Naruto by Masashi Kishimoto.

Saya hanya meminjam karakter di dalamnya dan sama sekali tidak mengambil keuntungan materi dari cerita ini.

.

Cerita ini adalah lanjutan dari Between karya Kira Desuke. Sangat disarankan untuk membaca terlebih dahulu fanfic tersebut sebelum membaca cerita ini meski bisa dibaca secara terpisah.

Saya juga mempersembahkan cerita ini untuk sahabat saya tersayang, happyflarg yang baru saja diwisuda. Congratulation, Dear! :D

Selamat membaca!


Sehangat Mentari

Bagian Satu


Sakura menahan napasnya, sebelum dia mengembuskannya secara perlahan. Desir angin sore yang membelai kulit lengannya dibiarkan begitu saja. Semilir angin memainkan anak-anak rambutnya. Sakura sangat menikmati saat-saat di waktu seperti ini. Senja yang sebentar lagi padam digantikan malam yang panjang. Gaun rumahan tanpa lengan yang dikenakannya jatuh pas membalut tubuh rampingnya. Sore hari begini dia akan menikmati kesendiriannya sambil meminum secangkir kopi di teras belakang losmen tempatnya tinggal. Suasana yang tenang, paling-paling hanya beberapa teman seprofesinya saja yang sibuk mondar-mandir mempersiapkan diri sebelum dijemput atau menjemput pelanggan. Sakura tersenyum kecut. Sampai kapan dia harus melakukan rutinitas seperti ini?

Sebuah tepukan yang mendarat di bahunya mengalihkan perhatiannya.

"Melamun lagi?"

Sakura tertawa pelan. "Aku tidak melamun, hanya—"

"—memandang langit sore." Wanita paruh baya yang tadi menepuk bahu Sakura duduk di kursi plastik di sebelah Sakura. Mereka hanya dipisahkan sebuah meja plastik berwarna biru.

Sakura tersenyum, tidak tahu lagi harus menjawab apa. Tsunade, wanita paruh baya itu, sudah Sakura anggap sebagai seorang ibu, pengganti ibu kandungnya sendiri yang sudah meninggal. Tsunade-lah yang memberinya tempat tinggal saat dia dan ibunya yang sakit-sakitan terluntang-lantung di jalanan lantaran ayahnya yang mabuk-mabukan menjual satu-satunya rumah yang selama ini ditempati oleh Sakura dan ibunya demi membayar hutang dan puluhan botol minuman keras.

"Ada apa? Kau kelihatan murung seminggu ini?"

Sakura mengerjapkan matanya, memandang sejenak ke arah Tsunade. "Ah, Ibu terlalu perasa. Aku tidak apa-apa." Kebanyakan dari para wanita yang tinggal di losmen ini memanggil Tsunade dengan panggilan Ibu. Begitu pun dengan Sakura. Beberapa bulan setelah ibunya meninggal, dia memanggil Tsunade dengan panggilan Ibu. Sejak memilih terjun menekuni profesi yang kini dijalaninya, Sakura sadar akan akibat serta penilaian orang kepadanya. Dia paham, meski zaman sudah berubah, orang-orang dari golongan seperti dirinya hanya akan dianggap sampah masyarakat dan dia menerima itu semua. Karena begitulah adanya. Mau memalingkan wajah pun kenyataan itu tidak akan berubah.

Namun bukan berarti dia sama sekali tidak merasa getir dengan keadaan yang membelenggunya. Kalau boleh, dia ingin lari dari semua ini. Tapi semuanya sudah terlanjur basah. Demi mendapatkan sesuap nasi dan uang yang cukup banyak untuk pengobatan cuci darah ibunya, Sakura rela meninggalkan kuliahnya yang seharusnya tinggal semester akhir dan menjalani profesi yang sama sekali tidak diinginkannya.

Ingatan Sakura lari menuju awal mula kehidupannya sebagai seorang pelacur. Awalnya Sakura hanya mencoba mencari pekerjaan yang layak untuk pengobatan ibunya. Namun semua lamaran kerjanya ditolak, bukan hanya karena dia sama sekali tidak memiliki pengalaman kerja, tapi juga karena dia belum sarjana. Betapa saat itu Sakura menyadari bahwa gelar sangatlah penting dalam mencari sebuah pekerjaan di zaman sekarang ini. Sarjana saja banyak yang menganggur, maka Sakura hampir tidak memiliki peluang sedikit pun. Sampai akhirnya dia meminta bantuan pada Tsunade, wanita paruh baya pemilik losmen untuk mencarikannya pekerjaan. Bahkan sebagai pembantu rumah tangga pun Sakura mau asalkan dia bisa mengumpulkan uang untuk pengobatan ibunya.

Tsunade kala itu hanya memandang iba. Sebagai pemilik losmen di mana Sakura dan ibunya tinggal, tentu dia ingin membantu Sakura. Tapi apa benar tawaran pekerjaan yang akan ditawarkannya pada Sakura adalah sesuatu yang baik bagi diri Sakura sendiri. Namun dibelit kondisi keuangan dan kesehatan ibunya yang semakin kritis, Sakura kembali memohon dan berkata akan bekerja seserius mungkin jika Tsunade dapat memberikannya sebuah pekerjaan. Akhirnya Tsunade tidak tega dan menawarkan pekerjaan yang sebenarnya tidak tega dia berikan kepada Sakura. Sakura ingat, dia masih berusia 21 tahun kala itu.

"Sebelumnya, apa kau masih perawan, Saki?"

Sakura terperanjat mendengar pertanyaan Tsunade. Menurutnya apa yang ditanyakan Tsunade tidaklah relevan dengan perkataan Tsunade sebelumnya yang mengatakan akan menawarkan sebuah pekerjaan untuknya. Namun akhirnya dia menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya."

"Sebelum aku memberitahumu mengenai pekerjaan ini, aku berkata sekali lagi, aku sama sekali tidak menyarankan pekerjaan ini padamu, tapi—"

"Kumohon, Tsunade-san! Aku akan bekerja dengan baik. Tolong beritahu aku apa pekerjaan yang harus kulakukan?"

"Kau tahu 'kan ada sebuah klub malam yang cukup besar di depan losmen ini?"

Sakura menganggukkan kepalanya. Dia ingat, klub malam itu membelakangi losmen tempatnya tinggal sekarang. Kadang dia sering bertemu dengan Matsuri, waitress yang bekerja di klub malam itu di pintu belakang klub yang menghadap ke losmen. Posisi losmen berada di belakang sebelah kiri klub.

"Apa aku akan bekerja di sana, Tsunade-san?"

Tsunade mengangguk lemah. Sedangkan Sakura tersenyum lega. Dipikirnya dia akan menjadi waitress sama seperti Matsuri.

"Kemarin manajer klub malam itu mengunjungiku, dia melihatmu ketika kau baru pulang mencari pekerjaan." Tsunade menghentikan perkataannya. "Dia ingin menawarimu pekerjaan."

"Pekerjaan?! Astaga, terima kasih, Tuhan!" Sakura mencium tangan Tsunade dengan penuh terima kasih. "Terima kasih, Tsunade-san."

Tsunade merasa bersalah. Dia melepaskan tangan Sakura yang masih menggenggamnya. "Sakura, sebaiknya kau menolak pekerjaan itu."

Sakura terperanjat. Menolak? Tidak, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. "Tapi kenapa aku sebaiknya menolak, Tsunade-san? Aku berjanji akan bekerja sebaik mungkin. Aku juga akan mulai mengumpulkan uang untuk membayar sewa losmen yang hampir dua bulan tidak kubayar." Selama ini Tsunade memang membiarkan Sakura dan ibunya tinggal tanpa membayar sewa. "Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu, Tsunade-san."

"Aku tidak menyarankanmu menerima pekerjaan itu, karena pekerjaan itu adalah menjadi kupu-kupu malam, Sakura," desah Tsunade lemah.

Sakura terperanjat sekali lagi. Kupu-kupu malam? Pelacur? Haruskah dia melacurkan diri demi membiayai hidup dan pengobatan ibunya?

Tsunade mengerti kegelisahan dan kebimbangan hati Sakura, maka dia menepuk pelan bahu gadis itu. "Tolaklah, Sakura. Aku, aku menyesal kenapa harus memberitahumu tentang tawaran pekerjaan itu. Harusnya aku menyumpal mulutku untuk diam."

Sakura menggeleng lemah. Tsunade tidak bersalah. Dia hanya ingin mencoba membantu permasalahan yang sedang membelit Sakura.

Kegamangan hati dilalui Sakura sampai berhari-hari. Selama itu pula dia tetap rajin mencari pekerjaan ke tempat lain. Namun apa daya, penyakit yang diderita ibunya tidak mengenal waktu. Di hari kelima setelah Sakura mendengar penawaran pekerjaan dari Tsunade, kondisi ibunya memburuk. Bahkan harus sampai dirawat di rumah sakit.

Nominal yang tercetak di invoice tagihan dari rumah sakit membuat kepala Sakura seakan ingin pecah. Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Maka ketika nyawa ibunya dipertaruhkan, Sakura dengan berat hati menerima tawaran Tsunade. Tidak lagi dipedulikannya derita batin yang menderanya. Asal ibunya sembuh, apa pun akan dia lakukan, termasuk menjual harga dirinya. Begitulah sampai akhirnya Sakura setuju untuk melacurkan diri. Dengan profesinya itu, Sakura mampu membiayai pengobatan ibunya. Biaya yang diperlukan tidaklah sedikit. Dua minggu sekali ibunya harus melakukan cuci darah. Sampai bulan ketiga kesehatan ibunya berangsur membaik.

