Naruto © Masashi Kishimoto

Allergy or Love written by RenJeeSun

Rated: M (for Theme)

Genre: Romance, Hurt/Comfort.

Pairing: SasuNaru.

warning: AU, Yaoi, BL, Gaje, OOC (sangat), OC, typo bertebaran, No Bashing, dll.

Well, if you Don't like, don't read!

::A::C::SN::J::S::

.

Summary:

Naruto tidak tahu dosa apa yang sudah dilakukannya di masa lalu hingga ia bisa bertemu dengan seorang Bajingan yang terus memperparah alerginya yang menyiksa. Namun apa yang bisa dilakukannya ketika bajingan tersebut memiliki pendukung seorang kakak yang memiliki tingkah lebih buruk lagi, dan diduga mengancam keselamatan tubuh dan hati seorang Kurama Namikaze?

.

::A::C::SN::J::S::
.

Gelap.

Itulah yang kutangkap saat kedua safirku terbuka. Tidak ada cahaya matahari yang menerobos masuk ke dalam kamarku. Aku menolehkan kepalaku ke kanan untuk melihat sebuah jam digital berbentuk jeruk berdiri tegak di samping tempat tidurku. Mataku menyipit saat melihat angka yang tertera pada jam digital itu.

05:50 am.

Oh shit!

Aku bangun terlalu pagi kali ini. Padahal masih sekitar dua jam lagi kegiatan perkuliahan pagi dimulai. Kemudian aku memandang keluar jendela, melihat dari sela-sela gorden putih, bentangan langit masih nampak gelap dan… mendung?

Aish! Damn it!

Ck, mengapa pagi-pagi begini harus mendung dan dingin?

Tunggu… dingin?

Tidak adakah yang lebih buruk dari ini?

"HATCHIIIMM!" Oh, yeah… ini yang terburuk.

Aku bisa merasakan hidungku mengeluarkan cairan menjijikkan, yang paling aku benci seumur hidupku. Dan akan selalu aku temui hampir di setiap pagi hari yang dingin. Aku mengambil sapu tangan yang selalu tersedia di samping bantal tidurku untuk membersihkan cairan menjijikkan yang meleleh di bawah hidungku.

Sungguh menyebalkan!

Aku benci ini! Aku benci jika cuaca buruk dan dingin. Asal tahu saja bukan tanpa alasan aku membenci cuaca menyedihkan seperti ini. Bisa dibilang semua ini akibat dari alergiku yang menyebalkan.

Yeah, suatu alergi akibat udara dingin atau bahasa canggihnya Allergic Rhinitis. Tidak seperti bahasanya yang terlihat keren, penyakit ini sama sekali tidak keren!

Bayangkan jika kau harus bersin di setiap kau merasakan udara dingin berhembus dan sangat menusuk kulit, seketika itu juga kau akan merasakan matamu memanas dan berair, ditambah dengan kepala pening dan berat. Tidak hanya itu, tenggorokkan juga terasa sangat gatal, lalu tubuhmu yang juga terasa menggigil. Dan hal itu selalu akan kurasakan jika cuaca tetap memburuk seperti saat ini. Benar-benar penyakit yang merepotkan!

Ck, ingin rasanya aku tidak kuliah hari ini. Namun, sayang sekali harapan nan mulia dan sangat indah itu tidak mungkin terlaksana, karena seseorang wanita berambut merah panjang dan menyandang gelar sebagai ibuku akan mengamuk layaknya macan jika aku membolos. Sungguh sangat disayangkan.

Aku menurunkan kakiku dari ranjang, lalu berjalan menuju ruang makan yang berada di lantai satu, dan hampir setiap tiga detik sekali aku akan bersin. Hiks… ingin rasanya meratapi nasib.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Minum obat? Pergi ke dokter?

