headnote:: fic yang pengen di-pub dari dulu. daripada hana diem aja karena lagi terlalu sibuk sampe susah nyari inspirasi, kenapa ga publish ini? baca juga note hana di akhir cerita~ enjoy yaa :)

o-.x.-o

the green-eyed gay-magnet and the grey-eyed gentleman
a multichapter
by- HanariaBlack

o-.x.-o

Namaku Harry Potter.

Pemuda biasa dari negara Britania Raya, pemuda tanpa keistimewaan dengan tiga saudara lebih muda, pemuda tanpa kehebatan berarti yang berumur genap 16 sejak dua minggu sebelumnya... an ordinary me.

Aku punya keluarga yang harmonis. Ayahku, James, mewarisi rambut hitam berantakannya padaku, dan punya hobi memancing serta menonton pertandingan sepak bola di stadium di tengah kota Surrey.

Ibuku, Lilianne, yang memberikanku mata hijau yang identik dengannya—cantik, berambut merah—selalu memasak makanan yang membuat ayahku menari saking sedapnya, dan memiliki kedua tangan magis yang merawat semua tanaman hidroponik di kebun belakang.

Adik pertamaku, Jamie, adalah remaja 14 tahun yang sifatnya sama parahnya dengan Dad di waktu remaja—bandel, tak terkontrol. Perawakannya betulan mirip dengan ayahku, hanya rambutnya tidak terlalu berantakan.

Adik keduaku, Al, satu tahun lebih muda dari Jamie, adalah yang paling jenius. Aku dan Al sudah seperti saudara kembar (dan aku paling akrab dengan Al, karena kami sering menghabiskan waktu bersama)—hanya saja matanya lebih kecokelatan, tidak berkacamata, dan ujung rambutnya berwarna kemerahan tua seperti Mum.

Sementara anak bungsu Dad dan Mum, Lily, berambut merah gelap dengan mata hazel, adalah yang paling kalem. Umurnya masih sebelas tahun, tapi kudengar Lily sudah menarik banyak perhatian anak-anak cowok—dengan bermain bola di lapangan sebelah atau duduk di barisan yang isinya cowok semua. Lily tomboy, mungkin karena hidup dengan tiga kakak lelaki, tapi aku sering melihatnya malu-malu memandangi kotak kosmetik Mum di depan meja rias berkaca tinggi. Mungkin suatu saat nanti, aku bisa melihat Lily mengenakan dress berenda seperti remaja gadis kebanyakan dengan sepenuh hati, bukan karena paksaan dari Mum...

Sementara aku? Hanya anak sulung yang tubuhnya agak pendek karena aku mewarisi postur tubuh ibuku. Rambut hitam acak-acakan—seberapa banyakpun aku menyisir, sekuat apapun aku berusaha, hasilnya tidak pernah memuaskan—mata hijau berbentuk buah badam, buta selamanya jika tidak ada kacamata untukku, dan pemilik pakaian-pakaian kebesaran di lemariku yang bobrok dimakan usia. Well, aku bukan fashionista atau pengikut mode, dan aku tidak peduli pada apa yang dipikirkan orang-orang. Selama pakaian-pakaian kebesaran itu tidak membuatku berkeringat dan tidak nyaman, aku akan terus memakainya.

Kami hidup di kota kecil Little Whinging. Tidak terlalu padat, membuatku sulit bertemu teman sebaya... tidak terlalu sepi, karena masih banyak kendaraan yang lalu-lalang di depan rumahku yang terletak di pinggir Jalan Privet Drive.

Rumah kami bisa terbilang cukup luas, karena aku dan ketiga adikku memiliki kamar pribadi masing-masing. Dad berkerja di bidang legislatif, sementara Mum berkerja sebagai dokter kandungan di klinik di tengah kota. Ada kebun belakang yang dipenuhi warna-warni banyak bunga hasil usaha Mum, dapur dengan peralatan masak menggantung di atas konter, tiga kamar mandi, juga satu ruangan untuk peristirahatan tamu—biasanya Dad mendatangkan satu atau dua pekerjanya dan lembur di teras rumah untuk berkerja sampai larut, dan pekerja-pekerja itu akan tidur di kamar tamu.

