Naruto © Masashi Kishimoto.

Pairing : SasuNaru, GaaNaru, SasuSaku.

Genre : Drama/Angst/Family.

Rate : T.

Warning : OOC, OC, AU, typo(s), Boy Love, MPREG.

DON'T LIKE DON'T READ!

PAST © Yanz Namiyukimi-chan.

15 tahun telah berlalu. Kini ia telah menemukan keluarga kecilnya sendiri. Hidup bahagia bersama kedua buah hatinya dan suaminya tercinta. Namun bagaimana jika masa lalu dari kenangan pahit yang ia miliki datang menghampirinya? Mencoba mengusik kehidupannya yang baru.

.

.


.

.

Pagi hari yang cerah. Di mana angin berhembus sejuk menyegarkan paru-paru. Matahari yang baru saja terbit sedikit memberi kehangatan pada kulit. Burung-burung juga berkicau dengan riang menandakan bahwa hari ini pun adalah hari yang bagus untuk memulai kehidupan mereka. Siap menyibukkan diri dan menantang hari?

Ya, mungkin…

Begitu juga dengan salah satu keluarga yang satu ini. Di dalam sebuah rumah yang cukup luas namun memberi kesan sederhana layaknya bangunan rakyat biasa, keluarga ini juga tampak sibuk dengan aktivitas pagi mereka.

"Mama~ kaos kakiku ada di mana?!"

"Naruto tolong pasangkan dasiku!"

"Mana sarapanku, Kaasan?!"

Pria berambut pirang itu begitu pusing mendengar seruan-seruan itu. Begitu memenuhi kepalanya hingga terus berputar hingga kepalanya terasa ingin pecah karena saking frustasinya. Entah itu suaminya atau anaknya, tidak ada sama sekali yang membantu meringankan bebannya barang sedikit pun. Waktu yang terus mendesak membuatnya tidak bisa berpikir jernih dan bertindak dengan tenang. Sehingga ia benar-benar tidak bisa fokus dan menyelesaikan kegiatannya satu per satu.

Dan beginilah dimulainya kegiatan dari seorang Sabaku no Naruto yang mengurus kedua anaknya dan suaminya tercinta. Lengkap dengan celemek dan spatula yang ada di tangannya.

Ya, ampun! Ini gara-gara ia bangun kesiangan dan semuanya jadi kacau-balau begini!

"Mama~"

Seorang anak perempuan berambut merah dengan rambut pendeknya dikuncir dua, mencoba memanggil sang ibu. Memohon bantuan untuk menemukan kaos kakinya yang sekarang entah ada di mana. Bocah yang kira-kira berumur lima tahun itu mulai kembali merengek. Inilah si bungsu dari keluarga kecil ini, Sabaku no Kyuubi!

"Kyuubi! Coba cari sekali lagi! Bukankah Mama sering bilang, jangan menaruh apa pun sembarangan! Harus pada tempatnya agar kau tidak repot mencarinya!" omelnya pada si bungsu. Anaknya yang satunya ini memang sedikit susah diatur.

Lalu selang beberapa detik kemudian muncullah sosok dewasa berambut merah. Tampilannya sedikit acak-acakkan. Kemeja putihnya belum masuk dengan rapi ke dalam celana hitam formalnya. Dan dasi berwarna merah itu masih menggantung di balik kerahnya—belumlah disimpul.

"Naru—"

"Tunggulah sebentar Gaara! Apa kau tidak lihat jika aku sedang sibuk? Nanti aku pasti pasangkan dasi untukmu!"

Pria berambut merah itu langsung patuh. Ia tahu jika sosok yang ia anggap sebagai istrinya itu sedang sibuk dan ia tidak bisa membantu sama sekali. Ia sama sekali tidak mengerti apa pun tentang mengurus rumah tangga layaknya Naruto—sang istri. Ia hanya orang yang menjadi salah satu yang menambah beban Naruto di pagi ini. Sosok suami yang butuh bantuan istrinya karena ia tidak bisa memasang dasinya sendiri, Sabaku no Gaara!

"Renji! Jika jau ingin sarapanmu, duduklah di kursimu!" perintah Naruto pada anak pertamanya. Memotong secara langsung sehingga si sulung ini kembali menutup mulutnya.