Itu akan menjadi saran paling akhir yang akan kuturuti. Aku benci obat! Dan aku juga sudah ke rumah sakit. Kata dokter di sana, hal yang bisa membuat alergiku ini tidak kambuh adalah dengan menghindari penyebab alergi itu sendiri. Bagus, batinku miris. Memangnya ada caranya menghindari udara dingin? Haa~ Aku hidup di bumi, bukan di matahari. -_-

"HATCHIIIM!"

Lagi.

Mengapa aku tidak bisa menahan rasa gatal pada hidungku? Aku bosan bersin terus. T-T

Dan tidak berapa lama aku berjalan, kini aku tiba di ruang makan. Hem... Apa ada yang bertanya mengapa aku langsung menuju ruang makan daripada kamar mandi? Jawabannya hanya satu.

Aku. Butuh. Makan!

Sedikit aneh memang. Tapi inilah yang terjadi ketika aku merasakan alergiku kambuh, maka aku juga akan merasakan perutku melakukan konser perdana di dalam tubuhku. Lalu ketika aku tiba di meja makan yang terhubung dengan dapur, pandanganku menangkap sesuatu berwarna merah.

"Kau sudah bangun, Naru?" tanya sesuatu berwarna merah itu yang ternyata adalah ibuku—Namikaze Kushina, istri dari Namikaze Minato—sedang menyiapkan sarapan pagi bersama satu pelayan wanita paruh baya.

Namun rasanya sulit menjawab pertanyaan ibuku itu, ketika tenggorokkanku dan juga hidungku terasa gatal.

"Hatchiim!" Dan hanya suara bersinkulah yang menjadi jawaban—jika memang itu bisa dikatakan sebagai jawaban.

"Yare-yare… kau kambuh lagi, Naru?" tanya Ibuku lagi, suaranya sih, terdengar khawatir. Tapi lihatlah wajahnya! Yang sedang menaikan sebelah alisnya dengan senyum miring di bibirnya. Mengejek anaknya sendiri.

Cih! Ibu macam apa itu? Meskipun ini sudah menjadi hal biasa di keluarga kami, bukan berarti dia bisa meremehkan penyakitku ini! Menyebalkan!

"Hatchiim! Ibu, bisa tidak kau mengasihaniku sedikit saja?" gerutu kesal, tentu saja dengan bersin yang menyiksa.

"Bisa saja, sih… asal kau tidak berpikir bolos kuliah hari ini," katanya dengan kilat mengancam dari bola mata hijau teduhnya itu. Mau tidak mau aku menelan ludahku susah payah.

"Te-tentu saja tidak," kataku takut-takut, sampai-sampai melupakan acara bersinku. "Aku 'kan suka belajar, Bu!" yakinku. Yang 100% adalah kebohongan dan tentu saja tidak akan dipercaya oleh ibuku.

Ibuku hanya memutar bola matanya, lalu berkata, "Baguslah. Kalau begitu, Ibu akan menyuruh pelayan menyiapkan air hangat untukmu mandi, lalu juga sarapan khusus untukmu. Dan kau mungkin bisa menolong Ibu untuk membangunkan Ayah dan Kakakmu?" ujarnya lagi, kali ini dengan senyum semanis madu, yang sangking manisnya membuatku tidak ingin melihatnya.

Tanpa berpikir dua kali aku langsung menyetujui perintah ibuku itu, sebelum dia berubah pikiran untuk berbuat baik padaku. Namun ada satu hal yang harus kupastikan terlebih dahulu.

"Tapi, Bu. Kalau terjadi sesuatu padaku, kau akan membela—maksudku melindungiku, 'kan?" Kening ibuku berkerut, pertanda ia bingung. Tapi akhirnya dia mengangguk juga. Dan aku langsung menyengir senang. "Oke! Ibu sudah janji loh, ya!"

