"Jika kau tidak mencintai Kiba—jika kau tidak mencintai Kiba, apa berita bahwa kau pernah menyukaiku semasa kuliah itu benar?"

Sasuke tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya pertanyaan itu benar-benar keluar dari mulutnya, mungkin anggukan ragu Hinata atau gelengan cepat yang lekas disusul rentetan tawa, pun berbagai macam dalih seputar, "Kau dengar itu dari mana? Astaga, maaf, teman-temanku memang suka membuat rumor, maafkan mereka."

Tetapi rasanya pertanyaan itu memang tak usah ada, tak dibutuhkan untuk ada, karena beberapa saat kemudian, setelah deklarasi pendeknya bahwa ia tidak mencintai Kiba yang membuat Sasuke sejenak menghentikan napasnya, Hinata kembali memecah sepi di antara mereka dengan berkata, "Ahaha, aku bercanda."

Ia tidak perlu mendengarnya dua kali untuk merasakan hatinya terlempar jatuh.


Reaching You

by: Aya Kohaku

I just own the story, the original Naruto only belongs to Kishimoto-sensei.


Chapter 1: The Morning After

"Kau tahu, kau ini cantik. Hanya saja, kau begitu pemalu."

"Hey, Hinataaa!"

"Hinata, Hinata, lihat, aku membawa pulang medali!"

"Kau sangat cantik. Suaramu sangat cantik."

"Aku mencintaimu."

"Selamat hari jadi ketiga, Hinata!"

"—Menjadi pengacara sukses, pindah ke Tokyo, kemudian meminangmu."

"Mari menikah. Setelah kita sama-sama lulus kuliah, mari menikah."

Kyoto dan Kiba adalah dua hal yang baginya tak dapat dipisahkan.

Tidak akan ada Kiba jika ia tidak lahir, dibesarkan, serta tinggal di Kyoto. Pun, tidak akan ada Kyoto tanpa membayangkan sosok Kiba dengan jaket tebal yang membungkus tubuh kurusnya dan seekor anjing Shiba inu tampan berlari membuntut di belakang. Seperti deretan bambu hijau yang memanjang di Arashimaya, Hinata tak mampu menolak uluran tangan laki-laki bermata cokelat hangat itu ketika mereka pertama kali bertemu di sanggar anak-anak milik keluarga Kurenai-sensei. Kau cantik, begitu dialog pertama tertulis pada prolog kehidupan mereka, suaramu sangat cantik.

Matanya tak dapat terpejam berhari-hari.

Cantik bukanlah kata yang biasa diterimanya, tetapi Kiba, masih dengan kostum Pangeran Berkuda Putih-nya yang setengah terkancing seusai pementasan drama Putih Salju, berjalan sambil mengangkat kepala ke arahnya—ke arah Hyuuga Hinata, si pemeran di balik layar yang meminjamkan suara nyanyiannya kepada pemeran utama wanita. "Kau cantik, suaramu sangat cantik," berulang terus di kepalanya dalam perjalanan pulang. Seandainya kala itu Kiba mengatakan "Hei, kudengar kau puteri sulung Hyuuga-sama yang suka berbicara sendiri dan bermain cacing di halaman sekolah itu, ya?" padanya, mungkin Hinata bisa dengan mudah tertawa ringkas sebagaimana yang selalu ia lakukan setiap ada yang menanyakan kebiasaan anehnya, tetapi tidak.

Kiba memujinya, dan Hinata tak biasa menerima pujian.

Maka ia pikir, ia jatuh cinta.

"Ah, Sasuke Uchiha? Mahasiswa arsitektur asal Tokyo itu? Ya, ya, dia memang tampan. Tapi, aku dengar, masuk ke Kyoto University ini bukanlah pilihan pertamanya. Kalau tidak salah, dia sebenarnya justru ingin masuk Kedokteran Todai."

"Haaah, lepas dari isu itu, pria Tokyo memang berbeda, ya. Gaya berpakaiannya pun selalu enak dilihat."

"Karena dia memang tampan."

"Benar, karena dia memang tampan. Sayangnya dia terlihat tidak begitu banyak bicara."

"Hmm, hmm, teman wanitanya pun rata-rata cantik semua."

"Terang saja, realistis kan bila dia memiliki teman wanita cantik. Seperti yang sudah kubilang, karena dia memang tampan."

"Ah, benar, karena dia memang tampan."

