From The Author's Desk : Sesuai dengan janji saia, saia datang dengan fic Gundam Seed dengan setting AU. Sebetulny setting AU ini bener-bener baruuuu banget ideny, bukan 3 setting yang telah saia pikirkan sebelumny. Dan setelah saia keliling, nampakny belum ada fic Indo Gundam Seed yang mengangkat tema ini *jika ada, maaf, berarti saia yang kurang teliti*, saia jadi tertantang untuk bikin fic dengan setting fantasy di zaman modern.

Well, happy reading :). Rated M for gore and nudity.

Seluruh karakter yang muncul dalam fic ini kepunyaan Sunrise.


Even Death Won't Do Us Apart

Gundam Seed/Destiny (c) Sunrise

Act One : Clinging To The Past

Apakah kau percaya dengan sejarah yang ada? Bagaimana kau tahu bahwa sejarah itu asli, dan tidak diutak-atik oleh mereka yang berkuasa demi kepentingan politik?

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

"...mereka pemilik kekuatan yang tidak biasa disebut Penyihir. Jauh sebelum tahun Cosmic Era ditetapkan, mereka menguasai bumi, namun seiring waktu, manusia biasa merasa iri dan ketakutan dengan kekuatan mereka. Kecemburuan serta ketakutan itu akhirnya menyebabkan terjadinya pembantaian masal para Penyihir. Mayat para Penyihir dibakar, abunya dibuang ke kawah gunung berapi. Semua catatan mengenai ilmu-ilmu sihir juga dimusnahkan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan para Penyihir dilenyapkan dari muka bumi, dengan harapan tidak akan ada lagi orang yang menggunakan sihir demi kepentingan pribadi mereka, dan merugikan orang lain..."

Siang yang cerah dan damai di ORB Internasional High School. Sebentar lagi bel tanda sekolah usai akan berdering, oleh sebab itu terlihat beberapa murid yang duduk gusar di kursi mereka. Namun sunyi mendominasi keadaan lorong sekolah berlantai tiga ini. Tidak terdengar suara apa pun, bahkan hembusan angin sekali pun.

Seorang wanita paruh baya berjalan mondar-mandir di dalam ruang kelas 2-3, mulutnya komat-kamit membacakan teks dari sebuah buku yang ia genggam, sementara satu tangannya lagi ia lipat ke belakang. Sekarang pelajaran sejarah, dan topik pembahasan kali ini adalah mengenai para Penyihir. Manusia yang memiliki kekuatan yang tidak dimiliki manusia biasa. Menurut sejarah, mereka semua sudah tewas, namun, ada beberapa orang yang percaya, bahwa tidak semua Penyihir tewas dalam pembantaian masal tersebut, dan mereka yang selamat tengah merancang sebuah rencana untuk membalaskan dendam leluhur mereka.

"Gladys Sensei..." seorang murid pria mengacungkan tangan.

Wanita yang dipanggil Gladys itu berhenti berjalan."Ya, ada pertanyaan, Sai-Kun?"

"Benarkah, para Penyihir itu telah musnah? Maksudku..." Murid berkaca mata bundar itu menggaruk-garuk lehernya, "kalau kita menonton film tentang Penyihir, mereka bisa melakukan apa pun, jadi bisa saja 'kan, mereka melakukan sesuatu untuk tetap hidup?"

"Aku juga tidak tahu apakah mereka sudah musnah atau belum, Sai-Kun." Gladys Sensei tersenyum. "Tapi aku berharap begitu, agar mereka tidak mengganggu umat manusia..."

"Dari mana anda tahu bahwa mereka mengganggu?" Seorang murid perempuan berambut cokelat menyahut. "Apa karena hal itu tertulis di buku sejarah? Bagaiman jika kenyataannya para penyihir tidak mengganggu umat manusia? Mereka 'kan juga manusia!"

Murid perempuan berambut merah yang duduk di sampingnya melirik. "Miriallia..."

Gladys Sensei menatap gadis berambut pendek itu dengan bingung. "Kenapa kau berkata demikian, Miriallia?"

"Karena bukti mengenai para Penyihir masih sedikit. Semua yang ditulis dibuku bisa saja dibuat-buat oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan para Penyihir..."

