Takdir Sakura

Author : Naumi Megumi

Pairing : SasuSaku, NaruHina, and other

Rate : T

Genre: Humor, Romance, Family, Hurt, Angst, Drama

Disclaimmer:

Naruto © Mashashi Kishimoto

Warning:

OOc banget, AU, Gaje, Alur berantakan, Typo, miss typo, abal, ide pasaran, minimnya diskrip, pokoknya amburadul! dan silahkan FLAME jika memang fic-ku ini benar-benar memuakkan! ^_^

Summary:

Kenapa semua ini terjadi padaku?

Kenapa hanya aku yang mengalami seperti ini?

Semua pertanyaan itu hanya ada satu jawabnya, yaitu TAKDIR.

Ya, semua yang kualami ini adalah TAKDIR yang tidak bisa aku hindari ataupun kutolak. Aku hanya bisa menerimanya.

Mari bersama sama kita teriak 'Uye!'

Uye! \(o.o)/

Kalau nggak suka, nggak usah baca, ya! Ntar mual lho!

Jangan Lupa RnR-nya, ya!

Hey hey hey, aku kembali dengan fic baru yang sangat amat jelek. Semoga kalian tidak terlalu banyak mual setelah membaca ini. ^_^

So, Enjoy It!

TAKDIR SAKURA

"Hinata, kau jaga Kaa-san sebentar. Aku mau keluar dulu," pesan Sakura pada adiknya, Hinata.

Hinata yang sedang menonton TV pun mematikan TV-nya dan berjalan ke kamar Ibunya. Dilihatnya, Ibunya sedang tertidur. "Ya, tapi jangan lama-lama! Kaa-san pasti akan mencarimu," ucap Hinata.

Saat ini Ibu mereka memang sedang sakit parah, yaitu kanker. Sudah 2 tahun ini keadaannya semakin memburuk. Karena kondisi ekonomi yang minim, sehingga Ibu mereka belum sanggup menjalani operasi. Sakura serta adiknya harus menjaganya baik-baik. Sakura adalah anak pertama juga anak kesayangan Ibunya, sedangkan Hinata anak kedua, ia juga disayang oleh Ibunya. Hanya saja, lebih sedikit berbeda. Usia mereka terpaut 2 tahun. Sakura berumur 17, sedangkan Hinata berumur 15 tahun.

Ayah mereka sudah lama meninggal sejak Sakura dan Hinata masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sejak itulah, Ibu mereka harus kerja keras banting tulang untuk menghidupi Sakura dan Hinata dan juga membiayai sekolah kedua anaknya.

"Iya. Kau tenang saja. Sebelum jam 6, aku sudah sampai rumah," jawab Sakura.

Sakura sudah menggunakan mantel tebalnya, karena saat ini sedang musim salju. Dengan senyum yang terkembang di wajah cantiknya, ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah, menerjang dinginnya salju.

Sakura akan pergi menemui kekasihnya, yaitu Gaara, yang katanya sakit. Sakura membawakan bubur untuk Gaara. Walaupun sore ini di Suna sangat dingin, Sakura rela menahan dingin ini untuk sekedar menengok dan membawakan bubur untuk Gaara. Sakura sangat sayang pada Gaara. Pasalnya, Gaara adalah pacar pertama Sakura sehingga Sakura menyayangi Gaara dengan sepenuh hati. Hubungan mereka memang belum begitu lama, baru 4 bulanan.

-Takdir Sakura-

Sakura hampir sampai di rumah Gaara. Ia tinggal menyeberang jalan dan sampailah.

Saat Sakura hendak menyeberang, ia melihat seorang laki-laki berambut merah yang mencolok sedang berpelukan dengan seorang gadis. Seorang gadis berambut coklat yang sudah tak asing lagi bagi Sakura. Gadis itu adalah Matsuri, sahabat dekat Sakura. Sakura sama sekali tidak berfikiran negatif tentang apa yang ada di hadapannya sekarang.

"Ternyata Matsuri juga sedang menjenguk Gaara-kun," gumamnya sambil tersenyum. Lalu Sakura menoleh ke kanan dan kiri untuk menyeberang jalan, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti saat dilihatnya seorang laki-laki dan seorang gadis di hadapannya tadi saling menyentuhkan bibir mereka. Bibir mereka seakan lengket dan sulit untuk dipisahkan.