Kemudian aku langsung saja melaksanakan perintah ibuku tanpa menunggu respon lebih lanjut darinya. Aku pun melangkahkan kaki menuju kamar Kakakku yang sangat susah dibangunka. Namikaze Kyuubi—Kurama maksudku, nama aslinya, namun dia lebih suka dipanggil Kyuubi sejak dari kecil, entah mengapa. Yang saat ini menjabat sebagai wakil direktur di perusahaan Ayah, Namikaze corp. Bagiku dia adalah seorang Kakak yang sangat penyayang, penyabar, ramah, baik, lembut, sopan dan santun.

Ada yang percaya?

Sebaiknya jangan. Karena itu bohong. Dan sifatnya adalah kebalikan dari semua itu.

Sejujurnya semua itu adalah impianku sejak kecil. Impian memiliki Kakak yang seperti kugambarkan tadi. Tapi apa mau dikata? Dia sudah terlebih dulu lahir daripada aku, dan aku tidak bisa mengubah takdir yang telah terjadi. Ironisnya, aku malah sangat menyayanginya. Karena bagaimana pun dia adalah kakakku, dan walaupun dia itu cukup kejam padaku, tapi satu hal yang aku suka darinya, dia tidak akan pernah membiarkan diriku disakiti oleh siapapun. Yeah… karena katanya, hanya dialah yang berhak menyakitiku. Benar-benar kakak yang sangat mengganggu!

Sesampainya di depan pintu kamar berwarna merah dengan kombinasi hitam, aku langsung memutar knop pintu, lalu memasuki kamarnya yang bernuansa merah, putih, dan hitam. Kulihat gundukan dari dalam selimut berwarna putih, yang kuyakini adalah dirinya.

"Kyuu, bangun!" Aku menguncang-guncangkan tubuhnya dengan cukup kuat, namun sama sekali tidak ada respon darinya. Merasa terganggu pun tidak. Aku berdecak melihatnya.

"HATCHIIM!" Dan kembali bersin.

Ukh! Sial! Kepalaku mulai berat.

Aku butuh makan. Tenagaku sudah mulai habis. Tapi tidak akan ada makan jika aku belum menyelesaikan tugasku ini. Ah, apa kalian pikir aku terlalu overacting? Anggap saja begitu, karena kalian memang tidak tahu apa yang kurasakan bukan?

Kembali pada kakakku. Hanya ada satu cara untuk membangunkannya kalau begitu.

Srooot!

Aku mengeluarkan cairan dari hidungku menggunakan saputangan yang sejak tadi kubawa. Lalu perlahan kusingkap selimut yang menutupi wajah kakakku, terlihat surai merahnya yang berantakan, dan langsung saja kutempelkan saputanganku itu pada wajahnya.

Yaiks!

Aku sebenarnya jijik juga sih, tapi apa boleh buat? Semua makhluk hidup itu akan melakukan apa saja demi membuat perutnya terisi.

Lalu aku mendekatkan mulutku pada telinganya, "Brother…" kataku, berbisik, "you have my SNOT on your face!" seruku tiba-tiba, dan langsung berlari keluar kamarnya, menuju kamar mandi yang sebelumnya telah terisi air hangat.

Dan tak lama kemudian aku mendengar geraman kemarahan yang berasal dari kamar Kyuubi. Yang teramat sangat mencintai kebersihan. Oh… sungguh merdu suara itu. Hingga aku nyaris saja terpeleset jatuh ke dalam bathup.

"NARUTOOOO!"

Dan dengan itu aku yakin, Ayahku juga pasti telah bangun.

Yap! Mission complete!

Kali ini tidak ada yang perlu kukhawatirkan tentang nasibku yang mungkin saja dua puluh menit kedepan akan menjadi penderitaan hebat bagiku, ketika aku berada di tangan kakakku itu. Tentu saja karena aku sudah minta perlindungan terlebih dulu pada ibuku. Haha. Betapa diriku ini sangat pintar.

.

::A::C::SN::J::S::

.

