Disclaimer: Harry Potter bukan milikku, tapi milik dari J.K Rowlings

Warning: Au, Time Travel, OOC, Slash, Character Death, Dark Theme, Typo.

Rating: M


AN: Hi, Kali ini Sky datang lagi. Seri ini adalah rewrite dari fic yang pernah aku publish dengan judul "A New Life, The Second Choice" tapi dengan slash dan dark theme. Semoga kalian suka.


THE UNKNOWN REASON

By

Sky


"Draconis Julian Black Malfoy!" teriak Daphne Greengars saat gadis itu berada di ruang rekreasi milik ketua murid laki-laki dan perempuan. Gadis itu mengebrak ruang belajar milik Draco dan masuk ke dalamnya, ia mendatangi sahabatnya itu dengan wajah penuh emosi di sana.

"Hmmm…." Hanya itu reaksi dari pemilik nama lengkap yang disebutkan oleh Daphne tadi. Draco Malfoy hanya memberikan jawaban singkat tanpa melihat teman akrabnya itu, ia menghiraukan Daphne seolah-olah gadis itu tidak ada di dekatnya.

Daphne yang merasa dihiraukan melemparkan tatapan pedas ke arah Draco. Ketua murid laki-laki itu terus menulis entah apa yang ada di dalam pikirannya di atas sebuah buku kecil bersampul hitam, mungkin sebuah jurnal namun Daphne tidak peduli pada hal itu. Yang ia inginkan saat ini adalah perhatian Draco penuh pada dirinya. Gadis berambut pirang keemasan tersebut melingkarkan kedua tangannya di depan dadanya, kedua mata emerald tajamnya terus memperhatikan sosok sahabat baiknya tersebut dengan penuh kritikan. Satu hal yang orang ketahui dari seorang Daphne Amanda Greengrass adalah ia tidak suka ada orang lain yang menghiraukannya, dan apa yang dilakukan oleh Draco membuat darahnya mendidih.

"Jangan menjawab 'hmmm' saja kepadaku!" teriak Daphne sekali lagi. "Apa kau kehabisan pembendaharaan kalimat sehingga hanya itu kalimat sopan yang kau berikan kepada seorang Lady huh! Tidak heran kalau hampir semua orang tidak berani mendekat padamu!"

"Hmmm…" Respon sama yang diterima oleh Daphne, membuat gadis itu sedikit kehilangan kesabaran. Rasanya Daphne ingin melepaskan rambutnya karena frustasi. Sahabatnya itu memang orang yang sulit, bahkan sebelum semuanya terjadi Draco memang telah terkenal kalau ia sangat sulit untuk dipuaskan atau sulit untuk ditarik perhatiannya.

Semenjak perang kedua dunia sihir berakhir lima bulan yang lalu, Draco menjadi sangat pendiam dan menutup dirinya, lebih dari biasanya. Ia tidak membiarkan seorangpun untuk dekat dengan dirinya, bahkan untuk kedua sahabat yang terus menemani dirinya semenjak mereka kecil. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan teman-temannya yang lain termasuk beberapa professor yang ada di Hogwarts. Mereka semua tahu dalam peperangan itu Draco kehilangan banyak orang yang sangat berarti baginya, Orang tua, teman, dan juga seorang kekasih. Daphne yang menjadi teman akrabnya selain Blaise merasa sangat prihatin dengan keadaan Draco, kalau ada yang patut untuk dipersalahkan maka ia akan menyalahkan Voldemort dan Dumbledore. Semua orang tahu apa yang dialami oleh Draco ini bukanlah semata-mata karena kehilangan orang tua saja, ia sangat menderita karena ia kehilangan cinta dalam hidupnya, seseorang yang mengajarinya cinta kasih serta apa itu rasanya memiliki orang yang sangat disayangi. Dan karena inilah Draco yang dulunya sempat terbuka kini kembali seperti asalnya, dingin dan terlalu pendiam serta tidak peduli pada apapun. Daphne merasa khawatir akan hal itu.

