Hi! And here we go I'm back after...two months~ :p Well, sebenarnya sudah jadi dari kapan entah tapi masih males buat nge-beta. Ini juga semoga beta-nya udah oke... #pluk

So, here we go. Chapter ini masih menyorot interaksi antara Ahomine dan Kuroko dan juga pikiran dari Kagami. Ukh, I know... di chapter ini penguasaan karakternya jadi sangat aneh terutama di bagian Kagami. But, well~ here we go! Hope you enjoy this chapter as well!


Kuroko no Basket © Todatoshi Fujimaki

One © altaira verantca

Rated : M

Genre (s) : Hurt and Comfort | Romance

Cast (s) : Aomine Daiki | Kuroko Tetsuya | Kagami Taiga | Kise Ryouta

-first-

.

Tidak ada yang suka ketika tahu bahwa dirinya hanya dijadikan umpan, atau alibi, atau modus untuk mendapatkan senyum orang yang lain. Terutama ketika sang pembuat umpan itu adalah orang yang sangat diinginkan oleh dia-yang-dijadikan-umpan. Ikan macam apa yang ingin didapatkan oleh sang pemancing hingga memakai umpan yang begitu bagus?

Tapi di sisi lain, ia sadar, dengan kesadaran penuh karena seluruh memorinya masih lengkap untuk tiap detik momentumnya. Ketika lawannya memasuki lapangan, memberi tatapan kepada Kuroko yang akan ia ingat dan ia rutuk sampai batas waktu yang belum ditetapkan. Ya, dia sadar kalau Kuroko berusaha memiliki sebuah ikan terbaik dengan umpan terbaik pula.

Dan ia sadar bahwa seorang Kuroko Tetsuya belum menjadi miliknya seutuhnya. Meski Sang Bayangan sudah mengikat janji untuk melekat dengannya, meski ratusan jam telah mereka habiskan bersama untuk berlatih, bertanding bersama, atau bahkan hanya sekedar menghabiskan waktu bersama sepanjang malam.

Itu semua belum benar-benar cukup untuk memiliki seluruh bagian rasa dan mematri tiap keping sel otak Kuroko Tetsuya dengan nama Kagami Taiga seorang.

.

.

"Minumlah."

Aomine bersandar di dinding, menatap pemuda berambut biru langit yang masih tampak belum sadar sepenuhnya, membiarkan sebotol minuman istonik dingin berdiri tegak begitu saja di satu-satunya bangku panjang di koridor itu.

"Ao..mine-kun?" hanya kata itu yang bisa terucap dari bibir tipis pucat itu, yang kini sedikit terbuka untuk mengimbangi permintaan oksigen dari paru-parunya yang masih kelelahan. Ia duduk dari posisinya, berniat berdiri menghadapi mantan rekan setimnya itu, namun suara yang begitu ia kenal menghentikannya, lagi.

"Duduklah, Tetsu," Aomine meraih botol minuman tadi lalu melemparkannya ke pangkuan Kuroko.

Kuroko diam, menatap botol dingin yang menyerap sedikit panas di kulitnya yang tertutup celana selutut berwarna abu-abu gelap, tangannya belum bergerak untuk mengalihkan isi botol itu ke dalam kerongkongan sampai ke lambungnya.

"Apa yang sedang kau lakukan disini, Aomine-kun?" hanya kalimat itu yang terucap sebagai gantinya, bagaimana pun ia kaget melihat ace tim Touo itu di hadapannya.

Aomine sempat menatap Kuroko beberapa saat sebelum melengos ke arah lain, mengusap tengkuknya yang sedikit dingin, lalu menjawab pertanyaan mantan bayangannya itu, "tidak tahu. Toh, aku tidak peduli."

Tidak ada yang bicara selama beberapa saat, bahkan yang bisa terdengar hanyalah helaan nafas berat Kuroko yang belum pulih sepenuhnya juga detik halus jam dinding di atas vending machine. Tidak ada kata tercipta, seolah mereka memang dipisahkan oleh sekat nyata yang membedakan dimensi mereka.

"Kagami tidak bersamamu?" pertanyaan dengan nada malas terlontar dari bibir Aomine, tanpa menatap Kuroko, pandangannya mengarah ke lantai koridor.

Kuroko mengalihkan matanya sesaat untuk memandang sosok di hadapannya, sebelum ia menyandarkan punggungnya di dinding dan menarik nafas dalam-dalam. "Ia akan datang, sebentar la—."