Kiba dan Kyoto, Hinata pikir hidupnya sudah cukup sempurna memiliki dua nama itu di hidupnya.

Mungkin akan ada suatu hari di mana dia harus berhenti tinggal, menyeret koper, sebuah boneka beruang, dan pergi ke kota seberang—atau bahkan negara. Meski sesekali, Hinata juga ingin menyaksikan sendiri seperti apa dunia di luar Kyoto-nya yang sendu dan sembab, tapi ia tak pernah membayangkan untuk tak pernah kembali. Ada banyak tempat, terlalu banyak, yang ingin Hinata kunjungi. Kyoto adalah daerah yang menyenangkan dan dipenuhi guguran sakura saat musim semi, Hinata sangat menyukainya, tapi ada kalanya ia penasaran, apakah langit terlihat sama meski kau ada di berbagai belahan dunia. Kalau tidak, lantas seperti apa—ia kepingin melihatnya, menyaksikannya dengan sepasang mata telanjang. Tokyo, Osaka, Hokkaido, ah, Bali, Paris, London, Roma, berderet-deret nama.

Namun Kyoto tetaplah tempatnya kembali.

Kiba tetaplah tempatnya kembali, Sasuke Uchiha tidak sepantasnya berada di sana, mereka berbeda dunia.

—Mereka bahkan hampir tak pernah bicara.

Tidak dengan kata-kata.

"Ma-maaf, tapi mari batalkan pernikahan ini, Hinata," ia mendengar sebuah suara. "Aku—aku mencintai wanita lain."

Ah.

Karma memang ada, itu sebuah fakta.

Hinata mencintai Kiba, lewat caranya sendiri, walau kadang matanya beralih pada sesosok pria pucat bermata hitam pekat yang datang dari Tokyo (di koridor depan kelas, halaman belakang kampus—kadang ia duduk bersila, membaca buku bahasa asing, kadang memainkan gitar tanpa sadar banyak telinga yang mendengarkan—, di sudut perpustakaan, di aula gedung utama, di minimarket sebelah universitas), tetapi ia tidak pernah membayangkan akan menikah dengan siapa pun selain Kiba. Kiba adalah laki-laki sempurna, setidaknya bagi Hinata, Kiba adalah laki-laki sempurna yang mampu menyunggingkan senyum paling sempurna dan kilatan mata yang juga paling sempurna. Kenyataan bahwa Kiba mengatakan akan mempersuntingnya di hari ulangtahun kebersamaan mereka yang kelima (mereka menjalinnya semenjak usia enam belas) turut menambahkan tingkat kesempurnaan itu menjadi berlipat. Ia bahagia.

Ia bahagia, sungguh, hidupnya begitu sempurna. Keluarganya begitu sempurna. Kekasihnya begitu sempurna. Gaun pengantin putih yang rencananya akan dia pakai di hari pernikahannya begitu sempurna. Kyoto begitu sempurna. Segalanya begitu sempurna.

Ia mencintai Kiba, Hinata pikir Kiba pun selalu merasakan hal yang sama.

"Aku mencintai wanita lain," itu tidak seharusnya ada.

Seharusnya tidak usah pernah ada.


oOoOo


Tapi kalau begitu caranya, berarti kau picik sekali, Hinata. Karena kau tidak mencintai Kiba—kau mencintai ide dari keberadaan Kiba, tapi kau tidak mencintainya. Kau hanya merasa perlu mencintainya seakan-akan, jika kau tidak melakukannya, maka dunia yang kau sebut-sebut sempurna itu hanya kebohongan belaka. Sebab ia laki-laki yang pertama memujimu, dan kau begitu percaya akan cinta pertama, sehingga kau (dan dia) berusaha terus hidup di balik hubungan yang kalian anggap cinta, mengerti? Nyatanya kau mencintai Sasuke (jangan bohong, aku tahu), heh, paling tidak kau tertarik padanya, jadi wajar saja.

Jadi wajar saja kalau di sisi lain, Kiba juga merasakan sesuatu yang serupa, kemudian hatinya terpikat oleh wanita lain.

Bedanya, Kiba bukanlah orang yang pintar berbohong.

—Kemudian pemilik sepasang mata perak keunguan itu terjaga.

