Cerita ini untuk Delfoy, megu takuma, genevhyn, Van Vin dan para reviewer.

Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Tom Marvolo Riddle.

Rating: T


"Selamat hari Valentine, Riddle."

Menghentikan langkah, Tom Marvolo Riddle atau yang lebih suka menyebut dirinya sebagai Lord Voldemort menatap tiga gadis belia yang tersipu-sipu malu. Merona merah muda dari ujung kaki sampai sudut kepala, tiga dara jelita bermata seterang bintang malam itu saling sikut satu sama lain sebelum tertawa terkikik-kikik.

Merapatkan lipatan mantel panjang hitam yang membungkus tubuh, Tom berjuang sekuat tenaga membendung bara amarah dan energi pembunuh yang mendidih di dalam pembuluh. Tersenyum dalam kelemah-lembutan palsu yang menipu, Tom mengedik singkat, tanpa banyak kata-kata kembali melangkah menuju flat mini miliknya yang terletak di perbatasan Diagon Alley dan Knockturn Alley.

"Riddle, tunggu. Ini cokelat buatan kami untukmu," seru salah satu gadis bermata biru. Rambut pirang stroberi-nya terjurai dari balik topi bulu, simbol kemakmuran seorang perempuan di era tersebut.

"Maaf, aku tak suka makan cokelat," balas Tom simpatik, menyembunyikan kemurkaan gelap yang pelan tapi pasti mulai menyelimuti diri.

Menepis halus tangan gadis bermantel ungu anggur yang mencekal lengan kanan, Tom tersenyum ringan, tipis dan perlahan. Mengangguk sekilas sebagai isyarat selamat tinggal, Tom beranjak menjauh, tak memedulikan sama sekali tatapan hampa yang dilontarkan ketiga gadis pemujanya.

Darah campuran sialan, Tom mengutuk marah dalam hati, merapalkan Mantra Scourgify non-verbal untuk membersihkan lengan mantel hitam dari kontaminasi debu. Menepuk serpih-serpih salju yang menempel di kerah jubah, Tom membayangkan membantai tiga jalang murahan itu dengan aneka kutukan mengerikan dan mantra-mantra hitam mematikan.

Astaga, apa sih yang dipikirkan tiga penyihir pangkat rendah itu sampai berani membuatkannya cokelat Valentine? Hanya karena sering berpapasan dan bertegur sapa sepintas lalu, tak berarti ia mau mengakrabkan diri dengan orang buangan seperti mereka.

Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Tom harus menelan emosi, menebar banyak senyum palsu dan anggukan simpati imitasi. Jika tak mengingat kedok sementara yang dipakai, Tom lebih suka membalas sapaan hangat memuakkan itu dengan rapalan sihir hitam.

Menguatkan tekad untuk tetap berkepala dingin, Tom membiarkan ego dan arogansi tingkat tinggi sedikit terkubur. Saat ini, demi tujuan besar dan masa depan cemerlang yang menanti di depan mata, ia harus berperan sebagai Tom Riddle, alumnus Sekolah Sihir Hogwarts yang cerdas, santun dan memikat. Pekerja toko Borgin and Burkes yang bersahaja serta tak pernah memandang kasta.

Mengelus cincin Gaunt yang terselip di jari tangan, Tom menyeringai sinis mencermati seisi penjuru Diagon Alley. Di pertengahan bulan kedua seperti sekarang, setiap toko disesaki balon hati merah muda dan lambaian renda di atas kanopi. Belum lagi dengan aksi konyol malaikat kecil bersayap keemasan yang getol menebar confetti. Taburan kertas logam warna-warni yang membuat kepala legamnya gatal-gatal seharian ini.

Kejengkelan Tom semakin mengembang saat telinganya disusupi derai tawa gadis-gadis muda yang berebutan mengucapkan selamat hari kasih sayang. Ungkapan manis yang membuat cuping hidungnya kembang-kempis menangkis emosi.

Di mata Tom yang tak pernah memercayai cinta, perayaan Valentine merupakan momen penuh lelucon paling memuakkan sejagat raya. Bagi penyihir kejam dan penuh muslihat seperti dirinya, cinta cuma omong kosong tak berguna. Cuma dongeng anak-anak yang tak terjamin keabsahan dan keakuratannya.

Cinta juga tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan dan kejayaan. Supremasi tingkat tinggi yang segera diraih jika ia bisa mendapatkan medium terbaik untuk membuat Horcrux. Jimat terkutuk yang mampu membuatnya hidup kekal abadi untuk selama-lamanya.

Imajinasi Tom tentang rencana menyimpan sebagian jiwa kudus di dalam Horcrux terhenti ketika mata hitam kelam sedalam jurang kegelapan miliknya menangkap kilauan cahaya emas yang mengintip dari balik gundukan salju.