PRANG!

"Gaara…Matsuri…"

Rantang bawaan Sakura yang isinya bubur untuk Gaara pun jatuh ke tanah. Sakura menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Dan tangan kirinya menyentuh dadanya, rasanya sangat sakit sekali.

Perlahan butiran-butiran air mata Sakura pun jatuh. Sangat sulit menahan air matanya untuk tidak keluar. Sakura tidak ingin mempercayai ini semua, tapi inilah kenyataannya. Seorang sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri, malah menikamnya dari belakang. Dua orang yang sangat ia sayangi, tega berbuat semua ini padanya.

"Hiks…Hiks…Kenapa? Hiks…kenapa kalian berbuat ini padaku? Hiks…" gumam Sakura dengan tangis.

Sakura lalu menghapus air matanya dan berjalan menyeberang jalan tanpa melihat kanan dan kiri. Mobil-mobil pun terpaksa harus mengerem mendadak karena ulah gila Sakura.

"Tiiiinnnnnnnnnnnn…!" suara klakson yang keras pun tak dihiraukan Sakura. Sakura terus berjalan menuju rumah Gaara. Matanya tertuju hanya pada Gaara dan Matsuri. Angin yang dingin berhembus menerpa wajahnya. Rambut pink-nya yang sepunggungpun ikut berkibar terbawa angin.

Suara klakson yang bising itupun mengganggu 'aktivitas' Gaara dan Matsuri. Mereka menghentikan 'aktivitas' mereka dan menoleh ke sumber suara. Mereka terkejut ketika melihat seorang gadis berambut pink sepunggung yang tak asing lagi berjalan ke arah mereka berdua. Gaara dan Matsuri hanya bisa membatu, tidak tahu harus berbuat apa.

Sakit, benci, dendam, serta sedih. Semua itu bercampur jadi satu di dalam dada Sakura. Saling berdesakan seakan ingin meledak. Rasanya sangat sesak. Dengan mata yang menyala merah, Sakura menghampiri kedua pasangan 'ilegal' itu.

"Sa… Sakura… ini tidak-"

PLAAK!

Sakura memotong kata-kata Matsuri dengan sebuah tamparan yang sangat keras di pipi kirinya.

"Apa yang kau-"

PLAAK!

Tamparan lebih keras lagi mendarat di pipi kanan Gaara saat Gaara mencoba mengeluarkan kata-kata.

Mata Sakura berkilat marah sambil memandang kedua orang yang telah menusuknya dari belakang. Tamparan itu belum bisa mengobati sakit hatinya, tapi setidaknya ia bisa membalasnya walaupun sedikit. Tangannya mengepal menahan amarahnya.

"Kalian memang sangat hebat!" desis Sakura dengan senyum miris lalu membalikkan badanya dan pergi. Air matanya yang akan tumpah ditahannya agar tidak keluar. Dengan berjalan tegak, Sakura kembali menyeberangi jalan tanpa melihat ke kanan dan kiri, sedangkan Gaara dan Matsuri hanya bisa diam di tempat tidak berani mengejar Sakura untuk meminta maaf, atau memang ini yang mereka inginkan?

Sakura terus berjalan dan menghilang di balik pohon besar. Ia menjatuhkan badanya berlutut. Dalam diam ia menangis sendiri.

"Hiks…"

-Takdir Sakura-

Di sepanjang jalan tadi, Sakura hanya menangis. Sakura segera menghapus air matanya yang masih tersisa saat jarak rumahnya tinggal beberapa langkah lagi. Sakura segera memasuki halaman rumahnya, tapi ia melihat ada banyak orang di dalam rumahnya.

"Ada apa ini?" tanyanya dalam hati. Sakura mulai berfikir yang tidak-tidak. Dengan ketakutan, ia segera masuk ke dalam rumah. Hanya satu orang yang sekarang sedang ia pikirkan, yaitu Ibunya.

"Hiks… Kaa-san… bangunlah. Aku mohon, Kaa-san…" terdengar suara Hinata yang bercampur tangis dari dalam kamar Ibu Sakura. Dengan cepat Sakura langsung masuk ke dalam kamar. Dilihatnya, Ibunya yang sudah memejamkan mata, tidur untuk selamanya.

