"Owaaaaa…."

"Wah! Selamat! Anak ibu laki-laki. Tampak sehat sekali."

Terdengar tawa kecil dari sang ibu berambut kehitaman yang tampak sangat kelelahan.

"Aku hanya berharap dia tidak akan menjadi pemalas seperti tousan-nya."

"Tsk. Jangan berkata seperti itu, Yoshino. Merepotkan."

Gelak tawa yang membahagiakan kemudian terdengar menggaung di pelosok ruangan. Kelahiran sang buah hati yang sudah ditunggu telah menjadi alasan bagi keluarga Nara untuk bersukacita. Tidak ada yang lebih menggembirakan dari saat-saat seperti ini.

.

.

.

"Owaaaaaowaaaa…."

"Sudah lahir! Perempuan!"

"Anak perempuan yang cantik!"

"Kau sudah berjuang," ujar seorang pria berambut pirang panjang sambil membelai tangan istrinya dengan lembut.

Sang istri yang masih tampak kusut dengan air mata di sudut-sudut matanya pun hanya tersenyum lemah. Tak lama, kedua mata aquamarine-nya tertutup. Perlahan tapi pasti. Keengganan sang istri untuk membuka mata kembali membuat tangis bayi yang seharusnya menjadi ucapan syukur berputar arah seratus delapan puluh derajat.

Senyum yang semula tersungging pun ditutupi oleh kabut kepedihan dan duka.


NEO TTAEMUNE

Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto

I don't gain any commercial advantage by publishing this fanfic. This exactly is just for fun.

Warning: Probably rush and a bit OOC

ShikaIno fanfic forShikaIno Fanday; September 22th-23th.

If you love ShikaIno, please join:

ShikaIno FB Group (Purple Haze), twitter phazesanctuary, fansite : www. phaze-ina. co. nr (without the space)

Happy ShikaIno Fanday~! Spread the love of ShikaIno~!

Long live ShikaIno!

Chapter 1. Karena Shikamaru….


"Maaf merepotkanmu lagi, Yoshino," ujar seorang pria berambut pirang panjang yang diikat dengan model kuncir kuda. Pria itu menggendong sesosok bocah berambut pendek yang tampak lelap dalam tidurnya. Sesaat setelah menyerahkan bocah berambut pendek tadi ke tangan wanita yang dipanggil Yoshino, pria tersebut—Yamanaka Inoichi—tersenyum lelah.

"Ne, daijoubu, Inoichi-kun," jawab Yoshino sambil menyunggingkan senyum. Setelah itu, alis matanya berkerut sebelum ia mengalihkan kepalanya dan berteriak, "Shikaku-anata! Cepatlah! Inoichi-kun sudah menunggumu! Mattaku!"

"Ngh." Lenguhan yang keluar dari bocah berambut pirang yang sudah berpindah tangan itu mengalihkan perhatian Yoshino dalam sekejap.

"Ah, ah," ujar Yoshino sambil menggerak-gerakkan tangannya, dalam usahanya untuk menenangkan sang balita, "maaf, maaf. Kau kaget, ya?"

Begitu lengannya mengayun dalam gerakan membuai, sang bocah yang nyaris terbangun itu pun kembali memejamkan mata. Begitu tenang—tiada beban. Begitu nyaman.

Rasa bersalah sekilas menghinggapi Inoichi tatkala kedua pupilnya menangkap ekspresi tenang di wajah putrinya.

Dia sadar, tidak seharusnya ia menitipkan putri semata wayangnya itu pada orang lain. Tapi, dalam dunia shinobi, misi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tidak mungkin baginya untuk membawa sang putri kesayangan ke dalam misi yang kadang tidak bisa diprediksi tingkat kesuksesannya. Lalu, opsi terakhir yang dimiliki Inoichi adalah menitipkan sang putri bernama Ino itu pada istri sahabatnya—Nara Yoshino.

Mungkin ini adalah pilihan terbaik yang Inoichi miliki. Ia tidak tahu. Tapi setidaknya, menitipkan Ino pada Yoshino, akan lebih baik dibanding membiarkan dirinya membawa Ino dalam misi. Baiklah, pernahkah kau melihat shinobi dalam misi membawa serta anaknya yang masih di bawah umur? Tidak. Jawaban itu mutlak.

Lamunan Inoichi mendadak terpotong oleh suara tinggi Yoshino yang hendak kembali menyerukan nama suaminya.

"Shika—"

"Iya, iya. Haah. Aku tadi harus membujuk Shikamaru dulu agar dia melepaskan kakiku. Mendokuse!" potong Shikaku cepat agar ia tidak lagi dipaksa untuk mendengar ocehan istrinya yang seakan dapat menulikan telinga itu.

