Look my WP

[ zknow . wordpress . com]


.

Warn: YAOI. Little romance, Slave-master, , typo, Real person, awalnya tidak terasa YunJae. Slight!HoMin

Disclaimer : Themself

Rate: T

.

Italic : Flashback

.

N.b.: Untuk karakter lain. Aku membuatnya OC, karena secara intim aku hanya mengenal DBSK. Tokoh kebanyakan kupilih secara acak & berwajah cocok. Rata-rata dari Variety Show, "Running Man"

Dan chapter sebelumnya ada kesalahan. Seharusnya YH & JJ berbeda 10 tahun.

.


.

Aduh, hari ini sibuk sekali. Kemarin Jaejoong-hyung merayakan pesta di apartement-nya. Memang yang diundang hanya beberapa orang saja. Tetapi hal ini sukses membuat apartementnya kacau balau. Dan ini membuatku sibuk!

Apa lagi kemarin malam Jaejoong-hyung dan teman-temannya mabuk. Mereka merusak banyak hal. Bahkan vas kesayangan Jaejoong-hyung pinggirnya pecah sedikit. Bunga lily putih yang aku beli—karena tidak tega melihat anak perempuan kecil berjalan kesana-kemari menjual bunga lily—juga dihancurkan.

Haish, merepotkan! Semalam aku hanya diam di kamar Jaejoong-hyung sambil membaca buku. Tidak berani keluar, takut menganggu. Sekitar jam 2 subuh aku baru keluar karena suara gelak tawa mereka menghilang.

.

.

Aku menepuk pipi Jaejoong-hyung yang tertidur karena mabuk. Begitu juga teman-temannya. Mereka sudah berhamburan di ruang tengah apartement ini. Ada yang tiduran dikarpet, disofa dan banyak lagi, "Hyung, kau ingin tidur disini atau didalam?" ucapku lembut.

Jaejoong-hyung mengeliyat, "Mau mandi," gumamnya. Tangannya terjulur ke arahku.

Aku sudah biasa menangani Jaejoong-hyung yang mabuk. Dia benar-benar acoholic! Aku mendekatkan diri ke Jaejoong-hyung dan dia segera melingkarkan tangannya di leherku.

Mengendongnya ke arah kamar mandi dan membantunya melepas pakaian. Menaikannya ke atas bathtube dan diisi dengan air hangat, "Aku mau ambil bajumu dulu, hyung."

Jaejoong-hyung menggerung dan aku meninggalkannya untuk mengambil baju di kamar.

Setelah itu kembali ke kamar mandi. Mengusap tubuhnya dengan air hangat di bathtube—karena tidak mungkin aku memaksanya menggunakan shower, bisa-bisa dia limbung dan jatuh—memakaikannya pakaian dan mengendongnya ke kamar. Mengabaikan teman-teman kantornya yang telah tertidur nyenyak.

"Yun, sini..." Jaejoong-hyung kembali menjulurkan tangannya setelah aku meletakan tubuhnya di atas kasur.

Aku mengabaikan Jaejoong-hyung dan mengambil obat anti mual di laci. Dia harus meminum ini, lambungnya sensitif tetapi suka sekali minum. Jika tidak minum ini dia pasti akan terbangun dan berlari ke kamar mandi dan mengeluh seharian karena perutnya tidak enak.

Memasukan obat itu ke mulutku sendiri lalu melumat bibir Jaejoong-hyung. Oh yeah, jangan berfikiran aneh-aneh! Aku hanya mentransfer obat saja. Jika tidak seperti ini, mana mau dia minum obat.

Jaejoong-hyung susah payah menelan obat itu. Dia menarik tubuhku hingga jatuh menimpanya lalu menggeliyat-geliyat agar masuk ke dalam pelukanku.

Selalu seperti ini. Semenjak aku menjadi milik Jaejoong-hyung, kami selalu tidur bersama. Dia mengatakan bahwa dia takut tidur sendirian. Entah alasannya apa. Maka dari itu sebelum memiliku setiap malam dia pasti akan berkeliaran kesana-kemari mencari orang yang bisa diajaknya tidur—katanya.

.


.

Halo

.

YunJae Fanfiction

.

Inspired by : HaloBeyonce

.

NP : I Know - Tohoshinki

.


.

KRIIING! KRIIING!

"Aish!" aku merasa terganggu dengan dering telefon rumah Jaejoong-hyung. Apa orang yang menelefon tidak tahu aku sangat sibuk?

"Halo, dengan kediaman Kim Jaejoong disini," mengangkat telefon dan mengapitnya di antara pundak dan leherku. Sedangkan aku sibuk menempelkan potongan vas kesayangan Jaejoong-hyung dengan lem kuat.

"Yun, ini aku Jaejoong. Bahan presentasiku ketinggalan di atas meja kerja. Antarkan setelah makan siang oke?"

Pik.

Langsung di matikan? Haish. Benar-benar tidak tahu orang sedang sibuk!

Aku meletakkan kembali gagang telefon dan melihat jam dinding diruangan itu. Masih jam 11. Setelah jam makan siang? Berarti sekitar jam satu. Yeah, kau masih punya banyak waktu, Jung.

.


.

"Annyeonghaseo," aku menunduk dan menyapa sekertaris yang ada di pintu masuk. Setelah itu tanpa basa-basi berjalan ke lift dan naik ke lantai 16. Rata-rata pegawai di kantor ini sudah tahu siapa aku. Aku yang sering bolak-balik dari sini ke apartemen Jaejoong-hyung untuk mengantar berkas. Dia sering sekali kelupaan.