Bel yang ditunggu akhirnya menggema. Para murid pria bersorak senang, sementara Gladys Sensei masih belum melepaskan pandangannya dari Miriallia yang terlihat sedikit kecewa karena penjelasannya belum selesai ketika bel berdering. "Apa hanya itu saja?"

Miriallia menunduk, ia meremas rok sekolah berwarna hijau tersebut. "Iya, Sensei..."

Gladys Sensei menghembuskan nafasnya penuh kekecewaan. "Aku kira kau akan memberikan sebuah data terbaru mengenai para Penyihir. Sungguh mengecewakan." Wanita bermata abu-abu itu berjalan ke depan, "Sebagai tugas, aku ingin kalian merangkum bab tujuh ini. Dan dikumpulkan besok."

"APAAAA?!" Teriak para murid kompak.

"Ta, tapi Sensei, besok ada pertandingan sepak bola, dan kelas kami..." Seorang murid dengan rambut cokelat yang dibagian depannya dicat dengan warna merah memprotes Gladys Sensei.

"Vino Dupre." Suara tegas sang guru membuat seantero kelas sepi mendadak. "Apakah harus Sensei ingatkan, bahwa nilaimu sangat jelek? Dan jika kau gagal dalam mata pelajaranku, kau harus mengulang, Vino. Tidak peduli sehebat apa permainan sepak bolamu, atau sejenius apa kau dalam urusan mekanik, jika kau gagal dalam pelajaran sejarah, kau harus mengulang setahun!" Gladys Sensei menatap tajam Vino, membat si murid hanya bisa menelan ludah. "Apa kau sudah mengerti, Vino?"

"I, iya, Gladys Sensei..." Vino akhirnya menyerah. Dan begitu juga seluruh murid di kelas ini. Dengan mata kesal dia menoleh ke belakang, tetapi murid berambut biru itu masih tertidur pulas. Padahal, selain Vino, hanya dia yang berani melawan guru, apalagi Gladys Sensei. Walau semua murid di sekolah ini tahu, berani melawan Gladys Sensei, sama saja cari mati. Sejarah adalah satu dari lima pelajaran utama di sekolah ini ; aljabar, bahasa, sejarah, ilmu alam dan terakhir adalah ilmu sosial. Oleh sebab itu, tidak ada yang berani melawan para sensei yang mengajar mata pelajaran tersebut, salah satunya Gladys Sensei yang sudah keluar dari kelas 2-3.

Pria berambut biru itu akhirnya bangun, ia merenggangkan tangannya ke atas, tampaknya tidurnya barusan sangat pulas. "Ada apa ini?" Ia bertanya dengan nyawa yang belum genap kepada Vino yang duduk dihadapannya.

"Karena Miriallia, kita diberikan tugas untuk merangkum bab tujuh, dan harus dikumpulkan besok!" Jawab Vino ketus. "Ini juga salahmu, Auel. Padahal aku sudah berusaha membangunkanmua agar kau bisa melawan Gladys Sensei. Tapi kau tidak bangun-bangun."

"APA?" Teriak Auel kencang. "Hei, Miriallia, kalau kau mau tugas, cari saja untukmu sendiri! Jangan menyeret orang lain dong!"

"Auel, hentikan!" Murid perempuan berambut merah tadi membela Miriallia. "Kamu tidak apa-apa 'kan, Miriallia?"

Yang ditanya mengeritkan kening. "Memangnya aku kenapa, Meyrin? Aku tidak apa-apa kok. Maaf, gara-gara rasa ingin tahuku, satu kelas kena getahnya..." Ia menunduk sedih.

Meyrin tersenyum kemudian menggeleng. "Tidak apa-apa, Miriallia."

Gadis beriris biru itu melirik jam tangannya. "Maaf, tapi aku duluan yah, Meyrin!" Dia pun segera menyambar tasnya dan keluar dari kelas, tidak mempedulikan suara teriakan kecewa teman sekelasnya. Ketika keluar, dia tidak sengaja menabrak seorang murid berjaket hitam dengan logo ORB Internasional High School di dada sebelah kirinya. Sambil berlalu, Miriallia meminta maaf kepada murid yang ia tabrak barusan. Gadis yang memiliki warna rambut sama dengan Meyrin hanya menatap punggung Miriallia dengan bingung, kemudian beralih ke belakang kelas 2-3.