Yoshino yang semula memasang wajah sangar, sesaat mengubahnya menjadi ekspresi keterkejutan. Lalu, pada akhirnya wanita itu pun melepaskan tawa riang.

"Ah, dia tidak ingin tousan-nya pergi."

"Yah…." Shikaku menggaruk belakang kepalanya sebelum ia menoleh ke arah Inoichi yang hanya bergeming. "Maaf membuatmu menunggu."

"Tidak masalah," jawab Inoichi sambil tersenyum, "siap?"

Shikaku lebih memilih mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu, pandangan mata sang kepala keluarga Nara itu sekali lagi beralih pada istrinya.

"Aku berangkat."

Yoshino pun tersenyum. "Hati-hati," ujarnya lembut. Yoshino kemudian memandang Inoichi, "Kau juga, Inoichi-kun."

Inoichi mengangguk. Setelah itu, baik Shikaku maupun Inoichi hanya melempar sebuah lambaian kecil sebelum benar-benar menghilang dari jangkauan pandang Yoshino. Sang wanita Nara itu masih berdiri diam di tempatnya—di depan pintu—sembari secara refleks menggerak-gerakkan tangannya.

Tak lama, seolah tersadar oleh sesuatu, Yoshino langsung memekik pelan, "Shikamaru!" Ia pun beranjak ke dalam rumah dan mendapati putranya sedang 'melahap' butiran biji shougi yang entah bagaimana bisa berantakan di lantai.

"Astaga! Shika!"

Panik, Yoshino pun segera meletakkan Ino ke atas sebuah sofa, membelai kepalanya sebentar sebelum ia berlari ke arah Shikamaru. Dengan sigap, Yoshino segera menarik tangan Shikamaru dan membuat bocah yang berusia hampir dua tahunan itu memuntahkan kembali shougi yang sebelumnya ia masukkan ke dalam mulut. Segera setelahnya, Yoshino mengangkat Shikamaru dan meletakkan bocah yang bagaikan jiplakan Shikaku itu di sofa, di samping Ino yang masih tertidur.

Tak membuang waktu, Yoshino langsung memunguti biji shougi yang berserakan di lantai sembari menggerutu tentang betapa cerobohnya suaminya, yang meletakkan benda semacam shougi di meja pendek yang ikut terbalik bersamaan dengan biji-biji shougi yang bergelimpangan. Tanpa ada yang perlu menceritakan, Yoshino dapat menebak kronologisnya.

Shikamaru yang—menurut pengakuan Shikaku—tidak mau melepaskan kaki sang ayah, tentu harus dibujuk secepatnya sebelum teriakan melengking Yoshino kembali terdengar. Dan Shikaku tetaplah Shikaku. Meskipun dia menyayangi Shikamaru, tapi keadaan yang mendesak membuatnya bertingkah ceroboh. Ia pun mengangkat Shikamaru dan kemudian meletakkannya di sofa yang dekat dengan meja tempat ia meletakkan papan shougi yang isinya memang sudah sedikit berceceran sejak awal.

Merasa penasaran, Shikamaru pun berusaha meraih kotak tersebut sepeninggalan tousan-nya. Namun, karena tidak kunjung dapat, bocah cilik itu memutuskan untuk menuruni sofa yang memang tidak terlalu tinggi dan kemudian mendekati meja. Selanjutnya … bukan hal mudah untuk dibayangkan.

Saat ini, posisi Shikamaru bisa dibilang sama seperti saat pertama kali Shikaku meninggalkannya—duduk diam di atas sofa. Namun, berbeda dari kejadian sebelumnya, kali ini Shikamaru tidak lagi berusaha mencari dan menggapai biji shougi. Bagi bocah itu sekarang, ada objek lain yang jauh lebih menarik. Ya, kini matanya benar-benar terpaku pada sesosok gadis mungil yang cukup sering ia lihat—Ino memang sering dititipkan di rumahnya. Bergerak mendekat ke arah Ino, Shikamaru kemudian mengulurkan tangannya ke pipi sang bocah perempuan.

Melihat pemandangan manis tersebut, Yoshino yang sudah selesai dengan kegiatan bersih-bersihnya sedikit terbelalak. Tapi selanjutnya, sebuah senyum menghias wajah sang wanita cantik berambut hitam.

Perlahan, ia beranjak mendekat ke arah Shikamaru dan berjongkok untuk menyejajarkan pandangan.

"Ne, Shikamaru, Ino-chan cantik, ya?" tanya Yoshino sambil tersenyum.