Anak terpilih atau yang dulu pernah mengalahkan Voldemort saat berusia satu tahun, Harry Potter adalah penyebab mengapa Draco menjadi seperti ini. Anak itu tewas karena terkena kutukan kematian saat melawan Voldemort sebelum penyihir gelap itu tewas ditangan Draco. Karena hal itulah maka Draco mendapat julukan menjadi seorang pahlawan di samping Harry dan mendapat penghargaan Order of The Merlin kelas pertama, namun pemuda itu tidak membutuhkan semua itu karena cintanya telah hilang. Draco tidak bangga dengan penghargaan yang mereka berikan padanya, ia juga tidak bangga meskipun ia telah membunuh Voldemort, bagaimana mungkin ia bangga dan senang bila semua itu membutuhkan pengorbanan Harry? Draco benci akan julukan itu dan menyalahkan semuanya pada Arthur Weasley (yang telah menjadi menteri sihir) yang memberikan julukan itu dengan rasa bangga kepada pewaris dari keluarga Malfoy itu. Julukan apapun tidak berarti apapun baginya karena julukan atau kekuatan yang dimilikinya sama sekali tidak bisa membawa Harry untuk kembali hidup. Dan Draco menyalahkan dirinya sendiri karena kematian Harry, bahkan sampai saat ini ia masih belum bisa memaafkan dirinya. Kalau saja Draco lebih cepat menggunakan mantra pelindung pada Harry, pasti Harry tidak akan tewas dalam peperangan itu.

Semuanya tidak menyangka kalau pewaris dari keluarga Malfoy sangat kuat, melebihi Voldemort atau Dumbledore. Para penyihir lainnya tidak pernah memikirkan itu, mereka selalu menganggap kalau Draco adalah orang dingin yang sombong tapi lemah, dan bagaimana seorang Harry Potter bisa jatuh cinta pada Draco adalah sebuah misteri yang besar. Betapa terkejutnya mereka ketika kenyataan mengatakan hal yang lain, mereka baru mencicipi kekuatan itu saat perang berlangsung, kelihatannya Draco memang sangat pintar untuk menyembunyikan semua itu dan sampai saat ini siapa Draco Malfoy sebenarnya masih menjadi misteri bagi penyihir-penyihir yang lain. Sekuat apapun Draco, ia masih mempunyai kelemahan yang menandakan kalau ia tidaklah sesempurna yang orang pikir. Semenjak kematian Harry, Draco takut untuk dekat dengan orang lain, semua orang yang dekat dengannya pasti akan pergi meninggalkannya. Ia tidak mau merasakan rasa pedih untuk kedua kalinya, ia ingin tidak merasakan apa-apa yang menyakitkan, oleh karena itulah setelah perang berakhir Draco lebih memilih untuk menutup dirinya dan menghindari apapun yang membuatnya dekat dengan orang lain.

Draco sangat kesepian, tidak depresi seperti yang Blaise bilang. Dia tahu kalau dia harus meneruskan hidup tanpa penyesalan, namun kenyataannya ia sama sekali tidak bisa melakukan hal itu. Draco mempunyai perasaan kalau suatu saat sesuatu yang sangat besar akan terjadi, tetapi ia tidak tahu kapan itu akan terjadi, oleh karena itu ke mana-mana ia selalu membawa barang-barangnya yang ia masukkan ke dalam koper dan ia kecilkan sebelum ia masukkan ke dalam saku celananya. Ia melakukan itu bukan karena ia adalah orang yang paranoid namun Draco adalah tipe orang yang selalu menyiapkan sesuatu sebelum hal yang besar itu terjadi dalam hidupnya.

Hidup tanpa ada Voldemort yang mengancam atau Dumbledore yang selalu mencampuri urusannya itu sangat damai, bisa dibilang sangat menyegarkan setelah sekian lama tertekan oleh mereka berdua, namun pasa satu sisi semuanya tidak ada gunanya. Pemuda itu merasa sangat terganggu akan sesuatu semenjak ia memulai tahun terakhirnya di Hogwarts. Dumbledore membuatnya menjadi ketua murid laki-laki, ketua Quidditch Slytherin (yang tentu saja ia tolak, melihat Draco tidak lagi memainkan permainan itu sejak tahun kelimanya) dan dari masyarakat pada umumnya ia mempunyai julukan sebagai pangeran es, pemuda single paling tampan dan terkaya di dunia sihir. Julukan yang terakhir itu membuatnya banyak digandrungi oleh penyihir-penyihir wanita maupun laki-laki lainnya, namun ia sama sekali tidak tertarik karena ia masih belum bisa melupakan Harry. Dia takut bila ia mengijinkan orang lain masuk ke dalam hidupnya ia akan merasakan sakit lagi. Dan baginya itu sudah cukup ia rasakan, Draco hanya memberikan hatinya kepada seorang saja.

