"It's Too Late to Regret"
Chapter 9
(ENDING)

.

All the cast are not mine. They're belong to God, their parents, and themselves.
.
Pairing : HaeHyuk~
.

Rated T (maybe)
.

Genre : Romance, Angst.
.

Warning! OOC, gaje, MPREG, yaoi,judul sama cerita nggak nyambung, typo(s), alur ngebut, serba kurang._.
.
Summary
: Aku mencintaimu. Selalu mencintaimu. Tak bisakah kau melupakannya dan mulai melihat ke arahku? Aku yang selalu mencintaimu. Aku yang selalu ada di sini…

.

.

HAPPY READING~ :3

.

.

"Kamsahamnida." Donghae membungkukkan tubuhnya, memberi salam lalu berjalan menjauh dengan sebuket bunga di tangannya. Bunga forget-me-not, tentu saja. Ia menatap bunga itu, diikuti dengan senyum yang mengembang di bibirnya.

Ia berjalan menuju mobil, lalu mulai menjalankannya menuju rute yang sudah benar-benar dihafalnya. Tak perlu diragukan lagi atas ingatannya pada rute ini, ia sudah bertahun-tahun melewati rute ini dengan membawa sebuket bunga yang sama.

Tak membutuhkan waktu cukup lama, Donghae dapat melihat hamparan rumput hijau di sekitarnya. Pepohonan hijau yang rindang membuat kesan musim semi semakin kental. Mengendarai mobilnya secara perlahan, ia menurunkan kaca mobilnya, berusaha menikmati udah segar yang dapat dihirupnya.

Perlahan, ia lalu menepikan mobilnya di spot biasa. Diambilnya buket bunga yang ia letakkan di kursi penumpang, kemudian keluar dan berjalan menjauhi mobilnya. Semakin mendekati tempat tujuan, semakin berat rasanya langkah kakinya. Tak lama kemudian, Donghae menghentikan langkahnya. Tepat di spot biasanya; di depan gundukan tanah yang kini sudah tertutup oleh rumput hijau.

Donghae merendahkan tubuhnya, berlutut tepat disamping gundukan tersebut. Diletakkannya buket bunga yang telah dibawanya. Matanya menatap gundukan tersebut dengan sayu. Ia kemudian mengulurkan tangannya, mengusap nisan hitam di hadapannya dengan lembut.

"Hyuk," panggilnya lembut, lalu menghela nafas panjang. "Tidak terasa ya sudah lima tahun sejak kau pergi."

Hening. Tidak ada sedikitpun suara yang menjawab.

"Aku merindukanmu. Apa kau juga merindukanku disana?" Ia mengulum senyum tipis. "Ah iya, aku membawakanmu bunga favoritmu. Aku harus mencarinya di beberapa toko sebelum dapat menemukannya. Bunga favoritmu benar-benar sulit ditemukan." Ia kemudian mengeluarkan tawa kecil.

"Tiba-tiba teringat saat aku membawakanmu mawar merah dan temanmu yang menyebalkan itu malah mengejekku karena kau tidak menyukai mawar. Ah, aku benar-benar suami yang buruk ya? Saat itu bahkan aku tidak mengetahui apa-apa tentangmu." Senyumnya berubah menjadi penuh kesedihan. "Bahkan mungkin, sekarang aku masih tidak mengetahui apa-apa tentangmu."

Donghae kemudian mengubah posisinya. Ia mendudukkan dirinya di rumput, bersila di tempatnya. "Kalau mengingat bagaimana aku memperlakukanmu dulu… rasanya aku ingin menjemputmu secepatnya. Tapi Ryeowook selalu bilang kalau kau tidak akan menyukainya. Benarkah? Kau tidak ingin bersamaku secepatnya disana?"

Tangannya mengelus gundukan yang telah tertutup rumput. "Apakah kau sudah menemukan penggantiku di sana? Apakah dia lebih tampan? Ah—" Tawa kecil kembali meluncur dari bibirnya. "—tidak ada yang bisa mengalahkan ketampananku kan? Aku ingat kau pernah berkata seperti itu."

Donghae menarik nafas panjang. "Terkadang aku berpikir," ia berkata pelan. "Andai saja aku tidak bersikap seperti itu padamu dulu, akankah sekarang tubuhmu berada di dalam sana?" Matanya mulai berkaca-kaca saat ia memutuskan untuk mendongakkan kepalanya, berusaha menahan airmata yang sudah nyaris turun. "I can't help but blame myself for everything that had happened."