Shikamaru awalnya masih fokus pada sosok sebaya yang berbeda jenis kelamin darinya itu. Namun, kemudian, ia menoleh ke arah sang ibu yang sudah menyangga wajah dengan kedua tangan sementara sikunya bertengger nyaman di atas paha. Shikamaru bisa melihatnya—senyum lebar yang terkembang di wajah Yoshino.

"Dengar, ya, Shikamaru," ujar Yoshino lagi sembari berdiri kali ini, "Ino-chan sudah tidak punya okaasan. Dia pasti kesepian. Kau harus bisa menjadi temannya, ya?" Bersamaan dengan kata terakhirnya, Yoshino pun mengelus kepala Shikamaru. "Sekarang jaga Ino-chan. Aku akan membuatkan makan siang yang enak untuk kalian berdua."

Yoshino kemudian menepuk kepala Shikamaru—membuat bocah itu memejamkan matanya sebentar. Dan setelahnya, Yoshino langsung meninggalkan Shikamaru untuk bersiap-siap dengan pekerjaannya di dapur.

Andai Yoshino mau menoleh sekali lagi ke belakang, ia akan bisa melihat putranya yang kemudian tersenyum sebelum memilih merebahkan diri di sofa yang sama dengan sang balita berambut pirang.

.

.

.

Tanggal dua puluh dua September, tahun keempat Shikamaru merayakan ulang tahunnya. Sebagaimana biasa, Ino dan ayahnya pun diundang—di samping keluarga Akimichi yang juga selalu hadir. Selalu demikian. Dan keesokan harinya, Ino akan merayakan ulang tahunnya bersama dengan keluarga Nara dan Akimichi.

Kue, kado, balon, makanan enak—tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding merayakan ulang tahun. Dan empat tahun ini, baik Shikamaru maupun Ino selalu setia menunggu kedatangan hari kelahiran mereka.

Semua bergembira, semua bersuka cita. Sambil menyantap hidangan yang telah disediakan Yoshino, semua saling bertukar cerita. Shikamaru menghabiskan waktunya dengan membaca sementara Chouji terus mengunyah makanan ringan khusus untuk balita. Sesekali kedua bocah itu saling bertukar satu-dua kata yang tidak begitu penting.

Awalnya, Ino pun terlena oleh kegembiraan itu. Ia dengan asyik menggambar bunga di buku polos milik Shikamaru. Namun, perhatian gadis cilik itu kemudian terarah pada Yoshino yang baru kembali dari dapur, membawakan sebaki makanan tambahan.

Ino melihat Yoshino memanggil Shikamaru, menyuruh bocah semata wayangnya itu untuk makan dan meninggalkan buku bacaannya sementara. Demikian pula Nyonya Akimichi yang dengan cepat menyambar bungkusan makanan ringan milik Chouji dan menyuruhnya untuk makan nasi.

Sebelum Inoichi memanggilnya, Ino sudah terlebih dahulu bangkit. Kaki mungilnya mengantarkan Ino ke arah Yoshino. Sambil mendongak, Ino menarik rok bawah Yoshino—segera membuat perhatian Yoshino teralih dari Shikamaru.

"Ada apa, Ino-chan?" tanya Yoshino sambil tersenyum lembut dan berjongkok—menyejajarkan mata keduanya.

"Yoshino-baachan itu kaachan-nya Chika, 'kan? Jadi cebenalnya, Kaachan Ino di mana?"

Celetukan polos Ino membuat suasana riuh rendah akhirnya menjadi keheningan tidak terencana. Semua mata kini memandang ke bocah cilik berambut pirang pendek yang masih menanti jawaban.

"I-Ino-chan," panggil Inoichi yang kemudian mendekat ke arah putrinya tersebut.

"Touchan, kaachan Ino di mana?" Ino mengulangi pertanyaannya—kali ini ditujukan pada Inoichi.

Mulut Inoichi pun seakan terjahit. Batu seolah mendekam di tenggorokannya. Sulit baginya untuk mengucapkan bahkan hanya satu patah kata.

"Ino-chan … kita pulang dulu saja, ya?" ujar Inoichi yang kemudian memutuskan.

"Nggak! Nggak mau! Ino nggak mau pulang! Ino mau kaachan! Ino mau kaachan!"

Inoichi langsung merengkuh Ino dan menggendongnya. Ino masih tetap berontak tapi Inoichi seakan mengabaikannya untuk saat itu. Inoichi bahkan hanya sanggup menganggukkan kepala sedikit pada rekan-rekannya. Ia kemudian membawa pulang Ino yang mulai menjerit-jerit dan meraung.