"Draco.." panggil Daphne.

"Hmmm…" lagi-lagi hanya itu jawaban dari Draco, ia sedang menulis sesuatu ke dalam jurnalnya tanpa sepengetahuan Daphne.

Draco sering menulis sesuatu ke dalam jurnalnya semenjak ia masih kecil, ia mengutarakan sesuatu yang terjadi dalam hidupnya seperti perasaannya, temannya, atau beberapa rahasia yang ia ketahui mengenai dunia sihir atau sihir itu sendiri. Sejak kecil Draco selalu menyimpan jurnal yang sama yang telah ia beri kunci segel sihir sehingga hanya ia saja yang bisa membukanya, alasan anak muda itu menyimpannya adalah dia tidak ingin melupakan apapun dan sebuah alasan utama yang sampai saat ini masih menjadi misteri. Draco adalah penyihir yang sangat kuat, namun ia tidak bisa mengutarakan isi hatinya kepada siapapun, kecuali kepada Harry sehingga ia selalu menyimpan jurnal tersebut. Ia menggunakan jurnal itu untuk mengingatkan dirinya kalau ia masih seorang manusia, bukan monster dan pembunuh yang selama ini selalu menghantuinya.

"Draco, apa kau bisa mengutarakan kalimat yang lain kecuali itu? Sudah cukup kau seperti ini, Dray…. Sudah lima bulan lamanya!" kata Daphne dengan tegas kepada teman baiknya, Draco terlalu pendiam untuk seleranya.

"Hmmm…" Jawab Draco, ia mulai menulis tentang apa yang telah terjadi tidak lama ini. Semenjak para Goblin bergabung dengan Voldemort, keuangan di dunia sihir mengalami krisis. Oleh karena itu Draco mengambil semua uang dan barangnya dari brankas-brankas keluarganya yang ada di Gringrotts dan ia tempatkan ke dalam tas serba gunanya yang selalu ia bawa.

Draco adalah seorang seer, ia melihat kalau ia akan memerlukan uang itu nantinya entah kapan itu terjadi. Ia tidak tahu pasti, sama seperti saat ia memprediksikan kalau ia akan menghilang dari dunia ini maka tidak akan kekurangan apapun. Oleh karena itu Draco selalu membawa koper dan uangnya kemanapun ia pergi.

"Draconis Julian Black Malfoy!" teriak Daphne lagi, ia merasa kesal karena Draco masih sama yaitu menghiraukan dirinya.

Beberapa menit berlalu, selama itu hanya suara dari gesekan pena bulu milik Draco saja yang terdengar. Kesabaran Daphne mulai habis, ia akan berteriak lagi namun tidak jadi karena Draco tiba-tiba berbicara.

"Jangan buang nafasmu sia-sia, Daph. Aku hanya tidak ingin bicara saja saat ini." Kata Draco dengan tenang, tanpa menatap ke arah Daphne.

"Draco! Gosh! Kau bicara. Merlin, ini pertama kalinya kau bicara selain mengucapkan mantra atau saat menjalankan tugas sebagai ketua murid laki-laki!" Goda Daphne, berharap Draco akan mengatakan kalimat untuk membalasnya.

Hanya saja orang yang dimaksud terlalu dingin atau bernar-benar tidak mempunyai keinginan untuk berbicara sehingga perangkap yang dipasang Daphne percuma.

Keadaan hening sebentar sebelum Daphne berteriak karena kesal dan berjalan meninggalkan Draco untuk menuju kamarnya sendiri.

Draco memutar kedua bola matanya melihat hal itu, ia hanya meneruskan tulisannya di dalam jurnal pribadinya. Daphne adalah Drama Queen dan semua tahu akan hal itu. Setelah selesai, Draco melambaikan tangannya dan jurnal tersebut menghilang dari pandangannya. Ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Daphne, mungkin ia akan mengadukan hal ini pada Blaise. Blaise Zabini adalah teman akrab dari Draco selain Daphne, Daphne dan Blaise menjalin hubungan asmara, membuat Draco senang karena akhirnya mereka berdua bersama juga. Pewaris dari keluarga Malfoy itu berdiri dan mendorong kursi belajarnya ke tempat semula. Dia keluar dari tempat rekreasi kedua ketua murid untuk meneruskan patrolinya sebagai ketua murid laki-laki.

