Aku tak pernah mempersalahkan semua yang ada di dalam dirimu sebelumnya. Kau bersikap dingin padaku, itu sudah biasa. Kau mengacuhkanku, itu juga sudah biasa. Satu tahun lebih hidup denganmu membuatku paham siapa dirimu sebenarnya. Walaupun terkadang... aku menyadari ketidakmampuanku memahami dirimu yang selalu terlihat kesepian walau aku berada di sampingmu. Namun sekarang, detik ini juga... aku sangat paham alasan di balik kesepianmu. Kau yang selalu memaksakan senyum tipis kepadaku, kau yang selalu tidur di sampingku tiap malam, kau yang pernah mencium dan menyentuhku, ternyata memiliki cinta di masa lalu yang lebih kuat dari rasa cintamu padaku.

Kau mengusap rambutnya dengan lembut saat memeluknya. Senyum tulus tak pernah lepas dari bibirmu saat kau menatap matanya, bahkan kau mengeluarkan tawa renyah saat dia memberi sebuah kecupan kecil di pipi kananmu. Astaga, aku bahkan tak pernah melihatmu dengan senyum itu sebelumnya. Rasa iri segera menggerogotiku ketika menyadari bahwa bukanlah aku yang membuatmu seperti itu. Untuk pertama kalinya sejak aku menjadi pasangan hidupmu, aku tak pernah merasakan rasa sesak seperti ini di dalam hatiku. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa salah telah memasuki kehidupanmu.

"Apa yang kau lakukan di situ, Sakura?"

Entah mengapa aku merasa ada yang berbeda dari nada bicaramu, terlepas dari kenyataan bahwa selama ini kau selalu berucap dengan nada datar. "Ah, maaf," ucapku gugup. Aku tahu kau terkejut dengan kedatanganku, apalagi di saat seperti ini. "Aku tidak bisa menghubungi ponselmu, jadi aku datang kemari."

Kau berjalan mendekatiku. Raut wajah gugupmu pun juga tak dapat kau tutupi.

"Itachi-nisan berpesan kepadaku agar... kau datang menemuinya di rumah Okaa-san." Mati-matian aku menahan tangisku agar suaraku tidak terdengar aneh. Keberadaanmu yang semakin dekat denganku membuat hatiku semakin kalut.

Mata kelammu yang terbiasa menyiratkan keangkuhan, entah mengapa kini terlihat resah. "Aku bisa menjelaskan semua yang kau lihat," katamu merubah arah pembicaraan.

"Tak apa." Tuhan, mengapa aku malah tersenyum seperti sekarang? "Tak perlu membuat dirimu sendiri susah karena aku, Sasuke."

Bibirmu terbuka, seolah-olah kau ingin mengucapkan sesatu. Aku menunggunya, tapi hanya keheningan yang kau hasilkan karena kau tak mampu mengucap satu kata pun. Seberat itukah mengatakan sesuatu kepadaku, suamiku?

"Aku pamit dulu." Inilah jalan terbaik yang kuambil saat ini. Berada di dekatmu lebih lama malah akan membuat pertahananku pecah. Kulangkahkan kakiku tanpa menolehmu dan wanita yang telah menjadi sandaran hatimu sejak dulu. Aku tahu kau masih di sana, melihat kepergianku tanpa mengeluarkan sepatah kata. Jika aku ingin berharap, aku akan menginginkanmu berbuat sesuatu untuk menghentikanku. Namun aku sadar, Sasuke... hatimu tak pernah untukku.

.

.

.

UNATTAINABLE

Sasuke-Sakura's fic by Mrs. Bastian

Naruto © Kishimoto Mashashi

.

.

.

Beberapa tatapan heran yang mengarah padanya, sama sekali tak digubris oleh Sakura. Seorang wanita yang terjatuh karena ia tabrak pun tidak ia toleh ke belakang. Ia hanya ingin pergi secepatnya dari sana, dan menjauh dari suaminya. Suara langkah sepatunya semakin terdengar cepat ketika ia berhasil melewati pintu utama gedung itu, dan tanpa membuang banyak waktu lagi, ia berlari secepat mungkin menuju mobilnya dengan tak mempedulikan rasa sakit yang ia rasakan di kedua tumitnya ketika ia berlari.