Pukul delapan pagi, ruangan tempatnya berada tampak asing dan muram. Ia menghapus lelehan air hangat di tepian mata dan pipinya, lantas perlahan menyusun kepingan ingatannya yang hilang dibawa mimpi hingga akhirnya ia tersadar bahwa mulutnya dipenuhi bau alkohol. Aroma memabukkan itu bersarang kental di mulutnya, menyebabkan Hinata sedikit kehilangan keseimbangan sewaktu berusaha bangkit dari ranjang. Namun memang dasar ia sedang tidak beruntung, sebuah boneka kecil berbentuk beruang entah dari mana sudah ada di depan kakinya, mendukung ketidakseimbangan tubuhnya hingga akhirnya Hinata terjatuh, membenturkan kening pucatnya dengan lantai dan tak lupa meninggalkan bekas kemerahan serta ingatan akan kejadian tadi malam.

Ia telah mencium Sasuke dalam keadaan mabuk.

"Oh, tidak," seketika, jeritannya tertahan, "oh, tidak, oh, Kami-sama, astaga."

Tapi ingatannya tidak berbohong.

"Aku bercanda," Hinata ingat, tadi malam, ia sempat menambahkan dua patah kata ini kepada Sasuke. "Aku mencintainya—aku pikir, aku mencintainya."

"Jadi, berita bahwa—"

"Kiba yang membatalkan pernikahan kami?"

"... Ya, kudengar," Sasuke menggantungkan jawabannya, ragu.

"Oh, benar, dia mencintai wanita la—"

"Maaf?"

"Dia mencintai wanita lain, jadi, yah."

Bukan berarti Hinata mengharapkan simpati dari pria yang, ia akui, pernah menarik hatinya semasa kuliah itu, hanya saja mulutnya bergerak sendiri, seolah Sasuke memiliki magnet kasat mata yang memaksa Hinata untuk mengeluarkan huruf apa saja yang sedang ada di pikirannya. Seolah Sasuke adalah satu-satunya orang yang berhak mengetahui kejadian sebenarnya di balik pernikahannya yang harus dibatalkan. Dari penglihatannya sendiri, Sasuke, di lain pihak, tidak merasa keberatan. Walau laki-laki itu hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa, tapi sebagai satu dari sekian banyak orang yang pernah terperangkap pada ketampanannya, Hinata tahu betul bahwa Sasuke adalah tipe yang cukup blak-blakan—apabila ia tidak suka dengan sesuatu, ia akan mengatakannya terus terang.

Sasuke baru menunjukkan reaksi itu ketika Hinata—sambil tersenyum kikuk setelah menyelesaikan pengakuan pathetic-nya—tiba-tiba menceletuk, "A-apa aku boleh minta beer dingin yang ada di kulkasmu?"

"Aku tidak tahu kalau kau minum?"

"Aku pun tadinya ti-tidak tahu kalau kau merokok, Uchiha-san."

Kita adalah makhluk asing satu sama lain.

"Kalau begitu, sebentar, biar aku ambilkan."

Ada bias ketidaksukaan pada gaya bicara Sasuke sewaktu ia memelajari bahwa Hinata bisa meneguk alkohol. Selama ini, ia selalu mengira bahwa wanita berambut indigo itu merupakan tipe gadis tradisional Kyoto yang begitu polos dan tidak mengenal kata berupa beer atau minuman memabukkan lain. Ah, namun, kau memang tidak boleh menilai orang hanya dari bungkus luarnya saja. Lagipula, Hinata sudah berusia hampir dua puluh empat (gadis itu masuk kuliah setahun lebih cepat, sementara Naruto dan Sakura setahun lebih lambat), jadi bukan hal yang mengagetkan apabila rasa penasarannya terhadap dunia luar membesar. Gosh, Hinata bahkan mungkin sudah pernah berciuman—demi Tuhan, ia dan Kiba pernah berpacaran lebih dari lima tahun, siapa yang bisa mengira apa saja yang sudah terjadi di antara mereka—atau, atau lebih; dan seharusnya Sasuke tidak perlu ambil pusing plus sok-sokan ikut campur, sebab ia pun pernah mencium Ino saat mereka masih bersama, maka normal apabila Hinata melakukan hal yang serupa terhadap Kiba, why, dia bukan lagi anak-anak—

Tidak.

Tetap tidak bisa.

Tidak, ia tidak bisa membayangkan Hinata melakukan itu semua.