"Kaa-san…" gumam Sakura lalu mendekati Ibunya.

Hinata yang mendengar suara kakaknya itupun lalu menoleh ke arah Sakura. Ia memandang Sakura dengan pandangan yang marah. "Kenapa kau baru datang, ha!" seru Hinata tiba-tiba.

Sakura hanya bisa diam, ia tidak bisa membalas perkataan Hinata. Tidak seharusnya ia pergi saat Ibunya sedang sakit. Ia yang salah.

"Aku sudah menelfonmu beberapa kali, tapi kenapa kau tidak menjawabnya!?" tanya Hinata dengan nada tinggi. Lagi-lagi Sakura hanya bisa diam. Ia tidak tahu kalau Hinata menelfonnya, karena ia tidak melihat I-phone-nya seharian ini. Sakura terus menyalahkan dirinya atas kematian Ibunya.

-Takdir Sakura-

Satu tahun kemudian…

"HARUNO SAKURA!" teriak seorang wanita tua yang tampak lebih cantik dari usianya, ia adalah Tsunade. Seorang Kepala Sekolah SMA 1 Konoha. Seorang Kepala Sekolah yang mengerikan. Wanita tua yang masih sangat bertenaga.

Kepala Sekolah tersebut sedang mengahalangi seorang murid perempuannya yang akan kabur dari pelajaran. Bukan masalah sekolahnya yang seperti neraka, hanya saja sang gadis memang tidak perlu sekolah. Bukan karena malas sekolah, tapi ia memang tidak butuh sekolah, karena ia sudah pandai. Nilai akademik si gadis memang bagus, sangat bagus malah. Tapi, tingkah si gadis ini sangatlah bengal. Kebandelannya bukan main. Bahkan sang Kepala Sekolah pun mulai turun tangan sendiri untuk menangani gadis ini.

"Haruno Sakura! Cepat turun dari situ dan kembali ke kelas!" teriak Tsunade lagi.

Gadis yang bengal tersebut adalah Sakura, Haruno Sakura. Dengan seragam sekolah SMA 1 Konoha dan rambut pink-nya yang sebahu pun berkibar karena tertiup angin yang berhembus cukup kencang di atas tembok. Ya, sekarang Sakura sudah berada di tembok tinggi, tembok pembatas sekolah yang tingginya mencapai 7 meter. Coba bayangkan! Bagaimana bisa Sakura naik ke atas tembok setinggi itu? Tentu saja dengan bantuan tangga. Sakura naik ke atas tembok tersebut dengan tangga, lalu tangga tersebut ia pindahkan dari sisi tembok dalam sekolah ke sisi tembok luar sekolah.

Sakura berbalik ke arah Tsunade, "Maaf, Kepala Sekolah! Aku harus pergi. Aku buru-buru!" teriaknya pada Tsunade dengan wajah tengilnya.

"Kalau kau begini terus, kau tidak akan lulus nanti!" Tsunade memperingatkan.

"Tenang, Kepala Sekolah! Aku akan belajar giat di rumah!" jawab Sakura berteriak. Tsunade hanya bisa medengus kesal karena ulah anak didiknya yang satu ini.

"Sampai jumpa, Kepala Sekolah!" Sakura melambaikan tangannya dan berbalik, tapi seketika pula matanya membelalak. Tangga yang ia taruh di sisi tembok luar untuk turun, tidak ada. Bagaimana bisa tangga itu tidak ada? Apa mungkin tangga tersebut jalan sendiri, karena tidak mau membantu Sakura yang mau mbolos sekolah? Bahkan tangga pun tahu bahwa membolos itu tindakan yang tidak benar.

Sakura melihat ke bawah untuk mencari tangganya -pinjam dari sekolah- yang hilang. "Nah, itu dia!" Akhirnya Sakura menemukannya. Tapi, tunggu! Kenapa tangganya tergeletak ambruk di bawah sana!? Siapa yang mengambilnya? Sakura mengedarkan penglihatannya. Aha! Sakura menangkap sesosok pria yang berdiri tepat di bawah Sakura.