Tahun itu, untuk pertama kalinya ulang tahun Shikamaru tidak seceria biasanya dan keesokan harinya, ulang tahun Ino sama sekali tidak dirayakan.

.

.

.

Semenjak ulang tahun keempat saat itu, tidak ada lagi perayaan ulang tahun di tahun-tahun berikutnya. Ino yang waktu itu mendesak 'meminta' ibunya akhirnya diberi penjelasan panjang lebar oleh Inoichi. Mungkin Ino memang tidak sepenuhnya menangkap maksud sang ayah waktu itu, tapi lama-kelamaan, toh ia pun mengerti.

Hari ulang tahunnya adalah hari peringatan kematian sang ibu.

Kenyataan ini seakan menampar Ino kecil. Meski Inoichi sudah menjelaskan, mati-matian meyakinkan bahwa Minori—ibu Ino—meninggal bukan karena kesalahan Ino, tetap saja gadis cilik itu terkesan menyalahkan dirinya sendiri.

Waktu berlalu dan Ino pun tumbuh menjadi seorang gadis yang pemurung.

Tiap ada kesempatan, ia memilih menyendiri. Meringkuk di atas ranjang di kamarnya. Tidak melakukan apa-apa dan hanya terdiam dengan pandangan kosong.

Ia tidak lagi bertingkah bagaikan peri kecil yang lincah—yang selalu mengganggu Shikamaru maupun Chouji. Ino yang ceria sudah lenyap, dengan harapan ia akan tertelan oleh penyesalan dan dapat menggantikan posisi ibunya. Ino yang selalu berlarian ke sana kemari, berceloteh panjang dan memaksa lawan bicaranya menanggapi, tergantikan oleh Ino pendiam yang seolah tanpa semangat.

Bukan tanpa alasan Ino menghayati kematian ibunya secara mendalam seperti itu. Di awal-awal tahun kehidupannya, Ino selalu gembira. Yoshino yang selalu ada untuknya di saat Inoichi pergi untuk melakukan misi kerap dianggapnya sebagai ibu. Ino bahagia—ia bahkan tidak tahu kalau ibu kandungnya sudah tiada.

"Kaachan menderita sendiri dan aku sama sekali tidak tahu." Demikianlah gumaman yang cukup sering terdengar dari bibir mungil Ino. Ringkih dan sarat penyesalan. "Padahal aku yang menyebabkan kaachan meninggal."

Inoichi yang melihat gadis kecilnya terus menyalahkan diri benar-benar merasa gagal sebagai seorang ayah. Rasanya, apa pun yang ia katakan pada Ino adalah suatu kesia-siaan. Di satu sisi, Inoichi pun menyesal karena ia tidak sejak awal mengatakan yang sebenarnya pada Ino. Selama ini, Inoichi mengira Ino masih terlalu kecil untuk mengerti kondisi sebenarnya—Ino tidak akan paham.

Inoichi salah. Sangat salah.

Ia yang tidak paham. Anak-anak memiliki kecerdasannya sendiri. Dan Inoichi telah memilih jalur yang salah dengan menyembunyikan perihal ibu Ino selama empat tahun. Keinginannya untuk melindungi Ino, berbalik melukai gadis itu. Andai saja Inoichi secara pelan-pelan, dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh anak-anak, mau menjelaskan pada Ino sejak awal, mungkin Ino tidak akan sebegitu terpukul.

Penyesalan dikatakan penyesalan karena semua sudah terlanjur terjadi, bukan?

Sekarang, Inoichi hanya dapat mengusahakan apa yang bisa ia lakukan—mengembalikan keceriaan Ino. Entah bagaimana caranya, Inoichi pasti akan menemukan satu solusi.

o-o-o-o-o

"Ino-chan, Tousan pergi dulu, ya?" Inoichi menghampiri Ino yang masih ada di kamar setelah pulang dari akademi. "Ittekimasu."

Hari itu tepat seminggu sudah Ino masuk akademi ninja. Namun, belum ada perubahan berarti dari tingkah laku Ino. Ia masih menyendiri. Di akademi pun, Ino tidak berusaha bersosialisasi. Ia selalu masuk lebih awal, membaca buku, dan kemudian pulang lebih awal.

"Itterasshai," jawab Ino perlahan.

Inoichi mengangguk sembari tersenyum lemah. Pria paruh baya itu pun segera meninggalkan rumah. Ino menyaksikan ayahnya menjauh dari jendela yang ada di lantai dua. Satu yang Ino tidak ketahui; saat Inoichi meninggalkan rumah, seseorang justru masuk ke dalam.

