae menutup pianonya dan mengikuti Minseok yang baru akan menaiki anak tangga pertama ke lantai dua. Ia mengawasi Minseok secara intens hingga mereka sampai di lantai dua. Jongdae telah tiba di depan kamarnya ketika Minseok akan membuka pintu kamarnya sendiri.

"Hyung," panggil Jongdae saat melihat Minseok bersiap untuk masuk ke dalam kamarnya. Minseok menoleh. Mata mereka bertemu, dengan Jongdae yang menatap Minseok dengan pandangan lembut dan senyum dari bibirnya. Membuat jantung Minseok berdetak lebih kencang.

"Selamat tidur," lanjutnya.

"Selamat tidur juga, Jongdae-ah. Semoga mimpi indah," ucap Minseok sembari tersenyum membalas Jongdae sesaat sebelum ia menutup pintunya. Membiarkan Jongdae yang belum melangkahkan sejengkal dari kakinya ke dalam kamarnya.

"Kau juga hyung, semoga mimpi indah. Saranghae…" lirihnya sebelum memasuki kamarnya yang tak mungkin bisa terdengar oleh Minseok. Isi hatinya yang sebenarnya kepada Minseok.


"Haah…."

Entah sudah ke berapa kalinya namja bermata elang itu menghela napas. Kedua namja yang duduk di depannya saling bertukar pandang melihat kelakuan teman sekelas mereka yang terlihat tak bersemangat dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menghela napas daripada mengobrol dengan mereka berdua seperti biasanya. Merasa penasaran, salah satu dari mereka mencoba mencari tahu.

"Jongdae-ah, Gwaenchana? Tak biasanya kau begini, mau cerita pada kami?" tawar namja yang lebih pendek dari namja satunya yang duduk di sebelahnya. Matanya yang tergolong kecil itu menatap khawatir pada Jongdae, namja yang sedang larut akan pemikirannya.

"Benar hyung, kau ada masalah?" Namja tinggi di sebelahnya ikut menimpali. Ia merasa namja yang sedikit lebih tua darinya itu sedang berkecimpung dalam persoalan yang rumit.

"Tidak, aku baik-baik saja," ucap Jongdae setelah kedua namja itu menyadarkannya. "Terima kasih, Baekhyun-hyung, Chanyeol-ah," lanjutnya ditambah dengan helaan napas, lagi.

"Haah.. Kau tahu Jongdae-ah? Kau buruk dalam berbohong, jelas-jelas kulihat kau sedang ada masalah, ya kan Chanyeolie?" ucap Baekhyun meminta persetujuan dari namja tinggi di sebelahnya, Chanyeol.

"Ne, benar kata Baekie-hyung. Kau buruk, bahkan sangat buruk," tambah Chanyeol yang semakin menyudutkan Jongdae. Biarlah kali ini dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi… ia juga tak sanggup karena menurutnya persoalannya itu terlalu pelik.

Haruskah ia bercerita kepada mereka?

Akankah mereka menentangnya?

"Baiklah, aku akan bercerita kepada kalian, tapi nanti sepulang sekolah," desah Jongdae pasrah. Kedua namja itu ber-high five merayakan keberhasilan mereka dalam menyudutkan Jongdae.

'Dasar pasangan aneh.'

"Kau sedang jatuh cinta?" Baekhyun membelalakkan matanya. Jongdae sedang jatuh cinta? Wow, itu seperti keajaiban, karena Jongdae biasanya tak tertarik soal hal-hal yang berhubungan dengan percintaan.

"Kenapa hyung? Reaksimu berlebihan," komentar Jongdae melihat Baekhyun yang seperti mendengar kabar kalau dunia sebentar lagi akan kiamat. Oke, kali ini Jongdae yang terlalu hiperbolis.

"Lalu.. kau jatuh cinta pada siapa? Apa dia cantik?" tanya Chanyeol penasaran.

"Di mataku dia sangat cantik, tapi…" Jongdae tak melanjutkan ucapannya.

"Dia namja?" tebak Baekhyun. Jongdae mengangguk. Baekhyun dan Chanyeol terkikik kecil.

"Pfft.. Hyung, kau tahu kan kalau aku dan Baekie-hyung berpacaran?" Jongdae mengangguk, ia memang tahu kalau Chanyeol dan Baekhyun sudah berpacaran kurang lebih empat bulan yang lalu. "Dan kami sama-sama namja," lanjut Chanyeol yang kembali disambut anggukan dari Jongdae.