"Ah, Nee-Chan." Sapa Meyrin senang. Ia berlari ke arah pintu. "Ada apa?"

"Sting tidak bisa ikut menjadi wakil sekolah kita untuk lomba 'Teknika Robota'." Ia menyampaikan berita dengan wajah bingung, "bagaimana ini, Meyrin?"

Vino yang sedang mengobrol dengan Auel melirik ke pintu. "Yo, Luna!" Sapanya. "Ada apa? Wajahmu terlihat kusut."

"Vino," Luna menghampiri pria yang baru saja menyapanya, "minggu depan kau sibuk tidak? Aku butuh bantuanmu!"

Auel yang duduk menghadap belakang menyahut. "Pasti mengenai lomba itu 'kan?"

"Ya," Luna menatap Auel, kemudian kembali ke Vino. "Bagaimana, Vino? Bisakah kau menggantikan tempat Sting? Pendaftarannya masih buka hingga hari Jum'at."

"Maaf, Luna," Vino menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, "tapi aku sudah janji untuk menjadi kapten untuk pertandingan persahabatan melawan Earth Academy High School."

"Haaah, bagaimana ini?" Luna menghela nafas kecewa. "Selain dirimu, siapa lagi yah, yang bisa menggantikan Sting?"

"Sudah, kalian mengundurkan diri saja sana. Biar tim kami yang menjadi wakil tunggal dari sekolah kita!" Auel membusungkan dada dengan bangga. Hal ini berbuah sebuah jitakan dari Lunamaria.

"Hei, bagaimana dengan murid baru itu?" Tanya Meyrin. Kepalanya tersembul dari balik punggung kakak perempuannya.

"Hum, Shinn Asuka?" Luna berusaha memastikan orang yang dimaksud oleh Meyrin.

"Ya. Aku dengar dia memiliki hobi membuat robot." Tambah Auel.

"Sungguh?!" Luna menatap tidak percaya murid yang tengah melipat tangannya dibagian atas kursi.

"Nee-Chan, dia 'kan teman sekelasmu..." Meyrin sweatdrop.

Wajah Luna memerah. "Ha, habis, dia tidak banyak bicara! Selain itu, dia sangat dingin kepada murid lainnya. Apalagi kepada para gadis!"

"Mungkin karena kalian menatapnya seperti ingin menelan dia hidup-hidup," ejek Sai yang sedari tadi hanya bertopang dagu dengan sebelah tangan dan mencuri dengar percakapan empat murid ini.

"Sai-Kun! Tidak lucu!" Bentak Luna. Membuat yang lainnya tertawa.

"Kalau kau bagaimana, Sai-Kun? Mau bergabung dengan tim kami?" Meyrin menawarkan posisi tersebut kepada teman sekelasnya yang duduk disamping Auel.

Sai membenarkan kaca matanya yang jatuh, kemudian menggeleng. "Tidak bisa. Minggu depan aku ada janji dengan seseorang."

"Janji dengan siapa?" Goda Auel.

"Pasti dengan tunanganmu, iya kan?" Vino ikut menggoda.

Sai hanya tertawa malu dan menggaruk-garuk hidungnya. "Iya, aku sudah janji kepada Flay untuk mengajaknya pergi ke Archangel Land."

"Heeeee, Archangel Land?!" Yang lain berteriak tidak percaya. Archangel Land dikenal sebagai taman bermain paling lengkap di ORB, bahkan di dunia. Wahananya lengkap dan selalu ada acara menarik di sana. Dan tiket masuknya, tentu saja sangat mahal. Tapi mengingat siapa ayah Flay, apa yang dianggap mahal oleh orang pada umumnya, bagi Flay murah.

"Kau beruntung yah Sai, menjadi tunangan Flay." Vino iri. "Hah, apakah masih ada gadis yang cantik dan kaya raya untukku diluar sana?"

"Jangan berlebihan," Luna menatap Vino dengan kesal. "Baiklah kalau begitu, aku akan mencoba berbicara dengan Shinn."

"Berjuang, Nee-Chan!" Meyrin menyemangati gadis yang lebih tua setahun darinya.