TING

Pintu lift terbuka. Aku berjalan ke ruangan Jaejoong-hyung. Dan aneh ketika aku tidak melihat sekertaris Kim yang biasanya duduk di meja depan ruangan Jaejoong-hyung.

CKLEK

Omona!

Buru-buru aku menutup lagi pintu ruangan Jaejoong-hyung. Huft, kalau sedang pacaran seharusnya pintunya dikunci, dong! Tch, mataku terkontaminasi melihat mereka bercumbu—siapa lagi kalau bukan Jaejoong-hyung dan sekertaris Kim!

"Yun, masuklah!"

Aku membuka lagi pintu ruangan Jaejoong-hyung. Sekertaris Kim tampak sibuk membelakangiku untuk membenarkan pakaiannya. Kujulurkan map hitam milik Jaejoong-hyung, "Ini bahan presentasinya, hyung."

"Ne," balas Jaejoong-hyung singkat, "Beli tteokbokki sebelum pulang. Entah kenapa aku ingin sekali makan itu nanti malam," dia tampak sibuk mengecek apa yang aku bawa, "Sekitar jam 8 setelah rapat aku pulang."

Mengangguk mengerti, "Arraseo," aku segera berjalan keluar ruangan Jaejoong-hyung. Haish, pekerjaanku masih banyak dan dia meminta yang aneh-aneh.

.


.

Ah, ya... ngomong-ngomong aku belum menceritakan tentang sekertaris Kim. Dia kekasih Jaejoong-hyung. Mereka baru berpacaran 5 bulan tapi mesra sekali. Pernah saat aku menyiapkan air hangat untuk Jaejoong-hyung, aku mendengar mereka berbincang melalui telefon. Menggunakan panggilan-panggilan sayang yang membuatku bergidik. Apa manusia dengan hubungan sex yang tidak menyimpang—atau straight—memang suka melakukan hal-hal seperti itu? Dulu saat dengan Changmin saja aku tidak pernah.

Oh iya! Jaejoong-hyung juga lebih suka di panggil JJ saat kita bercinta. Katanya sih, terdengar mesra. Dan sependengaranku, sekertaris Kim juga suka memanggil Jaejoong-hyung dengan JJ.

Eh, kita mulai melantur...

Sampai mana kita tadi... ah, ya! Jaejoong-hyung dengan kekasihnya sangat mesra. Mereka sudah membeli cincin couple—aku ingat waktu itu Jaejoong-hyung yang malas memaksaku keluar untuk mengambil cincin pesanannya—dan kalau tidak salah akhir-akhir ini mereka sudah pernah bercinta—alasan lain kenapa Jaejoong-hyung mengurangi jatahnya denganku—akhirnya tenang juga.

Tapi menurut desas-desus yang pernah aku dengar saat berada di kantin kantor Jaejoong-hyung, sekertaris Kim sangat materialistic! Setiap Sabtu mereka berdua pasti berkencan. Katanya ada seorang pegawai yang melihat Jaejoong-hyung membelikan banyak barang-barang dengan brand yang terkenal dan mahal. Tapi tidak tahu juga, siih... apa perduliku? Itu masalahnya.

.


.

Aku menghangatkan tteokbokki yang Jaejoong-hyung pesan, saat jam menunjukan jam delapan malam. Jaejoong-hyung sebentar lagi akan pulang. Agak memakan perjuangan bisa mendapatkan ini karena saat aku baru beberapa langkah dari kantor Jaejoong-hyung, hujan deras datang. Salahkan aku yang lupa melihat perkiraan cuaca yang sering ada di TV swasta, setiap jam 7 pagi.

Dengan telaten aku memindahkan tteokbokki keatas piring dan menaruhnya ke meja. Jaejoong-hyung bisa marah-marah jika apa yang dia pesan tidak ada. Sudah tua tapi masih suka seenaknya...

Kegiatanku terhenti saat ponselku bergetar. Ada pesan masuk!

.

From : Jaejoong-hyung
Sub: -

Makan saja tteokbokki-nya. Aku menginap di rumah HeeSun.

.

Oh yeah. Menyebalkan sekali. Aku membeli untuk porsi tiga orang. Karena saat lapar Jaejoong-hyung bisa makan seperti orang kalap.

Apa aku beri saja kepada gadis penjual bunga Lily itu? Tadi aku lihat dia sedang duduk berteduh di halte dengan keranjang kosong disampingnya. Barang dagangannya pasti laku hari itu. Dia bahkan tersenyum sambil melambai ke arahku yang sedang kehujanan.

Aku menaruh tteokbokki kedalam kotak sterofoam dan membawanya ke halte yang tidak jauh dari apartemen Jaejoong-hyung.

Tapi tunggu... apa aku ini pabbo? Gadis itu aku temui jam 4 sore. Sudah berjam-jam lewat dan hujan juga sudah reda. Pabbo Jung...

Dan bodohnya lagi entah kenapa aku malah duduk tenang di halte menunggunya.

Kembali aku merutuki hal bodoh yang aku lakukan. Kenapa aku malah menanti sesuatu yang tidak jelas. Tapi sebelum aku sempat beranjak pergi. Ada tangan kecil memegang ujung hoddie coklatku.

"Oppa."