Pewaris keluarga Malfoy itu menangkap beberapa orang murid yang ketahuan berjalan-jalan di malam hari atau berciuman dengan pasangan mereka di koridor. Berbeda dengan para prefect atau ketua murid sebelumnya, Draco tidak memberikan hukuman kepada mereka dan hanya memberitahukan kepada mereka untuk segera kembali ke ruang asrama mereka sebelum tertangkap oleh Filch. Tentu saja apa yang dikatakan oleh Draco tidak dihiraukan oleh mereka, dan apabila tertangkap untuk kedua kalinya maka Draco tidak akan segan untuk memberikan hukuman yang berat. Draco tahu kalau ia adalah orang yang keras, hukuman yang ia berikan kepada murid yang melanggar peraturan selalu berat sehingga para murid lainnya merasa sangat bersyukur bila Draco hanya memberi peringatan kepada mereka.

Setelah menyelesaikan patrolinya, Draco berhenti di halaman kastil dan duduk di atas tangga yang dingin, menatap bulan purnama yang ada di atas langit. Begitu bundar dan bercahaya, sangat menarik seperti apa yang dikatakan oleh Harry. Memikirkan bulan dan bintang yang ada di langit seperti ia memikirkan Harry, Draco menghela nafas panjang karena ia sadar Harry telah pergi dari dunia ini meninggalkannya sendirian untuk selama-lamanya. Meskipun ia seorang Necromancer, Draco masih memiliki kode etik dan tidak bisa menghidupkan orang mati sesuka hatinya sehingga ia mengurungkan niatnya untuk memanggil jiwa Harry kembali, ia hanya berharap kekasihnya itu berada di tempat yang indah dan beristirahat dengan tenang. Sampai sekarang ia masih belum bisa memaafkan Ron Weasley, karena si rambut merah itu Harry harus tewas di medan perang. Kalau saja ia bisa membunuh Ron lebih cepat, maka Draco yakin kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Tetapi hal itu tidak perlu untuk disesalkan lagi walau dia masih merasa bersalah, Draco telah membunuh Ron dengan tangannya sendiri. Si pengkhianat itu pantas untuk menerima ganjarannya.

Draco berdiri dari tempat duduknya di tangga Hogwarts, mungkin mengunjungi pusara Harry akan memberinya ketenangan seperti terakhir ia ke sana dua hari yang lalu. Pemuda itu berdiri dari tempat duduknya di bawah tangga, ia berjalan beebrapa meter dari Hogwarts untuk melewati selubung anti-apparate-nya. Dengan sekelebat bayangan Draco berdissaparate dari Hogwarts untuk menuju pemakaman di Godric Hollow. Tempat itu masih sama seperti dulu, banyak penyihir dari keluarga penyihir kuno yang dikubur di sana. Ia berjalan dan berdiri di hadapan sebuah kuburan indah yang nisannya terbuat dari batu pualam Kristal. Di batu nisan itu tertulis :

HADRIAN JAMES MALFOY nee POTTER

31 JULI 1980-14 FEBRUARI 1997

Di bawah nama Harry terdapat lambang keluarga Potter dan keluarga Malfoy, Harry adalah tunangan dari Draco sehingga pemuda itu memasukkan namanya ke dalam keluarga Malfoy. Di samping kuburan Harry terdapat kuburan kedua orangtua Harry, James dan Lily Potter. Dengan belaian tangan kanannya, ketiga kuburan itu bersih dari debu dan seperti baru lagi. Serta tiga buah bunga mawar yang terbuat dari Kristal berwarna putih muncul di atas pusara mereka.

"Hallo, Harry. Bagaimana kabarmu sekarang? Aku tahu kalau kau masih hidup sekarang kau pasti akan berteriak padaku dengan nada yang nyaring seperti biasanya karena aku yakin kau menganggapku sangat naïf seperti biasanya, semuanya tidak sama lagi semenjak kau tidak ada di sini. Aku seperti orang bodoh karena meratapi semua ini terlalu mendalam." Ujar Draco pelan. "Aku hanya ingin satu kesempatan saja diberikan padaku, aku ingin mengulang waktu dan mengubah segalanya agar bisa menyelamatkan semuanya. Terutama menyelamatkan dirimu dari takdir ini, love."