Gadis itu hanya melambaikan tangan sembari berjalan keluar dari ruang kelas.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Ruang kelas 3-1 sudah sepi, hanya terlihat beberapa murid yang masih mengobrol atau membaca buku di dalam kelas. Maklum, sekarang sudah tahun ajaran baru, artinya sekarang waktunya melakukan regenerasi untuk semua klub yang ada di sekolah, hingga OSIS. Murid 3-1 terkenal sebagai 'gudang'nya murid yang aktif dalam berbagai macam klub. Hanya Lunamaria Hawke yang mengambil satu klub, sedangkan teman-temannya yang lain, paling sedikit dua. Terkadang Luna bingung, bagaimana cara mereka membagi waktu antara kegiatan klub yang satu dengan yang lain, dan juga menyisihkan waktu untuk belajar. Dia tidak bisa melakukan itu, dan tidak mau mencoba-coba.

"Ah, Stellar." Ia bergumam senang ketika melihat seorang gadis berambut pirang tengah duduk sambil membaca buku dan memakai earphone. Luna bergegas menghampirinya, kemudian duduk dibangku depan. Dan melambai-lambaikan tangan dihadapan wajah Stellar.

Stellar yang telah menyadari kehadiran Luna melepaskan earphone dan menatap gadis bermata biru tersebut. "Apa?"

"Hei, apa kau lihat Shinn-Kun?"

Alis Stellar naik. "Shinn? Anak baru itu? Paling dia di atap gedung sekolah, atau mungkin sudah pulang. Entahlah, mana aku tahu."

Luna mengangguk pelan. "Terima kasih, Stellar. Ah ya, apa yang terjadi dengan Sting? Kenapa Sting tidak masuk sekolah belakangan ini?"

Wajah datar Stellar tiba-tiba berubah menjadi keras dan kaku. Mata ungunya membesar, dan mulutnya terbuka lebar. Tidak lama kemudian reaksi Stellar berubah menjadi dingin, lebih dingin dari biasanya. "Itu bukan urusanmu," Stellar berdiri, mengambil tasnya dan pergi.

Lunamaria menatap kepergian Stellar dengan wajah bingung. Apa dia telah mengatakan sesuatu yang salah? Padahal dia kan hanya ingin tahu keadaan kakak laki-lakinya. Berpikir sendiri tidak akan memberikan jawaban, Luna memutuskan untuk membuang jauh-jauh pikiran mengenai sikap Stellar yang aneh, dan memutuskan untuk pergi mencari Shinn Asuka, si murid baru.

Tempat pertama yang didatangi Luna adalah atap sekolah. Dia berpikir bahwa tempat ini rasanya yang paling mungkin didatangi oleh murid itu jika dia belum pulang. Langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu yang bercat abu-abu itu. Kenapa dia tiba-tiba menjadi takut? Tangannya gemetaran, wajahnya menjadi pucat dan dipenuhi peluh. Entah sudah berapa kali ia menelan ludah.

"Demi menjadi juara satu di lomba Teknika Robota!" teriak Luna berapi-api. Dibukanya intu tersebut dengan kencang. Kosong, tidak ada siapa-siapa di sana. Ia melangkah ke depan, kemudian menoleh ke belakang. Ada tangga tidak jauh dari pintu. Mungkin dia ada di atas? Tanya Luna dalam hati. Ia pun naik. Dan benar, seorang murid pria dengan seragam berantakan tengah tertidur.

Luna terhenyak. Baru kali ini dia melihat Shinn dalam jarak sedekat ini. Shinn duduk dibangku paling belakang di pojok kiri ruang kelas, sementara Luna duduk tepat di depan meja guru. Dia tidak punya kesempatan untuk mencuri pandang ke arah murid yang baru masuk seminggu silam, ketika tahun ajaran baru dimulai. Jika diperhatikan baik-baik, dia sangat tampan. Dagunya yang lancip, hidung mancung, serta bibir tipis miliknya sungguh menggoda. Perasaan aneh menggelitik hati Lunamaria, tubuhnya tiba-tiba panas, dan ini bukan panas yang disebabkan oleh matahari.

Merasa ada yang mengawasinya, Shinn membuka matanya perlahan. "Apa?" Suara baritonnya memecah keheningan.