Bocah laki-laki yang baru saja memasuki bangku SMP itu turun dari meja—asal mula tempatnya ia duduk—dan beralih menduduki kursi meja makan yang ada seperti yang diperintahkan oleh ibunya. Sejak tadi ia hanya menikmati kesibukan ibunya yang ada di depan matanya. Duduk diam sambil memperhatikan gerak-gerik ibunya yang melakukan ini-itu. Dan tak lupa ikut menimpali seperti halnya yang dilakukan oleh ayahnya dan adik perempuannya—menambah kesibukan Naruto.

Tidak seperti Gaara atau pun Kyuubi, bocah yang memiliki rambut berwarna hitam yang satu ini. Rambutnya yang sedikit jabrik ia ikat sehingga terdapat buntut kecil di balik tengkuknya. Sabaku no Renji! Si sulung yang satu ini tampak sudah siap dengan semua yang dibutuhkannya. Hanya tinggal menunggu sarapan buatan ibunya. Tampaknya si sulung ini adalah satu-satunya makhluk yang tidak pusing dengan paginya hari ini.

Naruto menghela napas. Benar-benar pagi yang melelahkan. Bangun kesiangan dan secara tidak langsung ia harus menyiapkan kebutuhan suami dan anak-anaknya dengan tergesa-gesa. Semua terasa kacau balau. Melakukan sesuatu dengan terburu-buru memang tak selalu memuaskan hati. Hati tak puas tenaga terkuras. Seperti melakukan sebuah pekerjaan yang sia-sia.

Itu yang dirasakan Naruto.

Walaupun yang dilakukannya hanya mengurus suami dan kedua anaknya, tetap saja apa yang dilakukannya harus dikerjakan dengan baik—itu hanya sudut pandang yang Naruto pikirkan.

Kini tinggal mengatasi masalah yang dihadapi oleh suaminya. Dari awal bertemu, si Tuan Sabaku ini memang tidak pernah bisa mengikat dasi dengan benar. Makanya bukan sesuatu hal yang luar biasa jika setiap pagi kepala keluarga Sabaku ini selalu meminta bantuan sang istri untuk mengikatkan dasinya.

Dengan cekatan, Naruto menyimpulkan dasi di leher suaminya. Tinggal satu tarikan dan… selesai! Kini dasi merah itu tergantung cantik di leher Gaara.

"Cepat pergi sana! Kalian sudah benar-benar terlambat!" Naruto mendorong pelan tubuh Gaara. Mereka sudah tertahan cukup lama karena persiapan yang biasa mereka lakukan di pagi hari.

Dan sekarang di luar sana kedua anak mereka sudah tidak sabar menunggu.

TIN! TIN! TIN!

"Papaaa! Ayo cepat!"

TIN! TIN! TIN!

"Jangan mainkan klaksonnya, Kyuu! Berisik!"

TIN! TIN! TIN!

"Papaaa~"

TIN! TIN! TIN!

"Lihat, anak-anak sudah menunggu!" seru Naruto.

Gaara membalikkan badannya, bersiap untuk pergi. "Ya, kami pergi dulu."

"Hati-hati di jalan," pesan Naruto pada suaminya. Namun belumlah sampai melewati pintu depan rumahnya tubuh Gaara membeku.

"Ada apa?" tanya Naruto.

"Aku melupakan sesuatu!" jawab Gaara dengan wajah serius. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan sesuatu yang penting seperti itu! Biasanya ia tidak pernah melupakannya!

Naruto menepuk jidatnya. Ya, ampun kenapa harus disaat-saat seperti ini harus ada saja yang terlupakan?

Naruto menatap Gaara dengan penasaran. "Apa?! Katakan padaku apa yang kau lupakan? Biar aku yang mencarinya!"

Gaara terdiam.

"Gaara!" seru Naruto tidak sabaran.

"Mana ciuman pagiku?"

BLETAK!

Sukses saja Gaara mendapat sentuhan manis di kepalanya. Bahkan ini lebih hanya sekedar ciuman di pagi hari yang ia tagih.

"Bye bye Mama~"

Naruto tersenyum manis pada putrinya sambil melambaikan tangannya. Mengabaikan wajah suaminya yang masam plus dengan benjolan di kepalanya duduk di kursi kemudi.