Draco berdiri, tinggi tubuhnya yang sekitar 6'4 kaki itu kelihatan sangat luar biasa untuk remaja seukurannya, namun ia tidak pernah memperhatikan hal itu, ia memiliki banyak masalah untuk ukuran manusia seperti dirinya. Banyak kenangan masa lalu yang berputar seperti kaset rusak di dalam pikiran Draco, ia tersenyum sedikit ketika mengenang masa lalunya bersama Harry saat pertemuan mereka yang pertama. Mungkin mereka tidak sempurna dalam semua hal, bahkan sebelum menjalin hubungan saja keduanya adalah Rival yang saling menjatuhkan satu sama lainnya, meskipun begitu mereka berdua adalah soulmate yang sejati. Berbeda secara fisik namun melengkapi satu sama lain. Draco merasa rindu ketika mengenang masa itu, ia merasa takdir tengah menemukan kesenangannya karena mempertemukan mereka lalu memisahkan mereka namun ia tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mengubah semua itu untuk menjadi hal yang berbeda.

Langit malam begitu temaram dengan hiasan bintang-bintang di langit saat itu, membuat suasana hati Draco yang gemuruh merasa sedikit lega, setidaknya pemandangan alami di dunia sihir ini masih berpihak kepadanya walaupun takdir membalikkan tubuhnya kepada Draco. Draco menatap nisan cantik milik Harry dengan senyum sedih di wajahnya.

"Apakah ini karma yang harus kubayar dari kesalahan masa lalu?" Tanya Draco pada diri sendiri, pandangannya benar-benar terlihat sangat sayu. Begitu melankolis dan terlihat sangat menyedihkan bagi seorang pemuda yang hampir tidak pernah memperlihatkan emosinya di hadapan orang lain. Ada suatu saatnya Draco Malfoy menampilkan emosinya dan berhenti menjadi patung es untuk sementara. Hatinya yang beku memang sudah mencair sejak Harry menari bebas ke dalam hatinya.

Tangan kanannya membentuk kepalan dan menaruhnya di depan dadanya, ia kembali memfokuskan perhatiannya ke arah nisan milik Harry untuk sekali lagi sebelum beralih pada langit hitam yang berkelap-kelip karena bintang. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir ini Draco merasakan air matanya mulai menetes dari sudut mata indahnya, ia tidak pernah menangis karena ia memastikan emosinya selalu dalam kendali, bahkan saat ia memeluk Harry yang bersimbah darah dekat dengan tubuhnya untuk terakhir kalinya pun ia sama sekali tidak menitikkan air matanya apalagi menangis. Butiran-butiran air mata bening itu terus mengalir dari mata Draco, mungkin ia adalah penyihir yang hebat dan kuat tetapi ia masih seorang manusia biasa yang mempunyai emosi.

Draco mengusap air matanya, merasa sedikit bodoh karena menangis di hadapan nisan Harry. Hal itu sudah terlambat untuk disesali sekarang ini, tidak akan ada yang bisa ia lakukan bila ia terus seperti ini.

Draco menyipitkan matanya, merasakan ada sesuatu yang ganjil di sana. Tangan kanannya dengan segera mengambil tongkat sihir yang ada di dalam jubah sekolah yang ia kenakan, ekspresinya kembali dingin dan tanpa emosi di wajah tampannya. Ia tahu kalau ada seseorang yang berdiri di belakangnya dan orang itu sedikit aneh karena ia merasa itu bukan manusia biasa, Draco tidak tahu apa itu namun ia akan tahu siapa orang itu sekarang.

Dengan cepat Draco berbalik dan mengacungkan tongkat sihirnya pada orang atau makhluk sihir yang menyelinap di belakangnya, betapa terkejutnya Draco ketika orang yang berdiri di belakangnya itu adalah seseorang yang ia tahu namun sama sekali tidak ia kenal dan sangat mustahil untuk dikenal sekalipun. Seorang wanita, dengan ekspresi yang sama dengan Draco menatap balik padanya, sangat kosong. Wanita itu sering sekali ia lihat dalam lukisan tua yang ada di Malfoy manor, namun itu mustahil karena wanita itu tidak lain dan tidak bukan adalah Morgana Le Fay sendiri. Draco tahu nama wanita itu karena hampir setiap hari anak muda tersebut selalu berbicara pada lukisan Le Fay sejak perang kedua berakhir. Tidak hanya itu, Morgana sendiri adalah nenek buyut dari keluarga Malfoy sehingga siapa wanita yang berdiri di hadapannya saat itu tidak asing lagi bagi Draco.