Orang itulah yang kemudian membuat Ino terkejut karena tiba-tiba saja pintu kamar Ino terbuka.

Mata aquamarine Ino terbelalak.

"Kau sudah mengerjakan tugas akademi?"

o-o-o-o-o

Kedua bocah berusia tujuh tahun itu duduk di depan meja rendah. Buku-buku berserakan di atas meja tersebut—berdampingan dengan alat tulis yang juga bertebaran di mana-mana. Sesekali, terdengar suara hapusan dan gesekan grafit pensil.

Mata sipit kecokelatan milik anak lelaki itu sesekali meneliti ekspresi wajah teman di hadapannya. Wajah yang dipandanginya itu tidak menunjukkan emosi apa pun, seakan fokusnya hanya pada tugas yang menumpuk. Shikamaru nyaris berpikir bahwa ia tidak mengenal gadis di hadapannya.

"Ino…."

Ino mengangkat wajah. "Apa?" tanyanya datar.

"Kau kenal Uchiha Sasuke?"

Ino memiringkan kepalanya. Matanya mengerjap ringan sebelum ia mengangguk begitu saja. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari Shikamaru, Ino kembali mengerjakan tugas akademinya.

"Kau semakin mirip dengan Uchiha Sasuke."

Gadis berambut pirang pendek itu mengernyitkan alis. Dengan sedikit angkuh, ia mendongakkan kepalanya. Nada menantang terdengar dari kata-kata yang selanjutnya ia ucapkan, "Lalu? Apa pedulimu?"

Shikamaru tidak menjawab. Pemuda ini malah menjatuhkan dirinya ke lantai—berbaring. Kedua tangannya ia jadikan alas bagi kepala. Tatapannya kini terfokus pada langit-langit rumah Ino yang tidak terlalu tinggi. Dan meskipun rumah Ino terdiri dari dua lantai, tapi lantai dua itu hanya separuh besarnya dibanding lantai satu. Karena itulah, dari posisinya berada sekarang, Shikamaru bisa melihat kamar Ino yang tertutup dari antara celah tangga.

Pintu kamar Ino tertutup. Menyembunyikan segala isinya dari penglihatan Shikamaru.

Namun, Shikamaru bukan ingin melihat isi kamar itu. Ada pintu lain yang tertutup, dan Shikamaru sangat ingin membuka pintu tersebut.

Ino.

Sejak sahabatnya itu mengetahui perihal kematian ibunya, pintu hatinya serta merta tertutup.

Seharusnya, Shikamaru tidak ambil pusing. Seharusnya, Shikamaru tidak mengacuhkannya. Ino bukan tanggung jawabnya. Adalah kewajiban Inoichi-jisan sebagai tousan Ino untuk mengembalikan keceriaan putri semata wayangnya.

Tapi, tidakkah predikat teman memiliki kewajiban yang sama? Bukan, ini bukan semerta-merta karena ibunya yang meminta. Betul bahwa Yoshino berulang kali menasihati Shikamaru agar pemuda itu mau menjadi teman Ino dan membantu agar Ino bisa kembali ceria. Namun, bukan itu alasan utamanya.

Lahir di saat yang hanya memiliki selisih satu hari, tinggal di lingkungan yang sama, mengalami banyak hari yang menyenangkan bersama; apa itu tidak cukup menjadi alasan bagi Shikamaru untuk mencemaskan Ino?

"Ino."

"Sudahlah, Shika," ujar Ino berusaha tidak ambil pusing lagi, "kerjakan saja tugasmu denga—"

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?" tawar Shikamaru yang kemudian bangkit dari posisi berbaringnya.

Ino mendecak. Dia sudah siap menolak.

"Ke makam kaasan-mu."

Tidak bisa tidak terlonjak, mata aquamarine Ino spontan terbelalak.

"Kau … kau mau mengejekku?"

"Apaan?" jawab Shikamaru yang sudah berdiri. "Memangnya aku terlihat seperti sedang mengejek?"

Ino bungkam. Ia menggigit bibir bawahnya.

Sebenernya, setelah tahu perihal kaasan-nya, Ino hanya pernah sekali mengunjungi makam sang ibu. Itu pun Inoichi yang mengajaknya. Ada alasan mengapa Ino sebisa mungkin menghindar dari makam kaasan-nya.

Ia takut. Entah kenapa ia takut.

Nisan diam itu seolah bersuara, menunjuk-nunjuk ke arahnya sebagai pembunuh dari raga yang terbaring di sana. Dan Ino tidak bisa menyangkal.

Tapi … kerinduan itu ada.