Menggumamkan Mantra Panggil non-verbal, Tom menerbangkan benda misterius yang berkilat berkelap-kelip. Sudut bibirnya menukik ke atas sewaktu kalung jam pasir mini itu mendarat perlahan di telapak tangan.

"Pembalik Waktu," gumam Tom, meletakkan benda temuan tak terduga di saku jubah mantel. Mendaraskan jampi-jampi penangkal Mantra Panggil, Tom memikirkan harta karun yang terbilang langka itu.

Sepanjang yang diketahui Tom, Pembalik Waktu hanya tersedia di Departemen Misteri Kementerian Sihir Inggris. Berhubung fungsi esensial-nya yang bisa disalahgunakan, medium yang bisa melontarkan manusia ke era yang berbeda itu dijaga ketat satu kali dua puluh empat jam. Jadi, sangat mengherankan jika barang berharga seperti ini tergeletak tak bertuan seperti sekarang.

"Accio Pembalik Waktu. Accio Pembalik Waktu."

Rapalan Mantra Panggil yang diucapkan terbata-bata mengusik perhatian Tom. Mendekat ke sumber suara, Tom mengernyit begitu sosok si empunya suara terpantau jarak pandang.

Di sana, di dekat apartemen buluk yang bertengger miring, seorang wanita bergaun pengantin mondar-mandir meneriakkan Mantra Panggil. Meski tertutup tudung, Tom bisa melihat kepanikan yang merayapi wajah si wanita saat hembusan Mantra Panggil yang dikumandangkan seolah-olah membentur tembok buntu.

"Oh Merlin! Di manakah Pembalik Waktu sialan itu," si pengantin bergaun klasik mengumpat keras, meninju udara dengan tangan kosong yang terbungkus sarung tangan sutra.

Menyeringai terhibur, Tom mengamati reaksi kalut si wanita. Rupanya, wanita aneh inilah pemilik Pembalik Waktu yang sebenarnya. Benda prestisius yang tak akan pernah dikembalikannya kepada si empunya.

Melangkah perlahan, Tom memasang aura kharismatik yang selama ini identik dengan dirinya. Topeng menawan yang sukses menyembunyikan identitas aslinya sebagai calon tiran rezim kegelapan.

"Ada yang bisa aku bantu, Nyonya?"

Terperanjat sebentar, si wanita berbusana pengantin menengok cepat. Untuk sesaat, Tom merutuki cadar sutra yang menutupi paras si pengantin. Tudung keparat yang membuatnya tak bisa melihat jelas wajah si wanita.

"Harry?"

Terus mengurai senyum simpatik, Tom memaki di dalam hati. Ya ampun, sudah cukup buruk ia dipanggil dengan nama kacangan seperti Tom. Sekarang, mengapa ia harus disapa dengan nama Harry yang tak kalah jelek dan pasaran?

"Maaf Nyonya, namaku bukan Harry," balas Tom ramah, mengawasi pergerakan si pengantin yang berdiri gemetar. Manik kelam dan tajam Tom merayap perlahan, menelusuri tubuh wanita di hadapannya dengan ketertarikan gamblang yang tak ditutup-tutupi.

"Oh, maafkan aku. Kusangka kau Harry sebab kau mirip sekali dengannya," si pengantin terus meracau galau, menyepak-nyepak gumpalan salju dengan ujung selop beludru.

Didorong keinginan aneh mengetahui seperti apa tampang Harry yang katanya mirip dengan dirinya, Tom merundukkan wajah, bersiap-siap mengebor memori si pengantin dengan Mantra Pembuka Pikiran.

Dengan fisik kelelahan seperti sekarang, Tom optimis bisa membedah otak dan menggeledah pikiran si wanita dalam waktu singkat. Keyakinan yang langsung punah saat Mantra Legillimens-nya membentur tembok Mantra Penutup Pikiran. Jampi-jampi Occlumency tingkat tinggi yang mau tak mau membuat Tom mengangkat topi.

Meski gagal membongkar data otak si wanita, Tom tak gundah gulana. Tom percaya bisa meraup jawaban yang diinginkan dengan berbekal jalur tanya jawab. Sesi interogasi yang sudah dikuasai sedari usia dini.

"Harry itu suami kurang ajar yang meninggalkanmu sendirian di sini?" Tom bertanya ramah, mengutuki dirinya sendiri karena tak bisa menyembunyikan nada penasaran yang menyelubungi suara.

Menggeleng lemah, si wanita memeluk bahu kecilnya yang bergetar kedinginan. Untuk sesaat, Tom diserang keinginan merengkuh dan menghangatkan si wanita di dalam dekapan. Hasrat janggal dan pikiran gila yang untungnya padam tatkala si wanita kembali tergugu parau.