"Turunkan tongkatmu, anak muda. Itu sama sekali tidak sopan untuk menyambut seorang Lady." Ujar Morgana untuk yang pertama kali.

Draco menurunkan tongkat sihirnya, tetapi bukan berarti ia menurunkan penjagaannya. Mata silver-kebiruan Draco bertemu dengan warna mata yang identik dengan milik nenek buyutnya, mereka saling bertatapan untuk sementara waktu sebelum Morgana membuka mulutnya lagi, sedikit heran mengapa cucunya itu sama sekali tidak mengucapkan sesuatu saat ini juga,

"Apa kau tidak mau berkomentar? Di sini, aku sebagai nenek buyutmu yang telah meninggal sejak ribuan tahun yang lalu berdiri tepat di hadapanmu, apa kau sama sekali tidak mau mengucapkan salam atau apa?!" Tanya Morgana lagi, nampaknya ia sedikit frustasi dengan Draco yang hanya menatapnya dengan kalem itu. Seperti membeku karena waktu berhenti. "Baiklah, aku tahu kalau kau sama sekali bukan tipe yang kuharapkan untuk seorang pria, tapi tidakkah sebaiknya kau bertanya untuk apa aku berada di sini dan menemuimu?"

Alis kiri Draco berkedut, ia merasa sedikit lucu karena di sinilah dia dengan Morgana di hadapannya yang kelihatan frustasi dengan sikapnya yang bungkam itu. Draco tidak pernah tahu kalau dia adalah tipe orang yang tidak suka membuka mulutnya kalau tidak ada hal yang penting, oleh karena itu dia sama sekali tidak merasa terkejut melakukan hal itu meskipun ia melihat Morgana ada di sini tepat di hadapannya. Jujur, Draco sangat terkejut, tapi bukan berarti ia akan bersikap bodoh seperti gugup atau semacamnya, ia malah mengedarkan pandangannnya untuk mengamati sosok nenek buyutnya tersebut.

Wanita yang ada di hadapannya ini bukanlah seorang manusia, Draco yakin karena itu karena ia tidak menemukan seseuatu yang manusiawi pada diri Morgana, mungkin sebuah arwah yang memiliki sihir bila melihat Morgana telah tewas ribuan tahun yang lalu dalam tidur abadinya. Morgana merupakan wanita yang sangat cantik, bertubuh tinggi dan tegap, sangat khas dengan sosok seorang Lady terhormat dari keluarga pureblood. Ia memiliki rambut ikal panjang berwarna hitam, begitu hitam sampai mengalahkan hitamnya langit malam, kulit alabaster, tulang pipi tinggi khas seorang bangsawan, wajah yang sangat cantik, dan yang paling mengejutkan adalah sepasang mata silver-kebiruan yang mirip dengan Draco. Bahkan sorot mata keduanya itu sama, mungkin matanya inilah yang Draco warisi dari keluarga terkutuk itu. Gaun panjang berwarna putih dan biru yang Morgana kenakan terlihat tidak pas pada zaman ini, namun pada saat yang sama sangat elegan, Draco mengansumsikan gaunnya berasal dari zaman Morgana masih hidup. Jadi itu artinya…..

"Apa yang kau inginkan sehingga kau susah payah untuk menemuiku?" tanya Draco tanpa basa-basi, ia paling tidak suka dengan lelucon kering Morgana itu. semua orang tahu kalau Draco Malfoy adalah orang yang serius dan langsung tepat sasaran.

Kedua mata mereka bertemu, rasa tegang yang berada di sekitar mereka semakin memuncak karena keduanya sama sekali tidak menurunkan penjagaannya. Kedua penyihir hebat yang juga seorang Necromancer dalam satu garis keturunan itu mengenakan ekspresi yang sama, serius dan dingin, semua emosi yang tadinya terlihat jelas di wajah Morgana kini hilang tertutupi oleh sebuah topeng ekspresi yang dicerminkan sama oleh Draco.