Pagi ini aku terus merapatkan jaket yang kukenakan, untuk menghalau hawa dingin yang terus membuatku merinding kedinginan. Tapi beruntung, air hangat dan sarapan khusus menggunakan susu hangat pagi ini dapat sedikit meredakan alergiku. Dan sekarang ini aku telah tiba di kampus Konoha University lebih cepat setengah jam dari waktu perkuliahan di mulai. Mau bagaimana lagi, hari ini aku tidak bisa menggunakan kendaraan pribadi diakibatkan konsentrasiku yang terganggung dengan alergiku ini. Dan tadi meminta ayah untuk mengantarku. Yang memang selalu berangkat lebih pagi dariku jika ke kantor. Sejauh diriku berjalan, aku hanya berharap bahwa setengah jam kedepan cuaca dingin ini akan berubah hangat dan cerah. Jika tidak, bisa dipastikan aku tidak akan bisa mencerna perkataan dosen mana pun.

Setibanya di kelas perkuliahanku, aku mencari tempat di tengah ruangan yang berbentuk seperti undakan tangga. Sekilas aku melihat seisi ruangan yang hanya di isi dua orang mahasiswa yang tidak aku kenal. Tanpa berpikir apa-apa lagi aku langsung menduduki tempat yang berada di tengah ruangan dan sedikit berada di atas. Lalu langsung membenamkan kepala pada lenganku yang terlipat di atas meja, berniat menghilangkan sedikit rasa pening di kepalaku. Tanpa sadar aku tertidur.

Tok! Tok! Tok!

Ketika baru merasakan kira-kira tertidur sepuluh menit, suara ketukan terdengar dan menimbulkan getaran pada meja yang menjadi tempat merebahkan kepalaku. Hal itu membuatku terusik dan mengangkat kepalaku sedikit, hanya memperlihatkan safirku.

"Errngh…?" erangku, seraya melihat si pengganggu.

"Tiga surat, dua kotak coklat dan setangkai mawar," kata si pengganggu, yang ternyata adalah sepupuku yang juga satu kampus denganku. Deidara. Namun dia satu tingkat di atasku.

"Huh?" gumamku bingung. Tidak mengerti dengan apa yang diocehkannya. Lagi pula aku masih setengah sadar.

"Namikaze Naruto, seorang pemuda manis yang menduduki semester kedua di Konoha university, dan terkenal di seluruh kampus karena keramahan dan sifat cerianya. Menjadikan dirinya idola dikalangan para pria dan wanita di kampus," ujarnya lagi, makin tak jelas dan sangat tidak nyambung.

"Dei… jika kau hanya ingin membuatku semakin sakit kepala…" ujarku, dengan kesabaran yang mulai menipis, "Selamat. Kau sudah berhasil. Jadi, bisakah kau pergi sekarang dan membiarkan sepupu manis-mu ini beristirahat sebentar saja?" tambahku tanpa mengurangi nada sarkastik di dalamnya.

"Eist, calm down Naru-chan… aku hanya mengantar hadiah dari penggemarmu saja, kok," katanya.

Aku mengangkat kepalaku, yang sudah lumayan membaik, lalu menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi di belakangku. "Pink?" ujarku menunjuk benda-benda di tangannya dengan alis terangkat jijik. "Apa mereka lupa kalau aku laki-laki? Dan sejak kapan kau berkerja menjadi kurir pengantar?" aku membuat ekspresi sekesal mungkin. "Dan apa itu… bunga?" tambahku melihat setangkai mawar yang sedang diayun-ayunkan Deidara.

Deidara terkekeh kecil, "Sudahlah terima saja… mereka 'kan tidak bermaksud buruk. Lagi pula aku heran juga, mengapa mereka tetap saja bertahan menjadi fansmu padahal…" ujarnya mengantung sambil memerhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.

Aku mendelik kesal padanya, "Padahal apa?" sentakku tersinggung.

"Lihatlah dirimu sekarang, tidak ada sikap ramahnya sama sekali, bahkan pada sepupumu sendiri. Aku jadi rindu dengan sepupuku yang kelewat polos, ceria, dan bodoh."