"Bukan, Harry tidak meninggalkanku. Oh Tuhan, aku harus segera menemukan Pembalik Waktu sebelum terlambat," si wanita merintih lirih, menerakan mantra sambil melambaikan tongkat sihir ke sembarang arah.

"Accio Pembalik Waktu. Accio Pembalik Waktu."

Tom menyeringai sinis menikmati alunan Mantra Panggil yang berhembus terpatah-patah. Sampai bibir si wanita aneh itu membiru kedinginan pun, mantra standar seperti itu tak akan pernah bisa menembus segel penangkal yang sudah dilekatkan di harta karun terbarunya. Medium tepat yang dipilih Tom untuk meletakkan sebagian jiwa sucinya.

"Nyonya, salju mulai turun. Sebaiknya kau hentikan pencarianmu," bujuk Tom hangat, pura-pura menyelipkan nada peduli di dalam kalimat.

Menggelengkan kepala kuat-kuat, membuat untaian bunga jeruk di atas tudung berderak-derak, si wanita terus menebaskan tongkat sihir. Beringsut tertatih-tatih, wanita asing itu bergerak menjauhi Tom, terus mengisakkan Mantra Panggil di sela-sela langkah gontai tak bertenaga.

Mengangkat sebelah bahu, Tom membalikkan punggung dan berjalan santai menuju apartemen kumuh yang nyaris rubuh. Meski remah-remah salju mulai bercucuran dari langit dan berpotensi membekukan siapapun yang berkelintaran di luar ruangan, Tom tak mau ambil pusing. Ia juga tak akan peduli meskipun wanita sok romantis itu mati kedinginan di depan pintunya.

Menaiki tangga ke lantai dua, Tom mencibir dalam hati. Ya, wanita sok romantis. Itulah julukan tepat untuk si pengantin keras kepala. Cuma perempuan sok romantis yang memilih menikah di hari Valentine. Hari istimewa yang katanya penuh cinta dan kasih sayang. Hari menjijikkan yang membuat Tom ingin menumpahkan seluruh isi perut.

Memutar kenop, Tom membuka pintu kamar dengan sekali sentakan. Menyingkirkan butiran salju yang melekat di keliman celana panjang, Tom melepas kaus kaki dan sepatu oxford hitam. Menarik simpul dasi, Tom mencantelkan mantel berpergian di kaitan depan pintu.

Usai meletakkan dasi hitam di pasak kedua, Tom merogoh kantung mantel, menarik keluar Pembalik Waktu yang berharga. Pembalik Waktu yang tengah dicari membabi-buta oleh si pengantin keras kepala.

Mengibaskan tongkat sihir, Tom menyalakan lampu minyak yang tergeletak di dekat meja bulat depan jendela. Seleret sinar lemah kekuningan menggeliat dan merayap perlahan, kalah total melawan aura gelap yang bercokol di kamar berornamen sederhana tersebut.

Memandang berkeliling, Tom mencermati seisi kamar. Dengan pendapatan pas-pasan, ia harus berpuas diri tidur dan meninggali ruangan butut seperti ini. Bilik sempit yang hanya mampu menampung satu ranjang besi, meja bundar dan meja persegi panjang yang penuh buku serta satu lemari kayu. Lemari tua yang disesaki harta benda paling berharga.

Membuka pintu lemari, Tom mengelus jubah Hogwarts dan seragam Quidditch Slytherin dengan penuh kasih sayang. Menjentikkan jari, Tom menerbangkan kotak kuningan dari laci teratas. Wadah persegi tempat ia menyimpan semua relik dan artefak favorit. Relikui penuh kenangan yang dikumpulkan sejak masa kanak-kanak.

Seperti burung namdur yang gemar mencuri barang berharga, Tom juga memiliki kebiasaan serupa. Sejak kecil, ia gemar merebut benda milik orang lain. Tentu saja tak semua koleksi kesayangan diraih dengan paksaan. Ada juga yang digapai dengan usaha sendiri, seperti ban Kapten Quidditch, lencana Prefek dan emblem Ketua Murid.

Meletakkan curian terbaru di dalam kotak, Tom menarik pintu hingga menutup sebelum menyegel dan mengunci lemari dengan perisai yang tak akan bisa ditembus oleh siapapun kecuali dirinya.

Beranjak ke kamar mandi, Tom memanaskan air di bak dengan bantuan tongkat sihir. Melepas sisa baju yang melekat, Tom bergegas membersihkan semua usapan yang dilesakkan pelanggan utamanya, Hepzibah Smith.

Memikirkan Hepzibah Smith menyalakan bara semangat Tom. Hepzibah Smith memang genit dan menjengkelkan, tapi keturunan pendiri asrama Hufflepuff, Helga Hufflepuff itu memiliki benda bermutu yang layak dijadikan Horcrux terbaru. Tom bahkan berani bertaruh kalau Hepzibah Smith menyimpan piala emas berbentuk musang. Artefak kuno peninggalan Helga Hufflepuff yang tak ternilai harganya.

