Bleach © Tite Kubo

With Or Without You

Part #19-END

.

.

.

Hari ini bisa dipastikan.

Kebahagiaan sudah menumpuk di hati Kurosaki Ichigo.

"Selamat ya!"

Rukia berada di samping Ichigo, menggamit lengan lelaki yang sudah sah menjadi suaminya tersebut sembari terus melayangkan senyum merekah kepada para undangan yang memberikan ucapan selamat. Lama kedua mempelai tersebut mengikuti serangkaian acara sebagai prosesi pernikahan yang menyita perhatian begitu banyak masyarakat dunia. Sekarang, siapa yang tidak akan mengenal pasangan Ichigo dan Rukia? Sepasang manusia tersohor yang sudah diikat oleh sumpah pernikahan.

Segera setelah kejadian sebulan lalu, kejadian dimana keduanya dikepung kru reporter Shihouin ketika nyaris berciuman, mereka menjelma menjadi selebritis internasional. Wajah Ichigo dan Rukia membombardir seluruh media massa di dunia. Seluk beluk kisah asmara keduanya begitu diincar di dunia maya, mulai dari cerita sederhana hingga cerita rumit yang didramatisir pun muncul dari berbagi situs legal dan illegal hanya untuk memuaskan rasa keingitahuan para penjelajah internet.

Pasangan baru tercipta. Ichigo berhasil mematahkan hati banyak wanita, sedangkan Rukia berhasil membuat para wanita lajang iri setengah mati. Mereka terlalu muda untuk dinikahkah, hingga banyak spekulasi negatif yang kini bergentayangan di sekitar berita pernikahan keduanya. Namun mengingat ada aturan kerajaan yang memang mengharuskan seorang putra mahkota untuk menikah muda, akhirnya spekulasi-spekulasi negatif pun perlahan mampu diredam.

Bagi Kaizen sendiri, pernikahan antara adiknya dan putri dari sahabatnya adalah kesenangan luar biasa yang membuat matanya berkaca-kaca.

Kebun istana mulai ditinggal pergi para undangan. Menyisakan beberapa kerabat kerajaan dan kolega yang tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai sembari berbincang sesaat.

"Ichigo, ada keluargamu dari jauh."

Kaizen menepuk bahu Ichigo, memberikan sinyal agar adiknya itu menoleh pada arah yang ia tunjuk.

Dari pembatas kebun istana, sosok Isshin bersama dua putrinya berjalan mantap mendekati Ichigo dengan senyum sumringah.

Rukia memandangi wajah suaminya penuh simpati. Dia mengenali mimik itu, mimik muram Ichigo. Gelagat cemas karena menyimpan berbagai perasaan yang berkecamuk di hatinya. Suaminya itu tengah berusaha menahan emosi yang berperang dalam otaknya. Rindu, kecewa, amarah, perasaan tersebut mengitarinya. Membuatnya bingung harus melakukan apa pada keluarga yang dulu mengusirnya di malam yang dingin tanpa memberikan alasan apapun.

"Oh, putraku!"

"Kakak!"

Isshin, Karin dan Yuzu serempak memeluk tubuh Ichigo layaknya keluarga bahagia yang baru dipertemukan. Ichigo tidak bisa menolak, karena sungguh, meskipun marah, ia tidak bisa menyalahkan keluarganya dengan keputusan di masa lalu. Benar, 'kan? Dia tidak akan ada di sini bersama Rukia, jika dulu keluarganya tidak mengusirnya.

"Siapa yang mengundang kalian? Kenapa kalian datang kemari? !" sayang, sekalipun ia berusaha mengendalikan diri, pertanyaan itu tercetus begitu saja.

Seolah diterjang kenyataan. Isshin tersenyum pahit, matanya nanar memandangi Ichigo kemudian beralih pada Rukia yang berdiri menahan gerakan Ichigo. Karin menghela nafas, mempermainkan poninya dengan bola mata yang tampak bosan. Yuzu yang ada disebelahnya mengernyitkan kening, takut-takut ia memberanikan diri menontoni kemarahan kakaknya.

