Hajimemashite, Minna…

Watashiwa Ruki Yagami/ Hepta Py

For My Beloved Cyn, Cim-Jee/ Ci-lee

Disclaimer : Taito Kubo


Warning : OOC, AU, Typo(s), Italic (Ichigo)

Pairing : IchiRuki

Rate : T


"Dia adalah...,"

"Ya?" ucapku tak sabar.

Rukia, wajahmu sama seperti waktu itu. Saat dimana hanya bayang Byakuya yang tepantul di kedua kornea matamu.

Senyum di bibirmu itu—juga sama seperti waktu itu. Membuat duniaku berhenti dangan tindak menakjubkanmu. Apa mungkin kedua mataku sudah termanipulasi oleh perasaanku? Ini tak wajar. Caraku melihatmu tak wajar.

Senyum yang mengisyaratkan jagad semesta untuk tercenung menatapmu. Kau seperti malaikat. Malaikat kecilku yang dulu. Dan baru kali pertama ini aku kembali melihatnya.

Namun sayang, bukan untukku. Melainkan untuk orang yang kau sebut pelukis idolamu—beruntungnya orang itu. Bisa memiliki senyumanmu.

Kau menjulurkan wajahmu padaku yang masih mendamparkan diri pada kursi kayu di depan lukisanmu—lukisan untuk pelukis idolamu.

Ia tersenyum riang.

Mulut kecilnya membuka perlahan, mengisyaratkan susunan alfabet yang membuat diri ini semakin penasaran.

"R-a-h-a-s-i-a."

Aku kecewa. Kau tahu? Di dalam lubuk hatiku—di dalam pusat kehidupanku—keduanya bergemuruh. Seolah memerintahkan kedua tangan ini untuk merengkuh wajahmu, memaksa bibir ini untuk mengintrogasimu.

Siapa gerangan orang yang berhasil mencuri senyuman itu dariku?

Perasaan memonopoli ini. Aku membencinya.

"Aku tidak bisa mengatakannya padamu, Mr. Labu. Karena dia istimewa."

Ini tak adil. Kau menyembunyikan kenyataan, bahwa nyatanya sebelah hatimu sudah termiliki oleh pelukis tak jelas itu. Aku bisa menebaknya—bukankah senyum tulus itu tak sembarang orang bisa melihatnya?

"Oh, begitu. Kau tidak ingin memberitahunya padaku?" aku masih jua bersikukuh.

Gadis Kuchiki itu meraih tas miliknya kemudian beranjak menuju pintu.

"Yang boleh kau tahu hanya bagaimana aku sangat memujanya. Suatu saat nanti, saat aku bertemu dengannya, aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku."

Aku terhenyuh. Sampai seperti itukah?

"Kenapa?" aku tak rela menanyakannya, nada bicaraku melambat tanpa disadari olehnya.

Rukia sekali lagi tersenyum. Begitu mudahnya kau mengumbar senyum untuk seseorang yang belum kau temui? Kau berlebihan.

"Karena dia menyelamatkan Nii-sama."

"Menyelamatkan... Byakuya? Kakakmu? Bagaimana bisa?"

Mungkin masa yang kulewatkan untuk meninggalkan Jepang, membuatku buta akan masa lalu sahabatku—Kuchiki Byakuya—10 tahun bukanlah waktu yang singkat.

"Ah, Sudahlah! Ayo pulang! Aku sangat lelah."

Aku termenung. Kusanggah kedua siku milikku di atas paha. Kutatap lantai yang kini nampak menertawakan wajah memalukanku. Perasaan apa ini?

Kulihat punggung Rukia yang kini menghilang di balik pintu. Meninggalkanku. Tunggu, aku menyadari satu hal penting.

Aku tahu sekarang. Ekspresi Rukia saat ini sama seperti ekspresiku saat memuja bunga matahari pemberiannya. Perasaan yang dirasakan Rukia pada pelukis itu serupa dengan perasaanku yang dulu kucurahkan hanya untuknya.

Bukan cinta, namun perasaan yang melebihi itu. Sesuatu yang belum kutemukan apa istilahnya.

Oh, aku ingat. Memuja. Perasaan kuat melebihi cinta dan berbeda dengan cinta.