Aku akan menginjak kelas dua di Senior setelah liburan musim panas ini, dan aku telah menetapkan hati untuk menghabiskan lebih besar waktuku dengan mempelajari materi ilmu pengetahuan—karena aku disuruh masuk Cambridge atau Oxford oleh Mum—dan tidak akan berusaha mencari pacar... karena aku masih menderita patah hati diselingkuhi. Kalian tidak perlu tahu siapa namanya, karena orang itu pasti akan terus mendatangi rumahku untuk meminta maaf, yang kubalas dengan pandangan membunuh atau, simply meminta pembantuku untuk mengusirnya dari rumah...

Seusai aku memahami bab pertama semester satu textbook Biologi, menghabiskan... entah, satu jam, mungkin—aku keluar untuk menghirup udara segar karena aku merasa sangat lelah dan pikiranku keruh, headphone menggantung di leherku, mendendangkan suara merdu Ed Sheeran, dan aku mulai terlena memandangi langit senja... tetap berjalan... sampai aku menabrak seseorang lalu terjatuh.

Begitu aku mendongak, agak heran kenapa orang yang kutabrak tidak terjatuh juga, aku langsung terperangkap dalam kolam kelabu yang begitu mengilap bagai perak, dan terhisap ke dalamnya seolah ada unsur magnetik di dalam matanya yang tajam...


[standard diclaimer applied.]

"Losing him was blue, like I'd ever known, missing him was dark grey all alone, forgetting him was like trying to know somebody you've never met... 'cause loving him was red..."
—Taylor Swift, Red


Aku baru pulang ketika langit telah menggelap dengan warna lembayung, dan ingatanku akan pemuda beriris kelabu itu kembali menghantui benakku.

Dia berpakaian hitam... rambutnya mencolok sekali karena warnanya seperti platina... kulitnya pucat... garis wajahnya runcing...

Aku membuka pintu, dan aroma sedap yang selalu menguar dari masakan Mum menyambutku. Aku melihat Jamie tengah beradu otak bermain catur di depan konsol bersama Dad, keduanya memasang ekspresi yang identik, lalu ada Mum yang tengah menaruh sepiring fairycake (1) hangat dengan sarung tangan dan apron cokelat. Mum tersenyum padaku,

"Menikmati waktu menjernihkan kepalamu, Harry?" tanyanya.

Aku mengangguk, tersenyum sambil mengambil sebuah fairycake bertabur choco chip. Aku mengambil gigitan pertama, dan lidahku dimanjakan oleh rasa manis yang nikmat. "Aku suka fairycake buatan Mum," komentarku.

Mum mengacak rambutku. Karena aku tidak terlalu tinggi, Mum tidak perlu berjinjit seperti ibu kebanyakan pada anak mereka yang tingginya telah melampaui mereka. "Ada tetangga baru yang mengisi rumah Mr Sweepstone," kata Mum. Mr Sweepstone dulu tinggal di sebelah rumahku. Tapi Mr Sweepstone pindah ke suatu tempat di Chester. "Kau bersedia mengantar sepiring fairycake lagi ke tetangga baru kita? Aku dengar mereka punya anak seumuranmu."

Aku agak ragu, tapi aku tidak pernah bisa tega untuk menolak permintaan Mum. Mum terlalu banyak berkerja keras untukku... aku harus berterima kasih. "Oke, Mum," kataku. "Aku mau mandi dulu, tapinya. Boleh?"

Mum mengangguk sambil tersenyum.

