THANK YOU! SKRIPSI SAYA BELUM KELAR...DAN SAYA SEBEEELLL, TAPI AKHIRNYA SAYA SELESAIKAN JUGA-LAH- FIC INI.

SILAKAN MEMBACA...


Chapter 7: Warm Place to Remember

25 Desember 1994

"Apa yang harus aku lakukan, Ayah?" tanya Draco yang sedang mengupas apel untuk makanan penutupnya di meja makan. Ayahnya sedang membaca Daily Prophet dan kedua anak-ayah itu masih membahas tentang Potter yang memeluk Malfoy saat Yule Ball.

Malfoy Senior meliriknya dengan sebelah mata dan kembali ke koran paginya. Narcissa muncul membawakan dua buah bingkisan kecil dan tiga bingkisan lainnya dibawakan oleh seorang elf yang kesulitan menyeimbangkan bingkisan itu.

"Mengalihkan perhatian seperti yang kuperintahkan dengan cara seperti ini? aku tidak tahu kalau kau tertarik pada Potter, Draco?" tanya dengan mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi lagi.

Tatapan Lucius dan senyuman menyeringainya sudah cukup untuk membuat anaknya sendiri ketakutan. Narcissa memberikan kelima kado itu pada Draco. "Kiriman untukmu, sayang." Ibunya itu mengecup kepalanya, "dari sahabatmu, kau bisa menemukan kado dari kami di kamarmu. Ibu harap kau senang."

Perkataan Narcissa mengalihkan pembicaraan ayah-anak serta mengubah suasana sarapan pagi menjadi lebih hangat. Draco menatap ibunya dengan bahagia dan mengambil dua kado kecil dari tangan ibunya.

"Thanks, Mum." Dan mereka berdua bisa mendengar Lucius mendengus dibalik koran paginya itu, "Ini dari Vincent dan Greg." Katanya dengan nada bahagia, kemudian dilanjutkan dengan mengambil dua kado yang tadi dibawa oleh elf, "ini dari Pansy dan Blaise…lalu yang ini…"

Draco membolak-balikkan kado terakhir yang dipegangnya, "Ini dari siapa, Mother?"

Narcissa yang menghampiri suaminya, kembali melirik anak kesayangannya itu, "Yang mana? Oh… itu…kurasa dari Severus. Owlnya yang membawanya."

"Sev, mengirimkan kadonya? Bukankah nanti ia akan kemari?"

"Kau seharusnya lebih berterimakasih karena kadomu datang lebih awal, Draco! Dari pada kau sibuk memikirkan kenapa kadomu datang lebih awal…lebih baik kau belajar atau pergi dengan teman-temanmu!" kata Lucius dengan dinginnya.

"Lucius! Anak kita 'kan hanya bertanya! Aku sendiri juga penasaran kenapa Severus mengirimkan kadonya, mungkin kah ia tidak hadir dimakan malam nanti?"

"Nanti malam? Benar nanti malam akan ada pertemuan."

"Death Eater sungguh memilih saat yang tepat." sindir Narcissa dengan tajam.

"Terimakasih, Cissy." Balas Lucius dingin.

"Hish…aku tid-"

Mereka berdua terdiam tiba-tiba karena merasakan sesuatu yang hanya mereka berdua rasakan. Lucius menaruh Daily Prophet yang menampakkan foto Cornelius Fudge yang menggerakkan tangannnya dihadapan banyak wartawan. Ia berdiri dan seperti akan pergi sampai Narcissa menahannya.

"Apa kau tidak aneh?" bisiknya.

Draco yang membuka kado pertama dan keduanya merasa khawatir karena tiba-tiba kedua orang tuanya menatap dirinya, "A-ada apa?"

"Kau seharusnya bisa lebih tenang Draco! Seorang Malfoy pantang menunjukkan wajah ketakutannya." Dan ibunya menahan dirinya sendiri untuk menghela napas atas ucapan suaminya itu.

"Maaf Ayah." Katanya sambil menegakkan tubuhnya.

"Sayang, apakah kau mengadakan janji dengan teman-temanmu untuk bertemu di Crystal Palace? Karena setahu Ibu, kau sudah tidak pernah kesana lagi kan?"

Crystal Palace memang tempatnya bermain saat ia kecil, tapi semenjak musim panas diusianya yang ketujuh telah usai. Ia sudah tidak pernah mengunjungi tempat itu lagi. Ia sendiri juga tidak mengerti kenapa ia tidak begitu menyukai Crystal Palace. Padahal dulunya itu adalah tempat yang paling ia sukai untuk membaca buku. Tempat yang tenang dan indah.

"Tidak, Mum… nanti kami akan berkumpul dirumah Vincent." Kata Draco simpel, karena tahun kemarin mereka berkumpul di tempat Pansy, "Ada, Bu?"

"Ada seseorang yang menerobos masuk ke pertahanan Malfoy Manor." Ibunya berwajah tenang, tapi Draco tetap bisa merasakan kekhawatiran dan kecurigaan dibalik perkataannya. "Ibu harap di hari ini tidak ada darah yang tumpah…"

Draco melihat ayahnya berdiri dan seperti bersiap-siap akan pergi. Entah kenapa ia merasa panik.

"Potter!"

Suara yang sangaaaattt dikenali oleh Harry dan yang dapat membuatnya naik darah sesaat dirinya mendengar suara itu. Malfoy, Slytherin licik dan menyebalkan yang karena dirinya. Hari-hari Harry yang bisa tenang dibuatnya berantakan. Satu kata darinya seperti neraka tambahan bagi Harry. Sama seperti sekarang, Malfoy entah dari mana menghampirinya.

Harry tidak memperdulikannya dan tetap berjalan menyusuri jembatan. Ia tidak ingin berhadapan dengan Malfoy. Cukup akhir-akhir ini saja harinya berantakan karena si pirang itu.

"Pura-pura tidak mendengarku, rupanya…" Langkah kaki Malfoy yang lebih panjang hampir menyalip Harry yang berjalan dihadapannya. Ia yang saat itu tidak ditemani Slytherin lainnya, sengaja ingin membuat Potter kesayangannya itu kesal luar biasa.

Jembatan Hogwarts yang panjang, dan saat itu tidak banyak anak-anak yang melintasinya. Malfoy mengejar Harry, "Kau mau mengacuhkanku, Potter?" lalu diwajahnya muncul senyuman liciknya, "Atau…Harry."

Rivalnya itu reflek membalikkan tubuhnya pada Malfoy. Napas Harry tersengal karena kesalnya, "Mau apa kau, Malfoy." Katanya sambil mendorong Malfoy untuk menjauh darinya.

"Hu…" ledeknya, "Kau suka sekali ya…menyentuhku, Potter." Katanya sambil menepuk-nepuk bagian dadanya yang disentuh oleh Harry.

"Enyah kau, Malfoy!"

"Hm?" Malfoy terlihat seperti sedang berpikir, "Setelah kau tidak bisa mendapatkanku, kemudian kau berpaling pada Hufflepoof-Diggory itu, Potter?"

Harry tidak habis pikir dari mana Malfoy bisa mendapatkan pemikiran seperti itu. Cedric hanya memberitahukan rahasia telur emas itu, dan Malfoy menganggap kalau ia sedang mengincarnya. Apa dirinya buta? Jelas-jelas Cedric yang mengejar dan memanggilnya.

"Kau….terserah! teruskan khayalanmu! Aku tidak peduli!" kata Harry kesal dan beranjak pergi.

Malfoy tersenyum karena Harry benar-benar kesal, tapi sesaat rivalnya itu membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi, entah kenapa tiba-tiba ia merasa sedikit khawatir. Saat jarak diantara mereka semakin lebar, otaknya sudah tidak mampu mencerna apa yang ia perbuat.

"Apa yang kau lakukan, Malfoy!" bentak Harry sambil berusaha melepaskan pegangan tangan Malfoy di lengannya.

Malfoy tertegun dihadapannya, ia tidak peduli lagi apa yang terjadi atau hal apapun yang menimpa pada si Ferret itu. Sejak kapan juga ia peduli.

"Aku…mungkin kita perlu sedikit berbicara,…" dan Malfoy tidak pula melepaskan genggamannya. Rasanya ada rasa rindu yang menyelinap sesaat bagian tubuhnya menyentuh Harry. Ingatannya tetap tidak mampu menyelesaikan pertanyaannya itu.

Semenjak seminggu yang lalu, entah kenapa nama Harry Potter tidak bisa ia lupakan. Lebih sering mengokupasi pikirannya dari pada biasanya. Yah…Draco akui, biasanya-terkadang-sekali-kali ia berpikir tentang Potter. Potter ini, Potter begitu. Walaupun hampir 90% adalah merencanakan kesialan dan masalah untuk Potter. Ia tidak membenci Potter. Benar, mana mungkin ia membenci Potter. Karena ia…

Sangat membenci Potter.

Itu yang benar. Saking bencinya, ia jadi mampu melihat ada api di mata hijaunya. Membakar dan bergejolak, seperti ada gairah disana. Kapan terakhir kali ia berpikir kalau mata anak laki-laki yang lebih kecil dari dirinya itu sangat indah. Hijau, dan indah. Warna Slytherin, favoritnya.

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan! Lepaskan aku Malfoy!" katanya sambil tetap berusaha melepaskan genggaman laki-laki yang lebih tinggi darinya itu. "Perlu aku berteria-"

"Seperti perempuan. Kau seperti perempuan Potter. Panik… seperti aku akan melakukan suatu hal padamu." Dan ia melepaskan genggamannya. "Aku hanya ingin tahu kenapa kau bisa sa-"

"Bukan urusanmu."

Harry setengah berlari setelah ia lepas dari Malfoy.

Draco melihatnya pergi darinya, ia panik dan berusaha mengejar Harry tapi-tapi…apalagi yang akan ia lakukan untuk menghentikan Potter, untuk membuat rivalnya itu kembali menatapnya dengan mata itu dan untuk mengalihkan dunianya pada dirinya.

Rasanya Draco tidak pernah sepanik ini. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia merasa panik. Ah… tidak seminggu yang lalu, ia pun merasa panik seperti ini. sesaat setelah ayahnya akan pergi. Ia tiba-tiba panik. Rasa panik yangentah dari mana datangnya. Hanya karena ayahnya ke Crystal Palace. Seingatnya ia tidak menghancurkan tempat kecil dan indah itu. Ia hanya…tidak pernah merawatnya, oh…mungkin elf yang merawatnya. Ia tidak peduli. Tapi saat itu ia ingat betapa ia sangat khawatir.

Siapa dan apa yang ia khawatirkan pun ia tidak tahu. Tapi ia ingin sekali pergi ke Crystal Palace, tempat bermainnya saat ia kecil. Dulu saat musim panas diumur yang ketujuh, setelah ia sakit beberapa hari hingga ia tidak sadarkan diri. Ia selalu membaca buku di saat ia kecil. Dulu saat musim panas diumur yang ketujuh, setelah ia sakit beberapa hari hingga ia tidak sadarkan diri. Ia selalu membaca buku di tempat itu, seakan-akan seperti menunggu. Menunggu sesuatu yang entah tidak pernah datang. Ia sendiri bingung kenapa ia merasa ada hal yang perlu ia tunggu.

Hari saat ia muak karena ia lelah menunggu sesuatu yang ia sendiri tidak ketahui. Hari itu ia merasa putus asa dan sedih, karena yang ditunggu tidak juga datang, maka semenjak itu ia tidak pernah lagi datang ke tampat yang penuh dengan bunga itu. Ia membenci tempat itu. Rasanya sakit hanya dengan mendengar atau mengingat tempat itu.

"Aku yang akan memeriksanya." Kata Draco sambil berjalan kearah kedua orang tuanya.

Ayahnya hanya melirik padanya dan ibunya menepuk lengan kirinya, "Hm? Ada apa, Draco? Apa kau tahu sesuatu?"

Ia menggelengkan kepalanya, "Tidak Mother, bukan begitu. Aku sudah lama tidak kesana, dan aku ingin melihatnya."

"Kau yakin, Draco? Bagaimana ka-"

"Ia bukan anak yang lemah Cissy." Lucius menatap Narcissa sebentar dan kemudian kembali melirik Draco, "Ia seorang Malfoy."

"Hish," helanya melirik Lucius, "Baiklah, hati-hati, sayang."

"Hm…baik Mum."

Lucius mendengus, sampai kapanpun ayah dari Draco Malfoy itu memang akan selalu mendengus kalau Draco memanggil ibunya, 'Mum'. Saat anaknya masih kecil ia memang memiliki kuasa lebih untuk menekan kebiasaan itu. Tapi semakin lama, kebiasaan yang memperlihatkan kelemahan itu tidak bisa dihentikan karena istrinya sendiri mendukung anaknya.

Like son like father …. Err…mother.

"Ah! Draco."

Draco membalikkan tubuhnya kembali sesaat ia melangkahkan kakinya, "Iya, Yah?"

"Ayah akan langsung kesana kalau ayah merasa ada hal yang tidak wajar."

Ayahnya memang berlebihan. Kalau ia mau datang ya…datang saja, tidak perlu mengintimidasi anaknya. Seakan-akan memang akan terjadi sesuatu yang tidak wajar atau ia tidak dapat menyelesaikan masalahnya. Merlin's beard, ia sudah berumur 14 dan akan berumur 15 setengah tahun lagi, pikirnya.

Berjalan di tempat yang sudah tidak pernah dirawat memang sulit. Semenjak ayah ibunya memberikan Crystal Palace untuknya, dan ia namai demikian karena terpengaruh suatu dongeng yang ia dengar saat masa kanak-kanaknya. Crystal Palace, danau yang indah dan Draco tidak bisa membayangkan sekarang tempat itu berubah seperti apa. Berlainan dari Malfoy Manor yang terkesan mewah dan juga gothic pada saat yang sama.

Crystal Palace, sangat indah dan penuh dengan warna. Setidaknya itu yang ada digambaran Malfoy dulu sampai saat ini. Ia memerlukan selama kurang lebih 15 menit untuk mencapainya. Dulu sewaktu ia kecil ia akan meminta Dobby untuk mengantarnya sampai tempat itu. Tapi kini, semenjak si Potter sialan itu menjebak ayahnya hingga membebaskan Dobby. Tidak ada Elf yang tahu tentang tempat ini. selain Dobby.

Potter sial.

Dan ia yang membuat Draco harus berjalan dihalaman (hutan belantara). Walaupun Malfoy Manor terawat dan begitu juga dengan tamannya, tapi taman khusus untuk bermain Draco sudah lama tidak ia gunakan. Entah karena apa, dan semenjak kapan ia sendiri yang melarang orang-orang untuk masuk kearea 'bermain'nya itu. Terutama Crystal Palace.

Jubah Draco tersangkut di ranting yang menjulur dan tak sengaja ia injak. Ia kesal dan menginjak-injak tanaman yang namanya tidak ia ketahui itu. Potter sial, sial, sial…pikirnya. Ia termenung, akhir-akhir ini hidupnya memang penuh dengan Potter.

Langkahnya terhenti saat ia mulai mendengar bunyi air. Dihadapannya ada sebuah pohon yang sangat besar, dan menjulang. Setelah pohon ini ada lembah yang menurun dan akan mempertemukannya dengan danau kecil dan disekelilingnya terdapat banyak bunga-bunga. Seingatnya, entah kalau bunga-bunga itu mati, atau danau itu kering. Ah…tidak bunyi gemercik airnya masih ada. Mungkin sumber mata air kecil itu masih ada.

Setelah sampai di pohon itu, ia akan melihat keseluruhan Crystal Palace dan bertemu dengan orang yang dengan bodohnya masuk di daerah Malfoy. Mungkin Vincent atau Greg yang tersesat. Ia menaiki berdiri tepat dihadapan pohon besar itu dan menyentuhnya.

Mungkin Death Eater lainnya yang tak kalah bodohnya dengan mereka berdua, atau musuh. Musuh yang bodoh dan memasuki tempat ini sendirian. Sendirian…itu artinya ia Gryffindor. Karena ia bodoh seharusnya disebut Gryffindork.

Kalau ia Gryffindork, mungkin saja ia…

Matanya melihat sosok laki-laki yang sedikit lebih pendek darinya. Anak laki-laki itu sepertinya terkejut dengan kedatangan Draco. Ia yang sedang berdiri dan melihat-lihat berpaling kearah Draco. Wajahnya sedikit lebih pucat dari biasanya, dan dari wajahnya ia lebih dikatakan terkejut dari pada marah. Rambut hitam yang tetap berantakan dihari sespesial apapun, luka diatas kepala yang memerah dan mata hijau yang menatap dengan penuh tanda tanya.

F*ck!

Mungkin ini fatamorgana yang dibuat oleh Crystal Palace.

"Malfoy?"

Fatamorgana yang bisa bersuara. Mungkin Crystal Palace memang tempat yang istimewa. Draco tidak bergerak karena saking terkejutnya. Tangannya sudah bergerak mendekati tongkat sihirnya, dan begitu juga dengan sosok yang ia sebut fatamorgana itu. Sosok itu sudah mengacungkan tongkat sihirnya pada Draco.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Draco belum mau keluar dari dunia mimpinya. Tidak mungkin seseorang yang sangat ia benci datang ke Malfoy Manor. Ke rumahnya. Datang sendiri ke Ru-mah-nya.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa menit, akhirnya Draco yang tidak menghiraukan tongkat sihir dihadapannya mendekatinya, "Kau pasti sudah bosan hidup!" dan jarak diantara mereka berdua hanya sekitar 3 meter saja, "Kau sedang bunuh diri? Atau kau memang gila?"

"Diam kau! Menjauh dari ku!"

"Kau bodoh?"

"Draco! Kenapa kau disini?" katanya berwajah merah.

Draco tiba-tiba tersenyum, "Hm? Kau rindu padaku? Hingga kau jauh-jauh datang kesini…"

"Ja! Jangan mendekat!" katanya sambil menggengam tongkatnya dengan kedua tangannya seakan-akan ia takut tongkat itu diambil darinya.

Draco menghela napasnya, dan mendekati anak laki-laki itu. Ia menyentuh tongkat sihir itu dengan tangan kanannya dan perlahan menggesernya kearah kiri. Draco maju sampai jarak wajah diantara mereka sangat dekat. Napas dari anak laki-laki berambut hitam itu berhembus dengan cepatnya. Cuaca yang dingin membuatnya berembun, dan mereka bisa merasakan hangatnya napas mereka satu sama lain.

Mata hijau yang terbelalak, didalamnya ada rasa ketakutan yang teramat dalam. Namun anak itu tidak juga mengatakan sesuatu, bahkan sampai Draco menggenggam dagunya pun. Anak itu tetap diam.

Tubuh Draco tidak sepenuhnya bergetar dengan rasa benci, ia hanya tidak habis pikir, "Apa yang kau lakukan disini?" ia diam sejenak. Anak berambut hitam dihadapannya itu tidak juga bergerak, seperti bingung akan menjawab apa. Draco merasa aneh melihat wajah Potter yang tersipu seperti ini.

"Hish…" dengusnya, "Apa yang kau lakukan disini, Pansy?"

Mata anak itu terbelalak, dan ia berteriak, "Kau! Apa yang kau katakan!" katanya terkejut dan mendorong Draco. Ia memang lebih lemah dari Draco, atau Draco yang memang jauh lebih kuat darinya. Entah lah.

"Pansy…"

"Aku bukan Pansy!" ia terdiam sebentar, " Kau tidak lihat wajahku? Apa kau lupa dengan wajah kekasihmu sendiri, Malfoy?"