Buru-buru aku menoleh saat mendengar suara lirih itu. Gadis penjual bunga Lily itu masih ada!

Aku menatap gadis itu khawatir. Wajahnya pucat tapi bibirnya masih menyungingkan senyum, "Aigo, kenapa masih disini?" segera ku tangkup pipinya dengan kedua tanganku. Dingin sekali.

Gadis itu hanya tertawa kecil saat tanganku menyentuh pipinya. Tingginya hanya sedadaku. Jika dikira-kira, mungkin dia masih 10 tahun, "Oppa juga kenapa disini? Kalau BoYoung mencari eomma..."

Oh, namanya BoYoung, "Memangnya ibumu kemana?" aku mengelus rambut panjangnya yang bergelombang. Entah kenapa aku merasa iba melihatnya. Dia masih kecil sudah berjualan bunga dan sekarang ibunya entah ada dimana. Pasti sedari tadi dia berkeliling tak tentu arah.

BoYoung menggosokan telapak tangannya, "Aku tidak tahu. Saat tadi pulang eomma tidak ada di kasur. BoYoung bingung..." BoYoung menunduk dan memainkan jarinya.

Aku berfikir sejenak, "Ayo oppa bantu cari eomma BoYoung," aku tersenyum tipis, "Rumah BoYoung di mana? Mungkin eomma BoYoung tidak jauh dari rumah."

Kami mencari ibunya sambil berbincang. BoYoung senang sekali bercerita, dia bercerita kegiatannya hari ini saat melihat anak kucing dan dia membelikan sekotak susu kecil untuk anak kucing tersebut. Saat aku tanya, ternyata dia memang masih 10 tahun, wajar saja fanatik dengan binatang-binatang lucu.

"EOMMA!" Tiba-tiba BoYoung melepaskan genggaman tangan kami dan berlari begitu saja. Tentu saja aku mengikutinya dari belakang. Dia mendekati wanita tua dengan rambut kusam dan pakaian kucel. Memeluk boneka berbentuk manusia yang sangat buruk.

BoYoung, menarik ibunya untuk berdiri, "Eomma, ayo pulang. BoYoung menunggu eomma..." ucap gadis itu lirih. Buru-buru aku membantu BoYoung memapah ibunya.

"ShinHye-ah..." bisik wanita tua itu. Tangannya mengelus boneka dalam dekapannya, sedangkan BoYoung dengan setia menuntun ibunya yang pundaknya aku rangkul. Melihat hal ini aku bisa menyimpulkan dengan mudah.

Ibu BoYoung gila. Kasihan sekali anak berumur 10 tahun harus menanggung hal seperti ini.

.

"Oppa, kamar eomma ada di sana," BoYoung berjalan membukakan pintu. Kami masuk ke satu-satunya kamar dan aku menaruh ibu BoYoung di atas ranjang. Sedangkan BoYoung dengan setia membantu ibunya rebahan dan menyelimuti wanita yang masih asyik mengelus-elus boneka dalam dekapannya.

Dadaku terasa sesak saat BoYoung mengecup kening ibunya dengan lembut. Senyum tulusnya dia berikan untuk ibunya tercinta. Samar aku mendengar dia menyanyikan lagu di samping ibunya. Sedangkan aku hanya berdiri dengan tampang bodoh.

Setelah ibunya tidur, BoYoung mengajakku keluar.

"Gomawo..." BoYoung membungkuk lalu memelukku singkat.

Aku hanya tersenyum. Tidak tahu harus merespon apa lagi. Melihat BoYoung aku jadi ingin memiliki ibu.

"BoYoung-ah," aku memberikan tteokbokki yang memang sengaja ingin kuberi pada BoYoung. Dia menerimanya dengan ceria. Lagi-lagi dia bercerita bahwa dirinya belum makan sejak pagi.

BoYoung mengambil mangkuk dan menata tteokbokki diatasnya, "Oppa, ini banyak sekali," BoYoung hanya membulatkan mulutnya. Matanya berbinar, membuatku menyimpulkan bahwa ini pertama kalinya dia bisa makan sebanyak ini.

Gerakan BoYoung mengusap sudut matanya tertangkap olehku. Gadis kecil itu menangis dalam diam dan lagi-lagi aku hanya melihatnya seperti orang bodoh.

"Terima kasih... sugguh," dia malah menangis keras dan membuatku kelabakan. Tangisan ala anak kecil yang penuh kebahagiaan. Pada akhirnya aku hanya diam menunggu BoYoung menyelesaikan tangisannya.

Dan setelah itu kami diam. BoYoung sibuk membersihkan air matanya, sedangkan aku hanya memainkan jari. Namun tak lama BoYoung memecah keheningan.

"Oppa pasti bingung melihat eomma. Beliau sudah seperti itu sejak eonnie dan appa meninggal saat appa sedang mengantar eonnie sekolah. Lalu terjadi banyak hal dan aku menjual bunga-bunga yang banyak tumbuh di samping sungai kecil belakang rumah," BoYoung tersenyum, "Uang hasil menjual bunga untuk makan aku dan eomma."

Aku menopang dagu mendengar cerita BoYoung, "Kau tidak membawa ibumu ke rumah sakit? Itu tidak bayar," tentu saja rumah sakit yang aku maksud adalah rumah sakit jiwa. Sengaja tidak aku sebut agar tidak melukai perasaan BoYoung.