Ia ingin bertemu dengan sang ibu. Walau ia hanya dapat memandang nisannya, mungkin itu jauh lebih baik.

"Ayo," ajak Shikamaru lagi, "aku tidak terima penolakan sekali ini."

o-o-o-o-o

Makam kaasan Ino terletak di areal pekuburan shinobi. Di masa mudanya, kaasan Ino adalah salah satu kunoichi yang ulet dan tekun. Beliau tidak mempunyai kekkei genkai tapi keahliannya dalam taijutsu dan ninjutsu terbilang cukup sempurna—hasil latihan yang keras, tentunya. Semua keterangan ini didapat Ino dari cerita Inoichi. Demikian pula gambaran mengenai wajah sang ibu yang tidak pernah Ino jumpai.

Kedua bocah berusia tujuh tahun itu akhirnya berhenti di suatu nisan yang bertuliskan 'Yamanaka Minori' setelah menyusuri makam demi makam. Awalnya, Ino merasa canggung. Apa yang harus ia lakukan setelah ini? Berdoa untuk kaasan-nya. Tentu, itu adalah hal yang paling wajar saat ada seseorang yang mengunjungi makam.

Namun, Ino malah mematung di tempatnya. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Sekonyong-konyong, Shikamaru menggenggam tangannya. Menariknya semakin dekat dengan nisan dan kemudian memaksa Ino berlutut di depan nisan tersebut.

"Kau merasa bersalah pada kaasan-mu, 'kan?" tanya Shikamaru dengan ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan.

Ino mendadak tidak bisa bersikap keras kepala. Ia mengangguk dengan patuh.

"Kalau begitu … minta maaf saja?" saran Shikamaru sambil menunjuk nisan dengan jempolnya. "Minta maaf pada kaasan-mu, lalu berjanjilah bahwa kau akan menuruti setiap nasihatnya."

"Nasihat? Memangnya … kaasan bisa…?"

Shikamaru menyela sebelum Ino bisa melanjutkan kata-katanya, "Bisa. Sekarang pejamkan matamu dan meminta maaflah dengan sungguh-sungguh."

Tidak mengerti. Ino kecil masih tidak mengerti apa yang maksud Shikamaru. Tapi toh ia lakukan juga perintah bocah seusianya tersebut. Matanya terpejam dan tangannya terkatup. Batinnya kemudian menyampaikan permintaan maaf yang tulus, diiringi doa demi doa. Tanpa sadar, air mata Ino kecil sudah mulai mengalir membasahi pipinya.

"Ino-chan."

Sebuah suara mendadak mengusik doa Ino. Suara itu terdengar cukup aneh. Suaranya agak tinggi, tapi dengan cara yang kaku dan dibuat-buat. Ino bukan tidak tahu suara apa yang baru saja ia dengar.

Ino memilih untuk mengabaikannya dan menganggapnya hanya sebagai ilusi pendengaran belaka.

"Kaasan sudah memaafkanmu. Karena itu … kau tidak boleh bersedih lagi, atau Kaasan tidak bisa tidur dengan tenang."

Ino tersentak mendengar kata-kata itu.

… Kaasan sudah memaafkanmu….

Ah, andai benar seperti itu. Andai kaasan-nya benar-benar memaafkannya…. Tapi, apa yang Ino pikirkan? Kenapa Ino seakan ingin menekankan bahwa kaasan-nya adalah orang yang jahat—yang tidak mau memaafkan putrinya karena telah merenggut nyawanya? Bahkan ungkapan merenggut nyawa itu pun tidak tepat.

Ibu Ino melahirkan Ino meski tahu bahwa ia mungkin tidak bisa bertahan lama. Ibu Ino ingin melihat Ino lahir ke dunia apa pun resikonya. Beliau ingin Ino bisa hidup. Tentu … bukan hidup yang kelam dan dibayang-bayangi penyesalan.

Sebagaimana setiap orang tua, beliau ingin Ino menjalani hidup dengan….

Ya, semua ini salah.

Semakin Ino ingin menyalahkan dirinya, semakin Ino akan menyalahkan ibunya sendiri karena telah melahirkannya.

Selama ini Ino tidak bisa melihat kenyataan ini—belum bisa. Ia masih terlalu belia. Apa yang bisa ia pikirkan hanyalah hal sederhana untuk menunjukkan penyesalannya—mengurung diri, menutup diri dari semua orang.

Tapi suara barusan pelan-pelan telah membuka matanya. Menunjukkan arah yang baru padanya. Arah yang selama ini ia pikir hanya menunjukkan kegelapan semata, ternyata memiliki cahaya terang di ujung jalannya.