Aku meninggalkan Mum, naik meniti tangga untuk sampai ke kamarku yang ada di sebelah kamar Al, menaruh headphone, mengambil pakaian, lalu ke kamar mandi. Aku tidak menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, karena nanti kulitku jadi mengerut dan terasa kasat. Bukannya aku seperti anak cewek, aku hanya malas berada dalam kedaaan tanpa berbusana.

Seusai berpakaian tanpa menyisir sama sekali, aku turun ke bawah, untuk mengantar sepiring fairycake atas permintaan Mum. Aku melihat Lily yang duduk di meja makan dengan buku-buku penuh warna, sambil mengunyah fairycake keju.

"Mana Mum?" tanyaku, melirik piring fairycake yang telah kosong, lalu piring lain yang masih diisi tiga buah fairycake. "Hey. Kau makan fairycake yang telah disediakan Mum untuk tetangga sebelah?"

Lily mengangkat bahunya, mendongak dengan ekspresi takut-takut. "Mum tidak bilang apa-apa tentang kue untuk tetangga."

Aku menghela singkat, "Oke. Tiga buah mungkin cukup," aku mengambil piring fairycake yang ada di dekat Lily. Aku menyadari tatapan kecewa yang ditujukan Lily pada piring yang kuangkat. Aku mendengus, "Makanya. Belajar masak, dong."

Mengabaikan seruan, 'aku 'kan masih kecil!' aku memakai sandal dan menggeser pagar, lalu berjalan sedikit untuk sampai ke rumah di sebelah—

Oh, wow. Aku tidak tahu rumah Mr Sweepstone yang dulunya sederhana sekali, bisa terlihat se... elegan ini.

Aku mendadak gugup. Aku melihat pintunya terbuka, biarpun sedikit, dan aku bisa mengintip sebuah rak setinggi langit-langit yang tampaknya dari kayu hitam. Aku menelan ludah, berharap tetangga baru ini ramah dan tidak terlalu aneh seperti Mr Sweepstone...

Melenyapkan pikiran yang membuatku makin gugup dalam satu gelengengan kepala, aku menggoyangkan pagarnya hingga suara berisik terdengar.

Aku langsung malu mendengar bunyi pagar besi yang kugoyang berisik sekali, karena aku tidak punya ide lain untuk membuat tetangga baruku keluar untuk menerima fairycake dari keluargaku.

Masih dalam rasa malu, aku melihat pintu tadi terbuka lebih lebar, dan seseorang yang baru saja mencetak bayangannya dalam pikiranku muncul, membuat ujung kakiku membeku, diikuti seluruh tubuhku yang mendadak kaku.

Itu pemuda bermata kelabu, berambut pirang, jangkung dan runcing, yang baru kutabrak beberapa jam yang lalu.

Aku merasa darah berkumpul ke pipiku.

Mata kelabu itu lurus menatapku. Memegang pandanganku dengan tangan-tangan tembus pandang yang dingin, tapi entah, aku tidak bisa lepas dari penjara pandangannya. Mata kelabu itu seolah menahanku untuk tidak mengalihkan pandangan.

Terperangkap. Ditambah dengan fakta bahwa tubuhku mematung dan tenggorokanku kering mendadak... ini terasa seperti tes nasional yang menentukan nasib akhir pendidikanku. Bukan hal sepele macam menemui tetangga baru.

Pemuda itu berjalan mendekat, ia hanya mengenakan kaus hitam polos—tanpa jaket, tidak seperti sebelumnya—dan rambut pirangnya masih tertata seperti waktu aku menabraknya. Mengingat insiden itu membuat aku lebih malu lagi, makanya aku memfokuskan perhatianku pada fairycake kuning keemasan yang di-topping meses warna-warni, lalu yang cokelat polos, dan yang di atasnya ditabur choco chips.

"Ada yang bisa kubantu?"

Suara asing itu menggelitik gendang telingaku, dan aku menggigit bibir bawahku secara spontan untuk terus menatap iris kelabu di depanku.