"Aku tidak bodoh!" protesku.

Deidara langsung mencibir. "Ya, ya, ya," sahutnya malas. "Oh, ya. Apa kau sudah dengar katanya hari ini ada dosen pengganti. Yang menggantikan Kurenai-sensei," lanjutnya tak mau berdebat. Deidara mengambil tempat duduk di sebelahku.

Aku mengangguk sekilas, "Sudah, kemarin Gaara memberitahuku. Dosen baru itu katanya menggantikan Kurenai-sensei yang cuti melahirkan."

Beberapa saat Deidara hanya memandangku dengan raut datar.

"Apa?" tanyaku yang lagi-lagi curiga dengan tatapannya itu, seperti ada yang dia sembunyikan.

"Kau pucat," katanya.

Aku mendengus. "Sudahlah Dei, ini bukan sekali dua kali kau melihatku berwajah pucat seperti ini. Kau sendiri tahu, akhir-akhir ini cuacanya memang dingin. Dan membuat alergiku sering kambuh. Lagi pula, kau tidak akan menatapku seperti itu hanya untuk memperjelas keadaanku, 'kan? Sekarang jawab. Apa yang kau sembunyikan?"

Bola mata Deidara sedikit melebar dengan ketakjuban yang dibuat-buat dan berkata, "Serius deh, sejak kapan kau menjadi pintar?"

Plakk!

Langsung saja aku melayangkan pukulan 'sayang' padanya. Deidara meringis sakit sambil mengelus kepalanya.

"Bisa tidak kau serius sedikit?" sinisku.

Deidara nyengir. "Oke, tenanglah. Jangan pasang muka cemberut seperti itu Naru-chan. Kau tahu tidak? Wajahmu itu bisa mengundang hal yang tidak baik," tambah Diedara.

Aku memiringkan kepalaku sedikit, tanda tanya besar bersarang dibenakku. Tidak mengerti maksud Deidara. Kemudian aku melihat Deidara menggelengkan kepalanya sambil berdecak tak sabar.

"Lihat itu!" perintah Deidara mengarahkan ibu jarinya pada kerumunan orang di belakangnya. Aku langsung saja mengikuti arahannya. Sebenarnya aku sendiri pun tidak menyadari, sejak kapan ada sekelompok orang yang berada di belakang Deidara sedang memandang penuh dengan love dovey padaku. Pemandangan yang bisa disebut biasa sejak aku memulai ajaran di kampus ini. Dan tanpa melihat lebih lama lagi pada kerumunan itu, aku langsung cepat-cepat mengalihkan pandanganku ke meja dosen yang masih kosong. Merasa risih sebenarnya.

Aku bisa mendengar Deidara terbahak di sebelahku. Membuatku mendelik padanya. Tapi reaksiku itu malah semakin membuatnya terhibur. Benar-benar tidak ber-perikesepupuan!

# End Pov Naruto.

Deidara masih saja tertawa. Sampai-sampai membuat Naruto melupakan apa yang mereka bicarakan sebelumnya. Naruto sendiri sibuk menghindari kontak mata dengan para penggemarnya itu.

"Dei!" panggil seseorang dari arah pintu, sontak menghentikan tawa Deidara.

Di sana berdiri seorang laki-laki berambut merah darah dengan raut datar. Deidara langsung tersenyum sumringah melihat laki-laki yang menjadi seniornya di kampus itu.

"Naru-chan, aku tinggal ya. Sasori-senpai menungguku, bye~" Dengan itu Deidara pergi.

Naruto hanya bisa menggerutu tak jelas menanggapi sikap sepupunya itu yang datang dan pergi seenaknya. Bersamaan dengan kepergian Deidara, dua orang sahabatnya pun untungnya telah tiba dan langsung mengambil tempat di sisi kanan dan kiri Naruto.

"Sepertinya sepupumu itu sudah berhasil mendapatkan Sasori-senpai, ya?" ujar Kiba seraya meletakkan tasnya di atas meja.