BoYoung menggeleng, "Aku tidak bisa jika berpisah dengan eomma."

Kata-katanya membuatku terenyuh. Dia masih kecil namun pikirannya sudah dewasa. Aku tidak bisa membayangkan seberapa berat hidupnya selama ini.

"Jagalah ibumu dengan baik."

BoYoung mengangguk semangat, "Tentu saja, oppa!"

Otot bibirku ikut tertarik melihatnya ceria, "Nah, sekarang makan! Setelah itu jaga ibumu lagi."

Mungkin setelah ini aku akan rajin mengunjungi BoYoung. Kasihan sekali jika dia harus menanggung semua ini sendirian.

Dan rasanya rasa ibaku bertambah saat tahu BoYoung belum bisa membaca. Aku mengantarnya menuju kamar. Mengambil satu buku cerita anak-anak di salah satu rak. Mulai membacakan BoYoung dongeng tentang putri hingga malaikat kecil ini tertidur pulas.

Mungkin aku baru mengenal BoYoung hari ini. Tapi entah kenapa dengan BoYoung aku merasa nyaman. Kami tampak seperti kakak-adik yang sudah lama tidak berjumpa.

Saat memperhatikan BoYoung tidur, aku tiba-tiba teringat ponselku. Buru-buru mengeluarkannya dari saku dan hanya menatap kaget 3 misscall dari Jaejoong-hyung. Haish, dia akan marah sekali jika aku tidak menjawab telefonnya.

Segera aku menelfon balik Jaejoong-hyung.

"Yeobseo?"

"Sudah mau jam dua belas malam. Kau dimana?"

Jaejoong-hyung marah besar! Nada suaranya datar dan penuh tekanan, "Aku di rumah BoYoung..." ucapku lirih.

"BoYoung? Siap—Ah! apa perduliku?! Cepat pulang, sekarang!"

Hii! Mengerikan. Oke, selamat malam BoYoung, aku harus pergi pulang. Huft, aneh sekali. Katanya dia menginap di rumah sekertaris Kim. Tapi kenapa menyuruhku pulang? Aneh!

.


.

"Siapa BoYoung?!"

Aku bersimpuh di atas karpet sedangkan Jaejoong-hyung duduk di atas ranjang dan melipat tangannya di depan dada. Aku bisa merasakan bahwa dia marah sekali!

"JAWAB!"

"Dia temanku," ucapku gemetar.

Jaejoong-hyung mendengus, "Lalu karena dia temanmu, kau boleh seenaknya?"

Lagi-lagi... sifat possesive Jaejoong-hyung keluar. Dia tidak suka apa yang menjadi 'miliknya' disentuh orang lain. Dan setiap dia seperti ini, aku tidak tahu harus merespon apa. Apakah aneh jika aku ingin punya teman? Selama ini aku hanya bersama dia terus! Jika seperti ini apa bedanya aku berada di perusahaan terkutuk itu dan di sini?

PLAK

Jaejoong-hyung menamparku karena tidak mendapat jawaban, "Mianhae, hyung," ucapku buru-buru

Samar aku mendengar geramannya, "Berapa kali harus kubilang,"—Jaejoong-hyung menarik kerah bajuku, memaksa tatapan kami bertemu—"Aku tidak suka 'milikku' disentuh orang lain!" detik berikutnya dia menghempaskan cengkramannya di bajuku dan membuatku terjatuh.

Segera dia pergi beranjak pergi tanpa menoleh sedikitpun.

Aku hanya bisa meringis nyeri akibat tamparannya di pipi. Dia selalu serius saat memukulku. Walau sudah biasa, tapi tetap saja sakit! Kalau sudah begini, cara satu-satunya berbaikan adalah sex. Tubuh sensitif Jaejoong-hyung tidak pernah bisa menolak sensasi ini—salah satu titik lemahnya.

Tapi, hey... apa kalian tahu? Sampai sekarang aku masih bingung dengan sikap Jaejoong-hyung. Dia aneh sekali. Sifatnya sering berganti, membuatku seolah bertemu dengan sisi lainnya. Atau menurut buku yang aku baca di rak buku Jaejoong-hyung, orang dengan kepribadian ganda—kalau tidak salah.

Dan, berhentilah berkhayal, Jung Yunho... kau terlalu sering membaca novel detektif milik Jaejoong-hyung.

Aku memukul kepalaku pelan. Sepertinya otakku sudah rusak...

.


.

Aku berhasil membujuk Jaejoong-hyung.

Dengan sex, tentu saja.

Kini kami tidur terlentang, asyik memandangi langit-langit kamar. Aku sendiri sibuk mengatur nafas, sambil berfikir.

"Hyung, kau bilang mau ke tempat sekertaris Kim..."

Jaejoong-hyung mengerang malas, "HeeSun tiba-tiba ada urusan. Jadi aku kembali. Dan, kenapa kau harus membahas tentang itu, sih?! Membuat kesal saja."

Lagi-lagi...

"Maaf, hyung."

Oke, moodnya turun lagi. Sial...

Kami hanya diam dalam waktu yang lama. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku tidak mau membuka suara, takut salah bicara dan membuat dia tersinggung lagi.

Namun tak lama, Jaejoong-hyung membenahi posisinya hingga menghadap kepadaku.

Dia mengedipkan matanya beberapa kali seolah mencari perhatian. Mau tidak mau aku menoleh dan melihatnya.

"Yun, sebentar lagi HeeSun berulang tahun..."