Pada akhirnya Sasuke menahan erangan kasarnya, membanting pintu kulkas terlampau keras, lalu kembali ke ruang televisi sambil membawa empat kaleng beer dingin."Mendadak aku pun ingin minum," ujarnya, berusaha bersikap biasa, tangan kanannya menyodorkan satu ke Hinata. "Aku membawa empat, kalau-kalau kau (atau aku) ingin tambah."

Usahanya sia-sia, dua kaleng tambahan itu sebenarnya tak berguna.

Satu kaleng beer, dan Sasuke menyimpulkan bahwa ia sudah tidak sanggup merasakan minuman beralkohol itu lagi di lidahnya. Televisi di hadapan mereka masih menyala, tak ditonton. Tawa Sasuke lepas, cukup kecil untuk sampai di telinga Hinata. Di antara keadaan setengah sadarnya, ia tertawa, merasa miris bahwa televisi yang ada di hadapannya justru berganti peran sebagai penonton, sedangkan ia dan Hinata merupakan tayangan nyata cuma-cuma, adegan tak menarik gratis.

Nah—ia tertawa lagi—kalau malam itu perlu dinyatakan dalam satu kata, maka Sasuke akan memilih 'janggal' atau 'konyol'.

Janggal, karena selama kuliah, ia hampir tidak pernah berkomunikasi dengan Hinata (tidak dengan kata-kata, namun lain bila kau menyebutkan bertukar pandang diam-diam adalah cara lain dari komunikasi), padahal sekarang mereka tengah menenggak beer dingin bersama sembari saling menanyakan kehidupan pribadi masing-masing, tergelak, menatap kosong pada layar televisi, tergelak lagi, menghela, mengasihani garis hidup, melepas kata-kata acak lewat racauan tak jelas, membuka diri di antara kuat aroma alkohol, dan kembali tergelak untuk kesekian kalinya.

Konyol, karena, Sasuke merasa tak sedikit pun keberatan dengan ini semua.

"Kukira kau benar-benar bisa menenggak alkohol, Hyuuga," Sasuke melirik kaleng beer Hinata yang masih tersisa lebih dari setengah semula, "ternyata baru beberapa teguk, wajahmu sudah begitu merah."

Ia mabuk, Hinata mabuk, seisi ruangan itu dipenuhi bau ketaksadaran, namun Sasuke masih dapat merasakan jantungnya berdegup saat Hinata membalas ucapannya dengan senyum lebar. "Hinata, panggil aku Hinata," dan ia mendapatkan satu catatan baru bahwa, dalam keadaan mabuk, wanita indigo ini berubah agak agresif. "Aku kurang suka dipanggil dengan nama keluarga."

"Ada alasan khusus?" Sasuke menaikkan sebelah alisnya, merasa terhibur.

Dua gelengan. "Kurang suka saja," akunya. "Ah, itu mengingatkanku dengan wanita yang dicintai Kiba. Dia memanggilku Hyuuga."

"Wanita yang membuat pernikahanmu dengan Kiba batal?" kali ini Hinata mengangguk, menghadirkan keterkejutan di sela kondisi mabuk-setengah-sadar Sasuke. "Kalian sempat bertemu?"

"Kurang lebih seminggu setelah pernikahan kami dibatalkan."

"Oh," balas Sasuke pendek, tak tahu harus menambahkan apa lagi.

Mengambil kesempatan atas jawaban pendek Sasuke, Hinata melanjutkan, "Dia datang ke rumahku, tak diundang, memintaku untuk memaafkan Kiba," pandangannya disematkan ke televisi, "Aku bilang, aku sudah memaafkannya, tapi untuk kembali memulai suatu hubungan pertemanan, aku tak bisa."

"Ah, bukankah itu sedikit kejam?"

"Aku?" Hinata memindahkan pandangannya ke Sasuke.

Yang ditanya cepat-cepat menggeleng. "Bukan, mereka."

Ada desahan kecil berhembus di dekat telinganya.

"Aku tidak menyalahkan kenyataan bahwa mereka saling jatuh cinta, aku tidak punya hak," dari sudut matanya, ia menangkap Hinata tersenyum hambar. "Tapi jika ditanya apakah aku sakit hati atau tidak, maka jawabannya adalah iya, sangat," jemarinya berhenti di tutup kaleng beer yang sudah lama ia biarkan terbuka, memainkan tepiannya. "Dan Kiba begitu berusaha untuk memperbaiki hubungan di antara kami. Maksudnya, a-aku—," kaleng beer itu kembali diletakkan di atas meja, "aku juga tak ingin bermusuhan, hanya saja 'kembali berteman' pun tidak secepat itu, aku memerlukan waktu untuk menata ulang hidup."