Khayalan Tom untuk merampas harta si tua Hepzibah Smith terputus sewaktu gelegar hujan salju menghantam daun jendela. Gemuruh angin badai yang memukul-mukul dinding membuat batin Tom bergejolak tak tenang.

Dengan badai salju sehebat ini, bagaimana nasib si pengantin yang berkeliaran di luar sana?

Merutuk perlahan karena tak bisa membendung rasa penasaran, Tom buru-buru mengeringkan tubuh dengan handuk. Membuka pintu lemari, Tom menyambar kemeja biru gelap yang langsung dipakai secepat kilat.

Berderap tak sabar ke depan jendela, mata Tom menyipit mencermati panorama di bawah kamar. Tepat seperti prediksi, pengantin kepala batu itu masih berseliweran mencari Pembalik Waktu. Sesekali tangan kecilnya terjulur, mengusir pejalan kaki bertubuh tambun yang menatap prihatin.

Meletakkan telapak tangan di jendela yang berembun, Tom mengumpat lantang, menyumpahi kekeraskepalaan si wanita. Seharusnya, di kondisi seperti sekarang ini, pengantin gila itu menghentikan pencarian yang berlangsung sia-sia.

Menggelengkan kepala, Tom berusaha mengusir kekhawatiran yang melanda. Daripada memikirkan keselamatan wanita misterius itu, lebih baik ia memfokuskan diri pada identitas pengantin sinting yang nekat membawa-bawa Pembalik Waktu di hari pernikahan.

Mungkinkah wanita itu adalah pegawai Unspeakable alias Tak Terkatakan? Karyawan Departemen Misteri Kementerian Sihir Inggris yang ditugaskan mengawal Pembalik Waktu?

Segala macam pertanyaan yang mengganduli otak Tom terhenti saat si wanita terpeleset dan terjungkir ke tumpukan salju. Bersimpuh nelangsa, bahu si wanita bergetar hebat. Sayup-sayup, isak tangisnya yang memilukan memasuki indra pendengaran Tom.

"Brengsek! Ada apa denganmu, Tom Riddle? Kenapa kau berhasrat menolong penyihir sialan itu?" Tom mengumpat keras, menggebrakkan tinju di daun jendela. Memejamkan mata, Tom menganalisis perdebatan yang bergejolak di dalam batin.

Dari segi logika, tak ada untungnya jika ia menyelamatkan wanita sialan itu. Akan lebih baik jika pengantin tak waras itu mati kedinginan. Akan lebih baik jika wanita terkutuk itu...

"Ah, sial!" Tom merutuk kalap, menghempaskan pintu hingga terbuka. Melesat cepat menuruni jalan berpapan kayu dan landasan tangga yang berderak-derak, Tom menghampiri si wanita yang terduduk merana.

"Hei kau, Nyonya!" Tom mencekal lengan pengantin misterius yang nyaris terkapar pingsan. Tak berpikir dua kali, Tom mengangkat dan menggendong si wanita masuk ke dalam kamar.

Masuk ke dalam hidupnya yang dipenuhi selubung kegelapan tak berujung...


"Accio Pembalik Waktu. Accio Pembalik Waktu."

Menyingkirkan kepanikan yang pelan tapi pasti membungkus jiwa raga, Hermione Jean Granger menggoyangkan tongkat kayu sihir di udara. Berulang-ulang kali mulutnya terkuak lebar, melafadzkan mantra yang diperlukan untuk memanggil Pembalik Waktu yang hilang entah ke mana.

Mengedarkan pandangan, Hermione berupaya mengingat-ingat lokasi tempatnya terdampar sekarang ini. Dari sejumlah papan nama toko yang dihiasi pernak-pernik merah muda, Hermione bisa mengambil kesimpulan kalau ia terjatuh di perbatasan Diagon Alley dan Knockturn Alley.

Bukannya kawasan perbelanjaan Muggle London tempat tujuan awal selama ini...

Mematung di bawah tatapan pejalan kaki yang berdiri mengitari, Hermione mengenang kembali insiden berdarah yang memaksanya menggunakan Pembalik Waktu. Benda pembalik tempo yang tadinya diharapkan bisa memutar ulang realita hidup yang memilukan...

"Merlin, Hermione. Kau cantik sekali hari ini. Won-Won pasti tak bisa berkonsentrasi mengucapkan janji suci pernikahan."

Hermione tersenyum tulus menanggapi pujian yang diucapkan Lavender Brown Thomas, penyihir darah murni yang pernah menjadi teman sekamar di asrama Gryffindor Sekolah Sihir Hogwarts.

"Trims, Lav. Kau juga sangat memesona sewaktu menikah setengah tahun lalu. Dean sampai nyaris pingsan kegirangan melihatmu berjalan menuju altar," balas Hermione, menggeliat membenahi posisi duduk di kursi meja rias.