"Lalu?"

"Aku belum selesai bicara," Jaejoong-hyung menggerutu, "Bagaimana jika aku memberikan dia mobil? Dia pernah mengeluh ingin mobil."

Mwoya? Mereka hanya sepasang kekasih yang baru menjalin kasih selama 5 bulan. Dan Jaejoong-hyung sudah ingin membelikan wanita itu mobil? Gila. Apa itu tidak terlalu menghamburkan uang?!

"Lakukan yang terbaik menurutmu, hyung..." balasku kalem.

Jaejoong-hyung tersenyum puas.

.

.

.


.

.

[NORMAL POV]

.

.

Saham turun.

Kas menipis.

Beberapa perusahaan membatalkan kerjasama.

Jaejoong mengurut kepalanya. Masalah perusahaan membuatnya pusing. Sepertinya perusahaan ayahnya baik-baik saja, sampai kemarin dia diberi laporan langsung dari London—pusat ayahnya mengembangkan usaha.

Kenapa masalah tiba-tiba muncul seperti ini? Dia mengecek laporan keuangan dan merasa beberapa kejanggalan. Tentu saja pikirannya langsung menuju karyawannya yang mungkin melakukan tindakan korupsi. Hanya saja dia ingat sebulan yang lalu membelikan HeeSun mobil mewah sebagai hadiah ulang tahun menggunakan uang kantor.

Tapi bukankah perusahaan ayahnya ini kaya? Mengeluarkan beberapa milyar sepertinya tidak terlalu menjadi masalah.

Jaejoong tersentak kaget saat telefon di ruangannya berbunyi. Buru-buru dia mengangkatnya.

"Direktur, ayah anda datang. Boleh saya membawanya masuk?" suara HeeSun—sekertaris sekaligus kekasihnya.

Rasanya jantung Jaejoong terpompa cepat. Ayahnya datang tanpa mengabari apapun? Pasti ada sesuatu yang sangat penting! Buru-buru dia mengiyakan ucapan HeeSun. Dan tidak ada satu menit, HeeSun masuk dengan pria berumur setengah abad di belakangnya.

Jaejoong berdiri dan mempersilahkan ayahnya duduk. HeeSun buru-buru keluar untuk mehidangkan kopi, untuk duo Kim senior dan junior.

Tanpa basa-basi, ayah Jaejoong membuka suara, "Kita hancur."

Jaejoong menautkan alisnya heran, "Memangnya kenapa?" dia masih belum sempurna mencerna ucapan ayahnya.

Senior Kim ingin sekali memukul kepala anaknya yang disaat genting seperti ini malah mengeluarkan pertanyaan yang tidak penting, "Kerjasama ayah buat dengan perusahaan milik Michael malah berbalik merugikan kita. Senjata yang hendak ayah gunakan untuk menghancurkan perusahaan itu malah berbalik mengenai kita sendiri," dia meremas rambutnya sendiri frustasi. Akibat keegoisannya ingin mengalahkan perusahaan lain agar menjadi nomor satu.

Jantung Jaejoong berdegup kencang. Tidak sanggup memikirkan apa yang akan terjadi padanya nanti, "J-jadi bagaimana ini, ayah?"

Pria tua itu menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Enggan menatap putranya sendiri, "Ayah belum tahu. Tetapi sekarang ini kita memiliki hutang yang sangat besar pada bank."

Hening. Jaejoong tampak sibuk berfikir, sedangkan senior Kim hanya bisa memijat kepalanya yang pening sekali.

"Gunakan sebagian emas batang kita di brankas untuk membayar hutang," ucap Jaejoong lirih saat dirinya malah tidak menemukan jalan keluar.

Senior Kim menghela nafas, "Cara itu sudah aku gunakan. Sisa emas kita tinggal sedikit. Bahkan untuk produksi bulan ini kita sudah tidak punya apa-apa."

"Berapa hutang kita, appa?"

Senior Kim hanya bisu. Dia lebih tertarik menatap langit-langit ruangan putranya. Merasa tidak mendapat jawaban dari ayahnya, Jaejoong berdeham. Namun pria dihadapannya malah mengecek jam tangannya.

"Nyalakan televisi dan cek berita internasional."

Buru-buru Jaejoong melakukan apa yang ayahnya katakan. Televisi tampak sibuk membahas perang di Israel sana. Dan Jaejoong hanya diam dan menonton. Begitu juga dengan ayahnya.

Namun setelah berita tentang Israel selesai. Tubuh Jaejoong menegang melihat banyak pegawai yang berdemo di depan kantor perusahaan ayahnya di London. Dan otak Jaejoong terasa kosong saat menyimak itu semua.

Berita selesai dan Jaejoong menatap sengit ayahnya, "Appa! Kau menutup perusahaanmu di London?!"

.

.


.

.

Perusahaan Kim di London adalah pusat. Jika perusahaan itu ditutup pasti akan merambat hingga cabang-cabang yang berada di Jepang, Korea dan Kanada.

Perusahaannya yang berada di Kanada akan tutup besok.

Hutang terlalu besar. Jaejoong baru tahu bahwa perusahaannya yang selama ini damai memiliki rentetan hutang yang terus berbunga setiap tahunnya. Perusahaan ini dibuat melalui uang bank, pinjam sana, pinjam sini. Membuat daftar hutang semakin menumpuk. Saat masa kejayaannya, senior Kim seperti lupa dengan tumpukan hutang dari masa lalu. Membuka cabang di mana-mana dan menggunakan pendapatan untuk pribadi.