Suara dentuman keras pintu mobil yang menutup, mengiringi jatuhnya tetes demi tetes air mata yang sedari tadi Sakura tahan. Suasana mobil yang semula hening, kini mulai terdengar isakan kecil yang teredam. Walaupun Sakura menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah, suara tangis pilunya tetap tidak bisa ditutupi. Segala bentuk rasa kecewa, sakit hati, putus asa, dan marah menguasai dirinya hingga membuatnya lepas kendali. Sakura tak lagi menutupi wajahnya, wanita itu kini mengeluarkan tangisnya begitu saja. Air matanya mengalir semakin deras, dan nafasnya terasa sangat berat.

Sesak.

Ia juga merasakan hal itu jauh di lubuk hatinya yang paling dalam.

.

"Selamat datang, Nyonya."

Kalimat yang keluar dari salah seorang pembantu itu membuat Sakura menoleh. Ia baru saja memasuki pintu rumahnya. Dan seperti biasa, pelayannya yang bernama Shizune itu selalu tersenyum seraya mengucap salam kepadanya.

"Anda baik-baik saja?" tanya Shizune. Wanita berambut gelap itu tak lagi menampakkan senyumnya, melainkan sebuah tatapan terkejut.

Sakura memalingkan wajahnya sejenak untuk menghapus sisa air mata di pipinya. "Tak apa," ucapnya singkat seraya melanjutkan langkah menuju kamarnya.

.

Sasuke memukul roda kemudi seraya mengumpat pelan seorang pengendara motor yang memotong jalannya. Emosi pria itu kini semakin bertambah. Tanpa banyak bicara lagi, ia melajukan mobilnya menembus jalanan Konoha yang tidak terlalu padat siang itu.

Mata hitam Sasuke yang terpaku di jalanan di depannya, sama sekali tidak membuatnya kesulitan untuk mengeluarkan ponsel di saku celananya, dan menyentuh titi-titik berbeda di benda berlayar datar itu. Pria itu segera mengarahkan ponselnya ke telinga ketika mendengar suara seorang wanita.

"Kediaman Uchiha Sasuke, ada yang bisa saya bantu?"

"Apa Sakura di rumah?" tanya Sasuke tanpa banyak berbasa-basi.

"Ah... benar, Tuan. Nyonya baru saja sampai. Apa Tuan ingin berbicara dengan Nyo−" Sasuke memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Mengetahui dimana Sakura berada sekarang sudah cukup baginya.

Dalam diam, Sasuke bergulat dengan perasaannya. Ia marah, entah karena dengannya sendiri, atau dengan Sakura. Seharusnya ia tidak perlu merasakan ini. Jika dibandingkan dengan wanita yang ia cintai, posisi Sakura terletak jauh di bawah lubuk hatinya. Namun hingga saat ini Sasuke tak dapat menemukan jawabannya, ia bahkan tidak tahu apa yang membuatnya berinisiatif mengejar istrinya setelah terdiam cukup lama.

.

Langkah kaki Sasuke menggema saat ia melewati ruang tengah rumah mewahnya. Beberapa salam ramah dari pelayan yang melihatnya berlari sama sekali tidak ia hiraukan. Pria itu hanya ingin bertemu istrinya secepatnya. Dan tanpa menunggu banyak waktu lagi, pria itu segera menaiki tangga dan menuju kamarnya.

Sakura ada di sana. Wanita itu terlihat sibuk memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam sebuah koper besar, hingga sama sekali tak menyadari ketika Sasuke melangkah masuk mendekatinya.

"Mau ke mana?" tanya Sasuke yang sontak membuat Sakura menghentikan gerakannya dan menatap pria itu.

Tak ada satu katapun yang keluar dari bibir Sakura. Wanita itu hanya bisa menatap suaminya yang kini semakin mendekatinya.

"Aku−" Sakura segera membalikkan badannya untuk mengambil sisa pakaian yang ada di dalam lemari ketika merasakan air matanya kembali mendesak keluar. "Aku ingin pulang ke rumah."

"Ini rumahmu."

Kalimat itu kembali menghentikan Sakura. Wanita itu kembali mengeluarkan air matanya tanpa isakan yang terdengar oleh siapapun. Kedua tangannya meremas erat pakaian yang ia bawa untuk melampiaskan rasa sakit hatinya. Jika boleh jujur, seharusnya saat ini Sakura merasa bahagia karena suaminya lebih memilih dirinya. Namun tetap saja hal itu tak dapat menyembuhkan luka yang terlanjur menggores hatinya.