"Begitukah?" cetus Lavender sumringah, menatap ceria pantulan wajah di kaca rias. Puas mematut-matut diri, manik energik Lavender bergulir menatap jarum alat penunjuk waktu yang terus bergerak pasti di ruangan tunggu pengantin.

Setali tiga uang dengan Lavender yang gelisah memelototi jam dinding, kedua orangtua Hermione berkali-kali melirik pintu dan jendela. Menanti-nanti kedatangan rombongan pengantin pria yang sudah terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan.

Menepuk-nepukkan sebelah kaki ke lantai, kebiasaan yang selalu dilakukan jika didera kegugupan, Hermione menggigit bibir bawah. Seiring dengan pertambahan waktu, ketakutan tak beralasan menerjang dan mengacak-acak serabut batin Hermione.

"Blimey! Kenapa Won-Won lama sekali datangnya? Apa dia ketiduran dan lupa kalau hari ini ia harus menikahi Hermione?" Lavender menggerutu panjang-pendek, ikut-ikutan mengetuk-ngetukkan tumit sepatu hak lancip di lantai ruang tunggu.

Berpaling ke orangtuanya yang balas menatap dengan sorot khawatir, Hermione menghembuskan napas panjang. Jemarinya tanpa sadar meremas keras kelopak mawar putih yang tergenggam kencang. Komentar Lavender membuat perasaan Hermione semakin tak beraturan, bercampur-aduk antara ketakutan dan kekecewaan.

Bagaimana jika Ron bukannya lupa tapi sengaja menghindar? Bagaimana jika Ron sebenarnya tak mau menikah? Bukankah Ron sejak awal bersikeras menunda pernikahan dengan alasan ingin berkarier di lapangan Quidditch?

Segala macam andai-andai menakutkan itu terhenti ketika Dean Thomas, suami Lavender sekaligus bekas rekan seasrama Hermione menerjang masuk ruangan. Kulit gelap Dean memucat dan bersimbah keringat. Mata cokelat kopinya menerawang sedih saat terkunci dengan iris madu Hermione yang bertanya-tanya.

"Hermione, ini buruk sekali. Kau harus tabah mendengarnya," bisik Dean gemetar, berangsur-angsur meluncur maju mendekati Hermione. Mengulurkan tangan, Dean memegang pundak Hermione, memaksa bekas teman sekolahnya untuk berdiam di posisi semula.

"Ada apa Dee-Dee?" tanya Lavender risau, merapatkan diri ke tubuh suaminya yang berderak menahan isak.

"Ron, dia... dia mengalami kecelakaan... dia..."

Dean tak bisa meneruskan penjelasan lebih lanjut lagi. Tangannya yang semula menggenggam bahu Hermione kini beralih menutupi wajah. Derai tangis keluar dari tenggorokan, bersaing dengan rembesan air mata yang melimpahi sudut mata.

"Oh, Dee-Dee... Won-Won meninggal bukan? Itu yang ingin kau katakan?" Lavender terpekik tertahan, memeluk suaminya yang tergugu tanpa suara.

"Tidak! Bohong! Ron tak mungkin meninggal!" jerit Hermione histeris, melempar buket bunga yang dipegang ke pinggir ruangan. Belum tiga langkah berlari menuju pintu ruang ganti, tubuh Hermione mulai limbung. Untungnya, orangtua Hermione bergerak sigap menangkapnya sebelum jatuh tersungkur ke bumi.

"Bagaimana dengan keluarga Weasley yang lain?"

Ayah Hermione, Mr Granger bertanya prihatin seraya meremas lembut bahu putrinya yang terguncang-guncang. Setitik air mata menggenang di lensa kacamata bersayap bergagang perak yang membingkai sepasang mata cokelat ramah. Manik hangat yang kini menggelap dalam kubangan duka cita.

"Orangtua Ron selamat. Mereka masih ada di mobil ketika kecelakaan mengerikan itu terjadi."

Seluruh kepala yang ada di ruang tunggu menoleh bersamaan ke ambang pintu, tempat di mana Harry James Potter, penyihir sejati yang berhasil menumpas Lord Voldemort berdiri sayu. Manik hijau zamrud Harry yang biasanya bersinar cemerlang kini digelayuti kabut kesedihan. Bekas lelehan air mata masih terpeta samar di kedua pipinya.

"Harry... Harry," seru Hermione serak, melepaskan diri dari pelukan orangtuanya dan menghambur ke arah Harry yang langsung mendekap erat-erat.

"Sssh, kuatkan dirimu, Hermione," Harry berusaha menghibur sebisanya, tangan gemetarnya menepuk lembut punggung Hermione. Mencoba memberi sedikit ketabahan pada teman terbaiknya yang tengah berkabung dan bergelung dalam selimut duka.