"Baik-baiklah kalian di sekolah!" pesan Naruto pada kedua anaknya. "Kyuubi nanti Mama yang akan menjemputmu. Jadi tunggu sampai Mama datang!"

"Oke~"

Perlahan mobil itu bergerak dan lama-lama hilang dari penglihatan Naruto.

Ah… kini sebagian tugasnya sudah selesai. Dan sekarang ia bisa mengerjakan pekerjaannya yang lain. Dan kali ini tidak perlu tergesa-gesa seperti tadi.

Lain kali ini tidak boleh bangun kesiangan! Hanya karena itu, semuanya jadi repot!

.


.

Jarum masih berputar dengan konstan. Berputar dengan teratur. Namun berbeda dengan apa yang dirasakan oleh pria yang duduk di balik meja kerjanya ini. Ia melirik cemas pada jam yang terpajang di atas meja kantornya. Ia merasa waktu bergerak cepat namun kertas-kertas yang ada di mejanya masih menumpuk perlu ia urusi. Ia merasa dikejar-kejar waktu padahal waktu tidak pernah menambah kecepatannya sedikit pun.

Ia melirik jam itu lagi. Tanpa terasa sekarang sudah hampir pukul satu siang. Ah… sebentar lagi waktunya makan siang dan ia bisa menggunakan waktunya untuk mengistirahatkan pikirannya sejenak. Tahu hal itu, pria berambut merah itu tetap tidak menunjukan binar semangat sedikit pun. Wajahnya masih muram.

Bagaimana ia bisa merasa semangat, jika ia ingat bahwa orang yang di rumahnya yang biasanya membuatkannya makan siang dan dengan senang mengantarkan makanan siangnya ke tempat kerjanya itu sedang marah.

Sabaku no Gaara mengacak-ngacak rambutnya, frustasi. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumahnya. Namun bagaimana bisa ia seperti itu jika kerjaannya masih menumpuk di atas mejanya. Gaara menghela napas, ia rindu Naruto, suaminya alias orang yang berperan sebagai istrinya.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!"

Pintu itu terbuka dan masuklah seorang wanita plus dengan map yang ada dalam genggamannya. Mau tidak mau Gaara mendengus kesal. Bagaimana pekerjaannya cepat selesai jika kertas-kertas itu terus berdatangan?

"Ini dokumen tentang proyek kemarin, Pak."

Gaara bersandar pada kursinya sambil membuka tiap lembar isi dokumen itu dan memperhatikan setiap detailnya.

"Ohya, Pak. Ada sebuah pesta launching sebuah hotel baru dari Yamanaka Corp dan Anda diundang. Apakah Anda ingin datang?"

Gaara mengalihkan sedikit perhatiannya.

"Launching hotel dari Yamanaka Corp?" Gaara melempar map itu ke atas mejanya. "Um… akan kupikirkan nanti."

Shion, wanita yang juga berlaku sebagai sekertaris Gaara pun mengangguk mengerti. "Tapi mereka butuh konfirmasi jika Anda ingin datang."

Shion tersenyum manis, "Dan ada seseorang yang ingin menemui Anda sekarang."

Gaara mengernyit dan Shion hanya tersenyum penuh arti.

"Gaara…"

Suara lain menyergap ruangannya. Gaara menatap sedikit tidak percaya pada sosok yang menyembulkan kepalanya di balik pintu. Menampilkan wajah bersemangat yang tidak asing sama sekali untuknya.

Ia kira Naruto masih marah karena kejadian tadi pagi dan tidak akan pernah datang ke kantornya hari ini.

.


.

Dengan perlahan ia memakan makanan siangnya. Masakan yang buat Naruto memang lezat itu yang membuatnya jarang memilih makanan di luar.

"Naruto," panggil Gaara.

"Um…"

"Saat kau pulang nanti kau bersiap-siaplah. Gunakan pakaian yang bagus dan pastikan Kyuubi dan Renji ikut bersiap-siap."

Naruto memandang Gaara bingung. "Memangnya ada apa? Apa kita akan pergi ke suatu tempat?"

"Ya… kita akan datang menghadiri launching sebuah hotel. Aku ingin kau, Renji dan Kyuubi ikut bersama denganku."