Ibunya selama ini tidak tahu apa pekerjaan Sakura sebenarnya. Yang dia tahu, Sakura bekerja pada salah satu teman Tsunade, membantu menghitung pembukuan di salah satu perusahaan anak cabang, begitu jawaban Sakura ketika ditanya sang ibu. Ibunya percaya, karena memang latar belakang pendidikan Sakura adalah jurusan keuangan. Namun yang Sakura tidak duga adalah kepergiaan ibunya yang begitu cepat. Memasuki bulan kelima, setelah muntah darah dan langsung dibawa menuju UGD di salah satu rumah sakit di kota, ibunya mengembuskan napas terakhirnya.

Saat itu roda kehidupan seperti berhenti bagi Sakura. Tak ada lagi motivasi bagi dirinya untuk tetap hidup dan mempertahankan eksistensinya di dunia ini. Hidup hanya sebagai seonggok sampah rela dia jalani, tapi kini dengan tidak adanya lagi sang ibu, Sakura tidak tahu apa lagi yang harus dia perjuangkan. Sampai Tsunade menguatkannya dan mengatakan padanya bahwa dia harus bangkit dari ini semua. Dia harus tegar.

Dari sanalah Sakura berusaha kembali memulai hidupnya. Dia memang masih menjadi pelacur, tapi sebisa mungkin dia tidak lagi melayani permintaan di ranjang dari para pelanggan. Dia hanya menemani para tamu minum atau sekadar menemani mereka berkaraoke sampai malam. Hanya malam di mana Sakura menghabiskan waktu dengan Sasuke-lah, satunya-satunya malam dia kembali berhubungan intim. Sakura ingin menabung sedikit demi sedikit penghasilannya. Rencananya dia akan melanjutkan kuliahnya yang tertunda. Dia sudah cuti kuliah selama dua semester berturut-turut. Setelah itu, dia akan berhenti total menjadi seorang pelacur dan mencoba peruntungannya di dunia kerja sebagai seorang akuntan, profesi yang sejak dulu diidamkannya.

Namun belakangan ini dia merasa hidupnya semakin hambar. Sakura menolak jika hal itu dikarenakan pertemuannya dengan Sasuke. Pemuda tampan yang terang-terangan membenci pelacur. Sejak pertama kali memutuskan untuk menjadi seorang pelacur, Sakura sudah membentengi hal-hal semacam itu. Memakai hati sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan perasaan bersalah dan jijik terhadap dirinya sendiri. Dia sudah bersumpah tidak akan sekali pun memakai hatinya ketika menjalani profesi itu. Tapi kenapa rasa sakit di hatinya begitu membekas saat mendengar kata-kata Sasuke yang begitu jelas menyuarakan kebenciannya pada profesi yang dijalani Sakura?

"Nah, kau melamun lagi?"

Pertanyaan Tsunade serta merta membawa Sakura kembali ke tempatnya saat ini. "Aku tidak melamun, Bu. Aku hanya sedikit pusing."

Perkataan Sakura tidaklah dusta sepenuhnya. Karena sudah beberapa hari ini dia merasakan pusing di kepalanya. Badannya pun mulai cepat lelah. Pagi-pagi pun dia seperti mual. Entahlah, Sakura berpikir dia hanya masuk angin. Maklum, jam kerjanya tetaplah dari malam sampai dini hari.

"Kalau begitu istirahat saja malam ini. Aku akan berbicara pada Sasori." Sasori adalah manajer klub malam tempat Sakura bekerja.

"Mana bisa begitu, Ibu." Sakura tertawa pelan. Dia memandang lembut Tsunade. Meski kadang keras dan bertemperamen tinggi, Tsunade tetaplah wanita yang dikasihi Sakura. "Sasori-san malah sedang meminta tolong padaku untuk menggantikan Temari-nee bernyanyi malam ini. Temari-nee sedang tidak enak badan."

"Terserah kau sajalah. Tapi ingat, jangan terlalu memaksakan diri. Pulanglah jika kau merasa kurang sehat!"

Sakura hanya tersenyum menanggapinya. Senja sudah berganti malam, Sakura bangkit dari duduknya. "Aku masuk dulu, Bu. Mau bersiap-siap."

Tsunade ikut bangkit. "Iya, aku juga ingin beristirahat di dalam. Ah, rupanya usia semakin membuatku payah."

Sakura tertawa kecil. "Jaga kesehatan, Bu. Jangan terlalu sering minum. Ingat pesan dokter minggu lalu." Sudah menjadi rahasia umum kalau dibalik sikapnya yang tegas tapi keibuan, Tsunade adalah peminum ulung. Namun Sakura tahu itu semua bagian dari caranya untuk melarikan diri dari kesepian sepeninggal suaminya, Dan.

"Ah, lama-lama kau semakin mirip ibumu," gerutu Tsunade. Semenjak ibu Sakura tinggal di losmen miliknya, wanita itu memang cukup dekat dengannya.

Sakura menyiapkan dirinya untuk tampil menyanyi di klub malam ini. Sebuah gaun sederhana berwarna hitam telah dikenakannya. Gaun itu sangat pas potongannya dengan tubuh Sakura. Sakura menyapukan riasan tipis di wajahnya. Dia memang tidak terlalu suka memakai riasan berlebihan. Riasan hanya digunakannya sebagai penunjang profesinya. Rambutnya pun hanya ditata dengan model ujung rambut yang dibiarkan sedikit mengikal.

Malam itu Sakura membawakan lagu Someone Like You yang dipopulerkan oleh Adele. Suara Sakura yang cukup merdu untuk diperdengarkan membius para pengunjung klub. Semuanya seperti terhanyut ketika mendengar suara Sakura yang dengan penuh penjiwaan membawakan lagu itu. Tak ayal tepukan tangan pengunjung membahana ketika Sakura mengakhiri penampilannya.

Uchiha Itachi ikut bertepuk tangan ketika Sakura turun dari atas panggung. "Wow! Aku tidak bisa berkata apa-apa. Penyanyi barusan sungguh hebat!"

Sasori tertawa. "Kau paling bisa melihat barang bagus, Itachi."

Itachi memutar kedua bola matanya dengan bosan. "Aku tidak pernah berpikir seperti itu." Tangannya mengambil segelas minuman yang ditandaskannya dalam sekali teguk.

"Baiklah. Itachi adalah anak baik! Aku setuju."

"Dan aku sendiri kadang bingung, kenapa aku bisa bergaul denganmu dan yang lain?"

Mereka tertawa bersama. Namun mata Itachi masih mengikuti sosok wanita yang tadi turun dari atas panggung. Sasori yang sadar akan arah mata Itachi hanya mendengus geli.

"Biar aku kenalkan kau dengan Sakura."

"Ah, rupanya aku ketahuan, ya?" Itachi tersenyum tipis. "Sakura ya? Nama yang indah."

"Aku tidak menyangka kau bisa seromantis itu terhadap wanita yang bahkan belum kau kenal." Sasori ikut menandaskan minumannya sendiri. "Satu hal yang perlu kau ingat, akhir-akhir ini Sakura jarang menerima job tambahan di ranjang. Kuharap kau tidak memaksanya. Bagaimanapun juga, dia adalah salah satu tanggung jawabku selama berada di klub ini." Sasori melanjutkan perkataannya. "Tapi kalau Sakura tidak menolak, aku tentu saja tidak bisa melarangmu," katanya, disusul dengan tawa kecil.

Itachi cukup terkejut mendengar penuturan Sasori. Dia memang tidak asing lagi jika mengetahui bahwa pekerja di klub malam terkadang dikaitkan dengan hal-hal semacam itu, tapi menghadapi kenyataan itu di depan kepalanya sendiri benar-benar hal baru baginya. "Dia pelacur?" Tanpa bisa dicegah pertanyaan itu keluar begitu saja.

Sasori menganggukkan kepalanya. "Tapi jangan menyakitinya. Dia sudah lama bekerja di sini."

Itachi menatap Sasori lama sebelum bertanya. "Kau pernah menidurinya?"

Sasori menyeringai. "Menurutmu?"

"Sialan!"

Sasori tidak bisa menahan tawanya. "Aku bercanda." Dia menuangkan lagi isi minuman ke gelasnya. "Sakura adalah gadis yang sangat polos saat pertama kali bekerja di sini. Aku jadi merasa bersalah menawarkan pekerjaan itu kepadanya. Tapi ya, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Lagi pula saat itu dia butuh uang untuk membiayai ibunya yang sakit-sakitan."

"Dia gadis yang baik kalau begitu," komentar Itachi. Matanya kini memandang Sakura yang sedang duduk di meja bar tak jauh dari mejanya dan Sasori.

"Ya, maka dari itu, janganlah menyakitinya. Sakura tidak pernah berulah. Semua pegawai di sini menyayangi dan menghormatinya meski dia seorang pelacur."

Itachi mengamati Sakura. "Sasori, aku ingin berkenalan dengannya."