Menengadahkan wajah yang bermandikan air mata, Hermione mendesak Harry untuk segera membawanya ke tempat jenazah Ron berada.

Awalnya Harry menolak dengan alasan Hermione masih belum siap untuk melihat mayat Ron. Namun, kebulatan tekad Hermione tak bisa diganggu gugat. Akhirnya, dengan berat hati Harry membawa Hermione ke Rumah Sakit Saint Mungo, tempat di mana jasad Ron disemayamkan.

Setibanya di Rumah Sakit Saint Mungo, penyesalan dan perasaan berdosa yang menyelubungi Hermione semakin bertambah tebal. Hati Hermione kian teriris-iris ketika menyaksikan seluruh anggota keluarga Weasley meratap sesenggukan di samping mayat Ron yang terbujur kaku.

Batin Hermione makin tercabik-cabik tatkala dirinya mengetahui penyebab kematian pria yang seharusnya menikahinya hari itu.

Dari keterangan adik bungsu Ron, Ginny Weasley yang selamat karena tetap berada di dalam mobil, seharusnya mereka tiba tepat waktu di gereja jika Ron tak membanting setir ke pusat perbelanjaan London.

"Ron ingin memesan tiket bulan madu di sana. Padahal, kami sudah memintanya untuk menunda pemesanan selepas upacara pernikahan," Ginny terisak keras, membasahi pundak Hermione dengan lelehan air mata.

"Tapi Ron bersikeras membeli tiket saat itu juga. Katanya, ia ingin memberi kejutan bulan madu untukmu, Hermione," lanjut Ginny terbata-bata, menyedot lendir hidung dengan saputangan yang diberikan Harry.

"Kami memilih menunggu di dalam mobil yang diparkir di seberang jalan. Saat akan menyeberang jalan seusai memesan tiket itulah Ron ditabrak truk minyak. Ia tewas seketika di hadapan kami. Ia..." Ginny tak sanggup meneruskan kisah. Menyurukkan kepala ke bahu Harry, gadis berambut semerah cahaya api lebur itu menumpahkan sedu sedan di sana.

Penjelasan Ginny menjungkirbalikkan dunia Hermione. Seribu satu macam penyesalan bergelayutan di benak. Ron, pria yang dicintainya meninggal karena dirinya. Ron, pria yang seharusnya menjadi suaminya meninggal karena berniat memberikan kejutan bulan madu untuknya.

Mengusap air mata dengan brutal, Hermione menghampiri keranda mayat Ron. Menatap penuh kasih, Hermione merunduk dan menangis terengah-engah di dada Ron yang dipenuhi bercak darah.

Luka fatal yang membuat nyawa Ron melayang tampaknya tak bisa menghapus segurat senyum yang tercetak di wajah berbintik-bintiknya. Seulas senyum yang diyakini Hermione sebagai senyum kebahagiaan karena bisa membelikan hadiah bulan madu untuknya.

Menggenggam jemari Ron yang sedingin balok es, Hermione mengingat kembali momen di mana ia membujuk Ron untuk berbulan madu usai pesta pernikahan. Tadinya, Ron tak menyetujui keinginan itu dengan alasan ia harus bertanding bersama Chudley Cannons pasca pesta resepsi.

Hermione sama sekali tak menyangka kalau saat itu Ron hanya bersandiwara. Ia sama sekali tak mengira Ron diam-diam berencana mengabulkan impian untuk berbulan madu ke monumen cinta abadi Taj Mahal di India.

Menatap tiket penerbangan eksekutif yang masih berada di dalam kepalan tangan Ron, Hermione menjerit nelangsa dalam hati. Meratapi tanpa henti kematian tragis Ron yang terjadi karena ambisi pribadi untuk berbulan madu ala Muggle seusai pernikahan.

Mengepalkan tangan, Hermione membulatkan tekad untuk menulis ulang sejarah dan memperbaiki kerusakan dahsyat yang dibuatnya. Mengelus kalung rantai Pembalik Waktu yang melingkar di leher (hadiah pernikahan dari guru Transfigurasi Hogwarts, Profesor Minerva McGonagall), Hermione merayap gontai meninggalkan ruang jenazah.

Setibanya di luar kamar mayat, Hermione bergegas mencari sudut ruangan yang sepi. Tatkala tangan gemetarnya berancang-ancang memutar Pembalik Waktu, teriakan panik Harry membuatnya tersentak.

"Hermione! Apa yang kau lakukan? Kau tak bisa pergi ke masa lalu untuk memperbaiki tragedi ini!"

Terisak lirih, Hermione menatap Harry yang berderap mendekat dengan sepasang manik cokelat yang berbayang. Menelan gumpalan penyesalan yang mengoyak dan mencabik-cabik tenggorokan, Hermione meletakkan jempol dan telunjuk yang gemetaran di kunci pemutar Pembalik Waktu.