"Apa kau yakin?" tanya Naruto ragu. "Kita sebelumnya belum pernah tampil di depan publik. Apa tidak akan apa-apa?"

"Apa yang kau khawatirkan? Semua sudah tahu hubungan kita. Kenapa masih harus di tutup-tutupi?" jawab Gaara.

Naruto bergerak gelisah. Ia tahu akan hal itu. Semua tahu tentang hubungan yang terikat di antara mereka. Bahkan saat pesta pernikahan yang mereka selenggarakan tidak terkesan tertutup. Tapi tetap saja hal ini bukan hal yang biasa. Pandangan setiap orang tentu saja berbeda.

"Tapi—"

"Karena hubungan kita tidak normal? Karena aku menikahi seorang lelaki?" sela Gaara memotong ucapan Naruto. Ia tahu apa yang dipikirkan oleh kekasihnya yang berhasil ia nikahi.

Gaara menatap penuh arti. "Naruto kita sudah menikah hampir 12 tahun. Apa kau mau seperti ini terus?"

Naruto menggelengkan kepalanya. Tentu saja tidak! Ia juga ingin dipandang sebagai keluarga normal seperti yang lainnya. Tapi apa bisa?

Gaara menyisikan anak rambut pirang itu ke belakang telinganya. "Aku juga tidak mau. Aku ingin menunjukkan bahwa aku juga bahagia."

"Gaara…"

"Aku mencintaimu," bibirnya bermain di telinga Naruto, berbisik lembut. "Aku mencintai Kyuubi dan juga Renji. Kalian adalah orang yang membawakan kebahagian dalam hidupku."

Naruto mendekap tubuh suaminya. Ia tidak tahu harus berkata seperti apa. Menenggelamkan setengah bagian wajahnya di bahu itu. Perasaan bahagia membuncah dalam rongga dadanya. Ia merasa begitu senang mendengar tutur kata si rambut merah itu.

Jujur, sebenarnya selama ini Gaara selalu bersikap biasa saja. Memandang berbagai hal bahwa itu adalah hal yang wajar. Seperti saat Gaara menggandeng tangannya di depan publik. Ia tidak merasa malu atau cemas.

Malah sebaliknya.

Ia yang selalu merasa cemas akan tanggapan orang-orang di sekitarnya. Begitu juga saat hari pernikahan mereka. Jika diingat-ingat memang konyol dan betapa pengecut dirinya. Ia hampir saja melarikan diri dari hari penting dalam hidupnya. Mungkin hari pernikahan untuk kebanyakan orang adalah hari yang ditunggu-tunggu. Mengikat tali suci di depan Tuhan dengan janji setia. Bukan… bukan berarti Naruto tidak mencintai Gaara saat itu hingga ia ingin melarikan diri. Tapi memang pada dasarnya mereka berbeda. Mereka adalah pasangan yang berbeda dari yang lainnya.

Ia adalah laki-laki.

Dan Gaara juga adalah seorang laki-laki.

Apa ini bisa disebut hal biasa? Sebuah hal yang normal?

Tidak…

Tentu saja tidak. Walau di negara mereka tidak melarang sebuah pernikahan seperti mereka tapi masih banyak orang yang menganggap bahwa hal ini dengan sebelah mata. Ia tidak tahu bagaimana caranya Gaara bisa tahan dengan gunjingan di belakang mereka.

"Akhir-akhir ini kuperhatikan, kau jadi sering memakai jepit rambut," seru Gaara sambil memainkan helaian rambut pirang itu.

Naruto menepis tangannya. "Memangnya kenapa?" serunya dengan tampang judes.

"Seperti perempuan saja…" cibir Gaara mengejek Naruto.

Wajah Naruto memerah. "Ini gara-gara Kyuubi! Jika saja bukan karena dia aku tidak akan mau berpenampilan seperti ini!"

Gaara terkekeh geli. Ia tahu itu. Putra bungsu mereka memang masih polos. Wajar saja di usianya yang sekarang, Kyuubi memiliki rasa penasaran tinggi. Dan tentu saja objek kali ini yang mendapat kepolosan Kyuubi adalah sosok ibunya sendiri.

Tak jarang anak bungsungnya itu mengajukan kata 'kenapa' pada ibunya. Ya… seperti—

"Mama` kenapa ibu teman-temanku selalu mempunyai rambut panjang? Kenapa Mama tidak?"