"A-aku tetanggamu," yang menabrakmu tadi, tambahku miris dalam hati, "Dan aku membawakanmu fairycake buatan ibuku," aku mendekatkan tiga fairycake yang beralaskan piring kaca transparan ke arah pemuda bermata kelabu itu, "Kuharap kau menyukainya."

Pemuda itu tidak langsung mengambilnya. Ada jeda yang kosong dan cukup panjang merayap sebelum tangannya yang lebih besar dariku mengambil alih piringnya. "Untuk apa kau memberiku kue-kue ini?"

Aku terdiam sesaat. Kenapa tidak bilang 'terima kasih' dan seluruh kecanggungan ini selesai? Aku berdeham. "Kau tetangga baruku. Memberimu sesuatu itu sopan. Tandanya aku menghormatimu sebagai tetangga yang baik." tambahku, ketika melihat alis pirangnya naik sebelah.

"Oh," katanya. "Kau tidak perlu repot."

Aku menggeleng ketika ia menyodorkan balik piringnya ke arahku. "Aku tidak mungkin membawa pulang kue-kue ini ke rumah."

Matanya menyorotkan kekesalan yang nyaris tak terlihat. Tapi aku, yang paling bisa membaca emosi di keluarga bersama Mum, bisa menangkap bahwa pemuda asing ini tidak menyukai ucapanku.

"Well," katanya, lebih dingin. "Aku tidak suka makanan manis."

Aku menggeleng, "Berikan pada anggota keluargamu yang tinggal di sini?" usulku.

"Aku hanya tinggal sendirian," katanya, mata menajam.

Aku tidak tahu dia tinggal sendirian. Pemuda itu kelihatan tidak terlalu jauh usianya denganku. Yah, tapi, dia memang sangat jangkung. Aku saja harus mendongak untuk membalas pandangannya.

"Err," kataku, buta jalan keluar. "Aku tidak mungkin memakan kue-kue ini. Atau membawanya pulang."

Sunyi, sebelum suara asing itu memecahkannya. "Ibumu akan kecewa?"

Aku mengangguk, "Yeah," kataku. "Makanya, kau harus makan."

"Aku bilang, aku tidak suka makanan manis. Aku yakin kue-kue ini manis sekali."

Aku mulai merasa jengkel. "Ini hanya makanan manis. Kau 'kan sudah dewasa. Ampun, deh."

"Ini hanya makanan manis. Untuk apa aku mengorbankan lidahku yang membenci gula sama sekali?"

Alisku turun dalam ekspresi yang sangat tidak sopan untuk diperlihatkan pada tetangga. "Tidak bisakah kau menghargai usaha seseorang?" tanyaku ketus.

Mata pemuda itu menyipit. "Tidak bisakah kau menghargai opini seseorang dalam rasa makanan?"

Kami saling mengirim pandangan membunuh, sama-sama keras kepala, aku kesal dan dia kesal, sampai akhirnya aku mengusap wajah dengan telapak dan menunjuk batang hidungnya.

"Berhenti memilih-milih makanan seperti anak kecil!" seruku murka.

"Berhenti memaksaku makan makanan manis seperti ibu-ibu," katanya menusuk.

"Aku tidak akan mau punya anak sepertimu," aku menggerutu, "Kau tetangga paling menyebalkan."

"Aku bisa katakan hal yang sama padamu."

"Bisa berhenti mengopi perkataanku? Kau sangat tidak kreatif," desisku.

"Aku malas bicara dengan orang yang tidak mau mendengarkan opiniku terhadap makanan."

Aku mengerang frustasi, "Aku tidak mungkin menjilat ludahku sendiri!"

Kami kembali mengirim tatapan yang bisa melubangi kepala masing-masing, sampai mata kelabu pemuda pirang itu teralih ke samping dengan bunyi desisan meluncur dari bibirnya yang terbuka sedikit.