Pria muda berwajah tampan dengan gaya rambut yang err… seperti pantat ayam. Pria itu memakai kemeja hitam dengan lengan panjang yang ia lipat sebatas bawah sikunya. Rambut sebahu Sakura dan roknya berkibar tertiup angin lagi. Ia memandang tajam pada pria yang ada di bawah.

"Kau terlihat sexy dengan celana dalam berwarna merah itu, Nona," ucap pria itu dengan seringai mesum, tapi menawan.

"Sial!" gumam Sakura merutuki pria itu. "Jangan bodoh, Tuan! Aku memakai celana shot!" ucapnya dengan seringai. Jangan mengira Sakura adalah gadis polos bodoh, yang bisa ditipu oleh laki-laki. Walaupun laki-laki itu tampan seperti laki-laki yang sekarang ada di bawah. Sakura tidak akan terlena sedikit pun, tidak akan pernah!

"HARUNO SAKURA! Cepat kembali ke kelas!" teriak Tsunade lagi yang tidak mau menyerah untuk menyuruh muridnya kembali ke kelas.

"Maaf, Kepala Sekolah, aku tidak bisa." Sakura kembali melihat pria berambut pantat ayam itu. Ia melihatnya dengan tajam. "Cepat kembalikan tangganya!" teriak Sakura.

"Hey, orang ada di balik tembok sana!" teriak Tsunade dengan kerasnya. "Tolong halangi muridku yang akan kabur itu!" teriaknya. Sakura berbalik ke arah Tsunade. "Apa?! Sebagai Kepala Sekolah, aku harus mendidik muridku dengan baik, kan!" ucap Tsunade saat Sakura melihatnya dengan kesal. Sakura lalu beralih pada pria di bawah.

"Aku Uchiha Sasuke, Kepala Sekolah!" teriak pria itu dengan gaya cool-nya.

"Uchiha?" Tsunade sepertinya tahu nama itu. "Uchiha Sasuke! Kau guru magang itu?!" tanya Tsunade sambil berteriak.

"Hn. Ya." Si pria yang bernama Sasuke itu menjawab singkat.

Sakura menjadi kesal karena merasa dikacangin. Dan apa tadi pria itu bilang? Pria itu bernama Uchiha Sasuke, guru yang akan magang di sekolahannya? Oh tidak! Ini akan jadi penghalang Sakura. Sepertinya Sasuke bukan guru yang mudah untuk dikalahkan. "Sial!" umpat Sakura kesal. "Sebaiknya kalian mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol!" seru Sakura kesal.

"Sepertinya kau cemburu, Nona," ucap Sasuke dengan seringai menggoda.

Gubrak!

Sakura hanya bisa sweetdrop mendengar pernyataan Sasuke barusan. "Heh, kau bercanda? Cepat kembalikan tangganya!" teriaknya yang mulai habis kesabaran.

"Jangan berikan!" larang Tsunade di balik tembok bagian dalam. Sakura mendengus ke arah Tsunade. Kepala Sekolahnya ini sangat merepotkan.

"Cepat kembalikan!" Sakura melotot pada Sasuke agar Sasuke mau mengembalikan tangganya ke tempatnya.

"Tidak bisa. Aku harus mematuhi perintah Kepala Sekolah," tolak Sasuke dengan santainya. Dan itu membuat Sakura semakin kesal.

"Baiklah. Terserah kau saja." Sakura lalu berlari di atas tembok yang sempit dengan cepat. Sebenarnya Sakura juga merasa takut, tapi ia harus melakukan ini. Ini keadaan darurat. Ia harus segara pergi dari sekolah ini.

"Haruno!"

"Nona!"

Teriak Tsunade dan Sasuke bersamaan begitu Sakura berlari menyusuri tembok. Sakura tidak menghiraukan teriakan mereka dan terus berlari hingga ia melihat ada pohon mangga yang bercabang dekat tembok sekolah. Sakura melompat ke batang cabang pohon mangga tersebut. Sakura menyusuri batang tersebut dengan cepat. Sakura menuruni pohon mangga dari cabang ke cabang lain hingga batang ketiga, tapi ia tak menemukan batang cabang lain yang bisa ia pijaki, sedangkan tanah masih 4 meter dari kakinya sekarang. "Sial!" umpat Sakura.