"Ya, aku bisa, Harry. Aku akan pergi ke masa lalu dan menyelamatkan nyawa Ron," ujar Hermione terbata-bata, memutar kunci Pembalik Waktu dengan jemari yang dibasahi keringat dan air mata.

"Tidak! Hermione, jangan! Jika kau ubah masa lalu, masa depan akan berubah!"

Hanya erangan peringatan itulah yang didengar terakhir kalinya oleh Hermione sebelum tubuhnya disedot gelombang kencang. Pusaran penuh spektrum yang melemparnya ke kawasan bersalju yang asing baginya.

Lokasi yang bukan bagian dari pusat perbelanjaan Muggle London.

Tempat di mana kecelakaan tragis yang menimpa Ron terjadi...

Memuntir tongkat sihir kayu anggur, Hermione menyimpan semua jaring lambat lamunan dan lintasan memori sedih ke ingatan terdalam. Daripada meratapi kebodohan fatal dalam menentukan putaran waktu, akan lebih baik jika ia mencari cara untuk menemukan kembali Pembalik Waktu yang terpental jatuh sewaktu tubuhnya terhempas mendarat di jalan masuk sempit ini.

"Accio Pembalik Waktu. Accio Pembalik Waktu," Hermione bergumam bertubi-tubi, berkonsentrasi merapalkan Mantra Panggil. Selama mulut gemetarnya berbicara, butir mutiara matanya terus bergulir memantau sekeliling mata angin, mencari-cari kilau cahaya emas di setiap gundukan salju yang ditemui.

"Oh, Merlin! Di manakah Pembalik Waktu sialan itu," hardik Hermione berang, meninju udara dengan hantaman tangan kosong.

"Ada yang bisa aku bantu, Nyonya?"

Suara ramah berkharisma itu membuat Hermione terperanjat. Menengok cepat ke belakang, mata cokelat Hermione terbeliak menatap pria jangkung yang berdiri menjulang. Penyihir tampan yang berwajah sangat mirip dengan sobat terbaiknya di dunia, Harry Potter.

"Harry?" Hermione bertanya ragu-ragu, mereka-reka mengapa sahabat dekatnya bisa berada di tempat yang sama dengannya. Hermione perlahan-lahan menurunkan tangan yang menutupi mulut saat ekspresi kesal terpahat sekelebat di wajah menawan itu. Mimik keji yang terhapus cepat seiring dengan senyuman bersahabat yang terulas di bibir tipis si pemuda.

"Maaf Nyonya, namaku bukan Harry," laki-laki muda dengan tubuh bersiluet tegas itu menjawab ramah. Dari balik tudung sutra tipis yang melindungi wajah, Hermione melihat mata gelap si pria menyelusuri lekuk tubuhnya, dari atas hingga bawah. Tatapan panas dan intens yang langsung menghunjamkan desir aneh di sepanjang pembuluh darah.

Bukan Harry...

Hermione merona menahan malu. Tentu saja lelaki di hadapannya ini bukan Harry. Meski sama-sama berambut hitam dan sepintas lalu terlihat serupa, tapi aura dan mata keduanya sangat berbeda. Manik hijau segar Harry selalu berpijar hangat, tak seperti iris kelam mencekam si pria yang sedalam gua tak berdasar.

"Oh, maafkan aku. Kusangka kau Harry sebab kau mirip sekali dengannya," Hermione berbisik gugup, menyepak-nyepak bukit salju dengan sudut selop beledu.

Hermione terkesiap ketika pria di hadapannya menunduk dan menatap wajahnya lekat-lekat. Untuk sesaat otak Hermione seakan dirajam seribu jarum. Dalam sekejap, benak Hermione seakan-akan diserang kekuatan tak terlihat yang berniat menjajah alam memori.

Hermione mengerang lega tatkala si pria menurunkan tatapan menyelidik yang setajam palu arit. Untung saja, beberapa menit sebelumnya ia sudah menyegel benteng pikiran dengan Mantra Occlumency. Mantra yang dipakai untuk memblokir investigasi para pejalan kaki yang sedari tadi terheran-heran memandangi.

"Harry itu suami kurang ajar yang meninggalkanmu sendirian di sini?"

Hermione berjengit menyimak nada penasaran di pertanyaan ramah tersebut. Mengambil dan menarik napas pendek-pendek, Hermione menggeleng lemah, mencoba mengusir getaran dingin yang merayapi bubungan tulang belakang. Gelombang membekukan yang tak ada kaitannya sama sekali dengan timbunan salju yang membanjir.

"Bukan, Harry tidak meninggalkanku. Oh Tuhan, aku harus segera menemukan Pembalik Waktu sebelum terlambat," Hermione meratap lirih, lubang hitam penuh duka dan kepanikan tak terkira muncul kembali sewaktu bayangan jasad berdarah Ron menari-nari di pupil mata.