Apa pantas aku bersedih? Hal yang kupuja telah memuja hal lain. Dan hal itu bukanlah aku.

Sedangkan diri ini ada tidak untuk mencintai wanita sepertimu. Aku tidak akan lagi merebut seseorang yang berarti bagi Byakuya. Lelaki sepertiku, tak pantas memiliki perasaan terkutuk ini.

"Seolah bercermin. Membuatku teringat akan kisah kita, Nel. Ah... benar. Neliel Tu Odelschwanck. Wanita yang dulu kucintai."


KELAMBU ASA

Hepta Py

Chapter IV


Tangkai panjang yang menopang penuh bunga fajar itu terangguk-angguk diterpa angin malam. Mengajak Rukia menuju dunia maya yang menciptakan hayalan semu di balik kedua pupil matanya.

Gadis itu melamun.

"Aaah... kenapa Labu itu lama sekali? Ini sudah malam," gadis dengan terusan azure tersebut menopang dagu seraya menatap langit malam.

"Pukul sebelas malam," ia menebak posisi jarum jam hanya untuknya. "Apa yang sedang dilakukan pria itu sekarang?" Rukia bangkit dari tempatnya menumpu tubuh.

Kedua kakinya bergantian membentuk pola berjalan yang lambat. Sebelah tangannya meraih bunga matahari yang menjulang hampir menyamai tinggi tubuhnya. Memetiknya.

"Apa Labu itu akan marah jika aku memetik satu untuk diriku sendiri?" ujar Rukia seraya memainkan tangkai yang dipetiknya—memutar-mutarnya.

Rukia kembali mengingat-ingat gelagat aneh paman Labu-nya. Sepulang dari acara mereka mengunjungi galeri di hari itu, Rukia merasa Ichigo berubah. Pria itu jauh lebih pendiam dan tidak lagi mengajak Rukia untuk pergi bersamanya. Meninggalkan Rukia begitu saja, tanpa bicara sepatah kata pun.

"Setidaknya katakan padaku, kau akan pergi kemana, Tuan Labu! Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa aku ini adik angkatmu?"

Rukia membuang bunga matahari itu. Meningkalkannya terkulai di atas jalan setapak yang kini ditinggalkan. Belia itu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.

"Sebaiknya aku menunggunya di dalam. Di luar dingin sekali."


xXx


Rangiku memeluk pria-nya dengan penuh semangat dari belakang. Menaiki diam-diam motor maskulin Ichigo adalah hal yang sudah menjadi kebiasaan lama bagi Rangiku. Ia suka menggoda sahabatnya itu.

"Jeruk, bisakah kau membiarkanku sekali-kali menginap di rumahmu? Kau terlalu pelit."

Ichigo melepas helm yang sedari tadi mengasingkannya dari sinar bulan yang memuncak di langit malam. Benar dikatakan seorang profesor, itu berlaku pada siang hari. Jika malam menjelang, sebutan baru melekat kuat untuknya.

"King, ini hadiahmu," seseorang menyodorkan sejumlah uang yang tak sedikit pada Ichigo.

Sebelah tangan Ichigo meraihnya dan dengan cepat ia oper ke belakang. "Pakailah untuk bersenang-senang dengan orang lain. Hari ini aku lelah."

"Ceh, kau selalu saja seperti itu. Berhentilah menyendiri. Kau mengacuhkan banyak wanita yang menggilaimu," Rangiku melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Ichigo.

Tubuh wanita itu menghangat—menghantarkan sensasi aneh untuk tubuh Ichigo. Memang tubuh tak bisa membohongi hasrat yang dirasakannya. Tapi sekali lagi, bibir Ichigo mampu menentang semua keinginan dalam batinnya.

"Maaf, mungkin lain kali."

Pria itu tidak tertarik dengan perubahan. Ia lebih senang menjadi seorang penyendiri.

"King, lain kali mengalahlah. Setidaknya mengalahlah dariku. Lagi pula uang yang kau menangkan dari taruhan sama sekali tidak kau gunakan, benarkan?" pria yang menyodorkan uang hasil taruhan pada Ichigo itu kini berdiri tegak di depan motor Ichigo.

Pria itu berniat menghisap habis batang rokoknya di sana—berusaha menahan Ichigo pergi.