Dan parahnya jatuh tempo pembayaran dan senjata makan tuan yang dibuat senior Kim berlansung dalam waktu yang sama.

Bank akan menarik apapun untuk dapat menutupi hutang perusahaan Kim.

Mereka sudah memberikan banyak emas. Menutup perusahaan di London—karena semua barang sudah menjadi tahanan bank—dan itu belum cukup.

Senior Kim tetap diam mengenai jumlah hutang membuat Jaejoong tertekan.

Dari jumlah barang yang menjadi tahanan bank, Jaejoong menyimpulkan bahwa hutang ayahnya besar sekali!

.

"JJ-ah..."

Jaejoong tersentak kaget saat ada tangan yang melingkar di pundaknya. Dia menoleh dan mendapati HeeSun merangkulnya dengan tatapan keibuan.

"Kau mengagetkanku, Heechan," ucap Jaejoong dengan nada—pura-pura—ceria.

HeeSun tidak membalas ucapan Jaejoong. Dia menatap intes tumpukan kertas-kertas yang ada di meja Jaejoong. Penuh dengan laporan keuangan dan pembatalan kerja sama.

"Perusahaan kita..."—HeeSun menatap Jaejoong ragu—"bangkrut?" lirih Heesun. Tangannya semakin erat merangkul Jaejoong. Tidak ingin melepaskan kekasihnya yang kaya raya itu.

Jaejoong tersenyum kecil dan mengelus punggung tangan HeeSun, "Tidak sayang," ia mengecup bibir kekasihnya dengan sayang. Mencari cara agar HeeSun tidak ikut memikirkan masalah berat ini. Dia tidak ingin kekasihnya memikirkan hal-hal berat seperti ini, "Chagiya... besok sudah akhir pekan. Kau ingin belanja, hmm? Brand kesukaanmu mengeluarkan tas kulit terbaru, kan?"

HeeSun menyeringai tipis, "Oh, sayang... kau tahu aku tidak bisa menolak," perempuan itu bertingkah genit di depan Jaejoong. Senang saat Jaejoong hendak membelikan tas baru.

Malam itu jam 10. Jaejoong menghabiskan malam panas dengan kekasihnya yang bahagia saat Jaejoong membelikannya barang-barang mahal. Membayar barang-barang yang dia dapat dari Jaejoong dengan tubuhnya, seperti seorang pelacur. Bisa kalian bayangkan jika Jaejoong tidak lagi bisa membelikan HeeSun barang-barang bermerek?

.


.

Sedangkan di sisi lain Yunho tampak sibuk menceritakan BoYoung buku dongeng. Mengetahui Jaejoong tidak pulang, dia memilih pergi ke rumah BoYoung sambil meminta maaf dua minggu ini mereka tidak sempat bertemu.

Namun walaupun begitu sisi terdalam Yunho khawatir dengan keadaan Jaejoong. Tadi siang dia melihat berita yang mengatakan perusahaan master-nya bangkrut. Terjadi demo besar-besaran dan beberapa hal yang diucapkan reporter tidak dapat Yunho mengerti.

Tapi, Yunho tidak ingin ikut campur apapun maka dari itu dia hanya diam dan tidak bertanya apapun.

Setelah membacakan buku dongeng bergambar, Yunho tersenyum tipis melihat BoYoung yang sudah terlelap dengan pulas. Saat dia datang, BoYoung menangis sambil mengadu bahwa ibunya tidak mau makan dari kemarin. Maka dari itu Yunho dan BoYoung mati-matian membujuk wanita itu untuk makan. Hanya saja wanita itu hanya meminum teh yang Yunho buat, tanpa menyentuh makanan lain. Lalu tertidur...

Yunho mengusap mata BoYoung yang membengkak karena menangis. Gadis 10 tahun ini sudah Yunho aggap seperti adiknya sendiri. Saat melihatnya menangis Yunho benar-benar tidak tega.

Dengan telaten Yunho membenahi posisi tidur BoYoung sebelum kembali pulang ke apartemen Jaejoong.

.

.


.

.

"Siapa kau!"

Yunho terbangun mendengar suara ribut. Dia duduk di pinggir ranjang untuk mengembalikan kesadarannya namun—

"Yunho-oppa!"

Terdengar suara BoYoung! Padahal mereka sedang berada di apartemen Jaejoong. Buru-buru Yunho berlari kecil menuju suara itu berasal.

"Yah! Kenapa kau memanggil Yunho?!"

"Hiks, Yunho-oppa! Aku ingin bertemu Yunho-oppa!"

Yunho datang. Melihat Jaejoong menghadang pintu masuk yang terbuka. BoYoung disana, merengek ke arah Jaejoong.

"Ada apa?" Yunho menepuk pundak Jaejoong. Secara tidak langsung meminta tuannya untuk memberikan dia akses untuk melihat BoYoung. Hanya saja Jaejoong tetap diam menghalangi di depan pintu masuk.

Jaejoong menatap Yunho marah, "Usir dia, cepat!" bentak Jaejoong. Kesal sekali rasanya mengingat dirinya sudah menyuruh Yunho untuk tidak berhubungan dengan siapapun, tetapi Yunho melanggarnya.