"Tidak ingat saja dia, siapa yang membuatnya bisa seperti itu," sahut Naruto kesal dengan wajah ditekuk. Karena memang awalnya Naruto-lah yang mengenal Sasori dan memperkenalkannya pada Deidara.

Gaara yang duduk di samping Naruto mengernyit samar. Sejenak Gaara dan Kiba saling pandang. Kiba menggelengkan kepalanya melihat mood sobatnya ini memburuk di pagi hari yang dingin seperti ini. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk tidak berkomentar apa-apa lagi, mengingat mereka berdua masih ingin menikmati satu hari ini dengan damai.

Dan tak berapa lama kemudian perkuliahan pun di mulai. Memunculkan seorang dosen baru yang tadi dibicarakan oleh Deidara dan Naruto. Seorang pria berumur sekitar 30 tahun dan masih tampak muda. Bernama Hatake Kakashi. Dia berpenampilan sedikit nyentrik dengan memakai sebuah masker. Dalam hati Naruto bertanya, bagaimana caranya ia saat makan dengan memakai masker seperti itu?

Namun ketika Kakashi-sensei baru akan memulai kuliah paginya. Tiba-tiba seseorang memasuki ruang kelas. Sosok yang Naruto belum pernah lihat sejak beberapa hari yang lalu dia memulai perkuliahan di semester dua ini. Semua orang terpaku pada sosok itu, tidak terkecuali Naruto.

Dia seorang laki-laki bertubuh tegap, tinggi—postur tubuh yang ingin dimiliki Naruto sejak lama. Wajahnya, walau terlihat kaku—karena tidak ada ekspresi yang ditampilkannya bisa dibilang tampan. Laki-laki itu berjalan memasuki kelas tanpa berkata apa pun dengan iris hitamnya yang terus menyorot dingin sekelilingnya. Hingga iris gelap tersebut terpaku pada sepasang bola safir. Naruto entah sadar atau tidak, ia bahkan tidak berkedip saat safirnya bertatapan langsung dengan oniks yang menyorot dingin tersebut. Membeku, tanpa tahu sebabnya. Dalam hati bingung sendiri karena merasa tidak asing dengan iris sekelam malam itu.

Namun ada yang aneh ketika oniks itu menatapnya. Perasaannya menjadi tidak nyaman dan… janggal. Lalu yang paling tidak dia mengerti adalah tubuhnya mendadak bergidik, membuat sekujur tubuhnya menggigil seolah ia merasakan ada hawa dingin yang menusuk kulitnya. Dan satu lagi, mengapa mendadak ia merasakan perutnya terasa melilit? Namun dalam arti yang menyenangkan sekaligus menggelisahkan. Dan Naruto seratus persen yakin ini bukan sesuatu yang baik.

Beruntung laki-laki dengan iris oniks itu akhirnya memilih memutus kontak mata terlebih dahulu dan menduduki bangku tepat di belakang Naruto. Dan beberapa detik berikutnya Naruto merasakan gejala alergi itu menyerang tubuhnya. Tubunya meremang, hidungnya menjadi gatal dan…

"HAATCHIIM! !" Bersin dengan sangat tidak indahnya; membuatnya jadi perhatian seluruh kelas. Beruntung sebelum detik terakhir dia ingin bersin, di tangannya telah ada sapu tangan guna menutupi hidungnya.

Naruto hanya bisa menyengir tanpa dosa, membalas tatapan teman-temannya yang merasa terganggu. Akhirnya perkuliahan pun di mulai. Dan sebisa mungkin Naruto mengabaikan perasaan tidak nyamannya ketika tatapan tajam seseorang terus menghujam punggungnya. Dia sungguh-sungguh bisa merasakan itu.

Naruto benar-benar tidak tahu apa yang telah diperbuatnya di masa lalu. Hingga membuat seseorang mahasiswa baru berwajah datar tadi terus menghujamkan tatapan tajam nan dingin pada punggungnya sepanjang jam perkuliahan. Bukan maksud Naruto untuk keGE-ERan atau apa. Tapi banyak yang bilang instingnya memang tajam.