"Mau kemana kau, Nona?" tanya Sasuke menyeringai saat melihat Sakura yang mulai mati langkah.

Sakura hanya tersenyum sengit melihat guru magangnya itu. "Kau kira aku akan menyerah? Tidak akan!" Sakura langsung melompat dari batang pohon yang ia pijaki tadi, yang tingginya 4 meter dari tanah. Sebelumnya ia belum pernah melakukan ini, karena selama ini ia bisa kabur dari sekolah dengan mudah.

Sasuke yang melihat aksi nekat Sakura pun terkejut. Ia membelalakkan matanya. Dengan segera, Sasuke berlari ke arah Sakura.

Bugh!

Sakura membuka matanya yang sebelumnya tertutup karena sedikit takut. "Aku tidak percaya ini," gumamnya. "Yess! Aku berhasil!" seru Sakura senang. Ya, Sakura bisa mendarat dengan baik dengan kedua kakinya, dengan posisi berdiri dan lututnya sedikit ditekuk. Tapi, bukankah tadi Sasuke hendak 'menyelamatkan' Sakura? Lalu, dimana dia?

"Tidak buruk," komentar Sakura sambil tersenyum sambil menegakkan dirinya.

"Ta… tapi ini sangat buruk bagiku," sahut seseorang. Darimana suara itu datang? Sakura segera mencari sumber suara tersebut. Ia menoleh ke sekelilingnya, tapi ia tidak menemukan orang pemilik suara tadi.

"Aku di sini bodoh!" seru orang itu.

Sakura langsung menunduk dan mendapati guru magangnya-Sasuke- tengkurap di bawahnya. Dan lebih parahya lagi, Sakura menginjak punggung Sasuke. Aduh, pasti rasanya sakit. Apalagi Sakura bukan orang yang bisa dibilang ringan. Ckckck.

"Ouch! Ya ampun!" pekik Sakura kaget sambil menutup mulutnya.

"Cepat menyingkir dari atas badanku!" perintah Sasuke kesal.

Dengan cepat Sakura pun menyingkir dari atas tubuh Sasuke. "Maaf, Aku tidak melihatmu," ucapnya menyesal sambil membungkukkan punggungnya.

"Kau ini, tidak bisakah kau tidak membuat onar di sekolah, ha!?" teriak Sasuke murka setelah berdiri.

"Lagi pula, kenapa kau bisa ada di situ? Aku kan harus cepat. Ah, ya ampun! Aku terlambat!" seru Sakura saat ingat jika sekarang dirinya sedang buru-buru. "Maaf, aku harus segara pergi!" ucap Sakura lalu berlari begitu saja.

"Gadis itu ternyata bersekolah di sini. Aku beruntung bisa bertemu dengannya lagi," gumam Sasuke sambil tersenyum. "Rambutnya masih tetap indah walaupun sekarang lebih pendek dibandingkan dengan setahun yang lalu," lanjutnya lalu berbalik dan masuk ke sekolah.

-Takdir Sakura-

Klinting!

"Selamat datang, Tuan…" sambut seorang pelayan cantik berambut ungu pendek serta ada hiasan bunga mawar ungu yang menghiasi rambutnya yang indah. Ia bernama Konan.

Sebuah café remaja yang lumaya ramai. Terlihat para pelayan sibuk dengan tamu yang terbilang melebihi kapasitas.

"Kenapa Sakura belum datang juga, ya?" tanya seorang gadis berambut kuning pudar pada teman-temannya. Gadis itu bernama Shion. "Padahal kita butuh Sakura sekali," lanjutnya.

"Sudahlah, Shion. Mungkin Sakura sedang ada hambatan di jalannya," sahut seorang pemuda berambut seperti mangkok, dia adalah Lee.

"Iya." Sekarang giliran pemuda berambut jabrik coklat yang menyahut, Kiba.

"Ya sudah. Cepat antar pesanan ini ke meja nomor 10!" perintah Shion pada Kiba. Kiba lalu meluncur dengan sepatu rodanya ke meja nomor 10 untuk mengantar pesanan.

"Hey, mana pesananku!" teriak seorang pelanggan yang ada di meja nomor 8.