"Hm?" Draco menepis-nepis jubahnya yang ia rasa terkena debu, "Potter tidak akan tahu tempat ini."

"Buktinya aku ada disini Malfoy!"

"…dan Potter tidak akan menungguku berbicara atau menghiraukanku."

"Diam kau! Kenapa kau bisa ada disini!"

Malfoy mendekatinya dan melihat tongkat yang kembali dihadapkan padanya, "Potter akan langsung mengutukku saat ia melihat kedatanganku. Apalagi ditempat dimana guru tidak akan mengurangi point-nya."

"Kau mau aku kutuk, Malfoy!"

"Ah…iya…Gryffindor selalu bertindak sebelum berpikir." Kata Draco dengan tenang. "dan kalau ini memang bercanda, kau tidak lucu Pansy!"

"Aku tidak bercanda, Mal-Foy!"

"Aku sudah terkapar kalau kau serius."

"Kau! menyedihkan! Ferret!"

Draco tertawa, "Usaha yang bagus, Pansy! Tapi perlu kau tahu, aku akan benar-benar membencimu sekali lagi kau menyebutku seperti itu!"

"Kau! Stupe-"

"Expelliarmus!" dan tongkat Potter melayang entah kemana.

Anak laki-laki itu terkejut, dan ia perlahan mencoba menjauh dari Malfoy. Draco menghela napasnya, "Akan kuhitung sampai tiga. Kalau kau masih bersikukuh memakai penyamaranmu. Aku tidak akan menganggapmu teman, dan akan kubuat satu Slytherin membencimu, Pans! Karena candaan seperti ini benar-benar tidak lucu!" ia terdiam sebentar, "Dan mengubahmu menjadi tikus, itu ide yang bagus untuk memberimu pelajaran." ia mengacungkan tongkat sihirnya.

"Kau benar-benar bodoh, Malfoy! Kau lupa siapa musuhmu!"

"Tiga."

"Kau tidak lihat luka ini!" katanya sambil menunjukkan luka berbentuk sambaran kilat yang terkenal.

"Dua."

"Aku Potter! Harry Potter! Aku tersesat disini!" dan Potter mulai bergerak kebelakang, sampai ia berada ditepi danau.

"Satu."

"Draco!"

Tongkat sihir Draco diayunkan dan anak laki-laki itu mencoba lari.

"Stu-" 'Byurrrrrr'…"…Pefy."

Draco tertawa saat Potter tercebur di danau yang saat itu sangat dingin. Ia mendekati anak laki-laki itu. "Masih belum menyerah?" tanyanya.

"Aku membencimu!"

"Oh…bukannya kau memang membenciku, Potter?"

"Polyjuice bertahan selama satu jam, Draco!" bentaknya.

"Hm~ aku tidak lupa, Pans!" katanya sambil mengulurkan tangannya, dan anak laki-laki dihadapannya meraih tangannya, "Kau seharusnya tidak mempermainkanku."

"Aku tidak mempermainkanmu! Aku memang Harry Potter dan kalau aku menggunakan polyjuice, kita hanya perlu menunggu 15 menit lagi!" katanya.

Draco menyeringai, "Jadi kau meminum polyjuice 45 menit yang lalu, Pans?"

Wajah anak itu memucat, "Aku tidak meminumnya!"

"Benar…kau tidak meminumnya dan Potter suka sekali memakai parfum perempuan."

"F*ck!"

Draco tertawa puas karena akhirnya temannya ini mengalah juga.

"Kau tidak menampik pernyataan Potter kalau kau kekasihku, Draco? Aku tidak tahu kalau kau menganggapku kekasihmu?"

"Dan kau berpikir kalau aku senang melihat Potter dirumahku?"

"Aku hanya bercanda dan ingin melihat wajahmu itu terkejut."

"Kau ingin mengujiku dengan Potter?"

Pansy menaikkan bahunya. "Aku basah dan kedinginan, Draco." Dan Draco mengambilkan tongkat sihirnya, kemudian memberikannya pada Pansy.

"Itu salahmu. Kau bisa ke Manor kalau kau mau."

"Aku mau pulang saja, toh nanti kita akan bertemu di rumah Vincent." ia menerima tongkat sihir itu, "Accio Firebolt." Sebuah Firebolt sudah ada ditangannya. Draco kesal kalau ia melihat Firebolt milik Pansy. Pansy sengaja membeli Firebolt untuk memamerkannya pada Draco. Ia tahu Lucius tidak akan membelikan anaknya Firebolt sampai ia mengalahkan Potter.

Sesaat ia akan pergi, Draco memanggilnya, "Oh, iya Pansy! Potter lebih suka maju dan mendorongku dari pada mundur ketika berhadapan denganku. Kau tahu…ia Gryffindork…"

"Hish!"

"Dan…" ia berhenti sebentar, "dan Potter tak akan pernah menyebutkan dirimu sebagai kekasihku."

"Hm? Kenapa?"

"Karena kita bukan sepasang kekasih bodoh! Sana pergi!" katanya kesal dan Pansy pergi setelah ia mencoba mengutuk Draco.

Draco termenung, jelas karena Potter itu masih terlalu lamban untuk mengerti hal yang disebut cinta. Potter otaknya memang tidak berbeda jauh dari balita. Ia tertawa dan kemudian termenung. Lagi pula…Potter tidak akan peduli kalau aku punya kekasih atau tidak…iya kan?

Crystal Palace, setelah Draco perhatikan tidak ada yang berubah sedikitpun. Seperti waktu yang menghentikan perubahan ditempat ini. atau waktu memang sudah berhenti. Entahlah, tapi rasa risau seperti menunggu seseorang itu tetap ada.

Ia kembali mengingat masih ada kado dari Pansy, Blaise dan Severus yang belum ia buka. Mungkin Pansy memberi sesuatu yang akan membuatnya memaafkan dirinya. walaupun Pansy tidak pintar, tapi pada saat yang sama Pansy tetaplah Slytherin. Draco tidak sabar untuk membuka kado dari Pansy. Kemudian Draco mendaki lembah itu kembali, dan seharusnya ia seperti Pansy yang membawa sapu terbangnya. Ia terlalu terburu-buru kemari.

Ia berjalan sambil menunduk karena berhati-hati mendaki lembah yang dipenuhi rerumputan. Ia risih kalau jubah barunya terkena kotoran. Tiba-tiba ia ada suara 'Kraaakkk' yang sangat besar dan ia menabrak sesuatu atau bisa jadi sesuatu itu jatuh tepat diatasnya. Berhubung saat ia sadar, sesuatu yang sangat berat itu tepat ada diatas tubuhnya.

"Arrgggghhh!" keluhnya dan ia bisa mendengar suara yang serupa ada diatasnya. Ia hanya melihat sesuatu yang berwarna putih dan terasa seperti kulit manusia menutupi wajahnya.

Saat matanya terbuka, ia mendapati sebuah lengan menutupi penglihatannya, "Sial! ada apa ini!" umpatnya sambil berusaha bangun. Ia mengusap-usap matanya dengan tangan kiri dan tangan kanannya sudah menggenggam Hawthorn sepanjang 10 inci miliknya. Ia mendengar seseorang dihadapannya itu mengerang kesakitan.

Draco mengusap poni dari wajahnya, dan ia menemukan seonggok… manusia-ia berharap bukan manusia- berkulit putih dan berat ada dipangkuannya sedang tengkurap memegangi kepalanya.

Anak laki-laki Lucius itu mendorong tubuh anak itu sampai ia berguling jatuh dari pangkuannya, "Sakit! Siapa kau bodoh!"

Dan anak itu tidak menghiraukannya, tangannya seperti mencari-cari sesuatu. Draco ikut melirik kekanan dan kirinya. Ia menemukan kacamata yang telah patah bingkainya.

"Kau mencari kacamata ini?" tanyanya tanpa ia sadari kalau orang itu ada di halaman rumahnya.

Anak itu mengusap-usap matanya sebelum ia berpaling, dan kemudian berkata, "Oh terimakasih, aku memang mencari kacamataku." Ia mengulurkan tangannya.

Mata berwarna hijau yang indah, dengan rambut yang berantakan.

"Ng…" Draco mengusap-usap matanya. Ia masih belum sadar apa yang ia lihat, "Pansy?" tanyanya lirih sambil mengulurkan kacamata anak itu.

"Apa? Aku tidak bisa mendengarmu." Katanya sambil menerima kacamata itu, "Aku minta maaf telah menabrakmu.." ia membenarkan kacamata yang ada dihidungnya dan berkali-kali lepas, "Kau tahu…ini ada dima-" akhirnya ia menyerah dan memegangi kacamata itu, "Kau? Ma-Malfoy!"

"Ye-yeah?" kata Malfoy ragu.

"What the f*ck!" ia terdiam seperti mengingat sesuatu, "Apa yang kau lakukan disini!" katanya setengah kesal, dan kemudian seperti mencari-cari sesuatu lagi.

"Ini tidak lucu, Pans."

"Pants? Heh? ada cara baru untuk mengataiku lagi, Malfoy!" katanya sambil membelakangi Malfoy dengan tangan meraba-raba sekelilingnya.

"Erm… sebentar lagi waktu 15 menitmu akan habis. Mungkin sekitar 5 menit lagi. Kau-"

"Kau ini bicara apa?" sela Potter karena kesal dengan perkataan Draco yang tidak bisa ia mengerti, "Aku tahu kalau kau bodoh, Malfoy! Tapi aku tidak tahu kalau kau sebodoh ini!" kata Potter yang mendekati Draco.

"Potter?"

"Matamu buta? Kenapa kau suka sekali menggangguku?"

"Erm…Harry?"

Potter terkejut dan kemudian ia membentak Draco, "Jangan pernah menyebutku namaku, Ferret!" katanya sambil menusukkan tongkat sihirnya pada Draco. Ia benci sekali namanya keluar dari mulut Malfoy.

"Kau benar-benar Potter?" katanya keanehan. Mungkin Pansy ingin mengerjainya sekali lagi. Karena saat Pansy pergi sepertinya ia kesal sekali dengan tingkah Draco.

"Kau pikir aku siapa!"

"Pansy Parkinson?"

"Enyah kau!"

Malfoy mulai kesal, dan ia sudah tidak peduli siapa yang ada dihadapannya, "Ini bagian dari Malfoy Manor, kalau kau mau tahu!" ia melihat anak itu terbelalak, "Jadi seharusnya kau yang pergi dari sini!"

"A-aku….erm…ini…Malfoy…er..Malfoy?"

"Hah? Ada apa dengan keluargaku? Kau ada masalah ini bagian dari Malfoy Manor?" ia mengambil satu langkah ke depan, "Akan aku katakan hal ini pada ayahku, Potter! Atau siapapun kau!"

"Malfoy Manor!" teriaknya dan sebelum Draco sempat mengangguk, Potter mengeluarkan sesuatu yang sepertinya baru ia temukan beberapa menit lalu.

"Jadi ini bagian dari Malfoy Manor!" katanya memperlihatkan foto sihir yang ia genggam erat. Gambarnya bergerak, ada kupu-kupu yang beterbangan.

Crystal-Palace.

"Tentu saja! kau pikir kau ada dimana!"

Ia tidak menjawab pernyataan Malfoy dan mengumpat berkali-kali.

Draco mulai terganggu, "Hei kau! entah Pansy atau siapapun kau-" tiba-tiba anak itu menatap dirinya, "Mau apa kau!"

"I-ini Malfoy Manor? Kau…" ia merapikan kacamatanya dan membisikkan 'Oculus Reparo' mantra yang pernah digunakan Hermione pada kacamatanya, "Dra-Draco Malfoy?" diam-diam ia berharap kalau penglihatannya sebelumnya salah karena kacamatanya yang rusak.

"Apakah aku harus berkata 'Hello'?"

Ruang Kepala Sekolah Hogwarts, mungkin adalah tempat paling aman di dunia setelah Gringotts. Ruangan yang berantakan dan dipenuhi oleh benda-benda sihir nan abstrak milik Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore. Kepala sekolah yang terbaik yang pernah dimiliki oleh Hogwarts. Setidaknya begitu menurut Hagrid.

Dan kepala sekolah terbaik tersebut sedang sibuk dengan binatang peliharaannya –Fawkes-. Kalau ia tidak ada masalah apapun, maka ia akan menyibukkan dirinya dengan phoenix kesayangannya itu, atau berpikir sambil memutari kantornya yang kecil.

Walaupun natal ia tetap di Hogwarts. Guru-guru di Hogwarts sebagian besar pulang ke rumahnya masing-masing. Setiap tahunnya setidaknya ada lima orang penghuni tetap Hogwarts; Albus, Severus, Minerva, Trelawney, dan Flich. Mereka merayakan Natal dengan sesama guru maupun anak-anak Hogwarts yang memilih untuk tetap tinggal di kastil.

Pagi yang cerah itu bertambah ramai, karena Albus kedatangan para Weasley dan Black. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, seakan-akan ingin mengalihkan perhatian Fawkes dari banyak orang yang berambut merah dan dua gadis pirang yang…dashing?

"Maaf, aku sudah tua… kalian berdua ini siapa ya?"

Dua orang gadis 'dashing' seperti pakaian bibi Tessie itu mendengus. Mereka berambut pirang panjang dan menggunakan pakaian yang sedikit kebesaran. Mereka sepintas seperti anak kembar identik perempuan berumur 17 tahun yang hidup di kastil. Seorang putri raja yang hidupnya serba mewah dengan gaun-gaun indah. Wajah mereka benar-benar mirip, terkecuali yang satu rambut pirangnya lebih berombak dan yang satunya memiliki bintik-bintik di wajahnya serta lebih tinggi tubuhnya.

Sirius maju satu langkah ke depan, "Bukankah sudah kami katakan kalau Harry menghilang semenjak ia menerima kado, dan kedua orang ini adalah Ron" katanya sambil menunjuk gadis yang terlihat lebih kekar, dan kemudian menunjuk gadis yang lebih ikal, "dan Hermione."

"Kita harus bagaimana, Albus!" kata Molly sedikit panik, "Oh…kasihan Harry. Ini karena dua orang dewasa ini ceroboh memberikannya kado yang tidak diketahui siapa pemberinya!" katanya melirik Sirius dan Bill.

"Ibu, kami sudah memeriksa kado itu, dan tidak ada charm apapun didalamnya! Bukankah, kemungkinan terbesarnya Harry tahu siapa yang memberikan kadonya dan pergi dari Burrow untuk menemuinya?"

Severus sedikit merasa tidak nyaman mendengar perkataan Bill. Karena kalau sampai Harry sadar siapa yang memberikan kado untuknya, mustahil baginya untuk menemui Draco. Kalau begitu apa dirinya melewatkan sesuatu didalamnya? Ia sudah mengecek kado yang diberikan oleh Draco padanya dan akhirnya ia serta Albus memutuskan untuk memberikan kado itu.

Disatu sisi, mereka berharap agar Draco atau Harry menghentikan 'panggilan'-nya pada Draco dan Draco tidak lagi menginginkan 'sahabat kecil'nya itu kembali padanya. Tapi disatu sisi, sebenarnya Severus ingin Draco…ingin anak baptisnya itu mendukung mereka dari pada You Know Who. Ia melirik Albus, mungkin kah keputusannya ini salah?

"Ia tidak mungkin pergi tanpa memberi tahu apapun pada kami!" kata Hermione tegas, ia menurunkan kembali pakaiannya yang terlalu sempit dibagian dadanya dan berusaha menjaga 'tangan' Ron agar tidak menyentuh bagian apapun.

Severus menghembuskan napasnya, "Kalian rupanya tidak mengenal teman kalian sendiri dengan baik rupanya. Potter…" ejeknya, "Anak yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun, sama seperti ayah-"

"Dan Lily… jangan lupa Snape! Ia anak Lily juga." Sela Sirius, dan Snape hanya mendengus mendengar nama Lily disebutkan. Sirius tahu Snape tidak mungkin berbicara banyak tentang Lily.

"Bisa kalian berdua hentikan! Harry menghilang!" kata Molly yang kembali histeris, "Harry… anak yang malang."

"Itu tidak akan membantu kita menemukannya juga, Molly." Kata Minerva sambil menenangkan Molly. "Apa yang harus kita lakukan Albus? Perlu kah kita mencarinya? Menghubungi seluruh anak-anak Gryffindor yang disekiranya ditemui olehnya."

Ron tiba-tiba teringat sesuatu, "Anak Gryffindor, yang pure-blood! Mungkin Harry menemui sahabat kecilnya itu!" katanya bersemangat dan menahan keinginannya untuk menyibakkan rambut panjangnya seperti anak perempuan pada umumnya.

Hermione meliriknya, "Aku tidak tahu ada anak Gryffindor yang berambut pirang dan berwajah secantik ini? kurasa wajah kita lebih menyerupai Barbie dari pada manusia!" katanya sembari menyentuh hidungnya yang indah.

"Barbie! Barbie! Kau selalu mengatakan nama gadis itu! Siapa dia!" tanya Ron sedikit kesal karena Hermione menyebut kata 'Barbie' dengan senang. Menurutnya aneh, ketika mereka mencoba menggunakan Polyjuice, dan berubah menjadi perempuan yang tidak mereka kenal. Tapi Hermione malah berteriak kegirangan sambil berkata 'Ya…ampun, aku berubah menjadi seperti Barbie! Barbie benar-benar cantik! Barbie!' Ron tidak habis pikir apa bagusnya dari anak gadis bernama Barbie! "Kenapa juga aku harus ikut-ikutan meminum Polyjuice!"

"Ronald, bukankah kita sudah sepakat! Bagaimana kalau rambut itu adalah rambut seorang laki-laki! Setidaknya akan jadi lebih baik kalau yang meminum juga laki-laki! Dan bersyukurlah kita tidak benar-benar berubah jadi boneka!" kata Hermione kesal, tapi Ron tahu ada sparkling kebahagiaan dimata Hermione.

"Merlin! Ini akan jadi aib-ku seumur hidup! Berubah menjadi perempuan dengan mata yang besar dan dada serta pinggul yang besar!"

"Barbie adalah impian anak gadis Ron! Dan berhenti mengatakan seakan-akan kau membenci Barbie, padahal semenjak tadi kau ingin sekali 'mencari tahu' apa saja yang berubah ditubuhmu. Dasar mesum!"

"Kau juga penasaran dengan apa yang berubah ditubuhmu Hermione!"

"Jangan sama kan aku dengan mu, Ron!"

"Lihat siapa yang berbicara!"

"Ng…bisa kalian berdua sedikit tenang?" tanya Albus perlahan.

Molly, Arthur, Bill Weasley, Sirius Black, Minerva McGonagall, dan Severus hanya terdiam mendengar pertengkaran suami-istri-look-like dihadapan mereka. Mereka tetap tidak tahu siapa yang mengirim hadiah tersebut. Jelas sebelumnya mereka sepakat kalau yang mengirim kado itu adalah seorang pure-blood. Tapi barbie? Barbie adalah muggle-thing. Setidaknya begitu menurut Hermione.

Bill terdiam dan kemudian ketika ia membuka mulutnya semua orang kecuali Severus dan Albus terkejut, "Mungkin kah yang mengirim kado itu orang lain? Bukankah kita tahu, kalau 'teman' Harry ini ada ketika Harry masih berumur sekitar 6-7 tahun dan mereka di Obliviate…" ia melirik kearah Albus, "Professor, apakah kau sungguh tidak mengetahui hal ini?"

Kini giliran guru ramuan yang menyela Albus, atau Albus sengaja memberikan penjelasan untuk Bill oleh Severus, "Kami sudah panggil Remus dan Kingsley kemari. Kurasa kalian bisa tanya langsung padanya."