"Tentu. Aku akan mengenalkanmu padanya."

"Tapi bukan sebagai pelanggan melainkan sebagai seorang pria kepada wanita."

Sasori mengerjapkan kedua matanya. Telinganya dipertajam. "Apa aku tidak salah dengar?" Dia terkejut. Awalnya dipikirnya Itachi hanya ingin sesekali mencoba bermain api, bukan seperti sekarang ini. Itachi tidak pernah mau berhubungan dengan wanita, itulah yang dia tahu selama menjadi sahabatnya. Sasori tahu benar kalau Itachi masih memiliki perasaan kepada Konan, sahabat mereka yang sekarang telah menikah dengan Pein. Maka dari itu, dia cukup terkejut jika kali ini Itachi mau kembali membuka hatinya pada seorang wanita.

"Jangan berkata seolah-olah aku memiliki kelainan seksual dengan menatapku seperti itu," dengus Itachi.

Sasori tersenyum tipis. "Ah, kau benar-benar membuatku terkejut, Itachi. Maksudku, ada banyak wanita lain di luar, ya, kau tahulah maksudku. Aku tidak perlu menjelaskan secara detail, tapi kenapa harus Sakura?"

"Jangan terlalu menganggap ini berlebihan," kata Itachi. "Aku hanya ingin mengenalnya, bukan menikahinya."

Sasori tertawa. "Kau benar," katanya. "Nah, lihatlah ini!"

Sasori memanggil seorang waiter untuk menyampaikan pesannya kepada Sakura. Tak lama kemudian Sakura datang ke meja Itachi dan Sasori.

"Ada apa, Sasori-san?"

Sasori memperkenalkan Itachi pada Sakura. "Nah, Sakura kau mau menemani Itachi di sini sementara aku kembali pada pekerjaanku," kata Sasori. "Jangan kecewakan dia, ya, dia teman baikku."

Sakura tersenyum kecil. "Baik-baik, aku tidak pernah mengecewakan seseorang," katanya.

Obrolan yang mengalir di antara mereka lebih kepada basa-basi semata. Sakura sudah sering menerima tamu dengan berbagai macam jenis, tapi belum pernah ada yang sesopan Itachi.

"Aku tahu mungkin aku sedikit lancang jika berkata bahwa aku sedikit bisa memahami jalan pikiranmu."

Itachi mengerutkan dahinya. "Maksudmu?"

Sakura tertawa kecil. "Aku bukan wanita baik-baik, Tuan. Aku sudah banyak mengenal banyak pria dengan latar belakang yang bermacam-macam."

"Kalau begitu, coba beritahu aku, aku termasuk pria macam apa? Tapi sebelumnya, jangan panggil aku tuan. Aku bukan tuanmu dan kau bukan hambaku."

"Aku sungguh menghargai perkataanmu yang sangat manis untuk ukuran wanita sepertiku," kata Sakura. "Nah, sampai di mana tadi? Ah, ya, mengenai termasuk macam apakah pria sepertimu? Menurutku kau adalah jenis pria yang mampu melihat sebuah kesempatan dalam satu ruang yang paling sempit sekalipun."

Itachi tersenyum tipis. "Coba jelaskan," pinta Itachi.

"Begini, kalau ada seorang pria mengunjungi sebuah klub malam, pastilah pria itu bukanlah pria baik-baik. Pria itu datang ke tempat ini dengan berbagai macam alasan, entah itu mencari kehangatan yang katanya tidak didapatkannya di rumahnya, padahal aku yakin sekali bukan karena tidak mendapat kehangatan dia ke sini, tapi lebih karena nafsunya. Ada pula pria yang datang ke sini hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa dia benar-benar lelaki pada teman-temannya dengan minum minuman keras dan mengencani pelacur. Intinya banyak sekali alasan-alasan yang digunakan mereka."

"Lalu alasanku?"

Kali ini giliran Sakura yang tersenyum tipis. "Aku hanya menduga, lho. Menurutku kau datang ke sini hanya sebagai pelarian."

"Benarkah?" Itachi semakin menunjukkan ketertarikannya. "Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?"

"Sekali lagi aku katakan, aku sudah sering kali bertemu pria dengan segala macam sifat. Dari awal bertemu dan mulai mengobrol denganmu, aku tahu kau tidak ada niat sama sekali untuk mengencaniku atau sekadar memakai jasaku untuk menemanimu malam ini. Kau hanya terlihat seperti butuh teman bicara."

Itachi tertawa kecil. Dia menatap hangat wajah Sakura. "Lalu kenapa aku harus memilihmu sebagai teman bicaraku?"

"Justru itu, kau memilihku karena kau memang membutuhkan teman bicara seorang wanita, bukan laki-laki. Dan jawaban kenapa harus wanita, karena biar kutebak, kau menyimpan sebuah rasa kekecewaan yang cukup besar pada seorang wanita tapi kau tidak bisa menyalahkan siapa pun atas keadaan itu. Dan dengan alasan itu pulalah kau memilih teman bicara seorang wanita, agar bisa melupakan sementara rasa kecewamu," jelas Sakura panjang lebar.

Itachi tertegun. Memang perkataan Sakura benar adanya. Dia memang masih merasakan kekecewaan yang sangat dalam atas pernikahan Konan. Konan adalah sahabatnya sejak kecil. Persahabatan yang sudah terjalin sangat erat itu membuat Itachi merasakan perasaan lain ikut berperan dalam hubungan mereka. Namun sayang, Konan ternyata hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Dan Itachi begitu kecewa ketika Konan malah melabuhkan hatinya pada Pein, sahabat Itachi saat kuliah.

"Lalu jawaban dari kenapa harus aku dari sekian banyak wanita yang bisa kau pilih adalah ... karena aku hanyalah seorang pelacur," ucap Sakura, sambil tersenyum kecut.

Itachi tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut dan bersalahnya mendengar perkataan Sakura. Karena suara hatinya membenarkan perkataan Sakura. Dia mengambil kesempatan dalam kesempitan. Meski dia menanamkan di pikirannya bahwa dia tidak sepicik itu, tapi Sakura benar. Kenapa wanita yang dipilih Itachi adalah Sakura, bukan wanita lain, itu adalah karena Sakura hanyalah seorang pelacur. Maka Itachi tidak perlu merasa bersalah ataupun sungkan melampiaskan semuanya pada Sakura.

"Jangan merasa bersalah." Sakura tersenyum tipis. "Aku hanya berkata sesuai dengan apa yang kupikirkan, dan perlu aku tekankan, kau tidak bersalah sama sekali, karena aku memang seorang pelacur."

"Jujur aku akui perkataanmu memang benar. Keterlaluan rasanya jika aku berharap kau tidak tersinggung atas apa yang aku lakukan. Tapi percayalah, aku tidak seburuk yang kau pikir."

Sakura memandang Itachi dengan tatapan penuh perhatian. "Tentu saja. Aku tidak menganggap kau sebagai pria tidak baik. Kau sangat ramah dan baik. Kalau kau tidak seperti itu, mana mungkin aku jujur mengemukakan pendapatku. Aku mengatakan hal itu karena aku pikir kau memerlukan teman bicara yang mampu diajak berbicara hati ke hati dengan fondasi kejujuran, bukan sekadar nafsu semalam."

Itachi tidak pernah menyangka bahwa dirinya yang selama ini dianggap selalu memberikan pelajaran hidup bagi orang di sekitarnya malah diajarkan pola pikir yang baru tentang kehidupan, bahwa seorang yang status sosialnya lebih rendah sekalipun mampu memberikan penenggangan yang luar biasa bijaknya.


Hubungan pertemanan Itachi dan Sakura terus berlanjut. Itachi sering menyempatkan dirinya untuk datang ke klub malam tempat Sakura bekerja. Seperti biasa, mereka hanya berbincang-bincang membicarakan berbagai topik yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan ranjang. Itachi menghormati Sakura sebagai wanita dan sebagai temannya bukan sebagai pelacur. Sakura pun menolak uang yang diberikan Itachi sebagai tanda bahwa pria itu menghormati pekerjaan Sakura, bukan bermaksud menghinanya. Sampai akhirnya Itachi buka suara.

"Kalau terus seperti ini, aku seperti benar-benar mengambil kesempatan dalam kesempitan," katanya suatu malam pada Sakura.

"Aku tidak menganggapnya seperti itu. Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kita adalah teman mulai dari malam pertemuan pertama kita. Lalu apa ada seorang teman meminta bayaran atas apa yang dilakukannya atas dasar pertemanan?"

Itachi mendengus. Berdebat dengan Sakura memang pastilah memerlukan pendapat dan teori yang kuat. Jika tidak, dia akan ditelanjangi bulat-bulat oleh buah pikir Sakura. Tapi bukan Itachi jika dia tidak bisa membalikkan segala argumen Sakura.

"Tentu saja kau benar. Sangat tepat. Tapi apa ada seorang teman yang hampir setiap malam datang mengunjungi temannya di saat dia tahu temannya itu sedang bekerja?"

Sakura diam, karena dia tahu Itachi benar.

"Kecuali dengan satu alasan. Yaitu jika ada hubungan pekerjaan. Nah, kalau begitu tidak salah jika aku memberimu uang dan kau menerimanya."

"Terserah kau sajalah." Begitulah pada akhirnya, Sakura menerima uang pemberian Itachi.