"Lalu masalahmu ada di mana, Jongdae-ah?" tanya Baekhyun ingin memperjelas persoalan Jongdae.

"Masalahnya dia… hyung-ku sendiri."

Baekhyun dan Chanyeol terdiam. Mereka berdua memandang Jongdae tak percaya. Jongdae? Menyukai–mencintai–hyung-nya sendiri?

"Ma-maksudmu.. kau menyukai Minseok-hyung?" tanya Chanyeol sedikit terbata. Jongdae kembali mengangguk kemudian merebahkan kepalanya di bangku.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, hyung. Aku tahu ini salah, tapi bagaimana lagi? Aku terlanjur mencintainya, hyung," adu Jongdae pada Baekhyun yang notabene paling tua di antara mereka bertiga. Baekhyun memandang Chanyeol untuk meminta pendapatnya, namun Chanyeol hanya mengedikkan bahunya tanda ia tak tahu jalan keluar apa yang tepat untuk Jongdae. Baekhyun menghela napas.

"Apa kau yakin itu cinta? Bukan perasaan sayang antar saudara?"

"Rasanya… ketika aku bersama Min-hyung, aku merasa nyaman, hatiku rasanya hangat, dan jantungku entah kenapa berdegup lebih cepat. Juga, terkadang jika aku tak bisa menahannya wajahku terasa panas dan aku yakin terlihat lebih merah dari biasanya," jelas Jongdae. Baekhyun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jongdae memang mencintai hyung-nya.

"Kau tidak ingin mengungkapkan perasaanmu, hyung?" tanya Chanyeol. Jongdae menggeleng.

"Tidak, bagaimana bisa aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Minseok-hyung? Adanya aku pasti akan dibencinya," ucap Jongdae. "Lagi pula setidaknya aku masih bisa dekat dengan Minseok-hyung."

"Tapi itu akan menyiksa dirimu sendiri, hyung," ucap Chanyeol dengan matanya yang memandang Jongdae sayu.

"Aku tahu. Tapi aku akan lebih tersiksa lagi jika Minseok-hyung menjauhiku dan tak menghiraukanku sama sekali," balas Jongdae. "Dan itu sangat menyakitkan, Chanyeol-ah."

Chanyeol memilih diam bersama Baekhyun. Mereka juga tahu, menyakitkan memang jika menyembunyikan perasaanmu pada orang yang kau cintai. Tapi lebih menyakitkan ketika kau dibenci karena perasaanmu itu. Ia akan menganggapmu makhluk yang tak pantas untuk hidup di dunia ini dan membuatmu berpikir "meninggalkannya" adalah pilihan yang paling tepat. Meninggalkan dalam arti… mati.

"Baekhyun-hyung, Chanyeol-ah, aku pulang dulu ya? Terima kasih sudah bersedia mendengarkan masalahku, annyeong," Jongdae mengambil tasnya yang tersampir di kursi miliknya, kemudian berdiri dan beranjak pergi meninggalkan sepasang kekasih itu dalam diam.


"Aku pulang!"

Jongdae memasuki rumahnya, melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu yang tersedia di serambi. Mengecek keadaan rumah yang terlihat sepi ketika ia masuk. Mungkinkah keluarganya sedang pergi?

"Eomma, appa, Min-hyung?"

Ia menelusuri koridor rumahnya hingga melihat sebuah siluet di dapur. Terlingkupi rasa penasaran, ia menuju ke dapur. Sosok dari siluet itu semakin terlihat jelas.

"Min-hyung?" panggilnya. Sosok itu menoleh.

"Ah.. Jongdae-ah, selamat datang. Kapan kau pulang?" tanya sosok itu, Minseok. Ia memegang spatula di tangannya. Ooh.. Ia sedang memasak rupanya, pantas saja tidak tahu kalau Jongdae sudah datang.

"Umm.. Beberapa menit yang lalu. Hyung sedang apa?" tanya Jongdae kemudian mendekati Minseok yang kembali fokus pada masakannya.

"Memasak? Eomma dan appa sedang pergi, mungkin baru pulang besok," jawab Minseok tanpa mengalihkan perhatiannya. Jongdae mengangguk paham.

"Kalau begitu aku ganti baju dulu ya, hyung."

"Ne, lebih baik kau mandi dulu. Hyung sudah menyiapkan air hangatnya," ujar Minseok saat Jongdae mulai menghilang dari balik pintu.

"Ne, hyung."

"Bagaimana? Enak tidak? Mianhae, hyung tidak terlalu pandai mema–"

"Gwaenchana, ini enak kok hyung."