Atau…

"Mama kenapa ibu teman-temanku itu punya sesuatu yang menonjol di dada mereka?"

Emm… dan seperti ini.

"Mama` kenapa mereka selalu mengira jika Mama itu adalah Papanya Kyuu?"

Dan juga…

"Mama` kenapa tidak pernah memakai jepit rambut? Ibu teman-temanku selalu pakai loh… Mereka cantik deh! Coba Mama juga pakai deh! Pasti Mama juga makin cantik!"

Hahaha… Gaara tidak akan pernah melupakan bagaimana pertanyaan polos Kyuubi pada Naruto. Pertanyaan dan pemikiran polos Kyuubi sering membuat Naruto tak berkutik sekaligus bingung memberikan jawaban yang pas untuk anak bungsunya.

Dan juga yang membuat Gaara tidak bisa berhenti tersenyum adalah saat Kyuubi memaksa Naruto untuk memakai jepit rambut. Bahkan Kyuubi begitu bersikukuh ingin memasangkan pernik wanita itu di rambut pirang ibunya.

Gaara mendekati Naruto dan berbisik di telinganya, "Walau begitu kau tetap terlihat kakkoi sayang…"

"Diam!"

Dan betapa terlihat manisnya si pirang itu jika sudah bersemu merah padam karena malu.

.


.

"Mama~" Kyuubi merentangkan kedua tangannya sambil berlari ke arah ibunya. "Kau terlambat! Semua teman-temanku sudah pulang!"

Naruto membalas dekapan Kyuubi. "Gomen ne… Mama tadi harus ke kantor Papa dulu. Jadi Mama terlambat datang menjemputmu."

Kyuubi melepas pelukannya. "Buh! Selalu saja begitu! Lagian kenapa Papa selalu pengen ketemu sama Mama terus sih?!"

Naruto terkekeh melihat Kyuubi yang cemberut. "Tanyakan saja pada Papamu! Kenapa dia selalu kangen pada Mama," ucap Naruto sambil menggandeng tangan mungil putrinya. Dan perlahan mereka mulai meninggalkan tempat sekolah Kyuubi.

Berbohong. Naruto tahu tak seharusnya ia membohongi Kyuubi. Tapi karena Naruto memilih ego-nya, ia menjadi lebih membohongi putrinya daripada bertemu pandangan ganjil setiap pasang mata yang tertuju padanya saat Kyuubi memanggilnya 'Mama'—ketika ia menjemput Kyuubi. Tidak ada yang salah dengan panggilan itu. Ia memang orang yang menjadi sosok ibu dalam keluarganya. Tapi pada kenyataannya hal ini memang terlalu aneh karena bagaimanapun seorang laki-laki tidak mungkin dipanggil 'Mama'.

Jadi Naruto lebih memilih menghindar. Memang ini terkesan pengecut. Tapi ia merasa perasaannya lebih baik jika seperti ini.

.


.

"Mama~ Kenapa Renji-nii belum pulang juga?"

Kyuubi cemberut. Kakinya terayun naik turun di udara. Ia mulai bosan duduk dan menunggu Kakaknya pulang. Memang pergi ke mana sih, Renji-nii? Kenapa sudah sore belum juga pulang?

Naruto melirik cemas jam dinding yang ada di ruang tamunya. Sudah hampir satu jam ia menunggu kepulangan anak sulungnya. Ia terus mencoba menghubungi Renji namun telponnya tak kunjung diangkat. Ia juga meninggalkan pesan lewat ponselnya.

Naruto merasa cemas.

Tak biasanya Renji seperti ini, mengabaikan panggilan darinya. Aduh… apalagi mereka akan pergi ke tempat launching sebuah hotel bersama Gaara dan berharap kedua anaknya bisa ikut.

TIN! TIN! TIN!

"PAPA~"

Naruto tersentak mendengar suara klakson mobil dari luar rumahnya. Gaara sudah datang menjemput mereka. Tapi bagaimana ini? Renji belum pulang juga!

"Mana Renji?" tanya Gaara tidak melihat anak sulungnya.

"Renji-nii belum pulang!"