"Oke," matanya terarah ke bahuku, tidak langsung menatap mataku. Ekspresinya keras. "Ayo, masuk ke rumahku."

Kekagetan membuat aku mundur tiga langkah, dan mataku membesar bersama warna merah yang melukis di sekitar pipiku. Apa maksud perkataan itu?! "Kau sangat vulgar!" kataku tajam, menaruh sebanyak-banyaknya unsur hinaan di intonasiku.

Pipi pucatnya ikut memerah, tapi tidak segelap merah di pipiku. "B-bukan begitu maksudku!" ia kelihatan gelisah, dan aku juga gelisah. Pandangannya bolak-balik antara mata dan bahuku... aku tidak tahu apa yang menempel di bahuku sampai membuatnya terus memerhatikan bahuku. "K-kita makan fairycake ini berdua... karena aku tidak akan tahan makan lebih dari satu buah manisan."

Aku tersentak. Makan berdua? Dengan pemuda pirang yang baru kukenal? Mum selalu bilang, kita tidak boleh memberikan kepercayaan yang besar pada orang yang baru dikenal. Pipiku terlalu panas membakar sampai rasanya matahari siang tadi tidak terlalu menyiksa bagiku. Aku menunduk malu,

"K-kalau itu memang jalan satu-satunya..." perkataanku tidak berakhir, menggantung di udara bersama partikel gas di atmosfir yang tidak bisa dilihat keberadaannya. Aku masih menunduk, tidak ingin tetangga baruku melihat pipiku yang semerah ceri dengan menyedihkannya, dan aku makin malu merasakan pandangannya yang terpusat ke arahku. "...o-oke," balasku kaku, menggaruk tengkuk.

Karena tidak ada balasan yang terdengar, aku mendongak, dan menemukan sepasang iris kelabu yang memandangku intens, seolah aku adalah pisang dan dia monyetnya.

"Baiklah," katanya, lalu mundur untuk mempersilakanku masuk ke pagarnya yang telah dibuka. "Ayo, masuk."

o-x-o

Di luar terlihat elegan, rumah di bagian dalamnya juga elegan. Setiap furnitur yang kulihat di ruang tamunya pasti terukir indah dengan pola melingkar yang unik. Aku melihat beberapa figura yang memajang lukisan abstrak yang penuh makna, dan aku melihat ada figura foto—di samping vas bunga yang bentuknya seperti guci mini—yang berisi empat orang berambut pirang. Aku mendekat, menunduk sedikit, berani melihat karena si pemilik rumah tengah menyediakan teh untukku, dan aku berasumsi bahwa itu foto keluarganya.

Yang wanita berambut panjang dengan senyuman elegan itu ibunya, pria bermata tajam itu ayahnya, dan... dua anak kecil pirang itu pasti si tetangga barunya itu dengan saudara kandungnya.

Aku melihat rambut anak yang paling besar itu platina, seperti ayahnya, dan aku yakin bahwa itu pasti tetanggaku, sementara anak kecil lainnya—yang nyengir kekanakan—berambut pirang lebih mirip ibunya, pasti adik tetanggaku.

Aku melirik latar tempatnya—sebuah danau biru yang dikelilingi tumbuhan berbunga putih—ketika suara berdeham dan suara berintonasi datar mengagetkanku dari belakang.

"Tidak bisakah kau duduk dengan sopan di tempat yang seharusnya?"

Aku malu, lalu nyengir minta maaf, "Sorry," aku mendekat ke sebuah sofa biru pucat yang memiliki cushion di atasnya. Aku mengenyampingkan cushion-nya, lalu melihat tetanggaku menaruh nampan tembus pandang berpegangan keemasan yang menjadi alas dua cangkir termewah yang pernah kulihat, dan juga, piring berisi tiga fairycake buatan ibuku.

"Tindakanmu sulit dimaafkan."

Aku menghela, "Maaf," ulangku, lebih keras.