"Iya. Akan segara datang!" jawab seorang laki-laki berambut kuning berkuncir dengan poni yang menutupi sebelah matanya, dia adalah Deidara. Deidara segera mengambil pesanan meja nomor 8 dan meluncur dengan sepatu rodanya menuju meja pelanggan nomor 8.

"Hey! apa yang kau pikirkan, Pain! Cepat antar pesanan nomor 2!" seru Shion pada seorang pemuda berambut oranye dengan tindik di telinganya. Pemuda tersebut bernama Pain.

"Ah, iya!" jawab Pain gugup yang sebelumnya melamun. Dengan segera, ia pun meluncur dengan sepatu rodanya juga, menuju meja nomor 2.

Semua pelayan di café ini memang memakai sepatu roda, kecuali bagian penyambutan dan koki, yaitu Shion dan Konan.

Brak!

Terdengar suara pintu dibanting, pintu samping café. Seketika semua perhatian beralih ke pintu tersebut, pintu khusus untuk keluar masuk para pegawai café.

"Ah! Sakura! Akhirnya kau datang juga!" seru Shion gembira.

"Hosh… hosh!" Sakura masih mengatur nafasnya yang tidak beraturan karena ia berlari dari halte sampai café. "Hosh… maaf, ya?" ucapnya.

"Tidak apa-apa. Cepat ganti pakaianmu dan antar pesanan, karena hari ini pengunjung melebihi batas," ucap Shion sambil tersenyum.

"Baiklah!" jawab Sakura dengan semangat. Sakura pun segera ganti baju dan membantu pelayan yang lain. Mengantar pesanan dari meja satu ke meja lain dengan cepatnya. Gerakan kakinya sangat lincah saat berjalan menggunakan sepatu rodanya. Bahkan para pengunjung senang melihat gerakan Sakura. Semua memandang Sakura takjub dan kagum. Aksi Sakura tersebut juga secara tidak langsung mengundang pengunjung untuk makan dan bersantai di café ini.

-Takdir Sakura-

"Hey Hinata, hari ini ada guru magang lho!" ucap seorang gadis berambut hitam berkuncir yang bernama Anko kepada teman sebangkunya yang mempunyai rambut indigo yang panjangnya sepunggung. Hinata yang duduk di bangkunya sambil membaca buku pun beralih melihat Anko.

Sakura dan Hinata bersekolah di sekolah yang berbeda dan jarak antara sekolah mereka juga sangat jauh. Sakura sekarang kelas 3 SMA dan Hinata kelas 1 SMA. Tahun pertama bagi Hinata masuk di SMA 2 Konoha ini, baru 3 bulan.

"Guru magang? Anak kuliahan?" tanya Hinata.

"Yups!" jawab

"Wow! Pasti orangnya keren!" ucap Hinata dengan antusias.

"Tentu. Dia akan mengajar olahraga," ucap Anko yang tak kalah antusiasnya.

"Wah…" seketika mata Hinata pun berbinar-binar.

"Ayo kita cepat ke lapangan!" ajak Anko.

Kebetulan sekarang kelas Hinata ada pelajaran olahraga. Dan olahraga pelajaran jam pertama. Dengan semangat, Hinata dan Anko pun berjalan menuju lapangan basket, tempat biasanya mereka berolahraga.

Di lapangan semua siswa sudah berkumpul. Termasuk Hinata dan Anko. Dan tidak lupa, di hadapan kumpulan siswa siswi berdiri seorang pemuda tampan berambut kuning lurus yang mempunyai garis kucing di pipi kiri dan kanannya. Ya, dia adalah guru magang di sekolah Hinata, di SMA 2 Konoha.

Semua siswi SMA 2 Konoha memandang pemuda itu dengan mata yang berbinar-binar, sedangkan para siswa laki-laki memandang guru magangnya dengan pandangan yang kurang suka. Apalagi gadis yang mereka sukai memandang guru itu dengan pandangan memuja.

"Halo semuanya!" seru guru magang dengan semangat disertai senyum yang menawan sehingga membuat para siswi berteriak histeris.

"Hallo, guru!" sahut semua murid dengan antusias, kecuali para siswa laki-laki.