Itachi dan Sakura banyak memiliki kesamaan, baik secara pemikiran maupun hobi. Sakura yang cukup lama menarik diri dari pergaulan mulai merasakan kembali gairah sosial yang begitu menyenangkan hatinya. Itachi banyak mengajari Sakura hal-hal dan pandangan baru. Dengan latar belakang pekerjaannya sebagai direktur di salah satu perusahaan milik keluarganya, Itachi memiliki wawasan luas mengenai dunia bisnis. Hal itu menggugah keinginan Sakura untuk melanjutkan kuliahnya semakin besar.

"Kau tahu, kadang aku berpikir aku sungguh beruntung bisa memiliki teman sepertimu. Kau seperti memberi kuliah gratis padaku." Sakura mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil.

"Jadi aku hanya dianggap dosen gratisan, hm?" goda Itachi. Mereka sedang berbincang-bincang sambil menikmati sajian live music di klub malam ini.

Sakura memasang wajah pura-pura kesal. "Mana ada dosen yang sering berkunjung ke klub malam," balasnya.

Itachi tidak bisa menyembunyikan senyumnya mendengar perkataan Sakura. "Omong-omong, besok siang apa kau ada acara?"

"Sepertinya tidak, memangnya ada apa?"

"Boleh kalau aku mengajakmu pergi makan siang? Maksudku, itu pun kalau ajakanku tidak mengganggu jatah tidurmu."

Sakura memandang Itachi dengan terkejut. "Memangnya kau tidak bekerja besok siang?" Sakura tahu jarak antara tempat kerja Itachi dengan losmen tempatnya tinggal cukup jauh. Meski Sakura tidak berharap Itachi akan mengantar jemputnya, tapi selama dua minggu mengenal Itachi dia tahu bahwa Itachi pasti akan bersikeras mengantar jemputnya. "Jangan mentang-mentang kau kerja di perusahaan keluarga kau bisa bersikap seenaknya dengan pergi ke luar kantor sesuka hatimu mengikuti urusan pribadi."

Itachi mencubit pelan lengan Sakura.

"Hei, jangan mencubitku seperti itu. Kau lupa ya kalau aku masih memegang sabuk hitam!"

"Habisnya kau berbicara seolah-olah aku itu karyawan nakal yang suka menelantarkan pekerjaan demi urusan pribadi."

"Lho, memangnya ada perkataanku yang salah. Aku hanya bertanya."

Itachi meneguk minumannya, lalu berkata, "Sakura, Sakura, baiklah aku akan menjawab pertanyaanmu. Aku memang sedang tidak bekerja besok. Aku akan mengambil cuti tahunanku. Nah, jadi tidak salah 'kan jika aku ingin mengajakmu makan siang besok?"

"Boleh. Tapi ingat lho, kita pergi sebagai teman bukan rekan bisnis seperti yang selama ini kau jadikan tameng untuk memberiku uang. Kali ini jangan memberiku uang. Pertemuan kita nanti 'kan di luar klub dan sebagai teman. Bagimana?"

"Hahaha... Baiklah. Aku setuju. Besok aku akan menjemputmu jam sebelas siang."

"Baiklah. Aku juga setuju."

Maka keesokan harinya Itachi dan Sakura pergi makan siang bersama di salah satu rumah makan yang cukup terkenal di daerah Konoha. Sakura mengenakan pakaian santai, kaus biru model kerah V dipadukan dengan celana jins panjang berwarna putih pucat.

Acara makan siang itu berlangsung dengan cukup menyenangkan. Diselingi oleh senda gurau serta cerita-cerita pengalaman seru yang pernah dialami oleh Sakura maupun Itachi membuat acara makan siang bersama itu begitu menyenangkan.

Sakura tertawa dan hampir tidak bisa memercayai bahwa Itachi pernah tidak lulus di mata kuliah bisnis ketika dia bersikeras menolak teori yang dikemukakan dosennya yang menyatakan bahwa uang bukanlah faktor utama seseorang mencari pekerjaan.

"Dosenmu benar, lho. Secara teori memang bukan hanya uang yang menjadi faktor utama seseorang dalam mencari suatu pekerjaan. Ada banyak faktor lain yang menjadi keutamaan."

"Contohnya?" pancing Itachi.

"Contohnya adalah mencari ketenangan dan kenyamanan. Misalnya saja, seseorang itu bekerja di suatu perusahaan yang memberinya gaji yang sangat tinggi, tapi dia tidak menerima ketenangan selama bekerja di sana. Entah gangguan itu berasal dari atasan, sesama rekan kerja, atau mungkin dari pihak luar yang berkaitan dengan pekerjaannya di perusahaan itu. Tentulah dia akan berusaha mencari pekerjaan lain ketimbang bertahan pada kondisi seperti itu. Namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya uanglah faktor yang paling dominan pengaruhnya dalam mencari sebuah pekerjaan."

Itachi bertepuk tangan kecil. "Lalu jika diadakan penelitian mengenai hal itu, perlulah digunakannya metode regresi linear berganda," canda Itachi.

Sakura memukul pelan lengan Itachi. "Kau mengejekku."

"Aku tidak mengejekmu. Kau tahu, kau punya bakat, Sakura. Lanjutkanlah kuliahmu! Sayang sekali jika kuliahmu tidak dilanjutkan." Itachi sudah mengetahui bahwa Sakura sudah mengambil cuti kuliahnya dua semester berturut-turut.

"Aku memang berencana melanjutkan kuliahku," kata Sakura. "Dari dulu ibuku ingin sekali melihatku lulus menjadi sarjana. Namun sayang takdir dan nasib berkata lain." Wajah Sakura berubah menjadi sendu.

Itachi menggenggam erat tangan Sakura yang bebas di atas meja. "Kau harus percaya, ibumu pastilah bangga padamu. Lanjutkanlah kuliahmu dan raih cita-citamu."

Sakura tersenyum, mengamini perkataan Itachi dalam hatinya. "Terima kasih, Itachi. Kau tahu, aku kadang bersyukur bisa mengenal dan mempunyai teman sepertimu."

Itachi tersenyum mendengar pujian dari Sakura. "Aku pun begitu. Kepribadianmu banyak membuat perubahan ke arah yang lebih baik dalam hidupku."

Wajah Sakura merona mendengar perkataan Itachi. Sakura sudah sering mendengar pujian yang ditujukan bagi dirinya oleh laki-laki. Namun baru kali ini dia merasa dihargai, karena Itachi memuji dirinya secara manusiawi, bukan hanya basa-basi ataulah rayuan semata.

Pramusaji di rumah makan tersebut mulai menghidangkan pesanan Sakura dan Itachi di atas meja makan. Aroma ikan bakar yang dipesan oleh Itachi menusuk penciuman Sakura dengan begitu kuat. Sampai-sampai Sakura menjadi mual dibuatnya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Itachi ketika melihat gelagat Sakura yang seperti kurang enak badan.

"Tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit mual. Mungkin masuk angin. Kau tahu sendiri jam kerjaku itu seperti hewan malam."

Sakura tersenyum kecil, berusaha menampilkan raut wajah baik-baik saja untuk menenangkan Itachi yang masih tampak khawatir. Namun di balik itu semua, ada sekelumit rasa khawatir yang menyergap hati Sakura. Sudah hampir beberapa minggu ini dia mengalami hal seperti ini. Badannya mulai cepat lelah, ditambah dengan mual-mual setiap paginya, dan ketika mencium aroma-aroma amis, dia seperti ingin muntah. Meski Sakura bukan mahasiswi kedokteran, tapi dia merasakan ada sesuatu yang salah pada tubuhnya. Dia merasa pinggangnya menebal dan dadanya seperti terasa penuh. Dari gejala-gejala yang dialaminya mau tak mau membuat Sakura berpikir ke arah yang paling ditakutinya.

"Benar kau tidak apa-apa?" Itachi masih mengkhawatirkan keadaan Sakura. "Wajahmu terlihat pucat."

Sakura masih berusaha menahan mualnya. "Aku tidak apa-apa. Hoekkk..." Sakura segera menutup mulutnya.

"Astaga, Sakura! Apa yang terjadi padamu?" Itachi beringsut ke arah Sakura, dia membantu memijat-mijat kecil tengkuk Sakura.

"Apa ini karena aroma dari ikan bakar yang kupesan?" tanya Itachi. "Kalau iya, aku akan menyingkirkannya dari meja."

Sakura meraih gelas yang berisi air putih di atas meja dan meminumnya pelan-pelan. Setelah merasa agak baikan, Sakura berkata, "Itachi, itu tidak perlu. Aku baik-baik saja. Makanlah ikan itu, sayang sekali jika ikan selezat itu tidak dimakan."

Itachi menggeleng pelan. "Tidak, aku akan menyingkirkan ikan ini."

"Tidak perlu, Itachi. Itu namanya sama dengan membuang-buang makanan. Tidak sepatutnya bertindak seperti itu, sedangkan banyak orang di luar sana mengemis demi sesuap nasi."

Itachi tertawa kecil. Di saat seperti ini saja, Sakura masih sempat-sempatnya menguliahinya tentang sedikit pelajaran hidup. "Kau tenang saja. Menyingkirkan ikan bakar dari meja bukan berarti aku akan membuangnya, bukan? Aku akan meminta pramusaji untuk membungkusnya agar aku bisa membawa pulang. Bagaimana?"