Hanya keheningan yang tercipta di kamar pasangan suami istri itu. Sakura masih diam dalam posisinya, dan Sasuke tengah bergulat dengan pikirannya sendiri. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengapa rangkaian kata yang tadi ia siapkan sirna begitu saja? Tidak. Sebenarnya tidak ada rangkaian kata pasti yang ia persiapkan. Ia hanya ingin mengatakan kepada wanita yang membelakanginya saat ini untuk tetap berada di dekatnya.

"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sakura," ucap Sasuke kemudian. "Semuanya yang kau lihat."

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak menyusahkan dirimu sendiri, Sasuke?" Sakura mengulangi kalimatnya saat Sasuke mengatakan hal yang sama seperti beeberapa saat yang lalu. "Tanpa kau menjelaskannya pun aku sudah paham."

"Kau sama sekali tidak memahaminya."

"Aku paham!" teriak Sakura seraya membalikkan badannya menghadap Sasuke. "Aku sangat paham, Sasuke!"

Sasuke terpaku di tempatnya. Ia terkejut bukan main. Setahun lebih hidup bersama Sakura, ia tak pernah melihat emosi istrinya lepas kendali seperti saat ini. Tubuhnya seolah kaku saat melihat Sakura menumpahkan air mata di depannya.

"Aku... aku paham bahwa seharusnya aku bukan pendamping yang baik untukmu. Aku paham bahwa seharusnya aku tak usah masuk di dalam kehidupanmu. Aku juga paham bahwa kau tak akan pernah bisa mencintaiku" Sakura menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah untuk meredam tangisnya. "Aku... aku memahaminya hingga membuatku sakit, Sasuke."

Isakan Sakura semakin terdengar jelas. Cukup dengan didengar pun, orang lain akan mudah untuk ikut merasakan betapa sakitnya hati wanita bermata hijau itu. Begitu pula dengan Sasuke. Pria itu semakin tidak tahu harus berbuat apa. Lidahnya terasa sangat kelu, dan mata hitamnya tetap tak mau menuruti perintah otaknya untuk tidak memandang Sakura. Perlahan namun pasti, Sasuke menghampiri Sakura dan memeluk wanita itu dengan perlahan.

"Jangan menangis," ucap Sasuke pada akhirnya. Singkat, namun semakin membuat tangis wanita yang berada di dalam dekapannya lebih keras.

"Ke−kenapa?" tanya Sakura tersengal-sengal karena kesulitan mengatur nafasnya sendiri. "Kenapa tak dari awal saja kau mengatakannya? Kenapa kau menyetujui permintaan orang tua kita?"

Pelukan Sasuke mengerat seiring rasa bersalah yang ia rasakan semakin besar. Aroma khas yang menguar dari tubuh Sakura semakin membuat Sasuke tak sanggup melepas wanita itu.

"Kenapa harus membuatku merasakan rasa sakit ini, Sasuke?"

"Maaf."

Satu kata, namun terasa sebagai jawaban pasti bagi Sakura. Wanita itu mencengkeram erat jas hitam suaminya saat dirasa kekecewaan mendera hatinya tiada ampun. Bukan jawaban itu yang Sakura inginkan sekarang. Isakannya kini teredam di dada suaminya. Ia sama sekali tak ingin melepas pelukan ini, pelukan dari pria yang sangat ia cintai.

"Aku akan pergi," ucap Sakura. Isakannya kini sudah tak sekeras tadi. "Apa yang akan terjadi ke depan. Semuanya... aku tak mau merasakan penyesalan lagi seperti ini."

Perlahan, Sakura menjauhkan tubuhnya. Tanpa memandang suaminya, wanita itu meraih koper yang tadi sudah ia siapkan sebelumnya.

"Aku janji akan menyelesaikan ini semua, Sakura."

Langkah Sakura terhenti tepat di depan pintu kamar saat Sasuke mengucapkan kalimat itu. Wanita itu menoleh seraya tersenyum simpul. "Tak perlu. Biar aku yang menyelesaikannya, karena akulah orang yang memulainya."

Dan perginya Sakura dari kamar itu, adalah awal perpisahan dari mereka.

.