"Minggirlah, Shirosaki. Aku harus pulang," Ichigo nampak terganggu karena jumlah penghadangnya kini menjadi dua orang.

Shirosaki mengangkat kedua tangan dan berjalan mundur—patuh menjauhi motor besar Ichigo.

Rangiku menahan kedua tangan Ichigo saat si pria berniat untuk memakai kembali helm miliknya.

"Apa maumu?" tukas Ichigo tak ramah.

Rangiku memeluk sekaligus tubuh beserta kedua lengan Ichigo, menyandarkan dagu pada bahu dan sedikit menyerongkan kepala. Wajah Rangiku nampak sedih.

"Akulah orang yang paling memahamimu. Sudah terlalu banyak beban perasaan yang kau sembunyikan dariku. Sungguh malang, pria tampan sepertimu seharusnya bersenang-senang denganku."

Ichigo membebaskan satu tangannya dari pelukan Rangiku, meraih untaian rambut panjang si wanita kemudian mengecupnya mesra.

"Hebat, kau selalu bisa menebakku. Kau membaca pikiranku lagi?"

"Aku melihat dari kerutan di dahimu, Ichigo. Kau tidak menyadarinya?"

"Tidak, kau hebat."

"Tentu saja."

Ichigo menyungging senyum. Ada kalanya ia bersyukur memiliki sahabat pengganggu seperti Rangiku. Wanita itu cukup berguna untuknya. Tidak dalam segala hal yang pasti. Tidak untuk kebutuhan biologisnya—cukup untuk kebutuhan psikologisnya.

"Ini adalah bentuk hukumanku. Kau tahu, pria sepertiku diciptakan untuk menjadi seorang penyendiri. Itu jauh lebih keren bukan?"

Rangiku melepas pelukannya dan beranjak dari motor Ichigo. "Pulanglah, kau terlihat sangat tergesa."

"Ya, aku ingin melihat matahariku."

Rangiku melipat dada di bawah payudara besarnya. Wanita itu tersenyum.

"Kau sangat memperhatikan bunga-bungamu itu. Haaah, seandainya bukan hanya halaman menakjubkan itu yang boleh kuketahui, aku juga ingin tahu seberapa menakjubkannya dirimu saat berada di atas ranjang. Setidaknya, aku ingin melihat isi rumahmu."

Ichigo hanya membalasnya dengan senyum datar dan kembali memasangkan helm miliknya. Pria itu memutar kunci motor untuk menghidupkan mesin balapnya.

"Aku cemburu dengan motormu."

"Banyak yang sependapat denganmu," ucap Ichigo dari balik helm fire brick yang senada dengan motor yang kini tengah ia mainkan—membunyikan raungan khasnya.

"Kurasa kau terlalu bodoh menjadikan sebuah motor sebagai kekasihmu. "

"Aku lebih menyukai kanvas ketimbang motor ini. Kau jangan khawatir," gurau Ichigo yang kemudian menarik kuat gas motornya—meluncurkan diri memecah si hening jalanan malam.

"Pria menyebalkan. Mungkin karena itu juga aku jadi semakin tergila-gila padamu, Kurosaki Ichigo."


xXx


Ichigo membuka pintu rumahnya menggunakan kunci duplikat yang menjadi satu dengan kunci motornya. Perlahan ia mulai menarik daun pintu dan menyelipkan diri memasuki rumah melalui celah yang dibuatnya.

Ia berjalan santai menuju ruang tengah seraya memutar-mutar ring kunci dengan jari telunjuk yang teracung ke atas.

Baru saja ia berniat menaiki anak tangga untuk menuju ruang tidurnya di lantai dua, geraknya terhenti seketika saat kedua lensa matanya menangkap sosok seorang gadis tengah tertidur—meringkuk pada sofa panjang di depan layar televisi yang menyala tanpa suara.

"Dia... menungguku?"

Sepasang kaki panjang itu melangkah untuk mendekati bunga gadisnya. Rukia terlihat tengah tertidur pulas sambil mencengkam kuat setangkai bunga matahari di jemari tangan kanannya.