Hal itu malah semakin membuatnya ingin melakukan bersin yang sangat mengganggu. Naruto sendiri pun malah semakin bingung dengan reaksinya itu. Mengapa alerginya itu bisa kambuh hanya dengan menatap dinginnya bola mata kelam laki-laki itu? Dan ini baru pertama kalinya terjadi sejak dia mendapatkan alergi ini—saat usianya sekitar delapan tahun.

Astaga! Sebenarnya ada apa dengan tubuhnya?

Atau mungkin... ini hanya kebetulan?

.

::A::C::SN::J::S::

.

"Kyuubi, hari ini kau yang menemui partner baru kita. Beberapa saat lagi dia tiba di sini. Sebaiknya kau bersiap," perintah direktur Namikaze corp. kepada wakil direktur yang merangkap anak sulungnya.

"Tapi Pak, bukannya hari ini aku harus pergi ke—"

"Lupakan apa pun yang kau rencanakan hari ini," potong Minato, "kau tahu? Partner baru kita hari ini adalah sahabat lamamu sendiri. Dan dia sangat penting bagi perusahaan kita."

Kyuubi terdiam. Keningnya berkerut seraya melirik gagang telepon kantor yang berada di tangannya. Karena memang saat ini dia dan Minato sedang melakukan percakapan via telepon.

"Sahabat lama? Siapa?" tanya Kyuubi hati-hati. Entah karena apa mendadak perasaannya menjadi tidak nyaman. Dan siapapun orang yang dimaksud ayahnya ini, Kyuubi yakin, seratus persen dia tidak akan menyukainya.

"Kau ingat tetangga sebelah rumah kita? Yang beberapa tahun lalu pindah ke luar negeri?"

Kyuubi mencoba menggali ingatannya sejenak, dan detik berikutnya pupilnya melebar. "Jangan katakan kalau…."

"Ya. Mereka, keluarga Uchiha sudah kembali."

Kyuubi membeku. Kemudian tawa getir terdengar darinya. "Kau bercandakan, Pak Tua?"

"Kyuu, kau tahu bukan, aku masih atasanmu di kantor ini? Bisa tidak usahakan bersikap sopan? Dan seingatku, aku tidak pernah bercanda dengan sebuah perintah."

Kyuubi menghela napas sejenak, kemudian memijit pangkal hidungnya sambil memejamkan mata. Berusaha memikirkan cara terbaik untuk menolak perintah ayahnya.

"Maaf Pak," ujar Kyuubi, "tapi bagaimanapun aku tidak bisa mengecewakan Yahiko—tidak saat ini. Aku sudah membuat janji dengannya, Pak."

Beberapa saat tidak terdengar apapun dari seberang sambungan.

"Apa tidak bisa kalau pertemuan itu tanpa aku? Setidaknya bisakah Anda mencari penggantiku, Pak?" tambah Kyuubi memberi saran ketika ayahnya itu hanya diam.

Kyuubi dapat mendengar ayahnya itu memberi perintah pada seseorang di seberang sana.

"Kau mau sebuah penggantian? Oke, kau mendapatkannya," ujar Minato.

Tanpa sadar Kyuubi bernapas lega. Namun belum sempat ia berterimakasih, Minato kembali melanjutkan. "Iruka akan menggantikanmu menemui Yahiko dan kau akan menemui Uchiha Itachi sebentar lagi. Atau… kau lebih memilih aku membekukan rekeningmu, Son? Jika tidak, aku tunggu kau di ruanganku. Sekarang."

Dan sambungan telepon terputus.

Kyuubi mengatupkan rahangnya rapat hingga dapat terdengar gertakkan gigi. Cengkramannya pada gagang telepon menguat. Akan tetapi ketika ingin melampiaskan emosinya dengan membanting telepon tersebut, sebuah dering ponsel menghentikan tindakan anarkisnya pada telepon yang tidak bersalah.