Tawaran Itachi terdengar sangat menggoda. Kalau boleh jujur, Sakura merasa sangat mual jika mencium aroma yang menguar dari ikan bakar itu. "Apa boleh seperti itu?"

Itachi tertawa. "Tentu saja, Sakura. Sebentar aku panggil dulu pramusajinya."

Seorang pramusaji sudah membawa ikan bakar itu untuk dibungkus. Itachi bahkan mengatakan bahwa dia menitip dulu ikan tersebut di kasir dan akan membawanya pulang jika mereka telah selesai makan.

"Itachi, sungguh aku merasa tidak enak padamu."

"Karena apa? Perihal ikan tadi? Ah, sudahlah, itu bukan masalah, Sakura."

"Baiklah. Terima kasih."

Di saat perjalanan pulang, Sakura meminta Itachi menurunkannya di depan sebuah apotek, tak jauh dari losmen tempat tinggalnya.

"Ada apa? Kenapa kau ingin turun di sini?"

"Aku ingin mampir sebentar membeli obat."

"Baiklah, aku akan menunggumu di mobil," kata Itachi.

"Tidak perlu," kata Sakura. Dia membuka sabuk pengaman yang dikenakannya. "Kau langsung saja pulang. Biar nanti aku pulang sendiri. Jarak antara apotek dengan losmen sudah dekat."

Itachi ingin menyanggah, tapi dia harus menghormati keinginan Sakura. "Baiklah kalau begitu. Hati-hati dan ... terima kasih untuk makan siang yang menyenangkan hari ini."

Sakura tersenyum kecil. "Harusnya aku yang berterima kasih padamu, Itachi."

Itachi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ah, lagi-lagi kita saling melempar pujian. Sudahlah, aku pulang saja sebelum kepalaku semakin besar mendengar pujianmu."

Sakura tertawa. "Baiklah-baiklah. Hati-hati."

"Ya. Kau juga."

Sakura melangkahkan kakinya masuk ke dalam apotek. Akhir-akhir ini dia memang merasakan ada sesuatu yang terjadi pada tubuhnya. Namun belum sekali pun dia memeriksakan diri ke dokter. Kini setelah merasakan kondisi tubuhnya semakin merujuk ke arah hal yang paling ditakutinya, tidak ada alasan lain baginya untuk tidak memastikan apa yang yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.

Sakura membeli alat tes kehamilan di apotek. Hatinya gelisah. Tangannya gemetar saat melihat hasil yang tercetak di alat tes kehamilan itu.

"Po-positif..."

Tubuh Sakura melemas, jatuh terduduk di atas tempat tidurnya yang kecil di kamar losmen. Sakura tidak tahu yang harus dia lakukan. Kehamilan adalah hal yang paling ditakutinya saat ini. Di saat Sakura mulai ingin menata kembali kehidupannya, mengapa takdir harus menghadapkannya pada kenyataan ini? Sakura tahu persis siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Satu-satunya pria yang mampu membuat Sakura menggunakan hatinya saat menjalani profesinya. Tapi justru itu letak permasalahannya. Kenapa harus pria itu? Pria yang jelas-jelas menolak dan membenci Sakura.

Lalu bagaimana dengan rencana dan cita-cita yang mulai kembali disusun oleh Sakura? Apa kata orang nanti jika dia hamil tanpa suami? Bagaimana mungkin dia bisa kembali melanjutkan kuliahnya kalau dengan keadaan hamil seperti ini? Dan yang paling utama adalah bagaimana nasib anaknya nanti setelah lahir? Apa kata orang nanti jika anaknya lahir dari ibu seorang pelacur tanpa diketahui siapa ayahnya? Sakura menangis membayangkan babak baru yang harus dilewatinya akibat kehamilannya.

Godaan untuk menggugurkan janin dalam kandungannya begitu besar. Apalagi usia kandungannya pastilah masih baru mengingat baru satu minggu dia telat datang bulan. Namun hati nuraninya melarang hal itu terjadi. Bagaimanapun juga janin di dalam kandungannya tidak bersalah. Dialah yang bersalah karena membiarkan hatinya ikut andil dalam menjalani profesinya. Padahal biasanya, Sakura selalu meminum pil pencegah kehamilan setelah melayani pelanggannya. Namun dia merasa tidak tega jika harus melakukan hal itu setelah berhubungan intim dengan ayah si janin. Karena hanya pada saat itulah dia merasakan getaran dari hatinya yang terdalam ketika melakukan suatu hubungan. Namun kelemahan hatinya membuat dia harus menanggung akibat yang ditimbulkan.

Sakura bingung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Seiring berjalannya waktu pastilah kehamilannya ini tidak mungkin bisa ditutupi lagi. Tubuhnya pasti akan menunjukkan gejala-gejala kehamilan yang lebih nyata. "Apa yang harus aku lakukan?"


Sakura bangun lebih awal dari biasanya. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kehamilannya benar-benar menguras pikirannya.

"Sudah bangun?" Tsunade menyapa Sakura ketika wanita itu melihat Sakura duduk di teras belakang losmen.

"Ah, iya."

"Sudah sarapan? Kalau belum, aku sedang menggoreng ikan laut. Kemarin Asuma membawa oleh-oleh banyak sekali ikan laut sepulang dia memancing. Ikutlah makan bersamaku."

"Belum, tapi sebaiknya Ibu makan duluan saja." Sakura kemudian menatap kosong tanaman rambat yang menghiasi tembok belakang.

Tsunade memerhatikan wajah Sakura lekat-lekat. Ada banyak kegelisahan terpancar dari wajah itu. "Ada apa?"

Sakura menolehkan kepalanya ke arah Tsunade, dia tersenyum lemah. "Aku tidak apa-apa."

"Jangan berbohong padaku, katakanlah apa yang memberatkan pikiranmu? Bagaimana pun juga kau adalah tanggunganku selama kau masih tinggal di sini."

Hati Sakura dibanjiri kehangatan ketika mendengar perkataan Tsunade. Di saat ayah kandungnya sendiri sebagai keluarga terdekatnya tidak memedulikannya sama sekali, ada Tsunade yang memberikan kehangatan keluarga kepadanya. Tanpa sadar setitik air mata jatuh membasahi pipinya.

Tsunade cukup terkejut melihat reaksi Sakura. Sakura adalah wanita yang tegar. Belum pernah sekali pun Tsunade melihatnya menangis kecuali ketika kematian ibunya. Kini Sakura kembali mengeluarkan air matanya. Pastilah apa yang sedang dihadapinya adalah sesuatu yang cukup berat.

"Maaf, Bu. Aku—aku belum bisa menceritakannya sekarang." Sakura menghargai dan menghormati Tsunade, tapi untuk saat ini dia masih belum bisa menceritakan apa yang terjadi pada dirinya kepada wanita itu.

Tsunade mengangguk kecil. "Baiklah, tapi jangan memaksakan dirimu sendiri kalau kau tidak sanggup menanggungnya sendiri."

"Iya."


Itachi mulai merasa ada sesuatu terjadi pada Sakura. Sudah tiga hari berturut-turut Sakura tidak menemuinya di klub. Sasori bilang Sakura sedang sakit. Itachi percaya, karena memang semalam setelah mendapati Sakura kembali tidak bekerja, dia menyempatkan dirinya untuk menjenguk Sakura. Keadaan Sakura memang tampak seperti orang sakit pada umumnya. Wajahnya pucat dan kondisi tubuhnya kelihatan lemah. Namun Itachi merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Sakura. Saat berbicara dengannya, Sakura sering terlihat tidak fokus. Matanya memang memandang lawan bicaranya, tapi lebih sering terlihat kosong. Ketika Itcahi bertanya apa ada sesuatu yang mengganjal hatinya, Sakura hanya menggelengkan kepalanya dan berkata semuanya baik-baik saja.

Namun Itachi tidak percaya. Maka keesokan harinya, Itachi datang kembali menjenguk Sakura. Sakura boleh saja menyembunyikan masalahnya dari Itachi. Namun Itachi tetap merasa harus mengetahui apa masalah Sakura dan mencoba untuk membantu wanita itu sebisa mungkin.

"Katakanlah, Sakura. Aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu yang berat."

Sakura tertawa mendengar pertanyaan Itachi. Dia mencoba memasang sikap dia tidak apa-apa. "Apa sih yang kau tanyakan? Aku tidak mengerti."

Itachi tahu Sakura berusaha menyembunyikan apa yang sedang terjadi padanya. "Benarkah? Kalau begitu aku ini siapa bagimu?"

Sakura mengernyit bingung. "Apa lagi ini? Sebenarnya apa sih maksud dari pertanyaan-pertanyaanmu itu?"

"Jawab saja pertanyaanku," jawab Itachi kalem.

"Lho? Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Kau sendiri sama sekali tidak menjawab pertanyaanku dengan benar." Sakura tahu Itachi bermaksud baik, tapi dia tidak ingin membicarakan kehamilannya pada siapa pun untuk saat ini, termasuk Itachi.

"Lalu kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?" Itachi balik bertanya.

"Terserah padamu. Aku tidak peduli."

"Nah, kau menolak untuk menjawab pertanyaanku. Jadi ceritakan, apa yang sedang menjadi beban pikiranmu?"