Ichigo bersimpuh dan mengamati muka tenang gadis yang dulu didambanya—gadis pertama yang memberinya perhatian tulus—memberikan hal berharga (bunga matahari) untuk dirinya.

"Aku terkejut saat melihatmu lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Kau tidak terlalu banyak berubah," gumamnya seraya mengukir pelipis hingga pipi Rukia menggunakan jari telunjuknya. "Aku sedikit senang. Kau tetap gadis kecil yang dulu pernah kukenal."

Ichigo tahu, suasana seperti ini mampu membawa getaran berbeda pada ritme jantung perasaannya. Pusat segala hal yang menginstruksikan diri untuk mencari alasan—atas dasar apa bagian itu bergemuruh begitu kencang? Ichigo penasaran.

Percaya atau tidak, debaran itu mengasyikkan. Saat Ichigo mendekatkan wajah pada paras cantik makhluk hawa di depanya—pusat dada pada diri Ichigo terpompa lebih cepat. Menghantarkan implus berupa gelora aneh dalam batinnya.

Ia mendambakan bibir wanita itu.

"Setidaknya... belehkah aku...,"

Kalimat Ichigo terputus saat bibirnya berhasil bertemu dengan bibir dingin pasangannya. Sangat dingin, sedingin lengan Rukia yang kini digenggam lembut oleh Ichigo sebagai pendukung nalurinya. Mencuri ciuman bukanlah tindakan jantan seorang pria—Ichigo membutuhkan keberanian lebih untuk melakukannya.

Ichigo tahu, hanya dengan menyentuh permukaan kulit gadis itu—kenyataan mampu ditebak dengan mudah—Rukia menunggunya terlalu lama di luar pintu. Membuat Ichigo menyesal tak pulang lebih awal untuk menyambut penantian Rukia untuknya.

Tetap sama. Kau terlalu peduli padaku, Bunga Matahariku.


xXx


Rukia perlahan beranjak dari tempat tidurnya. Badan rapuh itu terhuyung-huyung menuju pintu keluar—menyangga sejenak tubuh miliknya pada sisi persegi pintu.

Ia menyadari sesuatu yang sangat aneh.

"Aku tidur di dalam? Bagaimana bisa!"

Rukia menelisik kasur dimana ia menyemayamkan diri beberapa saat yang lalu. Ia berpikir sejenak.

"Siapa yang memindahkanku?" pikirnya ragu. "Jangan-jangan...," ia melirik ruang tamu yang berhadapan langsung dengan pintu kamarnya.

Di sana Ichigo tengah mendudukkan diri dengan santai seraya merentangkan koran di depan wajah. Ichigo tidak sadar telah diperhatikan wanita itu dengan seksama.

"Ah, jika tebakanku benar, ini akan menjadi sangat memalukan!"

Rukia mundur beberapa langkah kemudian menopang sebelah tangan di atas meja riasnya, sedangkan tangan lain bertugas menimpuk dahi miliknya sendiri. Gadis itu geleng-geleng kepala.

"Apa mungkin aku dipindahkan oleh Labu itu? Betapa tidak etisnya."

Rukia yang terbiasa-terlalu-menjaga-privasi hidupnya merasa ditelanjangi saat kenyaataan begitu kuat tertuju pada dugaan bahwa dirinya digendong pasrah oleh seorang pria dalam keadaan tertidur penuh.

Entah kenapa hal itu membuatnya was-was.

Rukia membuka mata yang sedari tadi terpejam untuk memikirkan segala hipotesis aneh dalam otaknya. Bola matanya kini terpusat pada sebuah benda tepat di depan cermin besar miliknya. Ada sebuah vas dengan...

"Bunga matahari? Bagaimana bis...," Rukia menghentikan ucapannya dan segera meraih setangkai bunga tersebut dan dengan cepat pula mulai melangkahkan kaki menuju ruang tengah.

Rukia berdiri tepat di depan Ichigo.

"Kau memasuki kamarku tanpa izin! Apa maksudmu meletakkan bunga itu di dalam kamarku?"

Ichigo tetap tenang saat mendengar ocehan adik angkatnya. Pria itu melipat koran dan kini menyandarkan diri pada sofa miliknya dengan santai.

"Kau terlihat sangat menyukainya. Seharusnya aku menghakimimu karena sudah berani mencuri harta milikku."