Luna nyaris terjatuh jika saja tangannya tidak mencengkram pegangan tanggan sekuat-kuatnya. "Eh, um, kau Shinn Asuka, 'kan?"

"Kalau iya, memangnya kenapa?" Balasnya ketus.

"Apa kau mau bergabung dengan timku untuk lomba Teknika Robota?"

"Menggantikan Sting?" Shinn balik bertanya. Dia melihat Luna dari ekor matanya.

"Kau, kau tahu darimana?!" Luna terkejut. Dia kira Shinn tidak mengetahui hal ini.

"Kau pikir aku ini tuli? Kau sering membicarakan hal itu di kelas ketika jam istirahat."

"Ah." Luna bergumam. Ia terkekeh pelan. Benar, semenjak Sting tidak masuk sekolah, dia selalu panik mengenai lomba tersebut. "Iya, benar. Nah, bagaimana, Shinn? Apa kau bersedia?"

Shinn berdiri dengan menghentakan kedua kakinya. Ia menatap Luna dengan tatapan merendahkan, ditambah dengan posisinya yang sekarang tengah berdiri, membuat Shinn terlihat lebih superior dari Luna. "Aku bukan pengganti siapa pun! Camkan itu!"

"Tap, tapi, Shinn..."

Belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya, Shinn sudah loncat ke bawah dan mendarat dengan indah di atas kedua kakinya sendiri. Dia tidak mengerang kesakitan atau menunjukan reaksi yang mengindikasikan kalau dia baru saja loncat dari atas, wajahnya terlihat datar. Malah, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celana warna putih miliknya ketika ia loncat dari atas. Mata merah itu menatap ke atas, dengan spontan Luna merapatkan rok sekolahnya yang pendek.

"Kalau kau ingin mengajakku bergabung, seharusnya kau mengajakku dari awal. Bukannya menjadikan aku pengganti Sting!" Gerutunya sambil berjalan. "Dan, tidak perlu menutupi rokmu segala. Aku tidak berminat mengintip celana dalammu yang bergambar kelinci itu!"

Warna merah menjalar hingga ke telinga Luna, hawa panas seperti ingin meledak dari ubun-ubun kepalanya. "Shinn Asuka, kau menyebalkan!"

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Meyrin menyelusuri lorong sekolah sambil membawa sebuah kotak berwarna cokelat yang dipenuhi oleh tumpukan kertas. Itu adalah kertas yang harus diperiksa oleh sang ketua OSIS, Rey Za Burrel, pria pirang misterius yang kalem dan jenius, dan memiliki banyak penggemar. Banyak murid perempuan yang berlomba-lomba menjadi anggota OSIS hanya untuk melihat Rey dari jarak dekat. Terkadang hal ini menyebalkan, sebab mereka mengganggu. Rey hanya tersenyum setiap kali para fangirl itu berteriak dan mengejar-ngejarnya. Meyrin tidak habis pikir, bagaimana bisa pria itu bertahan dengan semuanya dan tetap terlihat ramah di hadapan para gadis?

Bunyi pintu digeser menggema, membuat dua pria penghuni ruang OSIS terkejut dan melihat ke arah suara berasal. Meyrin sempat mundur selangkah ketika melihat sosok murid dengan seragam berantakan itu tengah mencengkram kerah seragam Rey. Dengan cepat pria itu melepaskan cengkramannya. "Kita lanjutkan nanti, Rey." Katanya pelan. Ketika ia berdiri dihadapan Meyrin, gadis itu langsung menunduk ketakutan karena mata merahnya seolah ingin menembus hingga ke dasar hatinya.

"Kakak-adik, sama saja," ucapnya setengah mengejek sebelum pergi.

"Eh, kakak-adik?" Meyrin menatap punggung pria itu hingga dia menghilang ditikungan lorong. Apa dia Shinn Asuka? Apa Nee-Chan sudah berbicara dengannya? Meyrin bertanya dalam hati.

"Maaf karena selalu menyusahkanmu, Meyrin." Rey tersenyum sambil merapihkan seragamnya. "Apa itu data mengenai semua klub yang ada di sekolah kita?"

Suara Rey membuat perhatian Meyrin kembali mengarah ke pria bermata abu-abu tersebut. "Ah, um, iya. Ini datanya, Senpai."