"Perkenalkan, nama saya Uzumaki Naruto. Saya di sini sebagai guru olahraga kalian yang akan magang selama 1 bulan di SMA 2 Konoha ini," ucap guru magang tersebut yang ternyata bernama Naruto.

"Guru Naruto!" teriak para siswi serempak, termasuk Hinata dan Anko. Sedangkan Naruto hanya menggaruk belakang kepalanya dengan senyum canggung. Ternyata reaksi muridnya tidak seburuk yang ia bayangkan. Dia pun tertawa dengan tawa khasnya, tentu saja membuat para siswi mau pingsan.

-Takdir Sakura-

"Huft! Akhirnya selesai juga~" ucap Sakura lega begitu café mulai sepi. Sekarang jam 4 lewat 30 menit. Dan café akan segera tutup. Jadwal tutup café jam 5 sore. Dan jam kerja Sakura mulai jam 11 siang tadi. Ia hanya bekerja paruh waktu saja di café ini.

Sakura melepas sepatu rodanya dan mendudukkan dirinya ke sebuah sofa empuk di ruang istirahat. Ia merebahkan badanya di atas sofa dan menggunakan pegangan pada sofa sebagai alas kepala. Sakura memejamkan matanya sejenak.

Plek.

Sakura merasakan telapak tangan yang besar dan hangat menempel di keningnya. Sontak Sakura pun membuka matanya kembali. "Apa kau sakit?" tanya sang pemilik telapak tangan.

"Ah, Pain. Aku tidak apa-apa, kok. Aku hanya sedikit lelah," jawab Sakura setelah bangun dan mendudukkan dirinya. Sakura bergeser sedikit, memberi ruang untuk duduk Pain.

Pain lalu duduk di samping Sakura. "Mau kuantar pulang sekarang?" tawarnya. Sakura hanya menggelengkan kepalanya pertanda ia menolak. "Kau yakin?" tanya Pain meyakinkan. Sakura mengangguk. "Baiklah. Kau istirahatlah dulu. Jika sudah baikan, baru pulang," pesan Pain. Sakura pun tersenyum pada Pain. Sedangka Pain keluar ruang istirahat, meninggalkan Sakura sendiri. Sakura pun kembali merebahkan badanya di atas sofa dan memejamkan matanya.

-Takdir Sakura-

"Wah, guru Naruto ternyata baik juga ya orangnya!" ucap Anko dengan senang.

"Iya. Dia sangat sempurna sebagai seorang pria. Tampan, baik dan pintar!" tambah Hinata dengan mata yang berbinar-binar.

"Sepertinya kau lebih mengaguminya dibanding aku. Berarti kita saingan!" ucap Anko tiba-tiba.

"Maaf, Anko. Tapi, sepertinya aku suka dengan guru Naruto. Setiap aku melihat matanya yang biru itu, aku merasa nyaman," ucap Hinata sambil menerawang.

"Huh! Kenapa jadi begini, sih!" keluh Anko. "Aku jadi tidak tega menyakitimu dengan tampang imutmu itu, Hinata!" tambahnya.

"Hehe… jadi, kau merelakan guru Naruto untukku, kan Anko?" bujuk Hinata dengan mata memelas.

"Huft! Kau ini!" keluh Anko sambil mendengus. "Baiklah! Baiklah! Aku akan ikhlaskan guru Naruto untukmu! Karena baru sekarang aku melihatmu senang seperti ini," ucap Anko.

"Asik!" seru Hinata gembira. "Terima kasih, Anko sayang!" Hinata berlari ke arah Anko dan menubruknya. Hampir saja mereka jatuh karena ulah Hinata jika Anko tidak menahan berat badan Hinata. Ia memeluk Anko dengan kencang.

"Apapun untukmu, Hinata," gumam Anko membalas pelukan Hinata.

"Kau memang teman yang baik, Anko!" seru Hinata lagi dengan gembira.

"Tentu! Tapi!" Anko melepas pelukan Hinata dan menatap Hinata dengan tajam. "Kau harus mengabulkan permintaanku!" ajunya. Hinata menautkan kedua alisnya seolah bertanya, 'Apa itu?' Anko lalu tersenyum, "Kau harus membagi bekal makanan buatan kakakmu padaku!" ujar Anko.