Jelas saja Gaara menatap bingung putri yang ada dalam gendongannya itu. Ia menatap Naruto meminta penjelasan.

"Iya… dia belum pulang. Aku tidak tahu apa yang membuatnya pulang terlambat," ucap Naruto dengan nada cemas.

Gaara menghela napas, "Ya, sudahlah jika dia tidak bisa ikut. Kau sudah memberitahunya jika kita akan pergi?" Gaara mendekati mobilnya yang sudah terpakir manis di depan gerbang rumah mereka.

"Ya," Naruto mengangguk. "Aku sudah memberitahunya lewat pesan."

"Baguslah. Kalau dia mau, dia bisa menyusul kita nanti," Gaara duduk di kursi kemudi dan menyerahkan anak bungsunya pada Naruto.

"Ya…"

.


.

Ruangan mewah dan luas itu kini penuh oleh para undangannya. Saling berbincang sambil ditemani gelas anggur yang nikmat. Semua orang yang ada di sana tampak bukan orang biasa-biasa saja. Setelan jas dan gaun mahal menyelimuti tubuh mereka masing-masing. Naruto benar-benar merasa canggung berada di sekeliling mereka.

"Senang bisa bertemu dengan Anda," Naruto membungkuk kaku saat Gaara memperkenalkannya pada salah satu rekan bisnisnya.

"Jangan canggung seperti itu. Santai saja~" wanita itu terkekeh geli. "Jadi ini err… istrimu itu?"

"Dia suami sekaligus istriku," jawab Gaara santai. Naruto bersemu merah. Ia merasa malu pada setiap orang yang merasa bingung akan posisinya. Sesuatu yang wajar namun selalu membuat Naruto minder.

"Oh… Gaara-kun ini tidak adil! Kau tahu populasi wanita itu lebih banyak dibandingkan laki-laki. Tapi kenapa kau memilih salah satu dari mereka? Kau ingin membuat kaum kami tidak mendapatkan salah satu dari mereka?"

Naruto hanya tersenyum canggung. Benar-benar tidak enak perasaan. Ia tidak tahu apa maksud ucapan wanita di hadapannya ini.

Gaara memutar kedua bola matanya. Wanita ini terlalu mendramatisir. "Masih banyak pria lajang di luar sana. Dan bisa bertambah populasinya setiap tahun. Kenapa aku tidak boleh mendapatkan salah satu dari mereka?"

Wanita itu mendengus, "Dasar tidak mau kalah!"

"Kalah tidak ada dalam kamusku, Yamanaka Ino!"

"Ya, ya, ya…" Ino memutar kedua bola matanya bosan. "Kata kalah memang tidak ada dalam daftar kamus hidupmu!"

"Hn."

"Aahhh… kenapa anak ini manis sekali!" Ino mencubit pipi Kyuubi dengan gemas.

"Maaf Nona. Anda harus mempersiapkan untuk launching hotel ini," seorang pria berusia lanjut datang menghampiri Ino. Pria itu membungkuk hormat.

"Ah… baiklah," perhatian Ino kembali pada Gaara dan Naruto. "Kita bisa bicara lain kali Gaara-kun, Naruto-kun. Bye…"

Ino tersenyum manis sebelum meninggalkan mereka.

Naruto memandang kepergian Ino. Wanita itu berjalan anggun di atas sepatu hak tingginya. Naruto tidak pernah bisa mengerti. Kenapa dari sekian wanita cantik yang ada di sekeliling suaminya, Gaara malah memilih menikahinya. Ia tidak pernah tahu jelas apa jawabnya.

Hanya satu alasan kuat itu, karena Gaara mencintainya.

"Mama~"

Naruto menatap ke bawah untuk melihat putrinya yang sedang cemberut itu.

"Ada apa, sayang?"

"Aku bosan! Aku Ingin pergi dari sini!"

Naruto menghela napas. Tempat seperti ini memang tidak cocok untuk Kyuubi. "Tapi acaranya belum dimulai. Kita tidak bisa pergi dari sini."

"Tidak mau! Aku ingin pergi sekarang juga!" Kyuubi melepas genggaman ibunya dan pergi menjauhi ibunya.

"Kyuubi!"

"Naruto!"