"Ia begitu mendesakmu untuk menghilangkan kecanggungan yang muncul?"

"Tepat sekali," Hinata tesenyum lagi, lebih hambar. "Tapi rasanya kami impas, aku mungkin juga tidak pernah mencintainya seperti yang selama ini kukira."

Entah apa yang membuatnya ingin tertawa—mungkin alkohol mendorongnya sedikit gila—tapi Sasuke melakukannya saja sewaktu mendengar kalimat terakhir Hinata.

"Mungkin aku sedikit tahu," ia memotong tawanya demi berkata demikian. Lalu peluru itu buru-buru ia lemparkan, "Kau pernah menyukaiku, kan?"

Ada banyak yang Sasuke prediksi malam ini. Ia menyangka, setelah menyelesaikan babak curhat-dalam-keadaan-mabuknya, Hinata akan ganti bertanya lebih dalam mengenai kehidupan Sasuke. Well, wanita itu sudah menanyakan di mana keluarganya tinggal dan berapa saudara yang ia miliki, namun Sasuke menebak suatu hal yang lebih, seperti mengapa hubungannya dan Ino kandas, mengapa Ino lantas berpacaran dengan Sai (sahabat Sasuke sendiri), dan bagaimana pertemanan Sasuke dengan Sai semenjak kejadian itu. Apabila keadaan mabuknya sudah mulai bercampur rasa kantuk, barangkali, Sasuke bisa membayangkan Hinata bertanya sambil menguap mengenai berapa wanita saja yang pernah Sasuke kencani, dan apakah dia sedang lajang sekarang (kalau iya, mengapa), kapan ia akan menikah, seperti apa kriteria wanita idealnya, serta pertanyaan-pertanyaan terpendam lain sampai ia benar-benar jatuh tertidur di atas sofanya, meneteskan liur tanpa berdosa.

"Aku bukan pacar tipe idaman," Sasuke pun sudah berencana akan menjawab seperti ini seandainya skenario di atas benar-benar terjadi. "Fisikku mungkin iya, menurut kebanyakan orang, sayangnya sikapku begitu dingin."

Karena mereka sedang dalam keadaan mabuk, menjadi sedikit manis dan banyak bicara bukanlah suatu kesalahan, maka Sasuke dapat membayangkan untuk lanjut berbicara begini, "Ino cantik, dia perempuan independen yang menarik. Wataknya keras dan tegas. Mengenalkannya kepada orangtuaku sudah tentu hal yang mudah. Maksudnya," sampai di sini, masih dalam skenarionya, Sasuke akan berhenti sejenak demi menjaga ketegangan, dan Hinata akan mengedipkan matanya lamat-lamat, memaksanya tanpa kata untuk kembali lanjut berbicara, "keluargaku pun memiliki watak yang sama. Maka, kupikir, tidak ada salahnya untuk menerima pengakuan cintanya kala itu. Segera setelah itu, tidak ada laki-laki di kampus yang tidak mengakui bahwa aku laki-laki yang beruntung, termasuk Sai. Yah, Sai menyukainya—Ino, maksudku. Mungkin, di titik ini, aku memang sedikit jahat."

Sebab, terkadang, aku pun ingin melangkahi Sai di satu bidang.

—Tapi Sasuke rupanya bukanlah penebak yang handal.

Alih-alih alur yang telah ia bayangkan terwujud, apa yang terjadi selanjutnya ternyata amat berbeda jauh.

"Kalau aku mengatakan iya," serak suara Hinata membawanya kembali pada dunia nyata, "kalau aku mengatakan aku pernah menyukaimu, apakah besok pagi kau masih mampu mengingatnya?"

Semestanya lekas membeku.

"Bisa jadi, ingatanku cukup baik saat mabuk," sayangnya kalimat andalan ini tak pernah Sasuke ucapkan padanya, karena bibir lembut Hinata sudah lebih dulu berhimpitan dengan bibirnya—bau alkohol bercampur dengan wangi tubuhnya yang khas tercium jelas menembus cuping hidung Sasuke, sementara wanita di hadapannya masih sibuk menempelkan permukaan bibir mereka, mencuri setiap oksigen yang ada. Memagut, mengait. Memagut, mengait.

Ciuman yang begitu sembrono dan amatir.