Minseok seketika terdiam setelah Jongdae memutus ucapannya. Ia bersyukur jika dongsaeng-nya itu menyukai masakannya. Ia tersenyum melihat Jongdae yang dengan lahap memakannya.

"Kalau sudah selesai letakkan saja, biar hyung yang membereskan, arasseo?"

"Hn…."

Jongdae masih melanjutkan makan malamnya. Sedangkan Minseok yang sudah lebih dulu menghabiskan makanannya hanya menunggu Jongdae hingga selesai. Sesekali ia melirik Jongdae yang makan dengan lahap.

'Syukurlah, kalau begini aku bisa jadi ist- Aissh.. Apa yang kupikirkan?' Minseok mengetuk-ngetuk kepalanya pelan atas pikiran bodohnya. Mana mungkin ia jadi "istri" dongsaeng-nya? Ingat Kim Minseok, dia itu dongsaeng-mu dan kau itu hyung-nya, kalian tak mungkin bisa bersama, batinnya berulang-ulang.

"Minseok babo, babo," gumamnya pelan agar Jongdae tak mendengarnya. Namun, pada dasarnya Jongdae memiliki penglihatan yang bisa dibilang sangat baik, ia tak bisa tak memperhatikan tingkah hyung-nya itu.

"Hyung.. Wae?" tanyanya setelah menelan makanannya. Minseok segera menoleh ke arah Jongdae, ia menggelengkan kepalanya.

"Tidak, bukan apa-apa. Ayo, cepat habiskan," elak Minseok dengan senyum yang dipaksakan. Jongdae sebenarnya sedikit curiga, tapi biarlah ia bisa tanya nanti saja.

::

"Aku sudah selesai hyung," ujar Jongdae seraya meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Minseok yang tahu hal itu segera berdiri dari kursinya.

"Kau bisa istirahat, biar hyung yang membereskannya."

"Mau kubantu, hyung?" tawar Jongdae yang melihat Minseok mulai menumpuk piring dan mangkuk yang ada di meja makan.

"Gwaenchana, kau istirahat saja," perintah Minseok yang setelah selesai menumpuk peralatan makan itu segera mengangkatnya dan membawanya ke dapur untuk mencucinya. Jongdae hanya diam melihat setiap perbuatan Minseok.

Jongdae beranjak dari kursinya dan menuju dapur tempat Minseok saat ini berada. Jongdae mengawasi Minseok yang dengan telaten mencuci piring-piring itu. Sejak dulu Minseok memang orang yang sangat rapi dan menyukai kebersihan.

Ia berjalan mendekati Minseok yang masih mengerjakan tugas rutinnya itu.

"Hyung… Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucap Jongdae setelah ia berhenti di dekat Minseok. Tanpa menoleh ke arah Jongdae, Minseok menjawab.

"Ya? Ada apa? Sebaiknya kita bicara setelah hyung membereskan ini semua, oke Jongdae-ah?"

"Tapi hyung–" Baru saja Jongdae ingin protes, ia diinterupsi oleh Minseok.

"Jebal, Jongdae-ah…."

Mendengar perintah Minseok yang terkesan memohon itu memaksa Jongdae untuk tak bisa membalasnya. Namun Jongdae tak bisa menahannya lagi, katakan perasaannya sekarang atau tidak sama sekali. Jika pada akhirnya Minseok malah membencinya, ia sudah tak peduli lagi. Karena semakin ia menyembunyikan perasaannya, semakin ia tak sanggup memikul penderitaan akibat cintanya.

Biarkan hyung-nya membencinya. Walau itu akan sangat menyiksa.

"Hyung, dengarkan aku!" seru Jongdae sembari menggenggam tangan Minseok.

Praang!

Minseok yang terkejut atas tindakan Jongdae, melepaskan piring yang tengah dicucinya. Ia menoleh, pandangan matanya tajam menusuk. Protes atas kelakuan Jongdae padanya. Namun dalam sekejap ia merasakan sesuatu yang lembut mengunci bibirnya. Tak ayal ia membelalakkan matanya mengetahui apa yang sedang terjadi padanya.

Jongdae menciumnya!

"Mmph..! J-Jong..hmph!"

Minseok berusaha melepaskan ciuman Jongdae. Meronta agar Jongdae mau melepaskannya. Namun Jongdae terus memperdalam ciumannya, melumat bibir itu seakan ia tak bisa hidup jika ia melepaskannya begitu saja. Mencoba membuka bibir Minseok agar lidahnya bisa mengakses mulut Minseok. Minseok yang tahu akan maksud dongsaeng-nya, menggigit bibir Jongdae yang pada akhirnya berhasil membuat dirinya terbebas dari ciuman itu.