Rukia terdiam. Perkataan Ichigo benar adanya. Sejujurnya ia telah membuang benda yang dipetiknya semalam. Namun karena kesepian, ia mengambil kembali bunga itu, menjadikan benda tersebut mainannya.

"Eee... soal itu, aku minta maaf. Aku hanya tergoda untuk memetik satu untukku."

Ichigo bangkit dari sofa dan berjalan menjauhi Rukia.

"Aku tidak mungkin menanam bunga itu lagi dan aku tidak akan pernah membuangnya. Setidaknya kuberikan padamu dengan wajah yang lebih pantas."

Rukia merasa tersanjung. Ichigo bermaksud memberikannya bunga dalam vas yang lebih layak dipandang mata.

"Kau boleh mengambilnya sewaktu-waktu. Dan simpanlah bunga itu di dalam vas."

Rukia tidak menyangka Ichigo akan memperlakukannya sebaik ini. Pria itu sudah kembali normal.

"Y-ya, terima kasih," Rukia mengeratkan pegangannya pada tangkai bunga dan tetap mengawasi punggung Ichigo.

"Rukia," panggil Ichigo seraya membalikkan badan.

Rukia tersenyum ringan—menyambut Ichigo dengan perasaan suka cita yang tidak disadarinya.

"Ya?"

"Maukah kau menemaniku ke suatu tempat?"

"Tempat? Ke galeri?"

Ichigo menggeleng. "Aku ingin melukis bersamamu."

Rukia tertegun. Sejak kapan Ichigo berani menawarinya untuk berkencan?

"Kau ingin kita date?"

Ichigo mengangkat dagu. "Apa kesannya seperti itu? Aku hanya tidak ingin meninggalkanmu seorang diri."

Rukia tersenyum lagi dan hampir tertawa. Kemudian dengan cepat menarik sebelah tangan Ichigo. Entah kenapa, kebahagiaan di relung hati Rukia terasa melimpah ruah begitu melihat sisi manis seorang Labu seperti Ichigo.

Ia tahu sekarang, kenapa para wanita berlomba-lomba mencari perhatian pada pria seperti Ichigo—dia manis seperti strawberry meskipun terlihat asam seperti jeruk.

"Okay, Mr. Labu! Ayo kita berangkat!"

Terkejut? Pasti. Ichigo memasrahkan dirinya pada pegangan tangan itu. Telapak tangan kecil yang lembut—tak mampu menggenggam penuh telapak tangannya yang jauh lebih besar. Menunjukkan pada Ichigo—bahwa Rukia adalah gadis yang masih terlalu belia untuk dirinya.

"Kau harus mandi, Alien. Dan jangan panggil aku Labu. Itu terlalu memalukan."

Rukia melepaskan pegangannya dan kini mengulurkan tangan di depan Ichigo.

"Baiklah, tapi kau juga harus memanggilku Rukia, Ichigo-san."

Ichigo menggeleng, pria itu meraih tangan Rukia yang terulur dan menjabatnya. "Cukup panggil aku Ichigo, Rukia."

Entah sejak kapan, Ichigo berani membalas perasaan Rukia padanya—tulus. Ia tak bisa mengelak. Padahal peraturan dunia melarangnya untuk lebih mengarungi perasaan kagum seorang Ichigo kepada sosok gadis di depannya.

Ia lengah. Ichigo terlalu senang saat Rukia mengulurkan tangan untuknya. Akhirnya Rukia mengakui keberadaannya. Mereka berteman, sekali lagi berkat bantuan Bunga Matahari mereka.


xXx


Mercedes dengan ornamen moccasin berhenti tepat di puncak bukit. Ichigo keluar kemudian berjalan cepat—membukakan pintu untuk Rukia. Gadis kecil itu merasa tersanjung. Sejak kapan Ichigo berubah menjadi seperti ini? Aneh, tapi boleh juga.

"Ada apa, Rukia? Ada sesuatu yang salah?" Ichigo berdiri di balik pintu—menunggu Rukia yang tak jua menurunkan kedua kakinya dari dalam mobil Ichigo.

Rukia tersentak. "A-ah! Tidak! Aku... aku hanya sedikit mengantuk! Ya, mengantuk! Ahahaha."