Suara itu menggumamkan sesuatu sebelum melanjutkan, "Kaasan melahirkanmu ke dunia dengan nyawa Kaasan sebagai taruhannya. Makanya, Kaasan tidak mau melihat Ino-chan bersedih. Jalanilah kehidupan yang tidak bisa Kaasan lihat dengan—"

"Shikamaru," panggil Ino sambil membuka sebelah matanya, "sudah hentikan saja—berpura-pura menjadi Kaasan seperti itu … hmph!"

Shikamaru yang berdiri di belakang nisan ibu Ino kemudian berbalik hingga Ino kini tidak bisa melihat wajahnya—wajahnya yang memerah. "Cerewet. Kau itu merepotkan sekali, sih? Aku sudah susah payah meninggikan suara seperti tadi, tahu?"

"Aku tahu," jawab Ino sambil bangkit dari posisi berlututnya. "Suaramu itu terlalu aneh."

"Setidaknya, kau harusnya menghargai usahaku dan mendengar kata-kataku sampai selesai," ujar Shikamaru sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana pendek yang ia kenakan. Saat itu, Shikamaru belum juga menoleh ke arah Ino. "Kau malah memotongnya di saat yang tidak tepat."

"Kalau begitu, lanjutkan saja sekarang?" ujar Ino. "Bukan dengan suara yang dibuat-buat. Dengan suaramu sendiri…."

Shikamaru menoleh ke arah Ino. Gadis itu tampak memaksakan senyum. Air mata yang sebelumnya membasahi pipi Ino memang masih belum kering. Dan mungkin tidak akan kering dalam waktu dekat.

Shikamaru pun menggaruk pipinya dengan salah tingkah. Ia kemudian menatap ke arah langit. Biru dan cerah. Bukan waktu yang sesuai untuk semua adegan mengharu biru. Namun, ia hanya bisa mengikuti alur, bukan?—Walau merepotkan.

"Kaasan-mu tidak mau melihatmu bersedih," ujar Shikamaru akhirnya, "beliau pasti menginginkan yang terbaik untukmu. Kalau tidak, dia tidak akan repot-repot melahirkanmu. Karena itu, kau juga tidak boleh terus-terusan menyalahkan dirimu." Shikamaru kini menatap aquamarine Ino yang ternyata tengah balik memandangnya. "Tersenyumlah."

Dan … Ino pun tersenyum lebar.

Meski air mata masih juga mengalir, tapi Shikamaru bisa memastikan bahwa senyum itu adalah senyum tulus yang sudah lama tidak Ino perlihatkan.

Gadis cilik itu pun kemudian meloncat ke dalam pelukan Shikamaru dan membasahi kaus bocah lelaki itu dengan air matanya.

"Mendo—" Untuk pertama kali dalam hidupnya selama tujuh tahun, Shikamaru menahan keinginan untuk mengucapkan kata-kata favoritnya. Ia menutup mulut dengan sebelah tangan. Lalu setelah beberapa saat, ia pun membalas pelukan Ino.

Nisan itu bergeming. Namun, entah mengapa, Shikamaru seperti bisa melihat seorang wanita tersenyum di dekat sana.

Lalu, samar-samar, ucapan terima kasih itu seakan bergaung dalam telinganya….

.

.

.

Ino pulang ke rumah dengan setengah berlari. Ia menemukan sang ayah yang baru pulang dari kantor Hokage dan langsung memeluk pria tersebut. Ino cilik menangis dalam dekapan Inoichi dan terus menerus meminta maaf karena selama ini ia sudah menyebabkan ayahnya cemas.

Inoichi pun balik memeluk Ino dengan sayang. Dan begitu ia menanyakan apa yang menyebabkan Ino mendadak berubah pikiran—tentu Inoichi bertanya dengan nada yang sedikit kikuk—Inoichi pun harus menelan ludah mendengar jawaban Ino.

"Karena Shikamaru…."

.

.

.

22 September.

Ulang tahun Shikamaru yang kedelapan akhirnya tiba. Beberapa hari sebelum itu, Inoichi mengusulkan acara makan-makan yang sudah lama tidak mereka lakukan. Usul itu disambut baik oleh keluarga Nara dan Akimichi. Mereka akan mengadakan acara makan malam di rumah keluarga Nara. Yoshino—dibantu Ino—berjanji akan menyiapkan hidangan spesial.

Waktu bergulir hingga ke saat yang dijanjikan. Ketiga klan berkumpul dalam kediaman Nara. Yoshino langsung menyajikan hidangan bersama dengan Ino. Melihat Ino, tentu Chouza dan Shikaku tidak dapat menahan keinginan untuk tidak membicarakan mengenai terakhir kalinya mereka merayakan ulang tahun Shikamaru dan Ino di masa lampau. Dalam sekejap, pembicaraan tentang masa lalu menghiasi suasana ulang tahun Shikamaru.