"Yesung hyung sudah sering mengatakan padaku, bahwa ini semua bukan salahku. Tubuhmu memang terlalu lemah untuk melahirkan. Aku mengerti, aku paham betul atas perkataan Yesung hyung. But I can't help it, you know?" Kali ini, ia tak bisa lagi membendung airmatanya. Donghae tak lagi berusaha menahan airmatanya. Ia membiarkan airmatanya mengalir begitu saja, membasahi wajah tampannya. Tubuhnya bergetar, isak tangis dapat terdengar jelas.

Sudah lima tahun sejak perginya Hyukjae dari hidupnya. Dari dunia ini. Tepat saat ia melahirkan anaknya, anak mereka. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir begitu saja, selang beberapa menit setelah anak mereka berhenti menangis.

1.826 hari telah berlalu dan ingatan Donghae masih tak bisa melupakan kejadian tersebut. Ia masih mengingat betul bagaimana wajah penuh kebahagiaan Hyukjae saat melihat bayi laki-laki di pelukannya. Tatapannya sayu memang, namun tetap tak menutup wajah bahagianya. Bahkan, Donghae masih ingat betul saat Hyukjae mendekap bayi tersebut dalam pelukannya, seraya tersenyum hangat. Mata indah Hyukjae saat itu menatapnya tepat di mata.

Donghae tak pernah membayangkan bahwa saat itu adalah saat terakhir ia menatap mata indah Hyukjae. Ia tak pernah menyangka bahwa beberapa menit kemudian, detak jantung Hyukjae mulai melemah. Ia tak pernah menyangka, bahwa detik berikutnya ruangan Hyukjae telah dipenuhi teriakan dokter yang berusaha menyelamatkan nyawanya. Ia benar-benar tak pernah menyangka semua itu akan terjadi. Tidak, ia bahkan tidak ingin membayangkannya. Ia tak ingin semua itu terjadi.

Ia masih ingat betul bagaimana perasaannya saat melihat tubuh Hyukjae di dalam peti dan perlahan memasuki tanah. Ia masih ingat betul bagaimana ia tetap bertahan di sisi Hyukjae selama berjam-jam, bahkan saat hujan mengguyur. Ia masih ingat betul bagaimana banyak orang yang menatapnya penuh simpati. Ha, yang ia butuhkan bukanlah simpati dari orang-orang yang bahkan tidak ia kenal. Yang ia butuhkan adalah Hyukjae. Hyukjae untuk tetap berada di sisinya.

Dengan air mata yang masih menuruni wajahnya, Donghae tertawa pelan tanpa emosi. Ia teringat bagaimana keluarga dan Ryeowook serta Yesung memaksanya untuk kembali ke rumah. Semua memori itu tak pernah sekalipun meninggalkan otaknya.

Perlahan, ia mulai menghapus air mata di wajahnya. Ia mendongakkan kepalanya, menahan air mata agar tak lagi keluar. Tak lama, ia kembali menatap gundukan tanah di hadapannya. Senyum tipis kembali terlihat di wajahnya.

"Kemarin Minki menghampiriku saat akan tidur," ucapnya dengan suara sedikit bergetar. Ingatannya melayang pada kejadian semalam, dimana anaknya mengetuk pintu kamarnya dengan boneka kelinci dalam pelukannya. "Tiba-tiba ia bertanya mengapa ia hanya memiliki satu orangtua." Donghae tertawa pelan.

"Jujur saja, saat Minki bertanya seperti itu, ingin menangis keras-keras aku rasanya. Bagaimana aku bisa menjelaskan hal seperti itu kepada anak berusia lima tahun?" Ia menghela nafas panjang. "Untung saja ia segera tertidur beberapa saat setelah membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Aku bahkan tidak mengatakan apapun padanya kecuali menyanyikan lullaby untuknya."

"Aku tak tega untuk mengatakan bahwa kau sudah tak akan bersamanya lagi, Hyuk. Aku tak tega mengatakan bahwa untuk selamanya, Minki hanya akan memilikiku. Aku tak tega mengatakan pada Minki bahwa ia tak akan pernah mungkin bisa memiliki dua orangtua, seperti teman-temannya di taman bermain."