Kyuubi mengambil ponselnya dan membuka sebuah pesan masuk. Senyum Kyuubi langsung mengembang tanpa sadar saat membaca pesan itu. Seketika kekesalannya tadi mereda, membuatnya bisa berpikir jernih kembali.

Ayahnya itu memang suka seenaknya, seharusnya dia sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi perintah dari sang direktur utama kali ini dirasa Kyuubi keterlaluan. Tidak lain karena Kyuubi memang orang yang selalu memegang janjinya, dan dengan seenaknya Minato membuatnya membatalkan janji yang telah dibuatnya dengan Yahiko—sahabat dan rekan kerjanya. Benar-benar meruntuhkan harga dirinya. Apalagi hanya karena kedatangan seorang Uchiha Itachi. Dan bicara soal itu…

Benar juga, Uchiha Itachi, huh?

Sahabat lama?

Cih! Jangan berkata omong kosong seperti itu, Pak Tua!

Kyuubi jadi misah-misuh sendiri memikirkan perintah dari atasannya kali ini. Tapi dia juga tak kuasa menolak, apalagi dengan ancaman bahwa hasil kerja kerasnya selama ini terancam dibekukan. Kyuubi menghela napas sejenak dan dengan perasaan tidak ikhlas memenuhi perintah dari direktur utama. Dia dengan langkah malas menuju ke ruangan direktur utama.

Kyuubi mengetuk pintu ruang direktur utama dan kemudian memasukinya. Berusaha bersikap sesopan mungkin saat dia bertemu dengan sang direktur utama dan juga seorang tamu yang telah hadir di sana. Sikapnya sungguh tenang, berbeda dengan pikirannya yang sudah ingin melayangkan protes besar-besaran pada Sang ayah.

"Ah, kau datang juga akhirnya, Kyuu," ujar Minato. Ia berdiri dari sofa single-nya begitu juga dengan tamu yang duduk di sofa panjang di sampingnya.

Kyuubi tanpa bisa dicegah memberikan tatapan tajam pada Minato. Sayangnya diabaikan oleh Minato dan mengalihkan pandangannya pada tamu mereka dan berkata dengan nada riang, "Sepertinya sudah lama, ya, kalian tidak bertemu. Sekitar sepuluh tahun yang lalu. Benar begitu, 'kan Itachi?"

Uchiha Itachi tersenyum sopan pada Minato dan beralih menatap Kyuubi—yang juga menatapnya datar. Masih dengan senyum, Itachi mengulurkan tangannya.

"Long time no see, Kurama-kun."

.

::To Be Continued::

.


a/n :

Yosh! ! Ren kembali setelah sekian lama.

Untuk fic satu ini, mungkin ada yang masih ingat fic ini pernah di publish sebelumnya. Tapi karena beberapa waktu lalu itu kepala Ren lagi penuh dan gak tahu kapan bisa update, maka fic ini untuk sementara di hapus dan dilakukan sedikit perbaikan. Mohon maaf karena tanpa pemberitahuan sebelumnya. *deep bow*

Tapi setelah sekian lama berkutat mencari ide, akhirnya fic ini kembali bisa berlanjut… Horay! \(^0^)/

Dan karena modem Ren udah wafat (baca: rusak) sejak beberapa bulan lalu, dan yang pasti gak bisa update secepatnya karena harus ke warnet dulu (yang sebenarnya paling males, karena warnet di dekat rumah jarang ada yg beres, jadi mesti nyari yg jauh), maka Ren memutuskan untuk publish sampai chapter 4 kali ini. Semoga aja bisa di anggap sebagai bayaran karena penghapusan mendadak waktu dulu. hehehe

Okelah minaa-san… semoga tetap terhibur dengan fic Ren yang satu ini… :D

Akhir kata… Mind to review? ? (Again) ^^v

.

.

V