Morgana menatap cucu buyutnya itu dengan suatu perasaan yang bisa dikatakan sebagai sebuah kebanggaan, cucunya adalah seorang Malfoy dan juga seorang Black, yang sama-sama berasal dari garis keturunan Le Fay. Anak muda itu bisa dikatakan sebagai penyihir yang sangat kuat, mampu mengalahkan Voldemort dengan sekali tebas menggunakan pedangnya, Draco juga orang yang dingin dan sulit untuk mengekspresikan emosinya sehingga orang lain tidak bisa membacanya seperti buku yang terbuka. Selain itu dia juga tampan, nilai tambah bagi rasa kebanggaan Morgana pada Draco Malfoy karena cucunya itu benar-benar seorang Le Fay yang sejati. Mata Morgana yang identik dengan Draco itu mencoba mencari emosi yang ada di matanya, sedikit sulit bila dikatakan namun tidak mustahil untuk ditemukan. Morgana berhasil menemukan satu emosi yang ada di mata Draco, ketenangan adalah yang tertunjuk jelas di sana. Draco memang seorang Malfoy sejati, sangat jenius untuk menyembunyikan emosi dan perasaanya, sangat licik untuk menjadi seorang manusia, tidak heran bila topi penyeleksi menaruh Draco di asrama Slytherin dalam sekali sentuh.

"Aku melihat semuanya." Kata Morgana singkat. "Drama hidupmu sangat menarik."

Draco mengangkat alisnya dengan elegan, "Apa maksudmu?" tanyanya yang sedikit tidak mengerti dengan maksud nenek buyutnya.

Wanita itu beralih menatap bulan purnama yang besar di langit, sinarnya berwarna kemerah-merahan. Bulan merah yang menandakan pertumpah darahan di dunia sihir, emosi sayu berlalu dalam ingatannya namun dengan segera ia mengontrol emosinya.

"Kesedihan, penyesalan, dan pengkhianatan. Aku melihat semua dari apa yang terjadi pada hidupmu, kau berada di sini di hadapan nisan Harry Potter karena kau menginginkan ucapan maaf padanya, bukan?"

Draco tidak menjawabnya, atau lebih tepatnya ia tidak bisa menjawabnya karena Draco tahu kalau semua itu memang benar, hanya saja ia masih berada di dalam penyangkalan. Ia merasa sangat bersalah menyebabkan orang yang sangat dicintainya tewas tepat di hadapannya, Draco tidak bisa mencegah kematian Harry karena ia tidak mempunyai kekuatan untuk kembali ke masa lalu. Mungkin kalau Draco diberi kesempatan kedua, ia akan memperbaiki semua kesalahannya.

"Kau tahu mengapa aku ada di sini?" tanya Morgana dengan suara yang lebih lembut dari tadi, Draco menggeleng kepalanya pelan. "Aku tidak ingin melihatmu dalam penyesalan sama yang pernah terjadi padaku ribuan tahun yang lalu. Aku tidak ingin kau hancur perlahan-lahan sampai akhir sisa hidupmu sepertiku, Draco."

Anak muda itu menatap bulan merah yang sama dengan yang ditatap oleh Morgana. Bulan itu begitu besar dan cemerlang, warna putih yang biasanya menghiasi bulan purnama berganti menjadi merah. Seperti darah yang pernah kukorbankan, pikir Draco dengan sayu. Draco mengedipkan kedua matanya, bukankah bulan yang ia lihat tadi berwarna putih? Sejak kapan bulan itu berwarna merah?

"Kita sama?" tanya Draco tanpa melihat Morgana, tetapi ia bisa merasakan anggukan kepala nenek buyutnya. Ia mencoba untuk menyembunyikan perasaannya, Draco pernah membaca ini dalam sebuah buku tua di perpustakaan keluarga Noir. Bulan purnama tepat pada minggu kedua akan berubah warna menjadi merah saat ia merasakan datangnya penyihir gelap yang sangat ditakuti sepanjang masa, berarti alasan mengapa Morgana di sini sangat jelas, ada sesuatu yang wanita itu inginkan hingga ia repot-repot muncul di hadapan Draco.

"Kita sama, bahkan kalau boleh kubilang kita sangat mirip. Kita kehilangan orang yang sangat kita sayangi dan menyesali hal yang sama, aku meninggal dalam penyesalan dan aku tidak mau hal yang sama terjadi padamu juga, Draco." Ujar Morgana. "Kau masih muda dan memiliki masa depan."

"Lalu apa yang akan kau lakukan untuk mengubah nasibku agar tidak sama denganmu?" tanya Draco datar.