Saat Lupin diberitahu anak sahabatnya itu hilang ia yang sedang memburu jejak Death Eater langsung menghentikan aktivitasnya dan bermaksud menemui Kingley lalu kemudian pergi ke Hogwarts. Ia belum datang juga, mungkin ada masalah di Kementerian. Fudge semakin menyebalkan, dan mau bagaimanapun hilangnya Harry Potter harus dirahasiakan.

Suasana kembali tenang, Ron masih berusaha 'menyentuh' bagian tubuhnya yang menurutnya tiba-tiba membengkak. Hermione terdiam dan menatap Ron dengan tajam. Sirius menjatuhkan dirinya di atas sofa, "Aku pun tidak mencium bau Harry disekitar perapian ataupun pintu keluar, atau jalan manapun yang bisa ditempuhnya. Ia…seperti tiba-tiba menghilang."

Orang-orang yang ada di ruangan kepala sekolah terdiam, dan menatap Sirius dengan sedih. Mau bagaimanapun walaupun terlihat tenang Sirius pasti sangat sedih anak baptisnya menghilang saat anaknya itu berada didekatnya sendiri. Opsi ia diculik memang belum sepenuhnya dihilangkan dari penyebab peristiwa ini. tapi ia pun tidak mencium ada 'bau' dari orang lain setelah Harry menghilang, jadi kemungkinan memang bukan diculik.

"Tiba-tiba menghilang?" kata Bill tiba-tiba, siapa yang tidak mengenal Bill Weasley? Ia adalah salah satu murid terpintar di Hogwarts pada jamannya. "Mungkin kah ada benda sihir yang bisa membuatnya tiba-tiba menghilang, dan aku pikir itu salah satu dari kadonya."

Hermione mengangguk, "Aku tidak tahu kalau anak ini perempuan, atau Barbie adalah pengecoh. Aku tidak begitu mengerti tentang Barbie. Tapi…sepertinya yang memberikan kado dan mengirimnya adalah orang yang berbeda."

Severus melirik lagi kearah Albus, dan Albus hanya menatapnya. Matanya tenang dan tetap berkelip-kelip. Ron mengingat kejadian diawal tahunnya, "Mungkin kah Portkey? Apakah ada orang lain yang menaruh Portkey. Kalau memang ada orang lainnya selain anak itu."

Bill meliriknya, "Tapi kita pada saat itu juga menyentuh semua kadonya, Ron." Perkataan Bill ini membuat Severus tersentak. Ia mengerti sekarang Harry kemana. Ia tidak seratus persen yakin terhadap instingnya. Tapi kalau apa yang ia pikirkan benar. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Potions Master itu kembali melirik Albus. Seperti mengerti apa yang dimaksud Severus ia berkata, "Kita harus segera pergi ke Great Hall, karena Madam Maxime dan anak-anak Beauxbaton atau Drumstrang yang memilih untuk tetap di Hogwarts akan menganggap kita tidak sopan." Katanya dengan kilapan cahaya serta senyum menyungging dimulutnya.

"Tapi Harry! Sekarang ini yang paling penting adalah Harry!" sela Hermione dan Molly ikut berkomentar dengan hal yang sama.

Minerva mengerti apa maksud Albus, "Kita harus menenangkan diri terlebih dahulu." Sesaat kemudian mereka mendengar perut Ron berbunyi dengan keras, "dan kurasa ada perut yang juga harus kita isi. Mari kita kita ke Great Hall."

Albus melirik kearah Sirius dan juga Arthur. Mereka berdua akhirnya mengerti kalau kepala sekolah pasti sudah memiliki jawaban terhadap hal ini. Sirius menarik lengan Ron dan Bill, "Ayo, Boys… laki-laki juga perlu makanan untuk mengisi tenaganya!" sebelum Bill bergerak mengikuti Black, ia berpikir sejenak, melirik Albus kemudian menghembuskan napasnya dan akhirnya pergi.

Melihat Sirius, Arthur, Bill dan Ron pergi, Hermione pun akhirnya mengikuti Prof. MacGonagall serta Molly ke Great Hall. "Baiklah, tapi kami harus diberitahu kalau ada kabar dari Prof. Lupin saat mereka datang nanti, Prof. Dumbledore."

Ron memegang perutnya, "Aku sudah menahan kebelakang hampir satu jam, boleh aku pergi sekarang?" tanyanya pada Arthur. Ayahnya hanya tertawa melihat wajah anaknya yang darah remaja sedang bergolak itu.

"Kau! Kau bukan menahan untuk kebelakang, Ron! Dan jangan harap kau akan pergi sebelum Polyjuice itu kehilangan efeknya!"

"Aku beneran ingin kebelakang, Mione!"

"Tidak boleh! Kau mesum!"

"Apa! Lagi pula inikan hanya tubuh Boneka! Boneka!"

"Tetap tubuh wanita! Perhatikan dimana tanganmu, Ronald!" teriak Hermione yang melihat Ron menggerakkan tangannya ke bagian dadanya (sebenarnya mau melipat kedua tangannya didadanya seperti biasanya).

Severus yang suaranya berat menyela Ron yang merengek untuk ke toilet, "Ah, Seharusnya kau ingat Nona Granger, kalau Polyjuice bertahan satu jam pada sampel Manusia, dan bukan boneka." Kemudian ia menyeringai saat wajah Ron memucat ketika mereka menatap Prof. Snape.

"Merlin…tolong aku…" kata Ron sambil meratap.

Setelah mereka keluar dan hanya meninggalkan Severus serta Albus. Suasana menjadi kembali hening sebelum tiba-tiba Albus bertanya, "Aku sebenarnya ingin menanyakan hal ini padamu, walaupun tidak penting. Kuharap kau tidak merasa terhina atau tersindir, Severus."

"Katakan saja Albus." katanya datar dan menahan dirinya untuk mendengus.

"Kau…suka boneka ternyata?" walaupun datar tapi Severus tahu kalau Albus menahan tawanya atau ejekannya. Terimakasih untuk ayahnya yang seorang Muggle! Ayah yang dibencinya dan Lily yang suka sekali bermain Barbie sebelum mereka masuk Hogwarts.

"Lily, itu boneka Lily." Satu boneka Lily yang masih disimpannya saat teman masa kecilnya itu lupa membawa pulang boneka kesayangannya. Kini boneka itu jadi berambut pendek karena Ia berusaha melindungi agar identitas Draco tidak terungkap.

"Hm…" Albus terdiam, "Kau tahu kemana Harry, Severus? Kalau dugaanku tidak salah…"

"Ia…sepertinya di suatu tempat yang bisa mempertemukannya dengan Draco. Mungkinkah sihir memanggil Harry pada Draco?" tanyanya.

Albus memang penyihir terkuat di Hogwarts untuk saat ini, tapi ia tidak pernah sekalipun mendengar hal seperti itu. "Mungkin, benar kata Bill, ada Portkey didalam kadonya yang tidak mampu kita sadari."

"Portkey. Atau benda yang cara kerjanya mirip Portkey."

Kepala sekolah Hogwarts mengelus-elus janggutnya, "Bagaimana kalau kita tanya kan hal ini? mengenai mereka berdua? Kau ingat apa yang ditulis Mr. Draco untuk Harry kan?"

"Siapa?"

"Bukan siapa, Severus."

"Aku mengerti, dan akan lebih mudah mengerti kalau anda tidak bermain tebak-tebakan disaat seperti ini, Albus."

Albus hanya tersenyum dan mengangkat bahunya. Matanya tetap berkelip-kelip seperti ada bintang yang bersinar diantara kacamata setengah bulannya itu.

Kupu-kupu terbang dengan santainya dan hinggap di atas hidung yang warnanya sedikit kemerahan karena memar. Dua anak laki-laki yang kelelahan setelah saling memukul dan melemparkan kutukan akhirnya terkapar diatas rumput serta bunga yang berwarna-warni. Kalau mereka tidak babak belur dan saling melirik dengan tatapan penuh kebencian, mungkin orang yang melihat mereka akan menganggap kalau mereka berdua adalah sepasang kekasih yang sedang piknik.

Draco merapikan rambutnya sambil terkapar dan melihat awan biru yang bergerak dengan santainya. Mereka sudah terkapar selama 5 menit setelah 15 menit saling memukul. Hormon masa muda mereka berdua membuat mereka tidak bisa menahan hasrat untuk saling melukai. Sayang sekali, 'saling melukai' tidak bisa diinterpretasikan menjadi hal lain selain 'saling memukul'.

"Lebih mengkhawatirkan penampilanmu, Malfoy?" ejek Harry yang mengalihkan pandangannya dari Malfoy, dan melihat langit-langit pula.

Tempat yang tenang dan sedikit redup, tapi tidak menyembunyikan langit biru diatas mereka. Crystal Palace, begitu mereka memanggilnya. Tempat ini milik Malfoy, dan Harry sadar walaupun ia tidak mau mengakuinya, kalau temannya kecilnya itu kemungkinan seorang Malfoy.

"Orang yang terlihat lebih rapi akan lebih dihormati dari pada seseorang yang berpenampilan seperti pengemis, Potter? Atau kau tidak tahu hal yang sederhana seperti itu? Karena kau tidak punya orang tua, aku bisa paham."

Harry jadi kesal mendengar perkataan Malfoy, tapi ia sudah lelah dan sekujur tubuhnya sakit. "Dari pada aku memiliki ayah dan ibu sepertimu!"

"Uhuuuu~… kau terdengar iri, Potter! Our Orphan Celebrity!"

"Diam, kau Malfoy! Lihat kau sendiri! Setiap lima menit mengkhawatirkan rambut pirangmu! Seperti banci saja!"

"Kau iri dengan wajahku Potter? Dan…oh! kau selalu memperhatikanku setiap lima menit juga rupanya…ohhhh… Potter!"

"Aku tidak memperhatikanmu Ferret!"

"Uhhh…mencurigakan…aku tidak tahu kalau selama ini ka-"

Harry bangkit dan menjatuhkan tubuhnya tepat diatas Draco. Ia menggenggam tangannya dan bersiap menghajar Malfoy, kapanpun yang ia tahu. Draco awalnya terkejut dan sedikit takut kalau-kalau Potter membuat hidungnya patah.

"Tunggu! Tunggu, Potter!" katanya sambil mencoba melepaskan diri dari Potter. "Aku rasa kau seharusnya lebih khawatir kalau aku mati disini dan kau tidak bisa keluar dari Malfoy Manor!"

Harry terdiam, karena perkataan Malfoy ada benarnya. Kalau ia membunuh Draco Malfoy, ia tidak akan keluar dan mungkin akan tertangkap oleh Lucius Malfoy. Tapi kalau Draco menipunya dan membawanya pada ayahnya…akan sama saja. Mata Draco memohon seperti anak kucing yang ditinggalkan pemiliknya didalam kardus dibawah jembatan dan menunggu orang untuk memungutnya. Setidaknya ia perlu tongkat sihirnya.

Saat Harry berpaling untuk mencari tongkat sihirnya, tiba-tiba Draco menangkap lengan kirinya dan membantingnya ke arah kanan Draco. Posisi mereka terbalik sekarang, dan Harry gusar dibawahnya.

"Uhuuu~… kau tahu Potter? Kecerobohan adalah musuh besar!"

"Urrrkkk! Diam! Dan lepaskan aku!"

Malfoy menggenggam tangannya dan menghadapkannya pada Harry, "Kau tadi hendak memukulku kan? Mari kita hitung ada berapa memar ditubuhku dan memar ditubuhmu. Atau setidaknya mari kita tambah memar ditubuhmu."

"Kau! diam kau! pukul aku Malfoy! Jangan banyak bicara! Atau kau langsung berikan aku pada Ayahmu yang menjijikan itu!"

Draco merasa aneh duduk diatas anak laki-laki –musuhnya, rivalnya- yang lebih kecil dari dirinya. Ia ingin sekali memukul wajah yang tetap dengan sombongnya menantang dirinya itu. Dasar Gryffindork, bisa-bisanya ia masuk ke wilayah musuhnya. Orang bodoh yang suka sekali mencari mati.

"Oho~ kau ingin kutambahkan memar ditubuhmu, Potter… apa kata temanmu nanti? Kalau mereka melihat biru-biru diatas kulit lembut seperti perempuan-mu ini." ia tertegun karena menyadari betapa aneh perkataannya sendiri.

"Huh! Kulit lembut! Kau tidak punya cermin Malfoy! Lihat dirimu sendiri!"

"Apa aku tampan?"

"Iy-errr…. Menjijikan! Lepaskan aku!"

Malfoy tertawa melihat wajah tersipu seorang Harry Potter yang tanpa sengaja akan mengatakan kalau dirinya tampan. Ia memang tampan dan julukan The Slytherin's Prince tepat sekali untuknya.

"Yah… yang pasti temanmu itu tidak akan pernah melihatmu lagi." Katanya dengan perlahan. Ia mendekap Potter semakin erat, karena laki-laki bermata hijau itu tidak hentinya mencoba untuk lepas. Tubuhnya sangat hangat, begitu pikir Draco. Rasanya ia pernah mendekap tubuh itu. Kemudian ia ingat kejadian di asrama Gryffindor. "Potter.." panggilnya datar, "Kau…apa yang kau lakukan..sehingga aku…bisa…ermmm… bisa sampai ke tempat tidurmu?" tanyanya ragu.

"Tanyakan hal itu pada dirimu sendiri, Malfoy!"

"Dan sekarang kau…ke…erm..rumahku? benarkah kau…"

"Kau? Kau apa! Tentu ini semua ulahmu! Asrama Gryffindor, Yule Ball, dan hadiah-hadiah itu! Itu semua ulahmu kan!" Harry sebenarnya lebih ingin mendengar kalau Malfoy memiliki adik atau kakak atau siapapun itu. Tapi sayangnya ia tahu kalau Draco adalah satu-satunya penerus keluarga Malfoy. Mungkinkah ada Malfoy lainnya.

"Pertama! Aku tidak melakukan apapun terhadapmu, bukannya kau yang mengerjaiku dan memancingku untuk ke asramamu! Tempat yang mengerikan!" katanya kegelian, "Lalu yang kedua! Aku tidak memberimu hadiah! Kau pikir aku akan memberimu hadiah! Oh…Potter! Kecuali kalau kau kena masalah karena kado itu, aku baru setuju itu kado dari ku!"

Diam-diam, Malfoy mengakui kalau peristiwa Yule Ball itu memang sengaja ia lakukan untuk mengerjai seorang Harry Stupid Potter. Sayangnya Harry tidak menyadarinya, ia terlalu fokus dengan hal lainnya.

"Erm. Sebenarnya, kalau itu darimu, aku ingin…"

"Hah?"

"Sudah lupakan!"

"Kau ingin apa, Potter? Ingin berkencan denganku? Uhuuu~ aku tidak tahu kalau kalau kau benar-benar menyukaiku Potter?" ejeknya.

"Jangan mimpi, Malfoy! Aku hanya ingin tahu kalau kau…kalau kau pernah kemari dengan seseorang?" Harry tidak tahu apa yang ia bicarakan, tapi sepertinya Crystal Palace ini tempat yang pernah ia datangi dengan teman kecil –yang kemungkinan Malfoy- itu.

"Huh? Untuk apa kau tahu? Eh… aku juga tidak mengerti kenapa kau bisa kemari?" Draco menyeringai, "Kau benar-benar terobsesi padaku Potter?"

"Diam kau! tidak mungkin!" dan jantungnya berdebar, ia berharap agar dirinya tidak jantungan. "Aku kemari karena…karena…" ia celingukan dan Draco mengambil Foto Crystal Palace yang didalamnya terdapat kupu-kupu beterbangan.

"Kau mendapat foto ini dari siapa, Potter?" suaranya ringan, dan entah kenapa Harry sudah menyerah untuk membebaskan dirinya dari Malfoy. Bahkan mereka sudah nyaman dengan posisi tubuh mereka sekarang ini. Tubuhnya yang babak belur memang meminta istirahat, pikir Harry yang tidak mau mengakui hal lainnya.

"Aku…" ia tidak ingin menceritakan soal temannya itu, "Adakah orang lain yang tahu tentang tempat ini? atau kau punya saudara lain yang sama pirangnya denganmu? Atau…" kemudian ia ingat kalau ia bisa sampai tempat ini setelah ia menggumamkan kata 'Draco', 'Sial!' umpatnya perlahan.

"Huh? Tempat ini milikku! Bahkan orang tuaku tidak pernah kemari semenjak aku menginginkan tempat ini sebagai tempatku membaca buku! Bahkan aku tidak pernah membawa seorang pun kema-…" ada rasa aneh ketika ia berpikir ia tidak pernah membawa orang lain ketempat ini. ia selalu merasa sedang menunggu. Kalau menunggu, itu artinya ada seseorang yang ia tunggu. Mungkinkah ia pernah membawa seseorang dan kemudian ia melupakannya?

Merlin's Beard.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku, Potter! Kau mendapat foto ini dari siapa! Karena hanya sedikit orang yang pernah ke Manor, dan kurasa mereka ke Manor bukan untuk memotret atau rekreasi! Dan tidak mungkin ada orang luar yang bisa masuk ke pertahanan Malfoy Manor." Katanya bangga.

Harry perlahan mulai menyadari, tentu temannya itu tidak ingat kalau pernah memberinya foto. Karena mereka berdua sudah di Obliviate. Dan…dan…kado itu, pasti ada yang mengantarnya. Atau temannya itu memiliki Owl yang sangat cerdas? Mungkin saja. Teman yang cerdas, berambut pirang, kaya, tinggal di Malfoy Manor dan manis, teman yang menyayanginya… dan peduli padanya.

Ia tahu itu, ia tahu temannya sayang padanya dari surat-surat dengan tulisan berantakan miliknya. Dari caranya berbicara dengan lembut pada Harry dalam suratnya. Harry tahu, Harry tidak bisa mengingat seperti apa teman dan masalalu kecilnya itu. Tapi Harry entah kenapa bisa mengingat kasih sayangnya. Temannya, yang mungkin ada dihadapannya saat ini.

Harry tidak menjawab pertanyaan Malfoy ia hanya menatapnya dengan wajah yang dilingkupi rasa rindu. Mungkin musuhnya, rivalnya dan orang yang dibencinya ini adalah temannya. Teman kecilnya yang pernah ada dan lihat, temannya itu sedang menatap dirinya keanehan.

Perlahan tapi pasti tangannya itu mulai menggapai wajah Malfoy. Malfoy terkejut saat tangan yang lebih kecil darinya itu menyentuh pipinya tapi juga tidak bergerak. Sepertinya sentuhan Harry sudah bukan hal yang asing lagi baginya.

Teman Harry, teman yang menyayangi dan disayanginya. Ia ada. Begitu kata anak kecil disuratnya. Tapi…

Mereka saling melupakan.

Mata abu-abu yang sedang terkejut itu, bukankah diam-diam didalamnya terselip rasa rindu yang mendalam. Kau bisa mengingatnya bukan? Hei sahabatku? Teman masa kecilku? Kau bisa mengingatnya kan? Aku buktikan kalau kau ada-

'Plak'

Malfoy menampik tangan Harry, "Mau apa kau Potter! Jangan sentuh aku! Menjijikan!" Draco berpikir, Malfoy harus seperti Malfoy.