"Terima kasih, tolong taruh di meja," perintah Rey tanpa menatap wajah Meyrin.

Meyrin melakukan perintah Rey, dan menarik bangku lalu duduk di sana. Ruangan sunyi beberapa saat, hanya terdengar suara kipas. "A, anu, Senpai..."

"Ya?" Rey masih menatap ke lapangan.

"Apa Senpai kenal dengan Shinn Asuka?"

Mendengar nama Shinn, Rey segera memutar tubuhnya. "Ya, aku kenal dia. Ada apa?"

"Ummm, mungkin, mungkin ini terdengar tiba-tiba, tapi, anu..." Meyrin menggaruk-garuk pipinya malu. "Apakah, Senpai bisa membujuk dia untuk menjadi anggota tim sekolah kita untuk lomba minggu depan?"

"Teknika Robota, 'kan?"

Meyrin mengangguk kikuk.

"Maaf, tapi aku tidak bisa melakukannya." Rey menunjukan wajah sedih. "Dia keras kepala, dan tidak mudah untuk dibujuk."

"Ah, begitu..." Meyrin terdegar kecewa. "Tidak apa-apa, Senpai. Maaf, aku telah meminta hal yang aneh-aneh kepadamu."

"Bagaimana jika aku saja yang menggantikan Sting?" Rey menawarkan diri.

"EH? SENPAI?!" Teriak Meyrin tidak sadar. Dengan cepat ia meminta maaf. "Tap, tapi, apa tidak apa-apa, Senpai? Maksudku..."

"Lombanya hanya dua hari kan? Sabtu dan minggu. Tenang, aku pergi ke PLANT malam harinya. Lagipula aku bawa kendaraan sendiri, jadi bisa pergi kapan pun yang aku mau." Rey tersenyum.

"Tapi, apa Senpai tidak akan kelelahan? Besok paginya 'kan Senpai ada lomba..."

"Tidak apa-apa. Percayalah kepadaku, Meyrin." Suara Rey terdengar mantap.

Mata hitam itu berbinar-binar. Meyrin membungkukkan badan berkali-kali sambil mengucapkan terima kasih – yang sangat berlebihan menurut Rey. Pria itu hanya bisa sweatdrop sambil berusaha menghentikan aksi berterima kasih Meyrin yang sudah kelewatan batas. "Siapa saja anggota tim sekolah kita? Kalau tidak salah, ada dua tim bukan, yang akan mewakili sekolah ini?"

Meyrin mengangguk. "Tim pertama adalah tim yang diketuai oleh Heine Senpai, Miguel Senpai dan Auel-Kun. Dan tim kedua, Luna Nee-Chan, aku dan Sting..."

"Sekarang diganti dengan Rey Za Burrel," Rey meralat dengan senyum indah mengembang di bibirnya. Jika ada penggemarnya yang melihat, mereka pasti akan langsung jatuh pingsan. Meyrin hanya cengar-cengir tidak jelas.

"Anu, Senpai, apa hari ini tidak ada rapat OSIS?"

Rey menggeleng. "Jika ada, aku pasti sudah memintamu untuk mengabarkan kepada para anggota lainnya dari jauh hari, bukan? Dan sekarang, kita tidak mungkin bercakap-cakap santai seperti ini."

Meyrin mengangguk kikuk. Ketika dia ingin melanjutkan pertanyaan, sosok seorang murid berambut cokelat mengintip dari balik pintu. "Meyrin-Chan, apa kau melihat Miriallia?"

"Ah, Tolle-Kun," sapa Meyrin senang. Sedangkan Rey hanya mengangguk sekali.

"Dia sudah pergi setelah bel tanda pulang berdering." Jawabnya tanpa beranjak dari tempat duduknya. "Ada apa?"

Tolle menghela nafas kecewa. "Tidak apa-apa," ia menggenggam erat kamera yang ia bawa. "Terima kasih, Meyrin-Chan. Maaf sudah menganggu. Permisi, Senpai." Tolle pamit.

"Dia pria yang gigih." Puji Rey setelah hanya mereka berdua yang tersisa.

"Eh?"

"Miriallia tidak pernah memberikan tanda-tanda untuk membalas cintanya, tetapi Tolle masih belum menyerah."

