Naruto .. Oh Naruto

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pairing : SasuNaru, ShikaNaru slight AllSemeNaru

Rated : T+

Genre : Romance, and Hurt—for now.

(genre bisa berubah sesuai suasana hati 'Loshi kalau lagi nulis,hehe#plak)

Warning : Yaoi/BL/MalexMale, Typo(s) dan Miss typo(s), Lime, AU, OOC, OC, EYD tidak mendukung, Perkataan sehari-hari, dll

'Untuk bagian SasuNaru, mungkin bisa sekalian dengerin lagu Miracles in December(EXO), karena aku buatnya sekalian mewek dengerin lagu itu.'

...

Chapter kemarin:

"Karena kau tetap milikku,"

...pilihan yang terus menghantuinya.

Naruto belum juga memutuskan hubungannya dengan Shikamaru ingat? Dan inilah pilihannya,

"—kau belum resmi putus denganku, Naru,"

...akhiri hubungannya dengan Shikamaru?

"—dan kau juga masih menginginkanku, sama sepertiku,"

...atau terus berada dalam pilihan itu.

Hanya mata biru dengan sinar redup yang akhirnya dilihat mata hitam kuaci itu. Hanya sebuah jawaban yang mungkin dapat dia simpulkan menjadi pilihan akhir Naruto. Karena itu, Shikamaru mendekat ke arah pemuda pirang itu. Berjongkok hingga dapat melihat dengan jelas lelehan air mata yang jatuh dari sana. Tidak bergeming, dia hanya akan melihat Naruto menangis.

Bukan untuk menenangkan, tapi hanya untuk menonton.

Bukan untuk memberikan ketenangan, tapi tekanan.

"Karena hanya inilah caraku untuk mendapatkanmu kembali."

.

Semua itu berjalan seperti dalam jalurnya. Selagi semuanya terpaku pada satu tujuan, Shikamaru berjalan ke arah lain—bukan kembali ke kelas. Shikamaru hanya ingin tahu, kenapa Deidara dari dulu selalu mengintip semua kejadiannya dari balik pohon? Sama seperti dulu, Shikamaru dapat melihat Deidara melihat dari balik pohon yang sedang memperhatikan Sasori yang sedang mendengarkan curhatan Naruto.

Ya, mungkin dia akan menanyakan semua itu sekarang.

Saat semuanya terpaku pada tujuan yang sama.

Dia akan memulainya dengan tujuan yang sama, tetapi dengan jalan yang berbeda.

.


-Chapter 12-


.

Suasana yang sangat hening di suatu tempat beralaskan karpet coklat penuh debu. Di dalam ruangan terdapat banyak sekali barang-barang terbuat dari besi yang tidak terpakai. Gudang pabrik yang telah bangkrut itu sudah ditinggalkan sejak lama. Sekarang hanya dihuni tikus, kecoa, cicak dan beberapa hewan lainnya. Kaca jendela yang dapat dihitung jumlahnya hanya beberapa itu terlihat sudah ada yang pecah, atau sekedar retak—memberikan efek pecahan cahaya di karpet penuh debu di bawah sana.

"AKH!"

BRUK!

"Keh... sebuah kesalahan fatal, kau tau?"

BRAK!

PRAK!

"Kuh!"

Seorang pemuda dengan rambut hitam terduduk sambil memegangi perutnya. Darah keluar dari mulutnya saat beberapa kali dia terbatuk. Darah berwarna kehitaman terlihat di keningnya yang tidak tertutup rambut. Bajunya putihnya sudah robek di sana-sini, beberapa bercak darah juga mewarnai kemeja putih itu. Lambang sekolah di dadanya pun tidak luput dari bercak darah.

Tadinya dia hanya ingin membolos saja dari sekolahnya yang membosankan. Tanpa ada yang dapat diajaknya bicara di sekolah, tempat itu menjadi sebuah penjara tersendiri untuknya. Dengan berbagai mata pelajaran yang memusingkan, tadinya ia lebih memilih untuk pergi ke game center. Tapi, ternyata nasib menggariskan lain.