Sesaat Malfoy mengira kalau mata indah berwarna hijau itu seperti akan menangis. Tapi kemudian rivalnya itu, tanpa bersuara berusaha memukulnya, dan mereka kembali saling memukul. Mereka bertengkar. Harry sedih. Sedihnya bukan main. Karena sekalipun ia tahu kalau Draco mungkin sahabatnya, sekalipun ia mengingat dengan baik sentuhan temannya itu. Tapi temannya…melupakannya.

Ini, pukulan dari tangan yang tergenggam dengan erat ini, hanya ini yang bisa ia lakukan. Malfoy melupakan dirinya sebagai temannya, tapi Harry yang sebagai musuhnya, rivalnya dan orang yang dibencinya tidak akan ia lupakan dengan pukulan tangan ini. jadi, ia berusaha agar Malfoy mengingat Harry yang ini. Harry yang dibencinya.

Atau ia berusaha melupakan teman kecilnya lagi. Malfoy…seorang Draco Malfoy? Sahabatku? Jangan bermimpi.

Pukulannya semakin tidak terarah saat ia mengingat hadiah-hadiah yang sahabatnya dulu berikan. Ini untuk hadiah-hadiahmu! Pikirnya, Ini untuk surat-suratmu! Dan pukulan ini untuk…untuk…orang-orang yang membuatmu melupakanku, kita dan…!

Harry merasa bodoh, kenapa ia bisa merasa sesedih dan semarah ini terhadap sahabat yang ia sendiri tidak bisa ingat. Tubuhnya seperti bergerak dengan sendirinya. Malfoy sudah memblok seluruh pukulannya dan tanpa ia sadari musuhnya itu menggenggamnya dengan erat.

"Kau kenapa, Potter!" kata Malfoy seperti mendesis.

"Kenapa! Kenapa? Kau masih tanya kenapa!" Harry kesal. Kesal karena kenyataannya Malfoy adalah teman kecilnya. Kesal karena mereka saling melupakan dan tidak mungkin kembali berteman, dan kesal karena ia begitu sedih.

"Aku tidak mengerti!"

"Kau tidak perlu mengerti! Lepaskan aku! Aku-"

Mereka berdua tersentak karena ada bunyi 'Kraakkkk' disekitar mereka. Ada yang berapparated dibelakang mereka. Draco lupa kalau ia sudah terlalu lama berada di Crystal Palace. Ayahnya, sudah pasti ayahnya karena Lucius akan menganggap Draco terkena masalah. Buktinya anaknya tidak juga muncul dihadapannya. Tidak hanya ayahnya, tapi Draco juga yakin kalau ibunya pun ikut menyusul dirinya.

"Sial!" umpat Draco.

Harry yang melihat Draco seperti panik pun ikut-ikutan panik. Draco melipat kedua tangan Harry di dadanya dengan tangan kirinya kemudian tangan kanannya dengan jubah barunya yang kotor menutupi kepala Harry. Harry terdiam, tidak hanya karena panik tapi juga terkejut dengan sikap Malfoy. Pandangannya tertutupi karena Draco tiba-tiba mendekapnya dan beberapa menit setelahnya, ia sudah berada ditempat lain.

"Draco?"

Lucius berjalan ditempat yang anaknya namai dengan Crystal Palace. Tempat yang masih indah, dengan charm yang kuat. Tempat ini buatan neneknya. Bunga, danau kecil buatan dan charm untuk menjaga tempat ini tetap seperti awal dibuatnya. Charm yang sangat kuat dan indah. Lucius mengakui hal itu. Neneknya memang berbeda dengan kakeknya. Menurut wanita yang sedikit aneh itu, Malfoy Manor terlalu gelap dan menyedihkan untuk seorang perempuan. Jadi, ia membuat tempat untuk minum teh disaat senggangnya.

"Dimana anak kita Lucius?" tanya Narcissa yang ada disampingnya dan sedang mencari Draco.

"Entahlah, mungkin di dekat danau." Tempat itu memang tidak begitu luas, tapi sedikit redup dibagian danau karena pepohonan yang rimbun.

Narcissa berjalan mendekati danau, ia tidak menemukan apapun. Hanya...hanya…taman bunga yang sedikit berantakan. Lucius sudah ada disisi danau tepat. Mereka tidak menemukan apapun disana.

"Draco tidak ada? Apakah ia sudah kembali ke Manor?"

"Hm… mungkin ia sudah kembali ke Manor."

Narcissa melihat bunga yang seperti terinjak, "Mungkin ia habis berkelahi atau…entahlah dengan seseorang itu. Karena kalau dilihat dari banyak bunga yang rusak, sepertinya…erm…" ia bingung bagaimana mengatakannya.

"Lebih baik kita menunggu Draco di Manor." Lucius tidak betah ada ditempat seperti itu. Ia memang suka dengan kerapian (lebih tepatnya kesempurnaan dan keindahan) tapi tidak dengan tempat yang dipenuhi bunga-bunga seperti ini. ia bingung kenapa Draco suka dengan tempat ini dan berharap agar anaknya itu tidak mengidap disorder.

"Baiklah." Kata Cissy sambil menghela napas, "Padahal aku ingin disini sebentar lagi…bukankah cuacanya indah, Lucius?" tanyanya dengan lembut. Ia mengayunkan tongkatnya dan tanaman itu kembali keasalnya. Rapi dan indah.

Lucius memandang istrinya dan berpikir sejenak, "Mungkin secangkir kopi akan membuatku lebih nyaman disini." Kata Lucius, ia tahu kalau ia terlalu memanjakan istrinya. Saat ia melihat istrinya yang cantik itu tersenyum, ia pun tahu kalau apa yang ia lakukan ini sudah benar.

"Tuan Harry Potter! Apakah anda baik-baik saja, Tuan! Dobby minta maaf tuan! Padahal Dobby sudah berjanji untuk tidak berusaha menyelamatkan tuan Potter, tapi…" Dobby mengeluarkan ingusnya, "Tapi Tuan Albus Dumbledore mengatakan kalau tuan Potter dalam keadaan bahaya dan hanya Dobby yang bisa menyelamatkan tuan. Dobby minta maaf tuan! Dobby telah lancang mengganggu aktivitas tuan Harry Potter dan Tuan Muda Draco." Srooottt…tarik ingusnya lagi.

Dobby, Severus yang sudah membaca surat Draco tahu kalau Dobby sepertinya tahu tentang Potter saat mereka kecil. Ketika Albus memanggilnya ke ruang kepala sekolah, house-elf ini memang tahu tentang Crystal Palace, dan juga tentang pertemanan Harry dan Draco. Maka saat ditahun kedua mereka, Dobby mati-matian melindungi Harry, karena saat Draco pernah meminta elf kecil itu untuk melindungi sahabat yang akan ia lupakan.

Saat ia diminta untuk 'menjemput' Harry di Malfoy Manor, Elf itu hanya menangis sambil berkata 'akhirnya-akhirnya tuan Harry Potter dan tuan muda Draco kembali berteman'. Setelah dibujuk akhirnya ia pergi ke Crystal Palace dan datang pada saat Draco sedang mendekap Harry.

"Tuan Muda Draco." Katanya, mengenali suara tinggi Dobby, Draco yang dapat merasakan napas Potter di leher kirinya akhirnya bangkit, "Tuan Muda Draco…apakah tuan melihat.." ia terdiam karena melihat Harry dibawahnya, "Tuan Harry Potter…" katanya bernada kagum, "Akhirnya…Tuan Muda Draco dan Tuan Harry Potter kembali bersama."

Keduanya terkejut mendengar perkataan elf dihadapan mereka. Harry mendorong Draco dan musuhnya itu berguling kearah kirinya. Mereka terdiam dan tidak berani saling menatap. Pada saat yang sama Harry berusaha mencerna perkataan Dobby 'kembali bersama'. Mungkin dulu mereka memang sungguh pernah 'bersama'. Wajahnya memerah karena pemikirannya sendiri. Ia pasti sudah gila.

"Kenapa kau ada disini, Dobby!" kata Draco tegas. Ia tidak hentinya mengomel karena pakaiannya kotor.

"Erm! Ah! Tuan! Tunggu tuan! Dobby harus menyelamatkan Tuan Harry Potter sebelum Tuan Harry tertangkap Tuan." Mendengar perkataan elf ini, Harry tersadar kalau nyawanya dari tadi sedang dalam bahaya.

Harry merasa malu untuk menatap Draco, "Iya, Dobby! Bawa aku pergi dari sini." Katanya sambil mendekati Dobby, kemudian ia ingat kalau tongkatnya menghilang, "Tolong bantu aku mencari tongkat sihirku."

Dobby menjentikkan tangannya, dua tongkat sihir dan satu foto ada ditangannya. Ia memberikan tongkat serta foto itu pada Harry dan memberikan Hawthorn pada Draco. Ia memegang tangan Harry, "Bersiap Tuan, Dobby akan mengantar Tuan ke Hogwarts."

"Sebentar."

Tangan Harry digenggam oleh Draco. Akhirnya mata mereka berdua bertemu, "Mau apa kau, Malfoy!" katanya sinis.

"Dobby! Aku ikut ke Hogwarts, setidaknya aku harus pulang dalam keadaan sehat lagi!" perintahnya pada Dobby tanpa menghiraukan Harry.

Harry menghembuskan napasnya, ia paham bagaimana jadinya kalau sampai keluarga Malfoy sibuk mengurusi wajah anak mereka yang lebam karena hasil karyanya. Kemudian melirik ke lengannya yang masih digenggam erat oleh Malfoy. Mereka seumuran tapi tangan laki-laki dihadapannya terasa lebih kuat dan jari-jarinya yang panjang…Ia tertegun kemudian mengangkat wajahnya dan menemukan sepasang wajah yang sama tertegunnya dihadapannya.

"Sudah selesai Harry?" tanyanya tanpa ada nada sinis dalam suaranya, malah terkesan menggoda Harry…

Wajah Harry memerah, menarik tangannya dan menundukkan wajahnya. Sesaat kemudian ia kembali menatap Malfoy, "Sejak kapan kau memanggilku, 'Harry'?" tanyanya keanehan.

Kini giliran Malfoy yang wajahnya merah dan saat ia akan mengelak, Dobby menyelanya, "Tuan muda Draco dan Tuan Harry Potter sungguh akrab. Dobby senang sekali para tuan-srooot- sudah akrab kembali…" house-elf itu melirik kedua anak dihadapannya bergantian. Diselingi sesegukan ia melanjutkannya, "Mari Dobby antar, tuan berdua…sebelum Tuan Malfoy senior sampai kesini-srrooootttt-"

Malfoy melihat Dobby yang memegang lengan Harry dengan kedua tangannya, kemudian melirik kearah Dobby, "Dobby, aku?"

"Hum? Tuan Malfoy Junior Muda bisa berpegangan pada Dobby dan Tuan Harry Potter, Tuan."

Harry melirik Malfoy dan menelan air liurnya. Musuhnya itu menatapnya dengan raut wajah kebingungan, wajar menurutnya kalau Harry kebingungan. Malfoy mengulurkan tangannya, "Aku menyentuhmu bukan karena aku mau, Potter! Karena terpaksa! Andaikan aku dibayar jutaan Galleon pun aku tidak akan pernah mau!" wajahnya terlihat seperti akan menyentuh Mandrake tanpa menggunakan headset.

Malfoy Junior sukses membuat Harry kesal dan tanpa banyak bicara meraih tangan Malfoy menyerupai pukulan keras. Draco yang manja mengerang kesakitan, dan ia mengancam Harry akan melaporkan hal itu pada ayahnya. Harry tidak tahu siapa yang bodoh, antara Harry yang merasakan sedih karena Malfoy tidak tahu ia sahabat kecilnya atau Malfoy selalu mengancam Harry untuk mengadukannya pada ayahnya.

"Kau tahu Malfoy, kalau kau sebegitunya membenciku…saat ini juga…ah tidak, semenjak dulu seharusnya kau bisa dengan mudahnya menjebakku dan memberikanku pada ayahmu." Perkataan terus terang dari Harry ini membuat Malfoy mengalihkan kembali pandangannya pada rivalnya itu.

"Itu…"

"Atau dengan cara lain, seperti meracuniku…aku akan mati. Jangankan menyentuhku, Malfoy. Kau…" Harry terdiam, rasanya tercekik dan napasnya tersengal, "Kau…tidak akan pernah lagi melihatku."

Malfoy tertegun, ia sering kali berpikir untuk membunuh Harry. Ia tidak pernah ingin melakukannya walaupun rencana itu selalu ada. Rasanya bukan karena takut, tapi karena…

"Kau kenapa Malfoy? Kau baru menyadarinya?" tanya Harry dengan tenang.

"Aku… Kau sungguh membenciku, Potter? Kau ingin ku bunuh Potter?"

"Bukankah itu yang kau inginkan, Malfoy? Aku pergi? Atau aku mati? Sama saja kan? Asalkan kau tidak akan pernah melihatku lagi."

Kata-kata Harry yang tenang membuat darah Malfoy mendidih. Ia memang ingin membuat Potter menderita, kalah, atau mempermalukannya di depan umum. Tapi sekalipun tidak pernah, sungguh menginginkan Potter untuk mati, karena kalau mati…sampai kapanpun ia tidak akan pernah mengalahkan rivalnya. Tidak akan pernah melihat Potter.

Tidak pernah melihatnya lagi itu…rasanya seperti apa?

Malfoy mengangkat tangannya dan amarahnya memuncak, bersiap untuk memukul Harry. Kau boleh mengataiku, tapi untuk berpikir dibunuh oleh diriku…untuk tidak melihatku lagi..ini…

"Tuan Muda Junior Draco, tidak boleh memukul Tuan Muda Harry Potter, Tuan…" Elf itu menangis sesegukan, "Dobby sedih tuan…Dobby lebih suka tuan berdua ini bermain tertawa seperti dulu lagi tuan. Tuan-tuan bahagia dan Dobby pun bahagia tuan. Jangan bertengkar tuan."

"Dobby ka-" Harry berusaha mengentikan Dobby untuk menceritakan hal 'pertemanan'-nya dengan Malfoy.

Malfoy menyelanya, "Apa maksudmu, kami ini ber-"

"Tuan, pegangan. Ada yang akan datang!"

Tangan Malfoy yang ragu untuk menyentuh Harry setelah pertengkaran mereka pun bersambut dengan tangan Harry. Mereka saling bersentuhan, dan rasanya itu hal yang wajar. Seperti pulang ke rumah.

"Harry!" teriak Remus yang tiba-tiba memeluk anak sahabatnya itu.

"Ungg…" Harry melihat-lihat sekelilingnya. Ruang kepala sekolah. Ia melihat Prof. Dumbledore, Prof. Snape…dan "Prof. Lupin!"

Mereka berpelukan, dan Malfoy mendengus dibalik tubuhnya. Dobby menghadap ke Albus dan Malfoy tidak bergeming sedikitpun, hanya sesekali melirik ke arah Severus.

"Tuan Prof. Dumbledore, Dobby sudah membawa mereka berdua dengan selamat Tuan…Dobby sangat bahagia sekali (hiks hiks) akhirnya mereka berteman kembali…" dan Dobby mulai memukul-mukul dirinya sendiri dengan tangannya, "Walaupun Dobby mengganggu mereka berdua, dan membuat mereka bertengkar Tuan! Dobby pantas dihukum! Dobby harus dihukum!" House-elf yang sudah menggunakan kaus kaki itu menangis sesegukan sambil memukul-mukul dirinya dengan buku yang ia ambil dari meja Albus.

"Sudah cukup, Dobby!" bentak Severus, "Kau elf…-" sebelum ia menyelesaikan makiannya, Albus menyelanya.

"Hentikan Dobby! Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik." Kemudian ia tersenyum dan mata dibalik kacamata setengah bulannya itu berkelip-kelip. Dobby kembali berteriak histeris, tapi saat ini karena terharu.

"Dobby, senang tuan…akhirnya tuan Harry Potter dan tuan junior muda Malfoy kembali menjadi teman."

Serentak Harry dan Draco berteriak berteriak bersamaan, "Nggak!", "Tidak Mungkin!"

Mata Dobby berair kembali, dan ia mundur selangkah, "Tapi Dobby, Dobby sudah berjanji pada tuan muda Draco Malfoy untuk melindungi tuan Harry Potter sembunyi-sembunyi!" Draco mendengus mendengar perkataan elf dihadapannya itu, "Maaf tuan! Hiks…hiks..seharusnya Dobby tidak mengatakannya, seharusnya Dobby merahasiakannya! Dobby nakal! Dobby patut dihukum!"

Malfoy menghembuskan napasnya, dan membuka mulutnya sesaat sebelum Harry, "Dobby, aku sudah bukan tuanmu lagi! Jadi, aku tidak akan menghukummu…"

Rival bermata hijau itu menatap dirinya, Malfoy merasa aneh karena mata Harry terbelalak seperti dirinya melakukan sesuatu yang sangat hebat dan patut dibanggakan. Padahal ia hanya mengatakan hal yang sesungguhnya. Potter memang orang yang aneh.

Remus menatap kedua anak remaja dihadapannya yang wajahnya sama-sama lebam. Ia tidak habis pikir kenapa Malfoy bersama dengan Harry. Ia sudah mendengar apa yang terjadi (sekalipun itu sebanyak yang diketahui Granger). Mungkin Malfoy menculik Harry, tapi pertanyaannya, "Kenapa Malfoy bisa ada disini?"

Severus dan Albus memang sudah tahu kalau Malfoy adalah sahabat kecil Harry dan kemungkinan Harry menghilang untuk 'menemuinya' itu sangatlah besar. Tapi untuk Malfoy menemui dan mengikuti Harry sampai ke Hogwarts di hari Natal seperti ini rasanya, "Kami juga ingin tahu, Mr. Malfoy?" tanya Albus dengan nada senang didalam suaranya.

Suasana hening karena Malfoy tidak menjawab pertanyaan dari kedua orang dihadapannya itu. Ia melirik ke arah Harry yang menatapnya dan sedetik kemudian membuang wajahnya. Rasanya berbohong pada kepala sekolah itu tidak ada untungnya, "Erm… aku sedang tidur? dan…Potter tiba-tiba muncul?" setengahnya memang benar. Slytherin tetaplah Slytherin.

Ayah baptisnya menatapnya dengan tajam, "Kau tidur dan orang tuamu tidak menyadari ada orang yang datang ke Manor, Mr. Malfoy?"

Draco menelan ludahnya, "Aku…ayah dan ibu ada di Manor, dan aku… erm…" ia melirik ke atas langit-langit ruangan.

"Bukankah lebih baik untuk tidak berbohong Mr. Malfoy?" sindir Remus dengan insting Aurornya.

"Well…Erm…aku sedang bersantai di-di-bagian wilayah Manor, lalu kemudian Potter tiba-tiba jatuh di hadapanku." Katanya sedikit ragu dan 'mengedit' kejadian sesungguhnya.

"Hanya itu?" desak Remus.

"Orang tuaku menganggap kalau itu sepertinya salah satu dari temanku dan…" Remus menunjukkan ke pipi lebam Harry hasil karyanya, "Tentu saja kami saling memukul."

"20 points dari Gryffindor karena memukul, dan 5 points dari Slytherin karena tidak mampu menghindar dari pertengkaran." Kata Severus datar.

Harry protes, karena mereka bertengkar bukan hanya kesalahannya, "Professor! Ini tidak adil!" dan kemudian ia memutar bola matanya, 'kapan Snape pernah adil padanya.'

"15 points untuk Gryffindor karena keberaniannya." Kata Albus tiba-tiba.

"Kau tidak perlu menambahkan 15 points karena keberaniannya menantang maut, Prof. Dumbledore." Protes Severus.