"Baiklah. Kami kemari cuma ingin mengucapkan selamat, Ichigo. Tidak perlu emosi begitu." Isshin mengulurkan tangan untuk menyentuh kepala Rukia seraya mengucapkan, "Semoga kalian bahagia, Rukia." Kemudian dengan teratur ia berbalik memunggungi Ichigo, "Ayo, Karin, Yuzu! Kita pulang!"

Karin dan Yuzu segera mengikuti langkah Isshin. Dengan suara rendah, Karin berbisik pada Yuzu yang terlihat kecewa dengan sikap Ichigo pada mereka. "Ayah pintar sekali mempermainkan perasaan kakak ya? Kita hitung sampai lima detik, pasti kakak berteriak memanggil kita tuh," Karin memastikan ucapannya dengan menghitung mundur.

Lima…

Empat.

Tiga…

Dua.

Satu…

"Berhenti!"

Ichigo tidak lagi menahan diri. Ia bergerak maju, menarik kerah kemeja ayahnya dan dengan emosi yang meletup-letup ia memaki-maki Kurosaki Isshin. Melempar pertanyaan yang sudah ia ketahui sendiri jawabannya. Bukannya merasa takut, Isshin malah tersenyum-senyum seraya mengedipkan mata pada kedua putrinya dan menantunya yang menatap bingung.

Pertengkaran ayah dan anak itu tak ayal mengundang komentar dari Byakuya. "Dia tidak pernah berubah," Byakuya memperhatikan teman lamanya, si Kurosaki Isshin yang selalu berlagak santai.

"Sebaiknya kita tinggalkan mereka, Byakuya."

Ide bagus. Bersama Kaizen, Byakuya meninggalkan putrinya bersama keluarga barunya untuk bercengkrama—yah, setidaknya bercengkarama, satu-satunya istilah yang tepat.

.

.

Kekecewaan juga terbersit di hati Ulquiorra. Ia mengundurkan diri dari taruhan kakaknya. Kesempatan untuk mencuri hati sang putri perdana mentri tidak mungkin lagi bisa ia jalankan. Misinya berakhir di pesta pernikahan ini.

Mendadak dering ponsel menghancurkan lamunannya. Ternyata dari kakaknya.

"Ulquiorra! Dimana kau? Aku tidak melihatmu di acara pernikahan tadi?"

"Aku sedang bersembunyi darimu. Kau pasti sedang mengejekku di depan kakak ipar, kan?"

"Hahaha. Mau kupertemukan dengan gadis yang lain tidak? Dia tidak kalah cantiknya dengan Nona Mudamu."

"Tidak usah. Aku bisa mencari sendiri."

"Atau—"

Ulquiorra buru-buru mengakhiri panggilan terlepon tersebut, sebelum nanti ubun-ubun kepalanya mengeluarkan asap. Kakaknya itu benar-benar makhluk sialan!

.

"Ini, untukmu," Ggio mengukir senyum canggung ketika matanya beradu pandang dengan Soifon.

Sebuket bunga mawar merah tersodor di hadapan Soifon. Bunga yang tadi berada dalam genggaman Kuchiki-chama kenapa bisa ada di depan matanya? Lalu, apa maksud Ggio memberikan bunga itu padanya?

"Apa maksudmu?"

"Sudah ambil saja! Kau ini bodoh atau polos, sih? Masa' tidak mengerti maksudku," gerutuan Ggio mengundang raut horror dari Soifon. Ini menggelikan. Gadis itu tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya, ia bukan jurnalis yang bisa membaca pikiran seseorang, tugasnya adalah menuntut seseorang untuk bicara terang-terangan. Mengklarifikasi sesuatu dengan pernyataan jelas, bukan tebak-tebakan seperti ini.

"Katakan dulu maksudmu, baru kuterima bunganya!"