"Kau sekarang bersamanya?" potong Aomine tidak sabar. Bola mata berwarna safir gelap itu seolah meruncing, mengirimkan berkas cahaya menusuk ke Kuroko. Daripada disebut bertanya, lebih cocok disebut menginterogasi.

Cukup satu detik, untuk kontras warna biru itu beradu, dan itu sudah membuka segalanya. Segala pertanyaan yang terlontar, langsung menemukan jawabannya, tanpa perantara. Membuat mereka sama-sama harus memalingkan wajah agar mereka tidak lagi terjebak dalam kefanaan yang sama seperti dulu.

Kuroko bisa merasakan kakinya yang tidak sabar untuk berdiri, membawanya berhadapan langsung dengan Aomine. Langsung, mata bertemu mata. Sehingga tidak ada lagi kiasan yang terlontar dari bibir mereka masing-masing. Namun Kuroko menahan diri, menahan tubuhnya untuk tetap melekat erat di bangku kayu yang masih terasa dingin.

"Dia cahayaku, Aomine-kun," jawab Kuroko lugas, tidak meminta bantahan.

Aomine menghentak satu kakinya, mengentak lantai. "Kau tahu dimana maksud pertanyaanku, Tetsu."

"Dan kau masih bersama Kise-kun sampai sekarang, Aomine-kun?" pertanyaan yang sudah ia tahu jelas jawabannya terujar dengan lancarnya, seolah berusaha mempertahankan diri dengan cecaran pertanyaan lainnya.

Aomine menoleh cepat, menatap mantan bayangannya tajam. Emosi teraduk kental di dalam tubuhnya. Amarah, kesal, kecewa, sedikit kebanggaan, serta nyeri tipis yang merayap mulai dari tengkuknya hingga turun menyusuri ruas-ruas ganglion sarafnya.

"Kise-kun menangis di tengah lapangan saat itu, dan kau sama sekali tidak peduli padanya. Atau kau meninggalkannya juga?" tatapan biru muda penuh keteguhan itu berusaha mengusik emosi tanpa riak di hadapannya ini.

Berhasil, karena setelah itu Aomine segera menatap Kuroko, tepat di matanya. Ketika tajam tipis biru muda beradu dengan kemantapan sorot berbalut warna biru tua, tidak ada kata yang perlu diucapkan.

"Jangan campuri urusanku, Tetsu."

"Kuharap kau melakukannya lebih dulu sebelum bicara, Aomine-kun."

Aomine terpaku di tempatnya, menatap Kuroko lekat hingga menemukan bayangan tipis kemarahan yang nyata disana. Kemarahan ya? Tidak bisakah kemarahan itu menjadi lebih hebat lagi? Hingga bisa memberikan pertunjukan lain padanya?

Keingintahuan selalu menjadi kunci dari segalanya. Selalu.

"Aku melihat pertandinganmu. Juga teknik baru yang Satsuki ceritakan kepadaku," bukan tanpa alasan tiba-tiba ia mengubah topik pembicaraan. Punggung Aomine meninggalkan dinding. Langkah membawanya mendekati Kuroko yang kini sudah mengadah untuk mempertahankan kontak mata dengannya.

"Tidak cukup, Tetsu. Jangan membuatku tertawa," satu telapak tangannya menangkup kedua pipi Kuroko, menampilkan sebuah kekontrasan lain dari mereka. Dominasi dan terdominasi.

Kuroko kontan berusaha menepis tangan yang mulai menyakiti rahangnya itu, tapi sepertinya Aomine memilih untuk tidak mengalah sedikitpun, malah mempererat cengkramannya.

"Kau tahu kalau kau tidak dapat melawanku, Tetsu," dua pasang bola mata itu kini sejajar. Tatapan Aomine berkilat sejenak saat ia menjilat bibirnya sendiri. "Aku tidak akan kalah olehmu. Bukankah kau sendiri sudah tahu itu, Tetsu?"

Ada kerutan tipis yang hanya dapat disadari oleh orang-orang tertentu di dahi Kuroko, membuat Aomine menyunggingkan senyum kemenangan. Terutama ketika pemuda berpostur kecil itu berucap, "Akan ada cara untuk me—"

Satu lumatan kasar membungkam bibir Kuroko. Bukan kasar karena nafsu, amarahlah yang mememerintahkan tiap otot untuk melumat bibir pucat di hadapannya. Bibir Aomine melumat bibir Kuroko, mengigit bibirnya, meneroboskan lidahnya paksa, dan terakhir berdecak cepat hingga ujung lidahnya menyentuh langit-langit mulut Kuroko.