"Kenapa sih kau harus ikut campur terhadap masalahku?" sergah Sakura kasar.

Itachi menghela napas. Baru kali ini Sakura bertindak dengan emosi. Biasanya wanita itu selalu mampu membalikkan setiap perkataan Itachi dengan pikiran yang tenang dan terkendali. Itachi menduga pastilah apa yang sedang menjadi beban pikiran Sakura saat ini sangat berat. Sampai-sampai Sakura kehilangan ketenangannya.

"Sakura, sebenarnya aku ini kau anggap apa? Sahabatmukah? Atau hanya pria yang sekadar lewat dalam kehidupanmu?"

Sakura melengoskan wajahnya. Dia sadar perkataannya tadi terlalu keras. Mungkin ini juga berasal dari pengaruh hormon akibat kehamilannya yang membuatnya menjadi lebih uring-uringan. Sakura tahu Itachi bermaksud baik. Itachi peduli terhadap kondisi dirinya. Namun tetap saja, Sakura tidak yakin jika memberitahu Itachi adalah opsi yang baik.

"Sakura..." panggil Itachi.

Sakura memandang Itachi lekat-lekat. Itachi sungguh baik terhadapnya. Pria itu mau menerimanya sebagai seorang teman tanpa memedulikan profesi Sakura sebagai pelacur. Tidak pernah sekali pun Sakura merasakan diskriminasi sosial atau pun pelecehan dari Itachi meski pria itu tahu sebagai seorang pelacur, Sakura sudah sering tidur dengan banyak pria.

"Maafkan aku," kata Sakura. "Aku sangat berterima kasih atas semua perhatiaanmu kepadaku sebagai seorang teman."

"Kau bukan temanku. Kau adalah sahabatku, Sakura."

Wajah Sakura melembut. "Kau begitu baik, Itachi. Aku kadang merasa tidak pantas menjadi sahabatmu."

"Jangan pernah mengatakan hal itu lagi atau aku akan marah besar." Itachi tersenyum lembut. "Nah, sekarang maukah kau membagi apa yang menjadi beban pikiranmu saat ini. Aku akan membantumu sebisaku."

Sakura menggeleng lemah. "Kau tidak akan bisa membantuku, Itachi."

"Kalau begitu katakanlah. Sebelum kau mengatakan apa masalahmu, aku tidak bisa memutuskan apakah aku bisa membantumu atau tidak."

Sekali lagi Sakura memandang Itachi lekat-lekat. Dia memantapkan hatinya untuk menceritakan apa yang belakangan ini menyedot habis pikirannya.

"Aku hamil."

Dua kata itu membuat Itachi terkejut. Bahkan pertanyaan yang tidak sopan langsung meluncur dari mulutnya sebelum bisa dicegah.

"Kau tahu siapa ayahnya?"

Itachi menyadari pertanyaannya begitu sensitif. "Maaf, maksudku—"

"Kau tidak perlu meminta maaf." Sakura tersenyum kecut. "Aku tahu semua yang mengetahui keadaanku pastilah akan menanyakan hal itu jika mengetaui seperti apa pekerjaanku."

Itachi mengerti kegelisahan Sakura. Namun dia tidak ingin hanya berdiam diri tanpa memberikan sesuatu yang bisa dijadikan penghiburan bagi Sakura.

"Aku akan membantumu," kata Itachi.

"Membantu bagaimana? Tidak ada yang bisa membantuku saat ini."

"Aku bisa membantumu untuk mencari siapa pria itu."

Sakura menatap Itachi tajam. Sedangkan Itachi sadar perkataannya barusan sangatlah sensitif.

"Maksudku, aku bisa membantumu untuk—"

"—Itachi, sudahlah! Kau tidak perlu mencari siapa pria yang menghamiliku." Sakura terdiam sejenak. "Karena aku sendiri sudah tahu siapa pria itu."

Kali ini giliran Itachi yang menatap Sakura tajam. "Katakan, siapa pria itu?" Itachi bertekad akan membantu Sakura untuk meminta pertanggungjawaban dari pria yang sudah menghamilinya.

"Itu tidak penting, Itachi."

"Tidak penting? Kau..." Itachi membuang wajahnya, sebelum berkata, "Sakura, aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Kenapa kau menganggap itu tidak penting? Tentu saja itu penting. Pria itu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi padamu dan pada bayi yang ada di kandunganmu."

Sakura tertawa miris. "Kau sungguh lucu."

Itachi nampak tidak suka dengan perkataan Sakura yang seolah menertawakannya.

"Kau mengatakan bahwa pria itu harus bertanggungjawab padaku dan bayi yang kukandung. Tapi apa kau lupa siapa aku?" Sakura menarik napas panjang. "Aku hanya seorang pelacur, Itachi."

Itachi bungkam. Dia mengerti perasaan Sakura. Namun dia tidak bisa tidak berbuat apa-apa, sementara Sakura sedang mengalami masalah seperti ini.

"Tapi setidaknya kau bisa memberitahu pria itu mengenai kehamilanmu."

"Aku tidak mau."

"Kenapa?"

"Karena aku ... mencintainya."

Tubuh Itachi membeku di tempat. Dia menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Kau mencintainya dan kau pikir akan mengorbankan dirimu dan bayi yang dikandungmu demi ketenangan pria itu."

Sakura menggeleng pelan. "Aku tidak akan mengorbankan bayiku, Itachi. Aku ... aku tidak ingin menggugurkannya," kata Sakura. Dia terisak pelan. "Dia tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku membiarkan hatiku berperan saat menjalani pekerjaanku. Aku tidak bisa menolak getaran yang kurasakan ketika bertemu pria itu. Meski dia begitu membenciku, aku ... aku malah dengan sengaja terus menerus menggodanya, berharap dia jatuh ke dalam pelukanku. Kupikir awalnya aku melakukan itu hanya karena aku ingin membuktikan padanya bahwa yang salah bukan hanya aku, bukan hanya pelacur, seperti apa yang ada di pikirannya, tapi juga pria-pria hidung belang yang menyewaku pun bersalah karena tergoda oleh rayuan dan cumbuanku. Tapi aku salah, Itachi. Aku salah... Aku melakukan itu semua bukan karena ingin membuktikan padanya, tapi karena aku mencintainya."

Itachi meremas pelan jemari Sakura dalam genggamannya.

"Apa yang harus aku lakukan, Itachi?" Sakura mengelus pelan perutnya yang masih rata. Usia kandungannya masih muda, belum ada perubahan-perubahan yang berarti pada tubuhnya. "Mungkin sekarang kehamilanku belum terlihat, tapi bagaimana dengan bulan-bulan berikutnya, Itachi? Aku pasti akan sangat merepotkan Ibu. Belum lagi bagaimana bisa aku melanjutkan kuliahku jika keadaan perutku semakin membesar dan itu semua kulakukan tanpa adanya seorang suami?"

Itachi mengerti kegelisahan yang sedang membelenggu hati Sakura.

"Aku tidak mau menggugurkan kandunganku. Memang rencana itu terasa begitu menggodaku. Apalagi dengan usia kandunganku yang masih muda, pastilah hal itu akan sangat mudah. Tapi aku tidak mau, Itachi."

Itachi mengelus pucuk kepala Sakura. "Aku mengerti. Tenanglah, aku akan memikirkan jalan keluar dari permasalahanmu."

"Kau tidak perlu membebani dirimu dengan apa yang sudah aku ceritakan, Itachi. Kau sudah terlalu banyak membantuku."

"Ssttt...! Jangan bicara seperti itu," sanggah Itachi. "Saki, siapa saja yang sudah mengetahui kehamilanmu?"

Sakura menggeleng. "Belum ada yang tahu kecuali kau. Aku bahkan belum memeriksakan kandunganku ke dokter kandungan."

"Baiklah, untuk saat ini jangan dulu memberitahu siapa pun mengenai kehamilanmu," kata Itachi. "Dan besok siang aku akan mengantarmu ke rumah sakit untuk memeriksakan kandunganmu." Itachi melihat gelagat Sakura akan membantahnya, maka dia melanjutkan perkataannya. "Jangan membantahku, Sakura. Kau harus memeriksakan kandunganmu. Besok aku yang akan mengantarmu. Tidak ada tawar menawar."

"Baiklah," kata Sakura pada akhirnya.


Jam antik di kamar Itachi sudah berdenting sebanyak tujuh kali. Sudah semalaman Itachi memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk membantu Sakura. Jiwa Sakura pasti sedang tersiksa dengan kenyataan yang dialaminya. Padahal baru saja wanita itu akan memulai kembali kehidupannya dengan mulai melanjutkan kuliahnya dan berhenti menjadi seorang pelacur, tapi takdir malah berkata lain. Dia harus mengandung janin dari pria yang dicintainya dan yang membencinya.

"Kasihan Sakura."

Itachi tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk membantu Sakura. Sakura tidak mau menggugurkan kandungannya dan Itachi memahami itu. Sejauh yang Itachi kenal, Sakura adalah wanita yang baik terlepas dari pekerjaannya sebagai seorang pelacur. Naluri keibuannya pasti menolak jika harus membunuh bayi tidak berdosa yang sedang dikandungnya.