"Terserah," mendadak, pemuda itu menyodorkan tangan pucatnya, membuatku menatap tangan yang lebih besar itu bingung. "Perkenalkan, namaku Malfoy. Draco Malfoy."

Oh. Aku menjabat tangan itu sesaat. Hangat. "Harrison," kataku, jeda sebentar, "Panggil saja Harry."

"Senang mengenalmu, Harrison," kata Draco, dan aku sadar betul dia menolak memanggilku dengan lebih akrab. "Tidak masalah aku menyediakanmu Earl Grey?"

Aku suka Earl Grey. Aku tidak membiarkan Draco mengetahuinya, tentu. "Tidak masalah, terima kasih," kataku, dan Draco mengangkat secangkir tehnya. Aku melirik fairycake di piring yang teronggok. "Sebelum minum, kenapa tidak mencoba kue pemberianku dulu?"

Draco berhenti mendekatkan cangkirnya ke bibir, sebelum menaruh kembali cangkirnya ke atas nampan seraya memberiku tatapan mengkritik. "Kau bukan tuan rumahnya," ucapnya sinis, dan aku hanya memandangnya polos. Ia menghela. "Ada benarnya juga," dia mengambil sebuah fairycake, dan memandang sekeliling kue itu dengan dahi mengernyit. Ia melihatku memandanginya, dan ia memerintahku, "Kau ambil juga."

Aku mengambil fairycake yang paling dekat denganku—topping meses warna-warni—lalu mulutku mulai berair. Biarpun tidak hangat lagi dan baunya tidak terlalu semerbak, aku masih bisa membayangkan bagaimana tekstur lembut fairycake buatan Mum meleleh di lidahku. Yum.

"Kau menatapnya seolah kau tidak makan selama tiga hari," komentar Draco, dan dia menatapku dengan tatapan tidak percaya.

"Aku selalu mencintai makanan, terutama yang manis-manis," aku membela selera makanku.

Dia menggeleng, "Aneh," katanya, lalu memandangku dan fairycake bergantian. "Aku baru pertama kali bertemu dengan anak lelaki yang bergigi manis."

"Well," aku mendengus. "Dunia itu luas."

Dia hening, tidak bicara, lalu menggigit fairycake-nya. Ekspresinya tak terbaca.

"Bagaimana?" aku menanyakan pendapatnya.

"Eurgh," Draco mengunyah, lalu menelan. "Lembut. Manis. Tapi aku tidak menyukainya."

Aku tertawa sejenak, lalu ikut mengambil segigit fairycake. Aku langsung menghela nikmat. Tidak ada masakan yang bisa menandingi masakan Mum. "Aku kasihan padamu," kataku, setelah menelan gigitan pertama.

Draco memandangku tajam.

"Bercanda," aku mengambil dua gigitan besar sekaligus, lalu membuka bungkusnya seraya mengunyah. Tinggal dua sampai tiga gigit lagi, dan kue tercintaku habis.

Draco memandangiku.

"Apa?" tanyaku, menjilat bibirku, in case ada sisa yang menempel di sekitarnya.

Mata kelabunya tertawa, biarpun mulutnya merupakan garis datar tanpa ekspresi. "Ada sisa kue," matanya tertuju ke ujung kanan bibirku. Aku berusaha meraihnya, tapi aku tidak merasakan apa-apa. "Biar aku yang membantu."

Sebelum aku sempat membalas, Draco telah mencondongkan tubuhnya ke depan, dan aku merasakan jemarinya mengusap ujung bibirku. Aku mematung, tanganku merekat tak bergerak pada fairycake yang belum usai kumakan, dan aku menahan nafas sampai tangannya menjauh dari bibirku.

"Nah," kata Draco pelan, lalu menjilat sisa kue di bibirku yang ada di jarinya. "Itu baru enak."

Warna merah meledak di pipiku, dan menyebar sampai aku bisa membayangkan seluruh wajahku merah seperti disiram air mendidih.