Di perjalanan ke game center dengan masih menggunakan seragam sekolahnya. Ia dihadang sebuah mobil hitam dengan beberapa orang—yang sangat dikenalnya. Dia pikir mereka juga sama membolos sepertinya, mungkin dia bisa sekalian mengajak mereka bermain bersama. Tapi kenyataannya berbeda, dia malah dipukuli begitu mendekat. Disekap dalam mobil, hingga sekarang dia berada di tempat mengerikan—di pinggir kota—ini. Dipukuli sambil mendengarkan pembicaraan orang-orang dihadapannya yang sangat tidak masuk akal. Mendengarkan orang itu membicarakan orang tercintanya, bicara kalau dia tidak mengikuti alurnya. Mengucapkan sumpah serampah padanya, sambil menendang atau memukulnya tanpa berhenti.

"Se-sebenarnya... kalian ingin apa?" tanyanya terbata sambil mengusap darah bercampur liurnya yang merembes keluar dari sela mulutnya. Penglihatannya memburam, dan banyak bagian tubuhnya yang sangat sakit. Dia juga merasakan pening yang teramat di kepalanya yang dari tadi mengeluarkan darah berlebih.

Orang-orang itu melihatnya sambil menyeringai keji. "Kau bilang kami ingin apa?" tanya salah satu mereka dengan suara halus. Tersenyum dengan sangat menyeramkan, orang itu mendekat ke arahnya. Dengan cepat menginjak dadanya dengan sangat keras—hingga dia merasa kalau satu tulangnya patah lagi. "Kau sudah tau apa yang kami inginkan. Keinginan yang sama sepertimu," satu kalimat terakhir dan dia sudah tidak dapat merasakan apapun lagi. Saat teman dari orang yang menginjak dadanya itu memukulkan sesuatu di belakang kepalanya.

Yang dapat diingatnya sebelum menutup mata hanya warna cerah yang sangat dirindukannya.

'Naruto,'

.

.

.


Rinyuri terdiam. Melihat Kyuubi yang sedang terbaring di ranjang berwarna putih itu membuatnya harus menghela nafas lelah. Ini yang yang ia takutkan. Kyuubi menjadi lepas kendali dengan kesadaaran yang sangat minim. Shukaku pun yang seharusnya menjaga Kyuubi malah menghilang entah kemana. Rinyuri berjalan mendekat, ia mengelus helaian rambut orange milik Kyuubi dengan perlahan. Walau bagaimana pun sebenarnya ia hanyalan orang yang sangat menyayangi Kyuubi.

Rinyuri seharusnya langsung membawa Kyuubi kembali ke Oto, tetapi melihat bagaimana sikap pemberontak Kyuubi saat di Oto, Rinyuri hanya dapat menghela nafas saja. Apa yang harus ia lakukan? Kyuubi terlihat lebih baik dari segi sikap saat berada disini, tapi anak ini begitu rapuh disaat bersamaan.

Rinyuri terkekeh pelan saat ia merasa begitu bodoh. Kenapa ia hanya terdiam saat melihat semuanya sudah di depan mata.

Rinyuri mengeluarkan ponsel dari dalam tas jinjing kecilnya. Mencari nomor kontak orang itu. "Shukaku," orang yang berada di sebarang menyahut saat mendengar namanya disebut. "Apa kau tahu pemuda bernama Shikamaru?" jika Rinyuri berhadapan langsung dengan Shukaku. Ia pasti dapat melihat perubahan drastis yang terjadi pada ekspresi wajah pemuda di sana. "Aku ingin bertemu dengannya." Rinyuri hampir saja mengakhiri percakapan mereka sebelum teringat sesuatu. "—dan bisa kau hubungi orang bernama Deidara. Aku juga perlu bertemu dengannya. Kau atur agar mereka tidak bertemu di satu waktu yang sama. Aku ingin bertemu mereka di waktu yang berbeda." Katanya sebelum akhirnya mengakhiri semuanya.