Naruto membalikkan tubuhnya menatap Gaara. "Jika terjadi sesuatu cepat beritahu aku," seru Gaara. Naruto hanya mengangguk dan kembali mengejar Kyuubi.

.


.

Jalanan itu ramai. Begitu padat hingga deretan mobil itu sulit bergerak, hanya bisa bergeser beberapa meter dari tempatnya semula.

"Macet," sosok wanita itu bergumam. Wanita berambut merah muda itu menatap cemas jalan di depannya. Tempat yang mereka tuju masihlah jauh dari tempat mereka sekarang. Sedangkan waktunya sudah tidak cukup lagi untuk duduk diam seperti ini.

Wanita itu melirik sosok di sampingnya. Sosok pria itu hanya diam menatap jenuh keadaan di luar sana dari balik kaca mobilnya. Warna kelam dari bola mata itu tampak tidak tertarik sama sekali. Hanya menatap hampa. Begitu juga dengan hatinya yang telah hampa untuk sekian tahun. Ia bahkan tidak bisa memiliki arti hidup yang ia jalani.

Sakura—sosok wanita berambut merah muda itu—memalingkan wajahnya. Kedua tangannya saling bergenggaman erat. Ia merasa gelisah.

"Sasuke-kun… apa kita tidak bisa melakukan sesuatu? Jalanan macet kita bisa terlambat," ucap Sakura pelan dan segan.

"Apa ada jalan lain bisa kita lewati?" seru Sasuke dingin. Ia sama sekali tidak menggerakkan kepalanya. Kepalanya masih terpaku di depan kaca mobil.

Seolah mengerti jika pertanyaan itu bukan diperuntukan untuk sang Nona maka sang supir yang menjawab.

"Sepertinya tidak ada Tuan. Di daerah ini hanya ada jalan satu jalur."

Sasuke kembali terdiam. Seolah ia berkata 'See? Kita tidak bisa berbuat apa pun!'

Sakura meremas tangannya. Kepalanya tertunduk dalam. "Bagaimana ini? Ayahmu tidak akan suka jika kita datang terlambat."

Namun Sasuke hanya terdiam. Bergeming sedikit pun tidak, membuat Sakura semakin merasa tidak enak hati. Tidak ada yang bisa mengurangi rasa gelisahnya sama sekali.

Bahkan suaminya sendiri…

.


.

Naruto terus mencari. Bola mata birunya berkeliaran mengamati sekelilingnya. Kyuubi—si bungsu—dengan mudah tertelan oleh keramaian yang ada di antara mereka.

Naruto berbalik, berniat mencari Kyuubi dari arah yang berbeda. Namun tanpa sengaja Naruto menyenggol salah satu tamu hingga tindakannya itu menumpahkan minumannya pada jas orang itu.

"Gomen ne! Hontou ni gomenasai!" Naruto membungkuk dalam. Ia benar-benar tidak sengaja. Ia tidak tahu ada orang yang berdiri di belakangnya.

"Heh! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."

Naruto tersentak mendengar nada sinis itu. Perlahan Naruto menegakkan tubuhnya dan menatap wajah orang itu. Naruto hanya bisa menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

Fugaku Uchiha.

Kenapa orang ini bisa berada di sini?

Perasaan Naruto langsung kalut.

"Lama tidak bertemu, Uzumaki Naruto."

.

.

TBC


.

.

Wkwkwkwk fic baru lagi~ *nari gaje #plak gak apa-apa kan bikin fic baru. Lagi membangun suasana hati nih biar rajin nulis fic moga aja fic lama juga ikut ketibanan terus Yan jadi punya niatan buat update cepet *malah udah telat banget yoy! #minta ditabok nih anak!

Hehehe… kesampaian deh sekarang bikin fic MPREG! Padahal dari dulu punya niatan pengen bikin tapi baru sekarang. Terus lagi-lagi tema-nya angst! Jadi jangan berharap kalau berakhir bahagia muahahhaha—hmph! *disumpel

Minta tanggapannya ya? Kalau yang dukung fic ini buat terus lanjut banyak pasti Yan juga semangat lanjutinnya *alah… XD

Buat chacternya apa ada yang masih bingung? Kalian bisa tanya langsung di kotak review, PM, FB, twitter juga boleh. Lewat HP? Juga boleh #plak XD

Jadi… Review? End or TBC?