Ggio sungguh merasa dipermalukan. Perempuan ini sepertinya suka sekali mempermainkan orang. Ekspresinya itu loh! Minus emosi, datar sekali. Biasanya wanita akan tersipu malu dengan garis kemerahan di pipi, tapi Soifon justru menampilkan wajah sebeku es.

Pluk.

Buket mawar tersebut akhirnya hinggap di kepala Soifon. Ggio menepuk kepala Soifon. Tak hanya satu kali, ia melakukannya berkali-kali sebagai pelampiasan rasa kesal.

"Bodoh. Bodoh. Bodoh…" sambil memukul kepala kecil Soifon dengan sebuket mawar ia merutuki kebodohan gadis yang beberapa har ini berputar-putar di dalam otaknya.

Soifon menggeram. Kemudian dengan lolongan panjang ia meneriaki Ggio.

.

.

.

Pesta belum berakhir. Kaizen menyediakan waktu khusus untuk sahabat-sahabat Ichigo dan Rukia. Di penghujung malam ini, puncak kemeriahan kembali menerangi istana.

"Maaf ya, Pangeran. Kau harus menahan diri sampai besok pagi," cengiran kejam tergambar jelas dari Kaizen. Ia berlalu, meninggalkan pesta kecil itu. Ichigo berdecak, tentu saja ia bisa menahan diri.

Hanya sampai besok pagi harusnya tidak masalah. Tapi tunggu, menahan diri? Memangnya ia harus menahan diri dari apa? Ichigo menggaruk-garuk dagunya, memikirkan maksud perkataan si kakak yang kini sudah menghilang.

"Grimmjow!"

Pekikan Rukia menarik perhatian Ichigo. Terlihat Grimmjow berjalan angkuh melewatinya, kemudian menuju Rukia.

Rukia memberi sebuah pelukan hangat untuk Grimmjow, "Apa ayah juga kemari?"

"Aku datang sendirian, Rukia. Ayah belum bisa meninggalkan perawatannya."

Langit mata perempuan itu menyuram. Kentara sekali ia begitu kecewa.

"Apa kedatanganku tidak cukup membuatmu senang? Ayolah adikku sayang, kita rayakan pernikahanmu dengan—" Grimmjow menoleh pada Ichigo dengan muka masam, "Dengan, orang itu."

Helaan nafas meluncur dari mulut Ichigo. Ia lelah, malas bertengkar dengan tamu kesayangan sang isteri.

Beberapa menit kemudian kebun istana didatangi teman-teman Rukia dan Ichigo. Senna melesat seperti roket kelebihan bahan bakar, memburu Rukia dengan pertanyaan beserta pelukan hangat tiada tara. Di belakangnya ada Renji yang lebih memilih menghampiri Ichigo untuk mengucapkan selamat.

Lingkungan istana diramaikan lagi ketika beberapa teman kampus Ichigo berdatangan. Di antara mereka tampak Nell dan Inoue berjalan anggun.

Ichigo dan Rukia kembali berlimpahan ucapan selamat.

"Kau cantik sekali, Kuchiki-san."

"Terima kasih."

Inoue beralih pada Ichigo, "Selamat ya, Kurosaki-kun."

Sambil mengulum senyum, Ichigo menyambut kedatangan Inoue bersama yang lainnya.

"Terima kasih, kalian sudah mau datang kemari."

Nell tidak mengindahkan pidato basa-basi sang tuan rumah. Ia bahkan sungkan untuk menyapa Rukia yang sejak tadi melempar senyum manis padanya. Mata hijau gadis itu berkeliaran mencari-cari sosok Grimmjow yang kabarnya sudah pulang ke Jepang demi menghadiri pesta pernikahan Rukia. Tapi dimana pemuda itu? Ia tak melihat siapapun yang berambut biru di sini.

Karena tidak menemukan bayangan Grimmjow, Nell menyerah. Ia menurunkan gengsinya lalu beranjak menghampiri Rukia.

"Rukia, kemari sebentar," pintanya sembari menarik siku Rukia, menjauhkannya dari keramaian. "Kudengar Grimmjow ada di Jepang, apa malam ini dia tidak hadir di sini?"