"Aku menambahkan point karena keberaniannya mengkomplain gurunya, Prof. Snape." Katanya dengan senang, dan Harry tersenyum.

"Kau akan sibuk menambahkan point pada Gryffindor, karena mereka selalu komplain." Kata Severus sinis.

Harry membuang pandanganya kearah Fawkes, 'Tentu saja, karena kau memang tidak pernah adil pada Gryffindor, Professor!' katanya dalam hati.

"Dan sekarang, bahkan anak itu sedang menggerutu dan bersiap untuk komplain."

Draco menyeringai dan Potter tersentak melihat seringai untuknya itu. Albus hanya tersenyum melihat interaksi mereka berdua. Remus tidak tahu apa yang harus lakukan. Ia berdehem, "Bisa kita kembali ke topik pembicaraan kita semula?"

"Lalu kenapa kau ikut kemari, Mr. Malfoy?" tanya Severus.

"Aku ikut kemari, karena ayah dan ibu akan melakukan sesuatu kalau melihat wajahku seperti ini..lalu… aku ingin tahu, kenapa aku bisa ke tempat Potter dan Potter bisa ke tempatku?"

Dobby terisak kembali, dan mengalihkan perhatian semua orang, "Tuan…Dobby senang sekali tuan…tuan Malfoy junior dengan baiknya melindungi Tuan Harry Potter agar tidak tertangkap Tuan Malfoy senior." Harry langsung menatap Malfoy. Musuh dan rivalnya serta teman masa kecilnya itu kebingungan.

"Aku-aku tidak melindungi, Potter!"

"Dan tuan Draco junior, memeluk tuan Harry Potter saat Dobby datang kesana. Maafkan Dobby mengganggu tuan! Dobby hanya menjalankan tugas!"

"Aku tid-" kemudian ia ingat kalau ia memang bermaksud menyembunyikan Harry dengan memeluknya, "Aku hanya-…aku…saat itu…"

"Malfoy?" panggil Harry perlahan.

"Aku hanya panik! Panik! Tahu! Tidak ada maksud apapun!" bentaknya dan Wajah Malfoy sudah merah seperti kepiting rebus.

"Aku tidak berpikir kalau kau bermaksud la-"

"Kapan kau pernah menggunakan kepalamu itu, Potter." Katanya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kau!"

"Jadi kau bermaksud untuk melindungi Mr. Potter, Mr. Malfoy?" tanya Albus tiba-tiba. Semuanya kembali menatap kepala sekolah Hogwarts.

Malfoy terdiam. Ia tidak bermaksud untuk melindungi Harry, menurutnya itu hanya, "Reflek?"

"Sejak kapan seorang Malfoy memiliki reflek untuk melindungi Harry?" dengus halus Remus.

"Erm…anda belum menjawab pertanyaan saya, Professor. Kenapa Potter bisa menemui…ku? Dan memiliki foto dari salah satu bagian dari Malfoy Manor?" tanyanya sekali lagi berusaha mengalihkan pembicaraan.

Dan sukses.

"Sihir, Mr. Malfoy. Sihir yang melakukannya pada kalian berdua. Mungkin kalau kalian mau melihat sisi lain, selain permusuhan, persaingan, dan saling membenci. Mungkin kalian berdua akan menemukan sesuatu?" katanya dengan senyum tersungging diujung bibirnya. Albus memang seenaknya, pikir Severus.

Lupin tidak mengerti maksud dari Albus, Tonks dan Kingsley sudah membuat Unbreakable Vow untuk tidak menceritakan pertemanan Malfoy-Potter pada siapapun. Termasuk pada Lupin, jadi ia tidak tahu sama sekali kalau kedua anak remaja dihadapannya itu dulunya berteman.

"Menemukan diriku sudah gila!" kata Draco dengan sewot.

Harry meliriknya dengan tajam. Ia kesal kalau seolah-olah dirinya itu buruk sekali. Buruk untuk Malfoy terasa mengesalkan? Ia mengernyitkan alisnya. Rasanya itu hal yang sedikit aneh.

"Lalu foto itu?" tanya Harry tiba-tiba, dan sesaat kemudian ia menutup mulutnya, dan mengutuk dirinya perlahan. Karena ia tidak ingin membuka rahasia mengenai kado-kadonya itu, kalau dirinya tidak mengingatnya maka Malfoy pun demikian… tidak akan pernah mengingat persahabatan kecil mereka.

"Foto apa, Mr. Potter?" tanya Albus pura-pura tidak mengerti.

"Ini?" Harry menunjukkan Crystal Palace pada Albus.

Albus melirik Severus, dan kemudian Severus mengangguk, "Kau yakin, Mr. Malfoy kalau kau tidak pernah memberikan foto itu?" jantung Harry berdebar dengan kencang.

"Aku? Untuk apa?" katanya kebingungan.

"Untuk menjebak Mr. Potter misalnya?" kata Remus tiba-tiba dan hal ini membuat Harry pucat. Jantungnya seakan berhenti, ia…berpikir jangan-jangan Malfoy sengaja memberikan foto itu untuk menjebak dirinya.

"Remus!" seru Severus, "Mr. Malfoy tidak akan melakukan hal itu, kalau pun demikian maka Mr. Potter sudah mati dari dulu." Katanya datar.

Tanpa disadarinya Harry menghembuskan napas leganya. Ia melirik Malfoy yang tertegun, entah karena apa.

"Hm…benar juga…" kata Remus, kemudian mengambil foto dari tangan Harry, "Ini sepertinya Enchanted Portkey…" ia melirik Malfoy, "Kau yakin tidak pernah memberi foto ini, Malfoy?"

"Seingatku tidak, begitu juga dengan teman-temanku." Katanya datar.

'Kau memang tidak akan pernah mengingatnya, Draco.' Pikir Harry dan Severus pada saat yang sama. Tiba-tiba Severus mengingat sesuatu. Tapi ia rasa menanyakan hal itu dihadapan Potter dan Lupin bukan hal yang bijaksana.

Dumbledore akhirnya berdehem, "Sepertinya, kita harus mengobati luka Mr. Potter dan Mr. Malfoy terlebih dahulu-" kemudian mendengar perut Harry yang belum sarapan pagi berbunyi, "Serta sarapan pagi…" senyumnya, "Lagi pula kau harus bertemu dengan kedua sahabatmu yang khawatir padamu, Mr. Potter."

….

"Harry!" peluk Hermione., "Kau tidak apa-apa, Harry?"

Hermione langsung memeluk Harry sesampainya ia di Great Hall, sebelumnya ia sudah bertemu Madam Pomfrey dan lagi-lagi ia (serta Malfoy) diceramahi untuk yang kesekian kalinya. Ron masih mengunyah ayamnya saat Harry datang dan memberikan ruang diantara dirinya dengan Hermione. Great Hall sudah kosong dan hanya tertinggal mereka bertiga. Weasley, dan Black dipanggil oleh kepala sekolah sesaat setelah Harry meninggalkan Hospital Wing.

"Khauu hemana, mahte? Hamyii hawati padamyu.." (kau kemana mate? Kami khawatir padamu) tanya Ron dengan mulut penuh dengan ayam.

Harry menggaruk-garuk kepalanya dan rambutnya jadi semakin berantakan, "Kalian? Siapa?" Harry berpikir sepertinya ia pernah melihat mereka berdua, mungkinkah mereka penyihir terkenal di dunia sihir atau mereka mirip dengan seseorang diantara para muggle?

Hermione dan Ron masih berbentuk wanita cantik. Wajah Harry memerah saat ia duduk diantara gadis cantik. Ron menelan ayamnya.

"Ini kami mate!" terdengar suara laki-laki khas milik Ronald Bilius Weasley.

"Ron? Kenapa kalian seperti perempuan begini?"

"Begini Harry!" sela Hermione, "Kau tiba-tiba menghilang dari Burrow dan kami pikir mungkin kau pergi ke tempat orang yang memberikan kau hadiah-hadiah itu. Dan…dan…kami mencoba dengan menggunakan polyjuice."

"Huh? Kenapa kalian berubah menjadi wanita? Bukankah ia adalah seo-" Harry tersadar kalau ia akan mengatakan 'Malfoy' dan menghentikan ucapannya.

"Bukankah apa Harry? Kau mengenal anak yang seperti Barbie ini? atau kau sudah bertemu dengan temanmu itu? Kau kemana? Dan bagaimana?"

Harry terdiam, dan kemudian tertawa terbahak-bahak. Ia awalnya bingung kenapa mereka berubah menjadi 'barbie' bukan kah seharusnya mereka berdua berubah menjadi Malfoy. Mungkinkah Malfoy bukanlah temannya. Mungkinkah dulunya Malfoy memiliki adik perempuan dan bermain dengannya. Tapi itu tidak mungkin, Malfoy adalah pure-blood dan Barbie adalah muggle-thing. Malfoy tidak mungkin bermain dengan Barbie. Jangan-jangan saat masih kecil dulu mereka berdua bermain Barbie dengan boneka milik Dudley atau milik Bibi Petunia. Ia tertawa karena membayangkan mereka berdua bermain Barbie.

Merlin… ia saat kecil dulu…bermain Barbie bersama dengan Malfoy! Membayangkan Malfoy menyuapi Barbie atau memasangkan pakaian pada Barbie! Hillarious! Mengerikan sekali!

Harry tidak hentinya tertawa, dan kedua sahabatnya hanya memandangnya keanehan. Kemudian ia terhenti karena tiba-tiba berpikir, 'Kalau kami bermain keluarga dengan Barbie sebagai anaknya…siapa yang akan menjadi ibunya? Karena mana mungkin Malfoy yang angkuh itu mau menyuapi anak mereka? Merlin! Aku bermain keluarga dan menjadi istri Malfoy?'

"Harry?" panggil Hermione menyadarkannya.

"Uhm? Maaf…Mione..aku.."

"Kau kemana Harry? Kami panik mencarimu…" kata Ron.

The Boy Who Lived berusaha memutar otaknya, "Kau ingat kejadian awal tahun pelajaran?"

Wajah Ron memucat, dan Hermione terkejut, "Kau pergi ke tempat Malfoy?" Hermione sungguh cerdas.

"Ng…"

"Jangan berbohong Harry." Hermione memperingatkannya dengan mata tajam. Harry menghela napasnya.

"Iya…aku pergi ke Malfoy Manor." Ia sebenarnya tidak berbohong, tapi hanya sedikit mengarahkan teman-temannya pada fakta lainnya. Entah kenapa ia ingin merahasiakan pertemanannya dengan Malfoy. Ia tidak ingin ada seorang pun yang tahu.

"Apa! Apakah mereka melakukan sesuatu padamu, Mate!"

"Tidak, Ron…" lalu ia mengingat perkelahiannya dengan Malfoy, "Well, mungkin…aku berkelahi dengan Malfoy, dan…dan… ia-" sebenarnya Harry masih bingung dengan fakta kalau Malfoy 'reflek' melindungi dirinya, "dan ia…babak belur."

"Kau…tidak…maksudku dengan orang tua Malfoy, kau tidak bertemu dengan mereka?" tanya Hermione, penasaran.

Harry menggelengkan kepalanya, "Aku tidak bertemu dengan kedua orang tua Malfoy, Hermione. Kami berkelahi, saling memaki dan Dobby datang untuk menjemputku. Begitulah…" katanya sedikit ragu.

"Dobby?" tanya Ron kebingungan.

"Iya Dobby, sepertinya Prof. Dumbledore, entah kenapa bisa tahu aku di Malfoy Manor dan ditugaskan untuk menjemputku. Kau tahu, dulu Dobby adalah house-elf di Malfoy Manor, jelas ia tahu dengan baik Malfoy Manor." Harry melirik ayam dihadapannya dan mengambil dua potong kepiringnya.

"Sudah kuduga, sepertinya Prof. Dumbledore menyembunyikan sesuatu dari kita." Kata Hermione kemudian meminum pumpkin juice nya. "Bisa kau ceritakan kejadian saat kau tiba-tiba menghilang, Harry?"

Harry menelan ayamnya, "Aku sedang berpikir sambil menatap foto danau itu, kalian ingat kan?" tanyanya dan keduanya mengangguk, "Kemudian tiba-tiba menghilang dan saat tersadar, aku terjatuh diatas Malfoy. Kurasa sampai sini, kalian tahu apa yang kami lakukan."

"Hm…hm…" angguk kedua temannya.

"Lalu, kenapa kalian berdua seperti…Barbie?"

Sudah hampir satu setengah jam mereka meminum Polyjuice dan efeknya belum juga hilang.

"Polyjuice dan rambut dikadomu Harry, ingat itu?" Harry mengangguk, "Dan efeknya tidak juga hilang." Kata Hermione dengan wajah datar, tapi kedua sahabatnya tahu, diam-diam Hermione menyukai rambut pirangnya yang indah.

"Kau sudah mencarinya di Perpustakaan?"

"Setelah ini."

"Bagaimana kalau kau tidak menemukan cara untuk kembali? Atau hal yang paling buruk, kalian tidak akan pernah kembali lagi?" tanya Harry iseng.

Wajah Ron pucat, "Jangan mengatakan hal itu, Harry! Kau tahu! Aku ingin ketoilet dan belum sekalipun pergi ketoilet semenjak aku berubah seperti ini."

"Jangan mencari alasan untuk 'mengeksplorer' tubuhmu, Ron!" kata Hermione dengan tegasnya.

"Aku tidak mencari alasan! Aku memang ingin pup!" teriaknya.

Hermione memutar matanya, "Dan 'bermain' dengan tubuhmu."

"Aku tidak semesum itu!"

"Terus saja, Ron!"

"Dan aku tidak akan pernah ketoilet lagi seumur hidupku! Aku bisa mati!"

"Kita tanya madam Pomfrey atau Prof. Snape untuk mengeluarkan 'pup'mu tanpa ketoilet!"

"Kau menyuruhku untuk pup di tempat publik."

"Aku tidak-"

"Bagaimana kalau kau, Mione mengantarkan Ron kebelakang? Bukankah kalian sudah sama-sama wanita? Dan Kau bisa menutup hidungmu dengan charm yang kau bisa temukan di perpustakaan Mione." Kata Harry berusaha mencari jalan terbaik agar mereka menghentikan pertengkaran mereka berdua.

"Aku ke toilet, berdua dengan Ron! Harry jaga ucapanmu! Aku tidak-"

"Kau membayangkan apa, Hermione? Kita berdua di toilet? Ewwww…"

'Plakkk' kepala Ron dipukul dengan buku yang entah dari mana datangnya.

"Jaga mulut mu, Weasley!"

Kegaduhan karena pertengkaran Weasley-Granger berjalan dengan alot seperti biasanya. Setelah mereka berdua letih bertengkar, Great Hall kembali hening, yang terdengar hanya suara Harry mengunyah.

Ron mengelap keningnya.

"Boleh aku ke toilet sekarang?" tanyanya.

"Kau belum membuka hadiah natal dariku, Draco?" sebenarnya ia malas sekali menanyakan hal ini, tapi dari sikap anaknya itu. Ia tahu kalau hadiahnya belum dibukanya. Draco menanyakan alasan yang sebenarnya kenapa Potter bisa sampai ke Malfoy Manor. Ia tidak akan menjawabnya sampai anaknya itu membuka kado yang ia berikan padanya tadi pagi.

Draco yang ada di ruangan Snape sedang meminum teh melirik kearah Severus, "Ah…iya… aku belum membukanya, aneh sekali… ada apa Sev? Bukankah nantinya kau ke rumah kami?"

"Aku ingin kau membukanya saat kau sendiri." Ucapnya datar.

"Hm? Kenapa? Tidak biasanya?"

"Lakukan saja."

"Huh…"

"Draco!"

"Iya…iya Sev. Aku tidak mengerti apa isi kado itu? Apakah itu sesuatu yang dibenci kedua orang tuaku?"

Severus menjawabnya dengan tatapan tajam.

"Baik! Aku akan membukanya." Ia melirik ke arah jam, "Rasanya aku harus pergi Sev, aku harus ke rumah Vincent. Kami akan mengadakan pesta disana."

"Katakan pada ayahmu, aku akan datang nanti malam."

"Di rumah? Pertemuan Death Eater? Pantas saja, kami tidak boleh ada di Manor…"

"Hm…"

Draco mendekati perapian dan sudah menggenggam bubuk Floo. Saat tiba-tiba Severus memanggilnya kembali, "Jangan lupa, kadonya…harus kau buka sendirian. Atau kalau tidak ia akan hancur dengan sendirinya."

"Hm?" Malfoy menghela napasnya, "Sepenting apa sih, isinya. Aku jadi ingin tahu." Ia melempar bubuk Floo setelah mengucapkan 'Diagon Alley'.

Ketika sampai di Malfoy Manor, kedua orang tuanya tidak ada di dalam rumahnya. Ia bertanya pada Knobby –House Elf-nya yang lain, dan ia mengetahui kalau ternyata kedua orang tuanya memang pergi ke Crystal-Palace. Tidak biasanya mereka berdua pada waktu yang lama dihari natal seperti ini. Apakah mereka berdua tahu kalau orang yang datang ke Manor adalah Harry, ehem..Potter? bukankah orang yang menerobos Manor adalah Pansy? Ah…Potter juga ya… semoga karena ada dua orang yang menerobos ke Crystal Palace, maka ayah akan berpikir kalau itu Vincent dan Greg. Semoga..

Draco menghembuskan napasnya, sepertinya ia harus meminta untuk mempertebal pertahanan Manor pada ayahnya. Khusunya di Crystal Palace, ia sendiri bingung kenapa Potter bisa memiliki foto…erm…Enchanted Portkey, untuk ke Crystal Palace? Dirinya sendiri saja harus berjalan dari Manor untuk ke tempat itu.

Tapi…kalau ia meminta kedua orangtuanya untuk memperkuat pertahanan Malfoy Manor, Potter tidak akan pernah ke Crystal Palace lagi. Setidaknya kemungkinan rivalnya untuk berada di Crystal Palace masih ada kalau mengingat Potter menyimpan foto itu, terlebih lagi Crystal Palace adalah tempat yang indah, Potter adalah seorang Gryffindork dan hal yang paling utama, Potter adalah seorang Potter. Hm? Kenapa dirinya seperti menginginkan Si Potty itu untuk ke rumahnya? Seharusnya, ia tidak boleh berpikir kalau Potter ingin ke rumahnya, karena itu terlalu bahaya untuknya. Setidaknya ia akan babak belur Draco hajar.

Draco tertawa terhadap pemikirannya sendiri. Rasanya aneh kalau Draco lebih mementingkan keselamatan Draco dari pada upayanya untuk menangkap Potter dan membawanya ke kedua orang tuanya. Walaupun Dark Lord belum muncul, tapi jasanya dalam membawa Potter pasti akan diberi penghargaan yang sangat tinggi oleh para Death Eater maupun Dark Lord itu sendiri. Mungkin saja ia akan mendapatkan Dark Mark pada usia mudanya. Terlebih lagi Dark Mark adalah hal yang ia inginkan semenjak dulu. Baginya itu adalah hal yang membanggakan. Untuk menjadi Death Eater dan menghapus –Muggle-thing- didunia sihir.

Termasuk Half-Blood, Potter. Ia tahu kalau ibunya The Boy Who Lived adalah seorang Mudblood. Kalau Dark Lord berkuasa di dunia sihir maka ia akan dihapus dari dunia sihir. Ah…tidak, sebelum Dark Lord berkuasa ia memang harus dibunuh. Entah kapan rasanya perasaan ini pernah muncul. Bagaimanakah dunia ini tanpa adanya Potter ya? Seandainya saja Potter sudah mati saat Dark Lord membunuhnya dulu, akan seperti apa ya hidupnya?