Rinyuri memasukkan kembali phonselnya. Melihat wajah Kyuubi yang terlihat begitu damai saat ini. "Aku harap mereka dapat menangani semuanya. Aku tidak ingin kau terus seperti ini, Kyuu."

Rinyuri tidak pernah menyalahkan siapapun untuk apa yang terjadi pada Kyuubi. Cucu kesayangannya itu terlihat begitu rapuh dengan perasaan yang selalu saja tidak tenang. Dulu—Rinyuri tidak ingin mengingat kejadian itu—saat Kyuubi untuk pertama kalinya histeris hingga hampir membuat beberapa orang pemuda—lebih tua—hampir meninggal. Rinyuri berpikir mungkin dengan menjauhkan Kyuubi dari sumbernya, ia dapat membuat sifat histeris Kyuubi terobati. Tapi ternyata tidak, setelah hampir beberapa tahun, ternyata Kyuubi malah terlihat seperti orang yang depresi dengan tingkah yang tidak dapat ditebak serta jenius.

Bahkan saat Shukaku telah bersama Kyuubi, cucunya ini tetap tidak dapat melupakan Naruto—anak pemicu histeris Kyuubi.

Rinyuri memandang Kyuubi miris. "Kyuu, kita akan lihat selanjutnya. Apapun yang terjadi, aku harap kau tidak lagi seperti ini. Ingat, aku melakukan semuanya hanya untukmu. Untuk cucuku."

.

.

.


"Bisa kau tinggalkan kami?" Sasuke berbalik melihat Shukaku yang masih setia menunggunya dan Naruto di ambang pintu UKS sekolah. Sasuke ingin waktu dan tempat yang lebih pribadi untuk urusannya dengan Naruto sekarang. Melihat kondisi Naruto yang tidak memungkinkan, Sasuke tentu tidak akan membiarkan Shukaku untuk membicarakan perihal masalah Kyuubi terlebih dahulu. Dia belum mau mengambil resiko lebih untuk membuat kondisi psikis Naruto menjadi lebih buruk. Setelah perginya Shikamau, Sasuke yang memeluk Naruto erat dapat merasakan badan munggil di dekapnnya itu bergetar dengan hebat. Jadi, tidak mungkin dia sekarang membiarkan Shukaku membicarakan hal yang hanya akan membuat semuanya semakin sulit.

Melihat Shukaku dengan tajam, Sasuke menjauh dari tempat tidur dengan Naruto yang masih membuka matanya dengan pandangan kosong. Sasuke berjalan mendekati Shukaku, melihat mata almond di depannya dengan pandangan yang sulit artikan. Sasuke seperti memohon untuk memberikan Naruto sedikit waktu untuk menenangkan diri, tanpa berkata. "Naruto butuh istirahat," ucap Sasuke.

Dan Shukaku tau arti dari perakataan Sasuke itu. Menghela nafas lelah, ia berbalik meninggalkan ruangan UKS itu. Lagipula, sejak tadi ponsel di sakunya terus saja bergetar. Shukaku pun pergi dari sana sekaligus mengangat telepon yang sepertinya penting itu.

Sedangan Sasuke hanya dapat berbalik, melihat keadaan Naruto dengan pandangan yang menyendu.

Dia sudah mendapatkan setengah dari hati Naruto. Tapi masih belum bisa membuat setengah hati itu menjadi penyembuh untuk setengah hati yang berada dalam genggaman Shikamaru. Sakit rasanya saat melihat orang yang sangat berharga untukmu hanya diam, menyimpan semuanya sendiri dalam dirinya, tanpa membagi apapun padamu. Sasuke ingin Naruto membagi semua rasa sakit itu padanya, jadi dengan perlahan 'mungkin' dia dapat membuatkan penawarnya.