"Dia tadi memang kemari, kok. Tapi sekarang sudah pergi. Dia bilang ingin segera kembali ke Inggris karena ayah—" Rukia menghentikan ucapannya ketika raut wajah Nell mengkerut. Sinaran wajah cantik gadis itu terlihat asing dan mengerikan. Nell tampak siap menangis di tempat. Bibir tipis Nell memberengut seperti anak kecil. "Jangan sedih begitu, Nell. Aku bercanda. Orang yang kaucari ada di belakangmu tuh," tunjuk Rukia menggunakan dagunya.

Mata Nell bergulir ke arah belakang. Di sana ada Grimmjow yang muncul dengan setelan jas hitamnya. Pemuda itu baru saja mengganti pakaian supaya penampilannya terlihat lebih resmi. Rukia tersenyum mengejek, karena berhasil menaklukan sikap angkuh Nell.

Waktu seakan berhenti bagi Kuchiki Rukia.

Doar!

Jantung Rukia berdegup kencang, ketika sebuah letusan kembang api meluncur ke atas langit.

Phobianya kambuh. Ketakutannya terpancar ke permukaan kulit wajahnya yang menegang. Namun kali ini, ia harus berterima kasih pada seseorang yang sukses meredam rasa takutnya. Seseorang yang menutup kedua telinganya dari arah punggungnya yang tertegak kaku.

"Kau bisa melihat kembang api itu tanpa perlu mendengar letusannya, Rukia. Akan kulindungi kau dari percikan api-api di langit sana."

Rukia melirik seseorang yang berbisik di celah telinganya yang tertutup rapat oleh kedua telapak tangan orang di belakangnya.

Ichigo menaruh dagunya di pundak mungil Rukia. Tanpa menggubris keterbisuan Rukia, ia memandangi langit hitam yang kini bertebaran dengan warna kembang api.

"Ahh, indahnya," puji Ichigo pada kembang api. Hatinya benar-benar diliputi ketentraman.

Seraya dengan senyum meringis, Rukia memberanikan diri untuk melihat apa yang ada di langit sana. Memang begitu indah. Ia menyukai warna-warna di langit itu dan juga, lelaki yang ada di dekatnya ini. Entah mengapa, ia merasa bangga bisa sedekat ini melihat warna jingga rambut Ichigo. Parfum Kurosaki Ichigo tercium manis di ujung hidungnya. Dada lebar yang bersandar nyaman di punggungnya juga deru nafas halus Ichigo yang begitu jahil mengalun di sekitar anak rambut dan pundaknya. Rukia merasa dihisap oleh pesona Ichigo, dilumat habis oleh kelembutan Ichigo untuknya.

Satu kalimat tanpa sadar terembus dari haluan nafas Rukia.

"Aku mencintaimu, Ichigo."

Walaupun nadanya begitu rendah, tetapi Ichigo bisa mendengarnya dengan jelas.

Lelaki itu terperangah. Matanya berbinar. Mulutnya sedikit terbuka, tertegun dengan kata-kata itu. "Bi-bisakah kau mengulanginya?" tanyanya dengan wajah mengemis.

Cup.

Rukia tidak mau mengulangi ucapannya. Sebagai balasannya, ia hanya mengecup pipi Ichigo di tengah-tengah letusan kembang api yang masih memekik.

Barulah Ichigo menyadari apa yang dimaksudkan Kaizen sebelum pesta dimulai tadi. Menahan diri. Dia harus menahan diri sampai pesta ini berakhir! Ini sungguh menyiksa!

.

.

"Kau harus membuatnya bahagia, Pangeran. Jangan membuat Rukia kesepian. Dan perlu kauingat, aku menyayangi Rukia lebih dari kau menyayanginya." Susah payah Senna berusaha menasihati Ichigo untuk menjaga baik-baik Rukia. Memperingatkan pada suami sahabatnya itu dengan kata-kata setulus yang bisa ia tunjukkan.