"A-apa... tadi... kenapa... kau..." ucapanku terbata-bata, dan aku merasa lidahku ikut membeku seperti kelopakku yang mendadak ogah turun untuk berkedip.

"Kalau kau menanyakan apa alasanku," suara Draco mengandung senyuman. Aku melotot ketika aku mendapati bibirnya betul-betul menyunggingkan senyum. Dan senyuman tengil, parahnya. "Aku hanya berniat membantumu."

Aku tidak percaya. Membantu, katanya? Kalau memang itu jawabannya, kenapa ia memasang senyuman tengil seperti Kucing Chesire begitu? Aku melahap seluruh fairycake yang tersisa di tanganku, keburu nafsu makanku hilang karena Draco.

"Aku tidak tahu kau itu gay," aku berkata, memberikan tatapan sedatar mungkin pada wajah runcingnya, dan aku melihatnya menggigit sedikit fairycake lagi dengan wajah mengerut.

"Aku fleksibel."

Fleksibel? Aku merasa kurang nyaman. "Bi, maksudmu?"

"Biseksual," ia mengonfirmasi dengan gamblang, membuat pipiku memerah sedikit.

"Aku harus menjauh darimu," gumamku, mengapit cuping cangkir di antara ibu jari dan telunjukku yang tertekuk. "Aku straight," tambahku, lalu menyesap perlahan cairan Earl Grey yang selalu bisa membuatku lebih rileks. Aku menutup mata secara refleks.

"Oh," dengusan mengejek. "Sayang sekali."

Draco mengatakannya setelah aku meneguk Earl Grey, dan aku langsung terbatuk-batuk tersedak. Tanganku menaruh kembali cangkirnya, dan tangan yang lain memukul-mukul dadaku.

Di antara kesengsaraanku, aku mendengar Draco tertawa. Pasti dia senang melihatku tersedak. Pasti dia bahagia melihatku sengsara. Git.

"Boleh aku pulang?" aku bertanya dengan tidak sopannya, tapi aku tidak peduli. Menjauh dari pemuda menyeramkan ini adalah prioritas utamaku.

"Kenapa? Kau pasti berpikir Earl Grey dan rumahku membuatmu nyaman."

Najis, pede amat. Biarpun dibilang munafik, aku menolak untuk menyetujui ucapannya. "Tapi, kau membuatku tidak betah," aku berekspresi dengan frontal. Mata hijauku menatap mata kelabunya jujur. "Boleh aku permisi?"

Draco tertawa lagi, dan aku baru menyadari ada lesung pipi di kompleksi pucatnya. Gadis-gadis di sekolah pasti langsung bergosip sambil menunjuk-nunjuk pipi Draco penuh keterkaguman dan ekspresi gemas.

"Kurasa kau bisa datang lagi ke sini. Kau cukup menghibur," katanya, lalu berdiri. Fairycake yang belum habis masih berada di tangannya. Aku ikut berdiri. "Senang menerima tamu sepertimu."

"Aku bukan mainan," aku mengomentari ucapannya tentang aku yang menghibur.

"Memang bukan," kata Draco, tertawa lagi, lalu menuntunku sampai ke luar pagar.

Aku berbalik, hendak menunduk, ketika sebuah tangan mendarat di bahu kiriku. Aku otomatis mendongak, dan sebuah fairycake yang baru digigit sedikit menyentuh bibirku.

"Makan," kata Draco, ketika mata kami bertemu. Tangannya masih di bahuku, melarangku untuk bebas dari genggamannya.

Aku memasang ekspresi 'demi what?', "Itu bekas," tolakku.

Draco tertawa lagi, tapi kali ini lebih singkat. "Aku tidak memiliki penyakit yang menular," ia mengetukkan fairycake-nya lagi ke bibirku seperti mengetuk pintu. "Lagipula, makanan ini ibumu yang buat."