—Namun tak memberi Sasuke alasan untuk menolaknya.


oOoOo


"Bagaimana keadaanmu?"

"A-ah sudah enakan. Tapi, e-etto, kepalaku masih sedikit pusing."

"Hangover karena meminum kurang dari setengah kaleng beer ukuran medium?"

"A-aku bu-bukan peminum yang baik, ja-jadi..."

"Hn, ya, ya, duduklah, aku membuat pancake untuk sarapan."

Oh, barangkali dia lupa akan kejadian tadi malam.

Mereka duduk berhadapan, saling tak memandang. Sasuke sibuk menikmati dua tumpuk apple pancake di atas piringnya, Hinata sibuk memikirkan bagaimana ia harus bersikap setelah tanpa permisi mencium Sasuke dalam keadaan mabuk, di apartemennya, di atas sofanya yang tampak mahal, jatuh tertidur di tengah-tengah, dan dibopong ke kamar tamu.

Sejauh ini, laki-laki di hadapannya itu terlihat tidak memiliki ingatan atas peristiwa tadi malam. Cih, bukankah dia sendiri yang saat kuliah dulu, berkali-kali mengatakan bahwa ingatannya cukup baik meski dalam pengaruh alkohol? Tapi sudahlah, justru lebih baik bila Sasuke memang lupa, dengan begitu ia tidak usah menyembunyikan dirinya agar tak lagi berhadapan dengan laki-laki tampan itu kelak.

Dengan begitu, Sasuke tidak pernah tahu bahwa semasa kuliah, Hinata memang pernah menyukainya. Teramat dalam.

"Cokelat cair?" tawar Sasuke tiba-tiba, menyuguhkan cup kecil berisi cokelat panas cair. "Biasanya wanita menyukai hal ini di atas tumpukan pancake mereka, jadi aku sengaja membuatnya."

"Wanita?" Hinata tidak kuasa menahan pertanyaannya.

"Oh, ibuku, kakak iparku, Sakura, dan beberapa teman wanitaku menyukainya," terang Sasuke, berusaha menyembunyikan rasa herannya karena Hinata tiba-tiba bertanya sedemikian cepat.

"A-ah, begitu," semburat merah terasa di kedua sisi pipi Hinata, "ta-tapi, tidak, terimakasih, asam lambungku tidak bersahabat."

"Ho, sayang sekali."

Ya, sayang sekali sikapmu jauh lebih manis saat mabuk.

Adegan selanjutnya berlangsung tanpa percakapan. Sasuke mengumpulkan piring bekas dan sisa makanan, kemudian beranjak ke dapur setelah dengan lumayan halus menolak bantuan Hinata. Merasa tak ada apa pun yang bisa dilakukan, Hinata memutuskan berjalan mengelilingi apartemen besar milik lelaki tampan itu (karena terang sinar matahari yang masuk dari lubang ventilasi memberinya akses pandangan lebih jelas ketimbang tadi malam). Sesuai dugaannya, barang-barang tertata rapi di sana-sini—begitu Sasuke. Potret figura, vas bunga, rak buku, jam dinding, mesin pembuat kopi (mengapa Sasuke meletakkannya di kabin dekat ruang televisi, Hinata tidak begitu mengerti), koleksi disc musik, film, lantai kayu tak berdebu, lampu tegak minimalis, gitar tua (dia ingat Sasuke sering memainkannya di taman belakang kampus), playstation 4, dan aksesoris rumahan lain dengan variasi warna tak lebih dari hitam, putih, cokelat, merah, hijau, biru tua, juga abu-abu polos.

Semuanya normal, begitu normal, begitu Sasuke.

Nyaris begitu Sasuke.

Nyaris, karena Hinata tidak menyangka akan menemukan baby grand piano hitam mengkilat bertengger manis di kamar utama, menggodanya untuk memainkan sebuah lagu—oh, bukan, bukan berarti ia seenaknya membuka kamar Sasuke demi melihat isinya, namun kebetulan pintunya memang terbuka amat lebar, jadi mau tak mau ia menjalankan nalurinya dan melihat ke sekitar. "Kau bisa bermain piano?" Hinata bertanya, mencium wangi khas Sasuke sudah ada di sisinya. "A-aku tidak tahu—"

Apalagi, Hinata juga sudah mengatakan bahwa ia tidak pernah tahu kalau Sasuke merokok.