BoYoung mendongak melihat Yunho berdiri di belakang Jaejoong. Air matanya mengalir deras, "Yunho-oppa! Eomma berdarah... banyak sekali," isak gadis itu. Tangannya saling mencengkram mengingat tadi pagi mendapati ibunya memegang pisau dan menusuk perutnya sendiri. Berkali-kali BoYoung memanggil ibunya tetap tidak ada sahutan. Ibunya ambruk dengan darah bercucuran. Dan yang ada di otak gadis itu adalah Yunho! Orang yang selalu menolongnya.

Yunho terkejut. Refleks dia menarik Jaejoong agar tidak menghalangi jalannya. Saat ada celah Yunho segera berjongkok agar tingginya sejajar dengan BoYoung. Namun saat pria itu hendak meminta penjelasan dari BoYoung, kerah belakang baju Yunho di tarik. Tentu Jaejoong yang melakukannya.

Pria itu memaksa Yunho masuk dan segera menutup pintunya. Mengunci dan memasukan sang kunci ke dalam saku celananya.

Buru-buru Yunho bangkit. Menyusul Jaejoong yang menghentakkan kakinya kesal sambil memasuki apartement-nya, "Hyung! Berikan aku kuncinya."

BUGH

"Sudah kubilang berkali-kali. Jangan berhubungan dengan orang lain! Masih belum mengerti?" Jaejoong yang kesal menatap Yunho tajam. Pria satu ini suka sekali membuatnya marah-marah.

Yunho tidak mengeluh sakit. Namun matanya menatap Jaejoong dengan tatapan memohon, "Ini mengenai hidup-matinya ibu Boyoung, hyung."

"Tidak!"

Yunho meremas sisi celananya frustasi. Entah cara apa yang harus dia gunakan untuk menghancurkan keras kepala Jaejoong, "Ibu BoYoung sekarat! Jika tidak ada yang menolong dia bisa meninggal!"

Jaejoong melipat tangannya dan menatap Yunho angkuh, "Lalu?"

Samar Yunho mendengar tangisan BoYoung semakin keras sambil menyebut namanya. Tangisan BoYoung membuatnya khawatir setengah mati. Dan sifat Jaejoong hanya bisa memparah keadaaan.

"Kumohon..." Tanpa malu Yunho segera berlutut di depan Jaejoong. Dia sudah sering melakukan ini di hadapan pria itu.

Jaejoong memutar bola matanya malas. Jika dia menanggapi Yunho maka perdebatan mereka tidak akan berhenti. Pria itu malah memutuskan untuk ke dapur dan membuat kopi.

Dada Yunho panas saat Jaejoong malah dengan santai pergi. Apa pria itu tidak berperasaan? Tidakkah hati Jaejoong tergerak mendengar ibu BoYoung sekarat?

Yunho bangkit berdiri, "KIM JAEJOONG!" bentak Yunho.

Langkah Jaejoong terhenti. Dia menoleh ke Yunho, "Kau berani membentakku?" gumam Jaejoong lirih.

Buru-buru Yunho menutup mulutnya. Dia refleks membentak master-nya. Shit! Ini akan menjadi masalah yang panjang.

Jaejoong mendekati Yunho dan menabrak dada pria itu dengan dadanya, "Kau lebih memilih orang yang baru kau kenal dari pada orang yang mengeluarkanmu dari perusahaan terkutuk itu, hah?!"

Yunho menarik nafasnya, "B-bukan begitu, hy—"

"Aku membencimu, Jung!" Jaejoong berjalan cepat melewati Yunho. Mengeluarkan kunci dari saku celananya dan membuka pintu. Memilih untuk pergi dari tempat terkutuk ini. Bagaimana bisa Yunho jadi melawan kepadanya? Apa pria itu sudah lupa untuk berjanji setia padanya!? Berengsek...

Frustasi. Yunho berusaha menjelaskan kepada Jaejoong, hanya saja pria itu sudah hilang dari hadapannya. Tapi bukan ini yang seharusnya dipikirkan. Lebih baik dia menolong ibu BoYoung.

Mengikuti jejak Jaejoong, Yunho berjalan keluar apartement. BoYoung menangis tanpa suara di depan pintu apartement. Gadis itu sudah terduduk di lantai karena lelah menangis. Buru-buru Yunho mengendong BoYoung. Membawa gadis itu berlari ke rumahnya. Sebelumnya Yunho menyempatkan diri untuk menutup pintu rumah.

.

.

.


.

.

.

Sekarang jam 9 malam dan Yunho baru kembali ke apartement Jaejoong. Matanya bengkak terlalu banyak menangis. Setelah menutup pintu, Yunho menyandarkan tubuhnya di daun pintu. Perlahan tubuhnya melemah dan dia kembali menangis. Hal yang terus dia lakukan sedari tadi.

Ibu BoYoung meninggal. Mereka terlambat menyelamatkannya—benar-benar terlambat. Di rumah sakit BoYoung menangis keras sambil menarik-narik lengan dokter. Mengulang kata-kata yang sama,

"Kenapa harus ibuku?"

Sampai akhirnya BoYoung pingsan karena terlalu lelah. Sebagai pengganti BoYoung, Yunho mendengarkan semua perkataan dokter dengan seksama.

Ibu BoYoung meninggal karena bunuh diri. Dia gila! Tidak ada yang mengerti jalan pikiran orang gila. Lalu, Yunho dan BoYoung terlambat membawa wanita itu ke rumah sakit. Lukanya dalam dan darah pun mengalir dengan lancar.