Hidupnya tanpa Potter?

Pasti akan menyenangkan, ia akan jadi nomor satu di Hogwarts. Tidak ada Potter, dan tidak akan ada Mudblood Granger… dan tidak akan ada pertarungan di lapangan Quidditch. Tidak perlu mati-matian berlatih. Tidak perlu mati-matian belajar untuk mengalahkan Trio Golden. Tidak perlu berusaha untuk selalu membuat masalah untuk Potter. Tidak mengejeknya, tidak memukulnya, tidak memakinya, dan tidak mengerjainya.

Tidak melihat wajahnya, tidak melihat matanya, dan tidak melihat senyumnya…

itu rasanya seperti apa?

Draco setengah berlari ke kamarnya dan saat itu adalah waktunya yang tepat baginya untuk membuka kado. Kado yang dibungkus dengan sampul berwarna perak, polos tanpa tulisan apapun kecuali 'untuk Draco'. Sesaat ia menyentuh kado itu, bungkusnya berubah menjadi warna hijau. Warna Slytherin kesukaannya.

Di dalamnya ada tiga lembar kertas, yang pertama dibukanya adalah Howler yang berada diatas kertas lainnya. Howler? Kenapa Severus memberinya Howler? Sesaat ia membukanya, Howler itu berteriak:

"DRACO LUCIUS MALFOY! KAU HARUS MEMBUKA SURATMU INI DISAAT KAU SENDIRI! KALAU SAMPAI ORANG LAIN TAHU, KAU AKAN AKU BENCI! DIRIMU YANG DEWASA PASTI JAUH LEBIH PINTAR KAN! KU YAKINKAN, KAU AKAN BERSEDIH ATAU…EEERRR MARAH ATAU KEBINGUNGAN SAAT MEMBACA SURAT INI! ASAL KAU TAHU, AKU JUGA KEBINGUNGAN KARENA SEV MEMAKSA, HARUS MENULIS SURAT INI PADA DIRIKU SENDIRI! SEMUA INI TENTANG KAU DAN…, AH! SEV SEHARUSNYA MENULISKAN 'THE BOY WHO LIVED'! AKU TIDAK TAHU KALAU ….. TERNYATA ADALAH THE BOY WHO LIVED. POKOKNYA KAU HARUS MEMBACA SENDIRI! DAN PERCAYALAH, SURAT INI DARI DIRIMU SENDIRI. TERTANDA –DRACO MALFOY 7 TAHUN-"

Draco mengedipkan matanya berkali-kali melihat Howler dihadapannya itu membakar dirinya sendiri. Suara yang…seperti miliknya, hanya lebih muda dan lebih tinggi dari dirinya yang sekarang. Ia tidak tahu kalau ia pernah membuat Howler seperti ini. Sebelumnya ia mengatakan kata 'Sev' kemungkinan besar yang dimaksud adalah Severus. Kenapa juga Severus menyuruh diriku sendiri mengirim surat untukku dimasa depan? Atau kah terjadi sesuatu denganku dimasa lampau? Pikir Draco.

Ia tidak melewatkan ada saat dimana Howler itu seperti berbicara tapi tak bersuara, 'semua ini tentang kau dan….', kemudian 'the boy who lived'… ia bingung apa hubungan antara dirinya dengan Harry Potter, karena The boy who lived yang dimaksud ini pastilah Potter. Apa maksudnya dirinya dan Potter?

Apakah ini akan menjawab pertanyaan kenapa Potter bisa memiliki Enchanted Portkey Crystal Palace. ia terdiam kemudian ia kembali mengambil kertas yang ada di dalam kado. Ia menemukan ada foto yang sama dengan milik Potter, dan saat ia balik, Enchanted Portkey itu bertuliskan:

Untuk Draco dimasa depan.

Panggil namanya Draco yang sudah dewasa, nanti kau dan …. akan bertemu di Crystal Palace ini. Eh… tapi kau harus melakukan hal ini pada tanggal 1 Agustus 1997 yaaa… kau ingat, itu satu hari setelah ulang tahunnya. Mungkin tidak akan kau ingat. Tapi 10 tahun lagi itu memang sangat lama. Tapi tidak apa-apa kalian pasti akan bertemu. Kata Sev. Akan lebih baik kalau aku bertemu dia saat aku dewasa…apa ya..entahlah sev membingungkan.

Dari Draco 7 tahun.

Jantungnya seperti dicekik, sakit. Ia kesulitan bernapas, tapi seorang Malfoy sudah diajarkan untuk menghadapi hal seperti ini semenjak ia kecil. Ia menarik napas panjang dan kemudian, "Knobby."

Muncul Elf yang mirip sekali dengan Dobby, perbedaannya hanya ada pada ukuran hidung dan tubuh mereka, "Iya Tuan Muda Draco?"

"Dengar kan, aku…" Draco memberi perintah pada Knobby agar dirinya dan tidak ada seorang pun yang mengganggunya sampai ia keluar dari kamar. Kalau orang tuanya mencarinya, katakan ia sedang menyiapkan dirinya untuk pesta di rumah Vincent nantinya. Tidak ada yang boleh mengganggunya. Elf itu mengangguk dan menghilang.

Dihadapannya ada dua lembar kertas yang terlihat usang. Kertas yang penuh dengan tulisan tangan anak kecil. Ia membacanya perlahan-lahan. Awalnya ia tertawa, karena menurutnya hal itu mustahil. Severus seperti ingin mengerjainya, ia dan Potter sahabat kecil? jangan bermimpi!

Setelah ia membacanya, hatinya seperti berbicara. Ia marah, marah yang luar biasa. Walaupun ia tidak berteriak tapi wajahnya, andaikan ada orang lain yang melihatnya, mereka akan tahu kalau ia benar-benar marah besar. Kemudian didalam surat itu mengatakan kalau ia menggambar sesuatu didalam kertas. Ia mengambil kertas lainnya, dan ada seorang anak kecil dengan rambut ditarik kebelakang. Gambar ini bergerak, ia seperti sedang tertawa dengan seseorang, tapi digambar itu hanya ada dirinya. dirinya yang tersenyum.

"Huh…hahahahaha…ternyata gambarku sekarang tidak ada bedanya saat aku kecil dulu." Dan terdiam. Karena tanpa ia sadari ia mengakui kalau tulisan itu memang miliknya. Dikertas kecil itu pun ada tulisan yang sepertinya bukan miliknya:

'Draco, aku memberikanmu ingatanku…kau bisa lihat ada tabung kaca kecil yang didalamnya terdapat ingatanku tentang gambarmu dan saat dirimu menulis surat itu. Surat ini kau tulis untuk dirimu sendiri. Apa yang ada didalamnya adalah apa yang kau rasakan.'

Draco mencari-cari sesuatu di dalam kadonya, ternyata memang ada sesuatu yang janggal, ia mengucapkan 'Alohomora' dan ada bunyi 'klik'. Ternyata ada ruang kecil dibalik kado itu. Pantas saja, kadonya besar tapi kenapa dalamnya hanya berisi kertas. Ternyata ada ruang kecil tersembunyi. Ia akan melihatnya nanti, setelah ia melanjukan membaca suratnya itu.

Tangannya gemetar saat ia membaca surat itu. Perasaan yang muncul sangat menyakitkan, lagi menyedihkan. Kenapa bisa seperti ini? Ia seorang Draco Malfoy, menangis saat membaca surat dari dirinya sendiri dimasa lalu.

Potter!

Ia harus berbicara dengan Potter!

3 January 1995

Pagi itu, Draco terburu-buru menjelajahi seluruh Hogwarts hanya untuk mencari Harry James Potter. Langkahnya terhenti saat ia melihat Potter sedang berbincang dengan Cedric Diggory. Ia bingung, bukankah Diggory itu adalah saingannya dalam pertandingan Triwizard? Apa yang mereka bicarakan hanya berdua saja seperti itu di jembatan ini?

Ia melihat Hufflepoop-Diggory itu membisikan sesuatu padanya. Tidak kah jarak mereka berdua terlalu dekat? Tanpa ia sadari Draco menggigit bibir bagian bawahnya. Ia tidak suka apa yang ia lihat. Potter bisa seakrab itu dengan saingannya, tapi tidak dengan dirinya?

Akhirnya Diggory pergi dan Draco bertambah kesal, karena Potter tersenyum padanya. Kau tersenyum selembut itu pada sainganmu tapi tidak padaku, Potter? Kau ini pemilih sekali? Atau ia yang istimewa dan aku ini sampah? Pemikirannya itu membuat Draco merasa perutnya melilit dan napasnya sedikit tersengal, serta wajahnya berwarna kemerahan.

Draco menghampirinya, dan mereka beradu mulut seperti biasanya. Ia tidak bisa mengatakan 'Hei, Potter! Kau tahu alasan kenapa kau memiliki foto itu? Aku tahu…aku akan memberitahumu, dan kuharap kau mempercayaiku.' Ia kembali menggigit bibirnya. Rasanya ia mengharapkan kalau mereka kembali seperti dulu lagi. Tapi tidak. Malfoy tidak akan menghancurkan hidupnya hanya demi Harry Potter dan sepotong masa kecilnya yang bahkan tidak bisa ia ingat.

Berteman dengan Potter? Kedengarannya saja sudah seperti lelucon. Apalagi kalau ia benar-benar berteman dengan Potter. Mungkin ia bisa memanfaatkannya, berteman dengan Potter dan memberikan Potter pada ayahnya. Iya, ayahnya. Ia harus mampu membuktikan bahwa ia lebih baik dari Potter.

"Seperti perempuan. Kau seperti perempuan Potter. Panik… seperti aku akan melakukan suatu hal padamu." Dan ia melepaskan genggamannya. "Aku hanya ingin tahu kenapa kau bisa sa-"

"Bukan urusanmu."

Harry setengah berlari setelah ia lepas dari Draco. Melihat punggung Harry yang membelakanginya. Ia tertegun.

Draco melihatnya pergi darinya, ia panik dan berusaha mengejar Harry tapi-tapi…apalagi yang akan ia lakukan untuk menghentikan Harry, untuk membuat rivalnya itu kembali menatapnya dengan mata itu dan untuk mengalihkan dunianya pada dirinya. dan untuk…untuk apa? Kembali berteman dengannya? Kembali bersama dengannya? Untuk apa? Bahkan pertemanan mereka yang ia sangat rindukan itu tidak dapat ia ingat. Lalu untuk apa?

Bibirnya luka, dan darah mengalir.

Ia tanpa disadarinya menggigit bibirnya dengan keras. Bahkan rasa sakitnya tidak mampu menutupi rasa rindunya pada Harry.

Untuk apa?

Entahlah, ia sendiri tidak tahu.

….

5 January 1995

Akhirnya pertandingan kedua Triwizard akan diselenggarakan. Mereka harus mengambil 'hal yang dicuri oleh para putri duyung' dari Danau Hitam. Para Weasley sudah memulai memasang taruhan untuk meramaikan perlombaan. Tentu ia mendukung Krum, mana mungkin dihadapan Weasels ia akan bertaruh untuk Harry. Apalagi si Diggory. Hanya memikirkan dirinya bertaruh untuk si laki-laki yang berwajah vampir saja ia sudah muak.

Pertandingan sudah hampir selesai, tapi Harry belum juga muncul. Tiga juara lainnya sudah muncul. Ketiganya kecuali anak perempuan dari Beauxbaton tidak berhasil membawa kekasihnya. Well, Draco pikir itu kekasihnya. Lihat saja, Diggory dengan anak Ravenclaw itu, si Krum dan si Mud-errr-Granger itu. Ia penasaran, kenapa Potter lama sekali.

Draco melirik ditempat penonton, seluruh gadis Gryffindork, sampai dengan Slytherin ada. Lalu siapa yang Harry kencani? Muggle kah? Ia tertawa kecil, dan tidak menghiraukan perutnya yang mulai terasa seperti dijepit oleh sesuatu. Harry yang pemikirannya itu selevel dengan balita! Mana mengerti ia soal 'bercinta'- lupakan itu. Bahkan Draco berani bertaruh kalau Harry belum pernah berciuman.

Hahahahahahahaha… tawa Draco yang diiringi dengan tawa anak-anak Slytherin disampingnya; Vincent, Greg, Pansy, Blaise, Millicent, Theodore, dan lainnya, akhirnya membeku saat Weasley dan anak –perempuan-MerlinKnows- muncul kepermukaan yang kemudian di sambut suka ria karena Harry meloncat ke permukaan.

Ah… ia tertawa… ia tertawa, ia tahu apa yang mulutnya lakukan adalah I'm-f*cking-laughing bersama dengan teman-temannya dan bersikap kalau ia sedih kenapa Harry tidak usah muncul saja lagi dari dalam danau. Ia tertawa, tapi ia tahu ia sedang bersedih, melihat Weasley yang seharusnya dicari olehnya…diantara seluruh orang yang dibawa oleh pasangan lainnya. Ia tahu tidak mungkin tugas dari lomba yang kedua ini 'mencari kekasih' melainkan 'orang yang berharga' karena nampaknya Granger tugas Krum, maka Weasley adalah tugas Harry. Hatinya sakit… tapi ia menolak pemikirannya yang membisikinya sesuatu.

Kenapa bukan aku?

….., 1995

Dihari yang tidak pernah Draco ingat tanggalnya. Hari yang mendung, Ayahnya pun duduk dikursinya dengan tenang, sambil melihat pertandingan Triwizard yang terakhir. Death Eater, hanya berkumpul sekali itu pada hari natal. Ia tidak tahu kalau ada pergerakan lainnya. Bahkan sepertinya ayahnya sendiripun tidak tahu. Ia duduk dibangku penonton. Bersorak ria, meneriakkan nama Krum.

Ia sudah tidak ingin lagi memikirkan Potter adalah sahabat kecilnya. Janjinya pada Potter itu tidak akan berlaku. Janji disebut janji karena kedua pihak-atau salah satunya mengingat ada janji itu. Tapi baik ia maupun Potter, keduanya tidak ada yang mengingatnya. Jadi itu bukanlah janji dan tidak perlu ditepati.

Draco mengangkat kepalanya, dan seorang Malfoy akan tetap menjadi Malfoy. Sikap Potter padanya pun tidak ada yang berubah. Walaupun akhir-akhir ini rasanya mereka jarang bertengkar, karena Potter selalu menghindarinya. Tidak hanya Potter yang menghindarinya, tapi ia pun menghindari Potter. Rasanya hatinya masih sakit, rasa yang entah ia dapatkan dari mana.

Perlombaan dimulai dan seluruh anak berlari memasuki labirin. Ia tidak berharap Potter akan menang –karena ia bertaruh untuk Krum-, tapi dalam hati kecilnya ia berharap agar Potter selamat. Ia selamat, agar ia bisa mengalahkannya atau mengejeknya karena kalah, keesokan harinya. Maka, Potter harus selamat.

Beberapa lama kemudian ada kembang api yang muncul keatas. Pertanda ada seseorang yang sepertinya telah menyerah. Ia harap itu Potter, karena itu artinya Potter kalah dan Potter….erm..selamat. Tapi yang muncul adalah si anak perempuan Delacour itu. Draco tahu anak itu bernama Fleur Delacour setelah ia melihat anak gadis itu menciumi Potter. Mau-maunya ia menciumi pipi Potter di depan umum. Menjijikan.

Setelah itu, diumumkan kalau Krum tersingkir. Ia kesal, karena Potter tidak juga kalah. Sepertinya Hogwarts akan menang dan ia harus membayar kekalahannya. Setidaknya harapannya terakhirnya adalah di hufflepoop itu yang mengalahkan Potter. Potter dan kesombongannya itu.

Agak lama, kami menunggu mereka berdua untuk muncul dan Potter akhirnya muncul membawa Diggory yang sepertinya pingsan. Semua orang bersorak gembira, dan Draco hanya terdiam, karena Potter sudah muncul. Tapi ia tertegun. Kenapa Potter berteriak-teriak seperti itu dihadapan Diggory?

Karena mereka bekerja sama?

Ataukah selama pertandingan mereka menjadi sepasang kekasih?

Draco merinding dan kesal sendiri terhadap pemikirannya. Ia menatap Potter yang sepertinya sedang… menangis? Kenapa Potter menangis?

Sesaat kemudian ia mendengar seorang anak perempuan berteriak dan Potter menangis karena Diggory meninggal. Diggory meninggal dan Potter menangis. Potter menangis, karena saingannya meninggal.

Seluruh anak berlari masuk ke dalam Kastil dan Draco berjalan perlahan. Ia ingin berbalik dan mencari Potter. Apakah Potter baik-baik saja? apa yang terjadi pada Potter? Apakah ia sakit? Siapa yang membunuh Diggory? Apakah ia tidak sengaja membunuh Diggory lalu kemudian ia bersedih? Kenapa menangis! Kau kenapa Potter!

Semuanya terjawab ketika ada bisik-bisik bahwa You-Know-Who telah kembali. Potter melawannya, dan Diggory mati dihadapannya. Malam itu, saat semuanya ribut karena peristiwa itu, Owl milik Draco membawakannya surat. Surat dari ayahnya. Hanya ada satu kalimat. 'Our Lord Back'. Bahkan tanpa memperhatikan grammar yang digunakannya.

Ia bingung, ia harus senang atau ikutan sedih untuk Potter. Tapi ia tahu, malam itu rasanya ia akan pergi ke suatu tempat lagi. Maka saat ia tidur, ia menggunakan tongkat sihirnya.

Keesokan harinya, Dumbledore mengumumkan bahwa Cedric Diggory meninggal. Meninggal karena dibunuh oleh Voldemort dan Kementerian tidak ingin hal ini diketahui oleh murid-murid Hogwarts. Draco melihat sepintas wajah Potter yang masih muram. Ia tidak bisa mendekati Potter karena sahabat yang over protective selalu ada disampingnya.

Ia tidak bisa melakukan apapun, tapi ia sendiri paham karena ia bukan siapapun. Ah…tidak, begitu pikir Draco. Seorang Draco Lucius Malfoy adalah rivalnya. Bukankah ada yang mengatakan kalau 'kau harus selalu mencintai musuhmu'? benar itu yang harus dilakukan Potter terhadapnya. Ia akan ada didalam hidup Potter sebagai saingannya dan orang yang dibencinya. Terdengar sedih memang, tapi begitulah hidup. Dan hidup ini berbicara tentang pilihannya. Draco memilih untuk hidup sebagai Draco Lucius Malfoy. Seorang Malfoy.

Hei Potter, aku memilih hidup sebagai rivalmu dan orang yang kau benci.

Begitulah.

Draco berjalan dengan menatap punggung Potter yang seperti biasanya di iringi oleh kedua sahabat baiknya. Kalau, kalau Draco bukanlah seorang Malfoy, mungkinkah ia akan ada disamping Potter seperti kedua sahabatnya itu. Tapi sekali lagi Draco memilih untuk menjadi orang yang dibenci oleh Potter dan diam-diam dalam hatinya yang kecil serta penakut itu ia mengakui kalau ia menginginkan agar setidaknya, sama seperti Diggory saat ia mati nanti… Potter akan menangis untuknya.

Tapi itu…tidak mungkin kan? Potter menangis untuknya? Hahahahaha benar-benar sebuah lelucon yang tidak lucu, Draco tertawa kecil dan akhirnya ia mengalihkan pandangannya dari Potter. Ia terhenti, membalikkan tubuhnya dan melihat Potter sekali lagi. Kau tahu Potter ini hanya rahasia antara aku dan diriku yang saat itu masih kecil, hanya kami berdua saja (walaupun sepertinya Severus tahu-tidak masalah juga- mari kita anggap ia tidak tahu).