Wanita itu menggigit bibir bawahnya, mata silver-kebiruannya menatap sosok Draco yang sempurna itu. Draco mirip dengan seorang malaikat yang jatuh, The Fallen Angel bila Morgana boleh menyebutnya, postur tubuh dan wajahnya mengingatkan Morgana pada sosok suaminya yang telah meninggal lebih dulu dari dirinya. Keheningan menyelimuti mereka, keduanya tenggelam para rasa nyaman yang begitu sempurna itu tanpa ingin memprotes kekejaman takdir yang membuat keduanya seperti ini. Morgana menghela nafas, kutukan dari Merlin memang mengalir deras dalam darahnya, bahkan sampai ia meninggal kutukan itu akan selalu jatuh pada garis keturunannya.

"Aku ingin memberimu kesempatan kedua untuk merubah semuanya." Jawab Morgana perlahan, membuat perhatian Draco tertuju padanya secara perlahan. "Mengirimmu ke masa lalu dalam dimensi lain akan mengubah semuanya, Draco. Aku ingin kau membuktikan padaku kalau kau adalah Le Fay yang sejati, The Destiny Child yang disebut-sebut oleh Seer tertinggi ribuan tahun yang lalu."

Morgana memegang liontin kalungnya dan mengikatkannya pada leher Draco. Anak muda itu sama sekali tidak bereaksi, ia masih terkejut dengan pernyataan yang dibuat oleh Morgana barusan tadi. Liontin dengan emblem keluarga Le Fay, berupa salib yang dililit ular dan huruf petir. Wanita itu melambaikan tangan kanannya, sebuah lambang keluarga muncul di bawah pijakan kaki Draco dan bersinar. Membuat Draco tertelan cahaya yang begitu terang dan membuatnya kehilangan kesadaran, hal terakhir yang ia lihat sebelum pingsan adalah bayangan Morgana yang memberinya selamat jalan.

Wanita itu menatap sosok cucu buyutnya yang semakin menghilang dari hadapannya dengan tatapan sedih, "Aku harap apa yang kulakukan adalah benar. Selamat jalan, Draconis."

Meski setelah ribuan tahun ia hidup dalam penyesalan karena apa yang telah ia lakukan, Morgana tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada satu-satunya penerus keluarganya yang masih tersisa. Morgana memang telah lepas dari kutukan Merlin, tapi Draco yang merupakan Le Fay terakhir tidaklah lepas, meski begitu bukan berarti Morgana akan diam begitu saja melihat kutukan Merlin memakan habis tubuh cucunya.

"Kau tahu, Merlin. Di sini bukan hanya dirimu saja yang mampu melawan takdir, aku pun juga bisa melakukan itu." Gumam wanita itu sebelum sebuah seringai tipis muncul di wajahnya, "Kalau kau masih hidup, Love, apa yang akan kau katakan pada semua ini?

Untuk sementara waktu Morgana terdiam, ia menggelengkan kepalanya sebelum secara perlahan-lahan tubuhnya menjadi transparan dan akhirnya menghilang dari tempat itu, menyisakan kekosongan di makam Godric Hollow. Pada saat yang sama, bulan besar yang tadinya berwarna merah pun akhirnya kembali menjadi putih.


AN: Hi, teman-teman. Terima kasih telah membaca seri ini. Sebelumnya Sky mau minta maaf pada teman-teman yang telah menunggu-nunggu seri "Chasing Liberty", mungkin kalian bertanya-tanya mengapa seri itu tidak update setelah sekian lama dan apakah Sky sudah melupakannya. Itu tidak benar, seri itu masih Sky kerjakan dan masih menjadi proyek utama di sela-sela kesibukan Sky, tapi kalian harus memakluminya kalau Sky tidak bisa update sesering mungkin soalnya Sky lagi ditelan kesibukan kuliah dan tugas praktikum yang memakan waktu tiga bulan lebih. Padahal Sky ingin sekali melanjutkan seri itu, beberapa fic yang Sky update sebelumnya adalah fic lama yang telah Sky tulis satu tahun lalu, jadinya beberapa seri itu masih bisa update. Mohon maaf ya, teman-teman, tapi Sky janji akan segera mengupdate Chasing Liberty sesegera mungkin. Maaf kalau AN kali ini lebih panjang dari biasanya

Author: Sky