Senna dan Renji menjadi tamu terakhir yang tersisa. "Bersenang-senanglah, Ichigo," kata-kata dari Renji terdengar seperti ejekan di telinga Ichigo.

Sebetulnya Senna sudah menjauhi Rukia, tetapi ia lupa mengingatkan Rukia akan sesuatu. Lalu dengan bersemangat ia mengucapkannya dengan suara melengking.

"Oh ya, Rukia! Lakukan hal yang paling ingin kau lakukan sebelum kesucianmu diambil!"

Sontak pipi Rukia merona. Dahinya berkedut mendengar teriakan Senna.

Setelahnya tamu terakhir mereka pun pergi.

Hanya tinggal beberapa pelayan yang berlalu-lalang menyelesaikan pekerjaan membereskan kebun istana.

"Senna benar. Apa ada yang ingin kaulakukan sebelum kita—aw!"

Cubitan mesra mampir di pinggang Ichigo. Rukia tersenyum kikuk, sambil menyeret gaun putihnya yang bercahaya di penghujung malam, ia berjalan mejauhi suaminya. Gaun itu terus menyala, putihnya menandingi warna bulan purnama yang menggantung di langit.

Rukia terpaku. Langkahnya terhenti ketika sudut matanya tertuju pada benda langit berbentuk bulatan penuh di angkasa. Cahayanya terlalu terang sampai membuat matanya berkilauan menahan haru. Laut dan bulan, dua hal yang membanjirinya dengan ingatan-ingatan tentang ibunya.

"Kau harus melihat bulan purnama bersama orang yang kaucintai, Rukia."

Ibu…

"Aku sudah melakukannya! Sekarang, 'kan aku sudah bersama ibu melihat purnama!"

Ibuku tersayang.

"Bukan bersama ibu. Tapi seorang pria yang kaucintai."

Ibu yang kucintai.

"Oh baiklah. Suatu hari nanti aku akan melihat bulan purnama bersama pria yang kucintai."

Juga pria yang kucintai. Dengan… pria yang mencintaiku.

Rukia menyadari keberadaan Ichigo. Kemudian seraya mengulurkan tangan pada lelaki itu, ia berharap Ichigo menyambut permintaanya kali ini.

"Ayo, Ichigo. Temani aku melihat bulan purnama."

Malam semakin larut. Mengizinkan Ichigo dan Rukia tersiram lampu purnama.

Sampai sepasang pengantin baru itu tersadar, bahwa masih ada ritual penting yang harus mereka lakukan setelah purnama memudar.

Sekarang…

Denganmu, aku bisa melakukan semua yang bisa kulakukan, Rukia.

Lalu…

Suatu waktu nanti, apa yang bisa kulakukan—tanpamu?

Tidak. Aku tidak ingin memikirkan waktu dimana nanti tidak ada kau.

Kita akan bersama, 'kan? Tentu saja, sampai langit runtuh sekalipun kau akan terus disisiku.

Hanya kita. Kau dan aku.

Di bawah kanopi istana.

.

Selesai

.

Semoga ini akhir yang menggembirakan, minna-san.

Terima kasih banyak sudah mengikuti –With or Without You- sampai selesai. Saya sungguh senang luar biasa, begitu tersanjung dengan sambutan kalian.

Terima kasih tentunya buat reviewer; Izumi Kagawa, Naruzeha AiChi, Keiki Eni Naomi, Purple and Blue, Shinigami Teru-chan, Owwie Owl, puspa-jeagerjaques, hendrik-widyawati, Azura Kuchiki, ichirukilover, Abcde, Ryom Ryan,can-can, BCherryPurple.

SERTA reviewer-reviewer di part sebelumnya. Maaf kalau saya tidak bisa membalas pesan kalian :(

Termasuk minna-san yang sudah menaruh fiksi ini di list favorite dan memfollow perkembangan fiksi buruk saya ini. Sekali lagi terima kasih banyak!

Sampai Jumpa!