"Accio Pembalik Waktu. Accio Pembalik Waktu."

Melambaikan tongkat sihir ke sembarang arah, Hermione mati-matian menahan jeritan frustrasi karena lantunan Mantra Panggil tak berfungsi. Jika tak segera menemukan Pembalik Waktu, Hermione yakin kesempatannya untuk menyelamatkan hidup Ron akan terbuang percuma.

"Nyonya, salju mulai turun. Sebaiknya kau hentikan pencarianmu."

Menggelengkan kepala keras-keras, Hermione menepis tawaran bersahabat itu. Meski diucapkan dengan nada santun, Hermione masih mengecap sejumput kepura-puraan. Gelagat sok peduli yang membuatnya semakin mantap untuk menjauhi si lelaki asing yang terus menatap tak putus-putus.

"Accio Pembalik Waktu. Accio Pembalik Waktu."

Dari ujung mata, Hermione melihat pemuda berperawakan sempurna yang sepintas lalu mengingatkannya pada Harry melangkah sombong menuju flat kumuh dua lantai. Menghela napas singkat karena bisa terbebas dari gangguan sesaat, Hermione kembali meneruskan pencarian.

Setelah lebih dari setengah jam mencari tanpa hasil, tenaga Hermione mulai melemah. Memaksakan bibir kelu yang mulai membiru untuk mendaraskan Mantra Penghangat, Hermione tersentak saat sepasang tangan gempal terjulur mendadak.

"Apa yang kau cari, Sayangku? Kau bisa mati kedinginan jika tak berteduh secepatnya."

Membuka kelopak mata yang berat, Hermione menepis ajakan ramah tersebut. Kendati tubuh terancam ambruk kelelahan, ia tak akan berhenti. Ia harus mengembalikan nyawa Ron apapun konsekuensinya nanti.

"Maaf, Madam, aku harus menemukannya. Harus," Hermione berbisik terputus-putus, bergumam di balik gigi yang bergemeletuk.

"Oh, sudahlah. Dasar pengantin aneh," si wanita gemuk bermantel bulu merah jambu menarik napas panjang. Menoleh ke seberang, mata cokelat kenari si wanita tua menyipit angkuh, mengamati tak berselera siluet rumah susun kumuh yang bertengger tak jauh dari ujung simpang jalan.

"Tadinya aku ke sini mau menemui Tom. Tapi, badai salju semakin ganas dan tak mungkin nyonya bangsawan berkelas sangat tinggi yang cantik dan terhormat seperti diriku bermalam di kamar jelek seperti itu," si penyihir berbedak tebal mendengus merendahkan, merapikan rambut palsu warna jahe yang merosot dari puncak kepala.

"Ayo, Hokey. Lebih baik kita menghangatkan diri di rumah. Begini-begini juga aku tak mau mati muda," penyihir bergelambir itu menepuk kepala peri rumah perempuan yang sedari tadi mengamat-amati Hermione dengan penuh minat. Membungkuk dan memberi hormat dalam-dalam, peri rumah yang dipanggil Hokey itu memegang jemari buntek majikan perempuannya sebelum menghilang secepat kepulan asap.

Sepeninggal nenek-nenek tua yang serba ingin tahu segala, Hermione meneruskan pencarian gigih yang tak berkesudahan. Dahsyatnya badai salju yang melaju kencang membuat perisai Mantra Penghangat yang diucapkan Hermione tak beroperasi maksimal. Di saat Hermione berniat melipatgandakan dosis Mantra Penghangat, sebatang dahan beku menelikung kaki letihnya.

Jatuh tersungkur di gundukan salju, Hermione terisak keras saat bayangan jenazah Ron yang bersimbah darah dan layu tak bernyawa terus berputar-putar di relung benak. Tak mau kalah oleh kepedihan dan tangisan tanpa harapan, Hermione mencoba bangkit berdiri. Di saat tungkai lunglainya bergoyang dihajar angin dingin, teriakan sarat kekhawatiran menyentak kesadaran.

"Hei kau, Nyonya!"

Memaksa kelopak mata untuk tetap terbuka, Hermione tercekat sewaktu si pemilik suara mengangkat dan merengkuhnya dalam gendongan. Rambut halus di tengkuk Hermione meremang saat penolongnya mempererat dekapan protektif yang menghanyutkan. Bulu roma Hermione merinding sempurna tatkala jemari penolongnya merayap posesif di tubuhnya.

Berjuang melawan kekosongan hitam dan kegelapan pekat yang menelan, Hermione menatap wajah penolongnya. Menatap langsung ke manik kelam bersemburat merah.

Iris berdarah yang pernah menjadi bagian dari kisah masa remajanya...

BERSAMBUNG