Jongdae terengah-engah seraya mengusap darah yang keluar dari bibirnya. Ia melihat hyung-nya yang sedang mengumpulkan oksigen untuk bernapas, bibirnya membengkak akibat ciuman Jongdae tadi. Wajahnya memerah.

Tapi Jongdae tak peduli. Bukannya sudah ia putuskan apa yang terjadi padanya setelah ini, ia sudah tak peduli lagi. Ia terlalu mencintai Minseok hingga ia meninggalkan akal sehatnya.

Katakan ia egois. Tak punya perasaan. Tapi jika ia tak punya perasaan, lalu sakit dan perih yang ada dihatinya itu apa? Dan hangat yang menyelimutinya ketika ia bersama orang yang ia sayangi itu apa?

Ia punya. Hanya saja biarkan kali ini saja egonya yang menguasai. Kali ini saja.

Meski ini yang terakhir.

"Jo-Jongdae-ah.. A-apa yang kau.. laku-kan..?" tanya Minseok sedikit terengah, ia masih mengatur napasnya agar kembali seperti semula. "Aku bertanya padamu… Apa yang kau lakukan Kim Jongdae!" tuntutnya pada Jongdae yang juga masih terengah. Matanya menatap tajam ke arah Jongdae.

"Aku mencintaimu hyung," lirih Jongdae. "Aku mencintaimu… JEONGMAL SARANGHAE YO KIM MINSEOK!"

Minseok tercekat mendengar pernyataan cinta dongsaeng-nya. Ia menutup mulutnya, tak percaya jika dongsaeng-nya menyimpan rasa suka–ani, cinta padanya. Matanya memanas, seperti ada sesuatu yang akan meluncur begitu saja dari kedua matanya.

"Kau boleh membenciku karena ini hyung. Benci saja dongsaeng-mu ini," ucap Jongdae yang tengah menundukkan kepalanya. Takut untuk menatap wajah Minseok yang ia yakini sedang memandangnya saat ini.

"Jongdae-ah… Bisa kau tinggalkan aku sendiri?" pinta Minseok, mau tak mau Jongdae mendongakkan kepalanya untuk melihat Minseok. Ia kaget melihat Minseok yang dengan sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak keluar.

"Hyung…."

"Jebal… Tinggalkan aku sendiri," pinta Minseok yang keadaannya terlihat semakin memilukan di mata Jongdae. Tanpa berpikir dua kali, Jongdae berjalan meninggalkan Minseok. Ia menengok ke arah Minseok ketika sudah sampai di ambang pintu dapur, dan segera berbalik pergi menuju kamarnya di lantai dua.

"Kkh.. Wae..?"

Minseok memukul pelan meja dapur di dekatnya. Tangannnya mengepal erat. Berkali-kali ia memukul meja itu hingga tangannya memerah. Badannya merosot, kakinya seakan tak kuat menahan beban tubuhnya.

Mengacak rambutnya frustasi dan menggumamkan kata "Kenapa?" berulang kali. Ditengadahkannya kepalanya ke atas untuk menahan air mata yang mendesak keluar. Namun percuma, cairan bening itu akhirnya meleleh ke pipinya. Sekarang ia bukan Kim Minseok, namja kuat ahli Taekwondo, tapi seorang namja lemah yang tengah menangis meratapi kenyataan.

"Wae Jongdae-ah? Kenapa kau mencintai orang sepertiku? Hyung-mu sendiri?" lirih Minseok pilu. "Dan bodohnya aku yang juga menyimpan rasa cinta padamu…."

Minseok menyesal. Tak seharusnya ia menyimpan perasaan yang sama pada dongsaeng-nya. Karena ia sadar, bagaimanapun usahanya untuk bersama dengan Jongdae, mereka yang saudara sedarah tak akan bisa bersatu. Dan ia sadar, perbuatannya adalah kesalahan besar yang tak akan bisa dimaafkan.

"Mianhae Jongdae-ah.. Jeongmal mianhae…."

..::To Be Continue::..

Author's Note:

Err.. Ini FF pertama yang saya publish di FFn.. ^^

Maaf kalo ada typo yang berkeliaran di sini dan pairing yang saya pakai tidak sesuai selera readers semua.. *emang makanan?*

Umm.. Lastly, mind to give me a Review?

Thank you so much.. ^^ #ojigi