Rukia berhasil keluar dan memijak bantalan lembut permadani hijau di puncak bukit. Angin segar menyambut mereka berdua yang kini saling berhadapan.

"Gadis pemalas. Bukankah sepanjang malam kau sudah tidur begitu pulasnya? Kau benar-benar payah."

Rukia mendelik. "Hey, ini semua salahmu! Aku menunggumu sepanjang malam. Lagi pula sofa itu bukanlah tempat yang nyaman untuk tidur!"

Ichigo berjalan menjauhi Rukia menuju bagasi mobil rendahnya.

"Soal itu... aku minta maaf. Lain kali, tolong jangan menungguku. Setidaknya jangan tunggu aku di luar rumah. Kau bisa sakit."

"A-aku tidak berniat untuk menunggumu kok. Aku hanya tidak bisa tidur," jeda sejenak, air muka Rukia melunak. "Lagi pula kau meninggalkanku begitu saja. Mungkin aku sedikit khawatir. Kau tidak juga muncul padahal malam sudah semakin larut."

Ichigo menyentuh kepala Rukia. "Terima kasih. Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Apa kau akan memaafkanku?" sorot mata Ichigo menjinak untuk Rukia—begitu lembut, berkilauan dan indah—itulah yang dipikirkan Rukia.

Rukia terhanyut di dalamnya.

"Rukia?"

"Ah! I-iya! Aku memaafkanmu!" tukas Rukia hampir berteriak seraya menampik pelan tangan Ichigo. "Dan juga... terima kasih untuk semalam. Kau membuatku nyaman."

Deg!

Jantung Ichigo terpompa cepat. Nyaman? Nyaman itu dalam segi apa?

"Mak-maksudmu?" giliran Ichigo yang kini sedikit belingsatan.

Rukia mengerutkan alis. "Kau membopongku untuk tidur di dalam kamar, bukan? Meskipun aku tak ingat, aku berterima kasih."

Ichigo menghembuskan napas lega. "Ya, kau sangat ringan. Itu bukanlah masalah besar."

Kedua tangan Ichigo dengan cekatan mengeluarkan segala peralatan lukisnya. Rukia mengintip semua peralatan yang dibawa Ichigo. Sangat banyak karena masing-masing berjumlah dua buah.

"Ichigo, kenapa kau membawa peralatan sebanyak itu?"

Ichigo menoleh pada Rukia. Pria itu tersenyum jahil. "Aku ingin kau juga melukis bersamaku."

Rukia melongo di tempat.

Ichigo memperhatikan benar ekspresi lucu partner-nya. "Ada yang salah?"

Rukia maju selangkah untuk mengeliminasi jarak. "Bukankah sudah kukatakan, aku tidak bisa melukis."

"Kau bohong."

Ichigo kini menata semua perkakas yang dibawanya. Mencari sudut pandang yang sempurna untuk pemandangan di depan matanya.

"Aku ingin kau melukis tempat ini. Dulu, aku sering datang kemari bersama Byakuya. Ini adalah tempat rahasia kami."

Rukia memasrahkan diri untuk duduk di samping Ichigo yang telah siap dengan pensil di genggamannya. Pria itu siap membuat sketsa.

"Kalian datang berdua? Sungguh mesra sekali," goda Rukia masih mengamati pemandangan.

Ichigo mulai menggesek ujung runcing pensilnya dengan kain kanvas yang membentang luas di depan mata. Membentuk sebuah pola.

"Tidak. Kami bertiga," nada aneh menguar tanpa Rukia sadari.

"Ah, untung saja. Kukira Nii-sama pergi hanya berdua saja denganmu."

Sketsa telah selesai dibuat oleh Ichigo. Membuat Rukia cukup terkesima—sangat cepat menurutnya. Rukia melirik gerak Ichigo saat pria itu mulai menggamit salah satu kuas terpanjang—membuat Rukia mengingat sesuatu.

"Ah! Tunggu sebentar!"

Ichigo menoleh dan mengurungkan diri untuk mengambil kuasnya. "Ada apa, Rukia?"

Rukia tidak menjawab. Ia sibuk merogoh tas tangannya. Mencari sesuatu yang mungkin sudah lumayan lama ia lupakan dan tetap tertinggal di dalam tas miliknya.