"Hanya itu?" tanya Hinata meyakinkan.

"Ya. Bagaimana?"

"Ok. Aku setuju!" jawab Hinata menyetujui. Hinata setiap hari selalu membawa bekal makanan ke sekolah, untuk menghemat. Dan Sakuralah yang menyiapkannya setiap hari. Masakan Sakura sangat enak hingga Hinata enggan membaginya pada teman-temannya, bahkan pada Anko. Bau sedap bekal Hinata saja sampai menyebar kemana-mana saat ia membukanya, tapi ia sangat pelit membaginya. Padahal teman-temannya sampai memohon-mohon padanya, tapi tetap saja Hinata tidak mau memberinya. Tapi, ini suatu keberuntungan bagi Anko. Mulai besok, ia akan bisa merasakan sedapnya bekal Hinata. Ia sangat gembira.

"Baiklah. Kalau begitu, aku pulang duluan, ya…" pamit Anko pada Hinata lalu berjalan keluar kelas.

"Iya. Daa…" Hinata melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Anko.

Hinata segera membereskan buku-bukunya. Setelah selesai, ia pun keluar kelas, siap untuk pulang. Hinata berjalan menyusuri koridor sambil bersenandung. Terlihat sepanjang koridor sekolah sepi. Ini sudah lewat jam sekolah, jadi sekolah sudah sepi. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti karena ada seseorang yang menghalangi langkahnya. Seorang perempuan berkaca mata dan mempunyai rambut yang berwarna merah mencolok, serta di sampingnya ada temannya yang memiliki warna rambut yang sama, hanya saja merahnya sedikit pudar.

"Ah, kak Karin rupannya. Ada apa, Kak?" tanya Hinata sambil tersenyum memandang Karin, perempuan yang berambut merah mencolok.

Karin memandang Hinata dengan sengit. "Jangan sok manis, deh!" ucapnya dengan nada tinggi.

"Ma… maksud kak Karin apa?" tanya Hinata yang mulai ketakutan.

"Heh, cewek jelek! Jangan sekali-kali kau mendekati guru Naruto, ya! Guru Naruto itu incaran Karin!" sekarang giliran perempuan berambut merah pudar yang berbicara, namanya Tayuya. Tayuya memandang Hinata dengan matanya yang besar. Itu membuat Hinata tambah takut.

"Maaf, kak. Tapi, aku tidak bisa," ucap Hinata jujur dengan suara yang bergetar. Hinata benar-benar takut pada kedua seniornya itu.

"Apa kau bilang!?" murka Karin.

"Dasar cewek nggak tahu diri!" maki Tayuya sambil menjambak rambut ungu panjang Hinata.

"Aaargkh!" pekik Hinata kesakitan sambil memegang tangan Tayuya yang menjambaknya agar tangan Tayuya terlepas dari rambutnya. Tapi, Tayuya malah menarik rambut Hinata semakin kencang.

"Apa kau sudah bosan hidup, ha!?" teriak Karin tepat di telinga Hinata.

"Tolong, kak. Lepasin rambutku. Aku mau pulang," pinta Hinata yang matanya mulai berkaca-kaca.

"Apa kau bilang!? Kau mau pulang dengan semudah itu? Tidak akan!" teriak Karin lagi.

"Aaargghk! Sakit, Kak. Hiks!" teriak Hinata, air matanya pun akhirnya menetes saat Tayuya menarik rambut Hinata semakin kencang.

"Apa yang kalian lakukan pada gadis itu!?" datanglah seseorang dari belokan koridor. Semua perhatian beralih pada sumber suara tersebut, termasuk Hinata. Karin dan Tayuya membelalakkan matanya kaget.

-TBC-


Celoteh Author!

Hehehe…#ketawa saking stres-nya karena fic makin jelek.

Bagaimana? Tambah jelek, kan! Agak banyak ngawur memang. Oleh karena itu, aku tolong review dan sarannya, ya…#ujung-ujungnya modus.

editan chapter 1, untuk review aku balas di chap selanjutnya ya, soalnya aku buru-buru..daa...

Terima kasih untuk semua pembaca! ^_^

N

KEEP SMILE!