Memberikan pelajaran pada Shikamaru bukanlah jalan yang benar. Dia tidak mungkin memulai perkelahian yang bukannya memperbaiki masalah malah memperburuk keadaan. Tapi dia juga tidak mungkin terus-terusan membuat Naruto mendapatkan tekanan batin dari manusia setengah rusa itu.

Jadi apa yang harus dia lakukan?

Sasuke memejamkan matanya. Dia masih dapat melihat senyuman pertama Naruto saat awal perjumpaan pertama mereka. Senyum itu yang membuatnya tidak dapat tidur semalaman. Senyum hangat yang juga saat itu dilemparkan Naruto pada Shikamaru yang sedang tertidur di atap sekolah. Walau tidak diperhatikan—apalagi mendapat balasan—Naruto masih saja tetap melempar senyuman. Terkadang Sasuke berpikir terbuat dari apa hati anak ini? Tidak mendapat balasan, tetapi selalu saja bersikap baik. Apa dia tidak sakit hati?

Sasuke tersenyum kaku saat mengingatnya.

Ah, pasti ini yang dirasakan Naruto. Hanya mendapat setengah hati, tetapi selalu berusaha meyakinkan diri jika dia bisa mendapatkan setengahnya—seperti dirinya sekarang ini.

Dia mengulurkan tangan. Menyentuh relaian rambut yang begitu terasa halus. Dia menatap Naruto yang tidak juga bergeming, termangu diam dalam kesedihan dan perasaan tidak nyaman. Ia hanya bisa terus berusaha menyembuhkan, disaat goresan itu terus dan terus menggores satu perasaan tidak kasat mata.

Sasuke ingin sekali terkekeh, tertawa dengan keras dan lalu berteriak sekencang-kencangnya.

Melihat seseorang yang begitu berharga hancur itu bukanlah hal yang mudah. Kau dapat merasakan sakitnya orang itu saat dia menangis. Kau dapat merasakan sesuatu yang sesak dan menghimpit lebih parah dari yang orang itu rasakan, berpikir jika kau tidak bisa melindunginya hingga dia seperti itu. Meruntukki dirimu sendiri karena kau hanya bisa melihatnya dari jauh, dan saat perlahan rasa sakit itu sedikit menghilang dengan sendirinya kau baru bisa datang padanya seperti pahlawan. Itu sesuatu yang sangat memuakkan.

Seorang pecundang.

"Sasuke,"

Ia tersentak. Mendengar suara serak sedikit gemetar itu membuatnya juga tergugah untuk menyahut. Tapi tatapan Naruto yang begitu syarat akan arti membuatnya bungkam. Dia lebih memilih mengeratkan genggaman tangannya. Berharap membuat Naruto tahu jika dia akan selalu ada—walau hanya untuk mendengarkan.

Naruto menoleh padanya, dan dia kembali mengelus rambut Naruto yang sempat terhenti.

Sasuke ingin tersenyum berharap jika perasaannya dapat menular. Tapi perasaan sakit ini selalu saja menghalanginya.

"Rasanya begitu sakit," Sasuke tidak berharap Naruto berkata seperti itu. Melihat mata itu perlahan mulai mengeluarkan lelehannya, dan isakan terdengar. Sasuke lebih memilih memalingkan wajahnya tidak sanggup. "—tidakkah dia mengerti akan perasaanku? Bisakah dia menghentikan semuanya?"

"Naruto—"

"Tidakkah ia tahu jika semua ini sangat sulit?"

Sasuke tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Jadi, ia hanya beralih lagi melihat Naruto yang mulai menumpahkan semuanya. Racauan itu, tidak hanya menyakitkan untuk Naruto. Ia hanya terdiam, melihat setiap lelehan itu mengalir pada pipi pucat Naruto. Satu tangannya yang ia gunakan untuk mengelus rambut Naruto perlahan ia turunkan, berganti menghapus setiap aliran air asin itu. Tidak peduli pada tetesan air miliknya sendiri.