"Heeee, Senpai!" Meyrin menatap Rey tidak percaya. "Senpai mengikuti perkembagan gosip juga yah?"

Rey tertawa pelan. "Apa kau lupa? Setelah selesai rapat, kalian selalu bergosip. Mau tidak mau aku jadi mengetahui gosip apa yang tengah santer dibicarakan oleh murid yang lain. Ada untungnya juga menjadi ketua OSIS, kau tidak perlu bersusah payah mencari gosip, gosip itu yang akan mendatangimu," dia mengangkat bahu.

"Ya, tapi aku jadi kasihan dengan Tolle-Kun. Jika Miriallia memang tidak menyukainya, seharusnya dia bilang, 'kan?"

"Setiap orang punya alasannya sendiri, Meyrin."

"Ya, kau benar, Senpai... Ah!" Lawan bicara Rey terpekik nyaring saat melihat jam dinding diruangan ini. "Maaf, tapi aku harus buru-buru pulang. Sekarang giliranku memasak. Permisi, Senpai. dan, terima kasih sekali lagi karena telah mau bergabung dengan timku," Meyrin membungkukkan badan sekali lagi sebelum keluar. Aku harus cepat-cepat memberi tahu Nee-Chan! Seru Meyrin dengan girang.

Rey melepaskan kepergian Meyrin dengan sebuah anggukan serta senyum khasnya.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Meyrin berlari dengan tergesa-gesa sembari menenteng kantung plastik yang penuh dengan bahan makanan, hujan mulai turun, padahal menurut ramalan cuaca hari ini tidak akan turun hujan. Nampaknya Meyrin harus mulai berhenti mempercayai ramalan cuaca di televisi mulai saat ini. Untuk sampai lebih cepat, gadis kelahiran 12 Juni itu mengambil jalan pintas melalui sebuah taman, dan melewati sebuah pemakaman. Sebetulnya Meyrin paling takut, tapi mau bagaimana lagi. Hujan mulai deras, dan dia tidak punya waktu untuk menunggunya reda. Tas warna cokelat miliknya ia jadikan payung dadakan.

Ketika ia melintasi taman, matanya menangkap sosok seorang gadis tengah memeluk seorang pria di bawah pohon. Meyrin berhenti sejenak karena ia merasa kenal dengan si gadis. "AH! Miriallia!" Ia memanggil nama perempuan itu, tetapi suaranya tidak mampu mengalahkan suara hujan yang semakin deras. Ia pun memperhatikan sosok pria yang tengah dipeluk Miriallia, seorang pria berkulit cokelat. Baru kali ini Meyrin melihat pria itu, dan dia yakin, dia bukan murid di sekolahnya. Bahkan nampaknya pria itu lebih tua dari mereka. Apakah pria itu kekasih Miriallia? Tapi setiap kali ditanya mengenai kekasih, gadis itu selalu mengatakan bahwa dia belum punya pacar. Lantas, siapa pria itu? Teman, sahabat, atau keluarga jauh? Meyrin masih penasaran sehingga dia masih berdiri di sana, siapa tahu dia akan bisa mendapat jawaban, namun angin berhembus kencang, membuat dia menggigil dan menyerah untuk memperhatikan dua orang itu lebih lama lagi.

Dan sekarang Meyrin harus melewati sebuah pemakaman tua. Ketika dia meilhat pagar pemakaman itu dari ujung jalan, detak jantungnya semakin berpacu lebih cepat, padahal dengan berlari saja sudah cukup membuat jantungnya berdetak cepat, dan ini ditambah dengan rasa takut, Meyrin berharap jantungnya masih akan kuat menahan semua ini. Secepat kilat dia berlari menelusuri trotoar tanpa menoleh ke samping, tetapi dia mengerem mendadak saat melihat sebuah motor warna merah diparkir di depan pintu masuk ke pemakaman. Dia pernah melihat motor ini di sekolahnya... Ya, ini motor Shinn Asuka! Apa yang dilakukan pria itu di pemakaman yang mengerikan seperti ini? Dan ditengah hujan deras pula?! Meyrin memberanikan diri untuk menoleh ke arah pemakaman, dan melihat sosok berambut hitam tengah berdiri di bagian paling belakang pemakaman. Apa itu makam kenalan dia? Jadi Shinn punya kenalan yang pernah tinggal di ORB? Petir menyambar, membuat Meyrin menjerit kaget. Ia sempat menoleh ke arah Shinn, dan pria itu menatapnya dengan mata nyalang. Takut akan terjadi sesuatu kepadanya, dia berlari secepat yang dia bisa.

x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x

Bunyi pisau melantun indah dari dapur, bersama dengan suara air mendidih serta suara orang menggoreng. Seorang wanita berambut merah panjang bergelombang dibagian bawahnya tengah memotong sebuah wortel sambil bersenandung.