Aku memutar matanya, lalu membuka mulutku. Draco mendorong masuk fairycake-nya, dan aku mengunyah seraya memelototi pandangannya yang senang.

"Apa liat-liat?" tanyaku, mulut penuh oleh fairycake yang belum ditelan.

"Tidak," kata Draco, dan senyumannya luntur, menyisakan bibir yang tertarik miring samar-samar. "Kau manis."

Aku menyemburkan isi mulutku—kunyahan berbentuk mungil dari fairycake yang belum sempat kuselamatkan menuju kerongkongan—lalu terbatuk-batuk lagi. Aku membungkuk, karena ada juga kue yang tersangkut masuk ke tenggorokan.

"Kau tidak apa-apa?" kudengar Draco bertanya di antara tawa. Ia menepuk-nepuk bahuku, dan aku menampar tangannya menjauh dengan pandangan ofensif. "Aku serius kalau aku mengatakanmu manis."

"Kau orang sialan yang membuatku tersedak dua kali!" aku mendorong dadanya—karena aku kurang tinggi untuk bisa mendorong bahunya. Kampret, memang.

"Terserah," Draco tersenyum lagi, seperti Kucing Chesire. Dia mundur, lalu menutup pagarnya. "Aku harap kita bertemu lagi."

Aku menendang pagarnya sebagai balasan, menimbulkan bunyi, 'treeeng' yang keras.

Dia tertawa lagi, "Omong-omong, apa kau kenal Theodore Nott?"

Theodore Nott? Err, itu salah satu seniorku yang masuk Prefek... dan aku ingat, aku pernah bertemu dengannya di Perpus sekolah. Theodore Nott adalah kutu buku, pemurung, tapi punya segudang fans di sekolah. Aku mengangguk.

"Oke," katanya, lalu mengedip padaku dengan senyuman... senyuman... eurgh, nakal. Aku merinding dibuatnya. "Sampai jumpa."

Aku menendang pagarnya lagi, lalu pulang ke rumahku yang damai dan tenang. Mum menanyakan apa respon tetangga baru (yang sialan) terhadap fairycake buatannya, dan aku berbohong karena aku bilang Draco suka dengan kue Mum. Aku tahu itu salah, tapi toh, hadiahnya adalah senyuman lega Mum yang sangat berharga...

o-x-o

Pada pagi harinya, ketika aku keluar rumah untuk berangkat ke sekolah, aku tidak percaya akan pemandangan yang menyambutku di depan rumah.

Draco dengan seragam putih, blazer hitam, dan dasi hijau bergaris perak, yang berdiri di sana. Seluruh atributnya identik dengan milikku, kecuali sepatunya yang jelas kelihatan lebih berkelas dan... badge biru yang menandakan bahwa dia satu tahun lebih tua dibanding aku.

Aku merasa darah turun secara dramatis sampai wajahku hanya tinggal warna putihnya saja...

x

To Be Continued...

x

mojok curhat hana: here I am, bukannya ngelanjutin multichap lain, malah buat yang baru. kampret ya? maaf u.u ini plotbunny sih, susah ditahan... daaan ini dia, senior!draco pertama hana... silakan tunggu romance yang bakal dateng di chapter berikutnya, gimana reaksi harry selanjutnya, dan beberapa pairing yang mungkin bakal dimunculin... ada yang mau ngasih ide siapa aja senior di fic ini?

fyi, fairycake ini british-nya american cupcake.

terima kasih untuk waktu membacanya, hana seneng banget ada yang mau baca :)

Peyukcium,

-Hana,
Finished on 9th of September.

P.S:: HANA KAGET BANGET NAMA HANA ADA DI NOMINASI IFAAAAA TuT my God siapapun kalian yang udah nominasiin, makasih banyak bangetan yaaaa *nangis bahagia* dukungan kalian beneran bikin Hana seneng banget suer deh. :') *cium-cium*