"Ketemu!"

"Hey, apa maksudmu? Kenapa kau menghentikanku?"

Rukia menyodorkan sebuah benda pada Ichigo. Pria itu mengawasi sejenak.

"Ini kan...,"

Rukia tak menduganya, Ichigo dengan cepat menyahut benda itu dan disembunyikannya dengan cepat pula.

"Hey, kau kasar sekali."

Ichigo mendadak terlihat aneh. "Ma-maaf. Aku tidak sengaja."

"Tidak sengaja? Kau sengaja menyahutnya. Apa benda itu sangat penting untukmu?"

Ichigo terdiam sejenak. Ia melirik Rukia tak tenang.

"K-kau membacanya?"

"Membaca?" Rukia nampak berpikir sejenak. "Oh! NEIL 4? Siapa itu Neil?"

Giliran Ichigo yang kini terheran-heran. "Neil 4? Apa maksudmu?"

Rukia mencondongkan tubuh untuk menarik tangan kiri Ichigo yang sedari tadi disembunyikan dari penglihatan Rukia.

"Kau melupakan apa yang kau tulis? Di sini tertulis Neil 4. Dan saat pertama kali kita bertemu, kau terlihat sangat terkejut saat aku menyebutkannya."

Ichigo mengerti sekarang. Wajahnya nampak sedikit melega.

"Apa hubunganmu dengan Neil? Neil itu nama seorang wanita bukan?"

Ichigo meletakkan kuas tersebut. Ia tahu, kuas pertamanya itu telah memudarkan bentuk asli tulisan buatannya. Membuat Ichigo sedikit tenang.

"Aku tidak mengerti maksudmu. Tapi aku terkejut karena kupikir kau berkata Nel. Neliel—dia adalah sahabat kami."

Rukia nampak tertarik. Ia merubah posisi duduknya untuk menghadap Ichigo. "Kami?"

"Aku dan Byakuya," jawab Ichigo seraya menorehkan kuas bertinta hijau ke dalam kanvasnya, sejenak kemudian Ichigo tertawa rendah. "Ambassador seaweed. Nel... Neliel Tu Odelschwanck."

Tidak ada respon dari Rukia. Kini Ichigo mulai memulas sketsa buatannya. Ichigo terlihat sedang mencoba keras menyembunyikan sesuatu yang tidak disadari Rukia—karena wanita itu sudah tenggelam dalam kilas balik yang terjadi di dalam otaknya.

"Ah... Kak Nel?" ucap Rukia lirih kemudian kembali memposisikan diri menghadap kanvas yang masih bersih tanpa pulasan.

Ichigo tersenyum aneh. "Ya, kau mengenalnya bukan? Seharusnya sekarang mereka bertunangan. Aku hanya belum bertanya pada Byakuya."

Rukia kembali menoleh pada Ichigo. "Bertunangan?"

Ichigo lumayan terkejut mendengar nada tanya Rukia. "Tidak? Bagaimana bisa tidak?"

Rukia mulai bingung dengan alur pembicaraan Ichigo yang menurut Rukia sok tahu. "Kau tidak tahu? Kak Nel sudah meninggal sembilan tahun yang lalu."

Bagai terhantam palu besar. Ichigo merasa luruh, tak mampu merasakan tubuhnya yang melemas, bahkan ia merasa tak mampu menghirup napas untuk beberapa detik. Apa yang di dengarnya benar-benar tak mampu ditalar oleh akal sehat Ichigo.

Mustahil.

Sontak Ichigo berdiri. "Apa maksudmu?"

Rukia menanggapinya dengan sesantai mungkin. Memandang dalam sepasang mata Ichigo yang membundar karena terkejut.

Rukia menengadahkan kepala untuk menatap Ichigo yang kini berdiri tegak menyongsongnya. "Kak Nel bunuh diri setelah kelulusan. Aku tidak tahu kenapa. Tapi sejak saat itu Nii-sama berubah dan...,"

Rukia terkejut saat Ichigo dengan cepat berlari meninggalkan Rukia menuju mobilnya. "Hey! Tunggu! Kau mau kemana?"