Aku akan menjaga janjiku padamu, sekalipun kau tidak akan pernah tahu.

Aku Draco Lucius Malfoy saat kecil.

Sahabatmu.

Aku Draco Lucius Malfoy yang saat ini.

Rivalmu.

Yang mana saja boleh, karena…dua-duanya memiliki peran penting, bukan? Untukmu. Kulakukan hanya untukmu.

Draco tersenyum dan akhirnya berpaling dari Potter. Ia berjalan menuju asrama Slytherin dibawah tanah. Sampai kapanpun ia akan tetap menjadi Slytherin dan Potter adalah Gryffindor. Mereka tidak mungkin berteman saat ini. Tapi asal kau tahu saja Potter kalau aku:

Aku akan menepati janjiku padamu.

Walaupun kau tidak akan pernah tahu.

1 September 1995

Voldemort kembali dan membunuh atau menyiksa seseorang lagi. Piala Dunia Quidditch. Tournament Triwizard. Hermione dan Ron yang nampak sedih setelah mereka berubah kembali menjadi diri mereka sendiri di dalam Great Hall. Mayat Cedric Diggory yang mati terkapar dihadapannya. Tangisannya, upacara kematian Diggory. Si kembar Weasley yang tertawa dengan gembira karena Harry memberikan mereka uang hadiah Triwizardnya.

Dan terkadang ia bermimpi tentang seseorang yang membisikinya dimalam hari. Saat mimpi-mimpi itu datang, dan ia tidak dapat menghentikannya. Rasa sedihnya, pahitnya. Ia sendirian diantara sebuah keluarga yang mengaku saudaranya tapi membencinya setengah mati.

Seseorang yang menenangkan dikala sedihnya. Saat Cedric mati, saat ia kira ia tidak akan bisa tidur tanpa bermimpi tentang kematian itu. Diantara sayup-sayup udara yang dingin, ia mendengar ada seseorang yang membisikinya, 'kau akan baik-baik saja.' katanya, 'aku akan menjagamu.' Janjinya, 'Jadi, kumohon…jangan bersedih lagi, Harry' pintanya.

Mungkin ini semua ulah Dementor yang sering sekali mengambil kenangan bahagianya. Sama seperti pertamakali ditahun ketiga ketika Dementor menghisap kebahagiannya, ia bisa mendengar teriakan ibunya. Itu seperti mimpi buruknya. Musim panas lalu saat Dementor menyerangnya dan Dudley di dunia Muggle, ia bisa mengingat ada seseorang yang memanggilnya dengan sedih. Suara anak kecil yang berteriak memanggil-manggil namanya. Seperti ia tidak akan pernah melihatku lagi. Selain itu entah kenapa, rasanya setiap kali mengingat suara anak laki-laki itu ia…mengingat Malfoy. Draco Malfoy, yang sepertinya adalah temannya saat ia kecil dan karena mereka ketahuan berteman lalu mereka berdua di obliviate. Setidaknya begitu kata Prof. Dumbledore dan Prof. Snape.

Mereka adalah teman. Draco, Malfoy, ia bisa datang ke kamarku yang sempit karena aku 'memanggil'nya. Aku sendiri tidak mengerti dengan maksud 'memanggilnya'. Prof. Snape juga mengatakan kalau saat itu Draco 'membutuh'kan seseorang dan Harry 'memanggil'nya maka sihir diantara mereka yang kuatlah yang mengikat mereka.

Ikatan itu seperti tikus yang membuat lubang di dinding tanpa merusakkan dinding itu. Ia membuat lubang yang mustahil ada, tapi kenyataannya ada. Selain itu entah karena ada 'ikatan' antara darah Malfoy dan Potter yang tidak bisa dikatakan oleh Prof. Dumbledore, yang membuat mereka bisa saling memanggil. Prof. Dumbledore tidak bisa dengan pasti mengatakan bahwa Malfoy dan Potter memiliki ikatan darah atau apa. Tapi yang jelas, menurutnya… Ia dan Malfoy dari sekian banyak keluarga sihir dan anggota keluaga Malfoy/Potter, yang memiliki ikatan ini. Prof. Dumbledore menyebutnya ikatan sihir.

Ikatan langka yang tidak akan pernah putus dan akan selalu tarik menarik. Entah itu nantinya kami akan selalu bersama, atau kami akan saling membenci. Tapi yang jelas, kami tidak akan pernah saling 'melepas'kan satu sama lainnya. Karena kita memiliki ikatan aneh itu.

Buku sihir manapun tidak ada yang bisa menjelaskan, dan masalah ikatan itu tidak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali Prof. Dumbledore, Prof. Snape dan Prof. McGonagall. Ia tidak mengatakannya pada Hermione atau Ron. Ia sudah menganggapnya masalalu. Masalalu yang bahkan tidak bisa ia ingat.

Ingatannya semakin aneh dan ia takut dirinya sendiri yang membuatnya. Saat itu, saat Cedric meninggal dan Voldemort berduel dengannya. Malam itu, ia sedih dan meminta agar teman-temannya menjauhinya. Ia tidak bisa tidur, dan malam terasa sangat dingin. Ingatannya yang melayang pada Draco Malfoy membuatnya kesal dan pada saat yang sama ia merindukannya.

Terakhir kali mereka bertengkar adalah saat ia mengatainya dengan Cedric. Mereka tetap bertengkar setelahnya, tapi rasanya hampa. Mereka bertengkar tapi mereka tidak ingin bertengkar. Rasanya seperti itu. Kami seperti pura-pura bertengkar. Ia mengingat, senyum Draco –sejak kapan jadi Draco?- yang laki-laki berambut pirang itu lemparkan pada teman-temannya. Kalau kenyataannya mereka memang berteman, lalu ia tersenyum dan hanya untuknya… rasanya itu…seperti apa? Apakah dulu ia selalu tersenyum? Apakah saat mereka berteman, Draco bahagia.

Harry ingin sekali tahu mengenai mereka berdua, tapi pada saat yang sama ia takut pada keinginan itu. Jantungnya selalu berdebar, saat Draco dekat dengannya. Ia selalu berusaha menutupinya dengan kebenciannya. Terkadang ia sudah tidak tahan dan memilih untuk pergi atau tidak menghiraukannya. Tapi setelahnya ia pasti akan merindukannya.

Ia takut kalau mereka berbicara, mereka kembali berteman, dan perasaannya ini berkembang. Maka kata 'berteman' itu tidak akan pernah ada. Harry terlalu takut kehilangan teman-temannya. Ia terlalu takut, ia akan jatuh hati pada Draco kemudian kehilangan dirinya. Oleh karenanya ia lebih memilih untuk tidak dekat dengannya.

Terimakasih kepada Dementor dimusim panas, ingatannya yang ia anggap hanya mimpi. Mulai ia percayai. Malam itu, ada seseorang yang memeluknya. Awalnya ia memeluk tubuh Harry dari belakang. Harry yang tidak bisa tidur tapi sudah menutup matanya merasa nyaman dengan keberadaannya. Sepertinya hal itu pernah terjadi, dan ia tidak mengelaknya.

Laki-laki itu membalikkan tubuhnya menghadapkan Harry pada dirinya dan kemudian memeluknya. Harry tahu ia laki-laki, karena ia membisikinya. Disaat tengah malam Harry terbangun karena mimpi buruknya, laki-laki itu berkata 'kau tidak apa-apa Harry? Apakau mimpi buruk' Harry hanya ingat ia mengangguk. Wajah samar (karena dirinya tidak memakai kacamata) yang terlihat sangat pucat itu nampak khawatir. Mungkin hanya perasaannya saja orang itu khawatir.

Setelah itu orang itu kembali berbisik padanya, 'Kau ingin sesuatu, Harry?' dan ia pun ingat ia menggelengkan kepalanya. Lalu orang itu berkata lagi, 'Kalau begitu tidurlah, pagi masih jauh.' Harry terdiam dan ia menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa tidur. ia tidak ingat ia mengatakannya atau tidak tapi yang jelas, seperti mengerti orang itu memeluknya, 'Aku akan menemanimu dan menjagamu. Kalau kau tidak bisa tidur maka aku akan disampingmu. Katakan apa yang kau mau?' tanyanya.

Harry kembali menggelengkan kepalanya. 'Aku ingin tidur, tapi aku tidak bisa.' Sepertinya ia membisikkan hal itu.

Orang itu menggangguk, 'Aku tahu apa yang kurang, Harry…' orang itu terdiam sejenak, 'Ibuku selalu melakukan sesuatu padaku, kalau aku tidak bisa tidur.'

Harry sepertinya berkata 'Apa?'

'Jangan kau tertawakan,' katanya lagi. Orang itu melingkarkan tangannya pada pinggang Harry dan Harry tidak keberatan karena rasanya hangat. Ia seperti mengenal pelukan ini, atau mengenal cara orang ini memeluknya.

Kepala Harry mengangguk dua kali.

'Ibuku selalu mencium dahiku sebelum aku tidur, jadi maukah kau…errr…mencium dahiku.'

Saat itu Harry tertawa, bukan karena hal itu lucu atau menggelikan tapi karena 'Aku bingung siapa yang ingin tidur, dan siapa yang dicium.' Tawanya itu membuat orang disamping tersenyum. Walaupun samar-samar Harry tahu laki-laki disampingnya itu tersenyum. 'Aku akan menciummu.'

Laki-laki itu tertegun. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat lagi, merona memerah. 'Mak-maksudmu, Ha-Harry.'

'Di dahimu.'

'Ohh…'

'Kau kecewa?'

'Aku? Ah tidak! Mana mungkin aku ke-ce…er… sedikit.' Katanya jujur.

Harry kembali tertawa. Aneh sekali, harusnya hari ini adalah hari yang sangat menyedihkan. Seseorang mati dihadapannya karena dirinya lemah. Karena ia tidak bisa berbuat apapun maka orang itu mati. Berapa banyak orang lagi yang akan mati?

Laki-laki yang ada dihadapannya menyentuh pipinya. Sepertinya ia menangis, dan ia dipeluk erat oleh orang itu.

'Tidak apa-apa, Harry. Semua itu bukan salahmu. Vo-voldemort lah yang bertanggung jawab Harry. Huff-Diggory tidak akan menyalahkanmu. Kau sudah berusaha sekuat tenaga kan?' ia mengangguk. Ia mengingat wajah Diggory yang memintanya untuk membawa mayatnya pada ayahnya.

Ia menangis dipelukan orang yang lebih tinggi darinya. Ia memanggil dirinya Harry dan Harry sangat mengenal suara itu. Mungkinkah temannya? Yang pasti ia bukan Ron.

'Kau sudah tenang Harry?' tanyanya, dan saat itu Harry hanya mengangguk. Ia memegang kepala Harry dengan kedua tangannya, 'Aku akan mencium dahimu sama seperti ibuku kepadaku. Agar kau bisa tidur dengan lelap. Agar kau tidak merasa sendirian dalam tidurmu.'

'Aku kan tidak sendiri saat ini.'

Orang itu tersenyum, kemudian ia mencium dahinya.

Harry menempelkan dahinya pada dada orang itu, detak jantungnya sangat cepat. Mungkin kah gugup didekat Harry. Ia tersenyum, karena detak jantungnya pun sama cepatnya dengan orang itu. Tangannya menggapai pinggang orang itu, dan orang itu pun melingkarkan tangannya pada punggungnya.

Sayup-sayup saat ia sebelum tidur ia mendengar perkataan yang seperti sihir. Sihir yang membuatnya tidur dengan lelap malam itu.

'Harry aku menyayangimu, jadi jangan bersedih. Harry kau tidak salah, dan apapun yang kau lakukan kau tidak akan pernah salah bagiku, maka dari itu kau jangan bersedih. Harry aku akan menjagamu, walaupun itu dari kejauhan, jadi jangan bersedih. Harry kau harus kuat, karena aku akan selalu melindungimu dengan atau tanpa sepengetahuanmu.'

Harry mengangguk dan kemudian mengangkat wajahnya, sehingga wajah mereka bertemu. Dahi orang itu terlalu jauh. Maka ia menyentuh hidungnya dan sedikit bagian bibirnya dengan bibir Harry yang dingin. Sepertinya orang itu terkejut, tapi Harry tidak ambil pusing.

Ia kembali memasukkan kepalanya ke dada orang itu, dan mulai tertidur.

'Good Night, Draco'

Ada 15 detik sebelum laki-laki itu menjawab,

'Hm… Nite Love.'

'Nite Love'

Harry tersentak bangun dari tidurnya, di kompartemen. Seingatnya sebelumnya ia terbangun juga karena memimpikan Voldemort, tapi…tapi barusan ia..ia..

"Kau kenapa Harry?" tanya Hermione panik.

Ia menggelengkan kepalanya.

"Kau bermimpi lagi, Harry?" tanya Ron.

Ia mengangguk dan kemudian menghela napasnya. "Aku tidak apa-apa. Hanya…bermimpi hal yang aneh."

Aneh, ia seperti tidur dengan Malfoy! Malfoy! Dan rasanya ia sudah terbiasa dengan hal itu.

"Kau tahu Harry? Semenjak kau menghilang sikapmu sedikit aneh. Pasti ada hal yang kau sembunyikan dari kami ya?" tanya Hermione. Ia memang tajam.

Harry mengangkat kedua bahunya.

"Jangan bohong, Harry!"

Ia menghela napasnya lagi, dan mengusap-usap kepalanya, "Kau…percaya kalau aku…berteman dengan Dra-Malfoy diam-diam?"

"Apa!"

"Harry! Mate! Kau dan Draco!"

"Percaya, Tidak?" tanya Harry lagi.

"Tentu saja tidak!" kata mereka berdua bersamaan.

Harry menghela napasnya lagi, dan kali ini tertawa. Karena wajah teman-temannya ini aneh sekali. Ia tersenyum jahil, "Kalau kami berkencan, kau percaya? Kau tahu kan kami sudah jarang bertengkar? Itu karena kami sekarang sepasang kekasih!"

Wajah Hermione memucat dan Ron hampir pingsan.

"Hermione, kau punya ember tidak! Berita buruk! Berita buruk! Aku bisa sakit jantung ini!"

Hermione memutar bola matanya, "Hentikan itu, Harry! Ron! Kalian tidak lucu!"

Kedua laki-laki dihadapannya tertawa. Ron terdiam saat Hermione ikut tertawa pada akhirnya.

"Kau tahu, Mate…kalau itu memang keputusanmu…" ia menghela napasnya, "Aku tidak akan keberatan, walaupun di 10 tahun awal kalian bersama, saat kami bertemu pasti kami akan melemparkan kutukan satu sama lain."

"Ron!" bentak Hermione, "Itu namanya Gay! Itu tidak normal Ron!"

Harry mengangguk.

"Benarkah? Aku tidak pernah mendengar kalau menikah sesama itu buruk?"

"Eh?" Hermione terkejut.

"Pasti itu Muggle-thing ya?" tanya Ron. "Yah…memang tidak sedikit di keluarga penyihir yang Pure-Blood membenci Gay. Karena akan menghentikan keturunan dan tradisi 'keluarga' mereka bisa hancur karenanya. Tapi sebagian besar, kami tidak begitu mempermasalahkannya."

Hermione terdiam, "Harry… kau jangan-jangan serius?"

"Tidak! Kan aku bilang itu hanya seandainya saja!"

"Kau membayangkannya? Ewwww…" kata Ron setengah jijik.

"Ron! Mione! Hentikan!"

"Kau yang memulainya Harry."

Harry terdiam setengahnya karena marah dan setengahnya lagi karena ia bingung apa yang akan ia lakukan. Apakah ia akan menyapa Malfoy sambil berkata 'Hei, Mal-Draco terimakasih atas ketiga kadonya. Aku senang dulu waktu kecil-walau aku tidak bisa mengingatnya- kita berteman. Kalau sekarang bagaimana? Kau ingin kita berteman lagi?'

Mustahil, karena semakin dekat jaraknya dengan jarak Malfoy. Maka jantungnya akan berdetak dengan kencang. Ia akan malu, apalagi kalau mengingat mimpinya itu. Oh Merlin! Lebih baik ia bermimpi tentang Voldemort dari pada tentang Dra-Malfoy.

Kereta terhenti dan ia keluar dari kompartemen dengan pikiran setengah melayang. Hari sudah gelap dan ia lapar. Ia melihat Voldemort berdiri disamping kompartemen. Ia terkejut dan Dark Lord itu memutar kepalanya. Mereka saling menatap dan sekejap kemudian ia membuka matanya.

Ia masih ada didalam kompartemen.

Mereka bertiga keluar dari kereta. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata dibelakang mereka.

"Mengherankan kementerian masih membiarkan kau bebas, Potter!" Malfoy berjalan lebih cepat dibelakang mereka di iringi dengan Crabbe dengan Goyle. "Nikmati saja selagi kau bisa! Tak lama lagi kau akan mendekam di Azkaban."

Perkataannya ini membuatnya kesal. Moodnya yang buruk karena bermimpi tentang Voldemort membuatnya semakin buruk. Ia sudah tidak peduli apa yang dikatakan jantungnya lagi.

Harry maju kearah Malfoy seakan-akan ia hendak memukulnya namun dihentikan oleh Ron, dan Malfoy reflek mundur kebelakang. Ron tetap memegang tangannya.

Malfoy kembali berjalan, "Apa kataku! Dia gila!"

"Jauhi aku!" bentak Harry.

"Begitulah Malfoy," kata Ron, "Mau bagaimana lagi."

Harry berlepaskan genggaman Ron dan kemudian berjalan lebih dahulu, meninggalkan kedua sahabatnya. Ia menutup kedua matanya kemudian membukanya dan tersenyum.

'Baiklah, Malfoy. Aku mengerti.'

2 Agustus 1987

"Aku siap, Ayah…Ibu…"

Draco menundukkan kepalanya dihadapan ayah dan ibunya yang sedang duduk dengan secangkir tehnya. Setelah makan malam, begitu janji ayahnya pada Draco untuk meng-obliviate anaknya itu.

Narcissa yang melihat anaknya lemas seperti ini, jadi ikut-ikutan sedih. Ini keputusannya juga untuk mendukung suaminya memisahkan keduanya. Ia takut anaknya akan menjadi Gay. Keluarga Malfoy harus ada yang meneruskannya dan itu adalah Draco.

"Severus."

Kemudian Severus muncul dari belakang Draco.

"Kau sudah siap, Draco?" tanyanya.

"Apa maksudnya, Ibu?"

Lucius tetap tidak bergeming dihadapan bukunya. Narcissa tersenyum, "Sev, yang akan meng-obliviate mu, sayang."

Wajah Draco memperlihatkan ekspresi kebingungan. Severus menyentuh punggungnya perlahan lalu mendorong masuk ke ruangan lainnya. Ia melihat wajah anak baptisnya, kedua mata abu-abunya bengkak. Ia tahu kalau anaknya ini baru saja menangis.

Draco duduk dikursi, "Kenapa kau Sev? Kau akan tetap meng-obliviate ku kan?" tanyanya dengan pedih.

"Iya…sayang sekali, Draco."

"Kenapa bukan ayah?"

"Ibumu yang memintaku untuk meng-obliviate-mu."

"Ibu?"

"Iya, Ibumu berkata padaku 'Sev, tolong Obliviate Draco…aku tidak sanggup melihatnya menahan tangis dihadapan ayahnya.' Begitulah."