"Heee, kau senang sekali!" Tegur seorang wanita yang berambut sama seperti wanita pertama, hanya saja rambutnya pendek. "Ada apa, Meyrin?"

"Rey Senpai mau menggantikan Sting untuk perlombaan minggu depan!" Teriaknya bahagia. "Kita pasti bisa menang, Nee-Chan!"

"Sungguh?!" Luna menatap adiknya tidak percaya.

"Iya. Tadi aku sudah berbicara dengannya."

Mata Luna berbinar-binar, dengan cepat ia meraih lengan adiknya, mengajak dia untuk ikut loncat-loncat kegirangan. Keduanya berpelukan cukup lama hingga tidak menyadari bahwa makan malam mereka nyaris gosong. Dengan panik, keduanya menyiapkan makan malam mereka.

"Oh ya, Nee-Chan..." Meyrin membuka percakapan sambil menyumpit nasi ke dalam mulutnya. "Apa Nee-Chan pernah mendapat tugas untuk merangkum sejarah mengenai para Penyihir?"

Luna mengambil sepotong telur dadar gulung dari atas piring. "Ah, tugas dari Gladys Sensei yah? Sudah. Memangnya kenapa?"

"Boleh aku lihat?" Meyrin menjulurkan lidahnya. "Aku tidak punya waktu untuk merangkum satu bab."

"Terserah kau saja. Tapi, apa tidak apa-apa? Ini Gladys Sensei loh..."

Meyrin menggelembungkan pipi. "Nee-Chan benar juga. Aduh, bagaimana ini?! Tugas Gladys Sensei aneh-aneh! Memangnya Penyihir itu benar ada apa?!"

Luna meletakkan sumpitnya, menatap adiknya dengan kaget. "Kamu tidak percaya dengan para penyihir?"

"Tidak. Memangnya Nee-Chan percaya?"

"Tentu saja. Mereka itu nyata. Hanya saja memang bukti mengenai mereka masih sangat terbatas."

"Tapi tidak semua sejarah itu benar adanya, 'kan? Bagaimana jika itu hanya bualan saja?!"

"Tidak semua yang ditulis dalam sejarah adalah kebohongan atau manipulasi para penguasa." Luna tersenyum penuh keyakinan. "Dan sejarah mengenai para Penyihir ini, nyata. Mereka pernah ada, dulu, dulu sekali."

Meyrin menghembuskan nafas pasrah. "Nee-Chan tahu, terkadang aku rasa Nee-Chan harus mengganti hobi dan cita-cita Nee-Chan. Aku rasa Nee-Chan lebih cocok jadi seorang sejarawan atau seorang arkeolog."

Lunamaria hanya tertawa mendengar komentar adiknya.

Tidak semua sejarah telah dicampur aduk,

masih ada yang bersih, tidak tersentuh oleh kepentingan manusia...

Sejarah yang sesungguhnya...

Sejarah yang ditulis berdasarkan apa yang benar-benar terjadi,

tanpa tambahan atau pengurangan...


Loh, ini bukan fic AsuCaga? Heheheh, tenang, fokus fic ini memang tentang mereka. Tapi mereka munculny masih agak lama nih, jadi harap bersabar yah untuk para penggemar AsuCaga :p. This is my very first fic dengan setting fantasy *walau untuk karya original saia hampir 70% bertema fantasy, tapi beneran, baru kali ini saia bikin fic dengan setting fantasy*. What do you think?

Dan yey, nampakny ini adalah fic pertama dengan rated M di fandom ini *seneng gak jelas*. Dan ini adalah fic ke-13 saia. Yeah, i love 13!

BTW, judulny itu bener gak sih XD *gaya-gayaan segala pake bahasa inggris, lol*?