Ichigo sudah tak mampu lagi mendengarkan. Hatinya terkoyak dalam. Ia sudah cukup mendengar. Sangat cukup untuk membuatnya harus bergerak cepat menuju ke suatu tempat.

"Tidak mungkin! Sial! Sial kau, Byakuya!"

Ichigo berteriak kesetanan. Saat membanting setir seraya memijak dalam gas mobil yang dikendarainya.

Rukia terdiam, berdiri di tempat yang sama. Ada hal yang kini dimengerti oleh Rukia. Sesuatu mungkin pernah terjadi dalam masa lalu kakaknya dengan Ichigo yang kini nampak tergesa meninggalkannya.

Pria itu melupakan Rukia. Ia meninggalkan Rukia—seorang diri. Gadis itu menundukkan kepala. Poni rambutnya benar-benar membayangi mata Rukia yang kini menatap kosong pijakan kakinya.

Ada rasa kesal bercampur kecewa yang kini teraduk di dalam otak dan perasaannya. Kenyaataan bahwa perkataan manis Ichigo beberapa saat yang lalu hanya bernilai sampah. Belum sehari ikrar manis itu diucapkan, Ichigo kini sudah mengingkarinya.

Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Apa kau akan memaafkanku?

"Kau pembohong. Aku tidak akan memaafkanmu."

Bersambung


Akhirnya selesai juga setelah memeras otak dua hari penuh. Ya, akibat hiatus, saya jadi sedikit lupa tentang alur yang saya konsepkan dulu. Semoga tidak terlalu mengecewakan.


Balasan Buat My beloved Readers


Guest : Wah, terima kasih reviewnya.

Keiko Eni Naomi : Iya, saya memakai Senna untuk ngidupin jati diri Ichigo. Makasih udah menyempatkan review.

Rukiorra Schiffer : Iya, makasih udah mereview.

Uzumaki Kuchiki : Waduh, jadi bergenre mistery ney. He3. Iya, tunagan Rukia saya buat hidangan penutup saja. Thanks udah mampir.

KieKei : Oh ya? Suka lukisan surrealisme juga? Wah, senangnya ada temennya. Btw mau tanya nih, Kei suka Vocaloid kan ya? Itu anime seperti apa? Saya cari ke internet kok malah game ya?

Miisakura : Iya, di setiap chapter saya selalu menyelipkan perasaan tokoh utama—Ichigo. Maaf gak ada keteranganya ya? He3

Plovercres : Iya, saya udah selesai praktik satu bulan. Dan saya sudah kembali lagi. Thanks uda mampir ya.

Sakura-Yuki15 : Ini sudah saya perjelas. Moga lumayan makin terang ceritanya.

Sykisan : Suka bagian Flashback? Saya juga. Hi3. Yang chap ini tidak ada flashback, tapi chap depan mungkin full flasback.

Izumi Kagawa : Iya, dia tidak tahu. Padahal Kurosaki itu kan Ichigo. Makasih udah mampir.

Hendik Widyawati : Saya udah update, Sayang. Senengnya kamu masih setia mampir di kotak review fic ini. Hihihi

Cimmy : My beloved Cint. Bagaimana kabarmu, Nak? Hmm, tidak ada tanda-tanda kembalinya kamu ya? Padahal udah saya sogok sama fic ini. Ayooo, Jee. Temenin daku di dunia FFN ini.

Chappy Ruki : Maksih udah review. Saya udah update lho, mampir lagi ya?

Krabby Paty : Tuangan Rukia masih saya simpen. Hi3. Buat hidangan penutup.

Emy : Ya, ampun Mieya. Iya Cin! Makasih doanya. Hiuuhh, daku seneng disambangi sama kamu Cin. Kapan bikin fic? Ayo bikinin aku fic! Tak tunggu jawabannya.

Bianca Luna : Iya, Luna. Saya sudah update. Makasih udah review ya!

Agi Luv Jeruk : Makasih udah mampir ya. Ini update.

Maicon Gay : Kapan kamu update, Bro? Kangen sama karya Rate-M kamu.

Life Really Hard : Terharu saya Cint, dibilang di tungguin. Saya udah update sayang. Review lagi ya, hehehe.


Arigatou, Ja-na!

R P

E L

V E

I A

E S

W E