Lumatan yang terasa sangat panjang itu berakhir ketika Kuroko menendang tulang kering Aomine kuat-kuat, membuat ace Touo itu mengaduh kecil dan mundur, melepaskan bibir pucat yang kini menjadi merah dan basah. Lebih menggoda daripada sebelumnya.

Seringai penuh kemenangan terbit di wajah pria berkulit gelap itu. Ia bukannya tidak tahu ada pemuda berambut merah gelap berdiri dan sedang mengendalikan diri baik-baik di balik koridor. Ini hanya awal bagi dia yang merebut miliknya tanpa ijin.

"Percuma, Tetsu. Yang akan memenangkan pertandingan Winter Cup ini adalah—"

"—kami," sebuah suara yang familiar untuk Kuroko, menyelesaikan kalimat yang sempat tergantung selama beberapa milidetik itu.

Kagami Taiga.

.

.

Kagami berdiri diam, mengatur nafasnya yang nyaris tercekat, menahan kepalan tangannya yang hampir melayang, mematungkan kakinya agar ia tak segera berlari menuju pemuda berjaket biru gelap yang hanya berjarak beberapa meter darinya; menampilkan punggung lebar yang penuh celah.

Ia masih tidak mempercayai apa yang baru saja ia lihat, ia dengar, meski dengan mata dan telinga dari kepalanya sendiri. Sebuah obrolan kecil berikut ciuman panjang kasar, serta kenyataan akan pertandingan mendatang, yang membuatnya muak sekaligus marah. Emosi ingin merusak berikut ingin membalas berkecamuk di dalam dirinya, membuatnya mendidih.

"Kagami-kun, sebaiknya kita kembali ke ka—"

"Katakan kepadaku, Kuroko," ada nada mendesak dalam suaranya. Ia berbalik dan menatap partnernya, meminta jawaban atas apapun yang akan ia tanyakan setelah ini.

"Apa kau menyembunyikan hal lain dariku mengenai Aomine?" diam sejenak sebelum ia menambahkan, "mengenai dirimu dengan Aomine tepatnya."

Kuroko menatap mata Kagami, tepat di kedua bola mata merah gelap itu. "Kau tidak bertanya apapun sebelumnya, Kagami-kun."

Tarikan nafas panjang menjadi jeda sebelum Kagami kembali mengajukan peranyaan, "Katakan kepadaku kalau begitu. Sekarang. Hubunganmu dan Aomine sebelum—"

"Aku yang mencintainya, Kagami-kun."

Bubu-buku jari Kagami memutih sepenuhnya begitu jawaban itu terlontar dari bibir Kuroko. Tidak akan ada orang yang tidak marah ataupun emosi ketika seseorang yang menyita hampir seluruh duniamu mengatakan ia memiliki dunia yang lain. Dunia dimana tidak ada Kagami di dalamnya.

"...dan aku memiliki perasaan yang sama terhadapmu, Kagami-kun."

"Meski aku yang berada di hadapanmu sekarang, kau masih tetap mengharapkan Aomine?"

Kuroko menggelengkan kepalanya, kembali menatap Kagami dengan ekspresi yang tidak dapat dibaca sama sekali. "Tidak. Aku hanya berharap Kise-kun baik-baik saja selama bersama dengan Aomine-kun."

.

.

Aomine Daiki.

Aomine Daiki. Aomine Daiki.

Ya, nama yang kini melekat erat di kepala Kagami. Semakin erat setelah jawaban spontan dari seorang Kuroko Tetsuya. Dusta kalau ia tidak merasa terkalahkan hanya dalam beberapa kata tadi. Kebohongan kalau ia tidak ingin segera mendorong pria berkulit gelap itu dari kehidupan bayangannya, selamanya.

Kagami menatap telapak tangannya, hanya satu cara yang ia dapat pikirkan sekarang.

Jika Seirin bisa memenangkan pertandingan melawan Touo, Kuroko Tetsuya akan benar-benar bersamanya. Sampai nanti. Sampai entah kapan yang ia tak bisa tentukan batasnya.

"Aku juga sempat berpikiran yang sama ketika kau yang mengatakannya, Kagami-kun."

Ya. Tidak ada yang salah dengan menebus kekalahan secepat mungkin.

Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk mempertahankan apa yang penting bagi seseorang.


Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Well...not the best chapter... bahkan saya merasa chapter 1 mendingan daripada ini... x_x

Terima kasih bagi segenap pembaca yang sudah review-follow-favorite cerita ini, semoga semuanya memicu saya buat jadi lebih baik lagi! :D

Thanks for reading and all review also comments are apreciated! :D