"Umma berulang kali menyuruhku pergi ke blind date yang telah diaturnya. Maafkan aku—aku pergi beberapa kali. Tapi aku berani bersumpah, aku tidak tertarik sedikitpun dengan mereka. Aku bahkan selalu membayangkan kau yang bersamaku saat itu." Ia menghela nafas panjang untuk yang kesekian kalinya. "Kalau saja kau masih ada di sini saat ini, aku tidak mungkin perlu melakukan semua itu kan? Umma tak akan memaksaku untuk mencari sosok umma untuk Minki, kan?"

"Aku benar-benar berharap kau ada di sini Hyuk. Untukku. Untuk Minki. Untuk kami semua," bisik Donghae pelan, hampir tak terdengar. "Aku membutuhkanmu. Minki membutuhkanmu. Kami semua membutuhkanmu."

Matanya kembali menatap nanar pada nama yang terukir pada nisan hitam di hadapannya. "And the most important thing is—" Ia menelan saliva yang seolah menahannya untuk berbicara. "—I miss you. So freaking bad. How I wish I always treated you better in the past, so I won't regret any."

Donghae menatap nisan tersebut lekat-lekat, hingga akhirnya ponselnya berbunyi nyaring, membuatnya mengalihkan pandangannya. Ia merogoh saku celananya, mengambil ponselnya yang terus berbunyi. Menatap layarnya beberapa saat, ia kemudian menempelkan ponselnya di telinga kanannya. "Yeoboseyo?" Mendengarkan orang di seberang berbicara, Donghae menganggukkan kepalanya. "Baik, saya akan segera ke sana."

Ia lalu menurunkan ponselnya. Ditatapnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku harus pergi sekarang. Lagi-lagi Minki menangis karena diganggu temannya." Ia menatap tempat peristirahatan Hyukjae, lalu tertawa pelan. "Aku curiga kalau anak kecil tengil bernama Jonghyun itu menyukai uri Minki. But, well… Minki got his pretty face from you anyway, who would resist that?"

Donghae kemudian berdiri dari tempatnya duduk. "Ah iya—" Ia memasukkan tangannya ke dalam tas kecilnya. "—aku membuatkan flower crown ini untukmu. Forget-me-not, still from your favourite one. Ini tidak seindah yang aku inginkan, tapi aku membuatnya sendiri. Ah, bentuknya sudah tak beraturan karena kumasukkan ke dalam tas." Ia tertawa pelan, sebelum akhirnya memasangkan flower crown pada nisan hitam di hadapannya.

"Semoga kau suka." Ia tersenyum manis, seolah benar-benar sedang tersenyum untuk Hyukjae. Ia kemudian menatap jam di pergelangan tangannya. "Aku harus benar-benar pergi sekarang, sebelum Jonghyun makin membuat Minki menangis." Dihembuskannya nafas panjang-panjang.

"See you later. Aku akan mengunjungimu dalam waktu dekat. Tunggu aku, oke? Jangan sampai kau merindukanku." Ia kembali tertawa pelan, membayangkan wajah Hyukjae yang memerah imut. "Aku janji akan mengajak Minki lain kali. Kau belum pernah bertemu dengannya kan?"

Perlahan, Donghae melangkah menjauh. Baru beberapa langkah, ia membalikkan badannya, melambaikan tangannya pada Hyukjae, kemudian akhirnya kembali melangkah menjauh.

Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Donghae dapat meninggalkan Hyukjae dengan hati ringan. Ah, ia jadi tak sabar bertemu dengan Minki. Ia tak sabar menatap paras manis anaknya yang selalu berhasil mengingatkannya kepada Hyukaje.

.

.

END—

.

.Hyukjae

Sooooooooooooo, that's the very end chapter of this story. This story's officially finished~

Maafkan atas ending yang semi-semi sad ini XD Dari awal bikin emang udah ada keinginan buat berakhiran gini sih sebenernya, walaupun agak berbeda sama keinginan awal :3

Hopefully, kalian semua suka sama endingnya. Semoga kali juga bisa menikmati selama baca fanfic ini~ Oh iya, aku kepikiran buat bikin side story tentang Kyuhyun di cerita ini. Kira-kira, adakah yang bakal baca?

Maafkan kalo selama kalian baca cerita ini ngerasa sebel sama author karena lama banget dalam update, ceritanya gak jelas, OOC max, dan yang bikin sebel-sebel lainnya. Gak kayak chapter lainnya, chapter ini gak ku proof-read. Jadi kalo ada keanehan/kejanggalan cerita atau typo dimana-mana, mohon dimaafkan yaw~ Once again, thank you so much for reading this shitty story^^

Last words: Mind to review? Thank you so much! ^^