Dua jam setelah itu, BoYoung sadar dan mereka langsung mengkremasi wanita tua itu. Semua biaya Yunho tanggung. Jangan kira selama tinggal dengan Jaejoong, Yunho tidak diberi uang. Pria itu diberi dan Yunho tidak pernah menggunakannya.

BoYoung tidak menabur abu ibunya. Dia meletakannya di dalam guci pink kecil. Dan Yunho tidak protes apapun. Keduanya tidak ada yang membuka suara. Hingga Yunho mengantar BoYoung pulang pun tetap tidak ada yang membuka suara. Keduanya larut dengan pikiran masing-masing.

Yunho melipat kakinya. Sungguh dia merasa bersalah. Andai dia lebih cepat. Andai Jaejoong tidak menghalangi. Mungkin sekarang ibu BoYoung dapat tertolong. Kenapa dia tidak bisa lebih cepat menangani Jaejoong?

Terus menerus Yunho menyalahkan dirinya sendiri. Menggunakan banyak perumpamaan yang sebenarnya percuma! Ibu BoYoung tidak akan hidup kembali.

"Oh, masih ingat pulang?"

Yunho hanya diam saat Jaejoong lewat dan menyindirnya.

Pria itu berkacak pinggang di depan Yunho, "Bagaimana kondisi wanita aneh itu?" cibir Jaejoong.

Yunho tetap diam. Tidak mau menanggapi Jaejoong.

Kesal tidak ada respon, Jaejoong semakin mengompori Yunho, "Dia menggunakan alasan ibunya sekarat agar kalain bisa bertemu, kan? Pedofil."

"Kau tidak membawa bocah itu kemari, eoh?"

"Atau kalian sudah berencana untuk kabur bersama?"

Muak. Yunho bangkit berdiri, "Hyung..."

"Apa?!" balas Jaejoong ketus.

Yunho menatap Jaejoong. Lama, "Aku sedang berduka. BoYoung tidak main-main dengan ucapannya. Ibunya telah meninggal sekarang. Kami baru selesai mengkremasi-nya."

Sekarang giliran Jaejoong yang bungkam.

"Aku mau jalan-jalan dulu," tanpa melihat ke arah Jaejoong, Yunho kembali pergi. Dia kesal dengan ucapan Jaejoong. Tapi bagaimanapun...

Yunho tidak bisa melawan.

.


.

Yunho berjalan dalam diam. Tangannya memegang sekaleng kopi. Pikirannya kalut. Ingin sekali ke rumah BoYoung dan mengecek keadaan gadis itu. Hanya saja Yunho ingin memberi waktu pada BoYoung untuk menenangkan diri. Gadis itu benar-benar butuh waktu...

Tapi di sisi lain, Yunho merasa BoYoung pasti marah padanya. Hanya saja gadis itu hanya diam. Bagaimanapun, Yunho bisa menjadi salah satu alasan kenapa ibunya tidak tertolong.

"Ah! Appoo..."

Yunho menoleh melihat wanita sekitar 40 tahunan terjatuh di trotoar. Sepertinya wanita itu terpeleset.

Buru-buru Yunho berlari kecil, menolong wanita itu. Memunguti barang belanjaan wanita itu yang berserakan.

"Anda tidak apa-apa?" Yunho memperhatikan wanita itu dengan seksama. Takut jika wanita itu terluka.

Wanita itu bangkit berdiri dengan memegang tangan Yunho sebagai topangan. Bibirnya tersenyum melihat pemuda yang dengan rela menolongnya.

"Kau baik sekali," ucap wanita itu.

Yunho hanya menggaruk tengkuknya mendengar pujian. Saat dia hendak menarik tangannya yang di pegang oleh sang wanita, wanita itu malah mempererat gengamannya.

Wanita itu mengusap-usap tangan Yunho. Dia menunduk dan melihat telapak tangan Yunho dengan seksama, "Kau terlalu baik. Namun akhir-akhir ini ditimpa banyak masalah."

Apakan dia peramal? Ucapan wanita itu bahwa dia ditimpa masalah memang benar.

"Dan sekarang... masalah yang lebih besar lagi sudah mengintip di balik pintu."

Mwo?


TBC


Sungguh. Awalnya aku telah membuat separuh fic ini tepat pada hari jadi Yunho. Hanya saja karena alasan tertentu data hilang. Membuatku mengulangnya.

.

Sungguh. Terima kasih sebanyak-banyaknya yang telah bersedia membaca dan merespon cerita ini. Aku bersemangat melanjutkannya karena kalian. Padahal yang membaca cerita ini tidak bisa dibilang banyak. Sekali lagi, boleh aku minta dukungannya?

Tenanglah wahai readers. Ini YunJae fanfiction. Dengan siapapun Yunho atau Jaejoong dipasangkan sekarang, ini demi kelanjutan cerita.

Lalu untuk yang menginginkan Se7Min. Aku mohon maaf sedalam-dalamnya. Aku tidak bisa. Alasan sebaiknya tidak aku sebutkan.

.

Karakter Jaejoong yang plin-plan. Ini yang ingin aku sampaikan. Tiba-tiba baik. Tiba-tiba jahat. Tapi dia tidak terkena penyakit kejiwaan, kok.. ^^

P.s.: JJ dibaca JaeJe

.

Boleh aku minta review? ^^
Terima kasih banyak.

—Z