Namun Itachi sama sekali tidak bisa memikirkan jalan keluar lain dari permasalahan yang dialami Sakura, kecuali pria yang menghamili Sakura mau bertanggung jawab dan menikahinya.

Ya, seandainya saja pria itu mau bertanggung jawab dan menikahi Sakura.

Itachi membelalakkan kedua matanya. Seketika sebuah ide muncul di kepalanya. Seandainya ada pria yang mau menikahi Sakura.

Itachi bangkit dari tidurnya. Dia segera mandi dan bergegas pergi menuju garasi untuk membawa mobilnya ke arah losmen Sakura.

"Tumben pagi-pagi sudah rapi. Mau ke mana, Itachi?"

Itachi menolehkan kepalanya memandang Mikoto, ibunya, yang sedang memasak di dapur. Dia mengubah arahnya menuju dapur, duduk di salah satu kursi dapur.

"Wow! Masak apa, Bu? Sepertinya enak."

Mikoto tersenyum lembut. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Itachi."

Itachi meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ibu tahu saja."

"Aku mengandungmu selama sembilan bulan, aku juga yang membesarkanmu selama ini, Itachi. Nah, sekarang ceritakan, mau ke mana anak ibu yang tampan ini sudah rapi pagi-pagi begini?"

"Bu, apa Ibu sudah mau memiliki seorang cucu?"

Mikoto menautkan alisnya. "Cucu? Kenapa pembicaraanmu menjadi seputar cucu?"

"Errr... Apa Ibu keberatan jika aku menjalin hubungan dengan seorang wanita? Maksudku, benar-benar serius menjalani sebuah hubungan, sampai ke jenjang pernikahan."

Mikoto tampak terkejut, tapi sedetik kemudian wajahnya mulai melembut. Dia menghampiri Itachi dan menepuk lembut bahunya.

"Kapan kau akan mengenalkan wanita itu padaku?"

Kali ini giliran Itachi yang terkejut. "Jadi, Ibu setuju jika aku segera menikah?"

Mikoto tertawa kecil. "Sepertinya kau sudah tidak sabaran, eh?" goda Mikoto. "Kau sudah besar. Usiamu sudah hampir 28 tahun, sudah waktunya kau memikirkan untuk membina rumah tangga. Ibu percaya pada pilihanmu."

Itachi tersenyum sumringah. Satu rencananya berhasil, semoga rencana-rencana selanjutnya pun berjalan dengan baik.

"Terima kasih, Bu."

"Jadi sudah berpakaian rapi di cuti panjang ini kau lakukan karena ingin kencan, bukan begitu?"

Itachi hanya tersenyum kecil sebagai jawabannya.

"Ah, andai saja Sasuke sedang ada di sini. Dia pasti akan sangat bahagia melihat kakaknya sudah mulai memikirkan rencana berumah tangga. Atau malah dia akan iri padamu," kata Mikoto sambil tersenyum.

.

.

Sakura cukup terkejut melihat kedatangan Itachi di losmennya pagi ini. Memang kemarin Itachi bilang akan mengantarnya ke dokter kandungan. Tapi dia tidak menduga bahwa Itachi akan datang menjemputnya pukul sepuluh pagi.

"Kau datang terlalu pagi, aku bahkan belum mandi."

Itachi memutar kedua bola matanya. "Ya ampun, anak gadis tidak boleh malas mandi."

Sakura tertawa mendengar gurauan Itachi. "Sayangnya aku sudah bukan gadis."

Itachi tersenyum kecil. "Nah, aku salah bicara ya?"

Sakura menggeleng. "Kau ini, seperti baru mengenal aku saja. Nah, kalau begitu aku mandi dulu. Tunggulah sebentar di teras depan. Aku akan selesai secepat mungkin."

"Baiklah."

Berselang dua puluh menit, Sakura sudah keluar menghampiri Itachi dengan wajah segar. Dia hanya mengenakan kemeja tangan pendek sederhana berwarna biru muda dipadukan dengan celana bahan berwarna soft cream. Rambutnya pun hanya disisir biasa, tapi Sakura sempat memberikan tonik pada rambutnya, lebih agar rambutnya sehat.

Di perjalanan ke rumah sakit, Itachi lebih banyak diam, tapi Sakura bisa melihat ada kelegaan besar terpeta di wajahnya. Itachi sesekali tersenyum kecil sambil bersenandung mengikuti lagu yang diputar di tape mobil.

Dokter yang memeriksa kandungan Sakura mengatakan bahwa kondisi janin yang dikandung Sakura cukup baik. Tidak ada masalah serius yang berarti. Namun demikian, Sakura diminta untuk tetap memeriksakan kandungannya secara rutin.

"Sakura, aku sudah menemukan satu solusi untuk mengatasi permasalahan yang kau hadapi."

Sakura dan Itachi sedang makan siang di sebuah rumah makan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Sakura memeriksakan kandungannya.

Sakura cukup terkejut mendengar perkataan Itachi. "Maksudmu? Oh, Itachi, ayolah, tidak ada yang bisa membantuku dalam menghadapi masalah ini. Dan kumohon, kau tidak perlu repot-repot memikirkan itu untukku."

Itachi menggelengkan kepalanya. "Ada, Sakura. Ada satu cara. Satu-satunya cara adalah kau harus mempunyai suami dan anakmu harus mempunyai ayah secara sah."

"Tapi aku tidak mau meminta pertanggungjawaban darinya, Itachi."

"Aku tahu dan bukan pria itu yang akan menjadi suami dan ayah bagi anakmu nanti."

"Eh?"

"Aku, Sakura. Akulah yang akan menikahimu dan menjadi ayah secara hukum bagi anakmu."

Sakura tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika mendengar perkataan Itachi.

"Itachi, kau ... kau gila. Aku tidak mungkin menghancurkan hidupmu dengan cara seperti itu."

"Tidak, Sakura. Aku tidak gila. Aku sudah berpikir semalaman dan aku yakin inilah cara satu-satunya untuk menarikmu keluar dari masalah itu. Itu pun kalau kau mau menerimaku sebagai seorang suami."

"Aku tidak mau, Itachi," kata Sakura tegas. "Kau tidak perlu mengorbankan hidupmu demi masalahku."

"Aku tidak merasa berkorban, Sakura," jelas Itachi. "Aku malah merasa beruntung jika memiliki istri seperti dirimu. Aku memang masih mencintai Konan, tapi aku berjanji akan menjaga kehormatan pernikahan kita jika kau mau menerima usulanku. Aku pun tidak akan memaksamu untuk menjalani hubungan suami istri denganku. Aku tahu kau masih mencintai ayah biologis dari anakmu. Aku tidak mempermasalahkan itu. Kita sama-sama tahu kalau kita memiliki banyak kesamaan dan kecocokan satu sama lain. Maka kupikir bukan hal sulit jika kita hidup bersama-sama sebagai suami istri. Dan aku berjanji. Aku akan melepaskanmu jika suatu saat kau bertemu dengan pria yang kau cintai dan ingin membangun hidup baru dengan pria itu."

"Itachi..." Sakura tidak mampu berkata apa-apa lagi. Itachi sangat baik terhadapnya. Dia seperti wanita jalang yang menjebak Itachi dengan situasi ini.

"Pikirkanlah, Sakura. Ini adalah jalan satu-satunya."

"Tapi ini semua tidak adil bagimu, Itachi."

Itachi tersenyum lembut. "Tidak adil bagaimana?"

"Dari semua yang kau katakan, itu semua sangat menguntungkan bagiku, tapi kulihat tidak ada keuntungan apa pun yang bisa kau ambil."

"Kata siapa aku tidak mengambil keuntungan?" Itachi menyeringai. "Kalau punya istri, hidupku pasti akan lebih teratur. Ada yang menyiapkan makanan untuku, ada yang menyambutku setiap pulang dari kantor, dan yang jelas, aku tidak akan lagi pergi ke klub malam."

Sakura tertawa kecil. "Masih sempat-sempatnya kau menggodaku," kata Sakura. "Tapi tetap saja itu semua tidak sebanding dengan apa yang kudapatkan jika menerima tawaranmu. Aku sungguh merasa bersalah, Itachi."

"Tidak usah merasa seperti itu, Sakura. Kau harus memikirkan bayimu. Dia harus memiliki ayah secara sah. Pikirkanlah dengan baik, Sakura."

Sakura tahu Itachi benar. Tapi apakah harus seperti ini?

"Demi bayimu, Saki," kata Itachi lagi.

Sakura akhirnya menyetujui usul Itachi. "Baiklah," katanya. "Tapi berjanjilah, Itachi. Bahwa kau pun memiliki hak yang sama denganku. Kau boleh meninggalkanku jika kau menemukan dan ingin menjalin hubungan dengan gadis yang kaucintai."

Itachi tersenyum hangat. "Tentu."

Beberapa hari kemudian, Itachi sudah membawa Sakura ke rumahnya dan mengenalkannya kepada Mikoto. Tidak butuh waktu lama bagi Sakura dan Mikoto untuk saling menyayangi satu sama lain. Mikoto sangat senang ketika Itachi membawa Sakura datang berkunjung ke rumahnya untuk bertemu dengan Mikoto. Sakura pun sangat senang karena Mikoto begitu terbuka menyambutnya dengan kehangatan.