"Tidak, itu hadiah," ia mendapat jawaban apa adanya. "Karena kamar utama terlalu besar, aku tidak tahu harus mengisinya dengan apa, jadi kuletakkan saja. Mau memainkannya?"

Tapi hal semacam itu akan terlihat picisan, semacam babak klise pada drama romance.

Maka dia menolak.

"Aku sudah tidak begitu pintar bermain piano."

"Ho, sayang sekali," ia dengar hal yang sama keluar dari mulut Sasuke untuk kedua kalinya.

"Jemariku sudah agak kaku," lanjutnya, merasa perlu memperjelas. Ada sunyi sejenak. "Kau tidak ke kantor?" suaranya terdengar lagi, mengalihkan topik, tak berusaha terdengar seperti seorang istri yang sudah lama tak bertemu sang suami.

"Hn? Ini hari Minggu."

"Woah—oh, ya, aku lupa."

Seriously, Hinata? Kau baru saja menjatuhkan harga dirimu di depan laki-laki yang pernah kau sukai!

"Omong-omong," giliran pihak kedua yang berusaha mencari bahan perbincangan baru, "kulihat, barang bawaanmu begitu banyak," Sasuke menelengkan kepalanya ke arah kanan. "Kau mau menetap di Tokyo?"

Pertanyaan sederhana itu sekonyong-konyong menarik Hinata kembali pada kesadaran.

Astaga, benar juga.

Hinata berlari ke kamar tamu, sedikit terlalu terburu-buru, merapikan barang-barangnya yang masih berserakan ke dalam koper. Pukul sembilan, bagus, ia masih bisa menumpang taksi tanpa harus terjebak taksi di jalan, dan—uhm, rambutnya yang berantakan ini bisa ditata nanti di tengah jalan, yang paling penting saat ini adalah—

"Mau pergi ke suatu tempat?" sosok pucat Sasuke mengagetkannya di pintu ruang tamu. "Aku bisa mengantarmu."

Menolak berkali-kali bukanlah tindakan yang sopan.

"Jadi, kau akan tinggal di Tokyo selama empat bulan ke depan?"

Lima jam kemudian mereka sudah ada di salah satu rumah makan keluarga di kawasan Minato. Hinata menundukkan kepalanya, menahan air mata yang memberat di pelupuk mata. Lima jam merupakan waktu yang sudah lebih dari cukup bagi Sasuke untuk melihat sisi memalukan dirinya—bukan berarti selama kuliah dulu, Sasuke tidak pernah melihatnya, sih—dan Hinata tidak ingin memperparahnya dengan menangis. Agak tak berselera menyantap sepiring pasta yang dipesankan Sasuke untuknya, Hinata mendesah, "Begitulah. guru yang pernah mengajarku di sanggar dulu memintaku untuk melatih piano—"

"Kukira kau berkata bahwa kau sudah tidak terlalu pandai bermain piano?"

Tapi kalau begini caranya, sampai kapan Hinata sanggup menahan air mata.

"Piano dan menyanyi, tapi lebih condong ke menyanyi. Melatih piano hanya bagian minor, jadi aku masih bisa menyanggupinya," ia menciptakan satu alasan baru. "Akan ada perlombaan drama besar-besaran lima bulan lagi, dan kebetulan, sanggar milik guruku ikut berpartisipasi. Aku ha-hanya tidak menyangka bahwa biaya sewa apartemen di kawasan Omotesando sangat besar."

"Mengapa tidak tinggal dengan gurumu saja, kalau begitu?"

"Dia sudah berkeluarga, a-aku merasa tidak enak."

"Hn, kau bisa tinggal denganku—kalau kau mau."

Jangan bercanda.

"Apa?"

"Kubilang, kalau kau mau," ulang Sasuke, terlampau larut dalam sepiring pasta saus tomatnya demi mengangkat kepala. "Apartemenku dan sanggar milik gurumu tidak terlalu jauh—kau bisa naik kereta, atau menumpang mobilku."

Kami-sama, hidup Hinata bukanlah lelucon atau artikel humor.

"Ta-tapi, aku masih bisa tinggal di tempat adikku—"

"Asrama mahasiswa Todai sekarang membolehkannya?"

"U-uh, sebenarnya tidak, na-namun, a-aku masih bisa mencari apartemen murah lain—"

"Terserah saja, hari ini kebetulan aku juga tak punya acara."