Diam-diam, Sasuke menangis untuk Naruto.

Tidak peduli jika Naruto tidak akan mengusap aliran di pipinya seperti ia lakukan. "Naruto," lirihnya.

"Dia datang dalam kesemuan, dan pergi dengan membawa semuanya. Memberikan kata-kata semu yang menyenangkan, lalu memberikan tetesan kesedihan dalam diam. Kenapa ia begitu, Sasuke? Tidak bisakah ia melihatku seperti aku melihatnya? Memperlakukanku seperti kau padaku?"

"Naruto,"

"Aku mencintainya, Sasuke. Tapi… ia memperlakukan seperti ini. Meninggalkanku sendiri, dan berkata memang itu yang harus ia lakukan!"

Tidak! Ia tidak berharap Naruto berkata seperti itu.

"NARUTO!"

Sasuke tidak peduli lelehan air matanya mengalir lebih deras saat ia berteriak, membentak orang yang dicintainya yang sedang menangis. Ia tidak peduli pada pandangan kaget Naruto. Karena yang ia harapkan, Naruto tidak lagi mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang hanya akan membawa satu rasa sakit pada semuanya.

Naruto terdiam. Ia hanya termangu kaget ketika Sasuke mengekangnya dalam kurungan berupa pelukan hangat dengan tetesan air mata yang membasahi kepalanya. Naruto bukannya tidak sadar Sasuke menangis bersamanya. Ia bukannya tidak melihat setiap aliran bulir air itu saat ia berteriak, menumpahkan semua perasaan dan pertanyaan yang menyesakan dalam hatinya. Naruto menangis lebih kencang dalam hatinya sekarang. Ia tidak lagi menangis seperti tadi.

Ia menyadari sesuatu.

"Sasuke,"

'—kau lah yang selalu ada untukku. Menangis untukku, dan aku tidak ingin menangisimu seperti aku menangisi orang itu.'

"…terima kasih. Untuk setiap air matamu yang keluar. Aku…,"

'—karena kau lebih berharga untuk aku tangisi dalam kesedihan.'

"…mencintaimu."

Naruto melepaskan pelukan Sasuke perlahan. Melihat wajah tampan penuh karisma itu sekarang dialiri air mata. Naruto tersenyum dengan begitu tulus, matanya memancarkan cahaya sendu tetapi begitu halus. Tangannya perlahan terangkat. Bersamaan dengan senyum lebar, Naruto mengelus pipi Sasuke—menghapus jejak air mata itu. Ia sangat berterima kasih pada Sasuke yang telah begitu mencintainya dengan tulus. Siap menangis bersamanya, menerima setiap perkataan menyakitkan yang ia lemparkan, dan tetap berada disampingnya walau ia terus saja berkata jika ia mencintai Shikamaru.

"Aku mencintaimu. Terima kasih."

Naruto sekarang tahu.

"Terima kasih telah begitu mencintaiku, Sasuke."

…sebenarnya, cinta yang sesungguhnya bukan menyebabkan rasa sakit yang mendalam hingga kau terus mengingatnya. Tetapi...,

Sasuke terdiam. Masih larut dalam pikirannya, walau bibirnya berkata, "Aku juga mencintaimu, Naruto."

…membuat kita merasa begitu bahagia. Hingga kita dapat berterima kasih karena pemberian perasaan itu.

.

.

.

.

Tbc~


A/N: Gimana feelnya untuk SN? Sekarang mereka udah bener-bener bersatu \(^o^)/ mulai besok, semuanya ga terlalu focus ke SN tp semua Semenya—dan semoga aja aku ga kena WB tiba-tiba lagi TToTT

Mind to give me a review?