"Aku tidak akan menangis! Aku adalah seorang Malfoy!"

"Matamu bengkak, Draco-" dan ia melihat Draco siap-siap untuk protes, "Kau ini setengah Black!"

"Aku…"

"Dan kau lihat sendiri kalau darah Black tidak sama dengan orang normal."

Draco menatap ayah baptisnya.

"Hish," Severus mendengus, "Ibumu ingin membiarkanmu menangis. Kau pasti sedih kan Draco?"

"Aku tidak akan menangis!"

"Dan aku sudah berjanji pada ibumu kalau aku tidak akan menceritakan apapun yang kau katakan padaku tentang anak itu." Severus hanya membuat-buat hal ini. tidak mungkin ia mengatakan tentang 'Arry' pada Lucius atau Cissy.

"Sevvie!"

"Aku bisa menambahkan Silencing Charm agar orang lain tidak bisa mendengar teriakanmu?"

Wajah Draco cemberut dan Severus mengayunkan tongkatnya.

"Sev! Sev! Sev!" Draco berdiri mendekati Severus. Tangannya meremas celananya dengan sangat kuat. Keringat mengalir di dahinya dan mata sembabnya mulai berair kembali. Ia memohon pada ayahnya tanpa bersuara.

"Iya, Draco?"

"Aku tidak mau di Obliviet! Sev! Sev!" ia mulai menangis.

Severus merendahkan tubuhnya dan berdiri dengan lututnya, agar ia seimbang dengan Draco. Tangannya mengusap kepala anaknya.

"Sevvie! Sevvie! Sev! Aku ingin tetap berteman dengan Arry!"

"Tidak bisa Draco." Ku mohon percayalah padaku, Draco.

"Aaaaaahhhh!" teriaknya, air matanya mengalir dan sepertinya ia tidak bermaksud untuk menghentikannya dalam waktu dekat, "Arrrrhhh! Huaaaa! Sev! Sev! Aku ingin berteman dengan Arry! Aku sayang padanya!"

"Iya-iya Draco!"

"Aku menyukainya, Sev! Aku menyukai Arry!"

"Iya…"

"Aku mohon! Sev!"

"Tidak bisa, Draco."

Draco menangis sambil menyebut nama Arry dan Severus bergantian. Ia sesekali memukul Severus ketika ayahnya itu mengatakan 'tidak'. Severus tidak melakukan apapun. Ia tahu rasanya kehilangan orang yang paling disayanginya.

Anak kecil itu sesegukan dan kemudian mengusap-usap matanya. Ia menatap lekat Severus.

"Sev, aku berjanji padamu. Aku tidak akan nakal! Tidak akan pernah nakal!"

"Hm?"

"Aku berjanji tidak akan pernah nakal, aku punya rencana!"

"Maksudmu, Draco?"

"Aku akan berpura-pura untuk kehilangan ingatan dan tidak lagi membahas soal Arry dihadapan ayah dan ibu. Aku akan menurut. Aku akan belajar dengan baik. Aku juga tidak akan bermanja-manja lagi, aku ju-"

Severus menyelanya, "Draco. Ini sudah menjadi keputusan kami."

"Seeeeev!" matanya mulai berair.

"Tidak bisa Draco…" katanya lirih.

"Aku akan menjadi tangan kananmu, dan akan aku laporkan kalau…kalau ayah menjelekkanmu! Aku akan menjadi informanmu, Sev!"

Potions Master itu melirik Draco dan memutar bola matanya, 'Dasar Slytherin' pikirnya.

"Tidak Draco."

"Seeeeeevvvvv!"

Ia mulai kesal, karena anaknya satu ini sangat keras kepala, "Dengarkan aku! Aku melakukan ini tidak hanya untukmu! Tapi sebagian juga untuk Arry! Temanmu itu!" bentaknya, dan Draco terdiam. Apa yang dikatakannya memang kenyataan yang harus diketahui Draco.

"Untuk Arry?"

"Apa kau tidak pernah berpikir, apa yang akan ayahmu lakukan kalau sampai ia tahu ada darah Muggle didalam tubuhnya, Draco?"

Draco mengernyitkan alisnya, "Arry, half blood, Sev?" lalu wajahnya tersentak, "Jangan-jangan ia Mudblood?" katanya bernada horror.

"Hm…" Severus tahu benar kalau seorang Harry Potter adalah Half-Blood yang didalamnya mengalir darah Lily Evans (Ia tidak mau mengakui Potter). Gadis yang dan akan selalu ia cintai. Lily, "Arry seorang Half-Blood." Katanya datar, rasanya tidak ada masalah kalau saat ini Draco tahu Arry seorang Half-Blood. Toh nantinya ia akan di Obliviate.

"Memang apa yang akan ayah lakukan?"

"Melenyapkannya?"

Wajah Draco memucat, ia terkejut. Kalau sampai ayahnya membunuh sahabat baiknya. Ia…ia..ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Tapi pada saat yang sama kalau ia dipaksa melupakan Arry. Ia..ia tidak ingin melupakan Arry.

"Tidak adakah cara lain, Sev?" wajahnya memohon, seperti seorang anak kecil yang tersesat ditengah kota.

Severus menggelengkan kepalanya, "Tidak ada, Draco. Kau harus di Obliviate." Wajah Draco kembali cemberut dan ia membalikkan tubuhnya, "Draco-hadap sini!" anaknya itu menolaknya, "Draco! Dengar kan aku! Ini demi kepentingan mu dan Arry. Ini juga demi Arry, dan Arry..." severus menarik napasnya, "Dan Arry sudah di Obliviate, Ingat Draco. Ia melupakanmu."

Mata Draco terbelalak. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat Severus. "Arry sudah melupakanku? Arry tidak mengingatku? Walaupun saat ini aku menemuinya?"

"Iya Draco."

"Arry… tidak mengingatku?"

"Hm…"

"Aku…aku…bukan siapa-siapanya?"

"Dra-…"

"Aku…lenyap dari ingatannya?"

'Huuugggggghhhhh' Draco menarik napasnya dengan dalam. "Arry…" gumamnya…airmatanya kembali mengalir, "Arry! Sev! Arry!" ia mengusap-usap matanya, "Arry…!" tangisnya pecah.

Draco menangis memanggil-manggil nama Harry. Ia berteriak, dan menghentak-hentakan kakinya.

"Draco…"

"Arry! Aku tidak (huugghkksss)…mau! Arry! Arryy! Huaaaaa!"

Ia kembali menangis histeris sambil menghentak-hentakan kakinya. Pedihnya mampu dirasakan oleh Severus, kehilangan orang yang kau sayangi. Siapa yang tidak sedih? Apalagi kalau kesempatan bertemu dengan orang yang benar-benar tepat untuk kita itu satu berbanding sepuluh, seratus bahkan ribuan.

Draco sesegukan, dan Severus mengelus-elus rambutnya.

"Draco…"

"Seeevvvv…" suaranya serak karena teriakannya.

"Kau sudah memberikan kado untuk Ha-…erm..Arry?" Severus melihat anak itu mengangguk. Tentu saja ia tahu, ia mengambil kado itu dari Healer dan mengobliviate Healer itu agar tidak mengingat Draco. "Kalau begitu, bagaimana kalau kau mengirim surat untuk dirimu?"

"Untuk ku? Untuk apa?"

"Untuk dirimu dimasa depan, Draco dan juga gambar pertemanan kalian kalau perlu… kau bisa menggambarkan?"

Anak kecil disampingnya itu mengangguk, "Iya..aku bisa menggambar. Tapi nanti apakah tidak akan terlupakan olehku?" Draco belum tahu kalau nanti ketika ia di Obliviate maka, hal-hal apapun yang berhubungan dengan Harry akan hilang, termasuk foto dan gambar-gambar Harry. Kalau gambar dan ingatan Draco bisa hilang, ingatan Severus tidak akan hilang kan?

"Ditambah dengan Howler?" usulnya, "Maka dirimu yang dewasa akan mempercayai surat darimu ini."

"Benarkah?"

"Iya…aku sendiri yang akan menyampaikan pada Draco dimasa depan nanti."

"Kapan itu, Sev?"

"Saat kalian berdua sudah siap."

"Hmn? Maksudnya?" Draco tidak sadar kalau hadiah darinya untuk Harry sudah dipegang oleh Severus.

Severus tersenyum, "Kau menyukainya, Draco?"

Anak kecil itu wajahnya tiba-tiba merona dan kemudian mengangguk.

"Kalau begitu, mari kita buat Howler, Surat dan Gambar untukmu dimasa depan."

"Ah, Sev! Aku sudah menitipkan foto dan rambut Arry pada Doubbie…"

"Tidak bisa, Draco. Nanti foto dan rambutnya akan hilang dari tangan Dobby. Panggil Dobby dan suruh ia mengembalikannya. Biar aku yang menyimpannya."

"Tapi nanti kan juga hilang…" ia mulai cemberut lagi.

"Ingatanku tidak akan hilang, Draco…"

"Huh?"

"Kau tahu Pensieve?" tanya Severus, dan Draco mengangguk, "Aku akan menaruh ingatanku untukmu."

"Tapi kau kan tidak melihat Arry?"

"Aku akan mengingatnya dari foto dan gambarmu Draco."

Draco kembali mengangguk dan ia tersenyum dengan lebar.

"Kalau begitu panggil, Dobby."

"Baik, Sev."

Anak kecil bernama Draco Lucius Malfoy itu tersenyum dengan lebar. 'Ini untuk Arry, pikirnya'

25 Desember 2010

Seorang anak kecil berlarian membawa sebuah kado berwarna kehijauan yang sedikit usang. Rambutnya pirang, matanya berwarna abu-abu dan wajahnya tirus. Ia disuruh ayahnya untu mengambil kado yang terletak di kamar ayahnya. Ia bingung dimana ayahnya menaruh hadiah untuknya. Ia tahu, ayahnya sengaja…karena setengah dari 'mengambil' kadonya itu adalah 'mencari' yang artinya suatu permainan. Ia memang baru berumur 4 tahun. Tapi ia suka sekali bermain 'mencari' dengan ayahnya.

"Father…Father! Lihat! Aku menemukan kadoku…! Tapi aku tidak bisa membukanya."

Ayahnya yang sedang membuatkan sarapan paginya itu, melirik kearahnya, "Scorpius! Itu milik ayah! Bukan yang itu…" ia melihat Scorpius cemberut dan membalikkan tubuhnya, "Scorpius Hyperion Malfoy! Lihat Ayah! Kadomu itu berwarna Perak..." wajah anaknya itu semakin kesal, "Hish… kalau kau mau tahu saja… kadomu tiga kali lebih besar ukurannya dari kado ayah itu."

"Aku taruh kadomu ayah… akan aku cari kadoku! Aku belum lelah ayah!"

Anak laki-laki yang dipanggil Scorpius oleh ayahnya itu pergi ke kamar ayahnya lagi untuk 'mencari' hadiahnya. Ayahnya menghembuskan napanya, 'Aku yakin ia pasti Slytherin' pikirnya.

Laki-laki yang berambut pirang dan panjang, serta diikat kebelakang dengan pita berwarna hitam itu mengambil kembali kado yang ditaruh dimeja oleh anaknya. Mata abu-abunya berkaca-kaca.

Ia menatap sendu kadonya itu, "Sudah 20 tahun lebih ternyata…aku membuat surat untukku sendiri." Ia menerawang ke langit-langit rumah yang sudah di ubah seperti turun salju perlahan. "Bagaimana kabarnya, ya…"

Ia membuka kado itu dan mengambil foto yang bertuliskan: 'Crystal Palace'.

"Scorpius! Scorpius! Kemari!" anaknya berteriak dari dalam menjawab panggilan ayahnya dengan membawa kado yang sangat besar.

"Apa ayah?"

"Mau pergi berjalan-jalan? Ke danau?"

"Ke danau? Dimana?"

"Erm…masih di wilayah Malfoy Manor. Tapi danau itu sangat indah dan ayah berjanji akan mengajakmu terbang dengan Jetbolt 2010."

Anak kecil itu mengangguk dan ia tersenyum.

"Tempat apa itu ayah?"

"Tempat yang indah…yang pasti itu tempat yang hangat untuk mengingat masalalu…"

"Maksudnya?"

Ia hanya tersenyum pada anaknya.

2 Agustus 1987

Untuk Draco dimasa depan, (yang kuharap tetap tampan dan rambut pirangmu tetap indah)

Draco…erm…kau menyukai _, eh…_ adalah sahabatmu. Kau menyukainya…duh, diulang. Begini Draco yang dewasa. Kau punya teman namanya _ kata Sev. Aku harus memanggilnya 'the Boy Who Lived' ternyata namanya _ _, kau pasti sudah tahu saat dewasa, karena ia terkenal kan? Ia sahabat baikmu lho…kau memang baru mengehalnya erm…banyak hari, tapi kau menyayanginya.

Kalian berdua sudah di obliet saat kau membaca surat ini. kau menyukainya tidak Draco dewasa? Aku sangat menyukainya, ia manis. Sikapnya sangat polos dan….er..manis. pokoknya manis. Aku malu menulis ini. kau jangan tertawa Draco dewasa.

Ia selalu tinggal sendiri ditengah saudaranya, ia dibenci saudaranya. Dan kau tahu? Kau datang untuk menyelamatkannya. Tapi kau malah membuatnya menangis karena meninggalkannya. Kau membuatnya dipukuli oleh keluarganya karena menjahili sepupu gendutnya dan kau membuatnya…hampir mati, karena meninggalkannya.

Kau menyukainya, sangatttt menyukainya Draco…ia dan dirimu selalu saling mencium sebelum tidur…eh, di dahi. Itu karena kalian adalah keluarga. Keluarga kan saling mencintai, tapi ia juga temanmu (kau tahu tidak…mungkin kau…gay). Doubbie… tahu, tanya padanya.

Ermm…aku membuat gambar untukmu..tapi kata Sev, ketika kau melihatnya kau hanya akan sendiri. Tapi kau tidak akan sendiri, karena _ ada disana, ia tertawa bersamamu. Dan kau tersenyum padanya. Kalian saling menyayangi, dan aku juga sudah memberikanmu foto Crystal Palace, yang kuminta buatkan dari teman Lauren McNair, kau masih mengingatnya? Tidak juga tak apa, ia tidak penting. Yang penting hanya _, kalian akan bertemu saat kau menyebut namanya. Eh…itu kalau ia juga menyebut namanya. Katanya sev akan mengingatkannya. (Aku juga tidak tahu bagaimana caranya).

Ini bagian yang penting Draco! Kau harus me-lin-dunginya… menjaganya, eh..menemukannya dulu. Kata Sev kemungkinan kalian akan saling membenci..tapi tak apa kalian akan saling menyayangi lagi. Ia menyayangimu..hemhem…aku anak yang baik…asal kau tahu saja. apapun yang terjadi Draco, kau harus melindunginya…walaupun kata Sev mungkin diam-diam. Aku tulis tebal, agar kau ingat!

Walaupun ia kalian bukan teman, kau harus melindunginya.

Walaupun erm..ia melupakanmu, kau akan mengingat dan melindunginya.

Walaupun ia tidak bisa menemukanmu, kau yang akan menemukannnya dan melindunginya.

Walaupun ia membencimu, kau akan selalu menyukainya dan melindunginya.

Walaupun kau melupakannya, kau harus mengingatnya, menyukainya dan melindunginya.

Draco ia ada dan hidup, walaupun kau tidak akan pernah tahu hal itu.

Kau menyukainya. Kau akan melindunginya apapun yang terjadi.

Aku berjanji, dengan janji seorang pria sejati. Kata sev aku terlalu kecil untuk membuat unbreackable voee

Jaga janjimu laki-laki!

Dari Draco dimasa lalu.

P.S: kalau kau tidak bisa menemukannya, cari saja anak yang berambut hitam paling berantakan didunia sihir, bermata hijau cantik, berkacamata bulat, dan memiliki tanda petir di dahinya. Kalau kau tidak bisa menemukan dengan tanda yang jelas seperti itu, artinya kau bodoh.

:p bye…

p.S.S: tolong temukan …aku begitu menyukainya dan jagalah ia, karena ia selalu kesepian dan aku bisa hadir padanya…karena…karena..hanya…err..karena…aku menyukainya.


END.

SELESAI…END! BYEEE! SELESAI!

Dipukuli rame-rame…udah lama namatinya, endingnya begini lagi… (yaa maap L) psikologi saya terganggu, jadi ficnya juga terganggu. Sebelum kita mengakhirnya, mari kita wawancarai tokoh disini satu persatu:

#Silakan memberikan tanggapannya wahai tokoh saya (minta dibakar JKR):

1. Draco: 'aku tokoh utama… kau lihat itu Potter! Aku tokoh utamanya! Aku mengalahkan Potter sekaligus Granger…muahahahahahaha…'

*Potter: Tetap saja ini tentang kau melindungi AKU. AKU!

2 Draco kecil: 'Tokoh utamanya aku… kau hanya sampingan yang muncul 2 chapter terakhir! Sadari itu! Kau itu sudah dewasa tapi kekanakan sekali, aku tidak mau tumbuh menjadi sepertimu.'

*perang apel antara Draco

3. Harry: aku tidak tahu kalau aku punya teman kecil, dan terlebih lagi…aku? Menyukai Draco…

*Author lari gara-gara di kejar-kejar Buckbeak dan Draco nyolak-nyolek? Potter.

4. Hermione n Ron: erm.. kita hanya peran pembantu? (H), kurasa iya…(R) dan muncul sebagai lelucon dan aku belum menyentuh Bar-errrrr…sakit hermione!

*Draco: bukankah kalian memang peran pembantu dari dulu ya? Smirk.

5. Severus: kenapa Lily dibawa2? Merlin, kami tidak pernah bermain Barbie! Kami bermain Hello kitty!

*dicatat-dicatat.

6. Albus: hahahahahahahahahaha (mendengar pernyataan Severus)

*….

7. Cedric: ah maaf, aku sedang syuting Twilight..maaf..maaf..

*Potter: kau dibunuh voldemort lalu berubah jadi vampire?

8. Ginny: Woi kok gueeeee kagak nongol…

*All: kita malah bingung kenapa kamu bisa nongol di comment kalau emang nggak nongol dicerita?

9. Scorpius: mukaku kelihatan nggak? Kan di film aku di edit. :(

*Author: ini fanfic isinya tulisan, Scorpius… #pukpuk.

10 Voldemort: (tertawa mendengar scorpius), hm…aku seharusnya muncul dan kemudian blablablabla…

*All: tertidur…

Special thanks to: paradisea Rubra, Chachulie247… :) maaf udah repot2 ngirim message.

All love to: Shin Joo, Zayn Key, Ayashaa, , Ururubaek, Kyuubi Naru, Aoname, Kebab, Kyuu-chan, Sun Flowers, Oncean Fox, Uzumaki Naa-chan, Melbuble, Dedege, JN Malfoy, Ozapurplegirl, Ozapurplegirl,, Ozapurplegirl, (sampai 3 kali, thanks ya… :D), Miao-chan2, 989seohye, oni, Angel Muaffi, harriet, dlaco, kebab (lagi?), BerRyzal.

Thanks to you all, silent reader, who you are that always waiting with great patience.

Semoga 17.000 an word ini membuat kalian tidak kesal…membacanya karena panjang sekaliiiiii…hehehehehehe...

P.S: Zayn, saya tidak bisa menyebut nama asli saya disini…hehehe..mungkin message? Dan terimakasih atas dukungannya selama ini.

Terimakasih. :D