Mereka kembali ke apartemen Sasuke pukul tujuh malam dengan tangan hampa.

Hinata melepaskan bendungan air matanya.

"Aku tidak ingin merepotkan," isaknya, "biarkan aku membayar uang sewa bulanan—ja-jangan mahal-mahal, ya, se-sekiranya saja."

Melihat Hinata menangis bukanlah hal yang baru bagi Sasuke. Sejujurnya, Hinata sudah berkali-kali menangis di hadapannya. Saat upacara penerimaan mahasiswa baru, saat menjadi panitia kesehatan di acara pentas seni fakultas, saat mendapat nilai terendah di semester 3, saat wisuda, dan entah saat apa lagi. Menjadi Sasuke yang dingin seperti biasa, ia sempat terlibat perang batin dengan dirinya sendiri—apakah ia harus membiarkan perempuan itu tersedu tanpa berbuat apa-apa, duduk diam mencium wangi khas Hinata meresap lagi di sekitar sofanya yang kali ini ditambah asin ingus dan air mata, atau menjadi seorang gentleman dengan cara menawarkan tisu kering serta membantu mengelap pipinya yang basah tak karuan. Ia memilih opsi pertama, pada akhirnya, berpikir lebih nyaman untuk menjadi dirinya sendiri ketimbang mendadak menjelma sebagai pangeran impian. Pandangannya ia pusatkan ke lukisan abstrak yang dihadiahkan Naruto di ulangtahunnya yang ke dua puluh empat (misteri besar dari mana sahabatnya itu membelinya), tergantung manis di dinding yang berhadapan langsung dengan punggung Hinata, menunggu sesenggukannya renda tanpa mematahkan sebuah kata. Setelah yakin bahwa Hinata mulai merasa tenang, barulah pelan-pelan dia menanggapi apa yang Hinata sampaikan padanya beberapa belas menit lalu.

"Mungkin kau bisa membayarnya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga."

Tanggapannya adalah gelengan cepat.

"Tidak, a-aku tidak enak kalau tak membayar uang sewa," begitu kira-kira yang ingin disampaikan Hinata melalui suara seraknya.

"Baiklah, delapan puluh ribu yen sebulan, bagaimana?"

"E-enam puluh ribu."

Ah, Sasuke menyukainya.

"Baik, enam puluh ribu yen sebulan."

"A-aku juga akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga," wanita itu masih berniat menambahkan. "Me-mencuci, memasak, me—hiks—menyetrika..."

Racauannya berlanjut hingga semenit.

"Baik, baik," Sasuke menghela napas, tak melepaskan pandangannya pada lukisan di balik punggung Hinata. "Tapi ada satu syarat lain."

Isakan Hinata sudah hampir tak terdengar.

"Kau tidak boleh minum beer, tidak di dalam apartemenku."

Sasuke menyangka akan menerima sebuah protes, namun Hinata hanya mengerang pelan.

"Karena kau bisa saja kembali mabuk seperti tadi malam, dan," pandangan matanya beralih, mendarat di satu wajah sayu yang ada di seberangnya, "dan menciumku tanpa sadar."

Tetapi sepasang pelupuk wanita berambut indigo itu sudah terpejam.

"Mungkin kau tidak ingat."

Yang Sasuke dengar selanjutnya adalah dengkuran.


To be continued.


a/n:

Telat 3 hari sesuai janji saya, ya? Hehehe, karena kemarin 3 hari sibuk kontrol kesehatan ke dokter dan beli persiapan lebaran, jadi baru bisa update sekarang. Sejujurnya, dari semua fic saya, ini fic yang paling saya sayang 3 seneng aja bikin Sasuke yang OOC namun nggak berlebihan gitu, jadinya dia lebih manusiawi. Oh, iya, kalau nggak ada halangan, yang mau saya update duluan Saihate, 2-3 hari kemudian, baru disusul From Y to Y dan kembali The Winsome Carousel. Agak sedih sih The Winsome Carousel tanggapannya kurang baik, mungkin karena ada unsur Shonen-Ai-nya ya :')

Singkat kata, maaf banget karena saya baru bisa update sekarang, dan yah, saya memang penulis yang buruk :') namun semoga Minna-san mampu menikmati cerita saya ini (walau saya yakin bakal banyak banget typo dan kesalahannya karena nggak dicek ulang, langsung tulis dan update aja, haha)

Arigatou.

Yogyakarta, 2012