Itachi berencana akan menikah dengan Sakura bulan depan. Rencana yang awalnya ditentang oleh Mikoto. Meski menyukai Sakura, Mikoto merasa itu terlalu terburu-buru. Apa lagi Itachi ingin agar pernikahan mereka tidak perlu terlalu dipestakan secara besar. Dia hanya ingin menikah di catatan sipil secara resmi dan menggelar resepsi sederhana hanya untuk kalangan keluarga dan kerabat dekat. Sebenarnya itu semua dilakukan Itachi agar Sakura tidak perlu terlalu terekspos di pesta pernikahan mereka nanti. Dia takut jika ada salah satu tamu undangan yang mengetahui tentang jati diri Sakura. Meski tidak mempermasalahkan pekerjaan Sakura, tapi Itachi tidak ingin menambah beban wanita itu jika harus mengalami tatapan sinis dan penuh tanda tanya di pesta pernikahan mereka nanti jika ada yang tahu jati dirinya.

Itachi berusaha meyakinkan Mikoto bahwa rencana menikah sudah dia pikirkan secara masak dari jauh-jauh hari, tapi baru sekaranglah dia mengatakan itu pada Mikoto. Hingga pada akhirnya Mikoto menyetujuinya dan sebulan kemudian Itachi dan Sakura resmi menjadi sepasang suami istri.


Satu setengah tahun telah terlewati. Sakura telah melahirkan bayi laki-laki tampan yang diberi nama Rei Uchiha. Sakura memilih proses persalinan dengan cara operasi. Sebenarnya hal ini dilakukan hanya untuk memperlihatkan seolah-olah bahwa bayi Sakura lahir karena memang membutuhkan operasi secepat mungkin, bukan karena memang usia kandungannya yang sudah mencukupi.

Kini Usia Rey belum genap setahun, tapi balita laki-laki itu telah mampu membius hampir seluruh kerabat Itachi maupun Sakura dengan wajahnya yang lucu dan menggemaskan. Mikoto sangat menyayangi Rei. Dia selalu berkata bahwa Rei sama seperti Uchiha lainnya, berambut hitam, dan merasa bahwa Rei mirip sekali dengan Itachi kecuali matanya yang sewarna dengan mata Sakura. Sakura terkadang begitu merasa bersalah jika mengingat hal itu. Karena Rei bukanlah anak kandung Itachi.

Sementara itu rumah tangga Itachi dan Sakura berjalan dengan baik. Baik Itachi maupun Sakura saling menghormati dan menjaga satu sama lain. Mereka memang tidur sekamar, tapi di atas dua tempat tidur yang berbeda. Tak pernah sekali pun Itachi melanggar janjinya. Sakura pun melayaninya dengan penuh pengabdian seorang istri kepada suami. Meskipun tidak pernah berhubungan badan, mereka tetap saling mengasihi satu sama lain.

"Berapa lama kau akan menginap di Oto, Itachi?" Sakura bertanya karena ingin tahu. Dia sedang merapikan beberapa potong pakaian Itachi di dalam koper.

"Tidak lama. Mungkin hanya dua atau tiga hari."

Hari ini Itachi akan berangkat ke Oto untuk meresmikan pembukaan cabang baru perusahaannya di kota tersebut.

"Hati-hati selama berada di sana. Jangan lupa untuk menjaga kondisi kesehatanmu dan makanlah secara teratur."

Itachi tersenyum miring. "Baik, Nyonya Uchiha."

Sakura merasakan pipinya memanas akibat godaan Itachi. "Jangan menggodaku pagi-pagi begini."

Itachi hanya tersenyum kecil sebagai balasannya. Sedangkan Sakura bangkit setelah selesai mengepak keperluan Itachi selama di Oto di dalam koper. Dia bangkit dan membantu Itachi memasang dasi.

"Ingat, kau harus hati-hati dan jaga kondisi kesehatanmu," kata Sakura. "Dan jangan lama-lama di sana. Rumah akan sepi jika kau tidak ada," lanjutnya.

"Tentu saja aku akan cepat pulang. Apalagi di rumah ada jagoan lucu yang ingin segera bermain dengan ayah, bukan begitu, Jagoan?" Itachi menoleh pada balita yang sedang asyik bermain di dalam boks-nya.

Sadar kini menjadi pusat perhatian, Rei tersenyum memamerkan giginya yang belum tumbuh. Dia tertawa-tawa kecil sambil mengacung-acungkan jarinya ke atas.

Itachi dan Sakura tertawa. Itachi mendekati boks, merendahkan posisi tubuhnya agar sepadan dengan Rei. "Nah, Jagoan, selama tidak ada ayah di rumah, kau harus menjaga ibumu, ya."

Rei yang tidak mengerti apa yang dikatakan Itachi hanya tertawa-tawa kecil menanggapi perkataan Itachi, sambil menggerakan tangannya mencoba meraih Itachi.

Sakura mendekati Rei dan menggendongnya. "Nah, anak manis, ayo kita antar ayahmu sampai ke depan."

Sakura dan Rei mengantar Itachi sampai pintu depan. Sebelum Itachi pamit, dia mengatakan bahwa selama dia berada di Oto, adiknya akan menemani Sakura di rumah.

"Apa itu harus, Itachi? Maksudku, kau tahu 'kan aku tinggal di sini hanya bertiga dengan Rei dan Chiyo-baasan. Apa tidak apa-apa jika aku menerima tamu di saat suamiku tidak ada di rumah?"

Sakura dan Itachi memang tinggal terpisah dari Mikoto setelah menikah. Mereka hanya tinggal ditemani oleh Chiyo-baasan, wanita paruh baya yang membantu Sakura dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Awalnya Itachi tidak tega meninggalkan ibunya sendiri. Namun apa boleh buat, dia tidak mungkin serumah dengan Mikoto tanpa membongkar rahasia pernikahan mereka. Cepat atau lambat Mikoto pasti akan mencium rahasia itu jika mereka tinggal serumah.

"Dia bukan tamu, Sakura. Dia adikku. Lagi pula akulah yang memintanya untuk datang dan menemanimu selama aku tidak ada di rumah. Dia juga tidak keberatan, kok. Dia merasa itu cara untuk menebus ketidakhadirannya di pesta pernikahan kita dan di saat kelahiran Rei."

Sakura memang belum pernah bertatap muka dengan adik Itachi. Saat mengunjungi rumah Itachi dulu pun dia tidak menemukan foto adiknya. Itachi bilang adiknya pemalu dan tidak suka difoto. Ketika hari pernikahannya, Itachi mengatakan bahwa adiknya sedang berada di luar negeri dan tidak memungkinkan untuk datang ke pernikahan mereka. Pun ketika Rei lahir, adiknya tidak bisa datang karena dia sendiri sedang sakit dan tidak bisa pulang ke Konoha. Sakura sempat terkejut saat Itachi mengatakan bahwa nama adiknya adalah Sasuke. Namun Sakura berusaha berpikir secara realistis. Nama Sasuke bukanlah nama asing. Banyak sekali pria yang mungkin bernama sama dengan nama ayah kandung Rei.

"Baiklah," kata Sakura. "Hati-hati, Itachi."

"Kau juga, berhati-hatilah di rumah."

Sakura menganggukkan kepalanya dan memandang Itachi yang mulai memasuki mobilnya dan menjauh dari kediaman mereka.

Hari sudah senja ketika Sakura mendengar ada ketukan di pintu rumahnya. Sakura melirik Rei yang sedang tertidur di boks. Ketukan pintu masih terus terdengar. Sepertinya Chiyo-baasan tidak mendengarnya. Sakura yang tadinya sedang membaca sebuah novel sambil membaringkan tubuhnya, kini bangkit dan berjalan menuju pintu depan.

Sakura membuka pintu rumahnya. Dan siapa yang didapatinya sedang berdiri di hadapannya tanpa halangan apa pun membuat jantungnya berdebar lebih kencang.

Orang itu masih sama meskipun hampir dua tahun terlewati. Kulit putih, rambut hitam, dan tatapan tajam matanya yang seolah menembus diri terdalam Sakura masih sama seperti dulu.

Sama seperti apa yang terjadi pada Sakura, tamunya pun merasa sangat terkejut dengan kenyataan yang dihadapinya. Apa benar wanita yang dinikahi kakaknya adalah wanita yang kini berdiri tepat di hadapannya? Wanita yang pernah membuatnya merasakan perasaan aneh di hatinya beberapa tahun yang lalu.

.

.

Bersambung...


Nah, pertama-tama terima kasih banget udah mau baca sampai akhir. Saya tahu saya keterlaluan bikin chapter sepanjang ini. Mudah-mudahan nggak bosen bacanya. ;_; *pundung*

Sepertinya tanpa diberitahu pun, semua udah tahu siapa tamu yang datang ke rumah Sakura ya? #plaks XD

Buat yang mau nanya lemon, plis banget jangan nanya itu. Rate M bukan cuma berisi lemon. Saya tekankan rate M di sini lebih kepada tema dan isi cerita yang cukup berat.

Saya mau ngucapin banyak terima kasih sama Kira Desuke yang udah mau fanficnya dibikinin sekuel sama saya. *peluk Dechan* Saya juga mau ngucapin terima kasih sama kakkoi-chan yang udah membantu saya dalam penghitungan usia kandungan. XD *peluk kakkoi*

Salam hangat,

Ay