Hanya tiga anak itu yang tidak terpengaruh.

Chouji masih sibuk dengan keripik kentangnya—sebelum ia secara diam-diam mulai mendekati makanan yang sudah disiapkan di atas meja.

Shikamaru—meski ia sebenarnya adalah bintang acara ulang tahun ini—pemuda itu malah memilih tidur-tiduran di atas sofa sambil memejamkan mata.

Ino yang sedari awal tidak ingin terlibat dalam percakapan para orang tua akhirnya memilih untuk mendekati Shikamaru. Gadis berambut pirang itu kemudian menyentuh dahi Shikamaru.

Shikamaru membuka sebelah matanya.

"Hai," sapa Ino dengan sebuah senyum. "Pestanya membosankan, ya?"

"Haaahmendokuse…." Jawaban yang sudah bisa diduga.

Mendadak saja, Ino menarik tangan Shikamaru.

"Ayo ikut denganku!"

"H-heeeh?"

Tanpa mendengarkan keberatan Shikamaru, Ino pun memaksa pemuda cilik itu untuk mengikuti langkahnya.

"Ino-chan mau ke mana?" teriak Inoichi saat Ino yang tengah menggandeng tangan Shikamaru sudah mendekati pintu keluar.

"Aku pergi sebentar. Ittekimasu!"

Suasana rumah keluarga Nara mendadak hening karena sang 'bintang acara' telah diculik dari acaranya sendiri. Inoichi yang paling terlihat cemas. Ia bahkan menunjukkan wajah yang menyiratkan tidak senang sekaligus tidak rela. Naluri kebapakannya mulai menggaungkan alarm peringatan. Sejak kata-kata itu diudarakan oleh Ino...

"Karena Shikamaru…."

Menyadari kegelisahan Inoichi, Yoshino pun tertawa. Wanita itu mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja bersama Shikamaru. Sebetulnya, bukan hal itulah yang ingin didengar Inoichi. Yoshino mungkin tidak mengerti. Dan bagaikan ingin membuat Inoichi semakin gelisah, Nyonya Akimichi justru menambahkan dalam konteks bercanda bahwa mungkin saja keluarga Yamanaka dan Nara akan melebur suatu saat nanti.

Kata-kata itu telak menghantam Inoichi. Kecemasannya menjadi meningkat berkali-kali lipat dan ini mengundang gelak tawa dari pria lainnya yang ada di rumah itu. Mereka berusaha menenangkan Inoichi dan berkata bahwa hal-hal semacam itu masih terlalu cepat bagi Shikamaru dan Ino. Inoichi pada akhirnya hanya bisa menggerutu dan mencoba merendamkan kepanikan yang mendadak melandanya. Pesta ini masih terlalu cepat jika ingin diakhiri dengan cara yang tidak menyenangkan—Inoichi paham.

Namun, kecemasan Inoichi akan menjadi kenyataan tak terelakkan pada saatnya nanti.

Mungkin tidak sekarang. Nanti—pada saat kedua insan itu menyadari bahwa hidup mereka yang sekarang ada karena adanya pengaruh dari yang lain.

Bukan waktu yang sebentar. Namun juga tidak akan lama lagi...

***つづく***


Yay! ShikaIno Fanday akhirnya datang juga~! Sama kayak tahun kemarin, tahun ini saya juga akan bikin two-shots. Next chapter akan di-publish besok. Pola yang sama, 'kan? Yang beda cuma tema ceritanya. Kalau tahun lalu cenderung 'dark', tahun ini saya pilih yang cenderung 'fluff'. Kan kasian kalau ShikaIno dibalut angst mulu. Ya, gak? *winkwink* Ufufufufu~! X""D

Setting-nya … ya canon yang dimodifikasi. Cuma kepikiran aja, Ino selalu tampak ceria, mungkin ada alasannya. Dan saya coba bangun alasan itu dengan cara yang sedikit maksa. Hahaha.

Sebelum mengakhiri penutup yang panjang ini … otanjoubi omedetou, Shikamaru~! Happy SIFD, minna-chan! X""D

Oke deh, kayaknya sekian cuap-cuap saya, jangan lupa beritahukan pendapat, pesan, kesan, kritik minna-san tentang chapter ini via review. Okay, okay? XD

I'll be waiting.

Regards,

Sukie 'Suu' Foxie.

~Thanks for reading~